Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

(1)

ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007

(Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM : 070200150 DANIEL ANDREO

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP : 195703261986011001 DR. M. HAMDAN,SH,MH

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

LIZA ERWINA,SH,M.Hum ALWAN,SH,M.Hum


(2)

ABSTRAK

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Makanya tindak pidana perdagangan di Indonesia telah menjadi perhatian khusus bagi aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan perdagangan orang di Indonesia dilakukan dengan terorganisasi oleh pelakunya sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana perdagangan orang ini.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan tentang tindak pidana perdagangan orang dalam peraturan perundang-udangan. Peraturan tentang perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1642/Pid.B/2009 PN.Mdn.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis Normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (Law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (Lawa as it is decided by the judge trough judical process).

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 merupakan peraturan khusus (Lex specialis) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perdagangan orang adalah salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, dan penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun di luar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.


(3)

ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA TERHADAP

PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007

(Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn)

A. Latar Belakang

Trafficking bukanlah hal yang baru. Kasus trafficking telah dikenal sejak ribuan tahun tahun lalu, yaitu pada masa kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh Justinian, tahun 527-565M.1 Pada masa itu, Justinian menulis sebuah catatan tentan adanya pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih banyak dari prostitusi. Pihak tersebut merayu para perempuan muda miskin dengan barang-barang mahal. Setelah itu, mereka menyekap dan memaksa para perempuan itu untuk bekerja dalam rumah bordil selama mucikari menghendakinya.

Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang “Pemberantasa Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)” melarang semua jenis tindakan, cara atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayahh dalam negeri maupun antar Negara baik pelaku perorangan maupun korporasi.

Penegakan hukum dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan, bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya.2 Proses penegakan hukum tidak


(4)

akan pernah terlepas dari upaya kebijakan kriminal, karena kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian intergral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya pencapaian kesejeahteraan masyarakat (social welfare).3

Terkait upaya penegakan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang, maka pada tanggal 19 April 2007 Pemerintah Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-undang tentang pemberantasa Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) No. 21 Tahun 2007 LN. No. 58 yang disambut baik oleh masyarakat Indonesia dan komunitas internasional yang peduli masalah perdagangan orang, terbitnya UU ini merupakan suatu prestasi, karena dianggap sangat komprehensif dan mencerminkan ketentuan yang diatur dalam Protokol PBB.

Perdagangan orang (trafficking) adalah pelanggaran HAM yang paling kejam karena merupakan bentuk baru dari perbudakan dan tidak mengindahkan masalah kriminal yang sulit dicegah dan ditangkap pelakunya. Contoh kasus fenomenal yang berhasil ditangkap adalah kasus 600 anak perempuan dari Sumatera Utara yang dijual untuk dilacurkan ke Dumai, Kepulauan Riau Sumatera itu, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia mencatat, tahun 1999 hingga Desember 2007 terdapat 514 kasus trafficking.4 Meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasa Tindak Perdagangan Orang, masih banyak yang berdomisli di luar negeri sehingga sulit untuk diberantas. Oleh karena itu, harus ada kerja sama yang kuat antar negara untuk memberantas trafficking.


(5)

B. Permasalahan

1. Bagaimanakan konsep pertanggungjawaban pidana perdagangan orang

(trafficking) dalam perundang-undangan?

2. Bagaimanakah pengaturan hukum tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-undang No.21 Tahun 2007?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku percobaan tindak pidana perdangangan orang dikaitkan dengan Undang-undanga No.21 Tahun 2007 (Studi Kasus Putusan No.1.642/Pid.B/PN.Mdn)?


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan bagi nama Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi kekuatan, hikmat, kebijaksanaan, pengetahuan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun berdasarkan pengalaman dan kegiatan yang penulis lakukan selama masa perkuliahan.

Skripsi ini berjudul: “Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007”.

Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.


(7)

Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MH sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Dr. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Sekaligus Sebagai Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Alwan, SE, M.Hum sebagai dosen Pembimbing II yang juga telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH.M.Hum selaku Dosen wali penulis selama mengikuti perkuliahaan.


(8)

9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi selama mengikuti perkuliahan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Orang tua penulis: Ayahanda Albert Manalu dan ibunda Rince Ria Situmeang,Spd yang telah memberikan sejenak kasih sayang, perhatian dan bimbingan yang tulus kepada penulis

2. Kakak Tiur Nismawati Manalu,Spd, abang Luhut Hamonangan Manalu,SE dan adik tercinta Veronika Adelina Manalu yang telah memberikan kasih sayang yang tulus dan dukungan moril kepada penulis. 3. Maria Sutini Oktavia Ambarita,Amd yang selama ini memberi motivasi,

dukungan, serta pelajaran yang sangat berarti kepada penulis.

4. Teman-teman penulis tersayang: Roy Inaldo Situmorang, Parlindungan Ritonga, Roy Permadi Siagian, Alex Sundar Purba, Junaidi Situmorang, Ridha Hafis,SH, Torkis Sutanto, Andiko Situmorang, Hernalom Panjaitan. 5. Sahabat-sahabat tercinta: Syawal Saputra Siregar,SH, Dedi Johanes

Pakpahan, Karlina Listra Veni, Dumaria Simamora, Ruben Siahaan.

6. Kepada Teman-teman Organisasi GMKI yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skirpsi ini.

7. Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang sangat besar dan selalu mendukungku, terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.


(9)

8. Kepada teman-teman, khususnya stambuk 2007 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

9. Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, September 2012

Daniel Andreo Manalu


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 23

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN ... 28

A. Pengertian Pertanggungjawaban ... 28

1. Kemampuan Bertanggung Jawab ... 28

2. Kesengajaan ... 29

3. Kealpaan ... 32

4. Alasan Penghapusan Pidana ... 33

B. Sistem Pertanggungjawaban dalam KUHP ... 35

C. Sistem Pertanggungjawaban di Luar KUHP ... 41

BAB III PENGATURAN TINDAK PERDAGANGAN ORANG DALAM UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007 ... 48


(11)

A. Latar Belakang Munculnya Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak

Pidana Perdagangan Orang ... 48

B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 56

C. Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ... 66

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 ... 74

A. Kasus ... 74

B. Analisis Terhadap Putusan No 1642/Pid B/2009/PN Mdn ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(12)

ABSTRAK

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Makanya tindak pidana perdagangan di Indonesia telah menjadi perhatian khusus bagi aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan perdagangan orang di Indonesia dilakukan dengan terorganisasi oleh pelakunya sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana perdagangan orang ini.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan tentang tindak pidana perdagangan orang dalam peraturan perundang-udangan. Peraturan tentang perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1642/Pid.B/2009 PN.Mdn.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis Normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (Law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (Lawa as it is decided by the judge trough judical process).

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 merupakan peraturan khusus (Lex specialis) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perdagangan orang adalah salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, dan penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun di luar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trafficking bukanlah hal yang baru. Kasus trafficking telah dikenal sejak

ribuan tahun yang lalu, yaitu pada masa kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh Justinian, tahun 527-565M.1 Pada masa itu, Justinian menulis sebuah catatan tentang adanya pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih banyak dari prostitusi. Pihak tersebut merayu para perempuan muda miskin dengan barang-barang mahal. Setelah itu, mereka menyekap dan memaksa para perempuan itu untuk terus bekerja dalam rumah bordil selama mucikari menghendakinya.

Trafficking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak

kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk didengar oleh karena tingkat terjadinya trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia sendiri. Fenomena ini memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana yang diketahui bahwa trafficking terhadap manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik, kultural, dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 dengan sebutan Perdangangan Orang sebagai “the form of modern day slavery”.2


(14)

Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia.

Undang-Undang No.21 tahun 2007 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)” melarang semua jenis tindakan, cara, atau semua bentuk ekploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang. Baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara baik pelaku perorangan maupun korporasi.

Penegakan hukum dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan., bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya.3 Proses penegakan hukum tidak akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat (social welfare).4

Di dalam KUHP, sesungguhnya telah terdapat banyak Pasal yang biasa didayagunakan untuk menindak pelaku trafficking ini, seperti Pasal 263 tentang Memalsukan surat-surat, Pasal 227 tentang Mengaburkan asal usul seseorang. Pasal 258, Pasal 286, Pasal 287, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, dan masih banyak lagi yang akan dibahas lebih lagi nantinya. Disamping itu, trafficking terhadap manusia juga sesungguhnya dilarang dalam berbagai peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia di luar KUHP yang memuat ancaman


(15)

pindak pidana kepada pelaku tindak pidana terkait trafficking, seperti; Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 Tentang Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Kemigrasian, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1991 Tentang Penghapusan Korupsi dan lain sebagainya. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak misalnya juga menetapkan larangan memperdangangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual.

Upaya penegakan hukum terkait dangan tindak pidana perdagangan orang ini, maka pada tanggal 19 April 2007, Lembaran Negara No. 58, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerantasa Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) No. 21 Tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tanggal 19 April 2007, lahirlah Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, terbitnya undang-undang ini merupakan suatu


(16)

prestasi, karena dianggap sangat komprehensif dan mencerminkan ketentuan yang diatur dalam Protokol PBB.

Perdagangan orang (trafficking) adalah pelanggaran HAM yang paling kejam karena merupakan bentuk baru dari perbudakan dan tidak mengindahkan derajat dan martabat manusia. Di Indonesia, trafficking merupakan salah satu masalah kriminal yang sulit dicegah dan ditangkap pelakunya. Contoh kasus fenomenal yang berhasil ditangkap adalah kasus 600 anak perempuan dari Sumatera Utara yang dijual untuk dilacurkan ke Dumai, Kepulauan Riau.5 Sementara itu, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik Indonesia mencatat, tahun 1999 hinggal Desember 2007 terdapat 514 kasus

trafficking.6 Meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 21

tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, masih banyak pelaku yang belum tertangkap. Kejahatan trafficking seringkali tak hanya berlokasi di negeri sendiri (Indonesia), tetapi juga melibatkan pihak asing yang bertempat di luar negeri (negara lain) sehingga sulit untuk diberantas. Oleh karena itu, harus ada kerja sama yang kuat antar negara untuk memberantas trafficking.

Trafficking manusia juga dikienal diseluruh dunia sebagai satu-satunya

tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan terorganisir untuk mengalihkan dana yang besar ke berbagai upaya mengoperasikan kejahatan terkait lainnya, seperti perdagangan narkotika, pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendi-sendi perekonomian negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang


(17)

menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk kedalam kejahatan lintas negara.

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah yang dimaksud dengan konsep pertanggungjawaban pidana menurut perundang-undangan hukum pidana?

2. Bagaimanakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku percobaan tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan Penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana dalam perundang-udangan

2. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku percobaan tindak pidana perdagangan orang dikaitkan dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1642/Pid.B/2009/PN.Mdn)


(18)

Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian terhadap kajian perkembangan tindak pidana trafficking secara Nasional dan Internasional. 2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

masukan bagi pemerintah dan masyarakat dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah

trafficking ini yang sudah merupakan kejahatan lintas Negara.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasli-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisa Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan)” belum pernah dilakukan dalam pendekatan terhadap permasalahan yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang perdagangan orang namun pendekatan permasalahan yang diteliti berbeda. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprhensif dalam suatu penelitian ilmiah. Dengan demikian penelitian ini dapata dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademi.


(19)

E. Tinjauann Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability, vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon, culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek tindak pidana. Maka dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas itu belum diatur dalam KUHP (WvS)

Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “ tidak dipidana jika tidak ada kesalahan ( geen straf zonder schuld ; actus non facit reum nisi mens sir rea ) “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.


(20)

Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit ( fait materielle ).

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.


(21)

8

Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11

9

Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75 a. Definisi Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.7

Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.8 Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.

Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.9

Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.


(22)

10

Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).

11

DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal.131

12

W.P.J. Pompe, op.cit hal. 190

Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.10

Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.11 Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.12

Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut:


(23)

13

Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79

14

Ibid, halaman 80

“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected to the exaction.13

Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”.

Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.14

b. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif

Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin


(24)

dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi. Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:

TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA

Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).

I. Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KHUP

KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP.

Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.


(25)

15

Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260

II. Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP

Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah ini :

a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

d. UU No. 23 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan.

Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.

Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.15 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif


(26)

16

Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62

17

Ibid hal 63

dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.

Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.16

Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.17 Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu. Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan


(27)

tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.

Tindak pidana tidak berdiri sendiri, dia baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana.

Pertanggungjawaban pidana dikarenakan berkait dengan unsur subyektif pelaku maka tentunya sangat berkait erat dengan faktor ada atau tidaknya kesalahan yang mengandung unsur melanggar hukum atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya. Hasil akhirnya dapat berupa pernyataan bahwa tidak diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya sehingga tidak ada kesalahan dari pelakunya, namun bisa juga diketemukan unsur melawan hukum dalam tindakannya namun tidak ada kesalahan dari pelakunya.Tinjauan awal yang dilakukan adalah menentukan apakah suatu perbuatan seseorang itu melanggar hukum atau tidak sehingga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau tidak. Dalam hal ini harus dipastikan terlebih dahulu adanya unsur obyektif dari suatu tindak pidana. Jika tidak diketemukan unsur melawan hukum maka tidak lagi diperlukan pembuktian unsur kesalahannya. Tetapi jika terpenuhi unsur perbuatan melanggar hukumnya, selanjutnya dilihat apakah ada kesalahan atau tidak serta sejauh mana tingkat kesalahan yang dilakukan pelaku sebagai dasar untuk menyatakan dapat tidaknya seseorang memikul pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu.


(28)

18

Ibid. hal. 97.

19

Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Hlm. 1.

2. Pengertian Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang

a. Percobaan Melakukan Tindak Pidana

Pada umumnya orang melakukan suatu tindak pidana itu hanya dapat dihukum, jikalau tindak pidana itu telah seluruhnya diselesaikan, artinya semua unsur-unsur dari tindak pidana itu telah terwujud. Timbul pertanyaan, jika orang itu telah mulai melakukan tindak pidana, akan tetapi tidak samapai selesai? Dalam hal ini kita berhadapan dengan soal percobaan (poging).

Kata “percobaan” atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.18 Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.

Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji.19 Dari apa yang diterangkan di atas, kiranya ada dua arti percobaan.

Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai. Syaratnya ialah perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar kehendak (alam batin) semata, misalnya hendak menebang pohon, namun orang itu telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai pohon tumbang. Misalnya, baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau kepergok si pemilik pohon kemudian dia


(29)

melarikan diri, dan terhentilah perbuatan menebang pohon. Wujud mengayunkan kampak tiga atau empat kali adalah merupakan percobaan dari perbuatan menebang pohon.

Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan “melakukan sesuatu dalam keadaan diuji” adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu di bidang ilmu pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air tawar, atau percobaan obat tertentu pada kera dan sebagainya.

Didalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging) tetapi dirumuskan syarat-syaratnya. Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:

Pasal 53

1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-semata disebabkan karena kehendaknya sendiri.


(30)

20

Lamintang dikutip oleh Muhammad Ekaputra. Percobaan (Poging). 2002 digitized by USU

digital library dalam

pada tanggal 5 Oktober 2010 pukul 22:15 WIB.

21 Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Hlm. 536.

2) Maksimu pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga

3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pasal tersebut tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging). Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan: Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering

geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka

percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan).20

Pasal 53 KUHP hanya menentukan kapan percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut21:

a) Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bawha orang itu haruslah mempunyai suatu maksud atau suatu voornemen untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.


(31)

b) Telah adanya suatu permulaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki.

c) Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri.

Oleh karena itu, agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan kata lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.

Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran tidak dipidana, sebagaimana dalam Pasal 54 KUHP yang menyatakan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak pidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang (drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana. Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5) KUHP), percobaan menganiaya


(32)

binatang (Pasal 302 ayat (3) KUHP), dan percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5) KUHP).

Syarat ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi disebabkan oleh sesuatu hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya semula.

Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak pelaku dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.


(33)

22 Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana. Universitas

Tarumanagara : Jakarta.

Loebby Loqman22 memberikan contoh sebagai berikut:

a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951.N.J 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat.

A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu A dengan menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, sedangkan B lari meninggalkan ruangan tersebut.

Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan atau penganiayaan berat oleh karena “setidak-tidaknya hanya karena satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya”.

Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak terlaksananya kejahatan yang semula dikehendakinya. Akan tetapi yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang banyak sehingga A tidak “tega” meneruskan perbuatan yang dikehendaki semula.

Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada faktor yang datang


(34)

dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar memaksanya untuk mengundurkan diri.

b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengundurkan diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan.

Sebagai contoh:

Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya orang yang memberikan keterangan tidak benar karena delik “kesaksian palsu”. Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar di depan sidang pengadilan.

Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut menarik kembali keterangan yang tidak benar.


(35)

23 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka

Cipta, 1994), hal 105.

Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik kesaksian palsu) terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah penundaan sidang. c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu keadaan

seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan, sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini disebut dengan

guequalificeerde poging (percobaan yang dikwalifikasi).

Sebagai contoh :

Seorang yang berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut telah memasuki halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman tanpa izin (Huisvredebruik) seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif.23 Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebgai


(36)

24

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafiti Press, 2006), hal. 118

25

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), Hal.

penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by

the judge through judical process).24 Penelitian hukum normatif berdasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu tekni pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undagan, buku-buku, karaya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahasa oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupankan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.25 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibagun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ditelaah secara vertikal berarti dilihat bagaimana hirarkisnya, sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubugan fungsional secara konsisten.


(37)

26

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Banyumedia 2007), hal. 295, bahwa penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.

27

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997), hal. 42. 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah penelitian hukum normatif.26 Penelitan hukum normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.27 Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam kontesks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang urgensi pidana trafficking.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitan dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitan yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitan ini.

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari: Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif, mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah undang-undang adalah peraturan pemerintah, peraturan Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga Negara. Putusan pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.


(38)

28

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005), hal 141

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: Grafitti Press, 1990), hal. 14.

30

Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hal. 97.

b. Bahan Hukum Sekunder: Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan perundang-undangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.28

c. Bahan Hukum Tesier: Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum.29 Jadi penelitan ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: Studi Kepustakaan. Studi Kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitan ini.30

4. Metode Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan Pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.


(39)

31

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 225.

32 Ibid

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:31

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum

(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interprestasi

terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah urgensi pidana trafficking kepada traficker;

c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.


(40)

BAB II

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggungjawab. Tidaklah mungkin seorang dapat dipertanggungjawabakan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Pertanyaan yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatan mampu bertanggung jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu?

Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab, yang berhubungan denga itu Pasal 44:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana”.

Dari Pasal 44 tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:


(41)

33

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal 165.

34 Ibid

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi,33 yang pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan atara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyusaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentan baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapa dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinya cacat atau sakit dalam tubuhnya.34

2. Kesengajaan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Criminiel Wetboek) tahun 1809 dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Dalam Memorie Van Toelichting (MVT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum


(42)

35

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal.171-173

36

Ibid, 172-173

Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan: “sengaja” diartikan: “dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.35

Menurut teorei kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah “sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian B. Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingiinkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketehui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.

Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah:36 Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya.


(43)

38

Ibid, hal. 174-175

Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya.

Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.

Dari uraian tersebut, pembuktian terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur perbuatan yang dilakukannya saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi, atau mengerti perbuatannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

Dalam perkembangannya kemudian, secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan, kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).37 Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Praktek peradilan


(44)

38

Ibid, hal. 198

semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan seusai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

3. Kealpaan

Kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan udangn-undang, tetapi ia tidak mengidahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebtu. Jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obejktif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:38 Pada umumnnya bagi kejahatan-kejatahan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehigga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor.

Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kasalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah ia kurang mengindahkan larangan itu.

Dari apa yang diutarakan di atas, Moeljatno berkesimpulan bahwawa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya


(45)

39

Ibid

40

Ibid, hal. 201

kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.39

Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan pengahati-hati sebagaimana diharuskan hukum.40

4. Alasan Penghapusan Pidana

Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tindak pidana.

Memorie van Toelichting (M.v.T) mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang” M.v.T menyebut 2 (dua) alasan:

a. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan

b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu.


(46)

39

Ibid

40

Ibid, hal. 201

Disamping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri terhadap alasan penghapus pidana, yaitu:

a. Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP.

b. Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja, misal Pasal 221 ayat (2) KUHP: “menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya.” Di sini iat tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan dari isteri, suami dan sebagainya orang-orang yang masih adal Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembeedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (2) jenis alasan penghapus pidana yaitu:

a. Alasan pembenar, dan

b. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan

1. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemindanaan.


(47)

\41

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghali Indonesia, 1982), hal. 98.

2. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisi lain ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana.

B. Sistem Pertanggungjawaban dalam KUHP

KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang dianut. Beberapa Pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Namun sayang, kedua istilah tersebtu tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP. Kedua kata-kata itu sering dipakai dalam rumusan delik, seakan-akan sudah pasti, tetapi tidak tahu apa maknanya. Hal itu seakan-akan tidak menimbulkan keragu-raguan lagi dalam pelaksanaannya.41

Apabila dicermati rumusan Pasal-Pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Berikut ini akan dikutipkan rumusan Pasal-Pasal KUHP tersebut.

1. Dengan sengaja misalnya, Pasal 338 KUHP yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan.... dan seterusnya.


(48)

2. Karena kealpaan Misalnya, Pasal 359 KUHP yang berbunyi: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana... dan seterusnya.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kesengajaan atau kealpaan tersebut. Namun, berdasarkan doktrin dan pendapat para ahli hukum dapat disimpulkan bahwa dengan rumusan seperti itu berarti Pasal-Pasal tersebut mengandung unsur kesalahan yang harus dibuktikan oleh pengadilan. Dengan kata lain, untuk memidana pelaku, selain telah terbukti melakukan tindak pidana, maka unsur kesengajaan atau kealpaan juga harus dibuktikan.

Sementara itu, terdapat juga Pasal-Pasal yang dirumuskan tidak secara ekplisit mengenai kesengajaan atau kealpaan. Namun, dari rumusannya sudah dapat ditafsirkan secara gramatikal bahwa rumusan yang demikian tak lain dan tak bukan harus dilakukan dengan sengaja. Beberapa contoh Pasal itu dapat dilihat berikut ini.

1. Dengan Maksud Misalnya Pasal 362 KUHP yang berbunyi: Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau untuk sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum...dan seterusnya.

2. Mengetahui/Diketahui Misalnya, Pasal 480 KUHP yang berbunyi: Barang siapa... yang diketahuinya atau disangka bahwa barang itu diperoleh dari kejahatan...dan selanjutnya.

3. Yang Ia Tahu Misalnya, Pasal 245 KUHP yang berbunyi: Barang siapa yang dengan sengaja, mengeluarkan mata uang kertas negara atau uang


(49)

42

Ibid, hal. 86.

kertas yang ditirunya atau dipalsukannya sendriri atas yang pada waktu diterimanya ia tahu...dan seterusnya.

4. Dengan Paksa Misalnya, Pasal 167 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan paksa dan melawan hukum memasuki sebuah rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup...dan seterusnya.

5. Dengan Paksa Misalnya, Pasal 160 KUHP yang berbunyi: Barang siappa melawan hukum masuk dengan paksa ke dalam, atau dengan melawan hukum ada tinggal di dalam rumah atau tempat yang tertutup, yang dipakai oleh orang yang lain dan tidak segera pergi dari tempati itu, atas permintaan yang berhak...dan seterusnya.

6. Dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan Misalnya, Pasal 175 KUHP yang berbunyi; Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merintangi pertemuan agama yang bersifat umum dan diizinkan atau upacara agama yang diizinkan atau upacara penguburan jenazah, diancam ...dan seterusnya.

Kalau Pasal-Pasal kejahatan sebagaimana diuraikan di atas disebutkan dengan jelas unsur kesalahan atau setidak-tidaknya bisa ditafsirkan secara gramatikal, tidak demikian halnya dengan Pasal-Pasal pelanggaran. Apabila dicermati Pasal-Pasal pelanggaran, dari rumusannya, ada yang jelas-jelas mensyaratkan unsur kesalahan, ada juga pasal-pasal yang tidak jelas rumusannya, apakah kesalahan merupakan unsur yang harus ada atau tidak. Pasal-Pasal yang secara jelasa mensyaratkan adanya unsur kesalahan biasanya dirumuskan secara aktif, seperti menghasut, menjual, menawarkan, membagi-bagikan, memburu, membawa, menjalankan, memberi, menerima, tidak memenuhi kewajiban, dan


(50)

42

Ibid, hal. 86.

dengan terang-terangan menunjukkan. Pasal-Pasal yang dirumuskan seperti ini dapat ditafsirkan bahwa unsur kesahalahan harus terdapat di dalamnya.

Di samping Pasal-Pasal tersbut di atas, terdapat pula Pasal-Pasal pelanggaran lain yang dilihat dari rumusannya tidak terlalu jelas sehingga tidak mudah untuk menafsirkan apakah harus ada unsur kesalahan atau tidak, seperti rumusan pasal-pasal berikut ini.

1. Tidak Mentaati Perintah atau Petunjuk Misalnya Pasal 511 KUHP yang berbunyi: Barang siapa di waktu ada pesta, arak-arakan dan sebagainya tidak mentaati perintah atau petunjuk yang diadakan...dan seterusnya. 2. Tanpa Wewenang Misalnya Pasal 518 KUHP yang berbunyi: Barang siapa

tanpa wewenang memberi pada atau menerima dari seorang terpidana sesuatu barang, diancam dengan...dan seterusnya.

3. Pasal 532 KUHP yang berbunyi: Barang siapa di muka umum menyayikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan

4. Pasal 540 KUHP yang berbunyi: Barang siapa menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan yang terang melebihi kekuatannya.

Dalam pasal 511 dan 518 tersebut di atas, tidak mentaati perintah dan tanpa wewenang tidak dijelaskan lebih lanjut, apakah pasal tersebtu dilakukan dengan sengaja atau alpa. Demikian juga halnya dengan pasal 532, di muka umum menyanyikan lagu yang melanggar kesusilaan, apakah dilakukan dengan sengaja atau alpa. Juga pasal 540 menggunakan hewan untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya tidak dicantumkan unsur kesengajaan atau kealpaan. Jika tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan itu, penegakana hukumnya akan sulit,


(51)

42

Ibid, hal. 86.

karena bisa saja pelaku menyatakan melakukan hal itu karena tidak mengetahui akan adanya perintah atau pelaku tidak mengetahui bahwa ia tidak berwenang.

Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan bagi penulis, apakah Pasal-Pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau dugaan penulis benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP juga menganut pengecualian terhadap asas kesalahan, terutama terhadap Pasal-Pasal pelanggaran.

Pernah juga dalam sejarahnya ada pandangan bahwa apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, dia tentu dipidana, dengan tidak menghiraukan apakah padanya ada kesalahan atau tidak. Pandangan seperti ini juga pernah dikemukakan oleh pembentuk undang-undang ketika membentuk WvS. Pada waktu itu kesalahan diperlukan hanya pada jenis tindak pidana yang disebut kejahatan sehingga tidak pada pelenggaran, sebagaimana dikatakan oleh MvT

(Memorie van Toelichting) berikut ini: “Pada pelanggaran, hakim tidak perlu

untuk mengadakan penyelidikan, apakah ada kesengajaan atau kealpaan”. Apakah terdakwa telah melakukan sesuatu yang lalu bertentangan dengan undang-undang? Cuma inilah yang perlu diselediki. Dan dari jawabannya pula tergantung apakah dijatuhkan pidana atau tidak. Pendapat demikian ini dinamakan ajaran feit

materiel. Di sini tidak dihiraukan sama sekali tentang syarat kesalahan.42

Padangan itu juga dipraktikkan dalam pengadilan (Hooge Raad 23 Mei 1899; 17 Desember 1908, dan 18 Januari 1915). Dalam pertibangan Mahkamah itu disebutkan: Tidaklah Menjadi soal, apakah terdakwa itu telah berbuat dengan sengaja atau dengan alpa asal tidak karena daya memaksa (overmach) maka ia melakukan perbuatannya itu.


(52)

43

Ibid, hal. 87.

Pada bagaian lain Hooge Raad pernah berpendapat: Adalah cukup untuk menyatakan seseorang itu dapat dipidana karena telah melakukan pelanggaran, apabila orang itu secara materil atau secara nyata telah berperilaku seperti dirumuskan di dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.

Persoalan tersebut diatas telah dinyatakn pula dalam Arrest H.R tanggal 14 Februari 1916 tentang “arrest air dan susu” sebagai berikut: A.B pengusaha susu menyuruh D melever susu yang ternyata susu tersebut tidak murni karena telah dicampur air. D tidak tahu sama sekali tentang hal itu. Berdasarkan Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum, perbuatan itu diancam pidana dan merupakan tindak pidana pelanggaran. Oleh Hooge Raad A.B dijatuhi pidana, dengan pertimbangan telah menyuruh pelanyannya (D) melever susu dangan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air, hal tersebut tidak diketahui oleh D.

Sehubungan dengan pandangan pembentuk WvS yang diikuti oleh putusan Mahkamah Agung Belanda tersebtu, tidak diragukan lagi bawha pembentuk WvS menghendaki agar terhadap pelanggaran tidak perlu ada unsur kesalahan. Kenyataan seperti itu mengundang pro dan kontra di kalangan ahli hukum. Simons, misalnya, termasuk menentang pendapat itu.

Pada tahun 1884 ia telah mulai dengan serangan-serangannya terhadap pendapat klasik itu, antara lain, dalam karangannya Sculdbegrip bij overtredigen

dan Themis 1884. Sebagai asas pokok yang diajukan adalah: Tindak pidana tanpa

kesalahan.43 Dengan urain tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

pendapat mengenai penerapan ajaran feit materiel. Di suatu pihak, penjelasan WvS menyebutkan bahwa utnuk pelanggaran tidak diperlukan adanya


(53)

kesengajaan atau kealpaan, cukup apabila perbuatan pelaku memenuhi rumusan delik sehingga ia dapat dipidana. Pendapat seperti ini diikuti juga oleh pengadilan, namun di pihak lain, para ahli hukum mempermasalahkan penerapan feit materiel itu yang dirasakan mengandung ketidakadilan. Pola pikir ahli hukum pada waktu itu adalah karena dianutnya doktri/ajaran tidak tertulis yang berbunyi green starf

zonder schuld yang artinya “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.

Dari uraian itu tampak jelas adanya perbedaan pendapat antara penjelasan pembentuk undang-undang (WvS) yang diikuti putusan Hooge Raad di satu pihak, dengan pendapat ahli hukum di pihak lain. Menurut hemat penulis, melihat kondisi rumusan Pasal-Pasal pelanggaran dalam KUHP, maka penulis cenderung memilih penjelasan WvS yang telah dipraktikkan oleh pengadilan Belanda, yakni terhadap pelanggaran tidak perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan baik berupa kesengajaan maupun kealpaan.

C. Sistem Pertanggungjawaban di Luar KUHP

Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, penulis menganalisis beberapa undang-undang, seperti:

a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi; b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

d. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


(54)

Undang-udang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari kententuan KUHP dan KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan. Dari masing-masing undang-undang tersebut akan dianalisis kecenderungan legislatif dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.

1. Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang itu tidak menyebutkan sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut. Karena tidak disebutkan, sebagai ketentuan umum berlaku ketentuan KUHP. Namun, ada hal yang menyimpang dari KUHP, yakni mengenai subjek delik. UU itu mengakui adanya korporasi sebagai pembuat dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Ketentuan mengenai hal itu terdapat dalam Pasal 15 yang berbunyi:

a. Jika suaut tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atay yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.


(55)

b. Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserkiatan orang atau suatu yayasan, jika tindak pidana itu dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tidank pidana tersebut. c. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum,

suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan penuntutan itu diwakili oleh seorang pengurus atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan suatu pengurus itu dibawa ke muka hakim.

d. Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, atau perserikatan orang atau suatu yayasan, maka segala panggilan itu akan dilakukan kepada kepala pengurus atau di tempat tinggal kepala pengurus itu di tempat pengurus bersidang atau berkantor.

Memperhatikan rumusan Pasal 15 Undang-Undang itu, nampak bahwa menganut sistem pertanggungjawaban pidana badan hukum atau korporasi

(corporate liability). Artinya, di samping terhadap orang yang memberi perintah

atau pimpinan, juga dapat dikenakan pidana kepada badan hukum (korporasi) itu sendiri. Pertimbagan untuk memidana korporsai adalah mengingat dalam delik


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tersebut di atas adalah: 1. Tentang pertanggungjawaban pidana menurut perundang-undangan

Hukum Pidana yakni untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab ini dapat berupa kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi

2. Tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah yang dapat dikategorikan sebagai pelaku tidak hanya orang namun juga dapat berupa instansi. Dalam aspek tindakan, yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi pokok yakni sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu


(2)

3. Tentang pertanggungjawaban Pidana Pelaku percobaan dalam Putusan No. 1642/Pid B/2009/PN Mdn vonis selama 3 (tiga) tahun dan dendan Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) terhadap terdakwa menurut penulis sudah sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan tujuan dari pemidanaan, mengingat tidak selalu tuntutan pidana dari JPU harus dipenuhi, karena Hakim mempunyai dasar pertimbangan-pertimbangan dalam memutus dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, tetapi juga terhadap pengenaan saksi dendan sudah sesuai dengan tuntutan dan ancaman dari Pasal yang didakwakan. Pengenaan sanksi sebesar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta) dirasakan akan menimbulkan efek jera bagi para perekrut/penghubung/calo/Trafickker, mengingat dendan minimal dari Pasal yang didakwakan adalah sama dengan yang diputuskan oleh hakim.

B. Saran

1. Dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab atas diri tersangka, aparat penegak hukum harus memperitmbangkan segala aspek baik penilaian baik fisik maupun psikis yang melekat pada diri terdakwa sebab tidak jarang ditemukan kasus dimana terdakwa yang notabene masuk dalam golongan yang tidak memiliki kemampuan bertanggung jawab dikategorikan sebaliknya dalam proses penegakan hukum.


(3)

2. Perlu dilakukan sosialisasi secara lebih luas atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 terhadap masyarakat, sebab berlakunya undang-undang ini secara kasat mata tidak memberikan perubahan yang signifikan atas identitas penurunan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. 3. Hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana perdagangan orang

harus benar-benar memahami maksud dan tujuan diberikannya hukuman dan menerapkan makna tersebut secara komprehensif tanpa adanya intervensi maupun kecenderungan dari pihak manapun dan dalam kondisi apapun.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Achie Sudiarti Luhulima, “Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39.

Ahmad Sofian, Misran Lubis, dan Rustam, Menggagas Model Penanganan

Perdagangan Anak: Kasus Sumatera Utara, (Yogyakarta: Pusat Studi

Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2004). Kasus ini diberitakan dalam harian Kompas tanggal 26 Maret 2000.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafiti Press, 2006), hal. 118

Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2

C.M. Rien Kuntari dan Khairina, “Perdagangan Manusia: ‘Saya Dijuaaal....’’’,

Kompas, 18 April 2008, hal.45

DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal.131

Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62

Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 201), hal. 1,

Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11

Harkristuti Harkriswono, Laporan Perdagangan Indonesia, (Jakarta: Sentra HAM UI, 2003) hal. 60.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), Hal. 57.


(5)

Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and Nation Responeses To The Cries for Freedom, Article, (Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009), hal. 2

Kathleen K. Hogan, “Comment Slavery In The 21 st Century and In New York: What Has The State Legislature Done?” (Westlaw: Albany Law School, 2008), hal. 2.

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997), hal. 42.

Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : CitraAditya. Bakti. Hlm. 536

Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara,

1984), hal.171-173

Monsignor Franklyn M, “International Trafficking in Persons: Suggested

Responses to a scourge of Humankid”, (Westlaw: Intercultural Human

Rights Law Review, 2008), hal. 1.

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005), hal 141

Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana

Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Hlm. 1

Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hal. 97.

Rudhi Prasetya. “Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, Makalah Seminar Nasional Hukum Pidana, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Tanggal 12-24 November 1989, hal. 12.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghali Indonesia, 1982), hal. 98.

Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124


(6)

Sietske, Altink, Stolen Lives: Trading Women Into Sex and Slavery, (New York: Harrington Park Press 1995), hal. 8. Dikutip dari buku Politik

Perdagangan Perempuan karya Andy Yentriyani, (Yogayakarta: Galang

Press, 2004), hal. 18-19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Grafitti Press, 1990), hal. 14.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 225.

Solidaritas Perempuan (Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia). HAM dalam Praktik Paduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, hal 5 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal 165.

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,

(Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal 105.

United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008 Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban


Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

0 0 1

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 14

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 3

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 35

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 1 59

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

0 0 7

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana 1. Kemampuan Bertanggung Jawab - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menuru

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Juridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dikaitkan Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007

0 0 27

ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642Pid.B2009PN.Mdn) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syar

0 0 11

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG(Kajian Putusan No.1554Pid.B2012PN.Mdn) SKRIPSI

0 0 11