Karakteristik Papan Komposit Dari Serat (1)

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

18

KARAKTERISTIK PAPAN KOMPOSIT DARI SERAT SABUT KELAPA DAN
PLASTIK POLIPROPILENA DAUR ULANG BERLAPIS ANYAMAN BAMBU
Characteristic of Composite Board Made From Coconut Fiber
and Recycled Polypropylene With Bamboo Matting Layers
Dina SETYAWATI1, Yusuf SUDO HADI2, Muh. YUSRAM MASSIJAYA2 dan Naresworo NUGROHO2

ABSTRACT
The objective of this research is to evaluate the
characteristic of composite board made from coconut fibre,
recycled polypropylene (RPP), and bamboo matting layers.
The board samples target density was 0,70 g/cm3. The board
construction type was core type composite board (three
layers). Coconut fiber and RPP were used as core, and
bamboo matting was used as face and back layers. RPP was
used 50% based on coconut fiber oven dry weight. The
bamboo sheet wide is 1 cm and 2 cm, with and without bark.
The bamboo matting layers were used in slope (45˚) and

perpendicular (0/90˚) orientation to length of the board. The
research results showed that utilization of bamboo matting
layers increase the mechanical properties of board. All of
composite board made from coir, RPP, and bamboo matting
layers fulfill the JIS A 5908 standard in density, thickness
swelling after 24 hours of water immersions, and screw holding
power. Only composite boards with bamboo matting layers
with bark, sheet wide 1 cm, and perpendicular orientation to
length of the board fulfill JIS A 5908 1994 standard for
veneered particleboard in MOE. However, application of
bamboo matting layers without bark is adviced better because
more efficient in the raw material using.
Keywords: Composites board, coconut fiber,
polyprophylene, bamboo matting layers

recycled

PENDAHULUAN
Penggunaan limbah serat sabut kelapa dan
plastik polipropilena (PP) daur ulang sebagai bahan baku

papan komposit sangat dimungkinkan karena potensinya yang
cukup besar di Indonesia (FAO, 1999; Hartono, 1998).
Mengacu pada Deptan (2002), serat sabut kelapa yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah bagian dari sabut kelapa
yang telah dipisahkan dari gabusnya.

1 Mahasiswa
2 Staf

Pada umumnya penelitian papan komposit kayu plastik
yang ada saat ini lebih terfokus pada extruded material dimana
serbuk kayu digunakan sebagai bahan pengisi atau penguat
(reinforcement) pada matriks termoplastik, dan baru sedikit
yang terfokus pada penggunaan plastik pada produk panel
seperti papan partikel maupun papan serat (Wolcott, 2003).
Selanjutnya dikatakan bahwa penggunaan termopastik dalam
pembuatan papan partikel dapat dilakukan dengan teknik
pengempaan panas.
Dari hasil penelitian Setyawati dan Massijaya (2005)
diketahui bahwa papan komposit dari serat sabut kelapa dan

plastik polipropilena (PP) daur ulang yang dibuat dengan jalur
papan partikel memiliki stabilitas dimensi yang tinggi, namun
keteguhan lenturnya masih rendah (11400 kg/cm2). Hal ini
disebabkan oleh rendahnya interfase antara plastik yang
bersifat hidrofobik dan serat sabut kelapa yang bersifat
hidrofilik. Penelitian Iswanto dan Febrianto (2005)
menunjukkan bahwa penambahan maleic anhydride (MAH)
sebesar 6% dari berat plastik, dan dicumyl peroxide (DCP)
sebanyak 15% dari berat MAH dapat meningkatkan modulus
elastisitas papan komposit dari serbuk kayu sengon dan PP
daur ulang sebesar 1,7 kali (15352 kg/cm2) dibandingkan
papan komposit tanpa penambahan MAH dan DCP (8886
kg/cm2). Namun nilainya masih belum memenuhi standar yang
digunakan (JIS A 5908 1994).
Cara lain untuk meningkatkan kualitas serta penampilan
papan komposit adalah dengan penambahan bahan pelapis
pada permukaan papan komposit tersebut. Dasar
pemikirannya adalah dengan adanya bahan pelapis
kemampuan papan untuk menerima beban akan meningkat
(Haygreen dan Bowyer, 1993). Bahan pelapis yang umum

digunakan adalah venir. Namun, dengan semakin terbatasnya
suplai bahan baku kayu untuk pembuatan venir, maka
pemanfaatan bahan-bahan lain sebagai bahan substitusi venir
perlu terus dikembangkan. Suhasman et al. (2005)
menggunakan pelapis karton gelombang serta kantong semen
pada permukaan papan wafer, sedangkan Xu et al. (1998)
serta Sudijono dan Subiyakto (2002) menggunakan bilah

Pascasarjana Sekolah Pascasarjana IPB, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Pengajar Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

19

bambu sebagai bahan pelapis papan partikel. Hasil-hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan bahan
pelapis alternatif tersebut dapat memperbaiki sifat mekanis

papan komposit.
Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik papan
komposit dari kombinasi serat sabut kelapa, plastik daur ulang,
dan bahan pelapis anyaman bambu serta menentukan jenis
anyaman bambu yang paling optimum untuk digunakan dalam
pembuatan papan komposit. Papan yang dihasilkan
diharapkan dapat mensubstitusi penggunaan papan komposit
yang ada saat ini, khususnya papan partikel.

atau bambu dalam bentuk anyaman dimanfaatkan sebagai
lapisan depan dan belakang. Sketsa konstruksi papan
komposit disajikan pada Gambar 1.
Pencampuran serat sabut kelapa dan butiran plastik PP
daur ulang dilakukan secara manual. Pada saat pembentukan
lembaran, venir atau anyaman bambu diletakkan pada bagian
muka dan belakang papan komposit. Selanjutnya dilakukan
pengempaan panas pada suhu 180 ˚C selama 20 menit.
Papan komposit yang telah jadi kemudian dikondisikan selama
1 minggu sebelum dipotong menjadi contoh uji. Pengujian
papan komposit dilakukan dengan mengacu pada standar JIS

A 5908 (1994) meliputi : kerapatan, kadar air, daya serap air,
pengembangan tebal setelah direndam 2 dan 24 jam,
modulus elastisitas (MOE), modulus patah (MOR), dan kuat
pegang sekrup. Penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap dengan lima kali ulangan.

BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serat
sabut kelapa (dijual di pasaran), yang dipotong dengan ukuran
panjang 5 cm, dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 ˚C
selama 24 jam untuk mencapai kadar air 4 – 6 %. Plastik PP
daur ulang berbentuk butiran (PT Sapari, Cianjur) digunakan
sebagai perekat dengan kadar 50% dari berat serat sabut
kelapa (Setyawati dan Massijaya, 2005). Sebagai bahan
pelapis digunakan anyaman bambu tali (Gigantochloa apus Bl.
Ex (Schult.f.) Kurz), dengan ukuran 30 cm x 30 cm dan tebal 2
mm. Anyaman bambu tersebut terdiri dari anyaman besar
(lebar bilah 2 cm) tanpa kulit, dan anyaman kecil (lebar bilah 1
cm) dengan dan tanpa kulit. Masing-masing terdiri atas pola
anyaman tegak lurus (0/90˚) maupun miring (45˚). Sehingga

terdapat 6 variasi jenis anyaman bambu. Venir dari jenis
Alstonia sp dengan ketebalan 2 mm digunakan sebagai bahan
pelapis pembanding, sedangkan papan komposit tanpa bahan
pelapis digunakan sebagai kontrol.
Papan komposit dibuat dengan ukuran 30 cm x 30 cm
dan tebal 1 cm, dengan kerapatan sasaran 0,70 g/cm 3. Pada
papan komposit dengan pelapis, serat sabut kelapa dan
limbah plastik dimanfaatkan sebagai core, sedangkan venir

tebal
1 cn

a

HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penampilan Papan Komposit
Permukaan papan komposit yang dibuat tanpa bahan
pelapis berwarna hitam seperti warna PP daur ulang. Pada
papan dengan pelapis venir, permukaan papan relatif bersih
dibandingkan papan komposit dengan pelapis anyaman

bambu. Hal ini karena pada anyaman bambu, seringkali
terdapat celah-celah kecil antar bilah yang memungkinkan
plastik PP daur ulang yang digunakan sebagai perekat keluar
anyaman (Gambar 2). Pengamatan secara visual pada pinggir
contoh uji memperlihatkan bagian inti atau core papan yang
berlubang-lubang kecil. Serat sabut kelapa masih dapat terlihat
karena ukurannya yang panjang menyebabkan tidak semua
bagian serat tertutup oleh plastik. Apalagi pencampuran
keduanya hanya dilakukan secara manual dan tanpa bahan
tambahan apapun.

Serat sabut kelapa dan PP

Bahan pelapis
tebal
1 cn

b

Serat sabut kelapa dan PP

Bahan pelapis

Gambar 1. Sketsa konstruksi papan komposit a). Tanpa Bahan Pelapis, b). Dengan Bahan Pelapis

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

20

B

A

E

F

C


D

G

H

Keterangan :
A = Tanpa pelapis, B = Venir, C = Bambu tanpa kulit (TK), pola anyaman tegak lurus, lebar 1 cm, D = Bambu TK, pola anyaman miring, lebar 1
cm, E = Bambu dengan kulit (DK), pola anyaman tegak lurus, lebar 1 cm, F = Bambu DK, pola anyaman miring, lebar 1 cm, G = Bambu TK,
pola anyaman tegak lurus, lebar 2 cm, dan H = Bambu TK, pola anyaman miring, lebar 2 cm.

Gambar 2. Penampilan papan komposit

Kerapatan
(g/cm3)

1.00
0.80
0.60
0.40

0.20
0.00

0.71

0.69

A

B

0.69 0.72

C

0.73

0.70

E

F

D

0.70 0.69

G

H

Jenis Bahan Pelapis

Keterangan : lihat keterangan Gambar 2

Kadar Air (%)

Gambar 3. Kerapatan papan komposit
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00

3.53
2.16

A

B

2.74
1.93

1.96

1.84

1.98

2.25

D

E

F

G

H

C

JIS 5908 1994
(5-13)

Jenis Bahan Pelapis

Keterangan : lihat keterangan Gambar 2
Gambar 4. Kadar air papan komposit

B. Sifat Fisis
1. Kerapatan
Hasil pengujian kerapatan papan komposit pada
penelitian ini relatif seragam dengan kisaran 0,69 - 0,73 g/cm3
(Gambar 3). Kerapatan papan komposit merupakan salah satu
sifat fisis yang sangat berpengaruh terhadap kualitas papan
komposit. Karena itu kerapatan papan komposit diupayakan
seseragam mungkin, sehingga perbedaan sifat-sifat papan
komposit yang dianalisis sedapat mungkin tidak disebabkan
oleh perbedaan kerapatan. Dari hasil sidik ragam diketahui

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

bahwa jenis bahan pelapis tidak berpengaruh nyata terhadap
kerapatan papan komposit.
2. Kadar Air
Kadar air merupakan sifat papan komposit yang
mencerminkan kandungan air papan komposit dalam keadaan
kesetimbangan dengan lingkungan sekitarnya. Hasil pengujian
kadar air papan komposit pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 4.

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

21

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai kadar air papan
komposit berkisar antara 1,84% - 3,53%. Nilai kadar air
tertinggi terdapat pada papan komposit kontrol, diikuti papan
komposit dengan bahan pelapis venir, dan terendah pada
papan komposit dengan bahan pelapis anyaman bambu
dengan kulit. Pada papan komposit kontrol, proporsi serat
sabut kelapa lebih besar dibandingkan papan tanpa bahan
pelapis. Diduga kemampuan serat sabut kelapa dalam
menyerap uap air setelah mengalami pengempaan panas lebih
besar dari bahan pelapis, sehingga kadar airnya menjadi lebih
tinggi. Selanjutnya dibandingkan anyaman bambu, venir lebih
mudah menyerap air karena permukaan papannya tidak
tertutup plastik (Gambar 2).
Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa kadar air
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Namun
demikian, semua papan komposit pada penelitian ini
mempunyai kadar air yang lebih rendah dari nilai yang
dipersyaratkan JIS A 5908 (1994), yaitu 5 – 13%. Rendahnya
kadar air pada papan komposit tersebut disebabkan PP daur
ulang yang digunakan sebagai perekat bersifat hidrofobik,
sehingga papan komposit tidak mudah menyerap uap air dari
lingkungan.

kayunya, yaitu pada bagian yang dekat dengan permukaan
papan bukan pada fase plastiknya.
Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa daya serap air papan
komposit dengan bahan pelapis cenderung lebih tinggi
daripada kontrol. Hal ini disebabkan pada saat direndam,
bahan pelapis bersifat lebih menyerap air daripada campuran
serat sabut kelapa dan PP daur ulang. Selanjutnya diketahui
bahwa papan komposit berlapis anyaman bambu memiliki
daya serap air lebih rendah daripada venir. Hal ini disebabkan
pada saat pengempaan panas, PP daur ulang yang telah
mencair dapat keluar melalui celah-celah anyaman bambu dan
membentuk lapisan pada permukaan anyaman sehingga
menghalangi masuknya air pada saat papan direndam atau
kontak langsung dengan air, sementara permukaan venir
relatif bersih sehingga lebih mudah menyerap air (Gambar 2).
Papan komposit berlapis anyaman bambu dengan kulit
cenderung menghasilkan nilai daya serap air yang lebih
rendah dibandingkan dengan papan komposit berlapis
anyaman bambu tanpa kulit. Hal ini disebabkan selain
terdapatnya lapisan lilin pada bagian luar kulit yang dapat
menghalangi masuknya air, juga disebabkan oleh perbedaan
struktur anatomi bambu pada bagian dalam, tengah dan luar.
Pada bagian luar, bambu tali memliki pori-pori dengan
diameter yang lebih kecil (0,078 mm – 0,105 mm)
dibandingkan dengan bagian tengah ( 0,15 – 0,176 mm) dan
bagian dalam (0,217 mm – 0,248 mm) (Nuriyatin, 2000).
Dengan demikian anyaman bambu tanpa kulit, lebih mudah
menyerap air dibandingkan bambu dengan kulit. Disamping itu,
pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa permukaan papan
komposit yang diberi lapisan anyaman bambu dengan kulit
cenderung lebih tertutup oleh lapisan PP daur ulang yang
keluar melalui celah-celah anyaman bambu. Hal ini
disebabkan anyaman bambu dengan kulit memiliki celah
anyaman yang lebih lebar daripada anyaman bambu tanpa
kulit, sehingga pada saat pengempaan, PP daur ulang yang
telah mencair lebih mudah keluar melewati celah tersebut dan
menutupi sebagian permukaan papan komposit. Pada
penelitian ini arah anyaman tidak berpengaruh nyata terhadap
daya serap air.

3. Daya Serap Air
Nilai rata-rata daya serap air papan komposit yang
direndam selama 2 jam dan 24 jam disajikan pada Gambar 5.
Nilai rata-rata daya serap air papan komposit yang direndam
selama 2 jam berkisar antara 4,74% - 9,61%. Adapun daya
serap air pada papan komposit yang direndam selama 24 jam
berkisar antara 13,88% - 21,59%. Walaupun PP daur ulang
yang digunakan sebagai perekat bersifat hidrofobik, namun
karena serat sabut kelapa yang digunakan berukuran besar
maka kemungkinan tidak seluruh sabut tertutup oleh perekat,
apalagi proses pencampuran dilakukan secara manual.
Dengan demikian air masih dapat masuk melalui baik melalui
rongga-rongga papan, pori-pori serat sabut kelapa maupun
bahan pelapis. Menurut Manning et al. (2006), meskipun
persepsi umum menyatakan bahwa serat kayu dalam produk
kayu plastik (WPC) terbungkus oleh plastik resin, namun pada
kenyataannya daya serap air tetap terjadi pada produk WPC
komersial. Daya serap air tersebut terjadi pada partikel-partikel

Daya Serap Air
(%)

2 jam
30
20
10

21.59
13.88
4.74

19.78

24 jam
20.98

8.92

7.96

9.61

B

C

D

13.99

14.06

13.88

4.84

5.07

4.79

E

F

G

17.29
7.76

0
A

H

Jenis Bahan Pelapis

Keterangan : sama dengan Gambar 2
Gambar 5. Daya serap air papan komposit setelah direndam selama 2 jam dan 24 Jam

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

Pengembangan Tebal
(%)

22

2 jam

12
8
4
0

24 jam

5.23
1.35
0.29

A

2.57
0.96

B

4.22
2.65

5.28
4.13

2.83

2.91
0.8

C

D
E
Jenis Bahan Pelapis

1.16

F

2.89
1.65

JIS 5908
1994

2.22

G

H

Keterangan : Sama dengan Gambar 2
Gambar 6. Pengembangan tebal papan komposit setelah direndam selama 2 dan 24 Jam
4. Pengembangan Tebal
Nilai rata-rata pengembangan tebal papan komposit
setelah direndam selama 2 jam dan 24 jam dalam air pada
suhu kamar disajikan pada Gambar 6.
Pengembangan tebal papan komposit setelah direndam
selama 2 jam bervariasi antara 0,29% - 2,83%, dan setelah
direndam selama 24 jam bervariasi antara 1,34% - 4,28%.
Semua nilai pengembangan tebal papan komposit pada
penelitian ini memenuhi standar JIS A 5908 (1994) yang
mensyaratkan pengembangan tebal selama 24 jam maksimum
12%. Rendahnya nilai pengembangan tebal papan komposit
ini sejalan dengan penelitian Zheng (1995), karena perekat
yang digunakan adalah plastik yang bersifat hidrofobik,
sehingga papan komposit yang dihasilkan lebih tahan terhadap
air. Walaupun daya serap air tetap terjadi, tetapi serat sabut
kelapa tidak seluruhnya mengembang karena tertutup oleh
plastik yang hidrofobik.
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pengembangan tebal
terendah terdapat pada papan komposit kontrol, dan tertinggi
pada papan komposit berlapis anyaman bambu tanpa kulit.
Pada umumnya pengembangan tebal papan komposit
berkorelasi positif dengan penyerapan airnya, artinya makin
banyak papan komposit tersebut menyerap air,
pengembangan tebal juga akan semakin tinggi. Pada
penelitian ini, papan komposit berlapis venir menghasilkan nilai
pengembangan tebal lebih rendah dari anyaman bambu,
walaupun nilai penyerapan airnya lebih tinggi. Hal ini diduga
disebabkan oleh adanya perbedaan struktur anatomi antara
kayu dan bambu. Menurut Haygreen dan Bowyer (1993)
apabila menyerap air, venir akan mengembang terutama
adalah pada arah transversal (lebar). Sedangkan pada bambu,
pengembangan cenderung ke arah tebal, karena pada bambu

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

tidak terdapat sel jari-jari yang dapat menahan pengembangan
ke arah tersebut (Nuriyatin, 2000). Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa papan komposit dengan anyaman bambu
tanpa kulit, dengan pola anyaman tegak lurus arah panjang
papan dan lebar bilah 1 cm tidak menghasilkan pengembangan tebal yang berbeda nyata dengan papan komposit
berlapis anyaman bambu miring dan lebar bilah 2 cm dengan
dan tanpa kulit setelah direndam selama 24 jam.
C. Sifat Mekanis
1. Modulus Elastisitas (Modulus of Elasticity (MOE))
Modulus elastisitas papan komposit yang dihasilkan
berkisar antara 0,83 x 104 kg/cm2 pada papan komposit tanpa
bahan pelapis hingga 6,30 x 104 kg/cm2 pada papan komposit
dengan anyaman bambu 1 cm dengan kulit (Gambar 7). Dari
hasil penelitian ini diketahui bahwa penggunaan anyaman
bambu dapat meningkatkan nilai modulus elastisitas sebesar 2
hingga 7,5 kali dibandingkan dengan papan komposit tanpa
penambahan pelapis. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Lee et al. (1997) maupun Suhasman et al. (2005)
yang menyatakan penambahan bahan pelapis pada papan
komposit dapat meningkatkan kekuatan papan. Hal ini
disebabkan pada saat papan diberi beban, bagian papan yang
menerima beban tekan dan tarik paling besar adalah pada
bagian permukaan. Oleh karena itu dengan adanya lapisan
venir maupun anyaman bambu papan pada permukaan papan,
kemampuan papan komposit untuk menahan beban tersebut
menjadi lebih besar dikarenakan sifat mekanik bambu yang
tinggi, sehingga dapat meningkatkan kekuatan papan yang
dihasilkan.

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

Modulus
Elastisitas
(104
kg/cm2)

6.30

5.3

6

LW (4,59)
3.77

3.30

4
2

23

2.07

1.7

0.83

1.48

0
A

B

C

D

E

F

G

JIS 5908 1994
Veneered
Particleboard

H

Jenis Bahan Pelapis

Keterangan : lihat keterangan Gambar 2
Gambar 7. Modulus elastisitas papan komposit

Dari hasil sidik ragam diketahui bahwa jenis bahan
pelapis berpengaruh nyata terhadap modulus elastisitas
papan. Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa papan komposit
dengan bahan pelapis anyaman bambu dengan pola anyaman
tegak lurus (arah bilah sejajar dan tegak lurus arah panjang
papan) mempunyai nilai MOE yang lebih tinggi dibandingkan
papan komposit dengan anyaman bambu miring, pada semua
tipe anyaman. Menurut Haygreen dan Bowyer (1993)
kemiringan serat dapat menyebabkan penurunan kekuatan
dalam lengkungan maupun tekanan sejajar serat, dimana
besarnya penurunan tersebut berbeda-beda berdasarkan
proporsi kemiringan yang terjadi.
Fenomena ini juga terdapat pada penelitian Nugroho
(2000) yang meneliti pengaruh perbedaan orientasi lembaran
pada pembuatan bambu laminasi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan apabila beban diberikan pada papan dengan
sudut tertentu, maka modulus elastisitas papan akan menurun
sebanding dengan meningkatnya sudut yang terjadi.
Selanjutnya dikatakan bahwa walaupun hasil yang diperoleh
dapat bervariasi dikarenakan sifat kayu maupun bambu yang
anisotropis, namun besarnya modulus elastisitas papan
komposit pada berbagai orientasi kemiringan serat dapat
diduga dengan menggunakan rumus Hankinson. Selanjutnya
dikatakan bahwa bambu laminasi yang dibuat dengan
kemiringan 10° akan menurunkan kekuatan sebesar 4 %,
sedangkan pada kemiringan 30° akan menurunkan kekuatan
lebih dari 20 %.
Modulus elastisitas papan komposit berlapisan anyaman
bambu dengan kulit lebih tinggi dibandingkan papan komposit
tanpa kulit. Hal ini disebabkan pada bagian kulit atau luar
papan terdapat lapisan sel sklerenkim yang panjang, dan
memiliki dinding sel yang lebih tebal dibandingkan pada

bambu bagian dalam, sehingga berperan dalam kekuatan
bambu. Menurut Janssen (1980), modulus elastisitas pada
bambu ditentukan oleh jumlah sel sklerenkim yang terdapat
dalam ikatan vaskular bambu. Selanjutnya Nuriyatin (2000)
menyatakan bahwa susunan ikatan vaskular pada bambu tali
bagian luar lebih banyak dan lebih rapat dibandingkan dengan
ikatan vaskular pada bagian tengah dan bagian dalam.
Dengan demikian kekuatan anyaman bambu dengan kulit lebih
besar dibandingkan anyaman bambu tanpa kulit.
Berdasarkan standar JIS A 5908, nilai modulus
elastisitas papan berlapis venir pada sejajar arah panjang
papan minimal adalah 4,59 x 104 kg/cm2, dengan demikian
pada penelitian ini hanya papan komposit berlapis venir dan
anyaman bambu tegak lurus dengan kulit yang memenuhi
standar tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena bambu
dalam bentuk anyaman tersusun atas bilah-bilah dengan arah
serat yang tidak seragam, yaitu tegak lurus maupun miring
atau dengan kata lain membentuk sudut dengan arah panjang
papan, sehingga mempengaruhi kekuatan papan komposit
yang dihasilkan.
2. Modulus Patah (Modulus of Rupture (MOR))
Nilai rata-rata modulus patah papan komposit berkisar
antara 159 kg/cm2 - 397 kg/cm2 disajikan pada Gambar 8.
Secara umum, modulus patah papan komposit pada penelitian
ini cenderung meningkat dengan penambahan bahan pelapis.
Nilai modulus patah tertinggi dihasilkan oleh papan komposit
berlapis venir (397 kg/cm2) diikuti papan komposit berlapis
anyaman bambu dengan kulit dengan arah tegak lurus (303
kg/cm2).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

Modulus Patah
2
(kg/cm )

24

400
300
200
100
0

397

303
189

174

A

B

C

215

186

175

D

E

F

159

G

JIS A 5908 1994
(Veneered Particleboard)
LW(306)

H

Jenis Bahan Pelapis

Keterangan : lihat keterangan Gambar 2
Gambar 8. Modulus patah papan komposit

Berdasarkan standar JIS A 5908, nilai MOR pada searah
panjang papan untuk tipe papan berlapis venir minimal 306
kgf/cm2, dengan demikian pada penelitian ini hanya papan
komposit berlapis venir yang dapat memenuhi standar
tersebut. Namun apabila digunakan standar dengan nilai MOR
pada arah lebar papan (karena anyaman bambu memiliki arah
serat yang berlawanan) maka semua papan komposit telah
memenuhi standar tersebut (153 kgf/cm2).

Kuat Pegang Sekrup
(kgf)

Dari hasil sidik ragam diketahui bahwa papan komposit
berlapis venir dan anyaman bambu dengan kulit pola anyaman
tegak lurus dan lebar bilah 1 cm berbeda nyata dengan papan
lainnya. Sedangkan antara papan kontrol dengan papan
komposit lainnya (selain kedua papan di atas) tidak
menunjukkan perbedaan nilai MOR yang nyata. Ini berarti
walau terjadi peningkatan nilai modulus patah dengan
penambahan anyaman bambu namun ternyata peningkatan
tersebut tidak signifikan. Fenomena ini mengindikasikan
bahwa meskipun penggunaan anyaman bambu cukup
signifikan meningkatkan nilai MOE tetapi di sisi lain tidak
menunjukkan perbaikan berarti pada MOR. Hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian Sudijono dan Subyakto (2002) yang
menyatakan MOR papan partikel dengan bahan pelapis bilah
bambu tali setebal 2 mm adalah 232,8 kg/cm2 pada searah
panjang papan, sedangkan MOR papan partikel tanpa bahan
pelapis adalah 83,9 kg/cm2. Hal ini disebabkan bilah bambu
memiliki arah serat yang lurus seperti pada venir, sedangkan
anyaman bambu arah seratnya saling tegak lurus, sehingga
walaupun bahan pelapis pada penelitian ini dibuat dengan
jenis bambu dan ketebalan yang sama (2 mm) dengan
penelitian Sudijono dan Subiyakto, kontribusinya terhadap
kekuatan papan komposit tidak terlalu nyata.

100
80
60
40
20
0

76.60

72.10

3. Kuat Pegang Sekrup
Di dalam JIS A 5908 1994, nilai kuat pegang sekrup tidak
disyaratkan untuk papan komposit dengan ketebalan di bawah
15 mm. Namun demikian untuk memperoleh informasi yang
lebih lengkap tentang sifat mekanis papan, maka dalam
penelitian ini dilakukan pengujian tersebut. Nilai rata-rata kuat
pegang sekrup papan komposit disajikan pada Gambar 9. Dari
Gambar 9 dapat dilihat bahwa kuat pegang sekrup papan
komposit yang paling rendah terdapat pada papan tanpa
lapisan (47,5 kg) dan tertinggi pada papan berlapis venir
(76,63 kg) diikuti papan berlapis anyaman bambu tanpa kulit
dengan anyaman tegak lurus (72,13 kg).

70.90
62.20

59.60

68.90

63.50

47.50

A

B

C

D

E

F

G

H

Jenis Bahan Pelapis

Keterangan : sama dengan Gambar 13
Gambar 9. Kuat pegang sekrup papan komposit

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

JIS A 5908
Veneered Particleboard
(5,1)

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

25

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan jenis bahan
pelapis berpengaruh nyata terhadap kuat pegang sekrup
papan komposit. Semua papan dengan bahan pelapis berbeda
nyata dengan kontrol. Sedangkan papan komposit berlapis
venir berbeda nyata dengan papan berlapis anyaman bambu
berkulit arah serat tegak lurus dan anyaman bambu tanpa kulit
baik dengan arah miring maupun tegak lurus. Adapun antar
jenis anyaman bambu tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Menurut Haygreen dan Bowyer (1993), kekuatan
menahan sekrup terutama ditentukan oleh kerapatan papan.
Akan tetapi, walaupun kerapatan papan komposit yang
dihasilkan pada penelitian ini secara umum bisa dikatakan
sama, adanya perbedaan jenis bahan baku, ukuran dan variasi
antara muka dan inti akan mempengaruhi kemampuan papan
komposit dalam menahan sekrup. Selain kontrol, semua nilai
kuat pegang sekrup papan komposit pada penelitian ini telah
memenuhi standar JIS A 5908, yaitu minimal sebesar 51 kg.
Nilai kuat pegang sekrup yang memadai sangat penting dalam
pengerjaan papan seperti dalam pembuatan mebel yang
membutuhkan sekrup atau paku sebagai pengencang
sambungan.

maka disarankan digunakan anyaman bambu tanpa kulit
dengan pola anyaman tegak lurus dan lebar bilah 1 cm.

C. Optimalisasi Anyaman Bambu
Dari hasil penelitian ini diketahui papan komposit berlapis
anyaman bambu dengan kulit dan arah anyaman tegak lurus
mempunyai sifat fisis dan mekanis yang lebih baik (kecuali
keteguhan tarik tegak lurus permukaan) dibandingkan dengan
jenis anyaman bambu lainnya. Akan tetapi bila diterapkan
untuk keperluan skala industri, penggunaan anyaman bambu
dengan kulit menyebabkan pemborosan bahan baku. Hal ini
disebabkan rendemen yang dihasilkan sangat rendah, yaitu
sekitar 16 – 20%, karena hanya bagian luar batang bambu
saja yang dapat dipergunakan sedangkan bagian lainnya
dianggap limbah. Karena itu dalam aplikasi selanjutnya,
penggunaan anyaman bambu tanpa kulit lebih disarankan,
khususnya dengan lebar bilah 1 cm. Ini dikarenakan diameter
bambu tali tidak terlalu lebar, sehingga lebih mudah
memperoleh bilah berukuran 1 cm dibandingkan 2 cm. Di
samping itu dari hasil pengujian papan komposit, tidak terdapat
perbedaan sifat fisis dan mekanis yang nyata antara papan
komposit dengan lebar bilah 1 cm dan 2 cm.
KESIMPULAN
Penggunaan bahan pelapis bambu pada bagian muka
dan belakang papan komposit dapat meningkatkan sifat
mekanis papan komposit. Semua papan komposit berlapis
anyaman bambu memenuhi standar JIS A 5908 1994 untuk
sifat pengembangan tebal dan kuat pegang sekrup. Modulus
elastisitas papan komposit berlapis anyaman bambu dengan
kulit dan pola anyaman tegak lurus dengan lebar bilah 1 cm
memenuhi standar JIS A 5908 untuk type veneered
particleboard. Ditinjau dari efisiensi penggunaan bahan baku,

DAFTAR PUSTAKA
[Deptan] Departemen Pertanian (2002) Pengolahan sabut
kelapa. http://www. indonext.com/ report/ report377.html
[20 Juli 2005]
[FAO] Food and Agricultural Organization (1999) Improvement
in Drying, Softening, Bleaching, Dyeing Coir Fibre/Yarn
and
in
Printing
Coir
Floor
Coverings.
www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCRE
P/005/Y3612E/y3612e03.htm (6 Maret 2006)
Hartono ACK. 1998. Daur ulang limbah plastik dalam
pancaroba: diplomasi ekonomi dan pendidikan. Jakarta:
Dana Mitra Lingkungan.
Haygreen JG, Bowyer JL (1993) Forest Products and Wood
Science An Introduction. The Iowa State University
Press, Ames. IOWA
Iswanto AS, Febrianto F (2002) The role of dicumyl peroxide
(DCP) in the strengthening of polimer composites.
Peronema. Forestry Science Journal 1(2):46-49
Janssen JJA (1980) The mechanical properties of bamboo
used in construction. Bamboo Research in Asia.
Proceedings of Workshop. Singapore,May 28 – 30, 1980.
[JSA] Japanese Standards Association (1994) Particleboards.
Japanese Industrial Standard (JIS) A 5908-1994. Japan.
Lee AWC, Bai X, Bangi AP (1997) Flexural properties of
bamboo-reinforced Southern Pine OSB beams. Forest
Products Journal 47(6): 74 – 78
Manning MJ, Ascherl FM, Mankowski ME (2006) Wood-plastic
composite durability and the compelling case for field
testing In: Yusoff MNM et al. editor. Advance and
Challenges in Biocomposites Symposium. Proceedings
of the 8th Pacific Rim Bio-Based Composites; Kuala
Lumpur: 20 – 23 November 2006.
Nugroho N (2000) Development of processing methods for
bamboo composite materials and its structural
performance. [Ph.D Dissertation]. Tokyo Japan : Tokyo
University
Nuriyatin N (2000) Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada
beberapa penggunaan. [Thesis] Program Pascasarjana
IPB (tidak dipublikasikan)
Setyawati D, Massijaya MY (2005) Pengembangan papan
komposit berkualitas tinggi dari sabut kelapa dan plastik
polipropilena daur ulang (I): suhu dan waktu kempa
panas. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 18(2): 91 -101

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

Mahasiswa
Pascasarjana
Sekolah
Pascasarjana 26
IPB, Staf
Pengajar

Sudijono, Subyakto B (2002) Bending and shear properties of
low density particleboard laminated with zephyr of Tali
bamboo In: Dwianto W, Yusuf S, Hermiati E,
Suryanegara L, editor. Proceedings of the International
Wood Science Symposium. JSPS-LIPI Core University
Program; Serpong, 2 – 5 September 2002.
Suhasman, Massijaya MY, Hadi YS (2005) The effect of face
and back layer types on composite board quality In:
Dwianto W, editor. Towards Ecology and Economy
Harmonization of Tropical Forest Resources. Proceeding
of the 6th International Wood Science Symposium LIPIJSPS Core University in Field of Wood Science. August
29-31 2005. Bali Indonesia

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): 18-26 (2008)

Karakteristik Papan Komposit dari Serat Sabut Kelapa

Wolcott, MP (2003) Formulation and process development of
flat-pressed wood-polyethylene composites. Forests
Product Journal 53(9): 25 -32
Xu H, Tanaka C, Nakao T, Katayama H (1998) Mechanical
properties of plywood reinforced by bamboo or jute.
Forest Product Journal 48(1) : 81 – 85
Zheng W (1995) A wood-or bamboo-plastic composites board
with waste plastic [abstrak]. In: Proceedings of
Woodfiber-Plastic Composites: Virgin and Recycled
Woodfiber and Polymers for Composites. Madison, 1- 3
Mei 1995.