Latar Belakang - Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008-2014 untuk Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

PENDAHULUAN Latar Belakang

  Orangutan Sumatera (Pongoabelii) dan orangutan Kalimantan (Pongopygmaeus) adalah dua jenis satwa parimata yang menjadi bagian penting dari kekayaan keanekaragaman hayati kita, dan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan bonobo hidup di benua Afrika. Orangutan dianggap sebagai suatu ‘flagshipspecies’ yang menjadi suatu simbol untuk meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak dalam aksi konservasi.

  Orangutan juga merupakah ‘umbrella species’elestarian orangutan di habitatnya juga menjamin kelestarian hutan dan kelestarian makhluk hidup lainnya. Dari sisi ilmu pengetahuan, orangutan juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu cabang dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar yang terdapat di Afrika (Caldecott dan Miles, 2005).

  Orangutan sumatera (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini menyebabkan orangutan berada di ambang kepunahan, serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional orangutan adalah satwa yang termasuk dalam kategori genting (endangeredspecies) IUCN (International Union for Conservation of Nature and

  NaturalResources ) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies).

  Keadaan orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan yaitu konservasi (Meijaard et al., 2001).

  Dalam peraturan perundangan Indonesia, orangutan termasuk dalam status jenis satwa yang dilindungi. Pada IUCN Red List Edisi tahun 2002 orangutan dikategorikan Critically Endangered, artinya sudah sangat terancam kepunahan. Diketahui bahwa jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara terus- menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah, namun pada beberapa tahun terakhir ini kecepatan penurunan populasi orangutan terus meningkat.Menyikapi hal tersebut, maka disusunlah suatu dokumen yang dapat menjadi panduan dalam penyelamatan orangutan sumatera sekaligus sebagai acuan bagi para pihak yang bekerja untuk konservasi orangutan.

  Penetapan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017 berguna sebagai kesatuan kerangka kerja konservasi yang memadukan penanganan prioritas, terpadu, dan melibatkan semua pihak dan para pemangku kepentingan.

  Setelah lebih dari setengah periode berjalan, strategi dan rencana aksi yang telah direcanakan dan yang dilaksanakan tidak begitu berefek positif terhadap usaha-usaha konservasi orangutan. Buktinya dari tahun ke tahun, beberapa pelanggaran terhadap perlindungan orangutan dan pengurangan populasi orangutan terus saja terjadi, khususnya untuk orangutan sumatera. Oleh karena itu strategi dan rencana aksi ini perlu dipantau dan dievaluasi untuk melihat sudah sejauh mana pelaksanaan implementasinya serta tingkat keberhasilan dari program-program tersebut sebagaimana tercantum dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017

  Tujuan 1.

  Mengevaluasi pelaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008 – 2014 untuk orangutan sumatera.

  2. Menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat yang berpengaruh terhadap program-program Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008 – 2014 untuk Orangutan sumatera (Pongo abelii)

  Manfaat

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam peningkatan kualitas aksi dan implementasi program-program Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia, khususnya untuk konservasi orangutan sumatera, yaitu berdasarkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan program, serta mengetahui tindakan yang dapat memberikan dorongan dalam pelaksanaan aksi konservsi orangutan sumatera (Ponggoabelii).

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Orangutan

  Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar yang sama dengan saudara-saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan, kera besar satu-satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di pedalaman hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera. Menurut anggapan beberapa ahli taksonom, ada satu spesies dengan dua sub-spesies orangutan, satu pada tiap pulau atau dua spesies, yaitu spesies Sumatera (Pongo abelii) dan spesies Kalimantan (Pongo pygmaeus). Ironisnya nama “Orangutan” jarang sekali disebut oleh penduduk di sekitar habitat alami orangutan. Di Sumatera digunakan julukan “Mawas”. Di Kalimantan, berbagai nama digunakan, termasuk “Maias” atau “Kahiyu” (Rijksen dan Meijaard, 1999 dalam Schaik, 2006).

  Nama orangutan berasal dari bahasa Melayu, yaitu “orang” dan “hutan”, yang dapat diartikan sebagai orang yang berasal dari hutan. Selain itu juga dalam berbagai bahasa Orangutan dikenal juga dengan nama Mawas (Sumatera Utara) dan Maweh (Aceh). Orangutan merupakan hanya ditemui di Asia Tenggara atau tepatnya di Indonesia dan Malaysia. Sedangkan jenis kera besar lainnya, yaitu gorila (Pan gorilla), simpanse (Pan troglodytes), dan bonobo (Pan paniscus) berada di benua Afrika (Galdikas, 1978).

  Klasifikasi dan Anatomi Orangutan

  Menurut Jones et al., (2004), primata diklasifikasikan berdasarkan tiga tingkatan taksonomi yaitu :

  1. Secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan.

  2. Secara ilmiah populasi yang tidak memiliki nama yang terdapat di daerah tersebut dengan bukti terpercaya yang taksonominya dikenali secara terpisah kemungkinan benar.

  3. Secara ilmiah nama spesies dan subspesies yang dikenali belum pasti dan memerlukan investigasi lebih lanjut.

  Berdasarkan tingkatan tersebut, orangutan Sumatera diklasifikasikan menjadi: Kelas : Mammalia Bangsa : Primata Anak bangsa : Anthropoidea Famili : Hominoidea Subfamili : Pongidae Genus : Pongo Jenis : Pongo abelii.

  Orangutan sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), warna rambut coklat kekuningan, tebal atau panjang (Supriatna dan Edy, 2000), dan jika dilihat dari mikroskop berambut membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (Meijaard et al., 2001). Pada bagian wajah orangutan sumatera (Pongo abelii) terkadang memiliki rambut putih, rambut orangutan sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan rambut orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang kasar dan jarang-jarang (Galdikas, 1978).

  Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh orangutan jantan 2 kali lebih besar daripada betina (Supriatna dan Edy, 2000).

  Berat badan betina orangutan sumatera (Pongo abelii) maupun orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan jantan orangutan sumatera (Pongo abelii) rata-rata 66 kg dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 73 kg (Galdikas, 1978). Menurut Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang ialah suara orangutan yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak-jarak jauh yang berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina yang artinya seruan panjang memiliki peranan penting dalam reproduksi dan untuk seruan panjang orangutan kalimantan. (Pongo pygmaeus) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km serta terdengar memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).

  Ancaman Kelestarian Orangutan

  Pertemuan yang diselenggarakan di Berastagi dan Pontianak telah mengidentifikasi berbagai ancaman yang berpotensi meningkatkan risiko kepunahan orangutan di Sumatera dan Kalimantan. Ringkasan jenis dan tingkatan Tabel 1. Analisis keterancaman orangutan sumatera No. Ancaman Tingkat Ancaman Dampak Utama Kemungkinan Pengelolaan

  1. Tekanan populasi penduduk Sedang Degradasi sumberdaya, kepunahan spesies khususnya akibat perburuan, peningkatan erosi, gangguan siklus hidrologi

  ancaman yang teridentifikasi oleh para pihak yang hadir di pertemuan Berastagi dan Pontianak dapat dilihat pada table berikut.

  • Mencegah migrasi ke Taman Nasional - Membatasi/ mengatur pemanfaatan sumberdaya,
  • Membuat insentif untuk pindah keluar
  • Mengurangi perambahan

  2. Perubahan Landuse – tata guna lahan Tinggi Degradasi dan kerusakan sumberdaya, kepunahan spesies, kehilangan fungsi hutan

  • Melarang perubahan lahan (landuse) yang jadi habitat orangutan
  • Penyediaan alternatif mata pencaharian
  • Mendorong ada perda yang mengakomodir ttg habitat orangutan, dengan membangun kawasan konservasi daerah di APL

  3. Kebakaran hutan Tinggi Degradasi habitat, kematian orangutan

  • Pendidikan konservasi
  • Pencegahan dan penanggulangan kebakaran
  • Rescue dan translokasi

  4. Pertambangan Sedang Perubahan dan degradasi habitat

  • Mendorong adanya aturan yang melarang pertambangan pada kawasan yang menjadi habitat orangutan

  5. Penegakan aturan yang lemah Sedang Penebangan hutan dan perburuan tinggi

  • Ada forum yang akan memonitor kegiatan penegakan aturan
  • Ada aturan dan kebijakan pengelolaan orangutan di luar kawasan konservasi

  6. Penebangan hutan Tinggi Habitat orangutan berkurang, perubahan vegetasi dan penurunan populasi

  • Menyusun pedoman penebangan di areal yang ada orangutan
  • Pengembangan kawasan konservasi daerah

  7. Perburuan/ Perdagangan illegal Tinggi Kepunahan spesies, perubahan struktur komunitas

  • Melarang perburuan
  • Patroli pengamanan
  • Pendidikan - Penyediaan alternatif ekonomi
  • Penegakan aturan
Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Hutan Indonesia telah banyak berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, kebakaran hutan serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada tahun 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia (Dephut, 2009).

  Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab Pembukaan peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan.

  Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan sepenuhnya pada tahun 2001, sebagian tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar yang terjadi pada tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan pengelolaan hutan semakin sulit. Sementara itu perencanaan tata guna lahan seringkali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi sumberdaya alam (Dephut, 2009).

  Gambar 1. Peta tingkat keterancaman habitat oragutan sumatera (Pongoabelii) Status Konservasi

  Orangutan (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini menyebabkan orangutan berada diambang kepunahan, serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional orangutan adalah satwa yang termasuk dalam kategori genting (Endangered Species) IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan berupa kegiatan konservasi (Meijaard et al., 2001).

  Monitoring

  Monitoring merupakan proses pengumpulan informasi ( data dan fakta ) dan pengambilan keputusan – keputusan yang diambil dalam pelaksanaan program dengan maksud untuk menghindari terjadinya keadaan – keadaan kritis yang akan mengganggu pelaksanaan program sehingga program tersebut tetap dapat dilaksanakan seperti yang direncanakan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan ( Mardikanto, 1993 ).

  Dalam kaitannya dengan program, monitoring diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektifitas dan dampak kegiatan – kegiatan program yang sedang berjalan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan objektif. Monitoring meliputi kegiatan mengamati/meninjau kembali/mempelajari/ kegiatan mengawasi yang dilakukan secara terus – menerus atau berkala oleh pengelola proyek setiap tingkatan pelaksanaan kegiatan, untuk memastikan bahwa pengadaan/penggunaan input, jadwal kerja, hasil yang ditargetkan dan tindakan – tindakan lainnya yang diperlukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan ( Sinar Tani, 2001 ).

  Dengan melaksanakan monitoring, berarti ingin diketahui secara tepat dan pasti mengenai pengamatan atas bukti dan fakta tentang proses dan pencapaian tujuan yang diharapkan dan penemuan hambatan – hambatan maupun factor pendorong mencapai keberhasilan ( Ginting, 2000 ).

  Evaluasi

  Evaluasi adalah teknik penilaian kualitas program yang dilakukan secara berkala melalui metode yang tepat. Pada hakekatnya, evaluasi diyakini sangat berperan dalam upaya peningkatan kualitas operasional suatu program dan berkontribusi penting dalam memandu pembuat kebijakan diseluruh strata organisasi. Dengan menyusun, mendesain evaluasi yang baik dan menganalisi hasilnya dengan tajam, kegiatan evaluasi dapat member gambaran tentang bagaimana kualitas operasional program, layanan, kekuatan dan kelemahan yang ada, efektifitas biaya dan arah produktif potensial masa depan. Dengan menyediakan informasi yang relevan untuk pembuat kebijakan, evaluasi dapat membantu menata seperangkat prioritas, mengarahkan alokasi sumber dana, memfasilitasi modifikasi, penajaman struktur program dan aktifitas sertamemberi sinyal akan kebijakan penataan ulang personil dan sumber daya yang dimiliki. Di samping itu, evaluasi dapat dimanfaatkan untuk menilai meningkatkan kualitas serta kebijakan program. (Hasugian, 2013)

  Masalah utama dalam evaluasi adalah bahwa agen penyuluhan sering melihatnya sebagai sebuah ancaman, terutama jika mereka kurang percaya diri atau tidak yakin akan penilaian atasannya terhadap tugas mereka. Ini dapat menjadi masalah terutama pada budaya dimana kritik dapat menyebabkan kehilangan muka dan tidak bias dilihat sebagai cara yang positif untuk membantu agar penyuluh memperbaiki tugasnya. Oleh karena itu, penting bagi agen penyuluhan untuk tidak ragu – ragu terhadap penilaian tugasnya, dan berbicara penuh dengan keyakinan untuk diperolehnya masukan yang baik ( Van den Bad

  dan Hawkins, 1999 ).

  Beberapa evaluasi dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode ilmu – ilmu sosial, tetapi sebagian besar dilakukan oleh agen penyuluhan.Untuk itu perlu dikembangkan metodologi yang lebih sedehana, sesuai dan kurang menyita waktu. Evaluasi sebagai pemberi informasi digunakan agen penyuluhan sebagai dasar pengambilan keputusan walaupun biasanya keputusan juga didasarkan pada bayangan yang ditunjukkan oleh banyak sumber informasi, dan tidak dari satu sumber saja. Evaluasi dapat melengkapi basis informasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan bertahap dalam rencana ( van den ban & Hawkins, 1999 ).

  Tujuan dari evaluasi adalah untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektifitas dan dampak dari kegiatan dengan pandangan untuk menyempurnakan kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyususnan program dan pengambilan keputusan dimasa depan. Dan monitoring dilaksanakan agar proyek dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien dengan menyediakan umpan balik bagi pengelola proyek, menyempurnakan rencana operasional proyek, dan mengambil tindakan yang korektif tepat pada waktunya jika terjadi masalah dan hambatan (Sinar Tani, 2001 ).

  Gambaran Umum SRAK OU 2007-2017

  Berawal dari kondisi orangutan yang sangat memprihatinkan, telah mendorong para peneliti, pelaku konservasi, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencari solusi terbaik yang dapat menjamin keberadaan primata itu di tengah upaya negara menyejahterakan masyarakatnya.

  Serangkaian pertemuan untuk menyusun strategi konservasi berdasarkan kondisi terkini orangutan telah diadakan, dimulai dari Lokakarya Pengkajian Populasi dan Habitat (Population Habitat and Viability Analysis) di Jakarta pada 2004, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan multipihak di Berastagi, Sumatera Utara, pada September 2005, dan di Pontianak, Kalimantan Barat pada Oktober 2005, serta di Samarinda pada Juni 2006. Ketiga pertemuan terakhir menyertakan pula pemerintah daerah di seluruh daerah sebaran orangutan, kalangan industri perkayuan, perkebunan kelapa sawit, dan utusan masyarakat, selain peneliti dan pelaku konservasi. Dialog yang dilakukan antara berbagai pihak dengan latar belakang kepentingan yang berbeda di ke-tiga pertemuan itu telah menghasilkan serangkaian rekomendasi yang mencerminkan keinginan baik semua pihak untuk melestarikan orangutan (Forina, 2013.)

  Sebagai kelanjutan, pemerintah melalui Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) bekerjasama dengan Asosiasi Peneliti dan Ahli Primata Indonesia (APAPI), serta didukung oleh Orangutan

  

Conservation Services Program (OCSP)- USAID, telah mensintesis semua butir

  rekomendasi dari pertemuan Berastagi dan Pontianakdan Samarinda melalui pembahasan diskusi kelompok terfokus (FGD) di Jakarta 6 Novermber 2007, FGD di Bogor 30-31 Oktober 2007, FGD Jakarta 8 November 2007, Lokakarya di Jakarta 15-16 November dan Finalisasi di Bogor 20-21November 2007 ke dalam suatu Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Orangutan. Penyusunan strategi dan rencana aksi ini melibatkan kembali berbagai pihak yang berperan serta menghasilkanseluruh butir rekomendasi yang ada. Dengan demikian, proses yang terjadi juga dapat dipandang sebagai upaya mengevaluasi pencapaian target konservasi sejak rekomendasi aksi dicanangkan, selain sebagai upaya memperbarui informasi sebaran dan populasi orangutan. Seluruh rangkaian proses ini diharapkan menghasilkan sebuah acuan yang dapat diterima dan dijalankan semua pihak, sehingga dalam sepuluh tahun yang akan datang kondisi orangutan dan hutan dataran rendah yang menjadi habitatnya akan menjadi lebih baik dari saat ini (Forina, 2013)

  Visi SRAK OU 2007-2017

  Terjaminnya keberlanjutan populasi orangutan dan habitatnya melalui kemitraan para pihak.

  Maksud SRAK OU 2007-2017

  Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Orangutan disusun sebagai upaya merumuskan kesepakatan para pihak ke dalam serangkaian rekomendasi aksi yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan populasi orangutan di dalam proses pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.

  Tujuan dan Sasaran SRAK OU 2007-2017

  Tujuan disusunnya Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan adalah sebagai acuan bagi para pihak untuk menentukan prioritas kegiatan konservasi insitu dan eksitu, serta merancang program pembangunan yang tidak mengancam keberlanjutan populasi orangutan, sehingga kondisi orangutan di alam menjadi lebih baik dalam sepuluh tahun mendatang. Sasaran yang ingin dicapai sampai tahun 2017 adalah :

  1. Populasi dan habitat alam orangutan sumatera dan kalimantan dapat dipertahankan atau dalam kondisi stabil.

  2. Rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ke habitat alamnya dapat diselesaikan pada 2015.

  3. Dukungan publik terhadap konservasi orangutan sumatera dan kalimantan pada habitat alamnya meningkat

  4. Pemerintah daerah dan pihak industri kehutanan serta perkebunan menerapkan tata kelola yang menjamin keberlanjutan populasi orangutan dan sumberdaya alam.

  5. Pemahaman dan penghargaan semua pihak terhadap keberadaan orangutan di alam meningkat

  Wilayah Kerja SRAK OUS

  Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Data ukuran populasi orangutan di berbagai blok habitat di Sumatera beserta sebarannya selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 di bawah (sumber: Wich, dkk draft).

  Tabel 2. Habitat dan populasi orangutan sumatera (2004) No. Unit Habitat Perkiraan Jumlah Orangutan Blok Habitat Hutan Primer (km2) Habitat Orangutan (km2)

  6. Leuser Timur 1052 Tamiang Kapi dan Hulu Lesten

Lawe Sigala-gala

Sikundur-Langkat

  11. Sarulla Timur 150 Sarulla Timur 375 375 Total 6667 14452 7031

  10. Batang Toru Barat 400 Batang Toru Barat 600 600

  80

  80

  9. Rawa Singkil Timur 160 Rawa Singkil Timur

  8. Trumon-Singkil 1500 Rawa Trumon-Singkil 725 725

  7. Rawa Tripa 280 Rawa Tripa (Babahrot) 140 140

  375 220 198 674

  1056 592 680 1352

  5. Sidiangkat 134 Puncak Sidiangkat / Bukit Ardan 303 186

  1. Seulawah

  1727 934 594 125 273 621

  1209 1261 125 358

  

G. Leuser Barat

Rawa Kluet G. Leuser / Demiri Timur

Mamas-Bengkung

  4. Leuser Barat 2508 Kluet Highland (Aceh Barat Daya)

  3. Aceh Tengah Timur 337 Bandar-Serajadi 2117 555

  10

  261

  2. Aceh Tengah Barat 103 Beutung (Aceh Barat) Inge 1297 352

  85

  43 Seulawah 103

  Dari data yang disajikan pada tabel di atas dapatlah diketahui bahwa populasi orangutan terbesar terdapat di wilayah habitat Leuser Barat dengan perkiraan jumlah individu orangutan sebanyak 2508 individu, dan untuk wilayah habitat dengan jumlah individu orangutan terkecil terdapat di Seulawah dengan hanya sekitar 43 individu. (Wich, 2004)

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

  Penelitian ini dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, yaitu meliputi; Medan kota, Medan Maimun, Medan Denai, Medan Amplas, dan Medan Area.

  Dengan pertimbangan bahwa semua pemangku kepentinganterkait pelaksanaanStrategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017 untuk orangutan sumatera berada di kawasan kota Medan. Waktu pelaksanaan penelitian Juli-September 2014.

  Alat dan Bahan Alat

  Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis untuk menulis, kamera digital utuk dokumentasi, perangkat komputer untuk mengolah data.

  Bahan

  Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar monitoring dan evaluasi indikator kesuksesan Rencana Aksi Nasional Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017

  Metode Penelitian

  Metode pengambilan sampel adalah secara purposive. Dimana yang akan menjadi sample penelitian adalah pihak-pihak terkait pelaksanaan program SRAK 2007-2017.

  Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari orang yang ada di lapangan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner dan wawancara kepada respondenuntukmengetahui bagaimana pelaksanaan program-program Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017 berjalan, serta capaian dari program-program yang telah dilaksanakan.

  Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : a. Karakteristik responden yang digunakan untuk validitas dan reliabilitas sumber data, berupa : umur, suku, agama, pendidikan.

  b.

  Evaluasi pencapaian program sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017.

  c.

  Faktor-faktor pendukung dan penghambatpelaksanaan programyang diketahui dari para pemangku kepentingan.

  Analisis Data Analisis Medan Kekuatan(Force Field Analysis)

  Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode analisis medan kekuatan (force field analysis), yaitu metode untuk menganalisis kekuatan/ faktor yang mempengaruhi suatu perubahan (misal : implementasi kebijakan), mengetahui sumber kekuatannya, dan memahami apa yang bisa kita lakukan terhadap faktor-faktor kekuatan tersebut (Lewin, 1951). Adapun tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis medan keuatan adalah sebagai berikut,

  1. Tentukan program yang akan dianalisis 2.

  Menetukan bidang perubahan yang akan dibahas. Bidang perubahan ini dapat ditulis sebagai sasaran kebijakan yang diinginkan atau tujuan.

  3. Semua kekuatan yang mendukung adanya perubahan kemudian ditulis dalam kolom di sebelah kiri (mendorong perubahan ke depan),

  4. Sementara semua kekuatan penentang munculnya perubahan ditulis dalam kolom di sebelah kanan (penghambat perubahan).

  5. Kekuatan pendorong dan penghambat ini kemudian diberi skor sesuai dengan ‘magnitude’ masing2, mulaidari skor satu (lemah) hingga skor lima (kuat). Skor yang diperoleh bisa jadi tidak seimbang dimasing- masing sisi.

  6. Menetapkan tindakan yang dapat dilakukan menghadapi kekuatan- kekuatan tersebut. Dampak paling signifikan akan dipeoleh dengan cara meningkatkan kekuatan pendukung yang lemah sementara mengurangi kekuatan penghambat yang kuat.

  7. Dalam upaya mempengaruhi kebijakan sasaran utamanya adalah menemukan cara untuk mengurangi kekuatan-kekuatan penghambat sekaligus mencari peluang untuk mendapat keuntungan dari kekuatan- kekuatan pendorong.

  Skala Likert Gambar 1. Analisis Medan Kekuatan (Force Field Analysisis)

  Untuk keperluan analisis ini, pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan cara memberikan bobot penilaian dari setiap program yang dilaksanakan menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2004; 84), skala Likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi sub variabel. Kemudian sub variabel dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur. Komponen- komponen yang terukur ini kemudian dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang kemudian dijawab oleh responden atau oleh peneliti berdasarkan kondisi responden. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Untuk keperluan analisis secara kuantitatif, maka jawaban yang diperoleh dari kuesioner akan diberikan bobot penilaian berdasarkan skala Likert seperti terlihat pada tabel 3 dibawah ini, yaitu :

  

Tabel 3.Pembobotan Skala Likert

PencapaianProgram Bobot

  Sangat Baik

  5 Baik

  4 Cukup

  3 Buruk

  2 Sangat Buruk

  1 Data yang telah terkumpul kemudian diproses dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data secara kulitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan impelementasi program selama tahun 2008-2014 yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel.

  Batasan Penelitian

  Untuk menghindari kesalahan pengertian dan definisi yang berbeda – beda dalam mengartikan hasil penelitian ini, maka perlu didefinisikan beberapa hal yang berkaitan dengan isi laporan guna memberikan batasan – batasan terhadap setiap variable yang diteliti.

  1. Monitoring adalah kegiatan untuk memastikan dan mengendalikan keserasian pelaksanaan program dengan perencanaan yang telah ditetapkan.

  3. Evaluasi kinerja lembaga-lembaga terkait adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat apakah lembaga-lembaga yang terkait dengan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia

  2007 – 2017 untuk orangutan sumatera (Pongoabelii) melaksanakan fungsinya sesuai dengan kondisi dan porsinya.

  Batasan Operasional

  Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka dibuat batasan operasional sebagai berikut.

  1. Daerah penelitian adalah kota Medan.

  2. Dalam penelitian ini yang dimonitoring dan dievaluasi adalah pelaksanaan program-program serta indikator keberhasilan yang terdapat pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017.

  3. Sampel dalam penelitian ini adalah kepala para pemangku kepentingan yang tercantum dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017.

  4. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai September 2014.

Dokumen yang terkait

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

1 40 84

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 53 84

Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008-2014 untuk Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

2 80 163

Kelimpahan Jenis dan Estimasi Produktivitas Ficus spp. Sebagai Sumber Pakan Alami Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), TNGL.

1 57 123

Struktur dan Komposisi Pohon pada Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 57 74

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 0 34

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang

0 0 9

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 0 34

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 0 9

Pendugaan Produktivitas Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada Kawasan Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Bukit Lawang.

0 0 14