BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik - Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan (studi kasus : Pinjaman Bergulir di Kelurahan Bantan Kecamatan Tembung)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Publik

  Menurut Anderson kebijakan dipandang sebagai suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu

  

  masalah. Selanjutnya Anderson mengklasifikasikan kebijakan itu menjadi dua, yaitu : 1.

  Substantif, yaitu apa yang harus dilakukan pemerintah 2. Prosedural, yaitu siapa dan bagaimana kebijakan itu diselenggarakan.

  Menurut Woll kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang

  

  mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam defenisi tersebut, Woll menyatakan bahwa bahwa pengaruh dari tindakan atau aktivitas pemerintah tersebut ialah: (1) adanya pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya dengan menggunakan kekuatan publik yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat;

  (2) ada ouput kebijakan yakni dengan dibuatnya kebijakan pemerintah dituntut membuat peraturan, anggaran, personil dan regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; (3) adanya dampak kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

  Daniel Easton menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah adalah kekuasaan mengalokasikan nilai – nilai untuk masyarakat secara keseluruhan. Ini mengandung konotasi 8 tentang kewenangan pemerintah yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat. Sementara 9 Nurcholis, Hanif.2007. Teori dan Praktik Pemerintahan Dan Otonomi Daerah. Jakarta.PT Grasindo .hal. 263.

  

Tangkilisan, Hessel.2003. Kebijakan Publik Yang Membumi,Konsep, Strategi Dan Kasus. Yogyakarta :YPAPI dan Lukman Offset, hal : 2. menurut Hutington dan J. Nelson, dalam masyarakat modern masyarakat melihat pemerintah sebagai bagian dari kehidupannya. Kebijakan pemerintah selalu dirasakan pengaruhnya

   dalam kehidupan masyarakat.

  Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa terdapat 10 istilah kebijakan dalam pengertian

  

  modern yaitu : 1.

  Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas 2. Sebagai ekspresi tujuan umum atau akitivitas negara yang diharapkan 3. Sebagai proposal spesifik 4. Sebagai keputusan pemerintah 5. Sebagai otorisasi formal 6. Sebagai sebuah program 7. Sebagai ouput 8. Sebagai hasil (outcome) 9. Sebagai teori dan model 10.

  Sebagai sebuah proses.

  Definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa sebenarnya kebijakan publik secara sederhana merupakan aktivitas-aktivitas pemerintah yang memiliki tujuan dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat banyak atau publik, aktivitas yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan publik menentukan bentuk suatu kehidupan setiap bangsa dan negara. Semua negara menghadapi masalah yang relatif sama, yang berbeda adalah bagaimana respon terhadap masalah tersebut. Respon ini yang disebut sebagai kebijakan publik.

2.1.1 Tahap-Tahap Kebijakan

  Proses kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang dikaji. Oleh karena itu beberapa para ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik, membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik

  10 11 Abidin, Said Zainal.2002. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta : Yayasan Pancur Siwah, hal : 86.

  Indiahyono, Dwiyanto. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis. Penerbit: Gava Media.

  Yogyakarta. 2009. Hal : 18. kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita di

  

  Terdapat tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan publik yang perlu untuk

  

  dikaji. Tahapan-tahapan kebijakan publik tersebut adalah, sebagai berikut : 1.

  Tahap penyusunan agenda, dalam tahap ini para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah – masalah berkompetisi dulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan.

  2. Tahap formulasi kebijakan, masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah – masalah tadi didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berdasarkan alternatif-alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.

  3. Tahap adopsi kebijakan, melakukan adopsi salah satu alternatif kebijakan dari setiap alternatif yang terdapat dalam formulasi kebijakan dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

  4. Tahap implementasi kebijakan, keputusan kebijakan yang telah diambil dalam adopsi kebijakan yang memang dapat dianggap sebagai kebijakan yang terbaik dalam pemecahan suatu masalah yang harus diimplementasikan. Implementasi kebijakan dilakukan oleh badan-badan administrasi negara maupun agen-agen pemerintahan ditingkat bawah yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.

  5. Tahap evaluasi kebijakan, tahap ini dilakukan untuk melihat sejauh mana sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria – kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakan yang telah diimplementasikan. 12

2.1.2 Bentuk Kebijakan Publik

13 WinarNo, Budi, Op. Cit., hal: 32

   Ibid hal: 32- 34

  Terdapat tiga kelompok rentetan kebijakan publik yang dirangkum secara sederhana,

  

  yakni sebagai berikut : 1.

  Kebijakan Publik Makro Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau dapat juga dikatakan sebagai kebijakan yang mendasar. Contohnya: (a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; (b). Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; (c). Peraturan Pemerintah; (d). Peraturan Presiden; (e) Peraturan Daerah.

  Dalam pengimplementasian, kebijakan publik makro dapat langsung diimplementasikan.

  2. Kebijakan Publik Meso Kebijakan publik yang bersifat meso atau yang bersifat menengah atau yang lebih dikenal dengan penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berupa Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, Keputusan Bersama atau SKB antar- Menteri, Gubernur dan Bupati atau Walikota.

  3. Kebijakan Publik Mikro Kebijakan publik yang bersifat mikro, mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan publik yang diatasnya. Bentuk kebijakan ini misalnya peraturan yang dikeluarkan oleh aparat-aparat publik tertentu yang berada dibawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.

  Bentuk kebijakan publik baik kebijakan publik makro, meso dan mikro tersebut dalam proses pembuatannya melibatkan banyak variabel yang harus dikaji secara kompleks dan menyeluruh.

2.2 Implementasi Kebijakan

14 Nugroho, Riant. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang (Model-model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi). Penerbit: PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. 2006. Hal: 31.

  Salah satu tahapan penting dalam siklus kebijakan publik adalah implementasi kebijakan. Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah – olah tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.

  Implementasi Kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat tercapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program – program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari

   kebijakan publik tersebut.

  Menurut Pressman dan Wildavsky implementasi kebijakan adalah interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana – sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan

   cara untuk mencapainya.

  Menurut Patton dan Sawicki (1993) implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur cara

   dalam mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

  Mazmanian dan Sabatier mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa – peristiwa dan kegiatan – kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan, baik yang menyangkut usaha –

  15 16 Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Kebijakan. Jakarta: Gramedia, hal : 174. 17 Tangkilisan, Op. Cit., hal : 9.

  

Santosa, Pandji. 2008. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance. PT. Refika Aditama: Bandung, hal: 41. usaha mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau pada kejadian – kejadian tertentu.

18 Menurut Van Meter dan Van Horn ada enam variabel yang memepengaruhi kinerja

2.2.1 Model Implementasi Kebijakan Publik

  implementasi,yakni Dari beberapa pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan proses pelaksanaan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk pencapaian tujuan yang diharapkan sesuai dengan sasaran kebijakan tersebut.

  1. Model Van Meter dan Van Horn

   1.

  Standard dan sasaran kebijakan : Standard dan sasaran kebijakan harus jelas dan terstuktur sehingga dapat direalisir.

  Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

  2. Sumber daya Kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia. Dalam berbagai kasus program jaringan pengaman sosial (JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana.

  3. Hubungan antar organisasi Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain.

  Keberhasilan suatu program memerlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi.

  4. Karakteristik agen pelaksana

  18 Safi’I, H.M. 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah. Malang: Averroes Press, hal : 144. 19 Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pustaka Belajar. Hal : 99.

  Yang dimaksud dengan karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma – norma dan pola – pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

  5. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

  6. Disposisi implementor Ini mencakup tiga hal, yakni : (a) respon implementor terhadap kebijakan, yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan dan (c) intesitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

  2.Model Implementasi Kebijakan George Edward III Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan.

  Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok, yaitu: 1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

   20 2)Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan? Diakses darianggal 23 april 2013 pukul 12.45 WIB George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau variabel dari kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi (sikap implementor), struktur birokrasi.

  a) Komunikasi

  Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenai maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

  b) Sumber daya

  Komponen sumber daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Sumber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas, maka hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan sumber daya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepatuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan / mengatur keuangan, baik

penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

  c) Disposisi

  Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program. d) Struktur Birokrasi

  Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standard operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

2.3 Kemiskinan

  Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam mendefenisikan kemiskinan.Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.

  Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan. Kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup dan lingkungan dalam suatu masyarakat, atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi.

  Kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian yaitu, kemiskinan absolut, kemiskinan relatif atau kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Rendahnya tingkat pendapatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana fisik dan kelangkaan modal, atau miskin karena sebab alami atau natural. Kemiskinan relatif adalah pendapatan seseorang yang sudah di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Hal ini erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang bersifat struktural, yakni kebijaksanaan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki

   tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari luar untuk membantunya.

2.4 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri – Perkotaan

  Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri – Perkotaan dilaksanakan sejak April 2007 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun dan mengembangkan kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara berkelanjutan. Program ini merupakan kelanjutan dan pengembangan dari program P2KP sebelumnya yang dilaksanakan oleh Presiden Megawati. Program ini sangat strategis karena menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa lembaga kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal sosial (socialcapital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan program

21 Sumadiningrat, Gunawan.1997.Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan.PT. Bina Rena Pariwara.Jakarta

  masyarakat jangka menengah dalam penanggulangan kemiskinan yang menjadi pengikat dalam kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat.

  Pengelolaan seluruh kegiatan, baik pengembangan usaha maupun pembangunan prasarana dan sarana, pada prinsipnya dilakukan oleh masyarakat sendiri. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pemeliharaan, semuanya dilakukan dengan bertumpu pada pendekatan kelompok. Pendekatan semacam ini menuntut adanya partisipasi aktif masyarakat. Pelaksanan kegiatan ini sedapat mungkin bersifat padat karya dan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat.

  PNPM Mandiri – Perkotaan ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan

  

  kemiskinan melalui hal sebagai berikut : 1.

  Memberikan bantuan kepada masyarakat miskin di perkotaan dalam bentuk pinjaman dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan masyarakat, baik yang sifatnya bergulir maupun hibah. Dana pinjaman PNPM Mandiri Perkotaan merupakan dana pinjaman yang disalurkan kepada kelompok – kelompok swadaya masyarakat (KSM) secara langsung dengan sepengetahuan konsultan yang mengelola PNPM Mandiri Perkotaan di suatu wilayah kerja, sepengetahuan penanggung jawab operasional (PJOK) yang ditunjuk dan sepengetahuan warga masyarakat setempat melalui kelembagaan masyarakat yang dibentuk. Dana pinjaman tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal kerja suatu usaha produktif, pembangunan prasarana dan sarana dasar lingkungan, serta pengembangan sumber daya manusia.

  2. memberikan bantuan teknis berupa pendampingan kepada masyarakat dalam rangka membantu pembentukan organisasi di tingkat komunitas, dan melakukan upaya bagi peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi, perbaikan sarana dan 22 prasarana lingkungan, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

  

Diakses daripada tanggal 12 Maret 2013 pukul

10.00.

  Dengan demikian masyarakat mampu melakukan kegiatan – kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dalam rangka penanggulangan berbagai masalah kemiskinan yang dihadapi.

2.5 Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri – Perkotaan

  Pinjaman bergulir PNPM Mandiri – Perkotaan diadopsi dari Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai upaya membangun kemandirian masyarakat.

  Penanggulangan kemiskinan membutuhkan penanganan yang menyeluruh, maka PNPM-Mandiri memberikan bantuan untuk masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk pendampingan dan bantuan dana. Bantuan pendampingan ini diwujudkan dalam penugasan konsultan dan fasilitator beserta dukungan dana operasioanal untuk mendampingi dan memberdayakan masyarakat agar mampu merencanakan dan melaksanakan program masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan di desa/kelurahan masing-masing.

  Di dalam proses pendampingan akan ada pelatihan yang akan dilakukan kepada masyarakat untuk menambah ketrampilan dan pelaksanaan kerja. Untuk melihat efektivitas program pelatihan masyarakat, konsultan dan fasilitator PNPM-Mandiri perlu melakukan penilain terhadap perubahan sikap dan ketrampilan masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mengikuti pelatihan. Persoalan yang sering timbul dalam pelatihan yang dilakukan PNPM-Mandiri seringkali masyarakat belum mengerti arti penting dari pelatihan dalam mengelola ekonomi rumah tangga.

  Dengan memahami pengelolaan ekonomi keuangan rumah tangga dengan baik sebuah keluarga akan mudah untuk mengatur kebutuhannya, karena ia akan memperhitungkan setiap rupiah yang dikeluarkannya. Sedangkan bantuan dana akan diberikan dalam bentuk Bantuan Langsung Masyrakat (BLM). BLM ini bersifat stimulant dan sengaja disediakan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berlatih dengan mencoba melaksanakan rencana kegiatan penanggulangan kemiskinan yang telah direncanakan.

  Pelaksanaan kegiatan Pinjaman Bergulir dalam PNPM Mandiri Perkotaan bertujuan untuk menyediakan akses layanan keuangan kepada rumah tangga miskin dengan pinjaman mikro berbasis pasar dengan kegiatan yang menghasilkan pendapatan yang biasanya tidak memiliki akses ke sumber pinjaman lainnya, untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka dan kegiatan yang mendukung tumbuhnya ekonomi serta usaha mikro disamping itu

   membelajarkan mereka dalamhal mengelola pinjaman dan menggunakannya secara benar.

  Pendekatan yang digunakan adalah dengan mengarahkan kegiatan pinjaman bergulir sebagai akses pinjaman masyarakat miskin yang saat ini belum mempunyai akses pinjaman ke lembaga keuanganlain melalui:

  a. Kegiatan pinjaman bergulir dilaksanakan ditingkat kelurahan, dikelola secara professional untuk menjaga keberlangsungan akses pinjaman bagi masyarakat miskin.

  b. Transparansi atas pengelolaan dan kinerja UPK serta monitoring partisipatif oleh wargamasyarakat sebagai wujud pertanggungjawaban pengelolaan dana masyarakat .

  c. Penyediaan akses pinjaman yang jumlahnya maupun tingkat bunganya hanya menarik bagikelompok masyarakat miskin.

  d. Menggunakan sistem tanggung renteng kelompok sebagai alat kontrol pengelola (UPK)maupun kelompok peminjam (KSM)

  e. Meningkatkan kapasitas kewirausahaan masyarakat melalui pelatihan ekonomi rumah

   tangga, kewirausahaan dan pembukuan sederhana.

  23 24 Sumber :Petunjuk Teknis Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri - Perkotaan Ibid,,

  Pinjaman bergulir Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri – perkotaan yang merupakan hasil adopsi dari Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), secara substansi berupaya dalam penanggulangan kemiskinan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat, sehingga dapat terbangun gerakan kemandirian penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.

  Sebagai program penanggulangan kemiskinan, PNPM Mandiri – Perkotaan diwujudkan dalam bentuk kegiatan pinjaman bergulir. Sebelum implementasi, program ini terlebih dahulu disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi ini dilaksanakan di aula Kelurahan yang disampaikan Fasilitator Kelurahan yang dibantu oleh aparatur kelurahan.

  Masyarakat berhak memutuskan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini atau tidak. Program ini dikelola oleh masyarakat sendiri, maka dibentuklah Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM). Pengurus dan Kordinator LKM dipilih oleh masyarakat masyarakat sendiri. Para pengurus LKM haruslah yang mempunyai kemauan dan memiliki waktu, serta iklas , karena setiap pengurus tidak memiliki gaji, sifatnya hanya relawan. Dalam pengelolaan pinjaman bergulir LKM membentuk Unit Pengelola Keuangan yang secara operasional terpisah dari LKM. Sebelum mengajukan permohonan pinjaman, maka masyarakat terlebih dahulu membentuk kelompok, yaitu Kelolmpok Swadaya Masyarakat (KSM) yang terdiri dari 5 anggota.

  Sasaran utama kegiatan pinjaman bergulir ini adalah rumah tangga miskin yang ada di kelurahan. Program pinjaman bergulir ini merupakan akses keuangan bagi masyarakat miskin dan hadir sebagai jawaban atas kesulitan masyarakat untuk mendapatkan modal usaha dari lembaga – lembaga keuangan formal seperti Bank, karena memerlukan agunan yang belum tentu dimiliki oleh masyarakat miskin. Pinjaman awal yang diberikan adalah Rp. 500.000.- dan pinjaman selanjutnya sebesar Rp. 2.000.000,-

  2.5.1 Landasan Hukum PNPM Mandiri - Perkotaan

  Dasar peraturan perundangan sistem yang digunakan adalah : 1. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan 3. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Penanggulangan

  Kemiskinan 4. Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Tim Pengendali Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

  2.5.2 Visi, Misi, Nilai dan Prinsip PNPM Mandiri Perkotaan

  Sebagai sebuah Program yang terintegrasi, PNPM Mandiri – Perkotaan dirancang untuk memiliki Visi, Misi, Nilai – nilai, dan Prinsip – prinsip agar implementasi dapat dilakukan secara optimal dan dapat memenuhi harapan dari kebijakan yang telah ditetapkan. Berikut ini adalah penjabarannya:

  • Visi PNPM Mandiri – Perkotaan Melalui Implementasi PNPM Mandiri – Perkotaan dapat diwujudkan masyarakat madani yang maju, mandiri dan sejahtera dalam lingkungan pemukiman yang sehat, produktif dan lestari.
  • Misi PNPM Mandiri – Perkotaan Membangun masyarakat madani yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi
kemiskinan secara efektif dan mampu mewujudkan terciptanya lingkungan pemukiman yang tertata, sehat, produktif dan berkelanjutan.

  • Nilai – Nilai PNPM Mandiri – Perkotaan Nilai – nilai universal kemanusiaan yang harus dilaksanakan PNPM Mandiri – Perkotaan adalah jujur, dapat dipercaya, iklas/kerelawanan, adil, kesetaraan, dan kesatuan dalam keragaman.
  • Prinsip – Prinsip PNPM Mandiri – Perkotaan Prinsip – prinsip universal kemasyarakatan yang mengacu pada tata kepemerintahan yang baik (good governance) yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku PNPM Mandiri – Perkotaan (masyarakat, konsultan, maupun Pemerintah) dengan menerangkan prinsip – prinsip; partisipasi, transparansi, akuntabilitas, desentralisasi dan demokrasi. Prinsip – Prinsip universal pembangunan berkelanjutan (tridaya) harus merupakan prinsip keseimbangan yang dalam kasus PNPM Mandiri – Perkotaan diterjemahkan sebagai sosial, ekonomi dan lingkungan/fisik yang tercakup dalam ko nsep tridaya sebagi berikut; Perlindungan lingkungan, Pengembangan masyarakat dan Pembangunan ekonomi.

2.5.3 Tujuan, Sasaran Dan Strategi Pinjaman Bergulir PNPM MP

  Adapun tujuan PNPM Mandiri – Perkotaan adalah menyediakan akses layanan keuangan kepada keluarga miskin dengan pinjaman mikro berbasis pasar untuk memperbaiki ekonomi keluarga miskin dan memberikan pembelajaran dalam hal mengelola pinjaman dan menggunakannya secara benar.

  Kelompok sasaran utama pinjaman bergulir PNPM Mandiri – Perkotaan ini adalah rumah tangga miskin (berpendapatan rendah) yang ada di kelurahan. Idikator tercapainya sasaran tersebut adalah:

  1. Masyarakat, yaitu seluruh masyarakat kelurahan dengan penerima manfaat langsung adalah keluarga miskin (sesuai dengan kriteria kemiskinan setempat yang disepakati)

2. Minimal 30 % peminjam adalah perempuan 3.

  Para peminjam tersebut telah tersebut telah bergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) 4. Akses pinjaman bagi KSM peminjam yang kinerja pengembaliannya baik terjamin keberlanjutannya baik melalui dana BLM maupun melalui dana hasil channeling dengan kebijakan pinjaman yang jelas.

  Strategi pelaksanaan PNPM Mandiri – Perkotaan adalah: 1.

  Mendorong proses transformasi sosial dari masyarakat tidak berdaya/miskin menuju masyarakat berdaya. Proses ini antara lain: 1)

  Internalisasi nilai – nilai dan prinsip – prinsip universal 2)

  Penguatan lembaga masyarakat melalui pendekatan pembangunan bertumpu pada kelompok

3) Pembelajaran penerapan konsep tridaya dalam penanggulangan kemiskinan.

  2. Pengembangan kapasitas, yaitu dengan membangun kemampuan masyarakat untuk menyiapkan rencana – rencana kegiatan dalam kerangkan penanggulangan kemiskinan, melalui upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi dan kemandirian masyarakat.

  3. Membangun dan memberdayakan kelembagaan lokal untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan lokal masyarakat di kelurahan

  4. Membangun kemitraan antara , menjalin sinergi melalui kemitraan antara masyarakat dengan pelaku pembangunan di daerah, khususnya pemerintah daerah di tingkat lokal, kelompok – kelompok keahlian dan stakeholder terkait.

2.5.4 Ketentuan Dasar Pinjaman Bergulir

  Agar pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, perlu dibuat aturan dasar untuk pinjaman bergulir, antara lain kelayakan lembaga pengelola pinjaman bergulir, kelayakan peminjam, dana pinjaman, pelayan pinjaman bergulir dan pendampingannya. Masing – masing aturan dasar tersebut adalah sebagaimana uraian berikut: 1.

   Kelayakan Lembaga Pengelola Pinjaman Bergulir

  Lembaga yang langsung mengelola kegiatan pinjaman bergulir adalah Unit Pengelola Keuangan (UPK). UPK adalah salah satu unit pengelola yang berada di bawah LKM.

  Sebelum kegiatan pinjaman bergulir dalam kelurahan yang bersangkutan dimulai, harus dilakukan pengujian kelayakan, baik untuk LKM/UPK maupun untuk KSM/anggota dengan menggunakan instrumen kriteria kelayakan yang sudah disiapkan. Kegiatan pinjaman bergulir dapat dilaksanakan, hanya jika para pelaku tersebut telah memenuhi kriteria kelayakan seperti yang dijelaskan di bawah. KMW bertanggung jawab atas pendampingan tercapainya kriteria kelayakan LKM/UPK.

  Sedangkan fasilitator bersama relawan setempat bertanggung jawab atas pendampingan tercapainya kriteria kelayakan kelompok maupun anggotanya.

  a.

  Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) LKM yang akan mengelola kegiatan pinjaman bergulir harus memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut:

  1) LKM telah terbentuk secara sah sesuai dengan ketentuan PNPM

  Mandiri – Perkotaan dan memiliki anggaran dasar yang di dalam nya antara lain menyatakan bahwa: a)

  Kegiatan pinjaman bergulir akan dijalankan sebagai salah satu alat penanggulangan kemiskinan di wilayahnya b) Dana pinjaman bergulir hanya diperuntukkan untuk kegiatan pinjaman bergulir saja c)

  Pendapatan UPK hanya untuk membiayai kegiatan operasional UPK dan tidak dapat dipergunakan untuk menbiayai kegiatan lainnya, termasuk biaya LKM dan pengawas. Pengawas hanya bisa dibiayai dari laba bersih tahunan UPK. 2)

  LKM telah mengangkat pengawas UPK (2-3) dan petugas UPK (minimal 2 orang). Semua telah memperoleh pelatihan PNPM Mandiri Perkotaan dan telah memiliki uraian tugas dan tanggungjawab

  3) LKM dengan persetujuan masyarakat telah membuat aturan dasar pinjaman bergulir yang memuat kriteria KSM dan anggotanya yang boleh menerima pinjaman, besar pinjaman mula – mula, besar jasa pinjaman, jangka waktu pinjaman dan sistem angsuran pinjaman serta ketentuan mengenai tanggung renteng anggota KSM

  4)

Untuk Kelurahan/Desa lama (yang telah menjalankan P2KP):

  a) Kinerja pinjaman bergulir yang dijalankan mencapai kriteria memuaskan b)

  Bersedia melakukan perbaikan antara lain:

  • Membentuk pengawas UPK
  • LKM telah menerima pelatihan dari PNPM Mandiri Perkotaaan • Telah memiliki rekening atas nama LKM dengan kewenangan menandatangani 3 orang b.

  Pengawas UPK

  Pengawas UPK yang bertugas mengawasi kegiatan UPK dalam mengelolergulir pinjaman bergulir telah memenuhi kriteria minimal antara lain:

  1) Telah diangkat oleh LKM dengan persetujuan masyarakat sebanyak 2

  • – 3 orang, memenuhi unsur laki-laki dan perempuan 2)

  Telah memiliki uraian tugas yang mencakup tugas dan tanggungjawab pengawas 3)

  Telah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh PNPM Mandiri Perkotaan c. Unit Pengelola Keuangan (UPK)

  Unit pengelola Keuangan (UPK) yang akan mengelola dana pinjaman bergulir telah memenuhi kriteria minimal sebagai berikut: 1)

  Telah diangkat oleh LKM sebanyak minimal 2 orang (ideal 4 orang) 2)

  Telah memiliki uraian tugas dan tanggung jawab 3)

  Telah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh PNPM Mandiri Perkotaan

  4) Telah memahami Aturan Dasar pinjaman bergulir

  5) Telah memiliki rekening atas nama UPK/LKM dengan kewenangan penandatanganan 3 orang

  6) Telah memiliki sistem pembukuan yang berlaku di PNPM Mandiri

  Perkotaan 2.

   Kelayakan Peminjam

  KSM peminjam dan anggotanya sebagai calon peminjam harus memenuhi kriteria kelayakan yang dipersyaratkan untuk mendapat pinjaman bergulir dari UPK. Hanya KSM dan anggotanya yang memenuhi kriteria kelayakan yang dapat dilayani oleh

  LKM/UPK. Dengan kata lain, KSM peminjam yang tidak atau belum memenuhi kriteria kelayakan tidak dapat dilayani dan harus ada pendampingan terlebih dahulu sampai KSM peminjam tersebut memenuhi kriteria kelayakan sebagai calon peminjam.

  a.

  Kriteria Kelayakan KSM 1)

  KSM telah terbentuk dan anggotanya adalah warga miskin yang tercantum dalam daftar 2)

  KSM dibentuk hanya untuk tujuan penciptaan peluang usaha dan kesmpatan kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat miskin dan kekuatan modal sosial

  3) KSM dibentuk atas dasar kesepakatan anggota – angotanya secara sukarela, demokratis, partisipatif, transparan dan kesetaraan

  4) Anggota KSM termasuk kategori keluarga miskin sesuai kriteria yang ditetapkan sendiri oleh LKM/ masyarakat

  5) Jumlah anggota KSM minimal 5 orang

  6) Jumlah anggota KSM minimal 30 % perempuan

  7) Mempunyai pembukuan yang memadai sesuai kebutuhan

  8) Semua anggota KSM menyetujui sistem tanggung renteng dan dituangkan secara tertulis dalam pernyataan kesanggupan tanggung renteng

  9) Semua anggota KSM telah memperoleh dari fasilitator dan LKM/UPK b.

  Kriteria kelayakan anggota KSM 1)

  Anggota KSM adalah warga masyarakat dan memiliki Kartu Tanda Penduduk setempat 2)

  Termasuk dalam kategori keluarga miskin sesuai dengan kriteria yang dikembangkan dan disepakati oleh masyarakat sendiri

  3) Dapat dipercaya dan dapat bekerjasama dengan anggota lain

  4) Semua anggota KSM telah mempunyai tabungan minimal 5 % dari pinjaman yang diajukan dan bersedia menambah tabungannya minimal 5 % selama jangka waktu pinjaman dan tidak akan mengambil tabungan tersebut sebelum pinjamannya lunas

  5) Memiliki motivasi untuk berusaha dan bekerja atau dapat pula memiliki usaha mikro dan bermaksud untuk meningkatkan usaha, pendapatan dan kesejahteraan keluarganya

  6) Belum pernah mendapat pelayanan dari lembaga keuangan yang ada.

  3. Sumber Dana pinjaman bergulir

  Sumber dana untuk kegiatan pinjaman bergulir, dapat berasal dari:

  a. Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), yang merupakan sumber dana utama

  b. Dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

  c. Dana yang berasal dari pihak Swasta

  d. Dana dari swadaya masyarakat e.Pemupukan modal berasal dari Laba/Keuntungan hasil pengelolaan Pinjaman bergulir yang disisihkan sesuai AD/ART dan keputusan RWT f. Dana dari sumber lainnya Dana dari sumber lain berupa channeling atau pinjaman dari lembaga keuangan formal baik bank maupun koperasi di sekitar lokasi LKM berada. Tujuan dana channeling atau pinjaman tersebut adalah untuk menyediakan akses pinjaman bagi LKM yang sudah memenuhi batas maksimal pemberian pinjaman baik dari sisi jumlah pinjaman (telah mencapai Rp. 2.000.000,-) atau dari sisi frekuensi pinjaman (sudah mencapai 4 kali pinjaman) diharapkan dengan dana channeling maupun pinjaman dari lembaga keuangan formal tersebut nantinya KSM dan anggotanya dapat memperoleh akses pinjaman lebih lanjut dari lembaga tersebut

4. Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman Bergulir

  Dalam kegiatan pinjaman bergulir diatur kegiatan yang harus dilakukan dalam setiap tahapan yang diatur sebagai berikut : 1)

  Tahap pengajuan Pinjaman Calon peminjam mempersiapkan segala keperluan yang dipersyaratkan untuk memperoleh pinjaman baik pelatihan, pembentukan simpanan, maupun kelengkapan dokumen dan pengisian blanko pengajuan pinjaman

  2) Tahap Pemeriksaan Pinjaman

  Petugas pinjaman UPK memeriksa dokumen pengajuan pinjaman yang diajukan KSM beserta anggotanya baik secara administratif maupun kunjungan lapangan menganalisis dan membuat usulan kepada manajer UPK atas permohonan pinjaman dimaksud.

  3) Tahap Putusan Pinjaman

  Manajer UPK memberikan persetujuan atau penolakan atas pengajuan pinjaman yang dilakukan KSM didasarkan pada hasil analisis petugas pinjaman UPK 4)

  Tahap Realisasi Pinjaman Permohonan pinjaman KSm yang telah disetujui oleh manajer UPK disiapkan dokumen untuk pencairan, kemudian direalisasikan pembayaranya kepada KSM dan anggotanya. 5)

  Tahap Pembinaan Pinjaman Minimal 1 bulan setelah pinjaman direalisasikan, petugas UPK wajib memantau keadaan peminjam, perkembangan usaha dan penggunaan pinjaman, apakah digunakan sesuai dengan tujuan semula.

  6) Tahap pembayaran Kembali Pinjaman

  Peminjam melakukan pembayaran kembali atas pinjamanya. agar tidak sampai terjadi keterlambatan atau tunggakan, maka petugas UPK dibantu oleh relawan, aparat kelurahan desa, tokoh masyarakat maupun pengawas UPK

  7) Memonitoring Pinjaman bergulir

  Dalam kegiatan monitoring pinjaman diuraikan secara rinci kegiatan untuk mencapai kinerja pinjaman berguliryang memuaskan dengan cara memantau secara administratif dan kunjungan kepada peminjam dilapangan

  8) Penyelesaian Pinjaman Bermasalah

  Dalam penyelasaian pinjaman bermasalah, dibahas mengenai penyebab dan upaya penyelesaian pinjaman yang bermasalah baik melalui penagihan secara intensif, maupun dengan penyelamatan pinjaman bermasalah

  9) Pelaporan Pinjaman Bergulir

  Dalam kegiatan ini diuraikan mengenai laporan yang harus dibuat oleh UPK baik laporan bulanan maupun khusus atau yang tidak terjadwal, baik neraca laba/rugi.

5. Pelaksanaan Pendampingan

  Pendampingan atau konsultasi merupakan elemen penting dalam upaya memperkuat kemapuan pengelolaan pinjaman bergulir. Kegiatan pendampingan diberikan dalam bentuk coaching (petunjuk singkat), konsultasi atau diskusi, membantu pelaksanaan kegiatan sampai dengan petugas dapat melaksanakan secara mandiri, pendampingan terhadap hal – hal yang kurang/tidak benar, membimbing hingga terjadi perubahan sikap/perilaku serta upaya lain yang mengarah pada peningkatan kemampuan petugas dan anggota masyarakatnya. Strategi pendampingan ini perlu diberikan baik kepada LKM, UPK maupun kepada kelompok pemanfaat pinjaman.

  

2.5.5 Organisasi pelaksana program pinjaman bergulir PNPM Mandiri – Perkotaan

di Kelurahan Bantan

  Dalam usaha mengatasi kemiskinan di daerahnya, kelurahan Bantan diketahui juga ikut dalam program PNPM Mandiri – Perkotaan. Pinjaman bergulir PNPM Mandiri – Perkotaan sebagai salah satu program nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menanggulangi kemiskinan yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan melalui konsep pemberdayaan masyarakat.

  Berikut adalah organisasi pelaksana Pinjaman bergulir PNPM Mandiri Perkotaan:

a. Lurah

  Lurah secara umum memiliki peran memberikan dukungan dan jaminan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri – Perkotaan berjalan lancar sesuai dengan aturan yang berlaku.

  Secara rinci tugas dan tanggung jawab Lurah dalam pelaksanaan PNPM Mandiri – Perkotaan adalah :

  1. Membantu sosialisasi awal PNPM Mandiri Perkotaan ke seluruh masyarakat diwilayahnya;

  2. Memfasilitasi proses pemahaman masyarakat mengenai PNPM MandiriPerkotaan, dan atas nama warga mengajukan surat ke KMW dan BappedaKota/Kabupaten, yang menyatakan kesiapan wargamasyarakatmelaksanakan PNPM Mandiri Perkotaan; 3. Memfasilitasi pendaftaran relawan-relawan masyarakat secara demokratis,transparan dan akuntabel;

4. Memfasilitasi terselenggaranya pertemuan pengurus RT/RW dan masyarakat dengan

  KMW/Tim Fasilitator, dan relawan masyarakat dalam upaya penyebarluasan informasi dan pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan;

  5. Memfasilitasi proses pengorganisasian masyarakat warga dan pembentukan lembaga kepemimpinan masyarakat di kelurahan/desanya. (Bentuk-bentuk dukungan

  

disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat, sertaketentuan PNPM Mandiri

Perkotaan);

  6. Memfasilitasi koordinasi dan sinkronisasi kegiatan yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan termasuk peninjauan lapangan oleh berbagai pihak berkepentingan; 7. Memfasilitasi pelaksanaan pemetaan swadaya (Community Self Survey) dalam rangka pemetaan kemiskinan dan potensi sumber daya masyarakat yang dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat; 8. Memfasilitasi dan mendukung penyusunan Program Jangka Menengah

  Penanggulangan Kemiskinan dan rencana tahunannya oleh masyarakat yangdiorganisasikan oleh lembaga kepemimpinan masyarakat setempat (LKM);

  9. Mendorong tumbuh berkembangnya proses pembangunan partisipatif dikelurahan/desanya;

  10. Memfasilitasi LKM dan masyarakat agar mampu mencapai kinerja mandiri; 11.

  Memfasilitasi PJM Pronangkis sebagai salah satu masukan untuk Musrenbang kelurahan

  12. Bersama dengan LKM/masyarakat dan kelompok peduli menyusun ‘Master Plan