Analisis Kasus Perbuatan Melawan Hukum

Analisis Kasus Perbuatan Melawan Hukum
No.21 / Pdt. G/ 2014/ PN. Jkt Tim.

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Oleh :
Reni Ayu Wulandari
E1A014078
Kelas B

Universitas Negeri Jenderal Soedirman
Fakultas Hukum
2016

Bab 1
Keterangan Kasus:
a.

Para Pihak
-


Penggugat :
PT.SUZUKI INDOMOBIL SALES

Berkedudukan di Jakarta beralamat di Jalan MT.Haryono Kav.8 Wisma Indomobil
Lantai 8 Biadara Cina Jatinegaraa Jakarta Timur
-

Tergugat I :

CV.DISCOVERY INDUSTRI KAROSERI
beralamat di Jalan Raya Wanaherang Cikuda Kp Jampang No.9
Gunung Putri Bogor
-

Tergugat II :

Tn.Drs.H.YAHYA DADANG
Selaku Direktur CV.DISCOVERY INDUSTRI KAROSERI beralamat diJalan Wana
Umur 40 Tahun, Pekerjaan Pegawai Swasta, Alamat Jl. Jalan Raya Wanaherang
Cikuda Kp Jampang No.9 Gunung Putri Bogor

b.

Duduk Perkara
TENTANG DUDUK PERKARANYA.
Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tertanggal Jakarta
13 Januari 2014, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta
Timur dalam daftar Register Nomor : 21/Pdt.G/2014/PN.JKT.Tim,tanggal 21
Januari 2014 telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa, PENGGUGAT adalah perusahaan yang bergerak di bidang
otomotif , dimana PENGGUGAT pernah melakukan kerjasama 2 (dua)
kali dengan TERGUGAT I antara tahun 2004 dan tahun 2005 dan
semuanya lancar-lancar saja tidak ada masalah, serta pada tahun
2002 sampai dengan tahun 2006 TERGUGAT I merupakan vendor
(karoseri) tetap di Tentara Nasional Indonesia Angkata Udara (TNI AU).

2. Bahwa, pada tanggal 07 Agustus 2000 PENGGUGAT menerima order
dari TERGUGAT I dengan dasar hubungan baik dan saling
menguntungkan PENGGUGAT menerima order dari TERGUGAT untuk
menyediakan 10 (sepuluh) unit Kendaraan Roda Empat Merk Suzuki
Type Caribian untuk MABES TNI AU.

3. Bahwa untuk melaksanakan order tersebut diatas, PENGGUGAT telah
memproses order senilai sebesar Rp.945.000.000,- (sembilan ratus
empat puluh lima juta rupiah), pada tanggal 18 Agustus 2006
PENGGUGAT memerintahkan kepada CV. SURYA RAYA untuk
mengeluarkan 10 (sepuluh) unit Surat Jalan kendaraan in casu kepada
TERGUGAT I,
4. Bahwa, PENGGUGAT telah memenuhi prestasinya dengan telah
mengirimkan 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu kepada TERGUGAT I,
oleh karenanya mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan
memutus dalam perkara ini menyatakan bahwa PENGGUGAT I adalah
penjual yang beritikad baik yang telah memenuhi syarat jual beli
antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I adalah sah menurut peraturan
perundang undangan yang berlaku.
5. Bahwa, setelah TERGUGAT I menerima 10 (sepuluh) unit kendaraan in
casu, maka TERGUGAT I mengirimkan kembali kendaran in casu
kepada Mabes ·AU, terdiri dari beberapa pengiriman, yaitu :
a. Tangggal 22 Agustus 2000 Tanda Terill'ul Chassis' Kendarllatl dliri
TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka
700655, No. Mesin 700655; (BuktiP - 11)
b. Tanggal 23 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari

TERGUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka
700668, No. Mesin 700668; (BuktiP = 12)
c. Tanggal 24 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis/Kendaraan dari
TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka
700664, No. Mesin 700664; (BuktiP - 13)
d. Tanggal 25 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis/Kendaraan dari
TERGUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian No. Rangka
700(j(jO,NQ,M~sin 700660; (Bukti P -14)
e. Tanggal 26 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis/Kendaraan dari
TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Carlbian 13, No. Rangka
700669, No. Mesh. 700669~ (BuktiP - 15)
f. Tanggal 27 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis/Kendaraan dari
TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka
700651, No. Mesin 700651; (BuktiP - 16)

g. Tanggal 28 Agustus 2006 Tanda Tsrima Chassis! Kendaraan dari
TEROUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka
700655, No. Mesin 700655; (Bukti P - 17)
h. Tanggal 29 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari
TERGUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka

700656, No. Mesin 700656; (Bukti P - 18)
i. Tanggal 30 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari
TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka
700666, No. Mesin 700666; (Bukti P - 19)
J. Tanggal 31 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari
TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka
700662, No. Mesin 700662; (Bukti P - 20)
6.

Bahwa, selanjutnya pada tanggal 30 September 2006, PENGGUGAT
memproses permintaan order dari TERGUGAT I Nomor DO : 4823634
sampai dengan 4823643 untuk menyediakan 10 (sepuluh) unit
kendaraan in casu, dimana setiap kendaraan in casu masing-masing
seharga Rp.93.500.000,- (sembilan puluh tigajuta lima ratus ribu
rupiah) dengan demikian total order dari TEGUGAT I adalah 10
(sepuluh) unit x Rp.93.500.000,- (sembiIan puluh tiga juta lima ratus
ribu rupiah) sebesar Rp, 935.000,000, (sembilan ratus tiga puluh lima
juta rupiah) ditambah dengan biaya lain-lain sebesar Rp.1.000.000,(satu juta rupiah) sehingga total dari kendaraan in casu yang diorder
oleh TERGUGAT I sebesar Rp. 945.000.000,- (sembilan ratus empat
puluh lima juta rupiah). (Bukti P - 21)

7. Bahwa, pada bulan Oktober 2006 PENGGUGAT meminta kepada
TERGUGAT I untuk pembayaran 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu,
namun pembayaran tidak dapat terlaksana dengan alasan bahwa
TERGUGAT I belum menerima pembayaran dari MABES TN! AU.
8. Selanjutnya pada bulan Desember 2006 PENGGUGAT menerima
informasi bahwasannya MABES TN! AU telah melakukan pembayaran
kepada TERGUGAT I melalui TERGUGAT II, oleh karena itu PENGGUGAT
kembali meminta pembayaran kepada TERGUGAT II
9. Bahwa, pada tanggal 19 Januari 2007 TERGUGAT II melakukan
pembayaran dengan Bilyet Giro (BG) Nomor 793805 pada PT. Bank
International Indonesia KCU Thamrin sebesar Rp. 945.000.000,(sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah) melalui Bank Cei:ltl'al
ASia. (Bukti P - 22)
10.Selanjutnya pada tanggal 23 Januari 2007 PENGGUGAT berusaha untuk
mencairkan pembayaraan uang yang diterima oleh TERGUGAT II,
namun pada saat akan mencairkan ternyata BG tersebut ditolak oleh
Bank BCA dengan alasan penolakan Saldo Rekening Giro atau
Rekening Giro Khusus tidak cukup. (Bukti P - 23)

11.Bahwa, mengetahui BG nya ditolak oleh Bank BCA maka PENGGUGAT
meminta kembali kepada TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk

melakukan pembayaran terhadap 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu.
12.Bahwa, pada tanggal 29 Mei 2007 TERGUGAT I mengeluarkan Cek No;
CF 27]876 pada Bank Negara Indonesia (persero) Tbk sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) kepada PENGGUGAT melalui
Bank Central Asia. ( Bukti P - 24)
13.Bahwa, pada tanggal 05 Juni 2007 PENGGUGAT kembali mencairkan
Cek yang di berikan o!eh TERGUGAT I melalui Bank BCA, namun lagilagi cek tidak dapat dicairkan dengan alasan bahwasannya penolakan
Saldo Rekening Giro atau Rekening Giro Khusus tidak cukup. (Bukti P 25)
14.Bahwa, pada tanggal 11 Juni 2007 diadakan pertemuan antara
PENGGUGAT dengan TERGUGAT I dan TERGUGAT II dalam pelaksanaan
pembayaraan 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu. Dimana dalam
perternuan tersebut TERGUGA T II telah sepakat dan menandatangani
Perjanjian Pembayaran Hutang (Bukti P - 26) serta Surat Pengakuan
Hutang (Bukti P-27) kepada PENGGUGAT, dimana TERGUGAT II dalam
Surat Pengakuan Hutang akan melunasi pembayaraan 10 (sepuluh)
unit in casu pada tanggal18 JUDi 2007. Yang pada intinya apabila
ternyata pada tanggal 18 Juni 2007 tidak melunasi pembayaran
tersebut maka TERGUGAT II memberikan Kuasa Khusus kepada
PENGGUGAT untuk menarik kembali 10 (sepuluh) unit kendaraan in
casu dari MABES TN! AU.

15.Bahwa, selanjutnya pada tanggal 04 Juli 2007 diadakan pertemuan
antara PENGGUGAT dengan pejabat-pejabat TNI AU untuk
membicarakan wanprestasi TERGUGAT I dan TERGUGAT II
pembayaraan 10 (sepuluh) unit in casu, dimana PENGGUGAT
menyatakan kepada pejabat-pejabat TN! AU akan ditarik 10 (sepuluh)
unit in casu sesuai dengan Surat Pengakuan Hutang TERGUGAT II
tertanggal 15 Juni 2007. Didalam pertemuan dengan pejabat-pejabat
TNl AU diketahui bahwasannya TNI AU telah membayar lunas sebesar
Rp. 945.000.000,- (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah)
kepada PENGGUGAT dan dalam pertemuan tersebut TNI AU bersedia
membantu PENGGUGAT untuk melakukan penagihan kepada
TERGUGAT I dan TERGUGAT II. Bahwa, oleh karenanya mohon kepada
Majelis Hakim yang merneriksa dan rnemutus dalam perkara ini
menyatakan bahwa TERGUGAT I dan TERGUGAT II adalah pembeli
yang beritikad tidak baik menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
16.Bahwa oleh karena telah berulang kali telah disampaikan kepada
TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk segera melaksanakan kewajiban
pembayarannya kepada PENGGUGAT sesuai dengan Surat Pengakuan
Hutang temyata sampai dengan batas waktu yang ditentukan


TERGUGAT I dan TERGUGAT II tetap tidak melaksanakan kewajiban
pembayarannya, meskipun TERGUGAT I dan TERGUGAT II telah di
tegur maupun di peringatkan melalui surat maupun lisan;
17.Bahwa sebagaimana disebutkan diatas yakni order dilakukan oleh
TERGUGAT I adalah semata-mata demi kepentingan saling
menguntungkan PENGGUGAT dengan TERGUGA T II.
18.Bahwa oleh karena itu pada tempatnya bila PENGGUGAT mahan
kehadapan Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui
Maielis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini berkenan
untuk menyatakan TERGUGAT I dan TERGUGAT II telah melakukan
perbuatan wanprestasi terhadap PENGGUGAT.
19.Bahwa untuk rnenjamin dilaksanakan pembayaran tersebut dan untuk
menjamin agar TERGUGA T I tidak menghindar dari kewajibannya serta
agar putusan dalam perkara ini tidak illusoir (sia-sia) maka pada
tempatnya bila PENGGUGAT mahan kehadapan Bapak Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan untuk meletakkan sita
jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta tidak bergerak milik
TERGUGAT II, sebagai berikut : Sebuah rumah tinggal milik TERGUGAT
II yang terletak di Jalan Raya Wanaherang,Cikuda Kp. Jarnpang No.9,

Gunung Putri Bogur. Yang kemudian dinyatakan sah dan berharga.
20.Bahwa karena gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti yang
akurat, sah dan berdasarkan hukum maka pada tempatnya bila Bapak
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan untuk berkenan untuk
menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun
ada bantahan (verzet) banding maupun kasasi. Berdasarkan hal-hal
sebagaimana telah disampaikan seperti tersebut diatas, tidaklah
berlebihan dan cukup alasan hukum kiranya bila Bapak ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menerima, memeriksa dan
mengadili perkara in-casu untuk sependapat dengan PENGGUGAT dan
kernudian berkenan untuk rnemberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;
2. Menyatakan TERGUGAT I dan TERGUGAT II telah melakukan
perbuatan wanprestasi terhadap PENGGUGAT;
3. Meletakkan sita jarninan (Conservatoir Beslag) terhadap harta tidak
bergerak rnilik TERGUGAT I dan TERGUGAT II sebagai berikut: Sebuah
rumah tinggal milik TERGUGAT yang terletak di Jalan Raya
Wanaherang, Cikuda Kp. Jampang No.9, Gunung Putri Bogor. Yang
kemudian dinyatakan sah dan berharga;
4. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk membayar ganti

kerugian kepada PENGGUGAT sebesar Rp. 945.000.000,-(sembilan
ratus empat puluh lima juta rupiah) secara tunai dan kontan dari sejak
saat dibacakan putusan pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur;
5. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk melakukan
pembayaran bunga sebesar 6% (enam persen) pertahun dad sebesar

Rp. 945.000.000,- (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah)
secara tunai dan kontan sejak putusan dalam perkara in-casu
memperoleh kekuatan hukum tetap;
6. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk membayar denda
keterlambatan (dwangsom) sebesar 2.5% (dua koma lima persen)
pertahun dari sebesar Rp. 945.000.000, (sembilan ratus empat puluh
lima juta rupiah) apabila TERGUGAT I dan TERGUGAT II lalai terhadap
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur;
7. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meskipun ada bantahan (verzet) banding maupun kasasi;
8, Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk mernbayar bjaya
perkarai
Menimbang, bahwa pada hari persidangan pertama Penggugat hadir
kuasanya seperti tersebut diatas akan tetapi untuk Tergugat I dan II tidak
pernah hadir dipersidangan dikarenakan berdasarkan surat dari Panitera/
sekretaris Pengadilan Negeri Bogor dijelaskan bahwa alamat para Tergugat
seperti yang tertera dalam gugatan berada diwilayah hukum Pengadilan
Negeri Cibinong maka atas hal ini kuasa Penggugat mengajukan revisi
terhadap perubahan alamat para Tergugat seperti dalam suratnya tertanggal
20 Febuari 2014 dan kemudian dilakukan pemanggilan terhadap para
Tergugat tersebut akan tetapi sebagaimana relaas panggilan sidang tanggal
10 Febuari 2014 yang menyatakan para Tergugat I dan II tidak beralamat
pada alamat dimaksud maka selanjutnya Majelis melakukan panggilan umum
lewat Kantor Pemerintah Daerah dan media masa seperti pada relas tanggal
3 Maret 2014 ,tanggal 4 April 2014, tanggal 18 Maret 2014 dan tanggal 22
April 2014 akan ternyata pihak Tergugat I dan II pun tetap tidak hadir dan
tidak ternyata ketidak hadiran Tergugat I dan II tersebut disebabkan suatu
halangan yang sah, maka Tergugat I dan II harus dinyatakan tidak hadir dan
putusan perkara ini haruslah dijatuhkan dengan VERSTEK ;
Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak pernah hadir

dipersidangan walaupun telah dipanggil secara sah sebagaimana yang
diuraikan diatas, maka menurut pasal 125 ayat 1 HIR gugatan tersebut dapat
diterima, kecuali jika nyata bagi Pengadilan Negeri bahwa gugatan itu
melawan hukum atau tidak beralasan ;
Menimbang, bahwa selanjutnya pemeriksaan perkara ini dimulai
dengan pembacaan surat gugatan Penggugat, dan selanjutnya Penggugat
menyatakan tetap pada surat gugatannya ;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya Penggugat
telah mengajukan bukti-bukti surat berupa Foto Copy yang telah diberi
meterai secukupnya yaitu :
1. Foto copy Surat Jalan No : 108193 Untuk Do : 4029618 di beri
tanda ...........................................................................................................
(P-1).
11
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu
mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen
Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun Dalam hal Anda menemukan inakurasi
informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun
belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI
melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahkamah Mahkamah Agung Republik Mahkamah Agung Republik Indonesia
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Republik Indonesia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id

2. Foto copy Surat Jalan No : 108198 untuk DO : 4029614, di beri
tanda ...........................................................................................................
(P-2).
3. Foto copy Surat Jalan No : 108157 Untuk Do : 4029623 di beri
tanda ............................................................................................................
.(P-3).
4. Foto copy Surat Jalan No : 108195 untuk DO : 4029619, di beri
tanda ................................................................................................................
(P-4).
5. Foto copy Surat Jalan No : 108349 Untuk Do : 4029615 di beri
tanda ............................................................................................................
..(P-5).
6. Foto copy Surat Jalan No : 108351 untuk DO : 4029616, di beri
tanda ............................................................................................................
(P-6).
7. Foto copy Surat Jalan No : 108197 Untuk Do : 4029621 di beri
tanda ............................................................................................................
.(P-7).
8. Foto copy Surat Jalan No : 108352 untuk DO : 4029617, di beri
tanda ..........................................................................................................
(P-8).
9. Foto copy Surat Jalan No : 108196 Untuk Do : 4029620 di beri
tanda ............................................................................................................
(P-9).
10.Foto copy Surat Jalan No : 108194 untuk DO : 40296184, di beri
tanda ..........................................................................................................

(P-10).
11. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes
AU No.rangka 700655 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ..........................................................................................................
(P-11).
12. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada
Mabes AU No. Rangka 700668 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ...........................................................................................................
(P-12)
12
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu
mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen
Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun Dalam hal Anda menemukan inakurasi
informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun
belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI
melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahkamah Mahkamah Agung Republik Mahkamah Agung Republik Indonesia
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Republik Indonesia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
13. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes
AU No.rangka 700664 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ...........................................................................................................
(P-13).

14. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada
Mabes AU No. Rangka 700608 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ...........................................................................................................
(P-14)
15. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes
AU No.rangka 700669 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ..........................................................................................................
(P-15).
16. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada
Mabes AU No. Rangka 700651 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ...........................................................................................................
(P-16)
18. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes
AU No.rangka 700656 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda .........................................................................................................
(P-18).
19. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada
Mabes AU No. Rangka 700666 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ..........................................................................................................
(P-19)
20. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes
AU No.rangka 700662 tanggal 22 Agustus 2006, diberi
tanda ...........................................................................................................
(P-20).
21. Foto copy surat dari Penggugat tanggal 30 September 2006, diberi
tanda ..........................................................................................................

(P-21)
22. Foto copy Bilyet Giro No. 793805 PT.Bank International Indonesia KCU
Thamrin, diberi tanda ...................................................................... (P-22).
23. Foto copy surat penolakan BG dari Bank BCA tanggal 23 Januari 2007,
diberi tanda ..................................................................................... (P-23).
13
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu
mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen
Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun Dalam hal Anda menemukan inakurasi
informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun
belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI
melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahkamah Mahkamah Agung Republik Mahkamah Agung Republik Indonesia
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Republik Indonesia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
24. Foto Copy cek No. CF 273876 Bank Negara Indonesia tanggal 29 Mei
2007, diberi tanda .......................................................................... (P-24).
25. Foto copy Surat perjanjian pembayaran hutang tanggal 11 Juni 2007,
diberi tanda ..................................................................................... (P-25).
26. Foto copy surat dari Penggugat kepada Mabes AU No.1241/IMNI/GALLST/
VI/2007 tanggal 12 Juni 2007, diberi tanda ............................. (P-26)

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdt. Rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak seperti
ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUHPerdt. Lebih
merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah
lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUPerdt. senantiasa
memerlukan materialisasi di luar KUHPerdt.[1] Oleh karena itu perbuatan melawan
hukum berkembang melalui putusan-putusan pengadilan dan melalui undangundang. Perbuatan Melawan Hukum dalam KUHPerdt.[2] diatur dalam buku III
tentang Perikatan. Perbuatan melawan hukum Indonesia yang berasal dari Eropa
Kontinental diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdt. sampai dengan Pasal 1380
KUHPerdt. Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum.[3] Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdt. pada
awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari
ajaran legisme.[4] Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan
hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum
menurut undang-undang.[5]

Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama
dengan melawan undang-undang (onwetmatige daad). Aliran ini ditandai dengan
Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara
bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit merek “Singer” yang telah
disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk Singer. Kata-kata
“Singer” ditulis dengan huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis kecilkecil sehingga sepintas yang terbaca adalah “Singer” saja. Ketika pedagang itu
digugat di muka pengadilan, H.R. antara lain mengatakan bahwa perbuatan
pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap
tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama dalam
masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Pada putusan berikutnya,
Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphense Jufrouw. Perkara yang
diputuskan tanggal 10 Juni 1910 itu bermula dari sebuah gudang di Zutphen. Iklim
yang sangat dingin menyebabkan pipa air dalam gudang tersebut pecah,
sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas. Namun penghuni di
tingkat atas tersebut tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran
induk tersebut;sekalipun kepadanya telah dijelaskan, bahwa dengan tidak
ditutupnya kran induk, akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan
dalam gudang akibat tergenang air. Perusahaan asuransi telah membayar ganti
kerugian atas rusaknya barang-barang tersebut dan selanjutnya menggugat
penghuni tingkat atas di muka pengadilan. Hoge Raad memenangkan tergugat
dengan alasan, bahwa tidak terdapat suatu ketentuan undang-undang yang
mewajibkan penghuni tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk guna
kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda memandang
perbuatan melawan hukum secara legistis. Pemandangan legistis itu kemudian
berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam
perkara Cohen v. Lindenbaum yang dikenal sebagai drukkers arrest. Pada perkara
ini Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas. Dalam
perkara ini, Cohen seorang pengusaha percetakan telah membujuk karyawan
percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy pesanan dari langgananlangganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga Lindenbaum
mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen.
Selanjutnya Lindenbaum menggugat Cohen untuk membayar ganti kerugian
kepadanya. Gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (rechtbank).
Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri
dengan pertimbangan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban
hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena undang-undang tidak melarang
dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum. Hoge Raad
membatalkan keputusan Hof atas dasar pertimbangan, bahwa dalam keputusan
Pengadilan Tinggi makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
dipandang secara sempit sehingga yang termasuk di dalamnya hanyalah
perbuatan-perbuatan yang secara langsung dilarang oleh undang-undang.
Sedangkan perbuatan-perbuatan yang tidak dilarang oleh undang-undang sekalipun

perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan keharusan dan kepatutan, yang
diwajibkan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan
hukum.

Dengan adanya arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi
lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan
yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu (a) perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku[6] dan (b) melanggar hak subyektif orang lain,
[7] tetapi juga (c) perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu
kaedah yang mengatur tata susila,[8] (d) kepatutan,[9] ketelitian, dan kehati-hatian
yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau
terhadap harta benda warga masyarakat. Penilaian mengenai apakah suatu
perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum, tidak cukup apabila hanya
didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut
harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah
melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor
pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi
sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

1.2 Masalah

1.3 Tujuan

BAB II KAJIAN TEORETIS

1.1 Pengertian Perbuatan Melawan hukum
1.
R. Wirjono Projodikoro mengartikan kata onrechtmatigedaad sebagai
perbuatan melanggar hukum[10]. Menurutnya perkataan “perbuatan” dalam
rangkaian kata-kata “perbuatan melanggar hukum” dapat diartikan positif
melainkan juga negatif, yaitu meliputi juga hal yang orang dengan berdiam diri saja
dapat dikatakan melanggar hukum karena menurut hukum seharusnya orang itu
bertindak. Perbuatan negatif yang dimaksudkan bersifat “aktif” yaitu orang yang
diam saja, baru dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum, kalau ia sadar,
bahwa ia dengan diam saja adalah melanggar hukum. Maka yang bergerak bukan
tubuhnya seseorang itu, melainkan pikiran dan perasaannya. Jadi unsur bergerak
dari pengertian “perbuatan” kini pun ada. Perkataan “melanggar” dalam rangkaian
kata-kata “perbuatan melanggar hukum” yang dimaksud bersifat aktif, maka
menurut beliau perkataan yang paling tepat untuk menerjemahkan
onrechtmatigedaad ialah perbuatan melanggar hukum karena istilah perbuatan
melanggar hukum menurut Wirjono Prodjodikoro ditujukan kepada hukum yang
pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan hukum
adat.[11]

2.
Subekti juga menggunakan istilah perbuatan melanggar hokum dalam
menerjemahkan BW, ini bisa dilihat pada terjemahan bahasa Indonesia untuk Pasal
1365.[12]Terminologi “perbuatan melawan hukum” antara lain digunakan oleh
Mariam Darus Badrulzaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 KUHPerdt.
menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan
kerugian ini mengganti kerugian tersebut” Selanjutnya dikatakan bahwa “Pasal
1365 KUHPerdt. ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum yang
tidak tertulis diperhatikan oleh undang-undang.[13]

3.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dan I.S. Adiwimarta dalam menerjemahkan
buku H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum. Selain
itu istilah yang sama juga digunakan oleh M.A. Moegni Djojodirjo dalam bukunya
yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum. Digunakannya terminologi Melawan
hukum.[14] bukan Melanggar Hukum oleh M.A. Moegni Djojodirjo karena dalam kata
“melawan” melekat sifat aktif dan pasif.[15] Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan
sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang
lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya
dari istilah “melawan tersebut”. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja
atau dengan sengaja diam saja atau dengan lain perkataan apabila ia dengan sikap
pasif saja sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia telah
“melawan” tanpa harus menggerakkan badannya.[16]

4.
Rosa Agustina sependapat dengan Mariam Darus Badrulzaman bahwa
terminologi melawan hukum mencakup substansi yang lebih luas, yaitu baik
perbuatan yang didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian.[17] Mariam Darus
Badrulzaman dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan berusaha
merumuskannya secara lengkap sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalainnya menerbitkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut;
2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan
kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain;
3. Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan wajib dilakukannya,
disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan
karenanya melanggar hukum.
Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah
mengabsorpsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan
hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya
diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga
bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat (hukum tidak tertulis).
5.
Menurut Sudargo Gautama istilah perbuatan melawan hukum telah lama
memusingkan para ahli hukum yang harus mempergunakan undang-undang. Dalam
hukum Barat, pengertian perbuatan melawan hukum semakin lama
memperlihatkan sifat semakin meluas. Semakin banyak perbuatan-perbuatan yang
dahulu tidak termasuk “melawan hukum” sekarang termasuk istilah itu.[18]
Indonesia telah menganut pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti yang
luas. Hal ini dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung RI No. 3191 K/Pdt./1984
tentang kasus Masudiati v I Gusti Lanang Rejeg.[19] Mahkamah Agung memutuskan
mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah melakukan
perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan bahwa Tergugat telah melanggar
norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat sehingga menimbulkan
kerugian terhadap diri Penggugat. Dengan mendasarkan pada norma kesusilaan
dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis maka dapat
disimpulkan bahwa Pengadilan Indonesia telah menganut penafsiran luas mengenai
perbuatan melawan hukum.
1.3 Kriteria Perbuatan Melawan Hukum
Sejak putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum
Cohen, konsep perbuatan melawan hukum telah berkembang. Sejak itu terdapat 4
kriteria perbuatan melawan hukum:

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subyektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat
atau terhadap harta orang lain. Kriteria pertama dan kedua berhubungan dengan
hukum tertulis sedangkan kriteria ketiga dan keempat berhubungan dengan hukum
tidak terulis. Hofman menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan
hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:
1. Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan perbuatan);
2. Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan hukum);
3. Die daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus
menimbulkan kerugian pada orang lain);
4. De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang
dapat ditimpakan kepadanya).
Sejalan dengan Hofman, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syaratsyarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan
melawan hukum adalah sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan. Yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat
poitif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak
berbuat;
2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
3. Ada kesalahan;
4. Ada kerugian;
5. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan
kerugian;

Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum
tersebut, yaitu sebagai berikut:[20]
1. Adanya Suatu Perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya.
Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik

berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif). Oleh karena itu,
terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur “persetujuan atau kata
sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan”sebagaimana yang
terdapat dalam kontrak”.
2. Perbuatan Tersebut Melawan Hukum
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919,
unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi
hal-hal sebagai berikut:
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku;
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden);
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat
untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid,
welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzein van ander person of
goed)
3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdt. tentang Perbuatan Melawan Hukum,
undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah
mengandung unsur kesalahan (schuldement) dalam melaksanakan perbuatan
tersebut. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdt,
pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan
melawan hukum, hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya
apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Suatu tindakan dianggap
oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung
jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Ada unsur kesengajaan;
b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti
keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4. Adanya Kerugian Bagi Korban
Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian

karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena
perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, yurisprudensi juga
mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan dinilai dengan uang.

5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian
Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi
juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan
sebab akibat ada 3 macam teori, yaitu:
a. Teori Hubungan Faktual
Hubungan sebab akibat secara factual (causation in fact) hanyalah merupakan
masalah “fakta” atau apa yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang
mengakibatkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual,
asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam
hukum tentang perbuatan melawanhukum, sebab akibat jenis ini sering disebut
dengan hukum mengenai “sine qua non”. Von Buri merupakan salah satu ahli
hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.[21]

b. Teori Penyebab Kira-Kira
Teori ini bertujuan agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum
dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep proximate cause atau sebab
kira-kira. Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan
paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan
hukum. Kadang-Kadang untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal
cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.

c. teori adequate veroorzaking
yang dikemukakan oleh von kries, menurut teori ini, yang dianggap sebagai sebab
adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat
diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini akibatnya adalah kerugian. Jadi,
antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung
(hubungan sebab akibat).[22]
d. teori sebab akibat dalam ilmu sosial
ada 3 macam teori sebab akibat,[23]

1.

Causal mechanism

Teori ini menyatakan bahwa meskipun disertai dengan serangkaian peristiwa,
namun peristiwa yang disyaratkan dalam teori ini haruslah berada dalam suatu
keteraturan yang pasti, yang berada dalam satu rangkaian yang dapat diperkirakan
sebelumnya, teori ini tidak hanya membatasi pada hal-hal yang tampak nyata
sebagai akibat langsung, melainkan juga pada hal-hal yang dapat saja menjadi
akibat tidak langsung, selama dan sepanjang semua sebab akibat tersebut masih
berada dalam suatu keteraturan yang pasti.
2.

Inductive regularity, inilah yang akan menentukan ada tidaknya hubungan
causal atau sebab akibat.
3.

Necessary dan sufcient conditions.

Dengan mengetahui Necessary dan sufcient conditions ini orang akan lebih mudah
memahami apakah memang suatu akibat adalah karena sebab tertentu, apakah
sebab yang dikemukakan tersebut hanyalah semata-mata pencetus atau sesuatu
sebab yang mempermudah atau mempercepat terjadinya akibat tersebut, dan
bukan merupakan sebab pokok kenapa suatu akibat tertentu dapat terjadi.
1.4 Teori Relativitas (Schutznormtheorie) Dalam Perbuatan Melawan Hukum
Teori relativitas berasal dari hukum Jerman yang dibawa ke negeri Belanda oleh
Gelein Vitringa.65 Kata “schutz” secara harafah berarti “perlindungan”, sehingga
dengan istilah “schutznorm” secara harafah berarti “norma perlindungan”. Teori
relativitas atau schutznormtheorie merupakan pembatasan dari ajaran yang luas
dari perbuatan yang melawan hukum. Schutznormtheorie mengajarkan, bahwa
perbuatan yang bertentangan dengan kaidah hukum dan karenanya adalah
melawan hukum, akan menyebabkan si pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tersebut, bilamana norma yang dilanggar
itu dimaksudkan untuk melindungi penderita.[24] Contoh penerapan
schutznormtheorie dapat dilihat pada keputusan Hoge Raad Belanda tanggal 17
Januari 1958.[25] Schutznormtheorie tidak hanya mengenai norma hukum yang
diatur dalam undang-undang saja tetapi juga hukum yang tidak tertulis seperti
norma kepatutan, norma kesusilaan dan sebagainya. Schutznormtheorie berasal
dari suatu relativitas dari perbuatan yang melawan hukum, dengan pengertian
umpamanya, bahwa perbuatan tertentu dari A adalah melawan hukum terhadap B,
tetapi tidak melawan hukum terhadap C. Ada kemungkinan bahwa C menderita
kerugian karena perbuatan A, tetapi ia tidak dapat meminta ganti kerugian kepada
A karena perbuatannya itu melawan hukum terhadap B dan tidak terhadap C.
Schutznormtheorie sungguh kental dengan pro dan kontra. Di negeri Belanda, para
ahli hukum yang mendukung diterapkannya teori ini antara lain Telders, Van der
Grinten, dan Molengraaf. Bahkan Putusan Hoge Raad lebih banyak yang
mendukung schutznormtheorie. Adapun para ahli hukum Belanda yang menentang
penerapan Schutznormtheorie antara lain, Scholten, Ribius, Wetheim.[26]

Meyers berpendapat bahwa Schutznorm hanya tepat diberlakukan terhadap
perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Namun demikian, penerapan
schutznormtheorie sebenarnya dalam kasus-kasus tertentu sangat bermanfaat
karena alasan-alasan sebagai berikut:[27]
1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. tidak diperluas secara
tidak wajar;
2. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus di mana hubungan
antara perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif atau kebetulan saja;
3. Untuk memperkuat berlakunya unsur “dapat dibayangkan” (forseeability)
terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira-kira (proximate causation).
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa karena KUHPerdt. tidak memberikan indikasi
tentang berlaku atau tidaknya teori schutznorm ini, hakim tidak harus bahkan tidak
selamanya layak untuk menerapkan teori ini. Setidaknya hakim hanya cocok untuk
menggunakan teori ini kasus per kasus dan menjadi pedoman bagi hakim serta
menjadi salah satu dari sekian banyak alat penolong dalam mewadahi eksistensi
unsur keadilan dalam putusannya yang menyangkut dengan perbuatan melawan
hukum.[28]
Berdasarkan penafsiran luas tersebut di atas, pelanggaran hukum perdata tidak
saja
meliputi pelanggaran terhadap undang-undang tetapi meliputi pula pelanggaran
terhadap hukum tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Melanggar hak
subyektif orang lain dan melanggar kewajiban hukum pelaku merupakan
pelanggaran yang tercakup dalam undang-undang (absolute) sedangkan
bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan merupakan pelanggaran terhadap
hukum tidak tertulis (relatif). Setelah adanya Arrest tanggal 31 Januari 1919,
pengadilan-pengadilan selalu menganut penafsiran luas mengenai perbuatan
melawan hukum. Pembuat undang-undang modern menyadari bahwa undangundang tidak dapat mengatur semua hal dan karena itu menyerahkan kepada
penilaian hakim untuk mengambil keputusan. Membuat peraturan-peraturan secara
terinci, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan karena tidak dapat menampung
semua hal yang mungkin timbul kemudian hari. Peraturan yang terlalu rinci akan
memungkinkan bagi peneliti yang rajin untuk mencari kelemahan-kelemahannya
sebagai bahan argumentasi. Oleh karenanya bidang di mana hakim memberikan
keputusan terakhir menjadi semakin luas.[29]

BAB III HASIL PENELITIAN

1.

Posisi Kasus

PT. Atriumasta sakti menyatakan Bank syariah mandiri telah melakukan
wanprestasi dengan tidak mencairkan pembayaran tahap kedua dan menyatakan
perjanjian batal demi hukum karena perjanjian tersebut tidak sesuai dengan prinsip
syariah. Permasalahan ini diajukan kepada Badan Syariah Nasional (BASYARNAS)
oleh PT Atriumasta sakti yang membuahkan hasil putusan Basyarnas Nomor
16/2008/Basyarnas/Ka.Jak yang menyatakan bahwa Bank Syariah Mandiri telah
melakukan wanprestasi dengan tidak mencairkan pembayaran tahap kedua dan
menyatakan perjanjian tersebut batal demi hukum. Lalu, Bank Syariah Mandiri
mengajukan pembatalan putusan Basyarnas tersebut kepada pengadilan Agama
Jakarta Pusat yang menunjuk pada permohon I (Basyarnas) dan termohon II (PT.
Atriumasta Sakti) dengan hasil putusan bahwa putusan Basyarnas dilakukan
dengan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak atas kasus
terkait dan sesuai dengan pasal 70c Undang-undang Republik Indonesia nomor 30
tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (APS), putusan
tersebut harus dibatalkan. Kemudian Bank Syariah Mandiri tidak dapat dinyatakan
wanprestasi atas pelaksanaan akad pembiayaan murabahah Nomor 53/2005 yang
dinyatakan batal demi hukum dan putusan yang sama. PT Atriumasta sakti dan
Basyarnas kemudian mengajukan banding ke mahkamah Agung (MA) melawan
Bank Syariah Mandiri yang telah mengajukan pembatalan putusan Basyarnas sesuai
putusan pengadilan agama Jakarta pusat Nomor 792/Pdt.G/PA.JP. pokok dari
banding yang diajukan adalah mengenai yurisdiksi pengadilan agama jakarta pusat
untuk membatalkan putusan Basyarnas dan mengenai pertimbangan mengenai tipu
muslihat dalam pengambilan putusan Basyarnas yang membuahkan hasil putusan
MA Nomor 387/K/Pdt.Sus/2010 tentang perkara perbuatan melawan hukum.
2.

Hasil dan Pembahasan

a.
Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
387/K/Pdt.Sus/2010 menyatakan Bank Syariah Mandiri melakukan perbuatan
melawan hukum sesuai dengan rumusan diatas agar suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi
unsur-unsur perbuatan sebagai berikut:
1)

Adanya suatu perbuatan. Dikaitkan dengan putusan hukum hakim Mahkamah
Agung yang menyatakan Bank Syariah Mandiri melakukan perbuatan melawan
hukum adalah benar adanya karena bank syariah mandiri menuduh PT. Atriumasta
Sakti melakukan tipu muslihat yang tidak terbukti dengan putusan pengadilan,
maka hal tersebut bertentangan dengan norma kesusilaan.

2)
Perbuatan tersebut melawan hukum manakala pelaku tidak melaksanakan
apa yang diwajibkan oleh Undang-undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan,
maka perbuatan pelaku dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga
mempunyai konsekuensi tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa
dirugikan. Bank syariah mandiri menarik pihak majelis arbiter Basyarnas sebagai
pihak dalam perkara a quo sebagai pihak termohon bersama dengan PT. Atriumasta
Sakti. Hal ini dikategorikan sebagai cacat hukum formil error in persona dalam
bentuk diskualifkasi in person
3)
Adanya kerugian bagi korban. PT Atriumasta Sakti telah mengeluarkan uang
sebesar Rp878.791.366.00 (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus
sembilan puluh satu ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah) untuk pembayaran
provinsi bank, pembayaran uang asuransi proyek (PT asuransi Dayin Mitra),
pembayaran uang muka iuran Jamsostek, pembayaran uang retribusi kepada dinas
penataan dan pengawasan bangunan pemerintah propinsi DKI Jakarta, serta uang
pengembalian cicilan margin (nominal dapat dilihat pada amar putusan Basyarnas)
pada saat Bank syariah mandiri tidak mencairkan pembayaran tahap kedua
berdasarkan akad pembiayaan murabahah nomor 53 tahun 2005 dan juga
PT.Atriumasta Sakti telah mengalami kerugian immateril berupa waktu, tenaga dan
pikiran dengan tersedatnya Ruko Soho Marbella Square.
4)
Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Dalam kasus,
Bank Syariah Mandiri memenuhi unsur adanya kerugian yang ditanggung PT.
Atriumasta Sakti, maka dengan sendirinya unsur adanya hubungan sebab akibat
antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan menjadi terpenuhi.