Empowerment of Sanghyang Dance in Jangu Village of Duda Selat, Karangasem District Bali

Empowerment of Sanghyang Dance in Jangu Village

of Duda Selat, Karangasem District Bali

Local knowledge is contained in Banjar Jangu Trance Dance, Village Duda, District Strait, Karangasem, Bali containing cultural values of humanity, solidarity, fraternity, wise to the environment, representative. It is not surprising by supporters Dance Trance has functioned as a dance that has magical-religious func- tions, social harmony to the natural environment, and has a simple moral meaning both the musical and clothing is very dependent on nature. The problems discussed in this paper, among others, 1) why Trance Dance in Banjar Jangu empowered; 2) what empowerment efforts that have been and will be done by supporting community. The purpose of this paper, namely, 1) revive Dance Trance as local cultural heritage;

2) evoke the atmosphere of a magical-religious; 3) Dance Dance Trance one guardian must remain "live" for the implementation of the Hindu ceremony. In order for optimal Trance Dance empowerment, and bertaksu, then the model through structural and cultural empowerment.

Keywords: Empowerment, Trance, Religious-Magis, Taksu.

Proses Review : 19 April - 4 Mei 2017, Dinyatakan Lolos : 8 Mei 2017

MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

I. PENDAHULUAN unsur naratif (Michael Picard, 2006 : 237), dan tidak diajarkan di dunia pendidikan seperti sekolah

Kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai budya maupun di sanggar-sanggar seni. Demikian pula kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan, sikap

jadwal pementasannya tidak sembarang waktu dan arif terhadap lingkungan, ketauladan dan lain-lain

tempat. Karena itu perlu pendekatan kebudayaan dewsa ini sudah mulai banyak terkikis. Anggota

untuk pemberdayaan. Usaha-usaha pemberdayaan masyarakat (terutama generasi muda) sudah banyak

adalah bagaimana mengembalikan komunitas lokal yang tidak percaya, jika kehidupannya dibentengi

yang mereka miliki untuk menjadi diri mereka dengan tema-tema ketradisionalan. Para generasi

sendiri kembali dengan nilai-nilai budaya lokal muda lebih banyak memvisikan dan memisikan

yang telah mereka miliki. Dengan kevakuman pola hidupnya dengan visi dan misi idiologi pem-

pementasan Tari Sanghyang beberapa tahun mulai bangunan mengedepankan pertumbuhan ekonomi,

disikapi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali perkembangan fisik dan material dibandingkan

untuk mengadakan kajian tahun 2016. dengan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal (local wisdom ). Karena itu tidak mengherankan suasana

Setelah Tim peneliti dari Balai Pelestarianh Nilai kehidupan masyarakat masa kini banyak “diracuni”

Budaya Bali tahun 2016 memberi informasi bahwa oleh gaya hidup modernisme dengan budaya

Tari Sanghyang sudah mendapat pengakuan dan konsumtifnya. Nilai-nilai kearifan lokal telah

penetapan dari Unesco, maka pada prinsipnya ingin digeser, bahkan tidak sedikit dihilangkan atau dipu-

menghidupkan kembali Tari Sanghyang yang nahkan oleh nilai modernitas. Benturan nilai-nilai

pernah hidup di Banjar Jangu, Desa Duda. Walau- tersebut tidak jarang membuat masyarakat menga-

pun tidak ke-17 Tari Sanghyang. Karena lami krisis identitas maupun jatidirinya. Suasana

masyarakat Banjar Jangu ingin menyelematkan kehidupan inilah yang terjadi pada masyarakat

warisan leluhurnya yang diambang punah, dan Banjar Jangu, Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabu-

mempercayai kembali adanya spirit dalam Tari paten Karangasem, dimana kearifan lokal komuni-

Sanghyang serta dengan membangun kembali Tari tasnya yang diwadahi oleh 17 (tujuh belas) Tari

Sanghyang suasana keakraban warga banjar Sanghyang sudah ada yang mulai punah. Ke-17 maupun desa akan terjalin kembali. Bahkan tidak

Tari Sanghyang yang dimaksud, Sanghyang Dedari, sedikit pendapat anggota masyarakat yang menga- Bojog, Kerek, Celeng, Memedi, Tutup, Jaran,

takan bahwa, setelah lama tidak mementaskan Tari Lelipi, Sri Putut, Kuluk, Teter, Capah, Sampat,

Sanghyang, maka telah terjadi wabah penyakit Lesung, Sembe, Dongkang, Sele Parahu (Dwi

tanaman. Diperkirakan sejak tahun 1980-an Bambang Santoso, dkk. 2016 : 30-44) Padahal Tari

masyarakat tidak mementaskan Tari Sanghyang. Sanghyang merupakan salah satu diantara 9

Kalaupun pernah ada pementasan setelah tahun (Sembilan) jenis tari tradisi Bali pada hari Rabu, 2 1980-an, pementasan itu bukan untuk kepentingan

Desember 2015 di Windhoek, Namibia telah dikui spiritual maupun magis, dan social maupun dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda

berkaitan dengan pengusiran wabah penyakit Indonesia oleh Unesco. Ke-9 jenis tari yang dimak-

terhadap tanaman, hewan maupun manusia. sud yaitu, Tari Sanghyang, Tari Baris Upacara, Tari

Melainkan pementasan tersebut hanya kepentingan Rejang, Tari Topeng Sida Karya, Tari Barong, Tari

pariwisata, yang sifatnya sekuler dan ekonomi. Gambuh, Tari Wayang Wong, Tari Legong Kraton,

Padahal asal-sul lahirnya Tari Sanghyang berdasar- dan Tari Joged Bumbung. kan dua Lontar yaitu Lontar Kecacar dan Lontar Tantu Pagelaran dengan masing-masing menyebut-

Adanya pengakuan dan penetetapan dari Unesco kan sebagai berikut : 1) Lontar Kecacar disebutkan dimaksudkan dalam rangka menghidupkan kembali

bahwa Tari Sanghyang merupakan anugrah Ida tari-tari tradisi diantaranya Tari Sanghyang, karena

Bhatara di Gunung Agung kepada Empu Kuturan. tari ini telah mengandung nilai-nilai budaya seperti

2) Lontar Pagelaran menyebutkan bahwa, Tari nilai kemanusiaa, kebersamaan, persaudaraan, arif

Sanghyang merupakan tari penolak penyakit terhadap lingkungan, ketauladan. Tari ini pula,

kecacar dan grubug (sampar) (Gusti Agung Gd memililki fungsi dan makna religius-magis, kehar-

Putra, tt. 11-12). Lebih jauh disebutkan, jika musin monisan terhadap lingkungan alam, serta social.

“grubug” (penyakit sampar), pada saat mana “bhu- Namun sayang jenis Tari Sanghyang tidak memiliki takala ” berkeliaran dimana-mana lalu dipertunjuk

I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

kan tarian Sanghyang dan banten caru dan Tunggul Gana . Para bhutakala sangat tertarik mendengar dan melihat tarian-tarian Sanghyang, sehingga ramai-ramau menonton, namun kemudian terkejut dan lari pontang-panting setelah melihat bhatara Gana ada di sana. Bhatara Gana yang dikenal dengan nama lain adalah Wighnecwara (yang artinya Dewa dari halangan) adalah penghalau kejahatan dan musuh dari segala bencana.

Dengan demikian, sebelum dunia kesehatan maju seperti sekarang, dengan mementaskan Tari Sanghyang bukan tujuannya sebatas sebagai alat upacara untuk berhubungan dengan Maha Pencipta. Namun lebih kompleks yaitu, menolak bencana dan penyakit, mewujudkan keharmonisan dan keseim- bangan hubungan antara manusia dengan manusia (resolusi konflik) dan hubungan harmonis dan seimbangan antara manusia dengan alam lingkun- gan dengan konsep diterminisme, penguatan identi- tas dan jati diri masyarakat pendukungnya.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut : 1) Kenapa Tari Sanghyang di Banjar Jangu, Desa Duda, perlu diberdayakan; 2) Apa usaha pemberdayaan yang sudah dan akan dilakukan oleh masyarakat Banjar Jangu, Desa Duda. Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.

Tujuan dari penulisan artikel ini antara lain : 1)menghidupkan kembali Tari Sanghyang sebagai warisan budaya lokal, karena warisan budaya Tari Sanghyang sudah dikenal di kancah internasional.

2) membangkitkan suasana daerah dengan spirit dan magis, karena taksu Bali ada pada Tari Sanghyang. 3) Mempertahankan Tari Sanghyang sebagai salah satu tari Wali yang harus tetap “hidup” dalam pelaksanaan upacara dalam Agama Hindu.

II. KAJIAN PUSTAKA

Pertanyaan yang paling mendasar yang selalu muncul dibenak peneliti, maupun pemerintah, terhadap tujuan mengadakan pelestarian dengan penggalian, perlindungan, pengembangan dan pemanfaatnya pada seni tradisi umumnya dan Tari Sanghyang khususnya? Tentu jawaban singkat yang sering dikemukakan oleh peneliti, karena Tari Tradisi tersebut memiliki fungsi dan makna bagi

kehidupan pendukungnya. Karena itu, tidak mengh- erankan kalau penelitian ini teori besarnya menggu- nakan Teori Fungsionalisme B. Malinowski (dalam Koentjraningrat, 1997). Lebih jauh beliau menge- mukakan segala aktivitas (unsur) kebudayaan pada hakekatnya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, setiap pola adat kebiasaan merupakan fungsi dasar dalam kebudayaan. Masyarakat dapat dikatakan sebagai system social yang di dalamnya berdiri sendiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasarnya baik kebutuhan dasar primer maupun sekunder. Pementasan Tari Sanghyang merupakan bagian kebutuhan dasar sekunder dari manusia. Tari ini termasuk tari wali (sakral) dan klasik. Jika dibandingkan dengan kehidupan tari wali klasik lainnya, tari ini telah memiliki karakter dan fungsi yang lebih khas dan relatif kurang popu- lar. Karena tujuan pementasanya bukan untuk menghibur. Namun lebih ditujukan untuk pemenu- han kebutuhan dasar religius-magis. Karena itu tidak mengherankan kalau tari ini dijadikan medium kegiatan ritual-magis untuk mengusir maupun nyomiang para Bhuta Kala. Kekuatan Bhuta Kala dalam tradisi Agama Hindu di Bali selalu menjadi perhitungan dalam beryadnya. Umat Hindu harus bijaksana dalam menghadapi Bhuta Kala. Orang Bali yang beragama Hindu harus meli- batkan para Bhutakala. Karena tanpa bhutakala maka yadnya tidak akan selesai dengan sempurna. Pada umumnya di Bali dan di Banjar Jangu khusus- nya, Bhuta Kala bisa menyebabkan timbulnya wabah penyakit tanaman, khewan dan manusia, serta ketidak-harmonisan hubungan antar warga desa.

Pada kondisi seperti itu manusia mengalami krisis. Karena itu tidak mengherankan kalau manusia pada saat seperti itu menghadirkan sesuatu yang sifatnya transeden , dan semua itu dilakukan melalui upacara (Murdiyati, 2009:1-3). Upacara dengan sarana kesenian, namun jenis kesenian tetap bertolak dari makna upacara itu sendiri. Ketika terjadi krisis bersama, manusia menghadirkan kekuatan kosmos untuk mengatasi krisis itu. Konsep kesatuan kosmos hanya dapat diperoleh melalui sistem kepercayaan. Karena itu pengetahuan tentang kosmologi keper- cayaan, terutama para generasi tua sangat diutama- kan. Upacara yang lebih menonjolkan nilai religius-magis yang dimaksudkan dalam situasi yang sering dilakukan secara mentradisi di Banjar

MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Jangu dengan menyelenggarakan pementasan Tari dilakukan oleh I Gusti Agung Putra, dalam rangka Sanghyang. Karena dengan pementasan Tari

pengelompokkan jenis-jenis tari-tari tradisi di Bali Sanghyang jaman terdahulu akan menjawab krisis

pada buku Cudamani (tanpa tahun).

yang dirasakan masyarakat.

IV. FUNGSI DAN MAKNA TARI SAN-

Untuk memperkuat pernyataan di atas akan dike-

GHYANG BAGI MASYARAKAT BANJAR

mukakan pula pendapat dari Redcliffe Brown

JANGU

(Kaplan dan Manner, 1999), yang mengemukakan bahwa, eksistensi upacara keagamaan yang memi-

A. Fungsi Religius-Magis

liki kaitan dan memberikan sumbangan yang besar Tari Sanghyang ditemukan hampir di seluruh Kabu- terhadap kerekatan social. Dengan kembali diber-

paten di Bali. Akan tetapi yang paling banyak dayakan pementasan Tari Sanghyang di Banjar

ditemukan di Kabupaten Karangasem, tepatnya di Jangu, anggota masyarakat bisa hidup berdampin-

Banjar Jangu. Latar belakang lahirnya Tari gan kembali seperti sebelumnya. Teori fungsional

Sanghyang di seluruh Bali pada umumnya disebab- tersebut diatas dilengkapi dengan teori Semiotika

kan penduduk pulau Bali adalah beragama Hindu dari Marco de Marinis (dalam Geertz, 1992 :5),

dan dalam agama Hindu wajib melaksanakan Panca yang mengatakan bahwa kebudayaan pada hakikat-

Yadnya. Satu diantara Panca Yadnya, yaitu pada nya merupakan sebuah konsep semiotic atau

upacara Bhuta Yadnya harus menyuguhkan tari tentang tanda. Tanda memiliki dua aspek yaitu

wali berupa Tari Sanghyang. Pementasan tari ini, yang bisa ditangkap oleh panca indera, dan tanda

banyak dilakukan pada bulan Maret (sasih yang dapat dipersepsikan sebagai tanda yang memi-

Kesanga ), karena bulan Maret banyak melakukan liki makna. (dalam Nuryahman, dkk. 2015 :8). upacara Bhuta Yadnya seperti ritual Pecaruan, Ngutang Pakelem, Nangkluk Mrana . Dalam batas

Kajian tentang Tari Sanghyang cukup banyak, dian- tertentu, merupakan tanda atau jejak kemungkinan taranya yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari

sebagai fenomena yang berkaitan dengan Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Direktorat

keberadaan Tari Sanghyang. Walaupun Tari Jenderal Kebudayaan, Depdikbud pada tahun Sanghyang merupakan sisa-sisa dari kebudayaan

1984/1985. Pada tahun 1998/1999 oleh I Dewa pra- Hindu, dan dapat digolongkan salah satu ciri Gede Raka, dkk., dengan judul laporan penelitian :

tradisi kecil serta dapat dibuktikan atau dicirikan Deskripsi Tari Sanghyang Desa Jangu Karangasem,

adanya trance (kerawuhan) (Panji, 1979:38). Bali. Pada tahun 2002 oleh Tim Peneliti dari Dinas

Karena sampai saat ini penari pada tarian Kebudayaan Provinsi Bali dengan judul: Hasil

Sanghyang penarinya kemasukan Hyang (spirit) Penelitian Tari Sanghyang di Banjar Jangu, Desa

yang menyebabkan mereka tidak sadarkan diri. Duda, Kecamatan Delat, Kabupaten Karangasem.

Kata Hyang sangat berkaitan dengan spiritual dan Ketiga jenis Penelitian ini hanya mesdeskripsikan

magis. Karena itu tidak mengherankan, bahwa atau mencatat apa adanya tentang Tari Sanghyang

penari Sanghyang, jika sudah trance, kekuatan yang tumbuh di Banjar Jangu. Belum mengulas

tenaga yang ada pada saat menari bisa melebihi dari tentang fungsi, makna, apalagi langkah pember-

kekuatan manusia. Karena ada kekuatan di luar dayaan. kekuatan manusia inilah Tari Sanghyang difungsi- kan oleh masyarakat Banjar Jangu sebagai tari men-

Penelitian perseorangan yang pernah dilakukan

gandung religius-magis.

oleh Made Pantja pada tahun 1994, dengan judul Tesis S-2 : “Upacara Sanghyang Dedari di Desa

Berdasarkan hasil wawancara selama di lapangan Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar,

(Bapak Made Dangin), bahwa pementasan Tari Provinsi Bali”. Tesis ini belum diterbitkan.

Sanghyang di Banjar Jangu dipentaskan pada bulan Penelitian-penelitian maupun penulisan tentang

Maret. Setelah Upacara Usaba Dodol. Diceritakan Tari Sanghyang sebelumnya juga sudah pernah

pada jaman dahulu (cerita mitos dari mulut ke dilakukan oleh J. Belo pada tahun 1960; Lovric

mulut) di Banjar Jangu pernah dilanda musibah pada tahun 1987; O’ Neill pada tahun 1978; Suryani

besar yang melanda semua jenis tanaman sakit dan Jensen pada tahun 1993 (Lihat di Michael

akibat diserang hama. Tentu saja, penduduk yang Picard, 2006 :227). Catatan kecil juga pernah menggantungkan hidup dari pertanian dan perkebu- nan jadi menderita. Karena tidak lagi memiliki

I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

sumber penghasilan. Penduduk mengalami krisis pekarangan rumah, penduduk kemudian berkumpul mental dan pangan. di halaman banjar dengan membawa sisa obornya. Lalu di halaman banjar diadakan kegiatan lempar-

Untuk menghentikan serangan hama itu, penduduk lemparan obor atau disebut Perang Bobok. kemudian membuat Upacara Mecaru. Harapannya dengan Mecaru ini, para Bhuta Kala tidak lagi

Penduduk Banjar Jangu meyakini, disaat pelaksan- mengganggu tanaman mereka. Diyakini pula, para

aan Upacara Tek-Tek Prus, beberapa orang akan Bhuta Kala itu berkaitan dengan Raja Wabah yang

jatuh pingsan disebabkan mereka melihat Bhuta bernama I Dewa Gede Mecaling, berasal dari pulau

Kala. Bhuta Kala itu ada yang berbentuk sebagai Nusa Penida. kuda, babi, kera dan bentuk lainnya seperti nama nama jenis Tari Sanghyang yang lahir di Banjar

Dikisahkan Raja Wabah pada waktu-waktu tertentu Jangu. Setelah sadar dari pingsan, orang-orang yang selalu pergi ke Pura Besakih mengajukan permoho-

telah melihat Bhuta Kala akan meniru tingkah nan “nunas atma” (tumbal) untuk dijadikan pengi-

Bhuta Kala tersebut. Lalu penduduk secara kut. Pada saat Raja Wabah ini pergi ke Pura

simbolik melakukan pengusiran.

Besakih. Diyakini pula selalu diikuti oleh Bhuta Kala yang menyebarkan berbagai macam penyakit. Sebagai bandingan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wayan Sudarma, (2015), di Desa

Mula-mula Upacara Mecaru ini diperkirakan cukup Adat Sidetapa, bahwa Tari Sanghyang Gandrung dilaksanakan secara sederhana dan dipusatkan di

adalah salah satu tari sakral yang pementasannya banjar-banjar. Namun nyatanya, penduduk seusai

masih dilaksanakan sampai sekarang. Tari Mecaru masih merasakan ancaman dari para Bhuta

Sanghyang Gandrung terdiri dari dua kata yakni, Kala. Dikisahkan kemudian penduduk memutuskan

kata Sanghyang yang memiliki arti mepinunas untuk mengadakan Upacara Mecaru yang lebih

(memohon), dan Gandrung berarti kala (membawa besar dipusatkan di Desa Adat. pengaruh negatif). Kala sesungguhnya berarti waktu, namun dalam konteks tari Sanghyang Gan-

Dari peristiwa Mecaru inilah diduga awal kelahiran drung diyakini memiliki arti tersendiri yaitu Tari Sanghyang, yaitu merujuk pada kisah, pada

pengaruh negative. Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu ketika, sehabis dilaksanakan Upacara

asal mula terbentuknya tari sakral Sanghyang Mecaru, yaitu diwujudkan dengan pembagian

Gandrung dapat disimak dari alur kisah masyarakat hebatan/olahan daging anjing Bangbungkem

Sidetapa. Disebutkan bahwa pada tahun 785, (anjing yang bulunya merah dan moncongnya

masyarakat Sidetapa secara serempak mengalami hitam), pada sore harinya, seperti biasa diadakan

penyakit yang susah disembuhkan. Berbagai cara Upacara tek-tek prus, yaitu upacara mengaturkan

pengobatan telah dilakukan oleh masyarakat, hebatan dengan alas daun keladi di depan rumah. namun tanda-tanda untuk sembuh tidak kunjung datang. Kondisi kesehatan masyarakat secara

Pada saat mengaturkan sajen tersebut penduduk keseluruhan semakin menurun, sehingga para melengkapi dirinya dengan obor terbuat dari daun

pengelingsir (leluhur/tetua) mereka mengalami kelapa kering disertai Kesuna Jangu, Sirih, Minyak

kebingungan. Merasa kehabisan akal untuk menga- dan sepotong bambu. Pelaksanaan Upacara Tek-Tek

tasi masalah ini, pengelingsir mereka melakukan Prus ini adalah kegiatan mengelilingi sudut-sudut

pertapaan di Pura Desa Bale Agung Sidetapa untuk pekarangan rumah maupun banjar dengan

memohon petunjuk Ida Sanghyang Widhi (Tuhan memukul-mukul bambu disertai menyeburkan

Yang Maha Esa). Selama pertapaan berlangsung, Kesuna Jangu, Minyak dan Sirih. Jadi, dari suara

akhirnya beliau mendapatkan pewisik (wahyu) dari tek-tek akibat bambu dipukul dan semburan Kesuna

Hyang Kuasa agar masyarakat setempat mencipta- Jangu, Sirih bercampur Minyak inilah asal nama

kan sebuah tarian yang dinamakan Tari Sanghyang Tek-Tek Pru s berasal. Semburan tersebut menim-

Gandrung. Tujuannya adalah untuk memberi upah bulkan suara “prus” yang dilanjutkan dengan men-

berupa hiburan kepada Sang Bhuta Kala (mahluk gucapkan doa “Megedi Bhuta Kala Mulihang Sari”

halus) agar tidak mengganggu masyarakat dalam (Pergilah Bhuta Kala, kembalikan rejeki). Setelah

kesehariannya baik berupa penyakit maupun kegiatan Tek-Tek Prus ini selesai dilaksanakan di bahaya lainnya.

MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Sejalan dengan penelitian di atas, Ketut Sudharma Dengan kata lain, seperti keyakinan penduduk di Putra, (20015) juga mengadakan penelitian tentang

Desa Jangu, tari ini sudah ada sejak dahulu kala, Tari Sanghyang Janger Mabobor. Ternyata hasil

sejak manusia di desa tersebut mengetahui adanya penelitian tentang Tari Sanghyang Janger Mabobor

gerakan-gerakan ritmis yang dimotivasi oleh juga memperlihatkan bahwa tari Sanghyang dapat

ketakutan terhadap wabah penyakit.Tari Sanghyang dipakai sarana untuk penyembuhan penyakit dan

diyakini adalah sebagai kegiatan yang memiliki menghilangkan kekotoran dan mala petaka yang

kekuatan layaknya mantra, yang dicetuskan dengan menimpa manusia maupun alam semesta. Sarana

nyanyian-nyanyian magis dengan harapan wabah penyembuhan pada tarian ini memakai api. Sarana

penyakit akan pergi dan kehidupan pulih kembali. api dalam tarian Sanghyang juga menjadi ciri khas- nya. Karena itu tidak mengherankan kalau orang

Tari Sanghyang di Banjar Jangu pada mulanya luar menyebutnya sebagai tari api. Karena salah

hanya dipentaskan di malam hari dengan maksud satu sarana pokonya adalah api atau asap. Api oleh

untuk gampang medapatkan aura magis dari para masyarakat Hindu di Bali dianggap memiliki

dewa yang berstana di Pura atau pelinggih Ida kekuatan magis yang dapat melindungi warga

Bhetara Gede yang ada di tengah Banjar Jangu. masyarakat dari serangan roh-roh jahat, atau secara

Biasanya, tarian ini dipentaskan pada bulan Maret spiritual api dapat menghubungkan antara manusia

(Sasih Kesanga) atau bila terjadi epidemic. Kini, dengan Tuhan, (Dibia, 1999/2000:13). tari ini dapat pula dipentaskan dan ditonton pada hari-hari biasa asalkan hujan tidak turun. Apabila

Dalam lontar Kacacar sebagai lontar anugrah dari hujan turun tarian ini tidak dapat dipentaskan. Bhatara dari Gunung Agung yang diberikan kepada Empu Kuturan, ada menyebeutkan bahwa tari

Penari Sanghyang (bukan sebagai penari biasa), Sanghyang merupakan tari penolak bala ( penyakit

sebab penari Sanghyang akan mengalami Kerawu- cacar) dan penyakit sampar (Pandji, 1979). han (Kesurupan/Trance), namun di Banjar Jangu tidak ditemukan persyaratan bersifat khusus bagi

Bila dikaitkan dengan uraian Dr. Claire Holt dalam penarinya, kecuali persiapan wajar, seperti pember- bukunya “Art in Indonesia” yang antara lain menga-

sihan diri (mandi dan dalam kondisi sehat), kemu- takan : The inhabitants have danced ever since they

dian mengenai tata riasnya dilakukan lazimnya discovered the of rhythnuc movements paranging

seorang penari Sanghyang atau dirias sesuai dengan excitement. Wheter of desire, fear or joy The inher-

jenis tari yang akan dimainkan. ent “magie” of dance is its generation of witality in

both the dancer and the spectator. The dance is a Untuk pementasan, Tari Sanghyang memerlukan liberating incantations like hymns anda prayer. Lt

bantuan nyanyian untuk menghadirkan kekuatan accompones celehration of all important aspeets of

Hyang. Juru gending biasanya yang dibawakan life not the least death (I Dewa Gede Raka, oleh sekelompok penyanyi (disebut : Tukang Gend- 1998/1999) ing, Sekeha Tandak ), biasanya berjumlah 10 sampai

15 orang, kadangkala jumlah penyanyi untuk Diterjemahkan secara bebas oleh penulis “Pen-

beberapa jenis Tari Sanghyang menuntut jumlah duduk (Indonesia) telah menari sejak mereka

penyanyi dalam jumlah tertentu. Namun, secara mengetahui rahasia tentang gerakan-gerakan ritmis

umum jumlah itu tidak ditentukan secara ketat. yang tercetus dari rasa bergelora, baik karena keinginan, ketakutan maupun kegembiraan. Kekua-

Selain itu, untuk pementasan Tari Sanghyang tan magis yang melekat daripada tari itu merupakan

dilengkapi pula persembahan sesajen. Melengkapi pancaran dalam bentuk kehidupan baik pada penari

dengan sesajen dimaksudkan untuk memudahkan maupun penonton. Tari itu adalah mantra yang

mendatangi Hyang. Secara umum sajen itu berupa dilepaskan sama halnya dengan lagu-lagu suci dan

: Canang Raka, Canang Sari, Saagan dan Daksina. pujaan-pujaan. Ia mengiringi segi-segi penghidupan

Sedangkan untuk busana, Tari Sanghyang relative yang penting, dan tidak pula kurang artinya dalam

tidak membutuhkan busana yang megah. Tata rias hal kematian”, maka Tari Sanghyang secara

Tari Sanghyang relative sederhana, dirias sesuai penampilan memang menunjukkan ciri-ciri seperti

dengan jenis Sanghyang yang akan dimainkan. yang diuraikan oleh Dr. Claire Holt. Bahan perlengkapan rias berasal dari alam sekitar.

I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Misalnya, untuk Tari Sanghyang yang medium Proses selanjutnya, setelah tempat pementasan trancenya benda, yang diperlukan adalah beberapa

disiapkan adalah proses pengasapan terhadap jenis pohon yang tumbuh di sekitar desa seperti

penari. Proses pengasapan (ngukup) dilakukan di Sanghyang Teter memerlukan pohon teter,

hadapan altar dengan pedupaan. Untuk beberapa Sanghyang Kerek property yang diperlukan kayu

jenis Sanghyang, seperti Sanghyang Sri Putut api yang ada di sekitar Banjar Jangu. menggunakan dua buah pedupaan. Proses ini amat penting karena merupakan bagian kosentrasi men-

Mengenai tata panggung, Tari Sanghyang membu-

gundang roh.

tuhkan halaman. Biasanya halaman Pura sebagai media yang paling mudah untuk menghadirkan

Seorang penari menunduk (untuk medium benda Hyang. Luas penggung disesuaikan dengan

diletakan di atasnya dengan jarak tertentu) di atas energinitas Sanghyang itu sendiri. Seperti

pedupaan yang telah berasap. Pada saat itu, penari Sanghyang Jaran, tentulah memerlukan luas pang-

mengatupkan matanya untuk berkosentrasi, memo- gung karena geraknya lebih luas. Perlengkapan lain

hon agar roh yang dikehendaki memasuki dirinya, adalah altar. Altar ini pun dibuat dengan sederhana,

proses kosentrasi ini dibantu dengan nyanyian. mirip sanggah semi permanen. Nyanyian dinyanyikan dengan irama tertentu, dengan syair yang sebenarnya sederhana. Fungsi

Kekhasan Tari Sanghyang dibandingkan dengan nyanyian ini amat menentukan, apabila syairnya tari-tarian lain di Bali adalah pada kandungan kesu-

tidak lengkap, proses trance tidak akan tercapai. rupannya, pada unsur trance. Inilah perbedaan menonjol ciri keberadaan tampilan Tari Sanghyang

Tanda penari telah dimasuki roh atau telah pada dengan jenis tari wali klasik sakral seperti tari

fase trance/kesurupan/kerawuhan, adalah ketika si Rejang dan Baris Upacara di Bali. Karena itu,

penari jatuh dan lupa sejenak, setelah itu bangkit secara umum, pementasan Tari Sanghyang amat

dan bertingkah laku atau menari dengan roh yang memperhitungkan komposisi ruang dan arah mata

diharapkan datang (untuk benda, apabila benda itu angin. telah bergerak menirukan gerak mahluk hidup). Apakah menghadirkan Dedari, Bojog, Kerek,

Komposisi ruang menentukan keyakinan penari dan Celeng, Memedi, Tutup, Jaran Gading, Lelipi, Sri penonton. Pementasan biasanya dilakukan di

Putut, Kuluk, Teter, Capah, Sampat, Sembe, halaman Pura, arah Timur halaman Pura adalah

Lesung, Dongkang, Saab dan Ceeng. Lama penari wilayah suci, tempat dibangun sebuah altar. Arah

menari atau disebut menadi (menari dalam kondisi Timur maupun Utara, sebagai Kepala dalam kom-

kesurupan/trance) tidak dapat ditentukan, tergan- posisi ruang pementasan, diyakini sebagai tempat

tung dari daya tahan batin si penari menahan roh roh-roh yang akan diundang untuk turun menari.

dalam tubuhnya. Apabila tarian tersebut berlang- Dengan demikian, komposisi ruang, posisi letak

sung terlalu lama, maka untuk menyadarkan si altar maupun penari memiliki kaitan andil dalam

penari atau membebaskannya dari roh dengan cara keberhasilan pementasan secara keseluruhan.

memercikan air atau air suci.

Semua itu sebetulnya bisa disebut pengkondisian untuk medium kerawuhan/kerasukan (trance). Di

Tetapi tidak semua Tarian Sanghyang dapat dihen- Banjar Jangu, medium untuk kesurupan adalah

tikan aktivitasnya dengan percikan air. Untuk manusia dan benda. Khusus untuk benda, seperti

Sanghyang Dedari, tarian ini berhenti hanya apabila pohon teter, pohon singkong, alang-alang, daun

roh yang memasuki si penari menghendaki tarian- enau yang masih muda (ambu) dan pohon dapdap

Umumnya, kondisi semua dapat dijadikan medium kesurupan, dan harus dicari

nya berhenti.

penari/pelaku seusai menarikan Sanghyang dalam dengan prilaku khusus, disebut “piit/pingit” atau

kondisi tubuh menunjukan tanda kelelahan. dilakoni dengan sikap dan prilaku dirahasiakan. Tegasnya, ketika mencari benda-benda untuk

Untuk memperkuat fungsi Tari Sanghyang sebagai medium kerauhan tersebut, orang lain tidak boleh

tari persembahan terhadap para Hyang yang men- tahu. Tanda bahwa benda-benda tersebut memiliki

gandung religius magis dapat disimak dari isi kekuatan kesurupan (nadi) kepengaruhannya pada

Lontar Tantu Pagelaran, khususnya pada bagian yang memegang, namun hanya sebatas tangan. yang menyinggung soal keberadaan Sanghyang

MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Dedari. Dikisahkan, pada saat Dewa Siwa yang dasar yang disimboli dengan pementasan tari hendak mensucikan Sanghyang Pancakosika, yaitu

Sanghyang sebagai tari persembahan. Akan tetapi Kosika, Garga, Metri, Kusya dan Pertanjala. Dewa

sangat signifikan menjalin keharmonisan dengan Siwa menugaskan istrinya, Dewi Uma, untuk men-

lingkungan alam. Konsep hubungan antara manusia cari air susu Lembu Hitam (empehan). Pencarian air

dengan lingkungan alam telah dikupas oleh F. susu Lembu Hitam ini ternyata tidaklah mudah,

Ratsel melalui konsep antropogeographie dan walaupun dengan segala daya upaya Dewi Uma

tentang ekologi budaya yang dikemukakan oleh tidak mendapatkan air susu tersebut. Julian Steward melalui konsep possiblisme. Antropogeographie yang berorientasi pada paham

Dewa Siwa yang mengetahui keadaan itu lalu men- diterminisme lingkungan. Dinyatakan bahwa, gubah Lembu Mandini menjadi Lembu Hitam dan

manusia dalam konsep tersebut dipandang sebagai Siwa sendiri menjadi penggembalanya. Kemudian

mahluk dinamis yang militasnya sangat ditentukan dikisahkan, Dewi Uma dalam segala daya upayanya

oleh kondisi alam yang ada dipermukaan bumi. itu akhirnya melihat keberadaan Lembu Hitam

Sehubunaan dengan itu, lingkungan alam akan tersebut. Dikisahkan kemudian, ia meminta air susu

berfungsi sebagai penentu yang akan menentukan Lembu Hitam itu kepada si Pengembala. Tetapi si

kehidupan berikutnya. Diterminisme lingkungan Pengembala tidak memberikan air susu tersebut,

yang melihat bahwa, populasi manusia dengan kecuali Dewi Uma bersedia melakukan hubungan

perkembangan budayanya sangat ditentukan oleh badan dengannya. lingkungan alamnya. Namun secara bertahap sudah mulai ditinggalkan, mengingat dalam kenyataannya

Dewi Uma sadar bila ini adalah ulah Dewa Siwa. yang lebih berperan dalam lingkungan tersebut Dewi Uma pun bersedia melakukan hubungan

adalah manusia. Hal tersebut tampak dari badan dengan si pengembala. Tatkala itu terjadi, air

pemikiran-pemikiran dalam aliran possibilisme mani Dewa Siwa diceritakan berjatuhan dan secara

yang dikembanakan oleh E.C Semple maupun Paul ajaib berubah menjadi Widiadara dan Widiadari,

Vidal De La Blache. Lingkungan alam menurutnva salah satunya yang tercantik dikenal sebagai Diah

tidak merupakan faktor dominan yang menentukan Kintamani. Lalu oleh Dewa Siwa seluruh Widi-

kegiatan manusia. Faktor yang menentukan menu- adara dan Widiadari ini dijadikan penari di sorga. rut pandangan tersebut adalah proses produksi yang dipilih oleh manusia dan berasal dari

Kisah tersebut diyakini berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh keberadaan Tari Sanghyang Dedari. Selanjutnya,

alam baik berupa tanah, iklim, dan ruang yang ada dikisahkan pula, pada waktu terjadi epidemi penya-

di suatu daerah. Sehubunaan dengan itu meskipun kit sampar, disaat bhutakala berkeliaran di tengah

lingkungan dapat mempengaruhi pola-pola kebu- kehidupan masyarakat. Tari Sanghyang selayaknya

dayaan dengan menghadirkan berbagai kendala. dipertunjukan dengan dilengkapi Sajen Pecaruan

Akan tetapi lingkungan sendiri tidak akan bisa men- dan Tunggul Ganakumara. Mengapa demikian,

ciptakan fenomena-fenomena tersebut. Manusia karena diyakini para Bhutakala amat senang

telah dipandang sebagai faktor aktif terhadap menonton pementasan Tari Sanghyang dan mereka

lingkungannya. Sebaliknya, lingkungan alam akan datang beramai-ramai menontonnya. Tetapi

banyak memberikan kemungkinan terhadap biasanya, para Bhuta Kala itu akan terkejut dan lari

perkembangan kehidupan manusia. Pandangan dari pontang-panting setelah melihat kehadiran Dewa

possibilisme tersebut pada hakekatnya sesuai Gunakumara diantara keindahan tarian Sanghyang.

dengan pendekatan ekologi budaya yang dikemuka- Dewa Ganakumara diyakini sebagai Dewa

kan oleh Julian Steward (dalam Kaplan dan Wigheswara, yaitu Dewa halangan, penghalau

Manner, 1999:105). Berkenaan dengan ekologi musuh dan bencana. budaya, Steward mengungkapkan bahwa, hubun- gan antara kebudayaan dan lingkungannya secara

B. Fungsi Keharmonisan Terhadap Lingkungan fungsional sudah terlihat, begitu juga dengan Alam hubungan pola-pola kehidupan dengan organisme

Untuk mencapai keharmonisan, kedamaian dan lingkungan terlihat dengan jelas. kesejahteraan yang ideal didalam kehidupan manu- sia, manusia tidak cukup dipuasi oleh kebutuhan

I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Adanya hubungan tersebut menunjukkan bahwa Pendekatan tentang adaptasi manusia terhadap pengaruh keadaan lingkungan alam sangat menda-

lingkungannya, juga dikemukakan oleh Soemar- lam terhadap diri manusia. Demikian sebaliknya

wotto (1997:48), menurutnya dinyatakan bahwa, manusia akan mengembangkan sistem nilai tertentu

"adanya perubahan terhadap lingkungan baik yang sesuai dengan lingkungannya berada. Dalam

terjadi dengan cepat maupun lambat orang akan pandangan yang senada Koentjaraningrat

berusaha mengadaptasikan dirinva dengan peruba- (1990:48), menyatakan bahwa, ekologi budaya

han itu, kendatipun adakalanya orang tidak berhasil dapat diartikan sebagai pengaruh timbal balik

mengadaptasi perubahan itu sebagai menghasilkan lingkungan alam yang telah diubah oleh kebu-

sifat (prilaku) yang tidak sesuai dengan lingkungan- dayaan manusia terhadap kehidupan dan tingkah

nya". Jelaslah dapat dikatakan, jika lingkungan laku manusia pada suatu lokasi tertentu di muka

(habitat) mengalami perubahan secara langsung, bumi. Berkenaan dengan itu dapat dikatakan bahwa

maupun tidak langsung akan mempengaruhi peng- kebudayaan merupakan suatu proses adaptasi dari

huninya baik manusia maupun binatang. manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demikian juga sebaliknya keberadaan suatu

Pendekatan ekologi budaya dalam penulisan ini lingkungan akan dapat mendorong manusia untuk

akan dipergunakan untuk menelaah tentang menciptakan kebudayaan. Sanderson, (2000:44),

adaptasi Tari Sanghyang dengan lingkungan yang mengatakan bahwa, kebudayaan sendiri merupa-

berubah, sehingga tetap dapat bertahan hidup kan totalitas kompleks yang memuat tiga rangkaian

dengan teknologi atau cara yang dimilikinya. gejala, yakni teknologi yang ditemukan oleh manu-

Demikian pula sebaliknya dalam pendekatan ini sia guna beradaptasi dengan lingkungannya, pola

juga akan digunakan untuk menelaah tempat perilaku yang diikuti para individu sebagai anggota

pertunjukkan Tari Sanghyang dalam membentuk masyarakat atau sistem sosial, dan berbagai keper-

pola tindakan dari suatu masyarakat. cayaan, nilai dan aturan sebagai pedoman bagi hubungan mereka satu sama lainnya dan juga

Dari pendapat masyarakat yang dikemukakan pada dengan lingkungannya. Perkembangan kebudayaan

permasalahan tersebut di atas, pada hakekatnya suatu masyarakat dari proses adaptasinya tidak

sangat berkaitan dengan pengelolaan dan peman- terlepas dari penafsiran dan pengetahuan dari

faatan terhadap lingkungan. Terlahirnya jenis-jenis masyarakat terhadap lingkungan. Dalam artian

tari Sanghyang juga sangat berkaitan dengan tersebut, keseluruhan dari pengetahuan manusia

ekologi yang ditempati oleh penduduk Banjar sebagai mahluk sosial yang dapat digunakan untuk

Jangu, yang kehidupannya sangat didominasi memahami dan menginterpretasikan lingkungan

dengan kehidupan pertanian sawah maupun kebun alam dan sosial akan mendorong terwujudnya

sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat baik kelakuan. Dengan demikian, kebudayaan merupa-

dari aspek kepercayaan, sosial, dll. kan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana dan strategi atas serangkaian

Hasil wawancara selama di lapangan dengan model-model kognitif yang dipergunakan sesuai

beberapa nara sumber yang telah diberi pengeta- dengan lingkungan yang dihadapinya. huan dari para orang tua seperti nenek maupun

kakeknya, yang mengemukan bahwa :” Dulu Berkenaan dengan proses adaptasi yang dilakukan

semasih nenek gadis kecil, banyak teman-teman oleh manusia dalam berhadapan dengan lingkun-

bermain kesini (maksudnya di rumahnya sendiri), gannya, merupakan suatu proses teknologi dan juga

mereka sangat baik dan akrab; mengapa sekarang proses sosial. Sebagai proses teknologi mengand-

mereka tidak pernah ada yang datang lagi?. ung arti bahwa ketika manusia menghadapi tantan-

Teman-teman yang ditafsirkan oleh pewaris seka- gan, maka ia akan berusaha untuk memperbaiki

rang itu yaitu, Lemputu, Kemangmang, dan institusi atau struktur sosial yang dimilikinva.

Tangan-tangan yang baik-baik sekali”. Apa yang Dengan demikian, melalui suatu proses adaptasi

dikemukakan oleh para tetua itu sungguh menarik manusia akan mencoba untuk memperoleh pening-

untuk dijadikan acuan bahwa pada jamannya katan kebebasan dari adanya kendala atau hambatan

(sekitar seratus tahun yang lalu) tentu ada dialog yang bersumber dari alam. komunikasi yang akrab tentang kehidupan lingkun- gan di Desa Jangu antara manusia, alam dan

MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

kekuatan yang baik di sekitar Banjar Jangu. Ling- kungan ketika itu dapat kita bayangkan keda- mainya, keakrabannya, keharmonisannya. Sampai saat ini cerita itu masih dipercaya. Walaupun hanya dalam cerita dari mulut-kemulut atau cerita lisan ke lisan. Lempupu yang dimaksudkan berupa benda bagian manusia hanya kaki atau pahanya saja. Kemangmang itu berupa kepala manusia lengkap. Sedangkan tangan-tangan yang dimaksudkan sebuah lengan manusia yang utuh.

Para pewaris yang masih hidup dewasa sekarang telah menyimpulkan bahwa, “Berkomunikasi dengan lingkungan alam (termasuk isinya yang bisa dilihat dengan kasat mata maupun yang tidak bisa dilihat, namun dapat dirasakan), di jaman para tetua yang diperkirakan seratus tahun yang lalu, masih sangat mudah, dengan kekuatan-kekuatan alam lingkungan. Dengan para makhluk yang sulit dipa- hami secara rasio, komunikasi sangat harmonis, karena diantara kehidupan sesame saling tidak mengganggu dan malahan saling membutuhkan bantu-membantu dengan manusia. Kehidupan pada jaman itu antara alam dan penghuninya suka saling membantu dan memberi. Namun tetap pada pors- inya sebagai manusia atau makhluk-makhluk halus. Manusia sebagai makhluk yang paling tinggi dera- jatnya tidak ada keinginan untuk menundukan alam. Demikian sebaliknya manusia tidak mau ditunduk- kan oleh alam secara keseluruhan hidupnya. Pada- hal manusia dalam teori di atas sebagai makhluk yang dinamis, namun tetap manusia ditentukan oleh kondisi alam atau paling tidak menyusuaikan diri (adaptif) dengan alam dimana mereka berada. Akan tetapi hari ini kondisi seperti itu sangat langka, dan hanya orang-orang tertentu yang mampu menekun- inya.

Pada tahun 1998 penduduk Banjar Jangu kondisi hidup harmoni dan seimbang antara manusia dengan alam lingkungan masih dijalankan, sehingga pementasan tari Sanghyang masih dipen- taskan secara rutin. Tanpa atas dasar ditanggap oleh touris manca negara. Sehingga pada saat itu pemen- tasan tari Sanghyang masih difungsikan sebagai, 1) melindungi penduduk dan tempat tinggal mereka agat tidak mendapat gangguan roh jahat atau kejahatan bersumber dari manusia; 2) agar tanaman pertanian dan perkebunan, serta hewan-hewan peliharaan mereka tidak diserang wabah penyakit dan menghasilkan panen yang baik.

C. Fungsi Sosial

Manusia merupakan mahluk sosial yang dalam hidupnya selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Dalam hal ini manusia membentuk suatu masyarakat yang didalamnya mereka saling berin- teraksi. Tingkah laku manusia merupakan suatu hal yang bersifat dipelajari. Dengan kata lain tingkah laku manusia merupakan hasil dari proses belajar; dalam hal ini proses belajar dari orang tua atau lingkungannya kepada seorang individu. Hasil dari proses belajar inilah yang sering disebut dengan kebudayaan. Secara garis besar, terdapat wujud kebudayaan yaitu kebudayaan sebagai ide, nilai atau norma, kebudayaan sebagai tingkah laku dan kebudayaan dalam suatu wujud benda. Ketiga wujud tersebut merupakan suatu yang terintegrasi dalam kehidupan manusia. Manusia mempunya ide, nilai ataupun norma yang diwujudkan dalam tingkah laku, sedangkan tingkah laku tersebut menghasilkan barang-barang yang nampak nyata dan dapat diraba.

Berbagai macam definisi tentang kebudayaan dike- mukakan para ahli kebudayaan dari berbagai bangsa. Kluckhohn mendefinisikan kebudayaan sebagai : (1) “Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat”, (2) “Warisan sosial yang doperoleh individu dari kelompoknya"” (3) “Suatu cara berpikir, merasa dan percaya”, (4) “Suatu abstraksi dari tingkah laku”, (5) “Suatu teori dari pihak antropologi terhadap suatu kelompok masyarakat nyatanya bertingkah laku”, (6) “Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar”, (7) “Seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang sedang berlangsung”, (8) “Tingkah laku yang dipelajari”, (9) “Suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif”, (10) “Sep- erangkat tekhnik untuk menyesuaikan baik dengan lingkungan luar maupun dengan orang-orang lain”, (11) “ Suatu endapan sejarah” (Geertz, 1992 : 4-5). Lebih lanjut Geertz -- dengan mengambil ide pemikiran dari Max Weber yang menyatakan bahwa manusia adalah seekor binatang yang tergan- tung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri – menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu dan analisis atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum malainkan sebuah ilmu yang bersi- fat intepretatif untuk mencari makna (Geertz, ibid, hal. 5).

I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Beranjak dari pemikiran tentang kebudayaan terse- serta menciptakan tata susunan pengertian yang but, Geertz menawarkan cara menafsir kebudayaan

luas. Kecendrungan memberi makna maupun nilai dengan cara memaparkan konfigurasi atau sistem

tersebut merupakan kegiatan kolektif yang dilaku- simbol-simbol bermakna secara mendalam dan

kan secara bersama-sama oleh kelompok menyeluruh. Mengingat bahwa simbol budaya

masyarakat sesuai lingkungan yang dihadapi. adalah kendaraan pembawa makna, Geertz berkes- impulan bahwa selama ini simbol-simbol yang

Gidden, mengabstraksikan hasil pikiran kelompok tersedia di kehidupan, namun sebuah masyarakat

masyarakat dan selanjutnya hasil itu berupa konsep sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga

akan menata kembali kehidupan anggota masyarakat yang bersangkutan melihat, merasa,

masyarakat yang bersangkutan sebagai nilai dan berpikir tentang dunia mereka dan bertindak

budaya. Dengan kata lain, nilai budaya merupakan berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Bagi Geertz,

abstraksi dari segala sesuatu yang dianggap kebudayaan adalah semiotis yaitu, hal-hal yang

bermakna dan bernilai tinggi dalam kehidupan berhubungan dengan simbol-simbol yang tersedia

suatu masyarakat (2000). Karena nilai budaya sifat- di depan umum dan dikenal oleh masyarakat yang

nya abstrak, berada di alam pikiran kepala-kepala bersangkutan. Simbol adalah sesuatu yang perlu

manusia, berada dalam alam pikiran dari warga ditangkap (ditafsir) maknanya dan pada giliran

masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga

hidup. Nilai-nilai budaya ini juga sering disebutkan masyarakat dan diwariskan kepada anak cucu

sebagai adat tata kelakuan yang berfungsi meng- (Susanto, 1992 :vi-vii). Simbol yang paling men-

atur, mengendalikan dan memberi arah kepada dasari dari keberadaan tari Sanghyang yang ada di

kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat Banjar Jangu yang diceritakan kelahirannya

(Koentjaraningrat, 1990:5-6). Dalam pengertian ini berdasarkan mitos-mitos yang diceritakan oleh para

nilai budaya juga dipakai untuk mengacu pada tetua, dan bukti fisik pura Ida Bhatara Gede yang

system pengetahuan dan kepercayaan yang disusun masih berdiri megah di tengah-tengan Banjar Jangu.

sebagai pedoman manusia dalam mengatur Walaupun mitos tersebut didapat dari mulut kemu-

pengalaman-pengalaman dan persepsi mereka, lut kayakinan masyarakat Banjar Jangu tidak terlalu

menetukan tindakan dan memilih di antara alterna- berubah. Karena itu fungsi social pementasan tari

tive yang ada. Nilai budaya dalam pengertian ini Sanghyang yaitu, 1) untuk menata tatanan hidup

dimaksudkan sebagai pola untuk/bagi perilaku akrab, harmonis, selaras antar warga dapat dipeli-

(patten for behavior) kelompok social tertentu hara, 2) pelanggaran sikap tidak etis dari warga

Dengan demikian, pemberian arti terhadap suatu menjadi sangat berkurang. Karena ada kondisi

benda, selanjutnya pemberian arti menjadi pembe- secara moral, masyarakat telah mendapat kekuatan

rian nilai budaya, juga mengandung pengertian mental spiritual saat melaksanakan ngoncang,

pemberian makna. Hal ini akan menduduki posisi music kulkul bambu dibawa berkeliling selama

sentral dan paling dalam, dalam kerangka suatu sebulan, kemudian Dewi Sri memberi berkah

kebudayaan, karena berfungsi sebagai pedoman kekuatan untuk menghadapi tantangan. tertinggi bagi tata kelakuan manusia.

D. Makna Pementasan Tari Sanghyang Dalam masyarakat yang masih tradisional, menurut Makna adalah mengandung arti yang sangat penting

Berger (dalam Damardjati Kun Marjanto, 2003); dalam kehidupan manusia. Bahkan tidak sedikit

(Purna, 2012), makna itu diberikan kepada manusia yang mengartikan makna dalam kehidupan manusia

oleh tradisi yang jarang atau tidak pernah dipertan- sebagai tujuan akhir dari suatu program maupun

yakan. Apalagi makna maupun nilai budaya yang aktivitas hidup. Hidup tanpa makna bukan kehidu-

merujuk pada prinsip –prinsip moral, tujuan dan pan manusia namanya. Karena itu tidak mengher-

standar yang dianut oleh individu, klas social, atau ankan bahwa manusia pada hakekatnya sebagai

masyarakat. Namun dewasa sekarang apakah mahluk yang hidupnya senantiasa memproyeksikan

penilaian seperti ini masih ajeg. Generasi tua mung- makna dalam alam lingkungan tempatnya berada.