BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Yurisdiksi European Court Of Human Rights Terkait Implementasi Putusannya Di Inggris Menurut Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pada hakikatnya, semua manusia memiliki martabat dan derajat yang sama,

  serta memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, maupun status sosial lainnya. Hal ini karena setiap manusia memiliki derajat yang luhur (human dignity) dan berasal dari Tuhan yang menciptakannya sebagai individu yang bebas untuk dapat

  

  mengembangkan diri. Hak-hak manusia tersebut, lantas semakin berkembang dari hak asasi yang bersifat pribadi atau orang-perorangan (personal rights)

   menjadi Hak Asasi Manusia (HAM) atau human rights.

  Paton mengatakan bahwa hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan

  

  dan juga kehendak. Hal ini dapat dikaitkan dengan realita perlindungan HAM Internasional. Dalam perspektif sejarah, perlindungan terhadap HAM telah

  

  dilaksanakan lewat Piagam Madinah tahun 622 M. Setelah itu, lahir beragam instrumen hukum normatif dari berbagai belahan dunia antara lain Magna Charta (1679), Bill of Rights (1776), Declaration des Droits l’Hommes et du Citoyen (1789). Namun komitmen internasional yang luas baru terlihat dalam pembentukan United Nations Declaration of Human Rights atau Deklarasi Hak 4 Dede Rosyada dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi (Jakarta: Tim

  ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media, 2003), hlm.200 5 Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, HAM dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hlm.47

  Asasi Manusia PBB (DUHAM) yang dibentuk tahun 1948 sebagai landasan moril penegakkan HAM dunia.

  Eropa sebagai benua dengan Negara yang saling berbatasan darat, telah banyak

   menjadi tempat pelanggaran HAM yang berat terutama selama perang dunia.

  Semangat untuk melindungi HAM mulai berkembang di Eropa terutama sejak

   Pidato Winston Churchill di Universitas Zurich tanggal 19 September 1946 : "We must build a kind of United States of Europe...The first step is to form a Council of

10 Europe ". Pernyataan ini lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan kongres

  pada tahun 1948 untuk merumuskan organisasi yang hanya mencakup Negara- negara di Eropa yang pada akhirnya membentuk Council of Europe (Dewan Eropa). Dewan Eropa menjadi organisasi politik benua tertua yang dibentuk pada

  

  1949 melalui Treaty of London atau Statute of Council of Europe yang

  

  sasarannya adalah, inter alia , penguatan demokrasi, Hak Asasi Manusia dan

13 Rule of Law.

  Sebagai organisasi internasional, CoE memiliki kewenangan untuk membentuk perjanjian-perjanjian termasuk diantara Negara-negara anggotanya. 8 Javaid Rehman, International Human Rights Law : Practical Approach, (London: Pearson

  Education Limited, 2003), hlm. 136 9 The Council of Europe, erakhir diakses tanggal 20 Januari 2015 10 Winston Churchill and the Council of Europe, dikutip dari terakhir diakses tanggal 12 Januari 2015 History, Role, and Activities of the Council of Europe: Facts, Figures and

  Information Sources, erakhir diakses tanggal 11 Januari 2015 12 Bahasa Latin untuk “antara lain”. Frasa ini sering ditemukan dalam dalil-dalil permohonan yang ditulis untuk mengkhususkan contoh dari banyak kemungkinan. Dikutip dari terakhir diakses tanggal 12 Januari 2015

  Oleh karenanya, Pada 1950 dibentuklah Convention for the Protection of Human

  

Rights and Fundamental Freedom atau dikenal dengan European Convention on

Human Rights (ECHR).

  Dalam sistem yang pertama kali dibentuk, 3 (tiga) institusi atau organ diberikan tugas untuk menjamin pematuhan ECHR oleh Negara-negara anggota, yakni The European Court of Human Rights, European Commission on Human

  

Rights dan The Committee of Ministers (Komite Menteri). Setelah berlakunya

  Protokol Nomor 11 pada 1 November 1998, dua institusi digabungkan menjadi Pengadilan tunggal yang mana permohonan perseorangan atau antar-Negara mengenai dugaan pelanggaran hak sipil dan politik yang diatur dalam ECHR dapat langsung disampaikan pada Pengadilan. Perubahan ini mengakhiri fungsi penyaringan Komisi dan memungkinkan pemohon untuk membawa kasus mereka

   langsung kepada Pengadilan.

  Berbicara mengenai suatu pengadilan, maka perlu membahas ruang lingkup yurisdiksi pengadilan tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Yurisdiksi

  

  berkaitan dengan kekuasaan, hak atau wewenang untuk menetapkan hukum. Hal ini dapat diterapkan pada lembaga atau organ yudisial sebagai pembentuk sumber hukum yakni melalui yurisprudensi atau putusannya. Maka dari itu, ECtHR sebagai suatu badan peradilan atau organ yudisial dari organisasi internasional memiliki yurisdiksi tertentu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

14 Dikutip dari http://www.echr.coe.int/Pages/home.aspx?p=court/reform&c=#n13740

  erakhir diakses tanggal 23 Januari 2015

  Pengaturan mengenai yurisdiksi ECtHR terdapat dalam Pasal 32 ECHR yang terdiri dari application (penerapan) dan interpretation (penafsiran) Konvensi dan Protokol-protokol Tambahan. Penerapan berarti kewenangan ECHR untuk menerima dan menolak individual application (permohonan perseorangan) maupun inter-states application (permohonan antar-negara). Sedangkan yurisdiksi penafsiran dilakukan untuk memperjelas makna dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan termasuk berkaitan dengan implementasi putusan. Selain itu, kewenangan tambahan yang dimiliki ECtHR adalah memberikan advisory opinion atau pendapat nasihat yang bersifat tidak mengikat, atas permintaan Komite Menteri maupun para pihak dalam perkara.

  Implementasi atau penerapan putusan adalah langkah utama bagi efisiensi Pengadilan. Tanpanya, keadaan bagi mereka yang dibantu oleh Pengadilan tersebut tidak bertambah baik. Bahkan yurisprudensi yang terbaik dan sangat mendalam pun dapat dianggap tidak efektif bila tidak diterapkan, dan legitimasi

  

Pengadilan itu pun dapat dipertanyakan. Maka dari itu, putusan ECtHR perlu

  diterapkan di Negara pihak (High Contracting Party). Kewajiban untuk mematuhi atau menerapkan putusan akhir ECtHR tercantum dalam Pasal 46 Paragraf 1 ECHR “The High Contracting Parties undertake to abide by the final judgment of

  

the Court in any case to which they are parties.” Penerapan tersebut dapat berupa

Individual Measure (Langkah Individual) yang diterapkan untuk menghilangkan

  konsekuensi kerugian yang diderita seseorang akibat terjadinya suatu pelanggaran terhadap ECHR. Selain itu, penerapan putusan dapat pula berupa General

  

Measure (Langkah Umum) yang lebih berfungsi preventif yakni mencegah

  terjadinya kasus yang sama terulang dikemudian hari dimana salah satu dampaknya adalah amandemen legislasi Negara pihak.

  Sejak pengadilan dibuka tahun 1959, Negara anggota CoE telah mengadopsi sejumlah protokol yang lebih fokus pada perlindungan hak sipil dan politik seperti hak berserikat dan berkumpul, hak hak atas proses peradilan yang adil, dan hak kebebasan dalam pemilihan umum. Saat ini, 9 Protokol Tambahan telah dibentuk agar ECtHR berperan dalam perlindungan hak-hak yang dijamin dalam ECHR dan Protokolnya tersebut di atas yurisdiksi Negara-negara Pihak.

  ECtHR tidak berwenang dalam mengawasi implementasi putusannya. ECtHR sebagai mekanisme yudisial yang paling maju untuk memperbaiki pelanggaran HAM ini, harus bergantung pada Komite Menteri untuk mengawasi eksekusi

   putusannya sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 46 Paragraf 2 ECHR.

  Hukum supranasional semakin lama telah mempengaruhi hukum nasional

  

  

  selama bertahun-tahun. ECtHR sebagai pengadilan supranasional berarti bahwa pengadilan ini ditempatkan untuk memutuskan masalah tertentu dari kepentingan umum yang berkaitan dengan perlindungan HAM yang melintasi

  

  keseluruhan Eropa. Berkaitan dengan praktik dari peran tersebut, sampai saat ini ECtHR telah menanggapi ribuan putusan yang mengikat setiap aspek legislasi 17 Gerd Oberleitner, Global Human Rights Institutions: Between Remedy and Ritual,

  (Cambridge :Polity Press 2007), hlm.13 18 Nina-Louisa Arold, The Legal Culture Of The European Court of Human Rights (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), hlm.6 19 Supranasional diartikan disini sebagai sebuah perluasan melampaui atau melewati batasan-batasan yang dibangun untuk memisahkan bangsa-bangsa suatu Negara. 20 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, Equality and Human Rights Commission pada benua Eropa. ECtHR juga dinilai sebagai perintis dari salah satu rezim HAM

   yang paling berhasil saat ini.

  Namun dalam perkembangannya, ECtHR dikritisi atas jangkauan berlebih terhadap kekuasaan dan turut campur terhadap hukum dalam negeri yang telah terbentuk serta praktik untuk memaksakan standar yang seragam pada Negara-

  

  negara Pihak. Selain itu, masih banyak terdapat penundaan bahkan penolakan pelaksanaan putusan oleh Negara-negara Pihak dalam beberapa kasus, salah satunya dilakukan oleh Inggris.

  Inggris merupakan salah satu Negara yang pertama menandatangani teks ECHR pada saat terbentuk tahun 1950, serta yang paling awal meratifikasinya yakni pada tahun 1951. Putusan ECtHR yang menyangkut Inggris biasanya menuntun pada perubahan cepat terhadap hukum atau cara hukum itu diterapkan. Secara umum, Inggris merupakan rekor percontohan dalam penerapan putusan

23 ECtHR. Namun masih terdapat beberapa putusan ECtHR yang ditolak oleh

  Inggris untuk diterapkan di Negara tersebut, diantaranya adalah kasus Hirst tahun 2005 serta kasus Greens dan MT tahun 2010. Dalam kasus-kasus ini, putusan akhir ECtHR menyatakan bahwa Inggris telah melanggar hak kebebasan dalam pemilihan umum yang dijamin oleh Pasal 3 Protokol 1 ECHR. Putusan ini mewajibkan Inggris untuk mengamandemen legislasi yang bertentangan dengan ECHR tersebut, khususnya Bagian 3 dari Representation of the People Act 1983.

21 David C. Baluarte, Christian M. De Vos, From Judgment to Justice : Implementing

  

International and Regional Human Rights Decisions, (New York: Open Society Foundations, 2010),

hlm.33

  Namun hingga 2015 amandemen tersebut belum dilakukan, padahal batas waktu yang ditetapkan adalah tanggal 11 Oktober 2011.

  Terhadap kaidah-kaidah Hukum Internasional, Inggris cenderung kepada dua pendekatan yakni lebih mengutamakan hukum nasional atau dalam hal-hal tertentu mengutamakan Hukum Internasional. Demikian pula, perjanjian- perjanjian internasional yang dilaksanakan oleh Inggris, mensyaratkan legislasi untuk dapat berlaku. Peraturan-peraturan Hukum Internasional menjadi bagian dari hukum Inggris jika hukum itu diterima dan diadopsi oleh Inggris. Hal ini menggambarkan bahwa Inggris menganut aliran dualisme dalam menerapkan Hukum Internasional di dalam negeri.

  Instrumen ratifikasi mengharuskan Inggris untuk mematuhi ketentuan- ketentuan dalam ECHR termasuk Pasal 46 Paragraf 1 yang menegaskan bahwa kekuatan mengikat dan pelaksanaan putusan ECtHR harus dipatuhi oleh Negara- negara Pihak dimana mereka terlibat dalam suatu kasus. Namun, Inggris telah menerapkan legislasi sebagai bentuk kedaulatan Negara untuk melegitimasi putusan ECtHR, yakni melalui Human Rights Act 1998 (HRA) melalui transformasi hukum. Dalam Bagian 2 HRA, Inggris menyatakan bahwa Pengadilan Inggris harus menindaklanjuti setiap putusan ECtHR agar memiliki kekuatan hukum dalam negeri. Hal ini menyebabkan putusan ECtHR tidak dapat langsung diterapkan atau tidak memiliki dampak langsung (dirrect effect) terhadap hukum Inggris. Ketentuan ini menjadi dasar hukum bagi Inggris untuk menolak menerapkan putusan ECtHR dalam kasus-kasus di atas. Meskipun demikian, sebuah badan telah dibentuk untuk memfasilitasi penerapan putusan ECtHR di Inggris yakni Joint Committee on Human Rights (JCHR).

  Permasalahan penolakan implementasi oleh Inggris lantas memunculkan pertanyaan mengenai yurisdiksi ECtHR terkait implementasi putusannya di Inggris yang dikaji menurut Hukum Internasional. Oleh karenanya penelitian ini akan lebih dikhususkan pada pembahasan yurisdiksi tersebut yang mana dapat dianalisis dengan melihat kekuatan mengikat ECHR terhadap Inggris serta legitimasi putusan ECtHR dalam hukum inggris.

B. Rumusan Masalah

  Adapun rumusan masalah yang akan diangkat dan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana yurisdiksi European Court of Human Rights menurut

  European Convention of Human Rights ? 2.

  Bagaimana mekanisme implementasi putusan European Court of Human

  Rights ? 3.

  Bagaimana yurisdiksi European Court of Human Rights terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Penulisan skripsi ini memiliki tujuan dan manfaat yang ingin dicapai. Tujuan dari pembuatan skripsi melalui judul ini antara lain :

1. Untuk mengetahui yurisdiksi European Court of Human Rights menurut

  European Convention of Human Rights 2.

  Untuk mengetahui mekanisme implementasi putusan European Court of

  Human Rights 3.

  Untuk mengidentifikasi yurisdiksi European Court of Human Rights terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional Selain tujuan dari penulisan skripsi ini, perlu diketahui pula manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini. Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut :

  1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi literatur guna perkembangan ilmu hukum pada umumnya. Selain itu, juga agar dapat menambah wawasan para akademisi maupun praktisi hukum khususnya pada kajian yang berkaitan dengan Yurisdiksi European Court of Human

  Rights terkait implementasi putusannya di Inggris sebagai Negara Pihak menurut Hukum Internasional.

  2. Secara Praktis Penelitian ini kiranya dapat memberi gambaran mekanisme perlindungan HAM dan yurisdiksi pengadilan HAM regional, dalam penelitian ini adalah European Court of Human Rights terhadap Negara- Negara Pihak di benua Eropa terkait implementasi putusannya. Hal ini dapat dikaitkan dengan strukturisasi lembaga HAM ASEAN dalam akan berdampak langsung pada pemerintah Republik Indonesia sebagai anggota ASEAN dalam hal perlindungan dan penegakkan HAM.

  D. Keaslian Penulisan

  Penelitian yang berjudul “Yurisdiksi European Court of Human Rights Terkait Implementasi Putusannya di Inggris Menurut Hukum Internasional” ini merupakan karya tulis asli sebagai refleksi pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh selama perkuliahan terutama yang berasal dari Departemen Hukum Internasional. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis Yurisdiksi European

  

Court of Human Rights terkait implementasi putusannya di Inggris menurut

  Hukum Internasional. Sepanjang penelusuran dalam lingkup Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa tidak terdapat judul yang sama termasuk unsur-unsur yang menyusunnya di dalam Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum USU/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU sehingga dapat dibuktikan dengan surat pernyataan. Selain itu judul yang sama juga tidak ditemukan dalam penelusuran media elektronik maupun media cetak.

  E. Tinjauan Kepustakaan

  Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, jurnal, laporan- laporan ilmiah dan informasi dari internet. Untuk menghindari penafsiran ganda, maka perlu penegasan batasan pengertian dari judul penelitian yang diambil dari sarjana terhadap beberapa pokok pembahasan maupun materi yang akan di jabarkan dalam skripsi ini antara lain :

  Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur

  hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara ; Negara dengan Negara, Negara dengan subyek hukum lain bukan Negara atau subjek hukum

   bukan negara satu sama lain.

   Regional menurut KBBI adalah bersifat daerah; kedaerahan

  . Regionalyaitu wilayah yang jelas teridentifikasi walau relatif tergantung konteks waktu selain itu unsur yang mendorong identifikasi diri adalah secara sejarah dan

  

  juga geografisnya serta aktivitas yang dilakukan alam Hukum Internasional hal ini dapat digambarkan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah asas-asas yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan yang melintasi batas negara-negara antara subjek-subjek Hukum Internasional di kawasan dunia tertentu yang bersumber pada Perjanjian Internasional.

  Organisasi Internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan

  perjanjian internasional oleh dua Negara atau lebih berisi fungsi, tujuan,

  

kewenangan, asas, struktur organisasi.

  Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan

   Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Hak yang telah dilindungi

  24 25 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar HI, (Bandung: Alumni, 2003), hlm.4 26 Dikutip dar terakhir diakses tanggal 13 Februari 2015 27 Sefriani, HI: Suatu Pengantar, (Edisi Kedua), (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.142 secara internasional ini, melekat pada setiap manusia dengan sifat abstrak dan universal.

  Hak Sipil dan Politik adalah hak-hak yang secara umum membatasi

  kekuasaan pemerintah dalam tindakan-tindakan yang mempengaruhi individu dan kekuasaannya (civil rights), dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berkontribusi pada penentuan hukum dan berpartisipasi

  

dalam pemerintahan (political rights).

  Yurisdiksi secara umum dapat berarti kewenangan untuk menetapkan hukum.

  Dapat pula berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum

   yang berlaku.

  Perjanjian Internasional adalah persetujuan internasional yang mengikat

  antara Negara-negara dalam bentuk tertulis dan ditentukan oleh Hukum Internasional, baik dengan instrument tunggal maupun dua atau lebih

   instrument yang berkaitan dan apapun sebutan khususnya.

   Konvensi dapat berarti perjanjian antarnegara. Kata ini umumnya digunakan pada perjanjian multilateral yang formal dengan jumlah pihak yang banyak.

  Konvensi biasanya terbuka dalam hal partisipasi komunitas internasional secara keseluruhan, atau dengan jumlah Negara yang banyak. Biasanya

  29 Civil and Political Rights, dikutip dari andpolitical.htm, para.1, terakhir diakses tanggal 20 Februari 2015 30 I Wayan Parthiana, Pengantar HI, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 293-294 Instrumen ini dinegosiasikan sesuai organisasi internasional yang menamakan konvensi.

33 Dualisme dalam Hukum Internasional berarti aliran yang mengemukakan

  bahwa antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda satu dengan yang lain.

   F. Metode Penelitian

  Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang terjadi.

   1.

  Tipe Penelitian Terkait hal tersebut, agar penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka perlu dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penulisannya. Metode penulisan akan dijabarkan sebagai berikut :

  Penelitian yang dilakukan dalam membahas rumusan masalah dalam skripsi ini adalah tipe pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan- putusan hakim dalam proses persidangan.

  

  33 Definition of key terms used in The UN Treaty Colletion, dikutip dari

  Penelitian ini dikategorikan sebagai metode yuridis normatif karena menggunakan peraturan-peraturan

  

terakhir diakses tangggal 4 April 2015 34 Sefriani, op.cit, hlm.87 35 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 35. tertulis yang terdapat dalam konvensi-konvensi-konvensi dan protokol- protokol internasional serta peraturan nasional Inggris yang menyangkut yurisdiksi European Court of Human Rights yakni Human Rights Act 1998 .

2. Sifat Penelitian

  Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala ataupun untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini kadang-kadang berawal dari hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat

   membentuk teori-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada.

  Penelitian ini memperkuat teori-teori Hukum Internasional yang sudah ada dari suatu keadaan untuk menganalisis yurisdiksi European Court of

  

Human Rights terkait implementasi putusannya terutama di Inggris.

  3. Sumber Data Dalam penelitian yuridis normatif, maka sumber data yang perlu untuk dikaji bahan-bahan yang diidentifikasi sebagai berikut : a)

  Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

  auturitatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri

  dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

   pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

  Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau

  

  peraturan perundang-undangan. Perangkat hukum yang terkait dengan objek penelitian ini, antara lain : 1)

  European Convention on Human Rights dan Protokol- Protokol Tambahan

  2) Vienna Convention 1969 tentang Hukum Perjanjian

  3) Human Rights Act 1998

  b) Bahan Hukum Sekunder

  Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil

  

  penelitian. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan mayoritas berupa buku-buku baik hard copy maupun

  soft copy , serta jurnal-jurnal ilmiah Internasional.

  c) Bahan Hukum Tertier,

  Bahan Hukum Tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus (Hukum) dan

  38 39 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm.141 Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif (Surabaya: Bayumedia,

  

  ensiklopedia. Penelitian ini menggunakan bahan hukum tertier seperti Oxford Advanced Learner’s Dictionary

4. Metode Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel- artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional.

  Adapun tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : a)

  Melakukan inventarisir hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek kajian b)

  Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak dan elektronik, dokumen pemerintahan dan peraturan perundang-undangan. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan c)

  Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian dan menarik kesimpulan

5. Analisis Data

  Penelitian ini melakukan analisis data secara kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan dengan mengutamakan kalimat-kalimat bukan angka seperti halnya pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif lebih mengutamakan dalamnya data dibanding banyaknya data. Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan menjabarkan secara mendalam konsep yang diperlukan dan kemudian diuraikan secara komprehensif untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini serta penarikan kesimpulan dengan pendekatan atau metode induktif yang bertolak dari proposisi umum yang telah diketahui dan diyakini umum kebenarannya yang merupakan kebenaran ideal bersifat aksiomatik, tidak perlu diragukan lagi dan berujung pada kesimpulan

  

  (pengetahuan baru) yang bersifat khusus. Dalam penelitian ini analisis dikhususkan pada kajian Hukum Internasional mengenai yurisdiksi dari organ yudisial suatu organisasi internasional terhadap yurisdiksi suatu Negara, dalam hal ini European Court of Human Rights terhadap Inggris.

G. Sistematika Penulisan

  

Sebagai gambaran umum untuk memudahkan pemahaman materi yang

  disampaikan, skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab yang saling berkorelasi, dengan perincian sebagai berikut :

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini mengungkapkan dasar-dasar dalam pembuatan skripsi ini antara lain tentang latar belakang dilakukannya penelitian, rumusan masalah yang akan dibahas, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan tentang ruang lingkup pokok-pokok pembahasan, metode penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan skripsi ini.

  BAB II : YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS Pada bab ini akan dibahas mengenai yurisdiksi European Court of Human Rights menurut European Convention on Human Rights dengan terlebih dahulu membahas tinjauan umum mengenai yurisdiksi menurut Hukum Internasional, sejarah dan komponen-komponen

  European Court of Human Rights berdasarkan European Convention on Human Rights.

  BAB III : MEKANISME IMPLEMENTASI PUTUSAN EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS Bab ini menjelaskan tentang mekanisme dan bentuk implementasi putusan European Court of Human Rights mulai dari bentuk-bentuk umum implementasi putusan European Court of Human Rights, sampai pada mekanisme pengawasan implementasi putusan European

  BAB IV : YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS TERKAIT IMPLEMENTASI PUTUSANNYA DI INGGRIS Bab ini berisi analisis mengenai yurisdiksi European Court of Human Rights terkait implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional antara lain dengan terlebih dahulu membahas legitimasi putusan European Court of Human Rights menurut Hukum Inggris sampai pada kekuatan mengikat European Convention on Human Rights terhadap Inggris.

  BAB V : PENUTUP Dalam bab ini akan mengemukakan beberapa kesimpulan yang sekaligus sebagai jawaban permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini. Selanjutnya akan diutarakan saran sebagai masukan untuk penyelesaian permasalahan-permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya.