Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

(1)

ANALISA HUKUM PIDANA TERHADAP PUTUSAN BANDING PENGADILAN TINGGI MEDAN TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

OLEH :

NIM : 050200366 INDRA SAKTI BATUBARA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISA HUKUM PIDANA TERHADAP PUTUSAN BANDING PENGADILAN TINGGI MEDAN TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

SKRIPSI OLEH :

INDRA SAKTI BATUBARA NIM : 050200366

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP : 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH.MH

Dosen Pembimbing I : Dosen Pembimbing II :

Dr. M. Hamdan, SH.MH Edi Yunara, SH.M.Hum NIP : 195703261986011001 NIP : 196012221986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ANALISA HUKUM PIDANA TERHADAP PUTUSAN BANDING PENGADILAN TINGGI MEDAN TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

OLEH :

NIM : 050200366 INDRA SAKTI BATUBARA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

ABSTRAK

Perdagangan orang (trafiking) telah lama menjadi masalah di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang (trafiking) adalah kejahatan yang terorganisir di lakukan dengan cara-cara konvensional dengan cara bujuk rayu sampai cara-cara modren, misalnya melalui iklan-iklan di media cetak dan elektronik.Korban trafiking pada umumnya berasal dari keluarga ekonomi lemah, berpendidikan rendah, dari pinggiran kota dan pedesaan, meskipun tidak tertutup kemungkinan ada dari keluarga ekonomi menengah keatas.

Dalam KUHP terdapat pasal-pasal tentang perdagangan orang antara lain:Pasal 289 KUHP, 295 KUHP, 296 KUHP, 297KUHP. Hak Asasi di suatu negara berbeda dengan di negara lain balam praktek penegakan hukumnya maupun dalam bentuk perlindungan dan pelaksanaan hukumnya.


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan Mengucapkan Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena Kasih –Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Huku m.

Sehingga dalam rangka memenuhi kewajiban akademik tersebut penulis mengajukan skripsi berjudul “ANALISA HUKUM PIDANA TERHADAP PUTUSAN BANDING PENGADILAN TINGGI MEDAN TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ( Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan NO : 743/pid/2008/PT-Mdn )” yang dibuat mengikuti kaidah yang baik dan benar.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari bukan hanya bersandar pada kemampuan penulis semata tetapi tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dariberbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini dengan kerendahan dan ketulusan penulis memberikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr.M.Hamdan, SH.MH selaku dosen Pembimbing I sekaligus Ketua Departemen Hukum pidana yang memberikan arahan dan masukan yang telah meluangakan waktunya kepada penulis.

3. Bapak Edi Yunara,SH.M.Hum selaku dosen pembimbing II yang memberikan arahan dan masukan yang telah meluangakan waktunya kepada penulis.

4. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa dalam memberikan arahan, bimbingan serta keteladanan dalm mengajarkan ilmu pengetahuannya selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga buat kedua orang tua penulis tersayang yang telah memberikan


(6)

doa, semangat dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.Tampa mereka saya bukan apa-apa.

6. Serta kedua kakakku yang telah memberikan doa, semangat dan dorongan.

7. Kepada buat seluruh warga parkiran dan teman seperjuangan (woi aq SH juga ahirnya)

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.Amin

Medan,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

1. Pengertian Putusan Banding...8

2. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana... 9 3. Pengertian Pengadilan Tinggi... 13 4. Pengertian Membantu Melakukan...14

5. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang... 1

F. Keaslian Penulisan ... 20

G. Metode Penulisan ...21

H. Sistematika Penulisan ...21

BAB II : TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA... 22


(8)

A. Pengaturan perdagangan orang menurut KUHP ...22

B. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia ... 27

C. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU PTPPO ) ... 35 D. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pencegahan

Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak Sumatera Utara ...43

BAB III : UPAYA PENANGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA ……...50

A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Orang ……. 50 B. Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang ... 53 C. Upaya Penaggulangan Perdagangan Orang ... 55

BAB IV :ANALISA PUTUSAN PENGADILAN ... 63 PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG BALAI

No:309/Pid.B/2008/PN-TB... 63 A. PUTUSAN PENGADILAN TINGGI

MEDAN No : 743/Pid/2008/PT-Mdn ... 70 B. ANALISA PUTUSAN BANDING PENGADILAN TINGGI MEDAN No : 743/Pid/2008/PT-Mdn... 75


(9)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79


(10)

ABSTRAK

Perdagangan orang (trafiking) telah lama menjadi masalah di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang (trafiking) adalah kejahatan yang terorganisir di lakukan dengan cara-cara konvensional dengan cara bujuk rayu sampai cara-cara modren, misalnya melalui iklan-iklan di media cetak dan elektronik.Korban trafiking pada umumnya berasal dari keluarga ekonomi lemah, berpendidikan rendah, dari pinggiran kota dan pedesaan, meskipun tidak tertutup kemungkinan ada dari keluarga ekonomi menengah keatas.

Dalam KUHP terdapat pasal-pasal tentang perdagangan orang antara lain:Pasal 289 KUHP, 295 KUHP, 296 KUHP, 297KUHP. Hak Asasi di suatu negara berbeda dengan di negara lain balam praktek penegakan hukumnya maupun dalam bentuk perlindungan dan pelaksanaan hukumnya.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

.Perdagangan orang (trafiking) telah lama terjadi dimuka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia, harkat dan martabat manusia yang dilindungi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Dimasa lalu perdagangan orang hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi, kerja paksa secara ilegal sudah berlangsung lama.

Perdagangan orang adalah : kejahatan yang terorganisir dilakukan baik dengan cara-cara konvensional dengan cara bujuk ragu para (perekrut tenaga kerja di tingkat desa) sampai cara-cara modern, misalnya melalui iklan-iklan di media cetak dan elektronik.Pelaku mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari daerah/negara asal korban sampai ke daerah / negara tujuan;

Jaringan pelaku memanfaatkan kondisi dan praktek sosial di daerah negara asal korban dengan janji-janji muluk dan kemudian memeras korban baik secara fisik maupun seksual1

Dalam Protokol Palermo perdagangan orang didefinisikan sebagai: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan

.

1

Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Jakarta,IOM 2009), hal 18


(12)

seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberikan atau menerima pembayaran sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, paling tidak eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari ekspolitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh.

Penyebaran kasus trafiking hampir merata di seluruh wilayah Indonesia baik di kota-kota besar maupun di pedesaan. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban trafiking, hal ini akan mengancam kualitas penerus bangsa serta memberi dampak negatif bagi bangsa yang mengalaminya dimata dunia.

Trafiking in person (TIP) Report yang dikeluarkan oleh Department of State, USA, tahun 2002; memposisikan Indonesia pada Tier III (terburuk ke III) artinya Indonesia dievaluasi sebagai negara pemasok perdagangan perempuan dan anak, berkomitmen rendah, kurang serius dan kurang kepeduliannya dalam pemberantasan Kasusnya banyak tetapi belum ada upaya strategis yang dilaksanakan. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa.

Laporan Komisi Tinggi Urusan HAM PBB yang dikeluarkan tanggal 3 Juni 2005, memposisikan Indonesia pada Tier II (terburuk ke II), artinya Indonesia telah dinilai selangkah lebih maju dalam melakukan langkah dan upaya


(13)

signifikan untuk pemberantasan perdagangan orang dan memenuhi standart minimum yang ditetapkan walaupun belum sepenuhnya.

Perdagangan perempuan dan anak mempubnyai jaringan yang sangat luas. Praktek perdagangan orang dan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, kebanyakan korbannya adalah anak-anak perempuan.Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun belakanganan ini sejumlah besar anak-anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos, telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi, baik anak laki-laki maupun anak perempuan dari daerah pedalaman yang miskin2

Salah satu daerah yang menyimpan banyak permasalahan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak di Indonesia adalah daerah Propinsi Sumatera Utara. Hal ini dikarenakan Propinsi Sumatera Utara dalam praktek perdagangan (trafiking) perempuan dan anak memiliki tiga fungsi strategis, yaitu sebagai daerah asal (sending area), daerah penampungan sementara (transit) dan juga sebagai daerah tujuan trafiking. Disisi lain berkaitan dengan posisi geografis daerah Sumatera Utara yang strategis dan mempunyai aksesibilitas tinggi ke jalur perhubungan dalam dan luar negeri serta kondisi perkembangan daerah Sumatera Utara yang cukup baik di berbagai bidang. Dari 28 Kabupaten/Kota se Sumatera Utara, yang teridentifikasi daerahnya rawan Trafiking sebanyak 12 Kabupaten Kota, antara lain : Medan, Binjai, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu

.

2

Chairul Bariah, Aturan-Aturan Hukum Trafiking ( Perempuan dan Anak),( USU Press, 2005), hal 2.


(14)

Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu, Pematang Siantar dan Simalungun.3

3

Emy Suryana, Implementas Kebijakan Pemeritah Provinsi Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Trafking Perempuan dan Anak, 2009, hal 6

Klasifikasi yang termasuk daerah Sumber : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Simalungun, Binjai, Pematang Siantar, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai, Langkat, Tebing Tinggi, Labuhan Batu. Daerah Transit: Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Batu Bara, Tanjung Balai dan Kabupaten Labuhan Batu. Daerah Tujuan/Penerima : Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi dan Simalungun.

Bentuk praktek Trafiking yang ditangani di Sumatera Utara diantaranya adalah trafiking untuk prostitusi/pelacuran, perdagangan bayi, pekerja rumah tangga, pekerja jermal dan penipuan buruh migran. Namun dari sejumlah data dan bentuk praktek trafiking yang berkembang sebagian besar kasusnya adalah untuk pelacuran, mulai dari trafiking domestik maupun lintas negara. Modus operandi sebagian besar bujukan/iming-iming, yang merupakan pembohongan/penipuan, dan modus operandi yang berkembang adalah menebar perangkap ke zone-zone publik, seperti stasiun KA, terminal bus, pelabuhan, ke desa/kelurahan, pinggiran kota bahkan dipusat kota dan lain-lain.

Korban trafiking pada umumnya berasal dari keluarga miskin/lemah ekonomi, berpendidikan rendah/lemah emosional, dari pinggiran kota dan pedesaan, meskipun tidak tertutup kemungkinan ada dari keluarga ekonomi menengah keatas di perkotaan.


(15)

Seperti kita ketahui salah satu faktor terjadinya trafiking adalah kemiskinan dan pendidikan rendah. Kondisi seperti ini cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis dengan memangsa perempuan dan anak, karena mudah diiming-imingi/bujukan, ditakut-takuti, dibohongi, ditipu, dan pekerja dengan upah murah. Selain itu terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia menyebabkan perempuan dan anak cenderung ingin menjadi TKI/TKW ke Luar Negeri, dengan tujuan memperoleh penghasilan untuk menutupi beban ekonomi keluarga.

Disisi lain ada persepsi masyarakat bahwa bekerja ke luar negeri akan mendapatkan gaji yang relatif lebih besar sekalipun sebagai pembantu rumah tangga, dibandingkan bekerja di dalam negeri. Kondisi seperti ini selalu dimanfaatkan oleh sindikat trafiking untuk mengeksploitasi perempuan dan anak dalam posisi dikendalikan, meskipun perjanjian kerja yang dijanjikan tidak sesuai, bahkan mereka dieksploitasi menjadi pelacur baik diluar negeri maupun di dalam negeri.4

Situasi semacam inilah yang merupakan santapan bagi sindikat trafiking untuk melakukan perekrutan, bahkan nyaris jauh dari jangkauan hukum. Biasanya sindikat diawali dengan transaksi utang piutang antara pemasok/agen tenaga kerja ilegal dengan korban/keluarga. Jika korban/keluarga tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati maka keluarga terpaksa mengorbankan perempuan dan anak untuk pelunasannya, karena pelakunya selalu melibatkan orang-orang terdekat, kuat, berpengaruh di dalam masyarakat, seperti keluarga terdekat, tetangga, teman, orang yang berpengaruh/dipercaya.

4


(16)

Modus operndi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawani, atau memacari, menculik, menyekap atau memperkosa.5

Pemerintah Indonesia baru menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UUPTPPO), tanggal 19 April 2007 setelah melalui proses advokasi dan pembahasan cukup panjang dan sangat komprehensif dalam melindungi korban perdagangan orang dengan setelah terbit Perda Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafing) Perempuan dan Anak

Oleh karena itu kasus trafiking sulit untuk diketahui dan diberantas. Maka perlu tindakan serius dan komitmen dengan melibatkan seluruh komponen bangsa untuk memerangi dan memberantasnya.

Kebijakan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam upaya penghapusan perdagangan (trafiking) salah satunya dengan mengeluarkan Perda No. 6 Tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak dan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak dan dalam Peraturan Gubsu tersebut terbentuk Gugus Tugas Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (RAP-P3A), sebagaimana yang diamanatkan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) perempuan dan anak (RAN –P3A).

5

http//intelektualhukum.wordpress.com/perdagangan –trafiking-anak-dan-perempuan, diekses Senin. tanggal 20 Februari 2012/ 19.45 WIB.


(17)

Berdasarka penjelasan diatas, maka penulis akan melakukan studi analisa kasus pada memilih judul pembahasan : “ Analisa Hukum Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Nomor : 743/Pid/2008/PT-Mdn.)”

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum perdagangan orang di Indonesia 2. Bagaimana upaya penanggulangan perdagangan orang

3. Analisa kasus putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 743/Pid/2008/PT- Medan

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan hukum perdagangan orang menurut Undang-Undang nomor 21 tahun 2007

2. Untuk mengetahui upaya penanggulangan perdagangan orang

3. Analisa kasusu putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 743/Pid/2008/PT-Medan


(18)

Penulisan skripsi ini diharapakan dpat memberi manffat untuk :

1. Manfaat teoritis

Penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan masukan dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana membantu perdagangan orang yang dewasa ini banyak terjadi. Dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum di Indonesia

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis,penulisan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan tentang kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi dewasa ini dan bagaimana upaya pencegahan sehingga kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang tidak akan terjadi lagi. Dan juga sebagai pedoman dan masukan baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam memberantas tindak pidana perdagangan orang.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Putusan Banding

Dalam huku m, banding artinya proses menentang keputusan hukum secara resmi. Prosedur banding, termasuk apakah seorang terdakwa memiliki hak banding, berbeda-beda di setiap negara.

Di Indonesia banding diajukan di Pengadilan Tinggi yang terletak di ibukota provinsi. jika banding dimohonkan perkara menjadi mentah kembali. Banding


(19)

dilakukan oleh pihak yang berkepentingan (pihak yang dikalahkan oleh putusan Pengadilan Negeri).

Pihak yang mengajukan banding adalah pihak yang berkepentingan.Hal ini berarti,bahwa pihak yang dikalahkan yaituyang gugatantannya dititolak atau dikabulkan sebagian atau yang gugatannya tidak diterima atau ditolak.Banding untuk melengkapi bila putusan PN (pengadilan Negeri) itu salah atau kurang tepat dan menguatkan putusan PN jika putusan PN benar.

Tenggang waktu banding adalah 14 hari semenjak pengumuman putusan PN.

2 Pengertian pidana dan tindak pidana

Ada beberapa pengertian pidana menurut sarjana-sarjana yaitu :

a Sudarto mengatakan yang dimaksud dengan pidana adalah “ Penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbutan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.6

b Van Hamel menyatakan arti pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas norma negara sebagai penanggung jawab ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah malanggar suatu perauran hukum yang harus ditegakkan.

7

6

Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 1992, hal 2

7


(20)

c Menurut Simon, pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.8

c Pidana dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

a Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b Pidana diberikan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

9

Dalam rumusannya straffbaar feit adalah “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannyadan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.10

1. Untuk adanya suatu straafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

Alasan dari Simons mengapa harus dirumuskan seperti diatas karena :

8

Ibid, hal 34 9

Muladi Barda Nawawi Arief, ibid,, hal 4

10 .S.T. Kansil & Chistine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cetakan I, ( Jakarta; PT. Pradnya Paramita, 2004), hal.37


(21)

2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

3. Setiap straafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechmatige handeling.

Sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.

b Pengertian Tindak Pidana

Dalam hukum pidana, istilah tindak pidana berasal dari hukum pidana Belanda yaitu: Starfbaar feit, demikian juga dalam Wvs Hindia Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit,

Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu. Sayangnya sampai kini belun ada keseragaman pendapat.11

a Pompe,

Para ahli memberikan arti dari istilah terrsebut yaitu : 12

11

Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori, Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidanan, Raja Grafindo Persada, 2002, Hal 67

merumuskan Strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum),terhadap nama pelaku , mempunyai kesalahan


(22)

untuk pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum,

b Van Hamel 13

c Kepustakaan hukum pidana juga sering menggunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana, atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

merumuskan Strafbaar feit sama dengan yang dirumuskan Simons, hanya menembahkan dengan kalimat “ tundakan mana bersifat dapat dipidana

14

e Menurut Ruslan Saleh, menggunakan istilah perbuatan pidana, misalnya dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.

15

Bahwa ketika undang-undang memformulasikan berbagai bentuk tindak pidana serta unsur-unsurnya, maka dalam bagian umum pada suatu undang-undang dalam hukum pidana ,untuk menyatakan bersalah menurut hukum pidana menjatuhkan sanski pidana pada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan umum tentu akan sulit. Tetapi tetap dapat mengandaikan sistem unsur-unsur perumusan tindak pidana pada pihak lain, sebagaimanan fiuraikan lebih lanjut melalui doktrin dan putusan-putusan pengadilan falam prateknya berfungsi dengan cukup baik sehingga tidaj menimbulkan banyak konflik

16

Analisa hukum pidana merupakan sebuah proses menganalisa ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada beserta segala sesuatu yang terkait didalamnya.

12

Pompe, Handboek v/h Ned Strafrecht, hal 1 13

Van Hamel,Inleiding t/d Studies v/h Ned Sr, dalam buku E,Y Kamter dan S.R Sianturi, hal 205

14

Bambang Poernomo,Asas-asas Hukum Pidana, ( Jakarta, 1985), hal 90 15

Ibid 16


(23)

Ketentuan hukum pidana ini juga mempunyai pengertian yang berdekatan dengan sistem hukum dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti sebagai suatu usaha guna mengendalikan kejehatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat17

Salah satu aspek hukum pidana bermaksud melindungi kepentingan/benda hukum dan hak asasi manusia dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang dilarang, namun dilain pihak hukum menerapkan sanksi (pidana/tindakan) kepada pelanggar norma. Sifat paradoksal hukum pidana ini sering digambarkan dengan ungkapan yang sangat terkenal “ Perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum), oleh karena itu sering dikatakan, bahwa ada sesuatu yang menyedihkan dalam hukum pidana, sehingga hukum pidana sering dinyatakan sebagi “ pedang bermata dua”.

.

18

17

Mardjono Reksodipotro, Hak Asasi Dalam Sistem Peradilan Pidana, ( Jakarta: Universitas Indonesia, 1977), hal 8

18

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana. ( Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998), hal 17

Hermien Hadiati Koeswadji, mengatakan bahwa fungsi hukum pidana dalam masyarakat yang sedang mengalami proses modernisasi atau proses berkembang erat kaitannya dengan kegunaan hukum dalam proses tersebut. Kegunaan itu pada a Membentuk hukum baru


(24)

c Memperjelas batasan ruang lingkup fungsi hukum yang sudah ada, Hal ini sangat bergantung pada hakikat dan fungsi hukum dalam masyarakat yang bersangkutan19

Beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Pradilan Umum, pada pasal 4

.

Rumusan-rumusan yang diberikan para sarjanan tersebut tebtunya ada perbedaan satu sama lin, walaupun pada intinya memberikan suatu rumusan yang nenyatakan perbuatan itu merupakan perbuatan yang melawan hukum

3. Yang dimaksud Pengadilan Tinggi

Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Dua Atas Undang-Undang nomor 2 tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yaitu:

“Pengadilan adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum.”

Selanjutnya pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa Hakim adalah hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi.

19

Hermien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Perkembangan Hukum Pidana, ( Bandung: Citra Adtya Bakti, 1995), hal 121


(25)

ayat (2) menyatakan bahwa :Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi

Pada Bab III Undang-Undang nomor 2 tahun 1986, pasal 50 menyatakan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidan dan perkara perdata di tingkat pertama.

Pasal 51 ayat (1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding.

Perkara banding diajukan di Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di ibukota Provinsi dimohonkan perkara oleh pihak yang berkepentingan atau pihak yang dikalahkan oeh putusan Pengadilan Negeri, tenggang waktu banding 14 hari sejak di putuskan oleh putusan Pengadilan Negeri.

4. Pengertian membantu melakukan

Berdasarkan fakta hukum pada pasal 4 jo pasal 10 Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan orang nomor 21 tahun 2007, yaitu membantu melakukan, memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. unsur setiap orang

2. unsur membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang

3. unsur membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi diluar wilayah negara Republik Indonesia.


(26)

Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang, bahwa yang tentang kemampuan bertanggung jawab ditegaskan dalam memorie van toelichting (MvT), bahwa setiap orang secara historis kronologis merupaka subjek hukum yang dengan sendirinya telah melekat dengan kemampuan bertanggung jawab, kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain, serta identitas lainnya sama dengan yang tersebut dalam surat dakwaan, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta dapat menjawab dengan tanggap.

a.d. 2 Unsur membantu membawa Warga Negara Indonesia ke luar Wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar Wilayah Negara Republik Indonesia ;

Yang dimaksud dengan eksploitasi ialah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplatasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan

Pasal 4 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang nomor 21 tahun 2007 menyatakan bahwa “ Setiap orang yang membawa orang Indonesia ke luar wilayah Republiik Indonesia dengan maksud untuk di eksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana


(27)

denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Memperhatikan dalam tindak pidana perdagangan orang, pasal 546 RUU KUHP Tahun 2006, jika dirinci terdiri dari 3 bagian yaitu:

1. Setiap orang yang melakukan: perekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang;

2. Dengan menggunakan: kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang;

3. Untuk tujuan: mengeksploitasi, atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.20

5 Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Ada beberapa definisi mengenai pengertian perdagangan orang yang diatur dalam berbagai konvensi dan aturan- aturan lainnya yaitu :

a Pasal 1 ayat (1) Bab I tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan

“ Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,

20

Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai


(28)

penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekspolitasi”

b Menurut Traffiking Victims Protection Act (TVPA), Undang- undang Perlindungan Korban Perdagangan Orang Amerika Serikat, menyebutkan perdagangan orang adalah:

(a) perdagangan seks, dimana tindakan seks komersil diberlakukan secara paksa dengan cara penipuan, atau kebohongan atau dimana seseorang diminta secara paksa melakukan suatu tindakan sedemikian, belum mencapai usia 18 tahun atau

(b) merekrut, menampung, mengangjut, menyediakan atau mendapatkan seseorang, untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, penjerataan hutang atau perbudakan.21

“Perdagangan orang adalah rekruitmen, transportasi, pemundhan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, posisi rentan, ataupun menerima bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut, untuk

(c) Menurut Majelis Umum PBB nomor 49/166 tahun 2000 bahwa:

21


(29)

kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk ekspolitasi seksuallainnya, kerja atau peleyanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.”22

1 Adanya tindakan atau perbuatan, seperti perekrutan, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang.

(d) Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan ( Trafiking) Perempuan danAnak, menyatakan bahwa:

“Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak”

Dari definisi-defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perdagangan orang adalah sebagai berikut”

2 Dilakukan dengan cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan, pemberian atau penerimaan pembayaran/keuntungan untuk memperoleh persetujuan.

22

ACILS-IMC-USAID, Panduan Penanganan Anak Korban Perdagangan Manusia, (Bandung: Lembaga Advokasi Hak Anak, 2003), hal 1


(30)

3 Ada tujuan dan maksud yaitu untuk tujuan skspolitasi dengan maksud mendapatkan keuntungan dari orang tersebut.23

Dari pengertian tindak pidana perdaangan orang dapat dirinci hal-hal penting sebagai berikut :

1 Bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formal, karena mendeskripsikan tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang

2 Tindak pidana perdagangan orang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfataan posisi rentan atau penjeratan utang.

3 Sanksi yang diancam lebih berat dibandingkan dengan pasal 297 KUHP. Sanksi diancam dengan pidana minimal dan pidana maksimal termasuk denda

4 Kejahatan pada tahapan-tahapan tersebut bilamana belum dapat dikategorikan sbagai tarfiking, maka dapat diancam dengan pasal 295, 296, 297, dan 506 KUHP.24

F. Keaslian Penulisan

Judul skripsi ini adalah “ Analisa Hukum Pidana Tentang Membantu Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan nomor : 743/Pid/2008/PT-Medan).”

23

Ibid, hal 11 24

Penanganan Kasus-Kasus Trafiking Bersfektif Gender Oleh Jaksa dan Hakim, USAID, (Malang: Penerbit IKIP, 2006), hal 41


(31)

Adalah membahas tentang putusan kasus tindak pidana membantu perdagangan orang. Sepengetahuan penulis, judul ini belum ada yang membahasnya, tidak ada kesamaan judul skripsi dengan judul-judul skripsi sebelumnya, dan apbila ternyata dikemudian hari terdapat juduk dengan pembahasan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab terhadap skripsi ini.

G. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini mempergunakan dengan cara menganalisa kasus putusan Pengadilan Tinggi Medan, dengan melakukan penelitian bahan pustaka atau data sekunder, dapat disebut dengan penelitian hukum normatif.disamping itu adanya penelitian huku m sosiologi empiris yang meneliti data primer.

Berdasarkan jenis penelitian hukum tersebut, tipe hukum ini adalah penelitian dengan tipe hukum normatif.

H. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan memaparkan, mengembangkan, lalu membahas secara sistematis dan terperinci, maka berikut ini penulis membuat sistematika penulisan/gambaran isi skripsi ini.


(32)

BAB I: Adalah merupakan bab merupakan pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan dan tinjauan kepustakaan yang akan membahas, dan tindak pidana, definisi tindak pidana perdagangan orang, yang diakhiri dengan metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Pada bagian ini akan dibahas mengenai tindak pidana perdagangan orang yang diatur menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),dan dalam Undang-Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan instrumen Internasional yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.

BAB III: Pada bab ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang, bentuk-bentuk perdagangan orang, upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang

BAB IV: Pada bab ini akan menguraiakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisa Kasus Pengdilan Negeri Tanjung Balai Nomor 309/ PID.B/PN-TB dan Kasus Putusan Banding di Pengadilan Tinggi Medan No.743/Pid/2008/PT-Mdn BAB V: Pada bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari dari tujuan penulisan skripsi ini, serta saran-saran penulis.


(33)

BAB II

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

A Pengaturan perdagangan orang menurut KUHP

Dalam Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan mengenai makna ”perniagaan”. Terhadap pasal ini R.Soesilo berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “ perniagaan atau perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan untuk pelacuran. Dalam KUHP terdapat pasal-pasal tentang perdagangan orang yang relevan antara lain :

1. Pasal 289 KUHP menyatakan bahwa : Barangsiapa dengan kekerasan memaksa sesorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun karena melakukan perbuatan menyerang kehormatan kesusilaan .

Tentang perbuatan cabul disini termasuk persetubuhan, yang dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang,untuk perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul .25

2. Pasal 295 KUHP menyatakan memfasilitasi (memudahkan) perbuatan asusila dengan orang belum dewasa (anak-anak)

3. Pasal 296 KUHP menyatakan : Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dan menjadikannya sebagai

25. R. Soesilo ,Kitab Undang –Undang Hukum Pidana ( KUHP ) SERA Komentar –Komentar Lengkap dengan Pasal demi pasal ( Bogor: Poltitea, 1994), hal 212


(34)

pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana paling lama satu (1) tahun empat (4) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 15.000,-.

4. Pasal 297 KUHP menyatakan : Perdagangan perempuan dan perdagangan laki laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam (6) tahun.

Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang yaitu:

1. Pasal 324 KUHP, perdagangan budak belian

Barangsiapa dengan ongkos sendiri atau ongkos orang lain menjalankan perniagaan budak belian atau melakukan perbuatan perniagaan budak belian atau dengan sengaja turut campur dengan segala sesuatu itu, baik dengan langsung maupun dengan tidak langsung, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun umum dari bentuk-bentuk khusus perdagangan perempuan untuk tujuan tujuan seksual (Pasal 297 KUHP).

2. Pasal 328 KUHP, penculikan

Barangsiapa melarikan orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, dengan maksud melawan hak akan membawa orang itu dibawah kekuasaan sendiri atau dibawah kekuasaan orang lain atau akan dijadikan dia jatuh terlantar, dihukum karena melarikan (menculik) orang, dengan hukuman penjara selama-lamanya duabelas (12) tahun penjara.

Ketentuan ini berkenaan dengan bentuk khusus kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang yakni dengan maksud melawan hak membawa seseorang dibawah kekuasaannya sendiri atau kekuasaan orang lain atau untuk menelantarkannya.


(35)

Perbuatan yang dimaksud dalam pasal ini harus merupakan tindakan penguasaan terhadap orang yang dilarikan atau dibawa :

a. atas perintah yang ditaati, atau

b. atas paksaan secara fisik atau cara pemerasan, atau

c. mengikuti tindakan pidana penculikan dalam konteks kejahatan trafiking terjadi dalam penculikan anak dan penghilngan asal usulnya untuk dijadikan pengemis atau penculikan bayi untuk diperjualbelikan baik untuk kepentingan adopsi ilegal (melanggar ketentuan tentang prosedur adopsi yang sah) maupun untuk transplantasi organ (lihat UU Kesehatan). 3. Pasal 329 KUHP, membawa pekerja ke tempat kerja lain daripada yang

diperjanjikan.

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membawa orang ke tempat lain daripada yang dijanjikan , yaitu orang yang telah membuat perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan dalam suatu tempat tertentu, dihukum penjara selama- lamanya, tujuh tahun.

Unsur-unsurnya objektif ádalah: a. Membawa ke daerah lain seseorang.

b.Telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu ditempat. Subjektif : Dengan sengaja dan melawan hukum.

Yang dimaksud dengan mengangkut orang ke daerah lain dalam pasal ini yaitu memindahkan seseorang dari daerah asalnya ke daerah dimana ia dijanjikan untuk dipekerjakan.


(36)

4 Pasal 330 KUHP, melarikan orang yang belumdewasa dari kekuasaan orang yang berhak.

(1) Barangsiapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan penjagaan itu, dihukum penjara selama- lamanya tujuh tahun. (2) Dijatuhkan hukuman penjara selama- lamnya sembilan tahun, jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipudaya, kekerasan, atau ancaman dengan kekerasan atau kalau orang yang belum dibawa umurnya dibawah duabelas tahun. Ketentuan ini melindungi kepentingan orang-orang yang memiliki kuasa yang sah (orangtua, wali) atas anak-anak di bawah umur. 5 Pasal 332 KUHP, melarikan perempuan

(1) Dihukum karena melarikan perempuan:

1e. Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, barangsiapa melarikan perempuan yang belum dewasa tidak dengan kemauan orangtuanya atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan maksud akan mempunyai perempuan itu, baik dengan nikah, maupun tidak dengan nikah.

2e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, barangsiapa melarikan perempuan dengan tipu, kekerasan atau ancaman dengan maksud akan mempunyai perempuan, baik dengan nikah maupun tidak dengan nikah. Unsur-unsur khusus pasal 332 KUHP yaitu :


(37)

Ayat 1 : sejak berlakunya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka orang belum dewasa (anak) adalah mereka yang belum mencapai umur 18 tahun, pernikahan tidak mengubah status belum dewasa. Undang-Undang Perlindungan Anak mengesampngkan semua ketentuan tentang batasan umur dewasa, termasuk ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974.

”tidak dengan kemauan orangtuanya atau walinya, kemauan tersebut tidaklah perlu dinyatakan secara tegas, hal serupa berlaku pula bila tidak ada kemauan yang diungkapkan ”.

Ayat 2. tipu, kekerasan atau ancaman kekerasan, karena ayat 1 sub 2 berkenaan dengan melarikan perempuan tanpa persetujuannya, tipu atau ancaman kekerasan itu harus ditujukan kepada si perempuan tersebut.

Pengaduan harus diajukan oleh :

a. Jika perempuan itu di bawah umur, oleh dirinya sendiri atau oleh orang yang persetujuannya disyaratkan bila ia ingin menikah.

b. Jika perempuan itu telah dewasa,boleh dirinya sendiri atau oleh suaminya. 11 Pasal 333 KUHP, dengan sengaja dan tanpa hak merampas kemerdekaan seseorang.

Ayat 1: Barangsiapa dengan sengaja menahan ( merampas kemerdekaan ) orang atau meneruskan tahanan itu dengan melawan hak, dihukum penjara selama-lamanya delapan tahun.

Ayat 2 : jika perbuatan itu menyebabkan luka berat sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.


(38)

Ayat 3 : jika perbuatan itu menyebabkan kematian orang, ia dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.

Ayat 4. hukuman yang ditentukan dalam pasal ini dikenakan juga kepada orang yang sengaja memberi tempat untuk menahan (merampas kemerdekaan) orang dengan melawan hak.

6. Pasal 506 KUHP, barangsiapa sebagai mucikari, mengambil untung dari pelacuran perempuan dihukum kurungan selama – lamnya 3 bulan.

Unsur – unsur khusus pasal 506 KUHP yaitu:

a. mucikari adalah orang yang mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan.

b. keuntungan adalah segala hal yang dapat dinilai dengan uang

Pasal ini melarang aktivitas perantara yang secara sengaja mengorganisasikan dan menyediakan fasilitas–fasilitas bagi kegiatan seksual, seperti germo, atau mucikari, mami, pemilik usaha, wanita panggilan .26

Hak Asasi di suatu negara berbeda dengan di negara lain dalam praktek penegakan hukumnya maupun dalam bentuk perlindungan dan pelaksanaan hukumnya. Hak Asasi yang harus ditegakkan itu haruslah disertai dengan perlindungan hukum baik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan, bahwa B. Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia.

26

. Hull.T. Sulistyaningsih, E dan Jones, Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal 24..


(39)

Hak Asasi Manusia itu berlaku universal untuk semua orang dan di semua negara, namun demikian praktek penegakan, pemajuan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia di suatu negara berbeda dengan negara lain.

Di Indonesia Hak Asasi itu sudah dikenal secara formal, yaitu di dalam Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pembukaannya. Namun masih banyak hal yang menyangkut Hak Asasi Manusia yang belum dapat ditegakkan, antara lain karena belum adanya landasan hukum nasional untuk dipakai sebagai pedoman walaupun ”Universal Declaration of Human Rights” sudah lebih setengah abad umurnya.

Untuk memperdalam pengertian tentang Hak Asasi Manusia maka perlu dikutip pertimbangan yang terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2000, yang berbunyi: ”Bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universil dan langgeng oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dan tidak boleh diabaikan.”

Lebih lanjut pasal 21 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa, dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwaklan Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara.

Pengertian diatas adalah memberikan upaya-upaya yang dilakukan terhadap korban perdagangan orang, sertamengusahakan untuk memulangkannya ke Indonesia, dan pemerintah wajib melindungi warga negara yang menjadi koban perdagangan orang di luar negeri.:


(40)

Pengertian tentang pribadi atau kelompok masyarakat.27

a. Bahwa setiap orang atau kelompok diakui sebagai manusia pribadi atau kelompok yang berhak menuntut, memperoleh perlakuan dan perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

Pengertian manusia sebagai pribadi atau kelompok dalam masyarakat adalah sebagai berikut :

b. Bahwa setiap orang atau kelompok berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan secara obyektif dan tidak berpihak. c. Bahwa setiap orang atau kelompok dalam masyarakat termasuk kelompok

yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Asas-asas dasar hak asasi manusia, sesuai ketentuan dalam UU No. 39 tahun 1999, asas-asas dasar manusia diakui dan dijunjung tinggi yang meliputi Hak Asasi dan kebebasan dasar merupakan hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisahkan dari manusia dan harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan maratabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan (Pasal 2).

Selanjutnya Pasal 3 UU No. 39 tahun 1999 tersebut menyebutkan :


(41)

a. Bahwa orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaran.

b. Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

c. Bahwa setiap orang berhak atas perlindungan Hak Asasi Manusianya dan kebebasan dasar manusianya tanpa diskriminasi. Jenis-jenis asas dasar dalam Hak Asasi Manusia itu meliputi :

1) Hak untuk hidup 2) Hak untuk tidak disiksa

3) Hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani 4) Hak beragama

5) Hak untuk tidak diperbudak

6) Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum 7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku.

Hak Asasi Manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh masyarakat hukum adat, harus diperhatikan dan dilindungi hukum, masyarakat dan pemerintah dengan memperhatikan dan mentaati perundang - undangan yang berlaku

Hak atas upaya hukum adalah :

a. Setiap orang berhak menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh


(42)

Hukum Indonesia dan Hukum Internasional mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh negara R.I.

b. Apabila ketentuan Hukum Internasional yang telah diterima oleh negara R.I. yang menyangkut Hak Asasi Manusia maka ia menjadi Hukum Internasional. c. Bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa negara R.I. yang telah menerima Hukum Internasional mengenai Hak Asasi Manusia, tidak ada lagi alasan bagi R.I. untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab itu. Sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, R.I. harus tunduk pada Hukum Internasional mengingat adanya sanksi internasional itu akan sulit dihindarkan..

Dalam mencari perlindungan setiap individu tanpa pilih bulu berhak mencari upaya hukum untuk perlindungan diri dan kepentingan individu, keluarga, atau kelompok. Hak mencari upaya perlindungan hukum itu dapat juga dilakukan dengan bantuan orang lain atau orang-orang yang paham akan hukum.

Masalah yang menjadi utama di negara-negara sedang berkembang adalah dalam masalah penegakan hukum (law enforcement) disebabkan berbagai masalah yang komplek di dalam negeri negara-negara berkembang tersebut.

Hak Asasi Manusia ( HAM ) dalam ketatanegaraan Indonesia terdapat empat ( 4 ) bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM yaitu sebagai berikut :


(43)

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( KRIS ), diatur Bab Khusus pada pasal 7 sampai pasal 33

3. Undang – Undang Dasar Sementara tahun 1950, pengaturan HAM, tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam KRIS, namun perbedaannya antara KRIS denggan UUD Sementara 1950 terletak pada penomoran pasal dan perubahan redaksional pasal – pasal dan penambahan pasal yaitu tentang fungsi sosial hak milik, hak setiap warga negara untuk mendapat pengajaran, hak demokrasi dan hak mogok

4. TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 November 1998 dan berlaku pada tanggal yang sama. Pasal 2 Tap menegaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan DPR RI untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM, selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tap MPR memuat naskah HAM yang terdiri dari pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan ini28

Selanjutnya pengaturan HAM, diatur dalam Undang – Undang oleh pemerintah Indonesia tentang perdagangan orang antara lain yaitu :

.

a. UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat.

b. UU No 19 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 105 tentang Penghpusan Pekerja Secara Paksa


(44)

c. UU No 20 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 138 tentang Usia Minimum bagi Pekerja

d. UU No 21 tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi ILO No 11 tentang diskriminasi dalam pekerjaan

e. UU No 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

f. UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia g. UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM h. UU No 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pada era globalisasi saat ini diseluruh sektor kehidupan masyarakat dunia dan berkembangnya teknologi di bidang informasi seolah-olah menembus batas wilayah kenegaraan, aspek hubungan kemanusiaan yang selama ini bersifat nasional berkembang menjadi sifat internasional, bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan, dan menjujung tinggi hak-hak asasi manusia sebagai bagian kehidupan universal.

Namun dalam kenyataannya masih banyak ditemukan perbuatan yang justru bertentangan dengan hak asasi manusia baik berdemensi nasional maupun internasional, anatar lain praktek human traffiking. Peranan keimigrasian diantaranya pengawasan terhadap orang asing perlu ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya kejahatan internasional, seperti perdagangan anak dan wanita,


(45)

penyeludupan orang dan kejahatan manusia lainnya yang banyak dilakukan oleh sindikat kejahatan internasional yang terorganisasi.29

a. Larangan terhadap kebebasan untuk melakukan kegiatan merupakan hal yang lazim terjadi dalam sebagian besar situasi trafiking. Larangan tersebut menunjukkan pelanggaran hak seorang individu atas kebebasan dan keamanan pribadi maupun hak untuk melakukan kegiatan karena hal ini dilindungi oleh ICCPR

Dalam pembukaan piagam dapat diketahui bahwa pembentukan Piagam didasarkan pada Deklarasi Umum HAM (Universal Declaration of Human Rights) dan karena Indonesia merupakan anggota PBB maka mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut.

Larangan terhadap praktek perbudakan, praktik serupa perbudakan, perdagangan budak, perdagangan perempuan dan semua tindakan lain dengan tujuan serupa telah pula ditegaskan di dalam ketentuan pasal 20 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia nomor 39 tahun 1999, sebagai tambahan ketentuan Pasal 65 UU HAM menyatakan bahwa :”setiap anak berhak mendapat perlindungan dari pelecehan dan eksploitasi seksual, penculikan, perdagangan anak dan bentuk-bentuk penyalahgunaan lain berkaitan dengan obat-obatan terlarang.

Dalam trafiking seringkali melibatkan sejumlah pelanggaran hak-hak lainnya seperti yang tercantum di bawah ini :

29


(46)

b.Perlakuan kejam yang senantiasa dialami oleh orang-orang yang mengalami traffiking akan jelas menunjukkan suatu bentuk perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang dilarang

c..Keadaan yang menimpa sebagian orang-orang yang mengalami traffiking agar terpaksa hidup secara terus-menerus hak kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi dan hak untuk berkumpul dan berserikat secara, yang semuanya dijamin oleh hak-hak asasi manusia.

d. Hak untuk menghargai kehidupan pribadi dan keluarga juga bisa dirugikan Perlakuan negara terhadap orang yang mengalami traffiking seringkali dapat menambah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pelaku traffiking itu sendiri.

e.Tindakan deportasi segera seorang korban traffiking merugikan hak orang tersebut untuk memperoleh akses ke pengadilan dan atas pemulihan hukum yang efektif dan tepat.

f.Penahanan terhadap orang-orang yang mengalami traffiking oleh negara dapat merupakan ”penahanan sewenang-wenang” yang dilarang oleh Hukum Internasional

g.Tindakan deportasi segera dapat juga merugikan hak orang untuk kembali ke suatu situasi dimana mereka mengahadapi resiko nyata karena penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak berprikemanusiaan.


(47)

C. Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU PTPPO )

Pemerintah Indonesia telah melakukan pengesahan peraturan tentang perdagangan orang, pada tanggal 19 April 2007, Lembaran Negara nomor 58, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

( UU PTPPO ).nomor 21 Tahun 2007 . Undang-Undang ini adalah salah satu produk kebijakan publik harus memastikan isinya telah mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Undang-Undang ini merupakan produk hukum yang cukup komprehensif, karena tidak hanya mempidanakan perdagangan orang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga mengatur tentang pemberian bantuan kepada korban secara menyeluruh, dan peran serta masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan serta penanganan kasus, dan undang-undang ini juga merupakan pencerminan standar internasional.

Perkembangan perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/ MPR/ 2002, tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republi Indonesia, pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2002, telah merekomendasikan kepada Presiden RI, untuk mengatasi perdagangan orang terutama perempuan dan anak, melalui penyusunan peraturan peraturan perundang – undangan nasional, ratifikasi, konvensi internasional, dan melanjutkan usaha untuk melakukan pencegahan dan


(48)

penanggulangan masalah perdagangan orang terutama perempuan dan anak yang telah dilakukan.30

Pengertian perdagangan orang, pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU PTPPO). Perdagangan orang atau trafiking adalah tindakan perekutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat atau sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.31

Pengertian perdagangan orang, menyatakan: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan

Pasal 1 huruf 7 UU PTPPO, Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan , penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateriil.

30

. Deputi Seswapres Bidabg Politik, Lokakarya, Makalah ”Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Implementasi UU No 21 tahun 2007, Medan, 10 Mei 2007, hal 1.

31


(49)

kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang, untuk tujuan mengekploitasi atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Tindak Pidana Perdagangan Orang , khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi, juga melibat tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, dan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri, tetapi juga antar negara, dan merupakan kejahatan transnational crime.

Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000.

Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: “rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual


(50)

lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh32

Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih

.

Pengertian menurut Protocol TOC definisi perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang RAN-P3A, yang menyatakan: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindah tanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan–perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaanpengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.

32

Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005) , hal.2.


(51)

merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya.

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Daerah (Perda ) Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak menyatakan bahwa : “Perdagangan manusia ádalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan mengunakan kekerasan atau encaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan, atau penjeratan utang untuk tujuan san atau berakibat mengekspolitasi perempuan dan anak

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa unsur –unsur perdagangan orang hádala sebagai berikut :

1. Adanya tindakan atau perbuatan, seperti perekrutan, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang.

2. Dilakukan dengan cara kekerasan atau bentuk- bentuk dengan menggunakan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan, pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang. 3. Ada tujuan atau maksud, yaitu untuk tujuan eksploitasi dengan maksud

mendapatkan keuntungan dari orang tersebut.

Undang – Undang nomor 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan


(52)

dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan baik antar wilayah dalam negeri maupun antar negara, dan Undang – Undang ini lebih komprensif dibandingkan dengan peraturan perundang – undangan sebelumnya.

Undang-Undang nomor 21 tahun 2007,terdiri dari 9 Bab dan 67 pasal dengan melalui 5 langkah yaitu:

a. Penindakan b. Pencegahan

c. Rehabilasi sosisal

d. Perlindungan bagi korban

e. Kerjasama dan peran serta masyarakat

Perdagangan orang merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia. Perdagangan orang dapat diartikan suatu tindakan perekrutan, pengiriman, penyerahterima orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyakapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang, untuk tujuan mengeksploitasi atau berakibat tereksploitasi orang tersebut.

Tindakan ekspoitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan, dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain


(53)

yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik materil ataupun nonmateriil.33

Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang, telah menjadi perhatian masyarakat internasional dan organisasi internasional, terutama perserikatan bangsa-bangsa (PBB), setelah Pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi PBB tentang Pemberantasan Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi ( The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and Protocol To Prevent,Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children) di Palermo disebut dengan Protokol Palermo, di Italia tahun 2000, sebagai wujud komitmen bangsa Indonesia dalam melawan kejahatan transnasional yang terorganisasi, khususnya melawan kejahatan perdagangan wanita dan anak.34

33. Ibid. 34

. Lihat penjelasan UU TPTPPO.

Pasal 3ª Protokol Palermo memuat pengertian perdaganagn oreang yaitu:

“ pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ncaman atau paksaan, atau bentuk-bentuk lain dengan kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberiaan atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan ekspolitasi.


(54)

Dari pengertian diatas dapat dibagi menjadi tiga (3) komponen yaitu:

1 Adanya tindakan atau perbuatan, meliputi unsur-unsur pengerahan,perkrutan, transportasi, pemindahan, pemyembunyiaan, penmpungan, penempatan, dan penerimaan orang

2 Adanya cara, meliputi penguaan encaman atau pengguanaan kekerasan atau bentuk- bentuk

3 Adanya tujuan atau maksud eksplotasi, yakni untuk tujuan eksploitasi, yang di dalamnya mencakup setidak-tidaknya unsur-unsur eksploitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lanilla, kerja paksa, perbudakan, penghambatan dan pengambilan organ tubuh.

Kejahatan perdagangan orang pada masa sekarang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi bahkan dilakukan dengan cara canggih dan sifatnya yang lintas negara yang dilakukan oleh perorangan, kelompok yang terorganisasi, maupun korpoorasi. Korban diperlakukan seperti barang yang dapat dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali sebagai obyek komoditas yang menguntungkan pelaku tindak pidana seperti kejahatan masa lalu yang disebut white slave trade yang dialami pada abad 19.

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam kitab Undang-Undang Kitab Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP yang menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa merupakan kualifikasi kejahatan, karena tindakan tersebut tidak manusiawi dan layak mendapatkan hukuman yang berat.


(55)

Namun, ketentuan pasal 297 KUHP tersebut, pada saat ini tidak dapat diterapkan secara lintas negara sebagai kejahatan internasional atau tranasional..

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang khususnya untuk memberantas segala bentuk perdagangan wanita dan eksploitasi pelacuran telah ditegaskan dalam Pasal 6 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman ( CEDAW ), sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan .

Dalam pasal 6 CEDAW menunjukkan bahwa masalah perdagangan perempuan dan prostituís perempuan sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan Sangat berbahaya bagi individu dan keluarga serta masyarakat luas. Oleh karena itu negara peserta harus memberi sanksi pidana kepada setiap orang yaitu dengan cara ncari, memindahkan, ataupun mengajak orang lain dengan tujuan untuk prostitusi

Diperlukan ketentuana hukum materil yang berbeda, yakni pengaturan unsur – unsur tindak pidana yang memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dan hukum internasional, dan adanya ancaman pidana yang berat bagi pelaku tindak pidana, dan pengaturan secara khusus mengenai penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang menyimpang dari ketentuan Hukum Acara Pidana yang ada Dengan adanya UU PTPPO, maka diharapkan agar aparat


(56)

penegak hukum dapat menindak pelaku dengan hukuman yang setimpal dengan pidana yang dilakukannya dan sesuai dengan ketentuan yanga berlaku.35

2. Sebagai respon terhadap komitmen global dan nasional, mengenai upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk perdagangan orang sekaligus respon atas permasalahan trafiking yang terjadi di Sumatera Utara.

D Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pencegahan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak Sumatera Utara

Dalam rangka pengajuan konsep Ranperda Pencegahan dan Penghapusan Trafiking, sebelumnya Pemprovsu melalui Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu bekerjasama dengan instansi terkait dan LSM telah beberapa kali mengadakan pertemuan untuk penyusunan Ranperda dimaksud. Dalam Perda tersebut penulisan kata ”Trafiking” yang berasal dari bahasa Inggris yaitu ”Trafficking” sudah direduksi kedalam bahasa Indonesia menjadi kata Trafiking sebagaimana yang tercantum dalam KepPres RI No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak. Hal tersebut untuk membedakan antara perdagangan orang dan perdagangan barang.

Secara garis besar, maksud dan tujuan Ranperda tentang penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak diajukan/diusulkan adalah :

35


(57)

3. Agar Pemerintah Provinsi bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya menyelenggarakan upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya trafiking.

4. Peraturan Daerah ini nantinya akan menjadi dasar pelaksanaan kegiatan Gugus Tugas Daerah dalam rangka upaya pencegahan dan penanggulangan trafiking perempuan dan anak.

5. Untuk melakukan tindakan segera dan berkesinambungan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan trafiking perempuan dan anak, mengingat semakin meningkatnya korban trafiking di Sumatera Utara.

6. Membina dan membangun kerjasama (networking) dan koordinasi pada tingkat pusat, antar provinsi, antar instansi lintas sektor, organisasi kemasyarakatan dan Pemerintah Kabupaten/Kota

Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah:

a. Untuk pencegahan dan penanggulangan trafiking perempuan dan anak. b. Dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. c. Merumuskan model mekanisme perlindungan perempuan dan anak

terhadap korban trafiking36

Lahirnya Perda No. 6 Tahun 2004 tersebut adalah sebagai berikut : .

1. Pada awal operasional Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, Juli 2002, Biro Pemberdayaan Perempuan langsung dihadapkan dengan rapat regional untuk penyusunan draft RAN Penghapusan Trafiking, yang diselenggarakan di Medan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI. Sejak itu Biro Pemberdayaan Perempuan mengamati fenomena trafiking di Sumatera


(58)

Utara dan berkeinginan kuat untuk menanggulanginya, akan tetapi masih sangat minim data dan informasi mengenai hal tersebut.

2. Kenyataannya di lapangan LSM PKPA dan Pusaka Indonesia telah melakukan penyusunan konsep Perda Trafiking dan telah mendiskusikannya dengan instansi pemerintah yang dianggap relevan, seperti Biro Bina Sosial Setdaprovsu dan Dinas Pemuda dan Olah Raga Provsu. Dalam perjalanan waktu selanjutnya konsep dibawa LSM PKPA dan Pusaka Indonesia membawa konsep tersebut ke Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu untuk dibahas dan diusulkan secara bersama-sama.

Hasil dari kesepakatan bersama dibentuklah Tim kecil yang terdiri dari instansi pemerintah dan LSM secara terbatas. Dalam pembahasan awal Ranperda tersebut yang paling alot adalah menyamakan persepsi, setelah sama maka selanjutnya pekerjaan ini menjadi mudah dan lancar.

Di dalam Rencana Aksi Provinsi (RAP-P3A) lahirnya sebuah instrumen hukum di daerah adalah out put penting dari rencana aksi yang dilakukan. Sementara itu dalam hubungannya dengan RAP-P3A. Rencana Aksi Provinsi ini lahir setidak-tidaknya dilatarbelakangi oleh 3 (tiga) hal yaitu :

1. Perdagangan (trafiking) dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri dan telah memburuk seiring dengan ditambah kompleksnya persoalan sosial ekonomi yang saat itu terjadi di Indonesia. Meskipun belum ada data statistik yang akurat menyangkut jumlah perempuan dan anak yang menjadi korban trafiking, namun fakta adanya korban trafiking yang menimpa perempuan dan anak tidak dapat dibantah keberadaannya.


(59)

2. Praktek perdagangan (trafiking) perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak azasi manusia, korban diperlakukan seperti barang yang dijual, dibeli dan dijual kembali serta dirampas hak-hak azasinya bahkan rentan mengalami kematian.

3. Selama ini perdagangan perempuan dan anak masih difahami terbatas pada bentuk prostitusi, padahal pada kenyataannya mencakup banyak bentuk dari kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya;

a. Dorongan terhadap berbagai kasus trafiking terjadi di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Penyebaran kasus perdagangan perempuan dan anak hampir merata di seluruh wilayah provinsi di Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Secara garis besar ada 2 (dua) bentuk perdagangan perempuan dan anak di Indonesia yaitu Trafiking Domestik dan Trafiking Intenasional. Salah satu daerah yang menyimpan banyak permasalah trafiking perdagangan perempuan dan anak di Indonesia adalah Provinsi Sumatera Utara.

b. Bentuk praktek perdagangan yang berkembang di Sumatera Utara sebagian besar untuk kepentingan prostitusi dan bentuk pekerjaan terburuk seperti eksploitasi seksual, buruh perkebunan, pekerjaan anak di sektor perikanan

c. lepas pantai, pekerja rumah tangga, tempat hiburan malam dan pengemis jalanan. Korban trafiking umumnya berasal dari warga miskin berpendidikan rendah dari pinggiran kota dan pedesaan, meskipun tidak tertutup kemungkinan ada dari keluarga ekonomi menengah keatas di perkotaan.


(60)

d. Bukti komitmen Provinsi Sumatera Utara untuk menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak. Dalam kebijakan ini diamanatkan agar provinsi-provinsi di Indonesia segera menyusun langkah-langkah konkrit, sistematis dan strategis untuk penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak secara komprehensif dan terpadu. Berbagai upaya yang dilakukan selama ini dianggap belum efektif dan mendasar, karena langkah-langkah yang dilakukan oleh banyak pihak masih bersifat parsial dan sektoral.

RAP-P3A Provinsi Sumatera Utara sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak dilakukan dalam proses yang panjang, sebelum Peraturan Gubernur tersebut disahkan menjadi sebuah perundang-undangan

Demikian proses lahirnya kebijakan penanganan masalah trafiking perempuan dan anak di Sumatera Utara, baik dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur yang secara substansial kedua bentuk peraturan ini

Hal-hal yang penting diatur dalam Perda nomor 6 tahun 2004 adalah : a. Bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi, dan reintegrasi perempuan dan

anak korban trafiking37

37

Pasal 3 Perda nomor 6 tahun 2004


(61)

b. Perempuan yang akan bekerja di luar wilayah desa/kelurahan, wajib memiliki surat izin bekerja perempuan yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah.38

c. Perlu mengefektifkan dan menjamin pelaksaan pencegahan, dibentuk gugus tugas rencana aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak.39

d. Masyarakat berhak memperoleh desempatan seluas-luasnya untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan penghapusan perdagangan (trafiking) perempuan dan anak40

Pasal 38 yaitu sanksi pidana, kepada setiap orang yang melakukan, mengetahui, melindungi, menutup informasi dan membantu secara langsung dan tidak langsung terjadinya perdagangan (trafiking) perempuan dan anak dengan tujuan melakukan eksploitasi baik dengan persetujuan untuk pelacuran, verja paksa atau pelayan, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, pemindahan atau transplantasi organ tubuh, atau segala tindakan yang melibatkan perasaan dan pemanfaatan seksual, tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan sewenang-wenang untuk mendapat keuntungan materi maupun non materi dihukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.41.

38

Pasal 4 Perda nomor 6 tahun 2004 39

Pasal 11 Perda nomor 6 tahun 2004 40

Pasal 17 Perda nomor 6 tahun 2004 41


(62)

BAB III

UPAYA PENGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

A Faktor-faktor external tindak pidana perdagangan orang42

2. .Dalam kasus eksploitasi prostitusi, korban bahkan dieksploitasi sejak berumur 15 tahun dan kemudian dicampakkan begitu saja setelah dianggap tidak mempunyai nilai jual. Dalam kasus yang lain, pembantu rumah tangga bisa dijual ke puluhan majikan lain..

Faktor-faktor external tindak pidana perdagangan orang sebagai kejahatan kemanusiaan yang serius, hal ini disebabkan beberapa alasan sebagai berikut :

1. Perdagangan orang dianggap sebagai ”industri paling menguntungkan” dibanding dengan kejahatan terorganisir lainnya, seperti trafficking of drug and arms. Hal ini menyangkut manusia yang diperlakukan tidak bisa didaur ualng, artinya korabn dieksploitasi, disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi berulangkali untuk meningkatkan keuntungan si pelaku.

3. Perdagangan orang adalah ” Modern day slavary” artinya pelaku memangsa pihak yang berada dalam posisi rentan yang lemah secara ekonomi, fisik, maupun emosional. Pelaku mempergunakan cara-cara modern untuk memperlakukan manusia layaknya budak. Tenaga Kerja Wanita ( TKW ) yang

42

Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Jakarta,IOM 2009), hal 19


(63)

bekerja diluar negeri sebagai pembantu rumah tangga dipaksa bekerja tanpa istirahat dan tanpa imbalan, dirampas paspornya sebagai cara untuk mengikat kebebasan bergerak korban dan ditempatkan dalam kondisi tidak manusiawi. 4. Perdagangan orang adalah bentuk ” pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM ),

korban tidak diberi hak dasar sebagai manusia, serperti hak untuk bebas bergerak,hak atas standar hidup yang layak, termasuk cukup sandang, pangan dan papan, hak atas kesehatan dan kesejahteraan,

5. Perdagangan orang, adalah ” kelompok yang terorganisasi yang dilakukan baik dengan cara konvensional melalui bujuk rayu ( perekrut tenaga kerja di tingkat desa ) sampai cara-cara modern, misalnya melalui iklan-iklan di media cetak dan elektronik.

6. Pelaku mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari daerah/negara asal korban sampai ke daerah/negara tujuan. Jaringan pelaku akan memanfaatkan kebiasaan merantau, ketidaksetaraan jender, kemiskinan, gaya hidup konsumtif, dan bencana alam, sering digunakan pelaku untuk menjerat korban keluar dari situasi tersebut

Factor-faktor internal perdagangan orang tersebut dapat dikarenakan adanya hal-hal sebagai berikut:43

1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.

2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut.

43


(64)

3. Kultur atau budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, di yakini menjadi salah satu pemicu trafficking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua.

4. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas.

5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafiking

6. Urban life style-gaya hidup kota yang konsumtif. 7. Kebiasaan “merantau” untuk memperbaiki nasib;

8. Kebiasaan menganggap pelacuran sebagai hal yang lumrah.

9. Bisnis buruh migran berkembang menjadi industri yang menguntungkan.

10.Pengaruh globasasi, perkembangan globalisasi semakin cepat telah mengakibatkan adanya keterbukaan akses teknologi, informasi, politik, ekonomi, membawa kemajuan dan perubahan begitu cepat dan mudah

11.Pelaku yang terorganisir dan bekerjasama dengan aparatur negara.

Memberi kemudahan-kemudahan dalam pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafiker/calo, jelas ada keterlibatan aparatur Negara/ pemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, Kelurahan/ Desa,

Kecamatan yang melibatkan perangkat/ aparat/ pejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTP/ KK.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Pengaturan hukum perdagangan orang menurut Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, telah mengatur semua pelanggaran tindak pidana perdagangan orang, mengatur mengenai denda, penyidikan, penuntutan, pencegahan dan pananganan korban, kerjasama internasional, peran serta masyarakat, perlindungan saksi dan korban, juga Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004,mengatur tentang penindakan aparatur kelurahan/kecamatan dalam proses administrasi pembuatan ijin maupun paspor

2. Upaya penanggulangan perdagangan orang dengan Penal dengan diterbitkannya Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang nomor 21 tahun 2007 dan Peraturan Dearah nomor 6 tahun 2004, untuk pencegahan, reintegrasi, rehabilitasi korban perdagangan perempuan dan anak, sedangkan pada upaya Non Penal ini lebih bersifat tindakan pencegahan terjadinya perdagangaan orang seperti sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat, penyebarluasan informasi yang akurat sehingga kejahatan ini dapat diantisipasi sejak dini

3. Bahwa putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai terhadap tindak pidana perdagangan orang yaitu perbuatan membantu sesuai dengan pasal 4 yo pasal 10 Undang- Undang Pemberntasan Tindak Pidana Perdaganagn Orang nomor


(2)

21 tahun 2007, menjatuhkan putusan 6 (enam) tahun, adalah sesuai dan tepat karena perbuatan tersebut telah melakukan perdagangan orang ke luar negeri sedangkan putusan banding Pengadilan Tinggi Medan, menjatuhkan hukuman lebih ringan dari putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai menjadi 3 tahun terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang karena terdakwa sebagai membantu mengantar korban ke Malaysia. Ini menjadi salah satu bukti sehingga hukuman bagi terdakwa menjadi ringan.

Saran

1. Pemerintah hendaknya membuat peraturan untuk memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan orang sesuai dengan memperhatikan hak asasi manusia, memperhatikan tentang pencegahan dan perlindungan korban paska truma tindak pidana perdagangan orang

2. Faktor- faktor penyebab perdagangan orang terutama faktor kemiskinan, pendidikan, mencari pekerjaan, dan seiring kemajuan transfortasi, teknologi dan informasi, dan hendaknya pemerintah mengawasi masalah tersebut.Kepada perempuan yang hendak mencari kerja ke luar negeri jangan mudah percaya kepada orang karena bujuk rayu, janji-janji akan mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi, tetapi akhirnya menjadi korban tindak pidana perdagangan orang

3. Putusan banding Pengadilan Tinggi Medan lebih ringan dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai menurut hakim terdakwa hanya sebagai membantu dan mudah-mudahan membuat jera kepada pelaku perdagangan


(3)

orang, serta tidak mengulangi perbuatannya, tetapi bagi korban tentu belum memenuhi rasa keadilan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bariah, Chairul. Aturan-Aturan HukumTrafiking (Peremouan dan Anak), USU Press, Medan, 2005

Chazawi, Adawi. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori, Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Deputi Seswapres Bidang Politik, Lokakarya, Makalah ”Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Implementasi UU No 21 tahun 2007, Medan, 2007

Dewi, Sri Ningsih. Perdagangan Anak Menurut Hukum Internasional Serta Upaya Pencegahan dan Penganggulangannya di Indonesia. (Skripsi). Universitas Sumatera Utara, Medan., 2004

Hull.T. Sulistyaningsih, E dan Jones, Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya, Pustaka Sinar Harapan da Ford Foundation, Jakarta.

ILO-IPEC. 2001. Trafficking of Children in Indonesia, a Preliminary Description of the Situation. Draft for Forthcoming Publication,.2001

Joni Mohamaad, Pemberantasan Kejahatan Perdagangan Orang dan Perlnidungan Korban, Yayasan Pustaka Indonesia, 2006

Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, 2005

.

Lumintang.PA.F,Dasar-Dsar Hukum Pidana Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung, 1997.


(5)

.

Nawawi Arief, Barda. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998

--- dan Muladi ,Teori-teori dan Kebijakan Publik, Alumni, Bandung,1992

Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, IOM Jakarta, 2009

Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985

R. Soesilo, Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP) SERA Komentar – komentar Lengkap dengan Pasal demi pasal, (Poltitea Bogor), 1994.

Reksodipotro, Mardjono. Hak Asasi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Universitas Indonesia,Jakarta 1977

Remelink, Jan. Hukum Pidana, Gramedia, Jakarta, 2003

Syamsuddin, Mohd. Syaufi. Pelaksanaan Delapan Konvensi Dasar Organisasi Ketenagakerjaan Internasional di Indonesia, Jakarta, 2000.

Suryana, Emy. Implementas Kebijakan Pemeritah Provinsi Sumatera Utara Dalam Penanggulangan Trafking Perempuan dan Anak, Biro Perempuan dan Anak, 2009

Simbolon, Imelda, Tinjauan Victimologi Terhadap Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, USU, 2006


(6)

Kasus, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Perda nomor 6 tahun 2004

United Nations, Universal Declaration of Human Righst, 1948.

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

UU Nomor 9 Tahun 1992 tentang Imigrasi

TAP MPR No. XVII TAP MPR Tahun 1999

UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Nomor 21 tahun 2007

Website:

Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai Perdagangan Manusia, diakses Minggu, pada tanggal 29 Desember 2011


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

2 54 90

Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/2012/PN.Mdn)

2 99 187

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Analisa Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Putusan Hakim Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 43 146

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

Persepektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Tentang Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen

0 8 89