Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Perseorangan Terhadap Debitor Wanprestasi Pada Perjanjian Kredit Pt. Bank Xxxx Di Medan

  

BAB II

JAMINAN PERSEORANGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit Pengertian perjanjian diatur dalam Bab II Buku III KUHPerdata (Burgerlijk

Wetboek ) mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351.Dimana ketentuan dalam

Pasal 1313 menyebutkanbahwa : “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan

  mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut Mariam Darus Badrulzaman, defenisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga.Namun, istimewa sifatnya karena

   dikuasi oleh ketentuan-ketentuan tersendiri .

  Menurut Gatot Supramono, perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus yang dapat dipersamakan dengan perjanjian pinjam mengganti sebagaimana diatur

   dalam KUH Perdata .

  Agar suatu perjanjian dapat dianggap sah oleh hukum, haruslah memenuhi beberapa persyaratan yuridis tertentu. Persyaratan yuridis agar suatu perjanjian

  

  dianggap sah sebagai berikut : 1.

  Syarat sah yang objektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata Syarat sah yang dimaksud terdiri dari : a. 17 Suatu hal tertentu 18 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.

  Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 451 19

  Suatu hal tertentu dimaksudkan bahwa suatu perjanjian haruslah berkenaan dengan hal yang tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.

  b.

  Kausa yang diperbolehkan Sedangkan dengan kausa yang diperbolehkan dimaksudkan adalah bahwa suatu perjanjian haruslah dibuat dengan maksud atau alasan yang sesuai hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat perjanjian untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

  Konsekuensi hukum jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi adalah bahwa kontrak tersebut tidak sah dan batal demi hokum (null and

  void ).

  2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata ke dalam syarat sah suatu perjanjian yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata termasuk hal-hal sebagai berikut : a.

  Adanya kesepakatan Dengan syarat kesepakatan dimaksudkan adalah bahwa agar suatu perjanjain dianggap sah oleh hukum, kedua belah pihak mesti ada kesusuaian pendapat tentang apa yang di atur oleh perjanjian tersebut.

  b.

  Kecakapan Sedangkan syarat kecakapan maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah orang yang oleh hukum memang berwenang membuat perjanjian tersebut. Kecakapan baru dianggap sah oleh hukum manakala perjanjian dilakukan oleh orang-orang sebagai berikut:

  1) Orang yang sudah dewasa

  2) Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampuan

  3) Wanita yang bersuami (syarat ini sudah tidak berlaku lagi)

  4) Orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.

  Konsekuensi yuridis dari tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif ini adalah bahwa perjanjian tersebut “dapat dibatalkan” (voiable,

  vernietigebaar) oleh salah satu pihak yang berpentingan. Apabila tindakan

  pembatalan tersebut tidak dilakukan namun perjanjian tetap terjadi dan harus dilaksanakan seperti suatu perjanjian yang sah.

  3. Syarat sah yang umum di luar Pasal 1320 KUH Perdata Ada beberapa syarat untuk perjanjian yang berlaku umum tetapi di atur di luar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut: a.

  Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik b.

  Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku c. Perjanjian harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan d.

  Perjanjian tidak boleh melanggar kepentingan umum. Apabila perjanjian dilakukan dengan melanggar salah satu dari empat prinsip tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak sah dan batal demi hukum (null and void).

4. Syarat sah yang khusus

  Di samping syarat-syarat tersebut di atas, maka suatu perjanjian haruslah memenuhi beberapa syarat khusus yang ditujukan untuk perjanjian- perjanjian khusus. Syarat-syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut: b.

  Syarat akta notaris untuk perjanjian tertentu c. Syarat akta pejabat tertentu (selain notaris) untuk perjanjian tertentu d.

  Syarat izin dari pejabat yang berwenang untuk perjanjian tertentu. Suatu perjanjian diamati dan diuraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya,

  

  maka unsur-unsur yang ada di sana dapat diklasifikasikan sebagai berikut a.

  Unsur Esensialia Adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada. Misalnya dalam perjanjian yang riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formil.

  b.

  Unsur Naturalia Adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang- undang diatur dengan hukum yang mengatur atau menambah (regelend atau aanvullend recht). Misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin/vrijwaren (Pasal 1491KUH Perdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.

  c.

  Unsur Accidentalia Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang- undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan.

  Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa istilah kredit memiliki arti yang khusus, yaitu meminjamkan “uang”, Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan menunjuk “perjanjian pinjam-meminjam” sebagai acuan dari perjanjian kredit. Perjanjian pinjam-meminjam itu diatur dalam KUH Perdata

  Pasal 1754 - Pasal 1769 tentang pinjam-meminjam. Pasal 1754 KUH Perdata mengatakan bahwa :“Pinjaman-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” 20

  Pernyataan diatas mengandung kebenaran karena meskipun dalam Pasal- Pasal KUHPerdata tersebut juga terdapat ketentuan tentang pinjam-meminjam barang yang dipergunakan habis, tetapi tidak ada alasan pembenar bahwa Pasal- Pasal, bahkan keseluruhan Bab XIII Buku Ketiga KUHPerdata itu, tidak berlaku bagi pinjam-meminjam uang dari bank. Hal ini dilandasi oleh argumentasi sebagai berikut

   1.

  Uang menurut ilmu ekonomi moneter jelas dapat berfungsi sebagai barang yang dapat diperjualbelikan dan dipinjamkan dalam berbagai transaksi pasar uang.

  : 2.

  Uang juga dapat dipergunakan habis oleh peminjam meskipun untuk itu menjadi kewajiban peminjam untuk mengembalikan pokok beserta bunganya pada saat jatuh tempo baik dalam valuta rupiah maupun valuta asing senilai hutang dan bunganya.

  3. Pasal-Pasal KUHPerdata tentang bunga dan syarat-syarat pengembalian kiranya masih dapat diberlakukan bagi pinjam-meminjam uang dengan bank, sebab kalau tidak tentu akan terjadi kekosongan hukum.

  4. Masalah kekhususan persyaratan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan bank bukan merupakan alasan yang cukup kuat untuk tidak memberlakukan ketentuan KUHPerdata Indonesia. Kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi “credere” artinya percaya. Kepercayaan ini merupakan dasar dari setiap perikatan, yaitu seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak, kesepakatan pinjam-meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan, dan jangka waktu tertentu. Pengertian di atas menunjukkan bahwa kredit mempunyai arti yang luas, yang mempunyai objek benda

22 Menurut Munir Fuady yang dimaksudkan dengan perkreditan adalah suatu

  penyediaan uang atau dipersamakan dengannya, yang didasari atas perjanjian pinjam-meminjam antara pihak kreditor (bank, perusahaan atau perorangan) dengan pihak debitor (peminjam), yang mewajibkan pihak debitor melunasi .

  21 hutangnya dalam jangka waktu tertentu, di mana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditor (pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut

  

  Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan dirumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

  Berkaitan dengan pengertian kredit di atas, menurut ketentuan Pasal 1 angka

  5 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

  Perjanjian kredit merupakan perjanjian tidak bernama (onveniemdeovereenkomst) karena di dalam KUH Perdata belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus baik di dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia maupun dalam Undang-Undang Tentang Perbankan. Ketentuan yang ada hanya tentang pengertian kredit, yang dapat disebutkan secara jelas dan tegas di dalam Pasal 1 angka 12, Pasal 6 dan Pasal 13 Undang-Undang Tentang Perbankan, kredit sebagai salah satu jenis usaha bank, Pasal 8 tentang jaminan dalam pemberian kredit, Pasal 11 ayat 1 tentang batas pemberian kredit, tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana bentuk, isi dan ketentuan Pasal yang terdapat dalam perjanjian kredit yang dibuat antara kreditor/bank

   dengan para nasabah debitor .

  Adapun isi dan bentuk surat perjanjian atau akad kredit tersebut, Undang- Undang tidak memberikan petunjuk khusus, SK Direksi Bank Indonesia No 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No 27/7/UPPB masing- masing tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi umum ditegaskan bahwa setiap akad kredit harus tertulis baik di bawah tangan ataupun di muka notaris. Pembuatan akta perjanjian kredit di muka notaris biasanya diperlukan sekaligus dalam upaya

   mengikat barang jaminan .

  Perjanjian kredit bank pada umumnya merupakan perjanjian baku (standart

  

contract ), dimana isi atau ketentuan Pasal perjanjian kredit tersebut telah

  membaku dan hanya dituangkan dalam bentuk formulir (blanko), tetapi tidak terikat dalam suatu bentuk tertentu. Calon nasabah debitor tinggal membubuhkan tanda tangannya, dan bersedia menerima seluruh isi perjanjian tersebut, dan kreditor/bank tidak memberikan kesempatan lagi kepada calon nasabah debitor untuk membicarakan lebih lanjut seluruh isi ketentuan Pasal yang telah ditentukan oleh bank. Perjanjian baku ini diperlukan untuk memenuhi kedudukan yang sifatnya praktis dan kolektif. Pada tahap ini, kedudukan calon nasabah debitor 24 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang

  

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti,

Bandung,1996, dalam S. Mantayborbir, Aneka Hukum PerjanjianSekitar Penguruasan Piutang sangat lemah, sehingga menerima saja syarat-syarat yang diajukan dan ditetapkan oleh pihak kreditor/bank, karena jika tidak demikian, maka calon nasabah debitor

   tidak akan mendapatkan kredit yang dimaksudkan .

B. Jaminan dalam KUH Perdata dan Kredit Perbankan

  Istilah Hukum Jaminan berasal dari terjemahan Zakerheidesstelli atau . Di dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional, disebutkan

  security of law

  bahwa hukum jaminan meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan bukan

   pengertian hukum jaminan .

  Selain itu, hukum jaminan adalah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar,

  

  Dari berbagai definisi tersebut di atas, masing-masing terdapat kelemahan- kelemahan. Oleh karena itu maka perlu dilengkapi dan disempurnakan sebagai berikut, bahwa hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum

  26 S. Mantayborbir, Aneka Hukum PerjanjianSekitar Penguruasan Piutang Negara, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004,hal. 86. 27 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia,Raja Grafindo Persada, yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam

   kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit .

  Pengaturan hukum jaminan dapat dibedakan menjadi dua tempat, yaitu di dalam Buku II KUH Perdata dan di luar Buku II KUH Perdata.

  Ketentuan-ketentuan hukum yang erat kaitannya dengan hukum jaminan, yang masih berlaku dalam KUH Perdata yaitu :

  1. Gadai Diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan 1160 KUH Perdata.

  2. Hipotek kapal laut Diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUH Perdata.

  Sedangkan pengaturan di luar KUH Perdata dapat dirincikan sebagai berikut : 1. KUH Dagang. Pasal-Pasal yang mengatur hipotek kapal laut adalah Pasal 314-316 KUH Dagang.

  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketentuan yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA.

  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan tanah. Undang-undang ini mencabut berlakunya hipotek mengenai tanah sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata.

  4. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

  Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, dapat diketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :

1. Hak jaminan yang bersifat umum 2.

  Hak jaminan yang bersifat khusus Jaminan yang bersifat umum diajukan kepada seluruh kreditor dan mengenai segala kebendaan debitor. Setiap kreditor mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil pendapatan penjualan segala kebendaan yang dipunyai debitor. Dalam hak jaminan yang bersifat umum ini semua kreditornya mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditor lain (kreditor

konkuren ), tidak ada kreditor yang diutamakan, diistimewakan dari kreditor lain.

  Hak jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan atau timbul karena undang- undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak perlu diperjanjikan

   sebelumnya .

  Dalam praktik perkreditan, jaminan umum ini tidak memuaskan bagi kreditor, karena kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi kredit yang diberikan.

  Untuk itu, kreditor memerlukan adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk bagi kredit atau pinjaman tersebut. Dengan lain perkataan memerlukan adanya jaminan

   yang dikhususkan baginya, baik yang bersifat kebendaan maupun perseorangan .

  Dari ketentuan dalam Pasal 1133 KUH Perdata, diketahui bahwa hak jaminan yang bersifat khusus itu terjadi :

  1. Diberikan atau ditentukan oleh undang-undang sebagai piutang yang diistimewakan (Pasal 1134 KUH Perdata)

  2. Diperjanjikan antara debitor dan kreditor, sehingga menimbulkan hak preferensi bagi kreditor atas benda tertentu yang diserahkan debitor (Pasal 1150 dan Pasal 1162 KUH Perdata dan Pasal 1820 KUH Perdata). 30

  Adapun jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditor dan debitor yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun jaminan yang bersifat perseorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan sedangkan jaminan yang bersifat perseorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup

   membayar atau memenuhi prestasi manakala debitor wanprestasi .

  Jaminan kebendaan itu dapat berupa jaminan kebendaan bergerak dan jaminan kebendaan tidak bergerak. Untuk kebendaan bergerak, dapat dibebankan dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia sebagai jaminan utang, sementara untuk kebendaan tidak bergerak, dapat dibebankan dengan hipotek, hak tanggungan, dan fidusia sebagai jaminan utang. Adapun jaminan perseorangan ini dapat berupa penjaminan utang atau borgtocht (personal guarantee), jaminan perusahaan (corporate guarantee), perikatan tanggung menanggung, dan garansi

   bank (bank guarantee) .

  Pada umumnya dalam rangka mengamankan pemberian kreditnya bank menuntut nasabah debitor untuk memberikan jaminan kebendaan (agunan).

  Jaminan kebendaan (agunan) pemberian kredit pada hakikatnya berfungsi untuk menjamin kepastian akan pelunasan utang debitor bila debitor cidera janji (wanprestasi) atau dinyatakan pailit. Dengan adanya jaminan pemberian kredit tersebut, akan memberikan jaminan perlindungan, baik bagi keamanan dan kepastian hukum kreditor bahwa kreditnya akan tetap kembali walaupun mungkin nasabah debitornya cidera janji, yakni dengan cara mengeksekusi benda yang menjadi objek jaminan kredit bank yang bersangkutan. Dengan demikian, jaminan 32 kebendaan (agunan) dalam pemberian kredit ini menjadi sarana yang ampuh untuk mengamankan pemberian kredit. Untuk itulah diadakan lembaga dan

   ketentuan hukum jaminan .

  Barang jaminan tidak selalu milik nasabah debitor, akan tetapi peraturan perundang-undangan juga memperbolehkan barang milik pihak ketiga, asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya untuk dipergunakan sebagai

   jaminan hutang nasabah debitor .

  Jaminan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu “keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan”. Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengartikan “agunan” sebagai “jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit”.

  Dengan demikian berarti, istilah “agunan” sebagai terjemahan dari istilah

  

collateral merupakan bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit. Artinya

  pengertian “jaminan” lebih luas daripada pengertian “agunan”, dimana agunan berkaitan dengan “barang”, sementara “jaminan” tidak hanya berkaitan dengan“barang”, tetapi berkaitan pula dengan character, capacity, capital, dan

   condition of economy dari nasabah debitor yang bersangkutan .

  34 35 Ibid., hal. xi

  Berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan, ditemukan 5 asas penting dalam hukum jaminan, sebagaimana

  

  dipaparkan berikut ini : 1.

  Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar;

  2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu; 3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian; 4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada penerima gadai;

5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan.

  Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik, bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi tanggungan tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai. Pemberian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian hutang piutang yang disebut dengan perjanjian pokok. Tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Sebab perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikut perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya berakhir, maka perjanjian jaminannya pun turut berakhir. Tidak mungkin ada orang yang bersedia menjamin suatu hutang, kalaupun hutang itu sendiri tidak ada. Sifat perjanjian yang

  

  37

C. Jaminan Perseorangan sebagai Jaminan Kredit Perbankan

  Jaminan perorangan diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1820 KUH Perdata : “Penanggungan adalah suatu perjanjian, di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditor, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak memenuhi perikatannya”.

  Borgtocht atau penjaminan adalah perjanjian dengan mana seseorang pihak

  ketiga, guna kepentingan si berpiutang (kreditor) mengikatkan diri untuk (debitor) tidak memenuhinya (wanprestasi).Demikian pengertian atau definisi yang

   diberikan Pasal 1820 KUH Perdata .

  Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht. Ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil.

  Pengertian jaminan perorangan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan adalah “jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan

  

  debitor umumnya .” Subekti mengartikan jaminan perorangan adalah “suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditor) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitor). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si

  

  berhutang tersebut .” Jaminan perorangan atau borgtocht merupakan tipe perjanjian tersendiri di antara perjanjian yang lain. Dan borg ini harus dibedakan dengan “jaminan 39 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2005, hal 237. 40 41 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.,Cit, hal. 47

  kebendaan”. Pada jaminan kebendaan, apabila nasabah debitor memberikan jaminan kebendaan kepada kreditor atau bank, sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam oleh nasabah debitor. Artinya apabila nasabah atau debitor tidak membayar hutang pada saat yang ditentukan, maka pihak kreditor atau bank dapat menuntut pelaksanaan eksekusi, terhadap jaminan kebendaan tersebut, untuk

   dieksekusi lelang di muka umum guna pembayaran atau pelunasan hutang .

  Lain halnya mengenai jaminan seseorang atau borgtocht. Jaminan yang diberikan kepada kreditor/bank bukan benda, tetapi “perorangan” yakni seseorang pihak ketiga yang tak mempunyai kepentingan apa-apa, baik terhadap nasabah debitor maupun kepada kreditor/bank, maka dengan sukarela memberikan jaminan kepada nasabah debitor. Jaminan yang diberikannya berupa pernyataan bahwa nasabah debitor dapat dipercaya dan akan melaksanakan kewajiban yang baik sesuai dengan yang diperjanjikan, dengan syarat, bila nasabah debitor dengan tidak bersedia untuk melaksanakan kewajibannya. Dengan persyaratan bahwa penjaminan yang diberikan nasabah debitor kepada kreditor, berarti nasabah debitor telah “mengikatkan diri” untuk melaksanakan kewajiban di dalam

   perjanjian .

  Perjanjian penanggungan adalah perjanjian acessoir artinya harus ada perjanjian utang piutang yang diikutinya. Sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1821 ayat (1) KUH Perdata, yang menegaskan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada perikatan pokok yang sah. Dan hal ini sekaligus berarti, kualitas dari perjanjian utang piutang haruslah benar-benar sempurna tanpa cacat hukum,

  42 karena cacatnya perjanjian utang piutang akan berpengaruh terhadap cacatnya

   pula penanggulangan utang sebagai perjanjian acessoir .

  Dalam kedudukannya sebagai perjanjian yang bersifat acessoir maka perjanjian penanggungan, seperti halnya perjanjian-perjanjian acessoir yang lain,

  

  akan memperoleh akibat-akibat hukum tertentu : 1.

  Adanya perjanjian penanggungan tergantung pada perjanjian pokok.

  2. Jika perjanjian pokok itu batal maka perjanjian penanggungan ikut batal.

  3. Jika perjanjian pokok itu hapus, perjanjian penanggungan ikut hapus.

  4. Dengan diperalihkannya piutang pada perjanjian pokok, maka semua perjanjian-perjanjian acessoir yang melekat pada piutang tersebut akan ikut beralih. Penanggungan adalah perjanjian yang berbentuk bebas dan biasanya bersifat sepihak, tetapi lebih ditekankan kepada kewajiban penanggung. Pada umumnya penanggungan adalah merupakan perjanjian sepihak, namun mungkin juga bahwa kreditor menjanjikan suatu prestasi sehingga prestasi datang dari kedua belah

  

   Jaminan perorangan dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu : 1.

  Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan 3. Akibat hak dari tanggung renteng pasif

  44 45 J. Satrio, 1999 dalam S. Mantayborbir, Op.,Cit, hal 119 46 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.,Cit, hal. 82 hubungan hak bersifat ekstern; hubungan hak antara para debitor dengan pihak lain (kreditor) dan hubungan hak bersifat intern; hubungan hak antara sesama debitor itu satu dengan yang lainnya; 4. Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUH Perdata), yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.

  Untuk melaksanakan perjanjian penanggungan, seorang penanggung haruslah

  

  memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1.

  Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk mengikatkan diri 2. Cukup mampu (kemampuan ekonomis) untuk dapat memenuhi perutangan yang bersangkutan. Kemampuan ini harus ditinjau secara khusus menurut keadaaannya dimana hakim bebas untuk menentukan penilaiannya.

3. Harus berdiam di wilayah Republik Indonesia.

  Jaminan dalam bentuk perorangan (borgtocht) yang diatur untuk KUHPerdata

  

  mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : 1.

  Jaminan perorangan (borgtocht)mempunyai sifat accesoir.

  Seperti sifat-sifat jaminan pada umumnya, borgtocht bersifat accesoir (tambahan) artinya jaminan borgtocht bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaanya atau hapusnya tergantung dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian hutang.Tidak mungkin ada borgtocht tanpa adanya perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban bagi debitor untuk melunasi hutangnya.

2. Borgtocht tergolong Jaminan Perorangan.

  Borgtocht atau penjamin tergolong pada jaminan yang bersifat perorangan

  yaitu adanya pihak ketiga (orang pribadi atau badan hukum) yang menjamin untuk memenuhi atau melunasi utang debitor apabila debitor cidera janji.Karena borgtocht termasuk jaminan yang bersifat perorangan maka pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu yaitu debitor atau penjaminnya. Kalau dalam jaminan kebendaan seperti gadai, fidusia dan hak tanggungan yang terjadi adalah ikatan antara kreditor dengan benda-benda tertentu sehingga kreditor memperoleh hak atas benda-benda tertentu yang dijaminkan.Sedangkan dalam jaminan perorangan ini ikatan antara kreditor dengan orangnya yang menjamin (ikatan orang).Orang yang menjamin inilah yang harus memenuhi atau melunasi hutang seseorang debitor cidera janji.Apabila seseorang penjamin yang telah mengikatkan diri untuk 48 menjamin hutang debitor tidak memenuhi kewajibannya maka harta kekayaan orang itu yang akhirnya dijual untuk memenuhi hutang debitor.

  3. Borgtocht tidak memberikan hak preferent (diutamakan).

  

Borgtocht tidak memberikan hak preferent artinya apabila seorang penjamin

  tidak dengan sukarela melunasi hutang debitor maka harta kekayaan penjamin itu yang harus dieksekusi.Tetapi harta kekayaan si penjaminbukan semata-mata untuk menjamin hutang debitor kepada kreditor tertentu saja tetapi secara yuridis hartakekayaan penjamin menjadi jaminan atas hutang- hutang kepada semua kreditor. Kalau harta kekayaan si penjamin dilelang maka hasilnya dibagi kepada para kreditor yang ada secara proposional, kecuali penjamin tidak memiliki kreditor lain.

  4. Besarnya penjamin tidak melebihi atau syarat-syarat yang lebih berat perikatan pokok.

  Pasal 1822 KUH Perdata menentukan bahwa seorang penjamin tidak dapat mengikatkan diri atau lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat dari perjanjian kredit.Seorang penjamin dapat mengikatkan diri untuk menjamin sebagian hutang pokok debitor atau sebesar hutang pokok saja atau hutang pokok dan sebagian bunga atau syarat-syarat yang lebih berat dari perjanjian pokok maka hanya sah untuk perjanjian pokok. Dalam praktek di perbankan seorang penjamin biasanya secara tegas menyatakan mengikatkan diri untuk menjamin pelunasan hutang debitor yang besarnya telah ditegaskan dalam perjanjian penjaminan.Misalnya sebesar hutang pokok saja, atau sebesar hutang pokok ditambah sebagian bunga atau hutang pokok atau seluruh hutang pokok dan seluruh bunganya.Adanya sifat ini adalah sebagai konsekuensi perjanjian penjamianan yang bersifat accesoir yang artinya penjanjian penjaminan sebagai perjanjian tambahan yang mengabdi pada perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit, sehingga perjanjian penjaminan tidak bisa melebihi syarat- syarat dari perjanjian kreditnya.

  5. Penjamin memiliki hak-hak istimewa dan tangkisan-tangkisan.

  Seorang penjamin adalah cadangan artinya seorang penjamin itu baru membayar hutang debitor jika debitor tidak memiliki kemampuan lagi. Karena sifatnya sebagai cadangan maka undang-undang memberikan hak- hak istimewa kepada seorang penjamin yang tercantum dalam Pasal 1832 KUHPerdata yaitu : a.

  Hak untuk menuntut agar harta kekayaan debitor disita dan dieksekusi terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya. Bila hasil eksekusi tidak cukup untuk melunasi hutangnya maka baru kemudian harta kekayaan penjamin yang dieksekusi.

  b.

  Hak tidak mengikatkan diri bersama-sama dengan debitor secara tanggung menanggung, maksud hak ini adalah ada kemungkinan penjamin telah mengikatkan diri bersama-sama debitor dalam satu perjanjian secara jamin-menjamin. Ini disebut penjamin soldier (soldaire borgatau hoofdelijke borg). Penjamin yang telah mengikatkan diri bersama-sama debitor dalam satu akta perjanjian dapat dituntut oleh kreditor untuk tanggung-menanggung bersama debitornya masing- masing untuk seluruh hutangnya. c.

  Hak untuk mengajukan tangkisan(Pasal 1849, 1850 KUHPerdata).

  Penjamin mempunyai hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat dipakai debitor kepada kreditor kecuali tangkisan yang hanya mengenai pribadinya debitor (1847 KUHPerdata). Hak mengajukan tangkisan merupakan hak penjamin yang lahir dari perjanjian penjamian. Tangkisan dapat diajukan misalnya perjanjian terjadi karena kesesatan.

  d.

  Hak untuk membagi hutang. Bila dalam perjanjian penjaminan ada beberapa penjaminan yang mengikatkan diri untuk menjamin satu debitor dan hutang yang sama maka masing-masing penjamin terikat untuk seluruh hutang. Artinya penjamin bertanggung jawab untuk menjamin seluruh hutang (1836 KUHPerdata). Namun undang-undang memberikan bagian masing-masing piutang yang dijamin oleh penjamin (1837 KUHPerdata). Hak ini harus diajukan pertama kali pada saat penjamin menjawab tuntutan kreditor.

  e.

  Hak untuk diberhentikan dari penjamin.Seorang penjamin berhak minta kepada kreditor untuk diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin jika ada alasan untuk itu.Alasan yang bisa digunakan sebagai dasar hukum meminta diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukan sebagai seorang penjamin ialah kemungkinan.Hak subrogasi timbul setelah penjamin mambayar atas hutang debitor.Hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena penjamin telah meneliti bahwa jaminan seperti hak tanggungan, hipotik, fidusia dan lainnya yang menjamin hutang tersebut telah hapus atau tidak ada lagi.Tidak adanya jaminan hipotik, hak tanggungan dikarenakan kreditor membiarkan debitor menjual atau menghilangkan jaminan. Dengan kata lain kreditor tidak mengamankan jaminan- jaminan atas hutang debitor ittu sehingga bila penjamin membayar hutang debitor, penjamin yang demi hukum menggantikan hak kreditor (subrogasi) tidak memperoleh jaminan hipotik, hak tanggungan dan jaminan lainnya (1848 KUHPerdata).

  6. Kewajiban penjamin bersifat subsider.

  Sifat perjanjian borgtocht seperti yang dijelaskan di atas bersifat accesoir tetapi dari sudut pemenuhan kewajiban bersifat subsider artinya bahwa kewajiban penjamin untuk memenuhi hutang debitor terjadi manakala debitor tidak memenuhi hutangnya.Bila debitor sendiri telah memenuhi kewajiban utangnya maka penjamin tidak perlu memenuhi kewajiban sebagai seorang penjamin(1820 KUHPerdata).

  7. Perjanjian borgtocht bersifat tegas, tidak dipersangkakan.

  Perjanjian borgtocht harus dinyatakan secara tegas artinya seorang penjamin harus menyatakan secara tegas dalam perjanjian borgtocht tidak dipersangkakan. Pernyataan secara tegas dari seorang penjamin untuk menjamin utang seseorang debitor adalah untuk melindungi kepentingan penjamin sendiri yaitu apa yang ditanggung atau dijamin oleh penjamin dan berapa besarnya yang ditanggung penjamin. Bagi kreditor tidakperlu ada pernyataan secara tegas tetapi yang penting kreditor menerima perjanjian borgtocht.

  8. Penjaminan beralih kepada ahli waris.

  Seorang yang telah mengikatkan diri sebagai penjamin hutang seorang debitor berkewajiban untuk melunasi hutang debitor manakala debitor tidak memenuhinya. Kewajiban seorang penjamin yang menjamin pelunasan hutang debitor akan berpindah kepada ahliwaris manakala penjamin tersebut meninggal dunia. Ketentuan ini sesuai dengan azas hukum pewarisan yang menetukan bahwa ahliwaris akan mewarisi semua hutang-hutangdari seorang pewaris. Kewajiban penjamin untuk memenuhi atau melunasi hutang debitor termasuk hutangdari seorang pewaris.

  Hapusnya penanggungan utang diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata.Di dalam Pasal 1845 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya. Pasal ini menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437, Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal 1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.

  Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi; pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.