Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008-2014 untuk Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

(1)

2008-2014 UNTUK ORANGUTAN SUMATERA (

Pongoabelii

)

SKRIPSI

AKHIRUL HIJRY 091201047

MANAJEMEN HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ii

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008-2014 untuk Orangutan Sumatera (Pongo abelii)”

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis yang telah membesarkan, memelihara, dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pindi Patana, S.Hut., M.Sc., dan Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian proposal penelitian ini. Khusus untuk FOKUS (Forum Komunikasi Orangutan Sumatera), BBKSDA-SU, dan OIC yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian.

Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai Program Studi Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat.


(3)

iii

ABSTRAK

AKHIRUL HIJRY : Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2008-2014 untuk Orangutan Sumatera (Pongo abelii), dibimbing oleh : Pindi Patana dan Rahmawaty.

Dalam peraturan perundangan Indonesia, orangutan termasuk dalam status jenis satwa yang dilindungi. Diketahui bahwa jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara terus-menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah, namun pada beberapa tahun terakhir ini kecepatan penurunan populasi orangutan terus meningkat. Menyikapi hal tersebut, maka disusunlah suatu dokumen yang dapat menjadi panduan dalam penyelamatan orangutan sumatera sekaligus sebagai acuan bagi para pihak yang bekerja untuk konservasi orangutan. Penetapan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017 berguna sebagai kesatuan kerangka kerja konservasi yang memadukan penanganan prioritas, terpadu, dan melibatkan semua pihak dan para pemangku kepentingan.

Setelah lebih dari setengah periode berjalan, strategi dan rencana aksi yang telah direcanakan dan yang dilaksanakan tidak begitu berefek positif terhadap usaha-usaha konservasi orangutan. Oleh karena itu strategi dan rencana aksi ini perlu dipantau dan dievaluasi untuk melihat sudah sejauh mana pelaksanaan implementasinya serta tingkat keberhasilan dari program-program tersebut sebagaimana tercantum dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017


(4)

iv

ABSTRACT

AKHIRULHIJRY: MonitoringandEvaluationStrategyandAction Plan2008-2014for theIndonesianOrangutanConservationSumatran Orangutan(Pongo abelii), guidedby: PindiPatanaandRahmawaty.

InlegislationIndonesia, orangutansare included in theprotected speciesstatus. It is knownthat thenumberof wild populationshave declinedsteadily inrecent decades due tothe loss oflowland forest, but inrecent yearsthe pace of declinein orangutan populationscontinue to increase. In response,then draftedadocumentthatcanserve as a guideinthe Sumatran orangutanrescueas wellas areference forthose workingfor theconservationof orangutans. DeterminationConservationStrategy and Action Plan(SRAK)

OrangutanIndonesia2007-2017usefulasunitaryframeworkthat combinesthe

handling ofpriorityconservation, integrated, andinvolveall

partiesandstakeholders.

After morethanhalf ofthe current year, a strategyand action planthathas beenplannedandimplementednot sopositive effect onorangutanconservationefforts. Therefore,strategiesand action plansneed to bemonitoredandevaluatedtoseethe extent to whichthe implementation of theimplementationand the level ofsuccessofsuch programsas containedindocumentConservationStrategy and Action Plan(SRAK) OrangutanIndonesia2007-2017


(5)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Akhirul Hijry lahir pada 9 Juli 1991 di Kota Solok, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu ayah Mulsriharto (Alm) dan ibu Oktiviarni S,Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 01 Gunung Talang pada tahun 2003, lulus dari SMPN 01 Gunung Talang pada tahun 2006, dan lulus dari SMAN 01 Gunung Talang pada tahun 2009. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Universitas Sumatera Utara dengan mengambil Program Studi Kehutanan, di Fakultas Pertanian melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) pada tahun 2009.

Selama mengikuti pendidikan di Universitas Sumatera Utara, penulis aktif di organisasi KAMMI, BKM Al-Mukhlisin FP USU, dan BKM Baytul Asyjaar Kehutanan. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Tahura xxx pada tahun 2012 selama 10 hari. Pada tahun 2013, penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangana (PKL) di Taman Nasional (TN) Sebangau, Kalimantan Tengah. Pad akhir masa kuliah, penulis melakaukan penelitian tentang Monitoring dan Evaluasi Strategi dan Rencana aksi konservasi orangutan di Medan pada bulan Juli-September 2014.


(6)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Orangutan ... 4

Klasifikasi dan Anatomi Orangutan Sumatera (Pongoabelii) ... 5

Ancaman Kelestarian Orangutan ... 6

Status Konservasi ... 7

Monitoring ... 8

Evaluasi ... 9

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11


(7)

vii

Batasan Penelitian ... 14

Batasan Operasional ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum SRAK OU ... 16

Visi, Maksud, dan Tujuan ... 17

Wilayah Kerja SRAK OUS ... 18

Data Masing-Masing Habitat ... 20

Pemangku Kepentingan ... 24

Analisis Keterancaman Orangutan Sumatera ... 26

Evaluasi SRAK OUS ... 29

Analisis Medan Kekuatan ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41

Saran ... 42 DAFTAR PUSTAKA


(8)

viii

DAFTAR TABEL

No.

1. Habitat dan populasi orangutan sumatera (2004) ... 19

2. Analisis keterancaman orangutan sumatera ... 27

3. Evaluasi pelaksanaan program aksi SRAK OUS 2008-2014 ... 29

4. Faktor pendukung program aksi SRAK OUS ... 35

5. Faktor penghambat program aksi SRAK OUS ... 37


(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

No.

1. Analisis medan kekuatan (Force field analysis) ... 13 2 Peta distribusi orangutan sumatera ... 18 3 Analisis keterancaman habitat orangutan sumatera ... 26


(10)

10

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Orangutan Sumatera (Pongoabelii) dan orangutan Kalimantan (Pongopygmaeus) adalah dua jenis satwa parimata yang menjadi bagian penting dari kekayaan keanekaragaman hayati kita, dan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga kerabatnya yaitu gorila, chimpanze, dan bonobo hidup di benua Afrika. Orangutan dianggap sebagai suatu ‘flagshipspecies’ yang menjadi suatu simbol untuk meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang partisipasi semua pihak dalam aksi konservasi. Orangutan juga merupakah ‘umbrella species’elestarian orangutan di habitatnya juga menjamin kelestarian hutan dan kelestarian makhluk hidup lainnya. Dari sisi ilmu pengetahuan, orangutan juga sangat menarik, karena mereka menghadirkan suatu cabang dari evolusi kera besar yang berbeda dengan garis turunan kera besar yang terdapat di Afrika (Caldecott dan Miles, 2005).

Orangutan sumatera (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini menyebabkan orangutan berada di ambang kepunahan, serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional


(11)

11

orangutan adalah satwa yang termasuk dalam kategori genting (endangeredspecies) IUCN (International Union for Conservation of Nature and NaturalResources) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan yaitu konservasi (Meijaard et al., 2001).

Dalam peraturan perundangan Indonesia, orangutan termasuk dalam status jenis satwa yang dilindungi. Pada IUCN Red List Edisi tahun 2002 orangutan dikategorikan Critically Endangered, artinya sudah sangat terancam kepunahan. Diketahui bahwa jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara terus-menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran rendah, namun pada beberapa tahun terakhir ini kecepatan penurunan populasi orangutan terus meningkat.Menyikapi hal tersebut, maka disusunlah suatu dokumen yang dapat menjadi panduan dalam penyelamatan orangutan sumatera sekaligus sebagai acuan bagi para pihak yang bekerja untuk konservasi orangutan. Penetapan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017 berguna sebagai kesatuan kerangka kerja konservasi yang memadukan penanganan prioritas, terpadu, dan melibatkan semua pihak dan para pemangku kepentingan.

Setelah lebih dari setengah periode berjalan, strategi dan rencana aksi yang telah direcanakan dan yang dilaksanakan tidak begitu berefek positif terhadap usaha-usaha konservasi orangutan. Buktinya dari tahun ke tahun, beberapa pelanggaran terhadap perlindungan orangutan dan pengurangan populasi


(12)

12

orangutan terus saja terjadi, khususnya untuk orangutan sumatera. Oleh karena itu strategi dan rencana aksi ini perlu dipantau dan dievaluasi untuk melihat sudah sejauh mana pelaksanaan implementasinya serta tingkat keberhasilan dari program-program tersebut sebagaimana tercantum dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017

Tujuan

1. Mengevaluasi pelaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008 – 2014 untuk orangutan sumatera. 2. Menganalisis faktor-faktor pendukung dan penghambat yang

berpengaruh terhadap program-program Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2008 – 2014 untuk Orangutan sumatera (Pongo abelii)

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam peningkatan kualitas aksi dan implementasi program-program Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia, khususnya untuk konservasi orangutan sumatera, yaitu berdasarkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan program, serta mengetahui tindakan yang dapat memberikan dorongan dalam pelaksanaan aksi konservsi orangutan sumatera (Ponggoabelii).


(13)

13

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Orangutan

Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar yang sama dengan saudara-saudara mereka dari Afrika. Pada saat ini, orangutan, kera besar satu-satunya yang masih ada di Asia, hanya dapat ditemukan di pedalaman hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera. Menurut anggapan beberapa ahli taksonom, ada satu spesies dengan dua sub-spesies orangutan, satu pada tiap pulau atau dua spesies, yaitu spesies Sumatera (Pongo abelii) dan spesies Kalimantan (Pongo pygmaeus). Ironisnya nama “Orangutan” jarang sekali disebut oleh penduduk di sekitar habitat alami orangutan. Di Sumatera digunakan julukan “Mawas”. Di Kalimantan, berbagai nama digunakan, termasuk “Maias” atau “Kahiyu” (Rijksen dan Meijaard, 1999 dalam Schaik, 2006).

Nama orangutan berasal dari bahasa Melayu, yaitu “orang” dan “hutan”, yang dapat diartikan sebagai orang yang berasal dari hutan. Selain itu juga dalam berbagai bahasa Orangutan dikenal juga dengan nama Mawas (Sumatera Utara) dan Maweh (Aceh). Orangutan merupakan hanya ditemui di Asia Tenggara atau tepatnya di Indonesia dan Malaysia. Sedangkan jenis kera besar lainnya, yaitu gorila (Pan gorilla), simpanse (Pan troglodytes), dan bonobo (Pan paniscus) berada di benua Afrika (Galdikas, 1978).


(14)

14

Menurut Jones et al., (2004), primata diklasifikasikan berdasarkan tiga tingkatan taksonomi yaitu :

1. Secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan secara terang-terangan.

2. Secara ilmiah populasi yang tidak memiliki nama yang terdapat di daerah tersebut dengan bukti terpercaya yang taksonominya dikenali secara terpisah kemungkinan benar.

3. Secara ilmiah nama spesies dan subspesies yang dikenali belum pasti dan memerlukan investigasi lebih lanjut.

Berdasarkan tingkatan tersebut, orangutan Sumatera diklasifikasikan menjadi:

Kelas : Mammalia Bangsa : Primata Anak bangsa : Anthropoidea Famili : Hominoidea Subfamili : Pongidae Genus : Pongo Jenis : Pongo abelii.

Orangutan sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), warna rambut coklat kekuningan, tebal atau panjang (Supriatna dan Edy, 2000), dan jika dilihat dari mikroskop berambut membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (Meijaard et al., 2001).


(15)

15

Pada bagian wajah orangutan sumatera (Pongo abelii) terkadang memiliki rambut putih, rambut orangutan sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan rambut orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang kasar dan jarang-jarang (Galdikas, 1978).

Anak orangutan yang baru lahir memiliki kulit wajah dan tubuh yang berwarna pucat dengan rambut coklat yang sangat muda dan setelah dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umurnya. Ukuran tubuh orangutan jantan 2 kali lebih besar daripada betina (Supriatna dan Edy, 2000). Berat badan betina orangutan sumatera (Pongo abelii) maupun orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 37 kg, sedangkan untuk berat badan jantan orangutan sumatera (Pongo abelii) rata-rata 66 kg dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) rata-rata 73 kg (Galdikas, 1978). Menurut Supriatna dan Edy (2000), pada jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang ialah suara orangutan yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak-jarak jauh yang berfungsi untuk merangsang perilaku seks pada betina yang artinya seruan panjang memiliki peranan penting dalam reproduksi dan untuk seruan panjang orangutan kalimantan. (Pongo pygmaeus) terdengar hingga sejauh lebih dari 2 Km serta terdengar memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).

Ancaman Kelestarian Orangutan

Pertemuan yang diselenggarakan di Berastagi dan Pontianak telah mengidentifikasi berbagai ancaman yang berpotensi meningkatkan risiko kepunahan orangutan di Sumatera dan Kalimantan. Ringkasan jenis dan tingkatan


(16)

16

ancaman yang teridentifikasi oleh para pihak yang hadir di pertemuan Berastagi dan Pontianak dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 1. Analisis keterancaman orangutan sumatera

No. Ancaman Tingkat

Ancaman

Dampak Utama Kemungkinan Pengelolaan

1. Tekanan populasi penduduk Sedang Degradasi

sumberdaya, kepunahan spesies khususnya akibat perburuan, peningkatan erosi, gangguan siklus hidrologi

- Mencegah migrasi ke Taman Nasional

- Membatasi/ mengatur

pemanfaatan sumberdaya,

- Membuat insentif untuk pindah keluar - Mengurangi perambahan 2. Perubahan Landuse – tata

guna lahan

Tinggi Degradasi dan

kerusakan sumberdaya,

kepunahan spesies, kehilangan fungsi hutan

- Melarang

perubahan lahan (landuse) yang jadi habitat orangutan - Penyediaan alternatif mata pencaharian

- Mendorong ada perda yang mengakomodir ttg habitat orangutan, dengan membangun kawasan konservasi daerah di APL

3. Kebakaran hutan Tinggi Degradasi habitat,

kematian orangutan

- Pendidikan konservasi

- Pencegahan dan penanggulangan kebakaran

- Rescue dan translokasi

4. Pertambangan Sedang Perubahan dan

degradasi habitat

- Mendorong adanya aturan yang melarang pertambangan pada kawasan yang menjadi habitat orangutan

5. Penegakan aturan yang lemah Sedang Penebangan hutan

dan perburuan tinggi

- Ada forum yang akan memonitor kegiatan penegakan aturan

- Ada aturan dan kebijakan

pengelolaan

orangutan di luar kawasan konservasi

6. Penebangan hutan Tinggi Habitat orangutan

berkurang, perubahan vegetasi dan penurunan populasi

- Menyusun pedoman penebangan di areal yang ada orangutan - Pengembangan kawasan konservasi daerah

7. Perburuan/ Perdagangan illegal Tinggi Kepunahan spesies, perubahan struktur komunitas

- Melarang perburuan - Patroli pengamanan - Pendidikan - Penyediaan alternatif ekonomi - Penegakan aturan


(17)

17

Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Hutan Indonesia telah banyak berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman, kebakaran hutan serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada tahun 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia (Dephut, 2009).

Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan desentralisasi pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab Pembukaan peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan.

Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan. Semenjak desentralisasi diimplementasikan sepenuhnya pada tahun 2001, sebagian tanggung jawab pengelolaan kawasan hutan diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 100 hektar yang terjadi pada tahun 2001-2002 dengan pola tebang habis menyebabkan pengelolaan hutan semakin sulit. Sementara itu perencanaan tata guna lahan seringkali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi sumberdaya alam (Dephut, 2009).


(18)

18

Gambar 1. Peta tingkat keterancaman habitat oragutan sumatera (Pongoabelii)

Status Konservasi

Orangutan (Pongo abelii) merupakan kera besar endemik Pulau Sumatera yang terancam punah karena hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Kondisi ini menyebabkan orangutan berada diambang kepunahan, serta menjadi langka dan akhirnya dilindungi. Di tingkat nasional orangutan dilindungi keberadaannya oleh


(19)

19

UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Di tingkat internasional orangutan adalah satwa yang termasuk dalam kategori genting (Endangered Species) IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan tidak dapat diperdagangkan karena berada dalam daftar Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies). Keadaan orangutan yang terancam punah tersebut tidak dapat dibiarkan. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan untuk pelestarian orangutan berupa kegiatan konservasi (Meijaard et al.,

2001).

Monitoring

Monitoring merupakan proses pengumpulan informasi ( data dan fakta ) dan pengambilan keputusan – keputusan yang diambil dalam pelaksanaan program dengan maksud untuk menghindari terjadinya keadaan – keadaan kritis yang akan mengganggu pelaksanaan program sehingga program tersebut tetap dapat dilaksanakan seperti yang direncanakan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan ( Mardikanto, 1993 ).

Dalam kaitannya dengan program, monitoring diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektifitas dan dampak kegiatan – kegiatan program yang sedang berjalan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan objektif. Monitoring meliputi kegiatan mengamati/meninjau kembali/mempelajari/ kegiatan mengawasi yang dilakukan secara terus – menerus atau berkala oleh pengelola proyek setiap tingkatan pelaksanaan kegiatan, untuk


(20)

20

memastikan bahwa pengadaan/penggunaan input, jadwal kerja, hasil yang ditargetkan dan tindakan – tindakan lainnya yang diperlukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan ( Sinar Tani, 2001 ).

Dengan melaksanakan monitoring, berarti ingin diketahui secara tepat dan pasti mengenai pengamatan atas bukti dan fakta tentang proses dan pencapaian tujuan yang diharapkan dan penemuan hambatan – hambatan maupun factor pendorong mencapai keberhasilan ( Ginting, 2000 ).

Evaluasi

Evaluasi adalah teknik penilaian kualitas program yang dilakukan secara berkala melalui metode yang tepat. Pada hakekatnya, evaluasi diyakini sangat berperan dalam upaya peningkatan kualitas operasional suatu program dan berkontribusi penting dalam memandu pembuat kebijakan diseluruh strata organisasi. Dengan menyusun, mendesain evaluasi yang baik dan menganalisi hasilnya dengan tajam, kegiatan evaluasi dapat member gambaran tentang bagaimana kualitas operasional program, layanan, kekuatan dan kelemahan yang ada, efektifitas biaya dan arah produktif potensial masa depan. Dengan menyediakan informasi yang relevan untuk pembuat kebijakan, evaluasi dapat membantu menata seperangkat prioritas, mengarahkan alokasi sumber dana, memfasilitasi modifikasi, penajaman struktur program dan aktifitas sertamemberi sinyal akan kebijakan penataan ulang personil dan sumber daya yang dimiliki. Di samping itu, evaluasi dapat dimanfaatkan untuk menilai meningkatkan kualitas serta kebijakan program. (Hasugian, 2013)


(21)

21

Masalah utama dalam evaluasi adalah bahwa agen penyuluhan sering melihatnya sebagai sebuah ancaman, terutama jika mereka kurang percaya diri atau tidak yakin akan penilaian atasannya terhadap tugas mereka. Ini dapat menjadi masalah terutama pada budaya dimana kritik dapat menyebabkan kehilangan muka dan tidak bias dilihat sebagai cara yang positif untuk membantu agar penyuluh memperbaiki tugasnya. Oleh karena itu, penting bagi agen penyuluhan untuk tidak ragu – ragu terhadap penilaian tugasnya, dan berbicara penuh dengan keyakinan untuk diperolehnya masukan yang baik ( Van den Bad

dan Hawkins, 1999 ).

Beberapa evaluasi dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode ilmu – ilmu sosial, tetapi sebagian besar dilakukan oleh agen penyuluhan.Untuk itu perlu dikembangkan metodologi yang lebih sedehana, sesuai dan kurang menyita waktu. Evaluasi sebagai pemberi informasi digunakan agen penyuluhan sebagai dasar pengambilan keputusan walaupun biasanya keputusan juga didasarkan pada bayangan yang ditunjukkan oleh banyak sumber informasi, dan tidak dari satu sumber saja. Evaluasi dapat melengkapi basis informasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan bertahap dalam rencana ( van den ban & Hawkins, 1999 ).

Tujuan dari evaluasi adalah untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektifitas dan dampak dari kegiatan dengan pandangan untuk menyempurnakan kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyususnan program dan pengambilan keputusan dimasa depan. Dan monitoring dilaksanakan agar proyek dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien dengan menyediakan umpan balik bagi pengelola proyek, menyempurnakan rencana operasional proyek, dan


(22)

22

mengambil tindakan yang korektif tepat pada waktunya jika terjadi masalah dan hambatan (Sinar Tani, 2001 ).

Gambaran Umum SRAK OU 2007-2017

Berawal dari kondisi orangutan yang sangat memprihatinkan, telah mendorong para peneliti, pelaku konservasi, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencari solusi terbaik yang dapat menjamin keberadaan primata itu di tengah upaya negara menyejahterakan masyarakatnya. Serangkaian pertemuan untuk menyusun strategi konservasi berdasarkan kondisi terkini orangutan telah diadakan, dimulai dari Lokakarya Pengkajian Populasi dan Habitat (Population Habitat and Viability Analysis) di Jakarta pada 2004, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan multipihak di Berastagi, Sumatera Utara, pada September 2005, dan di Pontianak, Kalimantan Barat pada Oktober 2005, serta di Samarinda pada Juni 2006. Ketiga pertemuan terakhir menyertakan pula pemerintah daerah di seluruh daerah sebaran orangutan, kalangan industri perkayuan, perkebunan kelapa sawit, dan utusan masyarakat, selain peneliti dan pelaku konservasi. Dialog yang dilakukan antara berbagai pihak dengan latar belakang kepentingan yang berbeda di ke-tiga pertemuan itu telah menghasilkan serangkaian rekomendasi yang mencerminkan keinginan baik semua pihak untuk melestarikan orangutan (Forina, 2013.)

Sebagai kelanjutan, pemerintah melalui Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) bekerjasama dengan Asosiasi Peneliti dan Ahli Primata Indonesia (APAPI), serta didukung oleh Orangutan


(23)

23

Conservation Services Program (OCSP)- USAID, telah mensintesis semua butir rekomendasi dari pertemuan Berastagi dan Pontianakdan Samarinda melalui pembahasan diskusi kelompok terfokus (FGD) di Jakarta 6 Novermber 2007, FGD di Bogor 30-31 Oktober 2007, FGD Jakarta 8 November 2007, Lokakarya di Jakarta 15-16 November dan Finalisasi di Bogor 20-21November 2007 ke dalam suatu Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Orangutan. Penyusunan strategi dan rencana aksi ini melibatkan kembali berbagai pihak yang berperan serta menghasilkanseluruh butir rekomendasi yang ada. Dengan demikian, proses yang terjadi juga dapat dipandang sebagai upaya mengevaluasi pencapaian target konservasi sejak rekomendasi aksi dicanangkan, selain sebagai upaya memperbarui informasi sebaran dan populasi orangutan. Seluruh rangkaian proses ini diharapkan menghasilkan sebuah acuan yang dapat diterima dan dijalankan semua pihak, sehingga dalam sepuluh tahun yang akan datang kondisi orangutan dan hutan dataran rendah yang menjadi habitatnya akan menjadi lebih baik dari saat ini (Forina, 2013)

Visi SRAK OU 2007-2017

Terjaminnya keberlanjutan populasi orangutan dan habitatnya melalui kemitraan para pihak.

Maksud SRAK OU 2007-2017

Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Orangutan disusun sebagai upaya merumuskan kesepakatan para pihak ke dalam serangkaian rekomendasi aksi yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan populasi orangutan di dalam proses pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Tujuan dan Sasaran SRAK OU 2007-2017


(24)

24

Tujuan disusunnya Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan adalah sebagai acuan bagi para pihak untuk menentukan prioritas kegiatan konservasi insitu dan eksitu, serta merancang program pembangunan yang tidak mengancam keberlanjutan populasi orangutan, sehingga kondisi orangutan di alam menjadi lebih baik dalam sepuluh tahun mendatang. Sasaran yang ingin dicapai sampai tahun 2017 adalah :

1. Populasi dan habitat alam orangutan sumatera dan kalimantan dapat dipertahankan atau dalam kondisi stabil.

2. Rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ke habitat alamnya dapat diselesaikan pada 2015.

3. Dukungan publik terhadap konservasi orangutan sumatera dan kalimantan pada habitat alamnya meningkat

4. Pemerintah daerah dan pihak industri kehutanan serta perkebunan menerapkan tata kelola yang menjamin keberlanjutan populasi orangutan dan sumberdaya alam.

5. Pemahaman dan penghargaan semua pihak terhadap keberadaan orangutan di alam meningkat

Wilayah Kerja SRAK OUS

Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Populasi orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan


(25)

25

Leuser Timur (1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Data ukuran populasi orangutan di berbagai blok habitat di Sumatera beserta sebarannya selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 di bawah (sumber: Wich, dkk draft).

Tabel 2. Habitat dan populasi orangutan sumatera (2004)

No. Unit Habitat Perkiraan Jumlah Orangutan

Blok Habitat Hutan Primer (km2)

Habitat Orangutan

(km2)

1. Seulawah 43 Seulawah 103 85

2. Aceh Tengah Barat 103 Beutung (Aceh Barat) Inge

1297 352

261 10

3. Aceh Tengah Timur 337 Bandar-Serajadi 2117 555

4. Leuser Barat 2508 Kluet Highland (Aceh Barat Daya) G. Leuser Barat

Rawa Kluet

G. Leuser / Demiri Timur Mamas-Bengkung

1209 1261 125 358 1727

934 594 125 273 621

5. Sidiangkat 134 Puncak Sidiangkat / Bukit Ardan 303 186

6. Leuser Timur 1052 Tamiang

Kapi dan Hulu Lesten Lawe Sigala-gala Sikundur-Langkat

1056 592 680 1352

375 220 198 674

7. Rawa Tripa 280 Rawa Tripa (Babahrot) 140 140

8. Trumon-Singkil 1500 Rawa Trumon-Singkil 725 725

9. Rawa Singkil Timur 160 Rawa Singkil Timur 80 80

10. Batang Toru Barat 400 Batang Toru Barat 600 600

11. Sarulla Timur 150 Sarulla Timur 375 375

Total 6667 14452 7031

Dari data yang disajikan pada tabel di atas dapatlah diketahui bahwa populasi orangutan terbesar terdapat di wilayah habitat Leuser Barat dengan perkiraan jumlah individu orangutan sebanyak 2508 individu, dan untuk wilayah habitat dengan jumlah individu orangutan terkecil terdapat di Seulawah dengan hanya sekitar 43 individu. (Wich, 2004)


(26)

26

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, yaitu meliputi; Medan kota, Medan Maimun, Medan Denai, Medan Amplas, dan Medan Area. Dengan pertimbangan bahwa semua pemangku kepentinganterkait pelaksanaanStrategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017 untuk orangutan sumatera berada di kawasan kota Medan. Waktu pelaksanaan penelitian Juli-September 2014.

Alat dan Bahan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis untuk menulis, kamera digital utuk dokumentasi, perangkat komputer untuk mengolah data. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar monitoring dan evaluasi indikator kesuksesan Rencana Aksi Nasional Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017


(27)

27

Metode pengambilan sampel adalah secara purposive. Dimana yang akan menjadi sample penelitian adalah pihak-pihak terkait pelaksanaan program SRAK 2007-2017.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari orang yang ada di lapangan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner dan wawancara kepada respondenuntukmengetahui bagaimana pelaksanaan program-program Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017 berjalan, serta capaian dari program-program yang telah dilaksanakan.

Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi :

a. Karakteristik responden yang digunakan untuk validitas dan reliabilitas sumber data, berupa : umur, suku, agama, pendidikan.

b. Evaluasi pencapaian program sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017.

c. Faktor-faktor pendukung dan penghambatpelaksanaan programyang diketahui dari para pemangku kepentingan.

Analisis Data

Analisis Medan Kekuatan(Force Field Analysis)

Analisis data pada penelitian ini menggunakan metode analisis medan kekuatan (force field analysis), yaitu metode untuk menganalisis kekuatan/ faktor yang mempengaruhi suatu perubahan (misal : implementasi kebijakan), mengetahui sumber kekuatannya, dan memahami apa yang bisa kita lakukan


(28)

28

terhadap faktor-faktor kekuatan tersebut (Lewin, 1951). Adapun tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis medan keuatan adalah sebagai berikut,

1. Tentukan program yang akan dianalisis

2. Menetukan bidang perubahan yang akan dibahas. Bidang perubahan ini dapat ditulis sebagai sasaran kebijakan yang diinginkan atau tujuan.

3. Semua kekuatan yang mendukung adanya perubahan kemudian ditulis dalam kolom di sebelah kiri (mendorong perubahan ke depan),

4. Sementara semua kekuatan penentang munculnya perubahan ditulis dalam kolom di sebelah kanan (penghambat perubahan).

5. Kekuatan pendorong dan penghambat ini kemudian diberi skor sesuai dengan ‘magnitude’ masing2, mulaidari skor satu (lemah) hingga skor lima (kuat). Skor yang diperoleh bisa jadi tidak seimbang dimasing-masing sisi.

6. Menetapkan tindakan yang dapat dilakukan menghadapi kekuatan-kekuatan tersebut. Dampak paling signifikan akan dipeoleh dengan cara meningkatkan kekuatan pendukung yang lemah sementara mengurangi kekuatan penghambat yang kuat.

7. Dalam upaya mempengaruhi kebijakan sasaran utamanya adalah menemukan cara untuk mengurangi kekuatan-kekuatan penghambat sekaligus mencari peluang untuk mendapat keuntungan dari kekuatan-kekuatan pendorong.


(29)

29

Gambar 1. Analisis Medan Kekuatan (Force Field Analysisis)

Skala Likert

Untuk keperluan analisis ini, pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan cara memberikan bobot penilaian dari setiap program yang dilaksanakan menggunakan skala Likert. Menurut Sugiyono (2004; 84), skala Likert dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi sub variabel. Kemudian sub variabel dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat terukur. Komponen-komponen yang terukur ini kemudian dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan yang kemudian dijawab oleh responden atau oleh peneliti berdasarkan kondisi responden. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Untuk keperluan analisis secara kuantitatif, maka jawaban yang diperoleh dari kuesioner akan diberikan bobot penilaian berdasarkan skala Likert seperti terlihat pada tabel 3 dibawah ini, yaitu :

Tabel 3.Pembobotan Skala Likert

PencapaianProgram Bobot


(30)

30

Baik 4

Cukup 3

Buruk 2

Sangat Buruk 1

Data yang telah terkumpul kemudian diproses dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data secara kulitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan impelementasi program selama tahun 2008-2014 yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel.

Batasan Penelitian

Untuk menghindari kesalahan pengertian dan definisi yang berbeda – beda dalam mengartikan hasil penelitian ini, maka perlu didefinisikan beberapa hal yang berkaitan dengan isi laporan guna memberikan batasan – batasan terhadap setiap variable yang diteliti.

1. Monitoring adalah kegiatan untuk memastikan dan mengendalikan keserasian pelaksanaan program dengan perencanaan yang telah ditetapkan.

2. Evaluasi adalah teknik penilaian kualitas program yang dilakukan secara berkala melalui metode yang tepat.

3. Evaluasi kinerja lembaga-lembaga terkait adalah evaluasi yang dilakukan untuk melihat apakah lembaga-lembaga yang terkait dengan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia


(31)

31

2007 – 2017 untuk orangutan sumatera (Pongoabelii) melaksanakan fungsinya sesuai dengan kondisi dan porsinya.

Batasan Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka dibuat batasan operasional sebagai berikut.

1. Daerah penelitian adalah kota Medan.

2. Dalam penelitian ini yang dimonitoring dan dievaluasi adalah pelaksanaan program-program serta indikator keberhasilan yang terdapat pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017.

3. Sampel dalam penelitian ini adalah kepala para pemangku kepentingan yang tercantum dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia 2007 – 2017.


(32)

32

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi SRAK OU 2007-2014

Sesuai dengan panduan nasional, strategi dan rencana aksi konservasi orangutan memiliki rentang waktu selama sepuluh tahun, yaitu terhitung dari tahun 2008 hingga tahun 2017. Hingga sekarang (2014) sudah lebih dari setengah periode berjalan. Oleh karena itu sebagian besar program-program aksi yang direncanakan seharusnya sudah terlaksana, mengingat sebagian besar program memiliki rentang kerja dari 2008-2014, dan hanya sebagian kecil program yang direncanakan tahun 2015-2017.

Evaluasi yang dilakukan berdasarkan data impelementasi kerja yang dihimpun dari stakeholder yang bertanggungjawab atas program aksi yang direncanakan. Sebagian besar data diperoleh dari Forum Komunikasi Stakeholder Orangutan Sumatera (FOKUS) yang mewadahi stakeholder dalam program aksi SRAK OUS. Data kinerja dari seluruh stakeholder yang dihimpun kemudian di sesuaikan dengan indikator kesuksesan yang terdapat dalam panduan nasional untuk menilai apakah program aksi yang dilaksanakan sesuai dengan panduan nasional sekaligus mengukur tingkat pencapaian program aksi.

Berdasarkan data kinerja yang dihimpun, seluruhnya berjumlah 230 program aksi yang telah dilaksanakan oleh stakeholder orangutan sumatera. Data kineja yang dihimpun tersebut kemudian dilakukan monitoring sesuai sasaran nasional dan dievaluasi tingkat keberhasilannya berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, dan hasilnya dijabarkan pada tabel 4. berikut


(33)

33

Tabel 4. Evaluasi Pelaksanaan Program Aksi SRAK OUS 2008-2014

NO. Kategori ∑ Program ∑ Indikator Capaian Total

Skala Likert Persentase (%)

1 22 33 4 55 1 2 3 4 5

1 Strategi meningkatkan pelaksanaan konservasi insitu sebagai kegiatan utama penyelamatan orangutan di habitat aslinya (A1)

8 18 4 3 3 4 4 22,22% 16,67% 16,67% 22,22% 22,22% 100%

2 Strategi mengembangkan konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan (A2)

10 27 11 5 3 7 1 40,74% 18,52% 11,11% 25,93% 3.70% 100%

3 Strategi meningkatkan penelitian untuk mendukung konservasi orangutan (A3)

8 24 2 6 15 1 8,33% - 25,00% 62,50% 4,17 100%

4 Strategi mengembangkan dan mendorong terciptanya kawasan koservasi daerah berdasarkan karakteristik ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, status hukum, dan kearifan masyarakat (B1)

7 11 1 3 3 2 2 9.08% 27,27 27,27 18,19 18,19 100%

5 Strategi implementasi dan menyempurnakan berbagai peraturan perundangan untuk mendukung keberhasilan konservasi orangutan (B2)

12 23 16 1 2 3 1 69,57% 4,35% 8,69% 13,04% 4,35% 100%

6 Strategi meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan konservasi orangutan Indonesia (C1)

6 13 4 1 1 3 4 30,77% 7,69% 7,69% 23,08% 30,77% 100%

7 Strategi mengembangkan kemitraan lewat pemberdayaan masyarakat (C2)

6 12 3 - 2 4 3 25.00 - 16,67% 33.33 25.00 100%

8 Strategi menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak pelaksana konservasi orangutan di Indonesia (C3)

3 9 6 - 1 1 1 66,67% - 11,11% 11,11% 11,11% 100%

9 Strategi meningkatkan kesadartahuan masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan komitmen mengenai pentingnya upaya konservasi orangutan Indonesia (D1)

9 20 10 1 4 2 3 50,00% 5,00% 20,00% 10,00% 15,00% 100%

10 Strategi meningkatkan dan mempertegas peran pemerintah, pemda, LSM, serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri untuk penyediaan dana bagi konservasi orangutan (E1)

5 7 3 - 3 1 - 42,86% - 42,86% 14,28% - 100%

Total 74 164 60 14 28 42 20 36,59% 8,54% 17,07% 25,61% 12,19% 100%


(34)

34

Dari 74 program aksi dan 164 indikator keberhasilan program yang terdapat dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Nasional, keseluruhannya terbagi dalam 10 (sepuluh) kategori aksi utama, yaitu strategi peningkatan konservasi insitu, strategi mengembangkan konservasi eksitu, strategi meningkatkan penelitian, strategi pengembangan kawasan konservasi, Strategi implementasi dan penyempurnaan perundangan, strategi meningkatkan kemitraan, strategi pemberdayaan masyarakat, strategi penguatan komitmen pelaksana konservasi, strategi meningkatkan penyadartahuan, dan strategi pendanaan

1. Strategi Peningkatan Konservasi Insitu

Pada kategori aksi ini terdapat 8 (delapan) program aksi dengan 18 (delapan belas) indikator keberhasilan. Berdasarkan skala Likert, program aksi yang dievaluasi yang memiliki penilaian Baik dan Sangat Baik yaitu masing-masing sebanyak 4 indikator, yaitu keduanya sebesar 44,44%. Ditambah dengan 3 indikator program yang bernilai Cukup sebesar 16,67%, sehingga bila dijumlahkan secara keseluruhan indikator aksi yang bernilai Cukup sampai dengan Sangat Baik berjumlah 61,11 %. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar program yang dilaksanakan telah berjalan dengan baik dan cukup dapat memenuhi indikator keberhasilan program.

2. Strategi Mengembangkan Konservasi Eksitu

Kategori strategi mengembangkan konservasi eksitu merupakan kategori aksi dengan jumlah program aksi terbanyak kedua setelah strategi implementasi dan penyempurnaan perundangan, yaitu sebanyak 10 (sepuluh) program aksi. Tapi dibandingkan dengan kategori aksi yang lain, kategori ini memiliki jumlah indikator evaluasi program terbanyak, yaitu sebanyak 27 (dua puluh tujuh) indikator keberhasilan.

Berdasarkan evaluasi menggunakan skala Likert, program aksi yang dievaluasi berdasarkan indikator yang ditetapkan mendapatkan penelian Sangat Buruk pada 11 indikator sebesar 40,74%, dan Buruk sebanyak 5 indikator sebesar 18,52%. Dari data


(35)

35

yang disajikan dapat diketahui bahwa lebih dari 50% indikator evaluasi bernilai tidak memuaskan karena tidak sesuai dengan indikator pencapaian.

3. Strategi Meningkatkan Penelitian

Rencana aksi yang terdapat pada kategori ini berjumlah 8 (delapan) program. Namun dari segi jumlah indikator evaluasi merupakan kategori aksi dengan indikator terbanyak kedua setelah strategi mengembangkan konservasi insitu, yaitu memiliki indikator evaluasi sebanyak 24 (dua puluh empat) indikator.

Kategori aksi ini juga merupakan kategori dengan penilaian evaluasi impelementasi program yang paling baik, dengan 6 indikator dengan nilai Cukup pada skala Likert sebesar 25%, 15 indikator dengan nilai Baik sebesar 62,50%, dan 1 indikator dengan penilaian Sangat Baik sebesar 4,17%.

4. Strategi Pengembangan Kawasan Konservasi

Pada kategori aksi strategi pengembangan kawasan konservasi ini terdapat 7 (tujuh) program aksi dengan 11 (sebelas) indikator keberhasilan. Berdasarkan penilaian menggunakan skala Likert, persentase paling tinggi yaitu pada evaluasi bernilai Buruk sebanyak 3 indikator aksi, dan Cukup sebanyak 3 indikator aksi, yaitu masing-masing sebesar 27,27%. Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi program aksi pada kategori ini berjalan tidak begitu baik, karena walau semua program aksi dapat dilaksanakan tapi tidak mencapai indikator keberhasilan yang diharapkan.

5. Strategi Implementasi dan Penyempurnaan Perundangan

Kategori strategi implementasi dan penyempurnaan perundangan merupakan kategori aksi dengan jumlah program aksi terbanyak, yaitu sebanyak 12 (dua belas) program aksi. Sedangkan untuk indikator evaluasi program aksi berjumlah 23 (dua puluh tiga) indikator keberhasilan. Namun untuk evaluasi berdasarkan skala Likert, kategori ini juga merupakan kategori aksi dengan kondisi impelementasi program terburuk.

Berdasarkan evaluasi menggunakan skala Likert, kategori aksi ini merupakan kategori aksi dengan penilaian Sangat Buruk tertinggi, yaitu sejumlah 16 indikator


(36)

36

sebesar 69,57%. Sedangkan untuk indikator aksi dengan predikat Buruk sejumlah 1 indikator evaluasi sebesar 4,35%. Sehingga apabila dijumlah antara indikator aksi dengan predikat Sangat Buruk dan Buruk yaitu sebesar 73,92%. Dan hanya 26,08% dari keseluruhan indikator keberhasilan dengan predikat Cukup, Baik, dan Sangat Baik.

6. Strategi Meningkatkan Kemitraan

Rencana aksi yang terdapat pada kategori ini berjumlah 6 (enam) program, dan indikator evaluasi program berjumlah 13 (tiga belas) indikator.

Bedasarkan evaluasi indikator keberhasilan menggunakan skala Likert, pada kategori ini memiliki penilaian Sangat Baik tertinggi dibandingkan kategori aksi lainnya, yaitu 4 indikator evaluasi bernilai sangat baik sebesar 30,77%. Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan konservasi orangutan Indonesia telah berjalan dengan baik. Walaupun demikian masih ada beberapa indikator keberhasilan program yang masih belum tercapai.

7. Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Pada kategori aksi ini terdapat 6 (enam) program aksi dengan 12 (dua belas) indikator keberhasilan. Berdasarkan penilaian menggunakan skala Likert, tidak ada indikator evaluasi program yang bernilai Buruk, namun ada 3 indikator yang berpredikat Sangat Buruk sebesar 25%. Sedangkan untuk indikator aksi yang berpredikat Cukup, Baik, dan Sangat Baik, seluruhnya berjumlah 9 indikator sebesar 75% Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar program dilaksanakan telah berjalan dengan baik dan dapat memenuhi indikator keberhasilan program.

8. Strategi Penguatan Komitmen Pelaksana Konservasi

Kategori strategi penguatan komitmen pelaksana konservasi merupakan kategori aksi dengan jumlah program aksi paling sedikit, yaitu hanya memiliki 3 (tiga) program aksi. Sedangkan untuk indikator evaluasi program aksi berjumlah 9 (indikator) indikator


(37)

37

keberhasilan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa masalah komitmen belum menjadi perhatian utama dalam strategi dan rencana aksi konservasi orangutan Nasional.

Berdasarkan evaluasi menggunakan skala Likert, pada kategori aksi ini sebanyak 6 indikator aksi memiliki penilaian Sangat Buruk, yaitu sebesar 66,66%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar program yang dilaksanakan tidak mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjalanan implementasi program aksi pada kategori penguatan komitmen adalah sangat buruk.

9. Strategi Meningkatkan Penyadartahuan

Program aksi yang terdapat pada kategori ini berjumlah 9 (sembilan) program, dan memiliki 20 (dua puluh) indikator evaluasi program.

Bedasarkan evaluasi indikator keberhasilan menggunakan skala Likert, 10 indikator keberhasilan program berpredikat Sangat Buruk, dan 1 indikator dengan predikat Buruk. Sisanya hanya 4 indikator dengan predikat Cukup, 2 indikator dengan predikat Baik, dan 3 indikator dengan predikat Sangat Baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan komitmen mengenai pentingnya upaya konservasi orangutan Sumatera telah berjalan cukup baik, walau masih banyak indikator keberhasilan program yang tidak tercapai.

10. Strategi Pendanaan

Pada kategori strategi pendanaan ini terdapat 5 (lima) program aksi, dan dengan jumlah indikator evaluasi program paling sedikit dibandingkan kategori aksi lainnya, yaitu hanya memiliki 7 (tujuh) indikator keberhasilan. Berdasarkan penilaian menggunakan skala Likert, 3 indikator evaluasi program memiliki penilaian Sangat Buruk; 3 indikator evaluasi program memiliki penilaian Cukup; dan hanya 1 indikator dengan penilaian Baik. Tidak ada indikator evaluasi yang berpredikat sangat baik. Bahkan hingga saat ini masih ada program kerja yang masih belum dapat dilaksanakan,


(38)

38

yaitu mencari dana pengelolaan dari pembayaran jasa lingkungan untuk perlindungan habitat orangutan.

Analisis Implementasi Program SRAK OUS 2007-2014

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa program dalam rencana aksi konservasi orangutan berjumlah 74 program, dan dirincikan ke dalam 164 indikator pencapaian untuk melihat kesuksesan pelaksanaan program. Keseluruhan program tersebut masing-masing dikelompokkan berdasarkan kategori program aksi menjadi 10 (sepuluh) kategori.

Dari keseluruhan kategori aksi, strategi implementasi dan menyempurnakan berbagai peraturan perundangan untuk mendukung keberhasilan konservasi orangutan memiliki jumlah program aksi terbanyak sebanyak 12 (dua belas) program. Hal ini menunjukkan bahwa masih perlunya perhatian yang besar terhadap aturan yang melindungan populasi dan habitat orangutan, baik dari segi implementasi aturan maupun penerapan perundangan yang menindak segala bentuk pelanggaran terhadap orangutan. Namun disisi lain, strategi implementasi dan menyempurnakan berbagai peraturan perundangan untuk mendukung keberhasilan konservasi orangutan sekaligus memiliki peniliaian terburuk, yaitu 16 indikator dari 23 indikator bernilai 1 (sangat buruk) dalam skala likert, yaitu sebesar 69,57% Hal ini menandakan bahwa masih lemahnya perhatian terhadap adanya aturan perundangan yang melindungi habitat dan populasi orangutan sekaligus juga menandakan bahwa lemahnya impelementasi aturan yang diberlakukan. Kondisi ini tentunya juga meruapakan imbas dari lemahnya kapasitas lembaga-lembaga yang menjadi pelaksanan penegakan hukum. Sesuai dengan hasil evaluasi pelaksanaan program, bahwa program aksi pelatihan penegekan hukum kepada pihak berwenang untuk


(39)

39

meningkatan kapasitas lembaga terkait dalam penanganan orangutan juga tidak terlaksana. Ditambah dengan lemahnya diseminasi aturan larangan memelihara, memperdagangkan orangutan.

Terkait dengan kategori aksi strategi implementasi dan menyempurnakan berbagai peraturan perundangan untuk mendukung keberhasilan konservasi orangutan, program aksi upaya untuk memfasilitasi perubahan lampiran PP 7 Tahun 1999 terkait dengan status taksonomi orangutan sejauh ini juga belum terlaksana terlaksana, padahal Orangutan Sumatera (Pongo abelii) belum tercatat dalam lampiran PP. No.7/1999, tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah tidak terlaksananya pemantauan dan evaluasi baik dan berkelanjutan terhadap implementasi komitmen dan konvensi Internasional yang telah diratifikasi (GRASP, CBD, CITES), sehingga komitmen untuk konservasi orangutan terkesan hanya setengah-setengah dan hanya berprospek proyek semata.

Sedangkan pada kategori strategi mengembangkan konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan yang memiliki indikator aksi terbanyak yaitu sebanyak 27 indikator untuk mengukur keberhasilan program. Hal ini menunjukan bahwa ada banyak hal yang harus diperhatikan dan dibenahi untuk mengembangkan pelaksanaan konservasi eksitu agar benar-benar dapat mendukung pelaksanaan aksi konservasi orangutan. Namun banyaknya indikator evaluasi tidak serta merta menjadikan program mengembangkan konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan berjalan baik. Dari 27 indikator yang ada, penilaian terbanyak masih memiliki nilai 1 pada skala likert yang berarti sangat buruk atau


(40)

40

program tidak terlaksana, yaitu sebanyak 11 indikator sebesar 40,74%. Program aksi yang menjadi perhatian penting dalam kategori ini adalah ini adalah tidak adanya studbook orangutan, sehingga tidak adanya data tentang jumlah serta kondisi orangutan yang dikelola di kawasan konservasi eksitu. Keterampilan teknis konservasi orangutan yang kurang memadai serta tidak adanya peningkatan kapasitas pengelola orangutan di kebun binatang ditambah dengan evaluasi kinerja kebun binatang yang tidak berjalan maksimal menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kematian pada orangutan di kebun binatang, di kebun binatang Medan misalnya. Hal ini membuktikan bahwa masih lemahnya pengawasan pengelolaan orangutan di eksitu.

Hal lain yang menjadi perhatian dalam strategi mengembangkan konservasi eksitu sebagai bagian dari dukungan untuk konservasi insitu orangutan adalah tidak adanya interaksi dan kerjasama antara kebun binatang dengan sekolah untuk melaksanakan program aksi pendidikan konservasi. Tentunya jika adanya MoU kerjasama antara kebun binatang, taman safari, dengan sekolah sesuai dengan program rencana aksi tentu akan dapat meningkat kunjungan terhadap kebun binatang, terutama di kalangan pelajar . Serta keberadaan informasi yang disediakan kebun binatang tentang konservasi orangutan yang memadai dan berifat edukasi juga dapat menjadi pemancing untuk meningkat kepedulian sekolah dan pelajar terhadap konservasi orangutan.

Strategi meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan konservasi orangutan Indonesia memiliki penilaian sangat baik, yaitu 4 indikator dari 13 indikator memiliki nilai 5 (sangat baik) dari skala likert,


(41)

41

sehingga bernilai 30,77%. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran yang meningkat di kalangan pemerintah tentang konservasi orangutan serta adanya dorongan yang kuat dari pemerintah terhadap agenda-agenda koservasi. Hal ini terbukti dengan adanyanya payung hukum di bidang konservasi yang dikeluarkan pemerintah yang mengatur tentang Tim Penanggulangan Konflik Satwa (PP No. 48 Tahun 2008, Permenhut P.53/Menhut-1/2007, Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/535/KPTS/2011 tanggal 28 April 2011, Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/536/KPTS/2011 tanggal 28 April 2011). Dalam hal penguatan forum komunikasi antar pakar serta para pihak yang berkepentingan terhadap konservasi, juga telah dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara Nomor : SK.277/BBKSDASU-1/2009, untuk memberikan legalitas kepada FOKUS (Forum Komunikasi Orangutan Sumatera) yang berfungsi sebagai wadah multistakeholder. Kerjasama dan kemitraan antar sesama lembaga konservasi juga berjalan baik. Hal ini terbukti dengan adanya kerjasama antara sesama NGO Lokal maupun dengan lembaga konservasi Internasional dalam pelaksanaan program aksi yang lebih efektif dan efisien.

Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa perjalanan SRAK OU dari tahun 2008-2014 masih belum dapat dikatakan baik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya program aksi yang tidak terlaksana dan indikator keberhasilan program aksi yang tidak tercapai. Hal yang menjadi penyebab adalah lemahnya pendanaan yang mendukung pelaksanaan program-program aksi konservasi. Hal ini sesuai dengan evaluasi pencapaian program aksi bahwa belum adanya pengelolaan dana abadi untuk konservasi orangutan dan belum adanya dana yang


(42)

42

diperoleh dari pengelolaan jasa lingkungan. Dari pihak swasta, sejauh ini baru ada satu perusahaan (PT. Musim Mas) yang ada mengalokasikan dana untuk mendukung aksi konservasi orangutan. Sistem monitoring terhadap dampak dari proyek atau program masih juga lemah. Hal ini dibuktikan dengan tidak rutinnya laporan impelementasi program yang disampaikan stakeholder dan pertemuan yang tidak berjalan sesuai target evaluasi per tahun. Keterampilan teknis konservasi orangutan belum memadai juga berpengaruh terhadap kesuksesan pelaksanaan aksi konservasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya program yang tidak terlaksana dikarenakan SDM yang tidak mendukung. Serta masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan menjadikan rencana aksi konservasi orangutan masih terhambat.

Analisis Medan Kekuatan (Force Field Analysis) Faktor Pendukung

Analisis data dengan metode analisis medan kekuatan (Force Field Analysis) bertujuan untuk mengevaluasi perjalanan pelaksanaan SRAK OU untuk orangutan sumatera, sekaligus memberikan masukan berupa strategi untuk memperkuat faktor pendukung dan melemahkan faktor penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan program. Secara umum metode FFA memiliki beberapa persamaan dengan analisis SWOT, namun kelebihannya penggunaan metode analisis medan kekuatan dapat memberikan rekomendasi untuk peningkatan kualitas program kedepannya. Terlebih dahulu faktor pendukung dan faktor penghambat dianalisis dengan menggunakan analisis medan kekuatan. Analisis ini dilakukan dengan memberikan nilai terhadap faktor pendukung dan


(43)

43

faktor penghambat mulai dari faktor sangat berpengaruh hingga faktor tidak berpengaruh yang diperoleh berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program. Berikut merupakan analisis terhadap faktor pendukung SRAK OUS,

Tabel 5. Faktor pendukung pelaksanaan SRAK OUS

Faktor Pendukung Skor Keterangan

Adanya kesadaran yang meningkat di kalangan pemerintah tentang Konservasi orangutan.

3 Dikatakan cukup berpengaruh, karena pemerintah dalam beberapa hal telah menunjukan komitmen untuk mendukung konservasi orangutan, seperti pemberian payung hukum terhadap aksi-aksi konservasi. Namun dalam hal pendanaan, seperti pengalokasian APBD masih terkendala

Tersedianya lembaga konservasi dan tenaga ahli (peneliti) yang mendukung konservasi orangutan

5 Dikatakan sangat berpengaruh, karena aksi-aksi konservasi yang bersifat lokal lebih didominasi oleh lembaga-lembaga konservasi, termasuk turunan dari program pemerintah. Disamping juga lembaga konservasi banyak tersebar di beberapa wilayah dan memiliki jaringan yang kuat. Diterapkannya kebijakan mendorong peningkatan

populasi orangutan sebesar 3%

4 Dikatakan berpengaruh, karena kebijakan mendorong peningkatan populasi orangutan sebesar 3 persen merupakan kebijakan yang menguntungkan untuk pelaksanaan aksi-aksi konservasi.

Komitmen perusahaan untuk mendukung kegiatan konservasi

4 Dikatakan berpengaruh, karena perusahaan yang bersinggungan dengan wilayah konservasi sudah menampakkan kepedulian terhadap konservasi orangutan, seperti komitmen untuk mendukung kelestarian dengan kebun lestari, ikut berperan dalam pengelolaan habitat dan penanganan satwa, adanya kebijakan alokasi lahan konservasi, adanya divisi khusus untuk lingkungan, serta adanya dukungan financial.

Dalam kaitannya dengan penelitian, sudah memiliki tenaga yang berpengalaman, dan adanya tenaga peneliti muda di Medan dan Aceh.

4 Dikatakan berpegaruh, karena ketersediaan tenaga peneliti berpengalaman yang banyak bekerja sama dengan LSM dengan beberapa kegiatan penelitian sedang berjalan dan sebagian lokasi penelitian telah selesai, ditambah dengan tersedianya tenaga peneliti-peneliti muda di tingkat universitas Sumut dan Aceh. Potensi ini merupakan peluang untuk kesuksesan pelaksanaan agenda SRAK OUS, terutama dalam bidang penelitian.

Menguatnya isu perubahan lingkungan yang diimplementasikan dalam berbagai kebijakan terkait dengan konservasi orangutan

5 Dikatakan sangat berpengaruh, karena isu perubahan lingkungan yang dampaknya tidak hanya pada orangutan, tapi pada semua makhluk hidup dapat menguatkan alasan untuk mensukseskan agenda konservasi

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada dua faktor yang sangat berpengaruh mendukung pelaksananaan impelementasi program aksi yang tertuang dalam SRAK OU. Pertama, adanya lembaga konservasi dan tenaga ahli (peneliti) yang mendukung konservasi orangutan. Lembaga konservasi (NGO) umumnya memiliki komitmen yang jelas terhadap upaya-upaya konservasi, hal ini dibuktikan bahwa aksi-aksi lokal lebih didominasi oleh LSM yang bergerak di


(44)

44

bidang konservasi. Aktivitas-aktivitas lembaga konservasi yang tersebar di beberapa wilayah juga merupakan hal yang mendorong pelaksanaan agenda konservasi yang efektif dari segi sasaran dan efisien dari segi waktu. Dalam pelaksanaan program aksi, lembaga konservasi memiliki beberapa koalisi yang dapat saling memperkuat, disamping juga memiliki akses kepada pihak-pihak kunci di dunia konservasi. Termasuk adanya partisipasi aktif dari beberapa LSM dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan terhadap orangutan, seperti pengumpulan data perdagangan orangutan.

Kedua, adanya isu perubahan lingkungan yang mendorong berbagai pihak untuk tergabung dalam aksi konservasi. Hal ini dikatangan sangat berpengaruh dalam mendorong kesukesan implementasi SRAK OU karena isu perubahan lingkungan tidak hanya mempengaruh kelangsungan populasi orangutan, tapi juga berdampak pada semua makhluk hidup termasuk manusia sebagai pengelola sumber daya alam.Perubahan iklim sebagai fenomena global merupakan tantangan lingkungan terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Isu global ini mulai menjadi topik perbincangan sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil dua puluh tahun yang lalu sampai dengan KTT Rio+20 tahun 2012. Konferensi internasional terkait isu perubahan iklim terus berlangsung dari waktu ke waktu. Tahun 2012 sudah mencapai penyelenggaraan COP 18 (Conference of the Parties) to the United Nations Framework Convention on Climate Change di Doha, Afrika Selatan, yang pada dasarnya mencari berbagai upaya terbaik dalam mengurangi emisi karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.


(45)

45 Faktor Penghambat

Sedangkan untuk faktor penghambat program juga didapatkan 6 kondisi yang menyebabkan tidak berjalannya implementasi program SRAK OU secara baik. Analsis faktor penghambat dijabarkan pada tabel 6 berikut

Tabel 6. Faktor Penghambat Program Aksi SRAK OUS

Faktor Penghambat Skor Keterangan

SRAK OU yang belum tersosialisasi dengan baik kepada seluruh pemangku kepentingan

4 Dikatakan berpengaruh, karena masih adanya pihak berkepentingan yang belum berpartisipasi dalam aksi konservasi terutama beberapa konsesi yang bersinggungan dengan habitat orangutan, dikarenakan belum adanya sosialisasi yang baik kepada seluruh stakeholder

Dukungan pendanaan yang tidak berkelanjutan 5 Dikatakan sangat berpengaruh, karena merupakan salah satu penyebab utama adanya program aksi yang tidak sempat terlaksana disebabkan karena tidak adanya dukungan pendanaan.

Ketersediaan SDM untuk mendukung kesuksesan program terbatas dan tidak merata, baik secara kualitas maupun kuatitas

3 Dikatakan cukup berpengaruh, karena lemahnya kualitas SDM yang berdampak pada lemahnya pelaksanaan program aksi serta dampaknya, seperti terbatasnya kemampuan staf dan manajemen dari unit pengelola kawasan untuk menterjemahkan hasil penelitian ke dalam manajemen kawasan

Koordinasi di antara pihak masih kurang, baik di antara pemerintahan sendiri mau pun dengan institusi-institusi di luar pemerintahan.

4 Dikatakan berpengaruh, ambatnya koordinasi internal di Kementrian Kehutanan, bahkan hal ini turut melahirkan konflik pengelolaan antara sesama pelaku konservasi , seperti konflik pengelolaan stasiun riset orangutan di Ketambe – TNGL, antara Pemerintah Aceh (diera BPKEL) dengan BBTNGL

Sistem monitoring dan evaluasi terhadap dampak program atau kebijakan masih lemah.

4 Dikatakan berpengaruh, karena evaluasi yang tidak berjalan baik dan terhadap program aksi yang telah dilakukan, sehingga tidak ada pembelajaran efektifitas program aksi

Masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan.

4 Dikatakan berpengaruh, karena pemahaman yang salah terhadap konservasi orangutan hanya sebagai aksi penyelamatan spesies, bukan habitatnya, serta panilaian pihak terhadap potensi habitat hanya sebagai sumber pendapatan daerah (ekonomi)

Untuk faktor penghambat juga memiliki faktor yang sangat berpengaruh, yaitu kendala dukungan pendanaan yang tidak berkelanjutan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sebagian besar program aksi yang tidak atau belum sempat dilaksanakan adalah terkendala pada dana. Begitu juga dengan pengadaan sarana prasarana pendukung aksi-aksi konservasi yang hingga saat ini masih terkendala.


(46)

46

Pemda yang berdasarkan SRAK OU diharapkan dapat memasukkan upaya konservasi orangutan dalam rencana strategis daerah dan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), belum terlaksana dengan baik. Disamping itu pengelolaan dana abadi untuk konservasi orangutan, masih berada pada tataran konsep. Sedangkan dana yang tersedia dari pengelolaan jasa lingkungan sejauh ini belum tersedia. Sehingga keterbatasan dana yang dianggarkan untuk aksi konservasi turut berdampak pada terbatasnya aksi-aksi konservasi yang dilakukan.

Kebijakan pendanaan yang dilakukan oleh manajemen sangat terkait dengan besarnya sumber dana yang digunakan dalam operasional pelaksanaan program. Lambert (2001) menyatakan bahwa dalam hubungan “principal – agent”, pihak manajemen (agen) melakukan aktivitas yang meliputi keputusan operasional, kebijakan pendanaan atau keputusan investasi lainnya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pendanaan merupakan salah satu aktivitas (action) yang dilakukan oleh manajemen sesuai dengan perencanaan program. Maka sudah seharusnya dalam pelaksanaan impelementasi program SRAK OU harus didahului dengan perencanaan pendanaan yang baik dan memadai, untuk mendukung kesuksesan pelaksanaan program aksi konservasi.

Setiap program dan rencana kerja memerlukan dana yang memadai untuk dapat mencapai kondisi maupun tujuan yang diinginkan. Dana tersebut dapat diperoleh dengan cara dan dari sumber yang berbeda. Masalah pendanaan ini harus diputuskan dengan hati–hati karena setiap kebijakan pendanaan memiliki konsekuensi financialyang berbeda. Keputusan pendanaan akan berkaitan dengan sumber dana dan penggunaan dana yang telah diperoleh. Sumber dana dapat berasal dari dalam (internal) ataupun dari luar (eksternal) pemangku kepentingan


(47)

47

dalam program aksi. Kedua sumber pendanaan ini sedikit banyak tentu akan mempengaruh arah jalannya program aksi. Keputusan pendanaan keuangan juga akan mempengaruhi kemampuan operasional dari impelementasi rencana aksi konservasi orangutan.

Strategi Penguatan Implementasi SRAK OUS 2007-2017

Faktor pendukung, faktor penghambat dan strategi untuk memperkuat faktor pendukung dan melemahkan faktor penghambat dapat dilihat pada tabel berikut,

Tabel 7. Strategi penguatan implementasi program SRAK OUS

Faktor Pendukung Faktor Penghambat Strategi Penguatan Faktor Pendukung dan Pelemahan Faktor Penghambat Adanya kesadaran yang

meningkat di kalangan pemerintah tentang Konservasi orangutan.

SRAK OU yang belum tersosialisasi dengan baik kepada seluruh pemangku kepentingan

Memaksimalkan fungsi forum multistakehoder sebagai forum komunkasi aktif dan membebankan kepada semua perusahaan yang memiliki populasi orangutan di kawasan konsesinya diharuskan membuat rencana kelola dan mengimplementasikannya

Tersedianya lembaga konservasi dan tenaga ahli (peneliti) yang mendukung konservasi orangutan

Dukungan pendanaan yang tidak berkelanjutan

Mengidentifikasi pelaku industry di kawasan habitat orangutan dan merangkulnya dalam aksi koservasi serta mengkultivisasi dan menggalang dana dari sektor swasta.

Diterapkannya kebijakan mendorong peningkatan populasi orangutan sebesar 3%

Ketersediaan SDM untuk mendukung kesuksesan program terbatas dan tidak merata, baik secara kualitas maupun kuatitas

Pengembangan pengelolaan pengetahuan konservasi orangutan dengan melaksanakan pelatihan bagi perguruan tinggi, akademisi, peneliti dan staf UPT pengelola kawasan konservasi mengenai : monitoring populasi, penanganan konflik yang benar, rehabilitasi yang bermafaat, dsb.

Komitmen perusahaan untuk mendukung kegiatan konservasi

Koordinasi di antara pihak masih kurang, baik di antara pemerintahan sendiri mau pun dengan institusi-institusi di luar pemerintahan.

Mendorong agar fungsi forum, baik di tingkat nasional maupun regional sebagai media bersama para pihak pelaku konservasi orangutan lebih aktif sehingga memberikan manfaat pada konservasi orangutan dan para pihak yang terlibat sehingga singkronisasi kebiakan antara pusat dan daerah, terkait konservasi orangutan dan habitatnya dapat tercapai

Dalam kaitannya dengan penelitian, sudah memiliki tenaga yang berpengalaman, dan adanya tenaga peneliti muda di Medan dan Aceh.

Implementasi, sistem monitoring dan evaluasi terhadap program atau kebijakan serta dampaknya masih lemah.

Perlu dibentuk tim khusus yang secara spesifik ditugaskan untuk melakukan monitoring dan evaluasi rencana aksi, serta penekanan pada UPT bahwa rencana kelola bukan hanya sekedar kewajiban administrasi, tapi yang lebih utama untuk diimplementasikan Menguatnya isu perubahan

lingkungan yang diimplementasikan dalam berbagai kebijakan terkait dengan konservasi orangutan

Masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan.

Kementrian Kehutanan perlu mendukung kebijakan daerah yang berpihak pada penyelamatan orangutan, serta program kampanye penyadartahuan perlu digalakan di sekitar habitat orangutan dengan menekankan pada konservasi orangutan, bukan hanya pada spesies, tapi termasuk habitatnya

Dari analisis tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan berupa strategi bagaimana faktor pendukung dapat diperkuat dan faktor penghambat dapat dilemahkan. Faktor pendukung merupakan hal yang diharapakan dapat memicu


(48)

48

kesuksesan pelaksanaan program aksi konservasi yang tertuang dalam SRAK OU, untuk itu diperlukan suatu perencanaan strategi untuk meningkatkan faktor tersebut. Faktor penghambat merupakan hal yang menjadi kendala dalam implementasi serta pencapaian dari program aksi, sehingga diperlukan perencanaan strategi untuk melemahkannya.

Tabel diatas menjelaskan bagaimana strategi untuk meningkatkan impelementasi program aksi SRAK OU. Strategi terpenting yang perlu direncanakan adalah memaksimalkan fungsi forum multistakehoder sebagai forum komunkasi aktif dan membebankan kepada semua perusahaan yang memiliki populasi orangutan di kawasan konsesinya diharuskan membuat rencana kelola dan mengimplementasikannya. Dengan memaksimalkan forum multistakeholder dan menggandeng seluruh pihak terkait, maka kesuksesan impelementasi dapat disinergiskan dengan seluruh pemangku kepentingan. Sehingga tidak ada lagi konflik kepentingan yang menghambat pelaksanaan program-program konservasi.

Begitu juga halnya dengan permasalahan dana yang seringkali menghambat pelaksanaan agenda konservasi. Mengidentifikasi pelaku industry di kawasan habitat orangutan dan merangkulnya dalam aksi koservasi serta mengkultivisasi dan menggalang dana dari sektor swasta, bilateral, multilateral, serta yayasan filantropi. Hal ini diharapkan dapat berjalan lebih mudah, seiring dengan mulai tampaknya komitmen perusahaan (swasta) untuk mendukung kelestarian lingkungan terkait dengan kebun lestari, ekolabeling, dan lain-lain. Umumnya perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan mempunyai divisi khusus untuk lingkungan. Termasuk juga perusahaan ikut berperan dengan bekerja sama dalam pengelolaan habitat dan penanganan satwa khususnya


(49)

49

orangutan, seperti adanya kebijakan alokasi lahan konservasi pada areal konsesi HGU/Perkebunan.

Adanya dibentuk tim khusus yang secara spesifik ditugaskan untuk melakukan monitoring dan evaluasi rencana aksi juga merupakan bagian dari rekomendasi penting untuk kesukesan program aksi SRAK OU. Dengan adanya tim khusus, diharapkan perjalanan evaluasi progam dapat berjalan dengan baik dan berlangsung secara rutin, sehingga dapat digambarkan sejauhmana agenda SRAK OU berimbas pada baiknya populasi serta habitat orangutan serta dapat mengukur tingkat efektifikas program. Dengan demikian program-program yang terlaksana diharapkan dapat terukur dan terus mengalami peningkatan dari segi implementasi dan pencapaian.


(1)

Lokal : BBKSDA-SU, OCSP

masyarakat dari pemda manusia yang terbatas. 2. Adanya program

pemberdayaan masyarakat oleh perusahaan dan atau pemda di kawasan sekitar habitat orangutan

Adanya program pemberdayaan

masyarakat oleh perusahaan dan pemda di kawasan habitat OU

5 Adanya dukungan dari

pemerintah dan swasta -

5 Mengembangkan sistem pendanaan pedesaan (micro finance dan credit union) yang mendukung pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar habitat orangutan

2010-2017

Nasional : PHKA, Pemda, LSM, Swasta Lokal : OIC, BBKSDA-SU

1. Adanya program microfinance di desa sekitar habitat orangutan

Adanya unit permodalan “Baitul Qirard an-Nahl”

4 Adanya dukungan dari pemerintah, LSM, dan swasta

Dukungan pendanaan yang tidak

berkelanjutan 2. Adanya keterkaitan

dukungan dengan program pemberdayaan masyarakat dari perusahaan (CSR)

Fasilitasi penguatan modal usaha mandiri oleh CPOI

3 Adanya dukungan dari pemerintah, LSM, dan swasta

Dukungan pendanaan yang tidak

berkelanjutan 6 Membantu akses informasi pasar

bagi petani sekitar habitat orangutan

2010-2017

Nasional : PHKA, Pemda, LSM, Swasta Lokal : SOCP

1. Adanya akses pasar kepada masyarakat sekitar habitat orangutan

Belum terlaksana 1 Kebutuhan masyarakat agar tidak merusak kawasan hutan.

-

C.3. Strategi menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas dan kapabilitas pihak pelaksana konservasi orangutan di Indonesia Pelatihan berkelanjutan untuk konservasi orangutan dan habitatnya

NO. DESKRIPSI TATA

WAKTU

PEMANGKU KEPENTINGAN

INDIKATOR KEBERHASILAN

EVALUASI FORCE FIELD ANALYSIS

Program Skala Likert (+) (-)

1 Melakukan pelatihan teknis konservasi dan investigasi kepada warga masyarakat, pengelola hutan (HPH/HTI), pengelola kawasan konservasi, LSM yang ada di sekitar kawasan habitat orangutan

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Pemda,

Masyarakat, Universitas Lokal : BBKSDA-SU, OCSP

1. Adanya pelatihan teknis pengelolaan konservasi orangutan di 10 HPH dan 5 HTI serta 10 perkebunan

Bimbingan teknis pada 3 HPH : Astra, G-Resource, Teluk Nauli; 1 HTI TPL; dan 1 Perkebunan PTPN II

3 Perusahaan ikut berperan dengan bekerja sama dalam pengelolaan habitat dan penanganan satwa khususnya orangutan dam komitmen menjadi good corporate governance

Kurangnya koordinasi dan Masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan.

2. Tersedianya panduan teknis pengelolaan orangutan untuk unit manajemen

Tersedianya panduan teknis pengelolaan orangutan untuk unit manajemen

5 Adanya koordinasi yang baik dan tenaga ahli yang mendukung

-

3. Tersedianya panduan investigasi

Tersedianya SOP investigasi

4 Adanya koordinasi yang baik dan tenaga ahli yang mendukung

-

2 Melakukan pelatihan kelola koridor kepada unit manajemen khususnya perkebunan

2008-2017

Nasional :

PHKA, BPK, LSM, Pemda,

1. Tersedianya panduan pengelolaan koridor konservasi orangutan

Belum terlaksana 1 Kebutuhan untuk peningkatan SDM pengelola


(2)

HPH, Perkebunan Lokal : OIC

2. Adanya pelatihan teknis pengelolaan koridor konservasi orangutan kepada 10 unit manajemen perkebunan

Belum terlaksana 1 Kebutuhan untuk peningkatan SDM pengelola

-

3 Melakukan pelatihan kepada aparat penegak hukum tentang konservasi orangutan

2008-2017 Nasional : PHKA, LSM, Pemda, Polisi, Jaksa, Hakim Lokal : WCU, SOCP

1. Tersedianya model pelatihan penegakan hukum

Belum terlaksana 1 Kebutuhan untuk peningkatan SDM pengelola

Kurangnya koordinasi dengan lembaga penegak hukum

2. Pelatihan penegakan hukum perlindungan orangutan

Belum terlaksana 1 Kebutuhan untuk peningkatan SDM pengelola

Kurangnya koordinasi dengan lembaga penegak hukum

3. Terbentuknya forum penegakan hokum

Belum terlaksana 1 Kebutuhan untuk peningkatan SDM pengelola

Kurangnya koordinasi dengan lembaga penegak hukum

4. Tersedianya laporan pelaksanaan pelatihan penegakan hokum

Belum terlaksana 1 Kebutuhan untuk peningkatan SDM pengelola

Kurangnya koordinasi dengan lembaga penegak hukum

D. STRATEGI DAN PROGRAM KOMUNIKASI DAN PENYADARTAHUAN MASYARAKAT

D.1. Strategi meningkatkan kesadartahuan masyarakat dan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan komitmen mengenai pentingnya upaya konservasi orangutan Indonesia Membangun konstituen dan dukungan untuk konservasi orangutan

NO. DESKRIPSI TATA

WAKTU

PEMANGKU KEPENTINGAN

INDIKATOR KEBERHASILAN

EVALUASI FORCE FIELD ANALYSIS

Program Skala Likert (+) (-)

1 Memperbanyak peliputan media untuk konservasi orangutan

2008-2010

Nasional :

PHKA, LSM, Media

Lokal : OCSP, BBKSDA-SU, SOCP

1. Jumlah pemberitaan konservasi orangutan di media massa baik lokal maupun nasional meningkat

Banyaknya media massa baik cetak/ elektronik yang dapat meningkatkan

pemberitaan terkait Orangutan

4 Adanya kerjasama dan media massa yang selalu butuh akan informasi

Kurang kesadaran untuk diseminasi informasi tentang orangutan

2 Meningkatkan kapasitas media terhadap pemahaman hal-hal yang berhubungan dengan konservasi orangutan melalui pelatihan penulisan isu lingkungan, pemberian informasi konservasi orangutan secara berkala dan kunjungan lapangan (field trip)

2008-2010

Nasional :

PHKA, LSM, Media,

Universitas Lokal : WCU, OCSP,SOCP

1. Tersedianya modul pelatihan untuk media massa mengenai konservasi orangutan

Tidak terlaksana 1 Adanya tenaga ahli dan jaringan dengan media massa

Minimnya data yang tersedia, pendanaan yang kurang serta kapasitas sumber daya manusia yang terbatas. 2. Pelatihan untuk media massa

mengenai konservasi orangutan

Tidak terlaksana 1 Adanya tenaga ahli dan jaringan dengan media massa

Minimnya data yang tersedia, pendanaan yang kurang serta kapasitas sumber daya manusia yang terbatas. 3. Adanya kunjungan media

massa ke lokasi konservasi

Adanya kunjungan media massa ke lokasi

3 Adanya kerjasama dan media massa yang selalu

Koordinasi di antara pihak masih kurang


(3)

4. Informasi berkala tentang konservasi orangutan ke media massa

Tidak terlaksana dengan baik

2 Adanya kerjasama dan media massa yang selalu butuh akan informasi

Koordinasi di antara pihak masih kurang dan kurangnya kesadaran untuk diseminasi informasi

3 Memperluas sebaran materi komunikasi koservasi orangutan melalui media cetak dan media elektronik

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Media

Lokal : WCU, BBKSDA-SU, OCSP

1. Distribusi informasi konservasi orangutan di media cetak dan elektronik

Distribusi informasi konservasi orangutan ke media lokal, baik cetak maupun elektronik

4 Adanya jaringan dan media massa yang selalu butuh akan informasi

Kurangnya koordinasi dan pemanfaatan jejaring yang ada masih kurang optimal. 2. Membuat berbagai kegiatan

(event) sebagai media distribusi informasi konservasi orangutan

Melaksanakan even Pameran KSDA I tingkat nasional, kabupaten, dan provinsi sebanyak 4 kali

5 Adanya kesadaran yang meningkat di kalangan pemerintah tentang Konservasi orangutan.

-

4 Memanfaatkan forum keagamaan, lembaga adat, lembaga profesi dan institusi lokal untuk menyajikan dan menjelaskan pentingnya konservasi orangutan dan habitatnya

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Organisasi sosial, Lembaga agama Lokal :

WCU, OCSP, OIC, BBKSDA-SU

1. Melakukan pertemuan yang membahas konservasi orangutan di forum keagamaan, lembaga adat, profesi dan institusi lokal

Belum terlaksana 1 Adanya forum multistakeholder yang menjangkau segala golongan

Lemahnya koordinasi

2. Memasukan pesan konservasi orangutan dalam forum keagamaan, lembaga adat, profesi dan institusi lokal

Sudah mulai dilakukan seperti memasukan pesan konservasi dalam forum keagamaan

3 Banyaknya LSM dengan aktivitas yang tersebar di banyak ruang dan wilayah

Masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan. Skema perkreditan / perbankan yang mengadopsi prinsip-prinsip konservasi orangutan

5 Melakukan penyadartahuan pentingnya konservasi habitat orangutan kepada lembaga keuangan

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Lembaga

keuangan Lokal : OCSP, BBKSDA-SU, OIC

1. Tersedianya materi tentang konservasi orangutan untuk diinformasikan kepada lembaga keuangan

Belum terlaksana 1 - Kurangnya SDM dan lemahnya koordinasi

2. Lokakarya peran lembaga keuangan dalam mendukung konservasi orangutan

Belum terlaksana 1 - Kurangnya SDM dan lemahnya koordinasi 3. Adanya panduan pemberian

kredit ramah lingkungan (green credit)

Belum terlaksana 1 Banyak petani di sekitar kawasan habitat orangutan

-

6 Melakukan pelatihan tentang konservasi kepada lembaga keuangan, tentang nilai ekonomi dan dampak akibat pengrusakan lingkungan

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Pemangku

kepentingan Lokal : OCSP, OIC

1. Pelatihan tentang valuasi jasa lingkungan dan manfaat jasa konservasi kepada lembaga keuangan

Belum terlaksana 1 Banyaknya lembaga keuangan yang bisa diajak berkolaborasi

Kurangnya SDM dan lemahnya koordinasi

2. Laporan hasil pelatihan Belum terlaksana 1 - -


(4)

7 Memperluas jangkauan pendidikan konservasi orangutan

kepada masyarakat melalui jaringan pendidikan lingkungan (JPL), pertemuan rutin dengan masyarakat, pendekatan kepada kelompok-kelompok keagamaan dan aliran kepercayaan serta, kelompok-kelompok sosial remaja, perempuan

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Pemda, Lembaga Keagamaan, Organisasi Sosial Lokal : WCU, BBKSDA-SU, SOCP, OIC

1. Memasukkan isu konservasi orangutan ke dalam jaringan pendidikan lingkungan

Pendidikan lingkungan di beberapa daerah spt Langkat, Bahorok, Batang Toru

5 Adanya dukungan dari pemerintah dan dunia pendidikan

-

2. Pertemuan berkala tentang konservasi orangutan kepada berbagai kelompok sasaran

Pertemuan tidak secara berkala

3 Banyaknya LSM dengan aktivitas yang tersebar di banyak wilayah

Kurangnya Koordinasi di antara pihak dan bekerja orientasi proyek 8 Memasukkan pendidikan

konservasi orangutan kedalam muatan lokal kurikulum di SD, SMP

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Pemda

Lokal : SOCP

1. Diterbitkannya buku-buku yang memiliki muatan lokal konservasi orangutan

Diterbitkan buku ajar Leuser dan Ayat-Ayat Konservasi

5 Adanya tenaga ahli yang mendukung pelaksanaan program

-

2. Pelatihan konservasi orangutan kepada para guru SD dan SMP

Adanya kegitan Visit to School dan PLH di sekolah SD dan SLTP

3 Adanya tenaga ahli serta adanya dukungan dari pihak pemerintah dan dunia pendidikan

Minimnya data yang tersedia, pendanaan yang kurang serta kapasitas sumber daya manusia yang terbatas. Meningkatkan dan mempertahankan dukungan pemangku kepentingan untuk konservasi orangutan

9 Memberikan penghargaan kepada individu, masyarakat dan organisasi yang berkontribusi nyata mendukung konservasi orangutan

2008-2017 Nasional : PHKA, Pemda Lokal : BBKSDA-SU

1. Tersusunnya kriteria pemberian penghargaan konservasi orangutan

Belum terlaksana 1 Adanya semangat yang meningkat terhadap aksi-aksi konservasi

Kurangnya kesadaran akan pentingnya apresiasi

2. Adanya pemberian penghargaan konservasi orangutan

Belum terlaksana 1 Adanya semangat yang meningkat terhadap aksi-aksi konservasi

Kurangnya kesadaran akan pentingnya apresiasi

E. STRATEGI DAN PROGRAM PENDANAAN UNTUK MENDUKUNG KONSERVASI ORANGUTAN

E.1. Strategi meningkatkan dan mempertegas peran pemerintah, pemda, lsm serta mencari dukungan lembaga dalam dan luar negeri untuk penyediaan dana bagi konservasi orangutan Indonesia Peran pemda dalam konservasi orangutan di setiap wilayah dengan menyediakan dana konservasi di dalam APBD

NO. DESKRIPSI TATA

WAKTU

PEMANGKU KEPENTINGAN

INDIKATOR KEBERHASILAN

EVALUASI FORCE FIELD ANALYSIS

Program Skala Likert (+) (-)

1 Pemda memasukkan upaya konservasi orangutan dalam rencana strategis daerah dan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Pemda

Lokal : BBKSDA-SU, CII

1. Lima (5) kabupaten memasukkan konservasi orangutan dalam rencana strategis daerah dan dalam anggaran pendapatan belanja daerah (APBD)

Pengusulan dan realisasi anggaran untuk 1 kabupaten Tapanuli Selatan

3 Adanya kesadaran yang meningkat di kalangan pemerintah tentang Konservasi orangutan.

Keterbatasan kewenangan dan masih adanya perbedaaan cara pandang antara para pihak mengenai konservasi Orangutan. Komitmen pendanaan orangutan


(5)

Lokal :

OCSP, Forum Multipihak

orangutan berkelanjutan

2. Tersusunnya konsep pengelolaan dana abadi

Tersusunnya konsep pengelola dana abadi oleh OCSP dan Forum Multipihak

4 Adanya sumber daya financial di pihak swasta dan sumber dana serta manajemen keuangan yang efektif di pihak LSM

Masih adanya stigma resisten terhadap dan dari investor/private sector

3. Terkelolanya dana abadi untuk konservasi orangutan

Belum terlaksana 1 Adanya kebutuhan dana terhadap aksi konservasi berkelanjutan

-

3 Mencari dana pengelolaan dari pembayaran jasa lingkungan untuk perlindungan habitat orangutan

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Swasta

Lokal :

OCSP, Forum Multipihak, CII

1. Tersedianya dana yang diperoleh dari pengelolaan jasa lingkungan

Belum terlaksana 1 Adanya SDA yang potensial sebagai sumber jasa lingkugan

Kurangnya kemampuan dalam mengelola

4 Mencari dukungan pendanaan dari swasta antara lain melalui CSR

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Swasta,

Lokal :

OCSP, Forum Multipihak

1. Adanya alokasi dana CSR untuk mendukung konservasi orangutan

Adanya alokasi dana CSR dari PT Musim Mas

3 Memiliki sumber daya financial

Komitmen perusahaan untuk mendukung kelestarian lingkungan

Masih adanya stigma resisten terhadap dan dari investor/private sector

5 Mencari dukungan dari lembaga internasional seperti GRASP

2008-2017

Nasional :

PHKA, LSM, Donor

Lokal :

OCSP, Forum Multipihak

1. Adanya alokasi dana dari GRASP untuk mendukung konservasi orangutan di Indonesia

Donasi tidak langsung 3 Adanya lembaga internasional yang siap berpartisipasi dalam aksi konservasi

Lemahnya jaringan (pemerintah) dan koordinasi


(6)