BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun dimuka bumi ini (Ubi

  

societas Ibi ius ). Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai

  hukum. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah Zoon Politicon yang artinya bahwa manusia itu pada dasarnya selalu ingin bergaul, berkumpul dan membaur dengan sesama manusia. Oleh ka rena sifat manusia itu disebut “mahkluk sosial”. Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri, tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak akan mungkin dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup, berkembang, dan meninggal dunia didalam masyarakat.

  Setiap anggota masyarakat tersebut pasti memiliki kebutuhan dan kepentingan. Dengan adanya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda didalam masyarakat tersebut maka sering terjadi pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya. Agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara maka perlu adanya suatu kekuasaan berupa petunjuk-petunjuk hidup atau peraturan-peraturan sebagai tata tertib yang harus ditaati oleh masyarakat.

  Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki aturan-aturan yang wajib dipatuhi oleh masyarakatnya agar kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda didalam masyarakat tersebut terhindar dari pertentangan-pertentangan antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya, agar kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut tidak menimbulkan kekacauan didalam masyarakat dan agar kedamaian serta ketentraman dapat dipelihara.

  Tolak ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang terdiri dari lima sila dan merupakan abstraksi dari nilai- nilai luhur kehidupan manusia Indonesia, yang didalamnya terkandung cita-cita hukum bangsa. Diantara kelima sila tersebut menurut Muhammad Hatta yang merupakan salah seorang dari the founding fathers Negara Indonesia yang juga merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno, sila ke- Tuhanan Yang Maha Esa, merupakan sila pertama dan sekaligus merupakan sila yang utama. Sila pertama ini menyinari, mengayomi, memimpin dan mempersatukan keempat sila lainnya.

  Sistem hukum Indonesia itu haruslah didasarkan kepada prinsip ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Ini pula sebabnya mengapa sistem peradilan diIndonesia yang merupakan bagian dari sistem hukum, harus didasarkan kepada prinsip ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan hakim, harus dijatuhkan demi keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dalam pembukaan UUD 1945, Tuhan diakui sebagai pemberi Rahmat bagi upaya terwujudnya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dalam kata- kata : “… Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.., maka rakyat Indonesia, menyatakan dengan ini kemerdekaannya…”. Bahkan mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden juga diatur berdasarkan pasal 9 UUD 1945, harus diucapkan dimulai

  1

  dengan kata- Sejalan dengan hal tersebut didalam pasal 29 kata “Demi Allah”. ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Indonesia merupakan Negara Hukum yang hukum-hukum berpedoman kepada nilai-nilai KeTuhanan dan bukan negara sekuler atau liberal yang memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama yang kemudian hanya menggunakan rasionalisasi manusia. Dengan demikian, praktek kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan, dan budaya luhur bangsa Indonesia.

  Apabila hukum lain selain hukum pidana tersebut gagal, hukum pidana haruslah maju kedepan. Hal ini pernah dikemukakan Modderman dengan mengatakan, Negara seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan hukum, yang tidak dapat dihambat dengan oleh upaya-upaya lain dengan baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remedium (merupakan upaya

  2 terakhir).

  Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana 1 Jimly Asshiddiqie. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa 1996),

  hal. 194 2 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan-kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2005), hal.

  penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.

  3 Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu:

  4 1.

  Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan 2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

  Realitanya dilapangan apabila kita melihat tujuan dari pidana yang diungkapkan Roeslan Saleh tersebut diatas dan dikaitkan dengan Tindak Pidana Perzinahan yang telah ada diatur didalam hukum pidana Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan dari hukum pidana tersebut.

3 Roni wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar maju , Bandung, 2012,

  hal. 9

  Zina sudah dianggap sebagai suatu perbuatan yang sudah biasa atau lazim didalam masyarakat Indonesia. Meningkatnya budaya seks bebas di kalangan pelajar adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan mengancam masa depan bangsa Indonesia. Bahkan perilaku seks pra nikah tersebut dari tahun ke tahun terus meningkat. Pendataan yang dilakukan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Masri Muadz, menunjukan kasus tersebut memperlihatkan peningkatan yang semakin miris, sebagai berikut;

  5 1.

  Menurut penuturan Masri kepada okezone, belum lama ini, Wimpie Pangkahila pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap remaja SMA di Bali. Dia mengambil sampling 633. Kesemuanya memiliki pengalaman berhubungan seks pra nikah, dengan persentase perempuan 18% dan 27% laki-laki. Sedangkan penelitian Situmorang tahun 2001 mencatat, laki-laki dan perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks dengan komposisi, 9% perempuan dan 27% laki-laki. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) di tahun 2002-2003, remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada: usia 14-19 tahun, perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24 tahun perempuan 48,6% dan laki-laki 46,5%.

2. SKRRI pun melanjutkan analisanya pada tahun 2003 dengan memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pra nikah.

  5 OkeZone.com NEWS., Tiap Tahun, Remaja Seks Pra Nikah Meningkat, diakses dari Menurut SKRRI, faktornya yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual antara lain: Pertama, pengaruh teman sebaya atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan hubungan seks para nikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks pra nikah.

  3. Di tahun 2005 Yayasan DKT Indonesia melakukan penelitian yang sama.

  DKT memfokuskan penelitiannya di empat kota besar antara lain: Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Medan. Berdasarkan norma yang dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah. Namun, kenyataannya yang terjadi di lapangan, pertama, 82% remaja punya teman yang melakukan seks pra nikah. Kedua, 66% remaja punya teman yang hamil sebelum menikah. Ketiga, remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra nikah. Persentase tersebut menunjukkan angka yang fantastis. Jabodetabek 51%, Bandung 54% Surabaya 47% dan Medan 52%.

  4. Tahun 2006 PKBI menyebutkan, pertama, kisaran umur pertama kali yakni 13-18 tahun melakukan hubungan seks. Kedua, 60% tidak menggunakan alat atau obat kontrasepsi. Ketiga, 85% dilakukan di rumah sendiri. Sementara merujuk pada data Terry Hull dkk (1993) dan Utomo dkk (2001), PKBI menyebutkan, 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per tahun dan 27% atau kurang lebih 700 ribu remaja dan sebagian besar dengan tidak aman. Selain itu 30-35% aborsi penyumbang kematian ibu.

  5. Pada 2007 SKRRI melakukan penelitian kembali. Penelitian tersebut menunjukkan peningkatatan yang drastis. a.

  Pertama, perilaku seks pranikah remaja cenderung terus meningkat dan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada remaja.

  b.

  Kedua, jumlah kelompok remaja Indonesia yang menginginkan pelayanan Keluarga Berencana (KB) diberikan kepada mereka.

  c.

  Ketiga, meningkat jauh dari SKRRI 2002.

  d.

  Keempat, jumlah remaja 15-24 tahun sekitar 42 juta jiwa, berarti sekitar 37 juta jiwa remaja membutuhkan alokon tidak terpenuhi (unmet need berKB kelompok remaja).

  e.

  Kelima, kelompok ini akan tetap menjadi unmet need. Sebab dalam undang-undang No 10 tahun 1992, pelayanan KB hanya diperuntukkan bagi pasangan suami istri, sesuai dengan pemilihannya.

  6. Bahkan, temuan Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Penelitian Bisnis dan Humaniora (LSCK-PUSBIH) di tahun 2008 lebih mengagetkan lagi. LSCK-PUSBIH melakukan penelitian terhadap 1.660 mahasiswi di Yogyakarta. Hasil yang mereka dapatkan, 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah hilang kegadisannya dan 98 orang mengaku pernah melakukan aborsi.

  7. Kemudian Penelitian yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak (KPAI) di

  33 Provinsi pada bulan Januari-Juni 2008 menyimpulkan empat hal: Pertama, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. Kedua, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks. Ketiga, 62,7% remaja SMP tidak perawan. Dan yang terakhir, 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.

  Bahkan baru-baru ini kita mendengar ada kasus penyimpangan pelajar siswa dan siswi SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Ibu Kota Jakarta yang sudah berani melakukan dan bahkan merekam perbuatan yang menyimpang

  6

  tersebut, dan hal ini sudah merupakan yang kesekian kalinya dilakukan. Dapat dibayangkan ketika anak-anak yang masih duduk disekolah menengah pertama saja sudah berani melakukan perbuatan persetubuhan diluar pernikahan (Zina) dan bahkan berani merekam perbuatan mereka tersebut, bagaimana lagi dengan orang yang lebih dewasa dari mereka yang merupakan contoh dan panutan bagi mereka?

  Sangat diharapkan regulasi mengenai perzinahan kedepannya haruslah lebih komperhensif, serta relevan dengan kepentingan masyarakat. Dan tentunya dapat menjaga dan melindungi seluruh kepentingan, baik itu kepentingan yang bersifat horizontal (manusia dengan manusia) maupun yang bersifat vertikal (manusia dengan Tuhan).

  Hal tersebut sesuai dengan tujuan hukum yang disebutkan oleh Jeremy Bentham bahwa hukum harus menuju kearah barang apa yang berguna (anggapan yang mengutamakan utilitet utiliteits theorie). Menurut anggapan itu hukum

  7 mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang lain.

  Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM” 6 VOAislam, Anak SMP buat video seks, bukti Zina sudah merajalela dan dianggap Biasa

  , diakses dari , http://m.voa-islam.com//news/aqidah/2013/10/25/27269/anak-smp-buat-video-seks- bukti-zinah-sudah-merajalela-dianggap-biasa/... pada tanggal 1 Desember 2013

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang skripsi ini, maka ada permasalahan yang akan menjadi bahasan dalam skripsi ini. Perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut; 1.

   Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Kitab Undang-

  Undang Hukum Pidana? 2.

   Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan menurut Hukum Islam? 3. Bagaimana perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang

  Undang Hukum Pidana dan Menurut Hukum Islam

C. Tujuan dan manfaat Penelitian

  Karya Tulis ini bertujuan untuk mengetahui sejarah dan unsur-unsur yang mempengaruhi Tindak Pidana Perzinahan yang berlaku saat ini kemudian membandingkannya dengan Tindak Pidana menurut Hukum Islam dan mengambil kesimpulan, manakah yang lebih bermanfaat (berfaedah) bagi masyarakat Indonesia. Dan dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai Tindak Pidana Perzinahan dan dapat menjadi acuan untuk penelitian yang lebih mendalam yang kemudian dapat menjadi sumber pertimbangan bagi hukum positif yang menyangkut tentang perzinahan dimasa mendatang. Sehingga diharapkan dapat mencegah dampak negatif dari perbuatan menyimpang tersebut (zina).

D. Keaslian Penulisan

  Adapun kary a tulis dengan judul ““PERBANDINGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM

  ” dibuat dengan sebenarnya oleh penulis dengan dibantu oleh buku-buku dari kepustakaan yang ada. Keaslian Penulisan ini juga bisa dibuktikan dengan adanya surat Keterangan Lulus Perpustakaaan yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tertanggal ( ). Dan apabila ternyata dikemudian hari ada masalah berkenaan dengan karya tulis ini maka penulis akan bersedia mempertanggungjawabkannya

E. Tinjauan Kepustakaan 1.

  Hukum Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam a.

  Hukum Pidana menurut kajian KUHP 1)

  Pengertian Hukum Pidana Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang di dalamnya berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Hukum penitensier juga di samping itu berisi tentang sistem tindakan (maatregel

  

stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban,

  melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara

  8

  juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen). Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah lazim merupakan

  9 terjemahan dari recht.

  Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut

  10

  sebagai tindak pidana (strafbaar feit). Pergaulan manusia didalam kehidupan bermasyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law. Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Beberapa pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai berikut :

  Menurut Sudarto : Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-

  8 9 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23 Ibid., hal.24.

  11

  undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan norma- norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.

  Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang

  12

  sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik. Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh negara, kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana.

  Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan

  13

  penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa “Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, 11 12 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981) hal.109-110.

  Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5. akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling

  .” 2)

  Tujuan Hukum Pidana menurut KUHP Sebagian besar para ahli hukum berpendapat bahwa hukum pidana adalah

  “Kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilanggar”. Sanksi didalam hukum pidana jauh lebih keras dibandingkan dengan akibat sanksi hukum yang lainnya, “akan tetapi ada juga para ahli yang berpendapat sanksi belaka sebagai ancaman pidana sehingga

  14 hukum pidana adalah hukum sanksi belaka.

  Menurut Soedarto hukum pidana secara umum ditanggapi sebagai semua peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang berupa larangan dan bersifat memaksa, dimana penjatuhan pidana diberikan kepada seseorang yang melanggarnya. Menurutnya bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada

  15 perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu akibat yang berupa pidana.

  16 Adapun tujuan pidana menurut Roeslan Saleh yaitu:

  14 15 Marlina, Op.Cit,, hal. 15 Roni wijayanto, Op.Cit, hal. 9

  1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan; dan 2. Dari segi pembalasan yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan atas perbuatan melawan hukum. Disamping mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.

  b.

  Hukum Pidana menurut kajian Hukum Islam (Hukum Pidana Islam) 1)

  Pengertian Hukum Pidana menurut Hukum Islam (Hukum Pidana Islam) Pengertian islam secara terminologis diungkapkan Ahmad Abdullah

  Almasdoos (1962) bahwa islam adalah kaidah hidup yang diturunkan kepada manusia sejak manusia digelarkan kemuka bumi. Dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam Al- qur‟an yang suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya yang terakhir, yakni nabi Muhammad ibn Abdullah, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material.

  

17

17 Ramlan Yusuf Rangkuti dan Sahmiar Pulungan., Pendidikan Agama Islam Pada

  Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasul-rasulNya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta,. Agama yang diturunkan Allah kemuka bumi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam sebagaimana

   18

  diungkapkan oleh Al- qur‟an :

  

Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama Islam (Ali Imran: 19)

  Setelah memaknai Islam seperti penjelasan diatas, barulah kita membicarakan apa itu Hukum Islam. Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang- undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855) berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah

  19 hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.

  Dibandingkan dengan konsepsi Hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan- hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu, seperti telah berulang disinggung dimuka, adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia

  20 dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.

  Dalam sistem Hukum Islam ada lima hukm atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dilapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, disebut al-ahkam al-

  khamsah, atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti Thalib, 1985: 16) yaitu (1)

  21 Ja‟iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram.

  Kemudian sumber Hukum Islam, Allah telah menentukan sendiri sumber hukum (agama dan ajaran) Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Menurut Al- qur‟an surat Al-Nisa (4) ayat 59, setiap muslim wajib mentaati (mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak rasul dan kehendak ulil amri yakni orang yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Allah berupa 19 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

  (Jakarta: Raja Grafindo Persada Cetakan ke-18 2012), hal. 43 Indonesia, 20 Ibid. ketetapan kini tertulis didalam Al- qur‟an, kehendak rasul berupa sunnah terhimpun sekarang didalam kitab- kitab hadis, kehendak “penguasa” kini dimuat didalam peraturan perundang-undangan (dulu dan sekarang) atau dalam hasil karya orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan (ajaran) Hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni dari Al- qur‟an dan dari kitab-kitab hadis yang memuat Sunnah Nabi Muhammad. Yang ditetapkan Allah dalam Al- qur‟an itu dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad SAW dengan sahabat Beliau Mu‟az bin Jabal, yang didalam kepustakaan terkenal dengan hadits Mu‟az. Demikianlah menurut riwayat, pada suatu ketika Nabi Muhammad mengirimkan seorang sahabatnya ke Yaman (dari Madinah) untuk menjadi gubernur disana. Sebelum berangkat, nabi Muhammad SAW menguji sahabatnya yang bernama Mu‟az bin Jabal itu, dengan menanyakan sumber hukum yang akan dipergunakannya kelak untuk memecahkan berbagai masalah dan atau sengketa yang dijumpainya didaerah baru itu. Pertanyaan itu dijawab ol eh Mu‟az dengan mengatakan bahwa ia akan mempergunakan Al- qur‟an. Jawaban tersebut disusul oleh Nabi dengan pertanyaan: “Jika tidak terdapat petunjuk khusus (mengenai suatu masalah) dalam Al- quran bagaimana? “Mu‟az menjawab: “saya akan mencarinya dalam sun nah nabi. Nabi bertanya lagi: “kalau engkau tidak menemukan petunjuk dalam sunnah nabi, bagaimana?” Mu‟az menjawab: “Jika demikian, saya akan berusaha sendiri mencari sumber pemecahannya dengan

  ra‟yu´atau akal saya dan akan mengikuti pendapat saya itu. “Nabi sangat senang dengan jawaban dari Mu‟az tersebut dan berkata: Aku bersyukur kepada Allah

  22 yang telah menuntun utusan rasul-Nya.

  Dari hadits Mu‟az bin Jabal diatas, dapatlah disimpulkan bahwa sumber Hukum Islam ada tiga, yaitu (1) Al- qur‟an, (2) As-Sunnah, dan (3) akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini, dalam kepustakaan Hukum Islam, disebut juga dengan istilah ar-

  ra‟yu atau pendapat

  orang atau pendapat orang-orang yang memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan norma (kaidah) pengukur tingkah-laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan.

  Selanjutnya Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh, atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas didalam Hukum Pidana Islam. Ulama- ulama

  muta‟akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai fiqih

jinayah , yang dikenal dengan Hukum Pidana Islam. Didalamnya terhimpun

  pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup,

  23 dan lingkungan hidup.

  Adapun asas-asas didalam hukum pidana islam yang terkandung didalam Al- qur‟an dan Hadits Rasulullah SAW, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Beberapa asas hukum pidana yang umum oleh para pakar Hukum Islam, 22 23 Ibid. hal 73 Rahmat. Hakim, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Bandung : CV Pustaka Setia diantaranya Ahmad Hanafi, Mohammad Daud Ali, yaitu asas legalitas, asas

  24 larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah..

1) Asas Legalitas.

  Asas ini didalam bahasa latin disebut Nullum Delictum Nulla Poena Sine

  Praevia Lege Poenali (seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak ada hukum

  yang mengatur perbuatan yang telah dilakukannya). Asas ini merupakan jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktifitas apa yang dilarang secara jelas dan tepat. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi apa yang boleh dan apa yang dilarang.

  Asas legalitas didalam Hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentaun Allah. Dalam Kitab Suci Al- qur‟an Allah SWT Berfirman:

  “…. Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

  (Q.S. Al-Israa‟;15)

  Jadi jauh sebelum Declaration of the Right Human and Citizen (yang dianggap sebagai tonggak sejarah dalam membasmi kesewenang-wenangan).

  Asas legalitas ini sudah ada didalam Hukum Islam. Karena hukum ini merupakan hukum yang berasal dari Allah, maka Allah lah yang paling mengerti apa yang paling baik bagi hambah-hambahNya.

  2) asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain 24 Neng Djubaedah, Perzinaan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

  Dasar dari asas ini adalah surat al-Isra ayat 15, bahwa “… Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

  Kemudian Surat an-Najm ayat 38 - 39, Fatir Ayat 18, dan Luqman ayat 33. Maka perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat ia pindahkan kepada orang lain. Termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh seorang bapak tidak dapat dipindahkan ke anaknya dan sebaliknya.

  3) Asas Praduga Tidak Bersalah (The Presumption of innocence)

  Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah asas praduga tidak bersalah . “Principle Of Lawfulness”. Menurut asas ini semua perbuatan (kecuali ibadah khusus) dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan; jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan (Sanad, 1991;72).

25 Konsep ini juga sebenarnya sudah ada empat belas abad yang lalu, Nabi

  Muhammad SAW Bersabda; “Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila

  kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah,

25 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syaamil Press

  lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam

  26 menghukum

  2) Tujuan Hukum Pidana Islam

  Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat tanpa tujuan apa-apa, melainkan disana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui apa tujuan dari ketentuan itu. Disamping itu Karena kata-kata dan teks dari suatu ketentuan mungkin mengandung beberapa arti dari sekian arti lain. Kecuali kita mengetahui tujuan nyata dari pembuat hukum dalam menyusunnya. Lebih jauh lagi kita tidak dapat menghilangkan ketidak sesuaian antara ketentuan ynag bertentangan, kecuali kita mengetahui apa tujuan dari pembuat hukum.

  Singkatnya adalah muthlak bagi yang mempelajari Hukum Islam untuk mempelajari maksud dan tujuan dari pembuat hukum dan keadaan atau kejadian

  27

  yang memerlukan turunnya wahyu suatu Al- Qur‟an dan Hadits Nabi SAW.

  Para ahli Hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari

  28

  syari‟ah sebagai berikut tujuan hukum pidana menurut Audah, 1987: 246-249 ; Tujuan pertama menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariah. Ini merupakan hal-hal dimana kehidupan manusia sangat 26 27 Ibid Topo Santoso, Membumikah Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press 2003),

  hal. 18-19 28 tergantung sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila ada kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban dimana-mana. Kelima (5) kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyat) dalam kepustakaan Hukum Islam disebut dengan istilah al-maqasid al-

  syari‟ah al-khamsah (tujuan0tujuan syariah),

  yaitu: 1)

  Memelihara agama (hifzh al-din) 2)

  Memelihara Jiwa (hifzh al-nafsi) 3)

  Memelihara akal pikiran (hifzh al-„aqli) 4)

  Memelihara Keturunan (hifzh al-nashli) 5)

  Memelihara harta (hifzh al-mal) Syariah telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap kebutuhan-kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan-ketentuan yang esensial. Tujuan Kedua Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan Tujuan Ketiga Tujuan ketiga dari Perundang-undangan Islam adalah membuat perbaikan- perbaikan , yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan social dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik (keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan- kebutuhan hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebijakan (virtues), cara-cara yang baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.

  2. Tindak Pidana menurut kajian KUHP dan Hukum Islam a.

  Tindak Pidana menurut kajian KUHP 1)

  Pengertian Tindak Pidana Hukum Pidana Belanda memakai istilah Strafbaar Feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum Pidana Negara-negara

  Anglo saxon memakai istilah Offense atau Criminal act untuk maksud yang sama.

  Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia bersumber pada

  29 WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu Strafbaar Feit.

  Perkataan “Feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een geedelte van de werkwlijkheid”. Sedang “Strafbaar berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan “Strafbaar Feit” dapat diterjemah kan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan

  30 kenyataan, perbuatan atau tindakan.

  Strafbaar Feit yang merupakan istilah asli bahasa Belanda yang

  diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tersebut mempunyai berbagai arti diantaranya, yaitu: tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana

  31 maupun perbuatan yang dapat dipidana.

  Kemudian oleh Pembentuk undang-undang kita menggunakan perkataan

  Strafbaar Feit

  untuk menyebutkan apa yang kemudian kita kenal sebagai “Tindak

  Pidana” didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan

  sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan

  32 Didalam prakteknya para ahli memberikan perkataan “Strafbaar Feit” tersebut.

  29 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta Cetakan ke III 2008), hal 86 30 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti 1997), hal 181 31 Roni Wijayanto, Op.Cit, hal. 160 berbagai definisi Strafbaar Feit atau tindak pidana berbeda-beda, sehingga

  33 perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti.

  Menurut Profesor POMPE, perkataan “Strafbaar Feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran” norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah

  34 perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.

  Kemudian Apa yang dimaksud dengan tindak pidana, menurut simons didefinisikan sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (Onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

  Rumusan tindak pidana yang diberikan simons tersebut dipandang oleh Jonker

  35

  dan Utrecht sebagai rumusan yang lengkap, karena akan meliputi: 1.

  Diancam dengan pidana oleh hukum; 2. Bertentangan dengan hukum; 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld); 4. Seseorang tersebut dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

  Van Hammel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari Simons, tetapi ia menamba 33 hkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat 34 Roni Wijayanto Loc. Cit.

  P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 162 dihukum”. Jadi pengertian tindak pidana menurut van hamel meliputi lima unsur,

  36

  yakni ; 1.

  Diancam dengan pidana oleh hukum; 2. Bertentangan oleh hukum; 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (Schuld); 4. Seseorang tersebut dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya; 5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.

  Sedangkan Vos merupakan salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana secara singkat, yaitu hanya mencakup kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana. Kemudian pengertian tindak pidana yang diberikan Vos tersebut, dikomentari oleh Satochid Kartanegara , ia mengatakan rumusan Vos tersebut sama saja memberikan keterangan “een

  vierkante tafel is vier kant (meja segi itu adalah segi empat), karena definisinya

  tidak menjepit isinya, sedangkan pengertian “orang” dan “kesalahan” juga tidak

   37

  disinggung, karena apa yang dimaksud Strafbaar Feit, sebagai berikut:

  1. Pelanggaran atau pemerkosaan kepentingan hukum (Schanding of kreenking van een rechtsbelang);

  2. Sesuatu yang membahayakan kepentingan hukum (het in gevearbrengen van een rechtsbelang.) 36 Ibid.

  Kepentingan hukum yang dimaksud Satochid Kartanegara ialah tiap-tiap kepentingan yang harus dijaga agar tidak dilanggar, yang terdiri atas tiga jenis,

  38

  yaitu; 1.

  Kepentingan perseorangan, yang meliputi: jiwa (leven), badan (lijk), kehormatan (eer) dan harta benda (Vermogen).

  2. Kepentingan masyarakat, yang meliputi : ketentraman dan keamanan (rusten orde).

  3. Kepentingan Negara adalah keamanan Negara.

  Melihat berbagai pendapat para ahli tersebut diatas mengenai pengertian

  Strafbaar Feit, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tindak

  pidana atau Strafbaar Feit yaitu merupakan rumusan yang memuat unsur-unsur tertentu yang menimbulkan dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya yang dianggap telah melanggar kepentingan hukum yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pidana. Unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat berupa perbuatan yang sifatnya aktif maupun pasif atau tidak berbuat sebagaimana diharuskan oleh undang-undang, yang dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan, dan bertentangan dengan hukum pidana, dan orang tersebut dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

  2) Unsur-Unsur Tindak Pidana

  Menjadi tuntutan Normatif yang harus dipenuhi bila mana seseorang dapat dipersalahkan karena melakukan sesuatu tindak pidana, yaitu perbuatan itu harus dibuktikan mencakup semua unsur Tindak Pidana. Apabila salah satu unsur Tindak Pidana tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka konsekuensinya Tindak Pidana yang dituduhkan kepada sipelaku tidak terbukti dan tuntutan dapat batal demi hukum.

  Ditinjau dari sifat unsurnya, pada umumnya unsur-unsur Tindak Pidana dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur

  objektif.

  a.

   Unsur Subjektif

  Menurut Lamintang bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku. Dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Adapun unsur-unsur subjektif menurut lamintang yakni sebagai berikut: a.

  Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa); b. Maksud (voornemen) pada suatu percobaan (poging) seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c.

  Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat misalnya didalam d.

  Merencanakan terlebih dahulu (voorbedache raad) misalnya seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana; e. Perasaan takut (vress) seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak

  39

  pidana menurut pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Sedangkan Menurut Satochid Kartanegara, ia membedakan unsur subjektif hanya menjadi dua macam saja, yakni; a.

  Toerekeningswatbaarheit (kemampuan bertanggung jawab)

  40 b.

  Schuld (Kesalahan) Leden Marpaung mengemukakan asas hukum pidana menyatakan bahwa

  “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (iintention/opzet/dolus) dan kealpaan (culpa) ini merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan, dimana kealpaan meliputi dua bentuk, yaitu: tidak berhati-hati dan

  

41

dapat menduga akibat perbuatan tersebut.

  Didalam doktrin dan ilmu pengetahuan hukum pidana unsur kesengajaan atau opzet tersebut kemudian pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis, yakni:

  39 40 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal 194 41 Roni Wijayanto Op.Cit. hal. 166 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik hukum pidana, (Jakarta: Sinar Grafika 2005),

1. Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk)

2. Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn) 3.

  Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij

  mogelijkheidsbewustzijn )

  Maka dapat diambil kesimpulan dari uraian diatas, bahwa unsur-unsur meliputi;

  subjektif 1.

  Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningswatbaarheit) 2. Kesalahan (Schuld) yang terdiri dari : 3. Kesengajaan (dolus) a.

  Kesengajaan dengan maksud (Opzet als oogmerk) b.

  Kesengajaan dengan keinsyafan (Opzet bij zekerheidsbewustzijn) c. Kesengajaan dengan keinsyafan atau kemungkinan (Opzet bij

  mogelijkheidsbewustzijn ) d.

  Kealpaan (culpa) 4. Unsur Objektif

Dokumen yang terkait

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 0 9

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis

0 0 62

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 40

Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)

0 1 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Membran Selulosa Bakteri Coating Kitosan - Kolagen Untuk Aplikasi Gtr ( Guide Tissue Regeneration ) Sebagai Pembalut Luka Pada Mencit (Mus Musculus)Secara In Vivo

0 3 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pembuatan Membran Selulosa Bakteri Coating Kitosan - Kolagen Untuk Aplikasi Gtr ( Guide Tissue Regeneration ) Sebagai Pembalut Luka Pada Mencit (Mus Musculus)Secara In Vivo

0 1 9

PEMBUATAN MEMBRAN SELULOSA BAKTERI COATING KITOSAN - KOLAGEN UNTUK APLIKASI GTR ( Guide Tissue Regeneration ) SEBAGAI PEMBALUT LUKA PADA MENCIT (Mus musculus) SECARA IN VIVO SKRIPSI

0 0 13

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Buatan - Analisis Dan Perancangan Sistem Pakar Untuk Mendiagnosis Penyakit Tanaman Karet Menggunakan Metode Faktor Kepastian (Certainty Factor) Pada Smartphone

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Peranan Istri Nelayan Terhadap Pendapatan Keluarga (Kasus : Desa Bagan Serdang, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang)

0 2 14

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 2 23