Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

(1)

TESIS

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).

OLEH :

NIM. 117005038 / HK PERDANA ELIAKHIM MANALU

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TESIS

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NIM. 117005038 / HK PERDANA ELIAKHIM MANALU

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Beberapa

Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia).

Nama Mahasiswa : PERDANA ELIAKHIM MANALU Nomor Pokok : 117005038

Program Studi : Ilmu Hukum

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Ketua

Dr. Hamdan, SH. M.Hum

Anggota Anggota

Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum

Ketua Program Studi D e k a n

Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum Lulus Tanggal : 20 Agustus 2013


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 20 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH Anggota : 1. Dr. Hamdan, SH, M.Hum

2. Dr. Hasyim Purba, SH, M.Hum 3. Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum 4. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS


(5)

ABSTRAK

Sanksi Pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang. Batas maksimum dan batas minimum memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindakan perdagangan orang. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari sanksi yang terdapat dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang yang mana membuka peluang karena adanya batas minimum dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat. Adapun permasalahan dalam tesis ini adalah Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang, Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia, Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.

Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari sumber peraturan- peraturan yang berlaku berkaitan dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, pertama Dakwaan jaksa penuntut umum, kedua keterangan saksi, ketiga keterangan terdakwa, keempat Barang-barang bukti dan kelima berdasarkan Pasal-pasal dalam Perundang-Undangan. Adapun Langkah-langkah hukum untuk mencegah perdagangan orang : pertama, Langkah pencegahan yakni sebuah upaya untuk mencegah perdagangan orang melalui peningkatan kesadaran tentang hak-hak, bahaya eksploitasi seksual maupun trik yang digunakan pelaku perdagangan, kedua, Langkah perlindungan, yakni memberikan perlindungan kepada korban dengan cara peningkatan jaringan hukum, langkah tersebut berjalan efektif jika berbagai bentuk jaminan dan mekanisme hukum berlaku. Ketiga, Langkah rehabilitasi/pemulihan yakni menangani korban pasca penyelamatan dari kejahatan trafficking, terutama korban yang mengalami dampak psikologi yang buruk diantaranya trauma psikologi, rasa takut dan cemas berkepanjangan,rasa percaya diri yang rendah, rasa bersalah. Keempat, Langkah reintegratif yaitu upaya penerimaan korban di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya dan lingkungannya.


(6)

ABSTRACT

Criminal sanctions against the perpetrators of acts of trafficking in persons has been regulated in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons. Maximum and minimum limits provide flexibility to the judge to impose punishment for the perpetrators of human trafficking. Disparity basically starts from criminal sanctions contained in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons, which opens opportunities for the minimum and maximum limits of punishment, so judges are free to move to get a criminal who thinks proper. The problem in this thesis is How criminal sanctions against perpetrators of human trafficking, how the application of sanctions against the perpetrators of human trafficking by several decisions in Indonesia, How measures to prevent trafficking in persons.

The method used in this thesis is a normative legal research is a study of the problem by looking at the source of the applicable regulations pertaining to the title of Criminal Sanctions Against Perpetrators of Criminal Acts of Trafficking in Persons (Study of Multiple District Court Decision in Indonesia

Application of criminal sanctions against perpetrators of human trafficking in Indonesia based on a decision based on the factors revealed in the trial, the first indictment prosecutors, the two witnesses, testimony of the defendant third, fourth items of evidence and the fifth by the Articles in legislation. The legal measures to prevent trafficking in persons: first, that precaution is an effort to prevent trafficking through awareness raising about the rights, the dangers of sexual exploitation and tricks used by traffickers, second, protection measures, which provide protection to the victims of the how to increase the legal network, the move effective if the various forms of guarantees and mechanisms applicable law. Third, step rehabilitation / restoration of the handle post-rescue victims of trafficking crime, especially victims who suffered such a bad psychological impact of psychological trauma, prolonged fear and anxiety, low self esteem, guilt. Fourth, the efforts acceptance reintegratif Step victim in the middle of his family, society and the environment.

).

Keywords:


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur hanyalah milik Tuhan. Hanya dialah tempat kita memuji, meminta pertolongan dan meminta ampun. Atas rahmat-nya dan karuniah-nyalah sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Tesis yang berjudul:

“SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)”. Suatu hasil karya ilmiyah yang disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Hukum (MH) dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Segala kemampuan yang penulis miliki telah tercurah dengan segala usaha dalam penulisan Tesis ini, akan tetapi sebagai karya manusia biasa maka menjadi suatu kewajaran jika Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan dan akan menerima segala dukungan, kritikan dan saran yang bersifat konstruktif dengan tangan terbuka hingga Tesis ini dapat mencapai faidah yang maksimal bagi semua khususnya bagi penulis sendiri maupun bagi pihak yang membutuhkan atau menggunakannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, bimbingan dan petunjuk serta pengarahan juga motivator dari berbagai pihak, maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semuanya. Sebagai manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan dan kekurangan, penulis meminta maaf kepada semua pihak yang ikut membantu didalam penulisan


(8)

tesis ini. Pada kesempatan kali ini, izinkan penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya sebagai kata persembahan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K) dan Pembantu Rektor, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, yang telah memberi kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H, MH, dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum, yang senantiasa memberikan dorongan dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menggali ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh dosen-dosen dan staf-staf civitas Akademis Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak menyalurkan ilmunya dan juga meluangkan waktu untuk mahasiswanya. Semoga Tuhan melipat gandakan pahalanya, Amin ya Robbal alamin.


(9)

5. Ayahanda Drs. Edison Manalu M.pd dan ibunda tercinta Dahlia Siahaan, berkat do’a dan semangat perjuangan hidup yang ayahanda dan ibunda berikan, maka Tesis ini juga dapat terselesaikan.

Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam memperluas wawasan penulis dengan sangat arif dan bijaksana, sehingga menjadi pengalaman tersendiri yang tentunya sulit untuk dilupakan.

Demikian pula kepada Bapak Bapak Dr. Hamdan, SH, M.Hum dan Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang disela-sela kesibukan, mereka masih bersedia untuk meluangkan waktunya kepada penulis untuk membimbing, mendorong dan memberikan masukan serta arahan yang sangat berharga hingga rampungnya penulisan Tesis ini.

Rasa terima kasih juga disampaikan secara tulus kepada ibunda Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum, dan Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, yang telah berkenan melakukan pengujian Tesis ini dengan memberikan masukan dan arahan yang konstruktif serta memperkaya isi materi Tesis ini.

Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan/sahabat-sahabat tercinta di Magister Ilmu Hukum angkatan 2011/2012, khususnya buat Zaid Alfauza Marpaung, S.H, M. Arifin, S.H, Anjani Sipahutar, S.H, Noviyanti Sitepu, S.H, Roy, S.H, Muhammad Yusuf Siregar, S.Hi, S.H, MH.,


(10)

Syafrizal Wahyudi, S.H, Fajar khaifiah Rizki, S.H, MH, M.Iqbal Tarigan, S.H, M. Ansari Siregar, S.H, Kemala Atika Hayati, S.H, Etha, S.H, Irene, S.H, Dewi Sartika, S.Hi, Dewi Erfina Sitorus, S.H, Febri, S.Hi, Icha, S.H, Hendri Nauli Rambe, S.Hi, Marudud Hutajulu, S.H, S.E, M.BA, Maria, S.H, Fenny Ginting, S.H, Lamtiur Nababan, S.H, Yeni Chairiah Rambe, S.H, Ari Nurwanto, S.H, Dian Yudistira, S.H,

Akhir kata, sekali lagi penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada seluruh pihak-pihak yang telah penulis sebutkan maupun yang tidak penulis sebutkan namanya dalam Tesis ini, namun telah berjasa memberikan kontribusinya atas terselesaikannya Tesis ini.

Medan, September 2013


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : PERDANA ELIAKHIM MANALU

Tempat/Tgl Lahir : Medan, Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Menteng 7 gang Sepakat No. 2 Medan

Riwayat Pendidikan : 1. SD Swasta Katolik Budi Luhur , Lulus Tahun 2000. 2. SMP Swasta Tri Sakti 2 Medan, Lulus Tahun 2003. 3. SMA Swasta Methodist 7 Medan, Lulus Tahun 2006. 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area 2010.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 18

C. Tujuan Penelitian... 18

D. Manfaat Penelitian... 19

1. Manfaat Teoritis... 19

2. Manfaat Praktis... 19

E. Keaslian Penelitian... 20

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 21

1. Kerangka Teori... 21

2. Kerangka Konsepsi... 24

G. Metode Penelitian... 27

1. Jenis Penelitian... 27

2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan... 28

3. Teknik Pengumpulan bahan hukum... 29

4. Analisa Bahan Hukum... 30

BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG... 31


(13)

1. Pengertian Sanksi Pidana... 31 2. Jenis-jenis Sanksi Pidana... 34 3. Tujuan Pemidanaan... 37 B. Ruang Lingkup dan Ketentuan Pidana Perdagangan

Orang... 39 1. Sekilas Tentang Perdagangan Orang... 39 2. Ketentuan Pidana Perdagangan Orang... 42

BAB III PENERAPAN SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAKAN PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN BEBERAPA PUTUSAN DI INDONESIA... 54

A. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Perdagangan Orang... 54 B. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan

Di Indonesia... 62 1. Pertimbangan Hakim Ditinjau Dari Dakwaan Jaksa

Penuntut Umum... 63 2. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari Keterangan Saksi... 70 3. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari Keterangan terdakwa. 72 4. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari barang bukti... 74 5. Pertimbangan Hakim Ditinjau dari pasal - pasal

Dalam undang – undang perdagangan orang... 79 C.Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan

Di Indonesia... 84

1. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan


(14)

2. Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Beberapa Putusan

Di Indonesia ditinjau berdasarkan Teori pemidanaan... 92

BAB IV LANGKAH - LANGKAH UNTUK MENCEGAH PERDAGANGAN ORANG... 98

A. Langkah Yuridis... 98

B. Langkah Non Yuridis... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 107

A. Kesimpulan... 107

B. Saran... 110


(15)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

1. Tabel 1 Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia

Tahun 2008 – 2012... 26

2. Tabel 2 barang bukti Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia Tahun 2008 – 2012 ... 75


(16)

ABSTRAK

Sanksi Pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang. Batas maksimum dan batas minimum memberi keleluasaan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindakan perdagangan orang. Terjadinya disparitas penjatuhan pidana pada dasarnya dimulai dari sanksi yang terdapat dalam UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan perdagangan orang yang mana membuka peluang karena adanya batas minimum dan maksimum pemberian hukuman, sehingga hakim bebas bergerak untuk mendapatkan pidana yang menurutnya tepat. Adapun permasalahan dalam tesis ini adalah Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang, Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia, Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.

Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari sumber peraturan- peraturan yang berlaku berkaitan dengan judul Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, pertama Dakwaan jaksa penuntut umum, kedua keterangan saksi, ketiga keterangan terdakwa, keempat Barang-barang bukti dan kelima berdasarkan Pasal-pasal dalam Perundang-Undangan. Adapun Langkah-langkah hukum untuk mencegah perdagangan orang : pertama, Langkah pencegahan yakni sebuah upaya untuk mencegah perdagangan orang melalui peningkatan kesadaran tentang hak-hak, bahaya eksploitasi seksual maupun trik yang digunakan pelaku perdagangan, kedua, Langkah perlindungan, yakni memberikan perlindungan kepada korban dengan cara peningkatan jaringan hukum, langkah tersebut berjalan efektif jika berbagai bentuk jaminan dan mekanisme hukum berlaku. Ketiga, Langkah rehabilitasi/pemulihan yakni menangani korban pasca penyelamatan dari kejahatan trafficking, terutama korban yang mengalami dampak psikologi yang buruk diantaranya trauma psikologi, rasa takut dan cemas berkepanjangan,rasa percaya diri yang rendah, rasa bersalah. Keempat, Langkah reintegratif yaitu upaya penerimaan korban di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya dan lingkungannya.


(17)

ABSTRACT

Criminal sanctions against the perpetrators of acts of trafficking in persons has been regulated in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons. Maximum and minimum limits provide flexibility to the judge to impose punishment for the perpetrators of human trafficking. Disparity basically starts from criminal sanctions contained in the Law. 21 of 2007 on combating trafficking in persons, which opens opportunities for the minimum and maximum limits of punishment, so judges are free to move to get a criminal who thinks proper. The problem in this thesis is How criminal sanctions against perpetrators of human trafficking, how the application of sanctions against the perpetrators of human trafficking by several decisions in Indonesia, How measures to prevent trafficking in persons.

The method used in this thesis is a normative legal research is a study of the problem by looking at the source of the applicable regulations pertaining to the title of Criminal Sanctions Against Perpetrators of Criminal Acts of Trafficking in Persons (Study of Multiple District Court Decision in Indonesia

Application of criminal sanctions against perpetrators of human trafficking in Indonesia based on a decision based on the factors revealed in the trial, the first indictment prosecutors, the two witnesses, testimony of the defendant third, fourth items of evidence and the fifth by the Articles in legislation. The legal measures to prevent trafficking in persons: first, that precaution is an effort to prevent trafficking through awareness raising about the rights, the dangers of sexual exploitation and tricks used by traffickers, second, protection measures, which provide protection to the victims of the how to increase the legal network, the move effective if the various forms of guarantees and mechanisms applicable law. Third, step rehabilitation / restoration of the handle post-rescue victims of trafficking crime, especially victims who suffered such a bad psychological impact of psychological trauma, prolonged fear and anxiety, low self esteem, guilt. Fourth, the efforts acceptance reintegratif Step victim in the middle of his family, society and the environment.

).

Keywords:


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perdagangan perempuan dan anak saat ini mempuanyai jaringan yang sangat luas di dunia international khususnya negara Indonesia. Praktek perdagangan orang dan anak yang paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, kebanyakan korbannya adalah anak perempuan. Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun belakanganan ini sejumlah besar anak-anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos, telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi, baik anak laki-laki maupun anak perempuan dari daerah pedalaman yang miskin.1

Mengenai fenomena meningkatnya kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, Frank Tannembaum, sebagaimana dikutip oleh J.E Sahetapy menyatakan bahwa “crime is eternal-as eternal as society” yang artinya di mana ada manusia di sana pasti ada kejahatan.

2

1

Chairul Bariah, Aturan-Aturan Hukum Trafiking ( Perempuan dan Anak),( USU Press, 2005), hal 2.

Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisir maupun tidak terorganisir, tindak pidana ini juga tidak hanya dilakukan perorangan tetapi juga melibatkan korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, dan memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar

2

J.E.Sahetapy, Kausa Kejahatan, (Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Unair : 1979), hal.1.


(19)

wilayah dalam negeri, tetapi juga antar negara dan merupakan kejahatan transnational crime.3

Undang-undang dasar 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional secara tegas telah mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-hak perempuan dan anak-anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2), yang menyebutkan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.4

Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal - usul, jenis kelamin, agama, serta usia, sehingga setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali. Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, salah satunya melalui pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia, perlu secara terus menerus dilakukan demi tetap terpeliharanya sumber daya manusia yang berkualitas. Perlindungan terhadap perempuan dan anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang-orang dewasa maupun pria, karena

3

Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 31.

4


(20)

setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law).5

Kejahatan perdagangan manusia selama ini sudah terorganisir dengan rapi bahkan sudah masuk dalam jaringan perdagangan internasional, dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang modern serta sumber dana yang relatif tidak terbatas. Dalam hal ini Pemerintah Indonesia telah melakukan pengesahan peraturan tentang perdagangan orang pada tanggal 19 April 2007 yakni Lembaran Negara Nomor 58, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ( UU PTPPO ) nomor 21 Tahun 2007. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini merupakan produk hukum yang cukup komprehensif, karena tidak hanya mempidanakan perdagangan orang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga mengatur tentang pemberian bantuan kepada korban secara menyeluruh, dan peran serta masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan serta penanganan kasus, undang-undang ini juga merupakan pencerminan standar internasional.6

Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini juga memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan terhadap korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 2 yang mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku perdagangan manusia baik

5

Dikdik. M. Arief Mansur, Ibid., hal. 45

6

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2010), hal. 67


(21)

secara melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi. Pasal 2 tersebut berbunyi :

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).7

Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.

b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat.

c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.

d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. e. Di Wilayah Negara Republik Indonesia.

7

Lebih lanjut lihat Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(22)

f. Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b, kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan tindakan tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang ini.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.8

Eksploitasi yang dimaksudkan dalam Undang-Undang ini adalah “tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban, tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”9

Adapun Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, juga memberikan pengaturan pidana terhadap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara

8

Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

9

Lebih lanjut lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(23)

Republik Indonesia untuk dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia maupun di Negara lain. Orang yang melakukan tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal Rp.120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah). Secara lengkap bunyi Pasal 3 adalah:

“Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”10

Pasal 3 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. Memasukkan orang.

b. Ke wilayah negara Republik Indonesia. c. Dengan maksud untuk dieksploitasi. d. Di wilayah negara Republik Indonesia. e. Atau dieksploitasi di negara lain.

Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan manusia atau tujuan eksploitasi, sedangkan point e digunakan apabila pelaku menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan

10

Lebih lanjut lihat Pasal 3, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(24)

sebelum pelaku membawa korban perdagangan manusia ke Negara lain sebagai tempat tujuan. Sanksi pidana lain yang termaktub dalam UU ini antara lain adalah pasal 4.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang ini memberikan pidana kepada setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia. Bunyi Pasal 4 secara lengkap adalah:

“Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).11

Pasal 4 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. membawa warga negara Indonesia.

b. ke luar wilayah negara Republik Indonesia. c. dengan maksud untuk dieksploitasi.

d. di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Unsur di point a, b, c dan d, dapat digunakan apabila pelaku perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai sumber perdagangan manusia untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

11

Lebih lanjut lihat Pasal 4, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(25)

Dalam Pasal 5 memberikan larangan kepada setiap orang untuk melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi. Bunyi Pasal 5 secara lengkap adalah:

“Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).12

Pasal 5 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. melakukan pengangkatan anak. b. dengan menjanjikan sesuatu. c. atau memberikan sesuatu.

d. dengan maksud untuk dieksploitasi.

Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban perdagangan manusia dari usaha-usaha pengangkatan anak untuk mengeksploitasi anak tersebut.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 juga memberikan larangan untuk melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Bunyi Pasal 6 secara lengkap, yaitu:

12

Lebih lanjut lihat Pasal 5, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(26)

Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).13

Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. melakukan pengiriman anak. b. ke dalam atau ke luar negeri. c. dengan cara apa pun.

d. mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.

Pasal ini memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban perdagangan manusia dari usaha-usaha pengiriman anak baik di dalam negeri (antar daerah) maupun ke luar negeri yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.

Lebih lanjut Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 mengatur tentang sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, namun tindak pidana itu tidak terjadi. Pasal 9 secara lengkap berbunyi:

“Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).14

13

Lebih lanjut lihat Pasal 6, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

14

Lebih lanjut lihat Pasal 9, Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(27)

Pasal 9 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. berusaha.

b. menggerakkan orang lain.

c. supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang. d. tindak pidana itu tidak terjadi.

Pasal ini memberikan pengaturan mengenai penggerak dari tindak pidana perdagangan manusia. Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tidak menjelaskan yang dimaksud dengan “menggerakkan orang lain” tersebut.

Dalam Pasal 10, 11 dan 12 juga menyebutkan bahwa setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan, merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk

meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Secara lengkapnya Pasal 10, 11, dan 12 berbunyi:15

15

Lebih lanjut lihat Pasal 10, 11, 12 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(28)

“Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” (Pasal 10)

“Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.” ( Pasal 11)

“Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”(Pasal 12)

Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti hal nya tindak pidana memberi keterangan palsu pada dokumen Negara atau memalsukan dokumen Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 19.

“Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).16

Pasal 19 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

16

Lebih lanjut lihat Pasal 19 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(29)

a. Memberikan atau memasukkan keterangan palsu. b. Atau memalsukan.

c. Dokumen negara atau dokumen lain.

d. Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah, sedangkan “dokumen lain” meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.17

Di dalam Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang berkaitan dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum.

“Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).18

17

Lebih lanjut lihat Penjelasan Pasal 19.

18

Pasal 20 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(30)

Pasal 20 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. memberikan kesaksian palsu.

b. menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu. c. atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum. d. di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang.

Yang dimaksud Pasal ini adalah kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan perdagangan manusia. Kata “setiap orang” dalam Pasal 20, dapat berarti “orang perseorangan” maupun “korporasi”, sehingga dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana atau subyek tindak pidana Perdagangan Manusia berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang ini adalah orang perseorangan maupun korporasi.

Lebih lanjut Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pasal 23 memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku. Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:


(31)

a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;

b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. menyembunyikan pelaku; atau

d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).19

Pasal 23 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut:

a. membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang. b. dari proses peradilan pidana.

c. dengan cara:

1) memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku.

2) menyediakan tempat tinggal bagi pelaku. 3) menyembunyikan pelaku.

4) menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.

19

Lebih lanjut lihat Pasal 23 Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


(32)

Pasal 23 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana.

Sanksi hukum tindak pidana perdagangan orang sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tidak membuat pelaku enggan untuk melakukan eksploitasi perdagangan orang. Bahkan dalam kurun waktu belakangan ini, berdasarkan wawancara dengan LSM Pemerhati Hak Asasi Manusia oleh bapak Lukman Hasibuan, untuk wilayah Medan Sumateara Utara sejauh ini mereka sudah banyak mendapati laporan kasus terkait dengan perdagangan orang. Mayoritas perkara perdagangan orang terjadi di pedalaman. Menurut H. Lukman Hasibuan di tahun 2008 hingga tahun 2012 ada 5 kasus yang berhasil mereka bantu 3 berlokasi di Belawan dan dua diantaranya berada dilokasi Tembung Percut Sei Tuan.20

Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia mengenai kejahatan perdagangan orang, vonis hakim terhadap pelaku perdagangan orang belum maksimal sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap pelaku kejahatan dinilai masih belum memberikan rasa takut dan efek jera terhadap para pelaku. Otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara, mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini

20

Wawancara dengan H. Lukman Hasibuan, ketua LSM pemerhati HAM, di Kantor lsm pemerhati HAM jln Tuba I , April 2013


(33)

ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan putusan hakim Pengadilan Negeri yang lain, padahal semuanya mengacu pada peraturan Perundang-Undangan yang sama.

Hakim dalam kedudukannya yang bebas diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak- hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equally before the law).21

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang judicialnya tidaklah mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan. Tetapi kenyataan, putusan-putusan yang dibuat oleh hakim sering mengundang kontroversial. Tidak jarang terjadi terhadap pelaku tindak pidana yang satu dijatuhkan pidana berat sedangkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya dijatuhi hukuman ringan atau bahkan dibebaskan, padahal pasal yang dilanggar adalah sama.

21

Andy Hamzah dan Bambang Waluyo, Delik-Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Conterm of Court), (Jakarta: Sinar Grafika, 1988). Hal. 43


(34)

Meningkatnya kasus tindak pidana perdagangan orang dari tahun ke tahun tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini menggambarkan 10 contoh kasus putusan perdagangan orang yang diputus oleh Pengadilan Negeri, Untuk lebih jelas kita lihat tabel berikut :

Tabel 1.

Tabel Putusan Pengadilan Negeri di sebahagian wilayah Indonesia Tahun 2008 – 2012

No Nomor Perkara

Pasal Dilanggar Pidana

Penjara Denda

1 1166/Pid. B/2008/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 6 tahun Rp. 120.000.000,-

2 1642/Pid. B/2009/PN.Mdn Pasal 10 UU No 21/2007 4 tahun Rp. 120.000.000,-

3 75/Pid. B/2011/PN.DOM Pasal 6 jo 7 UU No 21/2007 4 tahun Rp. 120.000.000,-

4 217/Pid. B/2009/PN.BTM Pasal 4 UU No 21/2007 3 tahun 4 bulan Rp. 150.000.000,-

5 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

6 331/Pid. B/2009/PN.Mdo Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

7 89/Pid/2012/PN.Klb Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

8 277/Pid. B/2012/PN.Bji Pasal 2 UU No 21/2007 3 tahun Rp. 120.000.000,-

9 235/Pid.Sus/2012/PN.BGL Pasal 2 UU No 21/2007 5 Bln 20 Hari -

10 448/Pid. B/2012/PN.Mdn Pasal 2 UU No 21/2007 1 tahun 6 bulan Rp. 1.000.000.000,-

Sumber : Data Tabel diperoleh dan diolah Dari Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia Tahun 2008-2012


(35)

Dari tabel putusan kasus di atas, terlihat adanya perbedaan penjatuhan putusan oleh hakim dan putusan yang dijatuhkan terkesan ringan bila dibandingkan dengan ketentuan ancaman pidana maksimal dalam undang-undang perdagangan orang. seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 (tiga) unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka menarik untuk diteliti tentang putusan hakim yang diberi judul “ Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri Di Indonesia).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang? 2. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan

orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia?

3. Bagaimana langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi pidana terhadap pelaku tindakan perdagangan orang .


(36)

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi terhadap pelaku tindakan perdagangan orang berdasarkan beberapa putusan di Indonesia.

3. Untuk mengetahui langkah-langkah untuk mencegah perdagangan orang.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: a. Memberi masukan dan sumbangan pemikiran dalam rangka penyusunan

perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.

b. Memberi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana.

2. Manfaat Praktis

Selain manfaat secara teoritis, Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum. Serta menjadi masukan bagi penegakan hukum bagi Hakim disamping dapat mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum, juga harus mewujudkan hukum yang memenuhi rasa keadilan yang mana konsekuensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman di tangan Hakim harus dimaknai dan diimplementasikan untuk mewujudkan cita hukum yang berintikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.


(37)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan serta penelusuran yang telah dilakukan melalui studi kepustakaan khususnya pada lingkungan perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Penelitian yang berjudul : “Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisis beberapa putusan di Indonesia)”ini belum pernah diteliti oleh orang lain sebelumnya, akan tetapi dalam penelitian yang menyinggung mengenai traficking pernah dibahas oleh Alexander Keristian dalam skripsinya dengan judul “Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Di Poltabes Medan)”, adapun perumusan masalah yang dibahasnya adalah 1. Bagaimanakah Karakteristik dilihat dari Faktor, Modus operandi dan dampak perdagangan orang?, 2. Peraturan-peraturan apakah yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang?, 3. Bagaimanakah Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang ?, pembahasan yang lain juga pernah dilakukanoleh dengan judul “Analisa Hukum Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Nomor : 743/Pid/2008/PT-Mdn.)” yang mana perumusan masalahnya membahas mengenai 1. Bagaimana pengaturan hukum perdagangan orang di Indonesia, 2. Bagaimana upaya penanggulangan perdagangan orang, 3. Analisa kasus putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 743/Pid/2008/PT- Medan. Merujuk dari perumusan masalah, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai


(38)

penelitian baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan obyektif dalam menemukan kebenaran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Soejono Soekanto menyatakan bahwa, kontinuitas perkembangan ilmu hukum itu, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori, Sehingga teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut.22

Menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori merupakan landasan teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis

23

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah teori keadilan dan teori pemidanaan sehingga dapat memberikan pedoman pembahasan pada uraian berikutnya.

.

Berbicara tentang keadilan, Aristoteles berpandangan bahwa keadilan dibagi kedalam dua macam yakni : keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap

22

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.6

23


(39)

orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa24

Hans Kelsen mengemukakan dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.

, Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan kontroversi dan perdebatan.

25

Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.26

24

L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1996 ), hal. 11.

25

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011),hal. 7

26 Ibid.7


(40)

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 mempunyai konsekuensi untuk menegakkan hukum, yang artinya setiap tindakan yang dilaksanakan oleh siapapun di negara ini serta akibat yang harus ditanggungnya harus didasarkan kepada hukum dan diselesaikan menurut hukum juga. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit.

Ditinjau dari sisi keadilan, putusan pengadilan Negeri Medan sepertinya belum termasuk teori keadilan Adam Smith yang hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan komutatif yakni keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.27

Berbicara tentang pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).28

Ruslan saleh mengemukakan bahwa dalam teori pemidanaan, penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan.

Secara garis besar teori pidana ini dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.

27

http:// teori-keadilan-adam-smith.html diakses pada tanggal 25 maret 2012 pukul 21.00 wib.

28


(41)

Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi bertujuan sebagai sarana melindungi kepentingan masyarakat. 29

Ditinjau dari teori pemidanaan menyataan bahwa putusan hakim pada tingkat pengadilan negeri yaitu penjatuhan pidana penjara kepada pelaku perdagangan orang terlepas dari disparitas lama tahanan sudahlah tepat. namun perlu di garis bawahi bahwa pidana penjara yang dijatuhkan bukanlah dengan tujuan semata-mata untuk membalas dan menakutkan, akan tetapi untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam penelitian hukum, kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional didalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan kontruksi data.30

Bertolak dari kerangka teori sebagaimana tersebut diatas, berikut ini disusun kerangka konsep yang dapat dijadikan sebagai defenisi operasional, Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi pada usaha merumuskan defenisi-defenisi operasional diluar peraturan

29

Ruslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta ; Aksara Baru, 1983), hal. 26.

30


(42)

perundang-undangan.31

a. Sanksi pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Adpun kerangka konsep pada tesis ini adalah :

32

Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.33

b. Tindak pidana yaitu: “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.34 c. Perdagangan orang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Bab I

tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007 adalah tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga

31

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999), hal. 24

32

Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 1992, hal 2

33

Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan pemidanaan di indonesia, op cit, hal. 1.

34


(43)

memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekspolitasi.35 Dalam Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan ( Traficking) Perempuan dan Anak, menyatakan bahwa Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak.36

d. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi, mengajak, mengumpulkan, membawa dan memisahkan seseorang dari keluarga.37

e. Eksploitasi ialah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau

35

Lebih lanjut lihat Pasal 1 ayat (1) Bab I tentang Ketentuan Umum Undang Undang nomor 21 tahun 2007

36

Lebih lanjut lihat Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004

37


(44)

mentransplatasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan.38

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-jenjang yang harus dilalui dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode ilmiah dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.39

Metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari dua sumber peraturan - peraturan yang berlaku. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris.40

38

Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005) , hal.2.

39

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2004), hal. 1.

40

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal.13.


(45)

2. Bahan-bahan Hukum yang Digunakan

Bahan hukum dibagi tiga yaitu bahan hukum primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur atau buku-buku, dan bahan hukum tersier diperoleh dari kamus-kamus dalam hal ini kamus hukum.41 Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.42

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer Yaitu bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah.43

1. Norma atau kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2. Undang-Undang Dasar 1945.

3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. 4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

5. Putusan – Putusan Hakim Pengadilan Negeri.

41

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1984), hal. 52

42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hal. 141.

43


(46)

6. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.44

1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang pada penelitian ini adalah:

2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 3. Koran yang memuat tentang kasus perdagangan orang.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yakni berupa studi dokumen dan teknik pendukung lainnya yaitu meneliti dokumen yang ada dengan mengumpulkan data dan informasi dari buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya serta putusan pengadilan negeri yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.45

44

Amiruddin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum ,( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 31

45

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 225.


(47)

4. Analisa Bahan Hukum

Analisa dapat dirumuskan untuk menguraikan hal yang akan diteliti ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan sederhana.46

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang perdagangan orang.

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan dalam penelitian ini adalah:

b. Membuat sistematik dari Pasal-Pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu (yang selaras dengan penegakan hukum terhadap perdagangan orang).

c. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara metode deduktif, yaitu kerangka pemikiran diarahkan kepada aspek-aspek normatif yang terkandung dalam hukum positif. Sehingga hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini.

46

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke- 20, Opcit., hal. 105


(48)

BAB II

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG

A. Sanksi Pidana

1. Pengertian Sanksi Pidana

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.47

Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana. Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya.48

Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu”.

49

Subekti dan Tjitrosoedibio mengemukakan dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”.

50

Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

51

47

Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung : Binacipta,1987), hal. 17.

48

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 23.

49

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), hal. 9.

50


(49)

Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa unsur pengertian pidana, meliputi:52

a. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Apabila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar Undang-undang hukum pidana.

Pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.53

Menurut Moeljatno, istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang in konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika “straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan “hukum

51

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992),hal. 2.

53


(50)

hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti” diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.54

Satochid Kartanegara berpendapat bahwa “hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana”.55

Menurut Herbert L. Packer, sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman. Selanjutnya Packer menyatakan bahwa :

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang, tanpa pidana.

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki utk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta utk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.56

54

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op cit. Hal. 1.

55

Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Bandung : 1954-1955), hal. 275-276.

56

Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, (Stanford California University Press, 1967), hal. 344


(51)

Dari beberapa pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi adalah menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang karena suatu perbuatan yang dilakukannya.

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana

Undang-undang membedakan 2 macam pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh dijatuhkan satu pidana pokok yang berarti kumulasi lebih dari satu pidana pokok tidak diperkenankan dalam beberapa hal kumulasi antara pidana pokok dan tambahan.57

Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok yang terdiri dari :58

1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.

Pidana tambahan terdiri dari : 1. Pencabutan hak-hak tertentu,

2. Perampasan barang-barang tertentu dan 3. Pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah dirumuskan dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat KUHP dibentuk. KUHP mengenal sistem tunggal dimana terhadap suatu

57

R soesilo., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politea, tt), hal. 30

58


(52)

kejahatan atau pelanggaran hanya dijatuhkan satu pidana pokok. Kumulasi juga dapat diterapkan namun umumnya antara pidana pokok dan pidana tambahan.

Secara umum Pidana mati adalah pidana yang paling berat, karena pidana ini dalam pelaksanaannya sangat berat berupa penyerahan terhadap hak hidup bagi manusia yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan, manusia tidak ada wewenang untuk menghilangkan nyawa seseorang meskipun seseorang tersebut telah melanggar ketentuanketentuan yang berlaku atau hukum yang berlaku yang tercantum dalam Undang-undang maupun peraturan hukum lainnya.

Menurut Pasal 11 KUH Pidana, pidana mati dijalankan dengan cara menjerat tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana, namun setelah adanya Undang-undang Nomor 5 tahun 1969 tentang pelaksanaan Pidana Mati yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak mati terpidana.

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang kehilangan kemerdekaan. Jadi, dapat dikatakan bahwa pidana penjara pada orang dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Batas dari pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu, pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun. Penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati


(53)

(pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua puluh tahun), seperti yang tercantum pada pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) KUH Pidana.

Sedangkan pengertian pidana kurungan adalah sama dengan pidana penjara yaitu sama berupa pidana yang hilang kemerdekaannya, tapi disini pidana kurungan lebih ringan sifatnya dari pada pidana penjara, dan pidana penjara merupakan delikyang tidak menyangkut kejahatankesusilaan dan beberapa kesengajaan. Melihat jangka waktu kurungan yaitu kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, seperti yang tercantum di dalam Pasal 18 ayat (1) KUH Pidana.

Pidana denda merupakan jenis pidana pokok yang pada dasarnya dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa. Pidana denda ini diancamkan sebagai pidana alternatif dari pidana kurungan terhadap hampir semua pelanggar yang tercantum dalam buku III KUHP terhadap semua kejahatan ringan. Pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dari pidana penjara, demikian pula terhadap kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja.59

Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbedaan pidana denda dengan perkara perdata adalah pidana denda dibayarkan kepada negara atau masyarakat dan perkara perdata dibayarkan kepada orang pribadi atau badan hukum. Pidana denda

59


(54)

dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar. Jumlah pidana denda tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban.60

3. Tujuan Pemidanaan

Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji dalam bukunya Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana mengemukakan bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu :61

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).

60

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta : Grasido, 2008), hal.143.

61

Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995) hal. 12.


(55)

Romli Atmasasmita dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi menyatakan bahwa Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan mempunyai sandaran pembenaran yaitu:62

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam sikorban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.

2. Penjatuhan pidana dimaksdkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya, bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungn dari orang lain secara tidak wajar maka akan menerima ganjarannya.

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan.

Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya yang berjudul Teori dan Kebijakan Pidana mengemukakan bahwa:63

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan – tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

Muladi juga berpendapat bahwa pidana (punisment) selalu mengundang unsur-unsur sebagai berikut:64

a. Pada hakekatnya merupakan suatu pengertian penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

62

Romil Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 83-84.

63

Muladi dan Barda Nawawi, opcit., hal. 11.

64

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 4.


(56)

b. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuatan (oleh yang berwenang).

c. Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Andi Hamzah dan Siti Rahayu berpendapat bahwa “tujuan pemidanaan dalam teori prevensi adalah agar kejahatan yang pernah terjadi tidak diulangi lagi. Menurut teori prevensi khusus, tujuan pemidanaan adalah memperbaiki narapidana dan agar tidak melakukan tindak pidana lagi di kemudian hari. Sedangkan menurut teori prevensi umum, tujuan pemidanaan adalah agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana serupa atau tindak pidana lainnya di kemudian hari”.65

Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

B. Ruang Lingkup Perdagangan Orang 1. Sekilas Tentang Perdagangan Orang

Pasal 1 ayat (1) Undang Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan bahwa “

65

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1983),hal. 20.


(57)

Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangjutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekspolitasi”.66

Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Traficking) Perempuan dan Anak, menyatakan bahwa: “Perdagangan manusia adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu perbuatan yang memenuhi salah satu unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan dan anak dengan menggunakan kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak”.67

Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak menyatakan bahwa “trafiking perempuan dan anak adalah segala tindakan

66

Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang Undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

67

Pasal 1 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan ( Trafiking) Perempuan dan Anak.


(58)

pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.”68

Selanjutnya Protokol Palermo tertuang di dalam Pasal (3) yang menyatakan :69

68

Lihat Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak,

“Perdagangan orang yang dilakukan oleh orang lain, berarti perekrutan, pengiriman kesuatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan lain,

69


(1)

3. Langkah-langkah hukum untuk mencegah perdagangan orang :

a. Langkah pencegahan yakni sebuah upaya untuk mencegah perdagangan orang melalui peningkatan kesadaran tentang hak-hak, bahaya eksploitasi seksual maupun trik yang digunakan pelaku perdagangan.

b. Langkah perlindungan, yakni memberikan perlindungan kepada korban dengan cara peningkatan jaringan hukum, langkah tersebut berjalan efektif jika berbagai bentuk jaminan dan mekanisme hukum berlaku.

c. Langkah rehabilitasi/pemulihan yakni menangani korban pasca penyelamatan dari kejahatan trafficking, terutama korban yang mengalami dampak psikologi yang buruk diantaranya trauma psikologi, rasa takut dan cemas berkepanjangan,rasa percaya diri yang rendah, rasa bersalah.

d. Langkah reintegratif yaitu upaya penerimaan korban di tengah-tengah keluarganya, masyarakatnya dan lingkungannya.

B. Saran

Berdasarkan Kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Kepada Pemerintah supaya memperhatikan kelemahan dan kekurangan Peraturan mengenai perdagangan orang dengan merevisi Peraturan perundang


(2)

–undangan tentang perdagangan orang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat yang berdimensi keadilan.

2. Diharapkan kepada seluruh aparat penegak hukum khususnya Hakim di Indonesia agar menjatuhkan vonis hukuman maksimal terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang, sebab kejahatan tersebut bukanlah kejahatan tindak pidana biasa, akan tetapi kejahatan yang terorganisir yang telah melanggar kodratnya manusia.

3. Diharapkan kepada orang tua untuk melakukan pencegahan dengan memberikan pengawasan yang ketat baik dalam lingkungan keluarga maupun dilingkungan sosial terhadap pergaulan yang dapat menjerumuskan kepada tindak pidana perdagangan orang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU

Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta : Granit, 2004.

Amiruddin, Asikin, Zaenal. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Anwar, Yesmil. Adang. Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta : Grasido, 2008. Apeldoorn, L.J.Van Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita,1996. Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2001.

Atmasasmita, Romli. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung : Mandar Maju, 1995.

---, Romli. Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982.

Bariah, Chairul. Aturan-Aturan Hukum Trafiking ( Perempuan dan Anak), USU Press, 2005.

Bemmelen, Van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bandung : Binacipta,1987.

Darmodiharjo, Darji. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.


(4)

---,---. Rahayu, Siti. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1983.

---,---. Waluyo, Bambang. Delik-Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Conterm of Court), Jakarta: Sinar Grafika, 1988.

Hamdan, M. Politik Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997. Hanitijo, Ronny, Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1994.

Kartanegara, Satochid. Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Bandung : 1954-1955.

Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, 2005.

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 1999.

Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.

L, Herbert, Packer. The Limits of The Criminal Sanction, Stanford California University Press, 1967.

Mahmud, Peter, Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2005. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1980.

Muladi. Nawawi, Barda. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992. ---. Nawawi Arif, Barda. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 1998.

Muhammad, Rusli. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

---.---. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006..


(5)

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung: Alumni, 2007.

Mulyadi, Mahmud. CRIMINAL POLICY (Pendekatan Integral Penal Policy Dan Non Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan), Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008.

Novita, Dian. Trafficking Prespektif Hukum Pidana, Bandung : Universitas Padjajaran, tt.

Sahetapy, J.E. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung: Alumni,1979.

Sahetapy, J.E. Kausa Kejahatan, Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Unair : 1979.

Saleh, Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Baru, 1983.

Soedjono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

---,---. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

---,---. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia, 1984.

Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea, tt.

Solly, M. Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994. Subekti. Tjitro Soedibia, R. Kamus Hukum , Jakarta:Pradya Paramita, 1976. Subekti. Tjitrosoedibio. Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980.

Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2007.


(6)

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Wati Nainggolan, Agustina. Analisis Terhadap Putusan Hakim Dalam Tindak

Pidana Penyalahgunaan Narkoba, Medan : USU, 2009.

Yahya Harahap, M. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Yentriyani, Andi. Politik Perdagangan Perempuan, Yogyakarta: Galang Press, 2004.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara nomor 6 tahun 2004, tentang Penghapusan Perdagangan (Traficking) Perempuan dan Anak.

Peraturan Menteri Luar Negeri nomor 4 tahun 2008 tentang pelayanan warga pada perwakilan Republik Indonesia diluar negeri

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.


Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Membantu Melakukan Pencurian dengan Kekerasan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 03/PID.SUS-Anak/2014/PN.MDN)

1 116 103

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Tindak Pidana Kelalaian Berlalu Lintas Yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Putusan Nomor : 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)

2 67 120

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)

1 78 149

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA

2 19 21

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU GRATIFIKASI (STUDI KASUS PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN NEGERI DENPASAR).

1 4 13

PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KLATEN Nomor : 19Pid.Sus 11PN.Klt)

0 0 12

BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PERDAGANGAN ORANG A. Sanksi Pidana 1. Pengertian Sanksi Pidana - Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

0 0 23

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100