BAB II LANDASAN TEORI A. SIKAP 1. Definisi Sikap - Sikap Terhadap Jinamee Tinggi Pada Masyarakat Aceh

LANDASAN TEORI A. SIKAP 1.

   Definisi Sikap

  Hogg (2004) lebih lanjut menjelaskan bahwa sikap adalah perasaan dan kecenerungan perilaku terhadap objek sosial yang signifikan, kelompok, peristiwa, atau simbol. Ia juga mendefinisikan sikap sebagai perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif terhadap orang, objek atau masalah. Baron (2004) juga menyatakan bahwa sikap merujuk pada evaluasi individu terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka individu terhadap isu, ide, orang lain, kelompok sosial dan objek.

  Sementara Fishbein dan Ajzen (2005) menyatakan sikap adalah suatu penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek.

  Terdapat tiga model komponen penyusun sikap (Hogg, 2004). Model komponen sikap yang pertama dikemukakan oleh Thurstone (1928). Ia mendefinisikan sikap sebagai afek yang mendukung atau tidak mendukung terhadap objek psikologis (Hogg, 2004). Secara lebih spesifik, Thurstone (1928) mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif tehadap suatu objek psikologis. Model komponen sikap kedua ditambahkan oleh Allport (1935), yaitu merupakan kesiapan mental untuk mempengaruhi keputusan seseorang mengenai apa yang baik atau buruk, diinginkan atau tidak diinginkan, dan sebagainya. LaPierre (1934) yang juga memperkenalkan model komponen kedua ini menjelaskan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap merupakan respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

  Model komponen sikap yang ketiga menjelaskan bahwa sikapterdiri dari komponen kognitif, afektif dan konatif yang menekankan pikiran (kognitif), perasaan (afektif) dan tindakan sebagai dasar pengalaman manusia (Rosenberg and Hovland, 1960). Lebih lanjut Eagle dan Chaiken (1993) mengemukakan sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap objek yang diekspresikan ke dalam proses kognitif, afektif, dan konatif. Secord & Backman (1964) juga menjelaskan model tiga komponen dimana menurutnya sikap merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

  Hogg dan Vaughan (2002) menyatakan bahwa mengukur sikap bukan merupakan hal yang mudah, karena sikap tidak dapat diobservasi secara langsung. Cara yang paling umum dilakukan untuk mengetahui sikap adalah bertanya langsung pada orang tersebut. Sikap diukur dengan pertanyaan untuk membuat evaluasi positif atau negatif pada objek dijumlahkan), skala Bogardus (skala jarak sosial), skala Osgood (skala diferensi semantik), skala Guttman (scalogram), skala Fishbein, pengukuran fisiologikal, dan mengukur sikap yang terbuka.

  Berdasarkan beberapa penjelasan yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan suatu bentuk evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.

2. Komponen Sikap

  Menurut Eagley & Chaiken (1993) ada tiga komponen pembentuk sikap, yaitu:

  1. Komponen kognitif berkaitan dengan kepercayaan, pendapat, dan penilaian terhadap objek sikap.

  2. Komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau benci, suka atau tidak suka terhadap objek sikap.

  3. Komponen konatif berkaitan dengan maksud perilaku dan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap.

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap (Azwar, 2010):

  Pengalaman Pribadi Apa yang telah dan sedang individu alami akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu tersebut terhadap stimulus sosial.

2. Kebudayaan

  Kebudayaan memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Individu yang hidup dan dibesarkan dalam kebudayaan maka kebudayaan tersebut akan berpengaruh besar terhadap pembentukan sikapnya.

3. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

  Orang lain disekitar individu merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu tersebut.

  4. Media Massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang.

  5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan serta dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, garis pemisah anatara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan

  Pengaruh Faktor Emosional Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh suatu lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang bertahan lama.

B. JINAMEEDAN MASYARAKAT ACEH

  Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak diujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Provinsi Aceh merupakan suatu wilayah Pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Aceh adalah pemeluk agama Islam yang taat. Terdapat 18 Pemerintahan Kabupaten di Aceh saat ini, yaitu Kabupaten Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Bireuen, Gayo Lues, Nagan Raya, Pidie, Pidie Jaya, dan Simeulue; serta 5 Pemerintah Kota yaitu Pemerintahan Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa, dan Subulussalam.

  Suku yang mendiami Provinisi Aceh sejak dahulu adalah suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Aneuk Jame, Suku Kluet, Suku

   Pernikahan Dalam Masyarakat Aceh

  Pernikahan dalam adat Aceh merupakan kegiatan yang tidak hanya menjadi urusan pribadi atau keluarga, tetapi juga menjadi urusan masyarakat setempat. Menurut masyarakat Aceh pernikahan merupakan suatu keharusan yang ditetapkan oleh agama. Pernikahan adalah suatu bentuk hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan wanita yang telah dewasa diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Adapun langkah- langkah pernikahan dalam adat Aceh: a.

  Seulangke. Apabila keluarga laki-laki sudah berketetapan untuk melamar seorang gadis, diutuslah kepada keluarga si gadis seorang seulangke (penghubung). Seulangke ini harus orang yang pandai bicara dan terdiri dari laki-laki atau perempuan. Setelah dikemukakan maksud ini serta lamaran diterima, maka utusan ini kembali.

  b.

  Selanjutnya utusan tersebut kembali datang membawa tanda kongnarit (tanda ikatan) berupa benda-benda berharga, biasanya emas. Apabila tanda ini diterima maka kedua belah pihak telah terikat dengan suatu tali pertunangan. Sekaligus pada saat itu ditetapkan pula waktu dan tanggal pernikahan.

  c.

  Tepat pada waktu pernikahan itu berlangsung, ditetapkan pula jumlah

  jinamee yang harus diserahkan pihak laki-laki.

  d.

  Apabila penentuan mas kawin itu selesai, maka selang beberapa bulan baru pernikahan tersebut dilaksanakan dan diadakan secara besar-

   Adat Menetap Setelah Pernikahan

  Pasangan yang baru menikah akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan sampai saatnya mempunyai anak satu atau dua orang. Pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan kemampuan orang tua pihak perempuan. Pasangan yang telah menikah tersebut juga akan tinggal dirumah orang tua pihak perempuan sampai mereka diberi rumah sendiri. Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga dan yang bertanggung jawab adalah mertua (ayah perempuan).

3. Warisan

  Dalam masyarakat Aceh pembagian warisan dibagi sesuai hukum agama Islam. Namun biasanya, rumah diberikan kepada anak perempuan apabila sebelumnya anak perempuan dan suaminya yang telah menikah tinggal bersama kedua orang tua perempuan tersebut (Sufi, 2004).

  Syamsuddin (2004) juga menyebutkan bahwa anak perempuan lebih diutamakan memperoleh rumah, sehingga rumah tidak menjadi tanggung jawab suaminya.

4. Jinamee Menurut bahasa Jinameeberasal dari kata jame yang berarti tamu.

  (2013) menjelaskan bahwa jinamee adalah sesuatu hak yang diterima oleh

  

dara baro (calon pengantin wanita), dan kewajiban bagi linto baro (calon

mempelai laki-laki). Jinamee ini sama artinya dengan mahar.

  Jinamee di Aceh disimbolkan dalam bentuk emas karena menurut masyarakat Aceh emas merupakan simbol dari kemewahan dan kekayaan.

  

Jinamee ini tidak termasuk dalam seserahan atau hantaran lainnya yang

  berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian, sepatu, tas, kosmetika, dan sebagainya. Rizal (2013) menyebutkan bahwa

  

jinamee merupakan salah satu elemen penting dalam masyarakat Aceh

  dimana agama dan adat berperan didalamnya. Dalam tradisi masyarakat Aceh, tinggi rendahnya jumlah jinamee sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a.

  Faktor keturunan, bagi masyarakat Aceh keturunan merupakan suatu hal yang penting dalam menentukan tinggi rendahnya jumlah jinamee.

  Keturunan yang ada di Aceh dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu; keturunan bangsawan (seperti; Tuanku, Cut, dan Ampon, dan keturunan yang masih dianggap berhubungan dengan keluarga Nabi (Sayed dan Syarifah). Maka dalam tradisi masyarakat Aceh mahar dari keturunan tersebut secara otomatis berbeda.

  b.

  Faktor kondisi keluarga, keluarga dengan latar belakang yang bercukupan dan kaya maka nilai jinamee yang diperoleh akan tinggi. Status sosial, seorang wanita suku Aceh yang memiliki status sosial yang baik di masyarakat maka jinamee yang akan didapatkannya juga tinggi. Ismail dan Daud (2012) budayawan Aceh juga menyebutkan bahwa status sosial seseorang dalam mencari jodoh juga menjadi pertimbangan penting untuk melamar seorang gadis. Orangtua dari pihak laki-laki akan memilih calon menantu yang didasarkan pada garis keturunan si wanita dan status sosialnya dalam masyarakat yang bertujuan untuk mendapatkan menantu dari keturunan yang baik.

  Biasanya wanita yang berasal dari keluarga baik didasarkan pada keluarga yang taat beribadah.

  d.

  Faktor pendidikan, ketika wanita tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang bagus maka nilai jinamee yang akan diperolehnya juga semakin tinggi.

  Faktor-faktor diatas hanya difokuskan kepada perempuan. Semakin tinggi faktor yang disebutkan diatas, maka jumlah jinamee yang akan diperoleh seorang wanita suku Aceh juga akan semakin tinggi. Biasanya jumlah jinamee ditetapkan kira-kira 50 gram sampai 100 gram emas lebih (Syamsuddin, 2004).

C. SIKAP TERHADAP JINAMEE TINGGI PADA MASYARAKAT ACEH Di Aceh mahar untuk pernikahan dikenal dengan sebutan jinamee.

  merupakan adat Aceh ini disimbolkan dalam bentuk emas. Hal ini dikarenakan bagi masyarakat Aceh emas merupakan simbol kemewahan dan kekayaan. Satuan jinamee yang dipakai masyarakat Aceh adalah mayam, satu mayam sama dengan 3,30 gram. Harga emas akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar, sehingga semakin tinggi jinamee maka harga rupiah untuk membeli emas juga akan semakin mahal (Sufi, 2004).

  Jinamee merupakan syarat mutlak bagi pasangan yang menikah di

  Aceh. jinamee tinggi menunjukan harga diri seorang wanita di Aceh dan berupa penghargaan yang diberikan kepada wanita tersebut. Seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita di Aceh biasanya harus sanggup memenuhi permintaan jumlah jinamee dari pihak wanita tersebut. Ada empat faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya jumlah jinamee dalam tradisi masyarakat Aceh, yaitu faktor keturunan, kondisi kehidupan keluarga si wanita, status sosial wanita, dan terakhir faktor pendidikan. Semakin tinggi faktor yang disebutkan, maka semakin tinggilah jinamee yang diperoleh si wanita. Perkembangan zaman saat ini membuat wanita sekarang berbeda dengan dahulu, dimana meningkatnya status sosial dan pendidikan wanita saat ini, sehingga menyebabkan permintaan jumlah jinamee kepada pihak laki-laki juga semakin tinggi (Rizal, 2013).

  Jinamee tinggi ini akan membuat laki-laki semakin bekerja keras demi dapat digunakan oleh si wanita apabila dalam pernikahan suami kehilangan pekerjaan, meninggal, atau terjadi perceraian, maka jinamee tersebut dapat digunakan oleh si wanita.

  Penelitian sebelumnya di Krueng Mane, Aceh utara menunjukkan bahwa jinamee memiliki arti yang sangat besar bagi wanita suku Aceh yakni berupa harga diri seorang wanita. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya yang lebih menentukan adalah jumlahjinamee yang harus dibayar. Jumlah

  

jinamee yang berlaku di Krueng Mane yang diberikan oleh pihak laki-laki

  kepada pihak wanita berkisar 15 mayam, 30 mayam, sampai dengan 50 mayam emas (Ayu, 2010).

  Jinamee tinggi tersebut memiliki maksud dimana sebagai balasannya,

  pihak keluarga perempuan akan memberikan peunulang (pemberian setelah dipisahkan), yaitu berbentuk rumah atau sepetak tanah sawah sesuai dengan kemampuan orang tua si gadis. Pasangan yang telah menikah tersebut juga akan tinggal dirumah orang tua istri sampai mereka diberi rumah sendiri.

  Selama masih bersama-sama tinggal dengan mertua, maka suami tidak mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga, melainkan ayah dari pihak perempuan (Syamsuddin, 2004).

  Sikap merupakan kecenderungan berperilaku terhadap objek sosial yang signifikan, kelompok, peristiwa, atau simbol. Hogg juga mendefinisikan sikap sebagai perasaan atau evaluasi umum yang positif maupun negatif kepercayaan, pendapat, dan penilaian terhadap objek sikap. Kedua, komponen afektif berkaitan dengan emosi, seperti perasaan cinta atau benci, suka atau tidak suka terhadap objek sikap. Yang terakhir, komponen konatif berkaitan dengan maksud perilaku dan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap, Eagley & Chaiken (1993).

  Berdasarkan komunikasi personal dengan beberapa masyarakat Aceh, jinamee tinggi ternyata dapat menghambat pernikahan. Pihak laki-laki juga merasa kesulitan untuk memenuhi permintaan jinamee tinggi tersebut sehingga pernikahan yang harus disegerakan terpaksa ditunda demi tercapainya jumlah jinamee yang diinginkan. Terhambatnya pernikahan juga meningkatkan perzinaan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya laki-laki dan wanita yang melajang di Aceh. Setelah menikah juga dikhawatirkan laki-laki akan berperilaku semena-mena terhadap istrinya karena merasa telah memberikan jinamee yang tinggi.

  Sikap positif terhadap jinamee tinggi pada masyarakat Aceh terbentuk ketika masyarakat Aceh memiliki pemikiran, perasaan, dan perilaku yang mendukung jinamee tinggi tersebut. Sementara sikap negatif terhadap

  

jinamee tinggi pada masyarakat Aceh terbentuk masyarakat Aceh memiliki

  pemikiran, perasaan, dan perilaku yang tidak setuju terhadap jinamee tinggi tersebut.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Kapasitas Daya Dukung Tiang Pancang Tunggal dengan Panjang Tiang 21 meter dan Diameter 0,6 meter Secara Analitis dan Metode Elemen Hingga (Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu Lokasi Jembatan Sei Bat

0 1 129

BAB I PENDAHULUAN - Analisis Kapasitas Daya Dukung Tiang Pancang Tunggal dengan Panjang Tiang 21 meter dan Diameter 0,6 meter Secara Analitis dan Metode Elemen Hingga (Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu Lokasi Jembatan Sei Batu Ging

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas AntioksidanN Ekstrak Etanol Daun Cincau Perdu

0 1 10

BAB II PENGATURAN - Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dalam Penyelesaian Sengketa Antar Negara Anggota ASEAN.

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Appendiks 2.1.1. Anatomi - Karakteristik Penderita Penyakit Appendicitis Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2007-2011

0 0 19

II. Petunjuk Pengisian - Pengaruh Atribut Produk dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Luwak White Koffie pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

0 0 11

Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

0 1 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air - Efektifitas Proses Elektrokoagulasi Terhadap Penurunan Kadar Besi Air Sumur

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat - Peran Al Washliyah Dalam Pendidikan Politik Di Sumatera Utara

0 1 43