BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Baku oleh Developer Properties (Studi pada PT. Multi Cipta Property)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang pesat saat ini memicu permintaan yang besar atas

  pemukiman. Seperti yang kita ketahui bahwa tempat tinggal adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Hal ini tercantum pula pada Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman pada pasal 4 huruf a yang menyatakan bahwa penataan perumahan dan pemukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.

  Rumah pada masa sekarang ini tidak hanya menjadi kebutuhan dasar (basic

  

need ), tetapi juga menjadi gaya hidup (life style) dikarenakan adanya

  perkembangan jaman dalam era globalisasi. Permintaan yang tinggi oleh jumlah populasi masyarakat yang besar memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi kebutuhan akan perumahan di tengah keadaan seperti keterbatasan lahan. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh dunia bisnis. Mereka yang melihat kesempatan ini mulai membangun perusahaan- perusahaan perumahan yang memberikan tawaran atas rumah yang diinginkan masyarakat. Pengadaan perumahan ini dapat dinikmati oleh kelas ekonomi masyarakat dari kalangan bawah sampai strata elite. Dalam hal ini, developer properties memberikan tawaran atas perumahan yang bervariasi mulai dari subsidi sampai perumahan yang bersifat luxury.

  Melihat peningkatan dalam kebutuhan dan permintaan atas perumahan, untuk keefektifan dan keefesienan maka dalam jual- beli digunakan perjanjian baku.

  Perjanjian baku pada masa sekarang ini menjadi instrumen yang banyak diminati oleh pelaku usaha perdagangan dan bisnis. Tujuan dibuatnya perjanjian baku ini adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang

   bersangkutan .

  Namun pada kenyataanya yang dapat dilihat adalah pelaksanaan perjanjian baku ini mendominasi dan memberi kekuatan lebih pada produsen, sedangkan konsumen berada pada posisi yang tidak berimbang. Perjanjian baku tidak melibatkan pihak konsumen dan konsumen tidak diberikan suatu pilihan alternatif lain, melainkan hanya menerima ketentuan dan prasyarat yang diberikan oleh pelaku usaha.

  Dalam perjanjian baku sering terjadi pelaku usaha mengalihkan kewajiban- kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya kepada konsumen sehingga memberatkan atau bahkan cenderung merugikan konsumen. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa materi kalusula baku bukanlah hasil suatu kesepakatan melainkan hasil pemaksaan kepada pihak lain untuk menerima atau tidak menerima sama sekali sehingga dapat menimbulkan suatu kondisi yang tidak

   seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen .

  1 2 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesis, Grasindo, Jakarta, 2000.

  

H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian

Kredit Perbankan , PT Alumni, Bandung, 2012.

   Sluyter mengemukakan ciri-ciri standaard contract adalah sebagai berikut : a.

  Bahwa isinya telah terlebih dahulu ditetapkan secara tertulis; b. Bahwa standaard contract itu selalu menyimpang dari hukum yang mengatur ( regelent recht); c.

  Bahwa standaard contract sebagai “adhesiecontract” lebih bersifat dipaksakan berdasarkan kekuatan ekonomi Konsumen sendiri memiliki keterbatasan dalam pemahaman isi perjanjian baku terutama di bidang jual-beli perumahan. Bahkan, sebahagian besar masyarakat tidak memahami dan hanya menerima begitu saja. Bagi konsumen keadaan ini seperti take it or leave it. Tidak sedikit konsumen yang tidak ingin ambil pusing, bahkan tidak membaca isi perjanjian. Hal ini dapat menjadi suatu pemicu semakin berkembangnya penggunaan perjanjian baku dengan klausula- klausula yang lebih menguntungkan produsen. Kurangnya pemahaman masyarakat dalam bidang hukum dan pemikiran untuk tidak ingin menyulitkan diri dalam dunia hukum dalam hal ini pengadilan, mengakibatkan enggan nya masyarakat untuk melaporkan atau membawa ke ranah hukum untuk ditinjau apabila terjadi sengketa setelah kesepakatan yang terjadi atas perjanjian baku. Jika ditinjau perjanjian baku ini tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak ( pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata).

  Bagaimanapun konsumen diberi kebebasan menyetujui atau menolak. Hanya saja yang perlu dilihat adalah klausula eksonerasi di dalamnya, dimana klausula ini 3 H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan , PT Alumni, Bandung, 2012. mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus tanggung jawab yang seharusnya dibebankan pada pihak penjual atau produsen. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan mengenai definisi perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai berikut: “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan

  ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian uang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen ”.

  Apakah konsumen adalah pihak yang lemah? Dalam konteks ini jika kita berpikir lebih mendalam, konsumen memiliki kekuatan untuk menegakkan hak- hak nya. Namun, sebahagian besar pihak konsumen hanya memahami jual- beli sebatas penyerahan uang dan penerimaan barang saja, tanpa mengerti dan memahami isi dari perjanjian baku. Sehubungan dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan kajian dan telaah dalam pelaksanaan jual-beli rumah menggunakan perjanjian baku. Oleh karenanya penulis menganggap penting mengangkat pembahasan mengenai penggunaan perjanjian baku, khususnya dalam bidang jual-beli rumah.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan penulis dan pengamatan yang dilakukan dalam hal penjualan dan pembelian perumahan, maka penulis mengemukakan permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana perlindungan terhadap konsumen dengan adanya pelaksanaan perjanjian baku?

  2. Bagaimana keabsahan penggunaan perjanjian baku? 3.

  Bagaimana prosedur yang dilakukan oleh developer property dalam pembuatan perjanjian baku?

  4. Apakah perjanjian baku masih layak digunakan pada masa sekarang ini?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : a.

  Untuk mengetahui posisi konsumen dan perlindungan yang diberikan atas adanya penggunaan perjanjian baku dalam zona jual-beli rumah.

  b.

  Untuk mengetahui seperti apa perjanjian baku yang dianggap sah dan sesuai kaidah hukum dalam ranah jual-beli rumah.

  c.

  Untuk mengetahui prosedur dan pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh developer property dalam membentuk suatu perjanjian baku.

  d.

  Untuk memberikan gambaran atas keberadaan perjanjian baku dalam masyarakat sekarang ini.

   Adapun manfaat dari penulisan ini adalah : a.

  Secara Teoritis Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi

  • pengembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang klausula baku dalam perjanjian jual-beli perumahan.
  • penggunaan perjanjian baku oleh developer properties b.

  Untuk memperoleh dan memperdalam pengetahuan dalam bidang

  Secara Praktis Hasil penulisan diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dan dapat

  • menambah wawasan di bidang hukum bagi para pihak yang terkait terutama masyarakat luas.
  • konsumen dalam penggunaan perjanjian baku oleh developer properties.

  Agar masyarakat dapat mengerti dan memahami hak nya sebagai

D. Metode Penelitian

  Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum Deskriptif Normatif yaitu dengan cara melakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan masalah yang dikemukakan lalu dilakukan penelitian dan analisa terhadap permasalahan.

  Bentuk penulisan skripsi ini menggunakan bentuk penelitian dengan melihat dan meneliti pada hukum primer, yakni : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Unadng-Undang Perlindungan Konsumen dan hukum sekunder, yakni : bahan yang berhubungan erat dengan topik penulisan skripsi ini Surat Keputusan Menteri Perumahan No. 9 Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikat Perjanjian Jual Beli Rumah, buku- buku karangan para sarjana, hasil penelitian pada tempat studi kasus, maupun situs internet.

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan cara :

  • dan wawancara kepada staf developer property dalam hal ini PT. Multi Cipta Property.

  Penelitian lapangan ( field research) : yakni dengan mengadakan penelitian

  • mempelajari, dan menganalisa buku- buku yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini.

  Penelitian kepustakaan (library research) : yakni dengan membaca,

  E. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini dilakukan dan diselesaikan berdasarkan data- data yang dikumpulkan oleh penulis sendiri dari berbagai sumber, baik dari sumber bacaan, media elektronik, maupun wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang aspek hukum pelaksanaan perjanjian baku oleh developer properties ( studi pada PT. Multi Cipta Property) telah diperiksa dan diselidiki sesuai dengan objek yang berbeda.

  F. Sistematika Penulisan

  Bab I : Pada bab ini penulis menguraikan tentang hal- hal yang bersifat umum yang mendasari penulis dalam penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

  Bab II : Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran umum perjanjian baku yang dimulai dengan sejarah lahirnya perjanjian baku, pengertian perjanjian baku, bagaimana perjanjian baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang

  Perlindungan Konsumen, dan akibat hukum dari adanya perjanjian baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

  Bab III : Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran umum developer dimana telah dilakukan studi pada salah satu developer property yakni PT. Multi Cipta Property, yang menguraikan dasar terbentuknya PT. Multi Cipta Property, pengertian developer, hak dan kewajiban developer, hubungan konsumen dan developer dalam perjanjian baku, dan pengadaan perjanjian baku oleh developer.

  Bab IV : Pada bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari permasalahan topik yakni aspek hukum pelaksanaan perjanjian baku oleh developer properties ( studi pada PT. Multi Cipta Property), yang terdiri dari : perlindungan terhadap konsumen dalam penggunaan perjanjian baku, keabsahan perjanjian baku, prosedur pembuatan perjanjian baku, dan keberadaan perjanjian baku di tengah masyarakat.

  Bab V : Pada bab ini, penulis memberikan kesimpulan dan saran dari hasil uraian bab-bab sebelumnya yang diharapkan dapat berguna bagi perkembangan wawasan terutama di bidang ilmu hukum.

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian Menurut pasal 1313 KUHPerdata:

  “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih ”.

  Apabila diperhatikan, adapun unsur-unsur dari perjanjian itu adalah: a. Terdapat para pihak sedikitnya 2 ( dua) orang; b.

  Ada persetujuan antara para pihak yang terkait; c. Memiliki tujuan yang akan dicapai; d.

  Memiliki prestasi yang akan dilaksanakan; e. Dapat berbentuk lisan maupun tulisan; f. Memiliki syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian

  Sedangkan di dalam buku Yahya Harahap disebutkan menurut Sudikno Mertokusumo: “Perjanjian adalah hubungan hukum/ rechtshandeling dalam hal mana satu pihak atau lebih mengikat diri terhadap satu atau lebih pihak lain”.

  Istilah perjanjian berkaitan dengan perikatan ( verbintenis). Menurut Subekti perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu

   peristiwa konkret.

  Di dalam perjanjian terdapat asas-asas sebagai rangkaian prinsip atau norma atau patokan dasar yang berguna untuk dipedomani dalam mengatasi 4 M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung, 1982. kesulitan dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Mariam Darus mengemukakan 10 asas perjanjian, yakni:

1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian; 2.

  Asas persesuaian kehendak; 3. Asas kepercayaan; 4. Asas kekuatan mengikat; 5. Asas persamaan hukum; 6. Asas keseimbangan; 7. Asas kepastian hukum; 8. Asas moral; 9. Asas kepatutan; 10.

  Asas kebiasaan; Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, asas-asas hukum dalam perjanjian adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar belakang dari peraturan hukum yang konkrit yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut.

   Asas-asas hukum perjanjian yang dikemukakan meliputi: a.

  Asas konsensualisme Diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

  undang bagi emreka yang membuatnya5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1991 b.

  Asas kebebasan berkontrak Pada dasarnya manusia bebas mengadakan hubungan dengan orang lain.

  Termasuk di dalamnya adalah hubungan kerja sama maupun mengadakan suatu perjanjian.

  c.

  Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian Perjanijan yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak yang terlibat mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.

  d.

  Asas itikad baik Pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dinyatakan: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” e. Asas kepribadian

  Pada Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan dirinya atas nama

  sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri

  Di dalam pasal 1320 KUHPerdata juga dimuat tentang syarat sah nya suatu perjanjian, yaitu: a.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Suatu perjanjian bisa terlaksana apabila terdapat kata sepakat antara para pihak mengenai obyek yang diperjanjikan, memiliki kesesuaian paham dan kehendak atas perjanjian.

  b.

  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

  Yang dimaksud dalam syarat ini adalah cakap menurut hukum sesuai yang diatur oleh KUHPerdata, yang dewasa, dan sehat akal pikirannya.

  c.

  Suatu hal tertentu; Merupakan hal- hal yang diperjanjikan yang dituangkan dalam perjanjian, mulai dari hak dan kewajiban, obyek perjanjian, dan penyelesaian apabila terjadi sengketa nantinya.

  d.

  Suatu sebab yang halal; Dalam perjanjian, klausula yang dituangkan harus bersifat halal, artinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, peraturan perUndang-

  Undangan, maupun kebiasaan norma masyarakat yang telah diakui.

  Memperjelas keempat syarat itu, Subekti menggolongkannya ke dalam 2 (dua) bagian, yakni: a.

  Mengenai subjek perjanjian, adalah orang yang cakap atau mampu melakukan perjanjian sesuai peraturan perUndang-Undangan.

  Adapun sepakat (konsensus) adalah dasar dari terbentuknya perjanjian, dimana para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan kehendaknya tanpa ada paksaan.

  b.

  Mengenai objek perjanjian, adalah apa yang dijanjikan oleh masing- masing pihak yang tertuang dengan jelas di dalam perjanjian, dimana objek tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umu,

   dan kesusilaan.

  Sedangkan dalam N. B. W( New Burgelijk Wetboek) Belanda, telah terjadi perubahan atas syarat- syarat di atas, dimana syarat ke-3 dan ke-4 dalam pasal 1320 telah dijadikan satu sehingga N. B. W menyebutkan syarat sahnya perjanjian ada 3, yaitu: a.

  Kesepakatan; b. Kemampuan bertindak; c. Perjanjian yang dilarang;

  Subekti menambahkan, bahwa apabila tidak dipenuhinya syarat subjektif dalam perjanjian dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada Hakim, namun

   apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka dapat dibatalkan demi hukum.

  Dalam KUHPerdata telah diatur mengenai pembatalan perjanjian. Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan 3 (tiga) alasan pembatalan perjanjian, yaitu: a.

  Kekhilafan (kesesatan dwaling), Pasal 1322 KUHPerdata; Yaitu keadaan dimana masing-masing pihak saling tersesat terhadap objek perjanjian atau pernyataan kesesuaian kehendak dari salah satu pihak tidak sesuai dengan kehendaknya. Menurut R. Subekti kekhilafan atau kekeliruan terjadi jika salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok apa

  6 7 R.Subekti, Hukum Perjanjian. PT Intermasa, Jakarta, 1987 R.Subekti, Hukum Perjanjian. PT Intermasa, Jakarta, 1987 yang diperjanjikan atau tentang dengan orang-orang siapa perjanjian itu

  

  diadakan. Karenanya kekhilafan itu ada dua macam: 1)

  Mengenai orangnya 2) Mengenai bentuknya yaitu objek perjanjian.

  b.

  Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327 KUHPerdata; Suatu keadaan di mana seseorang melakukan perbuatan karena takut dengan ancaman atau di bawah ancaman baik ancaman fisik maupun ancaman rohani. (Pasal 1324 KUHPerdata) c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata;

  Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan: “Penipuan merupakan suatu alas an untuk pembatalan perjanjian, apabila

  tipu muslihat yang dipakai salah satu pihak adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut .”

  Pada Pasal 1338 KUHPerdata dikatakan: “Perjanjian dibuat secara berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

  membuatnya

  Jenis-jenis perjanjian itu sendiri terdiri dari beberapa aspek: a. Berdasarkan cara lahirnya: 1.

  Perjanjian Konsensuil 2. 8 Perjanjian Formal

  Ibid

3. Perjanjian Riil b.

  Berdasarkan pengaturannya: 1.

  Perjanjian Bernama 2. Perjanjian Tidak Bernama c. Berdasarkan sifat perjanjian: 1.

  Perjanjian Pokok 2. Perjanjian Accesoir d. Berdasarkan prestasi yang diperjanjikan: 1.

  Perjanjian Sepihak 2. Perjanjian Timbal Balik e. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan: 1.

  Perjanjian Obligatoir 2. Perjanjian Kebendaan

B. Sejarah Lahirnya Perjanjian Baku dan Pengertian Perjanjian Baku

  Perjanjian standar (baku) telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423- 347 SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut. Seiring berkembangnya zaman, perjanjian baku mulai dikenal dan sering digunakan, termasuk di Indonesia sendiri. Keadaan ini dilatarbelakangi oleh keadaan sosial ekonomi.

  Menurut Treitel di dalam buku H.P.Panggabean kebebasan berkontrak

  

  menganut dua asas umum . Yang pertama, mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat- syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak dalammenentukan sendiri isi dari suatu perjanjian yang ingin mereka buat. Yang kedua, bahwa menurut hukum, seseorang tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Treitel mengemukakan bahwa terdapat dua pembatasan terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku, yakni pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak, seperti penggunaan klausula eksonerasi dan pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum.

  Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian baku dialih bahasakan dari

  

  istilah asing yakni ‘standaard contract’. Dimana baku atau standar memiliki arti sebagai tolak ukur, yakni pedoman atau patokan bagi konsumen dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak pengusaha. Dalam hal ini, yang dibakukan adalah model, rumusan dan ukuran. Artinya, tidak dapat diganti atau diubah lagi, karena produsen telah membuat atau mencetaknya dalam bentuk blanko tetap berupa naskah perjanjian lengkap dengan syarat- syarat perjanjian dan syarat- syarat baku yang wajib dipenuhi konsumen.

  Mariam Darus mengajukan definisi terhadap penggunaan 2 (dua) jenis perjanjian standaard umum dan khusus, yakni : 9 H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian , PT Alumni, Bandung, 2012.

  Kredit Perbankan 10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2006.

  “ Perjanjian standaard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur kemudian disodorkan pada debitut (seperti perjanian kredit bank). Perjanjian standaard khusus dinamakan terhadap perjanian standaard yang ditetapkan Pemerintah seperti Akta Jual Beli model 1156727, baik adanya dan berlakunya perjanjian ini untuk para pihak ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah”

11 Mariam Darus juga mengajukan 3 (tiga) jenis ‘standaard

  contract’ .

   a.

  Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat lazimnya adalah pihak kreditur.

  rjanjian baku) sebagai berikut: b.

  Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya ditetapkan oleh Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya terhadap perjanjian yang berhubungan dengan objek hak-hak atas tanah.

  c.

  Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan Notaris atau Advokat bersangkutan.

11 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.

  1991 12 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001

  Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dan sarjana di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan pengertian dari perjanjian baku, yakni: suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan dimana klausula- klausula dan syarat-syarat dalam perjanjian lazimnya ditentukan secara sepihak oleh pihak produsen tanpa adanya keikutsertaan dari pihak konsumen. Klausula yang tercantum dalam perjanjian baku disebut dengan klausula eksonerasi (

  exoneratie klausule ).

  Klausula eksonerasi ini digunakan sebagai pembatasan pertanggungjawaban produsen dan merupakan salah satu syarat dalam pembuatan perjanjian baku, dimana seperti yang dikemukakan oleh Mariam Darus mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam standaard contract yakni: a.

  Cara mengakhiri perjanjian; b. Cara memperpanjang perjanjian; c. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase; d. Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga ( binded advise

  beding ); e.

  Syarat- syarat tentang eksonerasi; Dasar berlakunya syarat-syarat baku bagi konsumen atau yang menyebabkan konsumen manjadi terikat pada syarat baku yang diberikan pelaku

  

  usaha dpat dilihat dari tiga aspek , yakni: a.

  Aspek hukum 13 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan

  Perdagangan ,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1992

  Secara yuridis Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Yang artinya memiliki kekuatan hukum mengikat sama seperti undnag-undang dan memiliki kepastian hukum. Dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pihak alam perjanjian tidak dapat membatalkan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain.

  Keterikatan antara para pihak dibuktikan dari penandatanganan perjanjian itu.

  b.

  Aspek kemasyarakatan Zeylemaker (1948) mengemukakan ajaran penundukan kemauan yang menyatakan bahwa orang mau tunduk karena ada pengaturan yang aman dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang yang ahli dalam bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat berbuat lain daripada tunduk. Tetapi Stein (1957) menyatakan bahwa kebutuhan praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain terikat pada semua syarat baku tanpa mempertimbangkan apakah ia memahami syarat-syarat itu atau tidak. Sedangkan Hondius (1976) menanggapi atas pendapat Zeylemaker mengatakan bahwa, pendapat beliau tidak dapat dipakai sebagai dasar keterikatan konsumen tetapi dengan ketentuan bahwa keterikatan itu terjadi karena adanya alasan kepercayaan.

  c.

  Aspek ekonomi

  Zonderland (1976) menanggapinya dengan menggunakan pendekatan riil. Ia menyatakan bahwa keterikatan konsumen pada syarat-syarat baku karena konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus menerima apapun yang tercantum dalam syarat-syarat baku dengan harapan bahwa ia luput dari musibah. Pendekatan riil Zonderland ini ialah kebutuhan ekonomi yang hanya akan terpenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pengusaha, walaupun dengan syarat-syarat baku yang lebih berat. Karenanya kerugian yang mungkin saja timbul adalah resiko. Abdulkadir Muhammad menyebutkan ciri-ciri perjanjian baku adalah

  

  sebagai berikut: a.

  Bentuk perjanjian tertulis b. Format perjanjian dibakukan c. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha d. Konsumen hanya menerima atau menolak e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah f. Perjanjian baku menguntungkan pengusaha

  Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, ciri-ciri perjanjian baku

  

  adalah sebagai berikut: a.

  Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi) nya kuat b.

  Masyarakat sama sekali tidak bersama-sama menentukan isi perjanjian 14 Abdulkadir Muhammad. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan.

  Jakarta. PT Citra Aditya Bakti. 1992 15 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di Indonesia , Bandung, Alumni, 1980 c.

  Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu d. Bentuknya tertentu (tertulis) e. Disiapkan terlebih dahulu secara massal atau konfektif

  Di dalam buku Abdulkadir Muhammad, Hondius (1976) mengemukakan 4

  

  (empat) cara dalam memberlakukan syarat- syarat baku, yakni: a.

  Penandatanganan dokumen perjanjian.

  Dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan terperinci syarat- syarat baku ketika membuat perjanjian, dokumen tersebut kemudian disodorkan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan penandatanganan dokumen tersebut, maka konsumen atau debitur terikat pada syarat yang telah ditentukan (syarat baku) tersebut. Dokumen perjanjian itu dapat berupa naskah perjanjian, formulir permintaan asuransi, dan sebagainya. Dalam dokumen perjanjian itu dimuat syarat- syarat baku terutama mengenai tanggung jawab konsumen atau eksonerasi daripada kreditur atau pengusaha.

  b.

  Pemberitahuan melalui dokumen perjanjian.

  Pada kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak di atas dokumen perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen misalnya, konosemen surat angkutan, surat pesanan, nota pembelian. Syarat- syarat baku tersebut 16 ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian yang

  Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. diberitahukan melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen terikat pada syarat-syarat baku dengan ketentuan, dokumen perjanjian harus sudah diserahkan atu dikirim kepada konsumen sebelum, atau pada waktu, atau sesudah dibuat perjanjian.

  c.

  Penunjukan dalam dokumen perjanjian.

  Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat-syarat baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku, misalnya dalam dokumen jual beli ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar kalusula FOB. Artinya syarat baku berdasarkan atas ketentuan FOB dalam perjanjian.

  d.

  Pemberitahuan melalui papan pengumuman.

  Pemberitahuan melalui papan pengumuman merupakan salah satu cara pemberlakuan syarat baku dalam perjanjian. Pengadilan menetapkan bahwa pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas, mudah dilihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman ini dapat dijumpai pada perusahaan pengangkutan, pertokoan, dan lain-lain. Melalui pemberitahuan pada papan pengumuman ini menjadikan konsumen terikat pada syarat baku.

  Dalam perjanjian baku ada dikenal dengan klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ini adalah syarat yang berisi pembebasan tanggung jawab. Jika diteliti, klausula eksonerasi ini dapat membebaskan produsen dari pembebanan tanggung jawab. Karenanya kalusula eksonerasi ini hanya dapat digunakan dalam perjanjian yang memiliki itikad baik. Jika menimbulkan kerugian karena kesengajaan dan bertentangan dengan kesusilaan, pengadilan dapat mengesampingkan klausula dan dapat dibatalkan demi hukum.

C. Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

  Dalam pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: ”

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2.

  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal

  Berdasarkan syarat tersebut di atas merupakan syarat dari suatu kebebasan berkontrak. Perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar asas tersebut, karena pihak konsumen masih diberikan kesempatan untuk memilih menyetujui atau menolak perjanjian, Namun, dalam pasal 1337 KUHPerdata juga jelas dinyatakan bahwa setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

  Ahli hukum Indonesia Mariam Darus menyatakan bahwa perjanjian baku bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam perjanjian baku kedudukan pelaku usaha terlihat lebih dari kedudukan konsumen. Hal ini dapat menyebabkan peluang bagi pelaku usaha dalam menyalahgunakan kewenangannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-hak nya dan bahkan tidak sedikit yang melimpahkan kewajiban pada konsumen. Karenanya hal ini perlu

  

  ditertibkan. Karenanya menurut Mariam Darus perjanjian baku ini tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 jo. 1338.

  Sedangkan Sutan Remy Sjahdeni berpendapat dalam kenyataannya KUHPerdata sendiri memberi batasan-batasan terhadap asas kebebasan berkontrak. Seperti ketentuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena alasan lain yang dinyatakan dengan undang-undang. KUHPerdata juga menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog).

  Ketiga alasan ini dimaksudkan sebagai pembatasan atas asas kebebasan berkontrak. Sutan Remy Sjahdeni menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak ini maka diperlukan campur tangan melalui undang-undang dan pengadilan, karena seperti yang disebutkan bahwa perjanjian baku ini bersifat take it or leave it sehingga tidak ada tawar-menawar dalam

   menentukan isi perjanjian.

  Menurut UUPK sendiri dalam pasal 1 angka (10) mendefinisikan klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha 17 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di

  Indonesia . Bandung. Alumni. 1980 18 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia , Jakarta, Institut banker Indonesia, 1993 yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikatbdan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pasal ini memberi penekanan pada proses pembuatan perjanjian dan klausula baku di dalamnya.

  Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dagangannya dilarang menggunakan klausula baku dalam perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

   Klausula baku yang dilarang tersebut adalah: a.

  Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen c.

  Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yng dibeli oleh konsumen d.

  Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran e.

  Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen f.

  Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa g.

  Menyatakn tunduknya konsumen kepada pengaturan yang berupa aturan 19 baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya h.

  Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen seccara angsuran Dari beberapa penjelasan di atas dapat diaktakan bahwa UUPK tidak melarang perjanjian baku, namun harus sesuai dengan itikad baik dan peraturan.

  Berdasarkan pasal 18 ayat (2) UUPK apabila dalam perjanjian ditemukan klausula yang bersifat mengalihkan tanggung jawab atau merugikan konsumen, maka pengadilan dapat membatalkan demi hukum, dan apabila kalusula berisi unsur esenselia maka mungkin saja dapat membatalkan seluruh perjanjian.

D. Akibat Hukum Adanya Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang-

  

Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

  Perjanjian baku seperti yang telah dikemukakan sebelumnya tidak melanggar syarat kebebasan berkontrak yang dikemukakan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Namun KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

  Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian harus membayar ganti rugi (pasal 1243 KUHPerdata), dan menanggung

  

  beban resiko (pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata). Beliau menyatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sah bersifat mengikat para pihak, sehingga perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

  Sedangkan Mariam darus Badrulzaman menyatakan secara teoritis yuridis perjanjian baku tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo.

  1338 KUHPerdata. Beliau menambahkan dalam perjanjian baku, kita melihat perbedaan posisi antara pengusaha dan konsumen, dimana konsumen tidak diberi kesempatan untuk melakukan penawaran atas perjanjian. Konsumen tidak memiliki kebebasan dalam mengutarakan kehendak menentukan isi perjanjian.

  Oleh karenanya, hal ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata sehingga tidak memiliki akibat hukum atau kekuatan

   mengikat.

  Namun, secara garis besar keberadaan perjanjian baku ini dilihat dari KUHPerdata sama sekali tidak melanggar ketentuan dan masih memenuhi asas kebebasan berkontrak seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi:

  

  “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal” 20 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006. 21 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung, Alumni, 1981 22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  Karenanya sampai sekarang keberadaan perjanjian baku ini masih sering digunakan dalam kegiatan perdagangan, dan semakin berkembang kaena kepraktisannya dan kemudahan dalam mengadakan perjanjian.

  Sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

  

mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain

dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-

undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan denga

itikad baik”

  Maka berdasarkan bunyi pasal di atas, perjanjian baku ini adalah suatu perjanjian yang bersifat sah dan mengikat bagi para pihak. Namun, harus dilaksanankan dengan itikad baik. Artinya, apabila ditemukan adanya pengalihan tanggung jawab atau klausula yang membebankan berat bagi konsumen, maka dapat diajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan.

  Menurut UUPK sendiri telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila: a.

  Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen c.

  Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh konsumen d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran e.

  Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen f.

  Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa g.

  Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya h.

  Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggugan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.” Artinya perjanjanjian baku itu diakui keberadaannya dan tidak bersifat melanggar aturan peraturan perundang-undangan, jika tidak memiliki klausula yang disebutkan dalam Pasal 18. Jika dalam perjanjian baku ditemukan klausula yang tercantum pada Pasal 18, maka klausula tersebut dapat dibatalkan demi hukum.

  Keberadaan perjanjian baku dalam masyarakat sudah sangat melekat, terutama bagi para pelaku usaha. Dengan adanya perjanjian baku pelaku usaha dapat menghemat waktu dan melaksanakan perjanjian secara efisien. Yang menjadi masalah adalah isi dari perjanjian baku. Dikarenakan perjanjian baku merupakan perjanjian yang dibuat oleh satu pihak dalam hal ini pelaku usaha, maka pelaku usaha mungkin saja memanfaatkan klausula yang ada di dalamnya untuk digunakan pelaku usaha untuk melepaskan tanggung jawab bahkan mengalihkan tanggung jawab kepada konsumen. Hal ini yang menjadi salah satu pemicu adanya pertanyaan penggunaan perjanijan baku dalam usaha dan bisnis. Apabila konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan mengerti isi dari perjanjian baku yang diberikan pelaku usaha, maka dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi konsumen. Bahkan, sebahagian besar masyarakat tidak membaca secara teliti terlebih dahulu suatu perjanjian baku sebelum ditandatangani atau disahkan. Hal ini lah yang dapat memicu penyalahgunaan atau kesewenangan pelaku usaha dalam membuat isi perjanjian baku.

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi dasar hukum dari keberadaan perjanjian baku. Dalam KUHPerdata yang menyebutkan asas kebebasan berkontrak juga jelas menyebutkan syarat-syarat sah nya suatu perjanjian.

  Kebebasan berkontrak yang disebutkan KUHPerdata juga memberi batasan.pembatalan perjanijan, yakni apabila dalam perjanjian terdapat unsur: a.

  Kekhilafan (kesesatan dwaling), Pasal 1322 KUHPerdata; b.

  Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327 KUHPerdata; c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata;

  Mengingat dalam praktek perdagangan sehari-hari keberadaan perjanjian baku ini kemungkinan besar berdampak tidak adil bagi konsumen, maka untuk kepentingan masyarakat perjanian baku ini sudah seharusnya diatur pelaksanaannya dalam undang- undang atau setidaknya diawasi. Pengawasan dapat dilakukan oleh Pemerintah, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

  Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sendiri mengaturnya dalam 2 (dua) pasal yang terpisah. Pasal 29 untuk pembinaan dan Pasal 30 mengatur pengawasan.

  Pasal 29 UU Perlindungan Konsumen berbunyi : “(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. (2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.

  (4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

  c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

  (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  Pasal 30 UU Perlindungan Konsumen mengenai pengawasan berbunyi: “(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

  (2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait.

  (3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar.

  (4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/ atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  (5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. (6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.