PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA REPUBLIK

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (SEBUAH ANTITESIS)
Saya akan memaparkan beberapa ide tentang dasar negara Republik Indonesia, yaitu
Pancasila dari dua karya ilmiah. Buku perta a erjudul Isla da Pa asila “e agai Dasar Negara:
Studi te ta g Perde ata dala Ko stitua te karya dari Ah ad “yafii Maarif. Buku kedua erjudul
Negara Buka -Bukan?: Driyarkara tentang Pancasila dan Persoalan Relasi antara Agama dan
Negara karya dari “il a o Keo Bhaghi. Kedua buku tersebut membahas topik yang hampir serupa
namun dengan keilmuan dan sudut pandang berbeda. Buku pertama menjelaskan bagaimana
terjadinya perdebatan mengenai dasar negara Republik Indonesia oleh para tokoh nasional dan latar
belakang ide mengapa hal tersebut terjadi disertai perbandingan dari berbagai sumber literatur
sejarah, sedangkan buku kedua lebih menjelaskan tentang filsafat Pancasila dari Driyarkara serta
permasalahan hubungan antara agama dan negara di dalamnya.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada yang bersangkutan, mungkin kita masih ingat
dengan pidato Habib Rizieq Shihab (HRS) tentang Pancasila yang kontroversial itu. Sedikit saya
sambungkan dengan pidato tersebut, jauh sebelum pidato tersebut dilakukan, Ahmad Syafii Maarif
(Buya Syafii) telah menyelesaikan disertasinya dengan pembahasan yang mirip dengan pidato HRS
mengenai perdebatan dalam terbentuknya Pancasila. Judul asli disertasi Buya Syafii tersebut adalah
Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent
Assembly Debates in Indonesia ya g perta a kali diter itka
e ggu aka ahasa I do esia pada
tahun 1985. Oleh karena itu, selain Buya Syafii berusia lebih tua 30 tahun dibandingkan HRS, kita
harus menghormatinya sebagai intelektual Muslim yang karyanya merupakan sumbangan penting

dalam kajian politik Islam di Indonesia. Untuk itulah saya merasa berkepentingan memaparkan ideide yang terkandung dalam buku karya Buya Syafii tersebut.
Dalam bukunya yang diterbitkan kembali pada Maret 2017, Buya Syafii membagi buku
tersebut terdiri dari lima bab. Pendahuluan yang diletakan pada Bab 1 menegaskan antara Islam citaita da Isla sejarah, e gutip dari tulisa Fazlur ‘ah a , Harus ada kaita ya g positif dan
dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin. Menjadi sama pentingnya bagi gerak
yang demikian itu agar yang ideal (cita-cita) selalu berada pada posisi yang lebih tinggi. Bila tidak
demikian, kesadaran nurani menjadi tumpul dan yang aktual menjadi mandek sampai ke suatu titik
di mana kepentingan (cita-cita) merosot menjadi kepentingan golongan atau malah semata-mata
terperosok dalam pe e uha kepe ti ga i di idu. Dengan ungkapan lain, perjuangan umat Islam
Indonesia, sekalipun tidak berhasil, adalah bagian dari usaha strategis mereka untuk
mengaktualisasikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang mereka
pahami. Pada Bab 2 dipaparkan pengertian singkat dan tepat tentang Al-Quran dan Nabi disertai
teori-teori politik yang dirumuskan oleh para yuris Muslim abad pertengahan dan oleh sarjanasarjana serta pemikir-pemikir Muslim modern. Bab 3 bertitik berat pada mendekati Islam Indonesia
di abad ke-20, yang tidak saja bersifat deskriptif-historis, tetapi juga analisis-evaluatif. Hal itu
dimaksudkan untuk memberikan suatu latar belakang sejarah yang komprehensif. Dalam Bab 4
diuraikan secara kritis masalah yang sangat krusial, yaitu pengajuan Islam sebagai dasar falsafah
negara oleh partai-partai Islam. Juga prospek dan kemungkinan-kemungkinan hari depan Islam di
Indonesia. Kemudian Bab 5 sebagai kesimpulan dari studi yang dilakukan.
Ada beberapa hal menarik dibahas dalam buku pertama yang akan saya paparkan di sini.
Salah satunya ialah sejarah karier Nabi Muhammad baik di masa Mekah (610-622 M) maupun di
Page 1 of 14


masa Madinah (622-632 M). Jika di sana tampak perbedaan, hal itu terutama terletak dalam
kenyataan bahwa Nabi tidak punya kekuasaan politik untuk menyokong misi kenabiannya pada masa
Mekah, sementara di Madinah, beliau sebagai kepala politik-agamanya, sekalipun beliau tidak
pernah menyatakan dirinya sebagai seorang penguasa. Berbeda dengan kedudukan Nabi Daud yang
pada waktu yang sama juga berfungsi sebagai raja, Nabi Muhammad tidak pernah menyatakan diri
sebagai penguasa, apalagi sebagai raja. Dalam hubungan ini, pendapat Ibn Taimiyah menekankan
bahwa kekuasaan politik disimbolkan oleh pedang menjadi sesuatu yang esensial dan mutlak bagi
agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama. Dengan ungkapan lain, politik atau negara hanyalah
sebagai alat agama; ia bukan ekstensi dari agama. Seluruh karier politik Nabi Muhammad
menguatkan penjelasan tersebut. Bahkan istilah daulah yang berarti negara tidak dijumpai dalam AlQuran; istilah daulah (QS. 59: 7) memang ada tapi bukan bermakna negara, melainkan dipakai
secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Dengan kata lain,
Al-Quran tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti dan kering harus diikuti oleh
umat Islam di berbagai negeri. Alasan untuk ini tidak sulit untuk dicari. Pertama, Al-Quran pada
prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia; ia bukanlah sebuah kitab ilmu politik. Kedua, sudah
merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu
berubah dari masa ke masa.
Segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, masyarakat Islam yang masih muda itu telah
dihadapkan kepada sebuah krisis kontitusional. Tentang siapa yang harus menggantikannya sebagai
kepala komunitas Islam yang telah didirikannya itu. Baik Al-Quran maupun Sunnah Nabi tidak

membedakan perintah-perintah yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga
politik lainnya sebagai cara bagi umat mempertahankan persatuan. Dihadapkan kepada suasana
ketegangan politik ini, umat Islam harus mencari suatu cara yang masuk akal dan damai untuk
memecahkan masalah penggantian kepemimpinan itu. Sebelum wafat, Nabi telah berpikir untuk
menciptakan suatu perimbangan kekuatan antara kaum Muhajirin dan Ansar sebagai penduduk
Madinah. Akhirnya, setelah melalui sebuah diskusi yang panjang dan panas antara kedua kekuatan
itu di Balai Banu Saidah, tokoh Muhajirin Abu Bakar dipilih sebagai khalifah yang pertama
menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin umat. Dengan demikian, istilah kekhalifahan secara
ketat menunjuk kepada periode sesudah Nabi; begitu juga istilah imamah sebagai suatu konsep
politik yang dikembangkan oleh para yuris abad pertengahan adalah hasil perumusan belakangan.
Namun istilah imam (pemimpin politik) dapat dipasangkan kepada posisi Nabi dalam pengertian ia
juga berfungsi sebagai pemimpin yang efektif. Landasan yang kita pakai di sini hanyalah sematamata landasan fakta sejarah, bukan karena Nabi menyebut dirinya sebagai seorang imam. Bila
diperiksa lebih jauh, pertemuan di Balai Banu Saidah menjadi titik tolak yang sangat penting dalam
sejarah politik Islam pada masa awal. Pertemuan ini dapat disebut sebagai pelaksanaan syura
pertama di kalangan umat setelah wafatnya Nabi. Pada hari berikutnya, pemilihan Abu Bakar
dikuatkan oleh ij a’ (konsensus) umat Islam. Ij a’ pertama inilah yang menjadi dasar bagi teori
politik golongan Sunni.
Ada dua faktor dominan yang memberikan latar belakang sosiologis kepada teori golongan
Sunni tentang masalah kekhalifahan dan imamah. Pertama, adanya kemunduran politik imperium
Abbasiyyah. Manakala gejala kemerosotan semakin kentara, maka semakin spekulatiflah para yuris

merumuskan doktrin politiknya. Untuk alasan ini mereka berani menggunakan Hadits politik apapun
tanpa dipertanyakan secara kritis. Dalam banyak kasus, doktrin mereka terutama mencerminkan
Page 2 of 14

kepentingan tipe Islam Imperium, bukan Islam Al-Quran. Tujuan teori ini terutama mempertahankan
integritas, stabilitas dan keamanan sebuah imperium, sekalipun mengabaikan prinsip syura,
persamaan bagi umat Islam tanpa memandang ras, asal-usul dan hubungan darah dengan Nabi.
Kedua, faktor bagi penyebab corak apologetik bagi teori golongan Sunni ialah adanya serangan
efektif di ida g politik, aga a da i telektual dari golo ga “yiah, Kha arij da Mu tazilah
terhadap kekuasaan Abbasiyyah. Sebagai konsekuensi logis dari tekanan sejarah ini, para yuris Sunni
mengembangkan doktrin mereka untuk berurusan dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi.
Yuris Sunni pertama yang menyusun teori tentang khilafah dengan cara yang sedikit
sistematis ialah Abu Bakar Muhammad ibn al-Thayyib i Muha
ad i Ja far i al-Qasim alBaqillani al-Basri, seorang pengikut mazhab Maliki, yang meninggal pada 1013 M. Karakter defensif
dari teori yang dikemukakan dalam bukunya sebagai sebuah karya penolakan (radd) terhadap
golongan Syiah, Khawarij da Mu tazilah. Tentang mekanisme pemilihan, al-Baqillani hanya
mengikuti pandangan mentornya, Abu al-Hasan al-Asy ari, salah seora g pe diri teologi “u i, ya g
berpendapat bahwa imamah ditegakan melalui pemilihan dan tidak dengan penetapan. Butir
penting lainnya dari al-Baqillani ialah penolakannya tentang legitimasi adanya dua imam atau lebih
pada waktu yang bersamaan. Sementara itu, seperti halnya yuris-yuris Sunni lainnya pada periode

sebelum serangan Mongol, al-Baqillani juga berpendirian bahwa seorang imam haruslah keturunan
Quraisy. Meskipun al-Baqillani adalah pengikut al-Asy ari, ia tidak e ye utka doktri
e tor ya
itu tentang imamah adalah wajib karena wahyu dan bukan karena pertimbangan akal.
Adapun yuris Sunni yang lain, Abu al-Hasan al-Mawardi, pengikut mazhab Syafi i, yang
meninggal pada 1058 M. Karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyah (Ordonasi Pemerintahan) ditulis dalam
usaha mempertahankan otoritas khalifah Abbasiyyah terhadap amir-amir Buwahiyah yang
menguasai negara mereka secara efektif. Dalam teorinya, al-Mawardi tidak hanya menolak klaim
golongan Syiah untuk imamah, bahkan yang lebih penting lagi ia menekakan bahwa khalifah
haruslah seorang penguasa aktif dan tidak sebagai figur simbol. Al-Mawardi menegaskan bahwa
institusi imamah berasal dari perintah agama lewat ij a’ (konsensus). Menurut teorinya, institusi
imamah hanyalah mungkin manakala konsep taat melekat pada institusi ini. Lalu ia simpulkan bahwa
wajib bagi umat Islam untuk menunjukkan taat kepada pihak yang berkuasa atas mereka, yaitu para
pemimpin (al-a’i
ah) yang dipercayai memikul tugas ini, tidak peduli apakah mereka baik atau
buruk. Dengan demikian, taat kepada para khalifah adalah kewajiban agama. Inilah salah satu alasan
mengapa gagasan syura sulit sekali berkembang dalam pemikiran politik Islam, karena lingkungan
untuk itu tidak menguntungkan. Para penguasa hanya mengeksploitasi doktrin para yuris untuk
kepentingan mereka sendiri. Berbicara prosedur penggantian imam, menurut al-Mawardi, imam
dapat diangkat melalui pemilihan oleh ahl al-hall wa al-a’a d atau boleh melalui penetapan imam

yang masih memerintah. Al-Mawardi menolak pendapat yang membolehkan adanya dua imam atau
lebih pada waktu yang bersamaan, namun memperbolehkannya jika wilayah kekuasaannya terpisah
jauh. Posisi al-Mawardi ini jelas untuk menolak tuntutan pihak Fatimiyah yang berkuasa di Mesir
dan merupakan ancaman politik terhadap kerajaan Abbasiyyah.
Pada periode pasca Mongol, terdapat yuris ternama, yaitu Taqi al-Din Ahmad ibn Abd Halim
ibn Taimiyah (1263-1328 M). Ibn Taimiyah adalah pengikut mazhab Hanbali. Ibn Taimiyah adalah
salah satu yuris yang dengan keras menekankan bahwa hak untuk berijtihad terbuka bagi setiap
Muslim yang mempunyai kemampuan. Pendapat yang mengatakan bahwa hak untuk berijtihad

Page 3 of 14

dimonopoli oleh para pendiri empat mazhab ditolak sepenuhnya oleh Ibn Taimiyah. Dalam
mempertahakan prinsip ijtihad, Ibn Taimiyah hampir berdiri sendirian saat yuris-yuris yang lain
mengajarkan taklid (penerimaan sebuah otoritas tanpa dipertanyakan) kepada rakyat. Sekalipun ia
pengikut mazhab Hanbali, Ibn Taimiyah tampaknya lebih merupakan seorang yuris dan pemikir
bebas. Karyanya tentang berbagai aspek Islam banyak sekali, di antara yang masih selamat itu adalah
bukunya yang terkenal Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd Kalam al-Syiah wa al-Qadariyyah
(Metode Sunnah Nabi dalam Menolak Doktrin Syiah dan Qadariyyah) dalam empat jilid dan alSiyasat al-S a ’i ah (Administrasi Politik Syariat). Kitab Minhaj adalah penolakan Ibn Taimiyah
terhadap penulis Syiah Ibn Muthahhar al-Hilli dalam sebuah bukunya yang berisi bujukan terhadap
raja Mongol agar memeluk Islam Syiah. Al-Siyasah adalah karya yang lebih bercorak spekulatif,

sekalipun pada dasarnya membicarakan administrasi syariat, bukan ilmu politik. Cita-cita syariat
hanyalah mungkin diterjemahkan ke dalam kenyataan dan terwujud dalam kehidupan masyarakat
bilamana dilindungi dan dijaga oleh pedang penolong . Pedang ini tidak lain dari wilayah (organisasi
politik). Akan tetapi, karena kekhalifahan telah berlalu, Ibn Taimiyah tidak berminat lagi berspekulasi
tentang isu khilafah ini sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulunya. Perhatiannya beralih
dari isu khilafah kepada persoalan syariat sebagai satu-satunya dasar pengikat masyarakat Islam. Ibn
Taimiyah juga berpendirian bahwa umat wajib menaati kekuasaan politik yang bagaimanapun.
Penerimaannya atas hadis-hadis politik secara tidak kritis dengan tujuan agar umat Islam dan
pemimpin politiknya tetap utuh. Namun dalam polemiknnya dengan al-Hilli yang berpendapat
bahwa imamah adalah wajib karena Tuhan, Ibn Taimiyah dengan tegas menolak klaim semacam ini.
Alasannya ialah karena Iman kepada Allah dan Rasul-Nya lebih penting dari masalah imamah.
Seruannya untuk kembali kepada Al-Quran dan Sunnah serta pemberontakannya terhadap pendapat
bahwa pintu ijtihad telah tertutup merupakan sumbangannya bagi perkembangan pemikiran Islam
yang kreatif. Oleh sebab itu, ia tidak keberatan untuk melihat kemungkinan adanya beberapa negara
Islam pada satu waktu. Menurut pendapatnya, tidaklah dilarang agama manakala beberapa negara
Islam saling berdampingan. Ibn Taimiyah memang menekankan pentingnya syura itu bagi kehidupan
masyarakat. Tetapi, desakannya untuk taat kepada ulu al-amr (pemegang otoritas), yaitu penguasa
dan ulama, secara implisit telah merenggut hak umat pada umumnya untuk turut serta dengan aktif
dan kreatif dalam mekanisme syura.
Gerakan Wahabi di Arabia pada abad ke-18 adalah gerakan pertama yang berhasil

menghidupkan imbauan Ibn Taimiyah kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Pendiri gerakan ini ialah
Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787 M) dari Arabia Tengah. Gerakan ini bercorak puritan,
radikal, kaku dan sederhana. Abdul Wahab berhasil membuat aliansi dengan Ibn Saud, seorang
pangeran lokal Najd, hingga teori dan praktik dapat berjalan seiring. Dalam perjalanan waktu,
setelah mengalami periode pasang surut yang panjang, akhirnya pada 1925 M seluruh Semenanjung
Arabia jatuh ke tangan Dinasti Saudiyah dan karenanya paham Wahabi dijadikan doktrin keagamaan
resmi oleh pemerintah Arab Saudi. Menurut sejarah, gerakan Wahabi muncul pada dasarnya adalah
sebagai suatu protes terhadap kemerosotan internal dalam kehidupan komunitas umat Islam.
Dengan penekanan tajam atas pemulihan kembali ajaran tauhid ke dalam ruh umat Islam. Pada
aspek ini, gerakan Wahabi tidak diragukan lagi telah memainkan pera penting dalam membangun
kembali kesadaran Tauhid di kalangan umat dan karena itu, pendirinya diberi julukan oleh Iqbal
se agai Pe aru Purita Agu g The Great Puritan Reformer). Namun, karena pendekar gerakan
ini tidak melampaui garis demarkasi murni, Wahabisme tidak dapat kita pertimbangkan sebagai
salah satu gerakan modernis Islam. Sekalipun gerakan ini menghimbau ijtihad, kecenderungan antiPage 4 of 14

intelektual yang ia tunjukan telah menyebabkan seruan ini kehilangan makna. Berbeda dengan Ibn
Taimiyah, Abdul Wahab hanyalah mengambil dan mengembangkan satu aspek tauhid dari doktrin
komprehensif yuris dan pemikir panca-Mongol itu. Dalam teori politik Islam, Wahabisme tidak
mempunyai apa-apa untuk ditawarkan. Sementara itu, kolaborasi ulama Wahabi dengan para
penguasa Saudi jelas menunjukkan kesediaan mereka menerima dan mempertahankan sistem

politik dinasti.
Pendiri yang sebenarnya dari gerakan modernis Islam ialah Jamal al-Din al-Afghani (18391897 M). Meskipun al-Afghani tidak menampilkan modernisme intelektual, panggilannya untuk
penggalian disiplin ilmu dan filsafat dengan jalan memperluas kurikulum lembaga-lembaga
pendidikan dan untuk pembaruan pendidikan pada umumnya telah sangat memengaruhi lalu lintas
pemikiran dan sikap modernis Islam sampai dengan saat sekarang. Untuk pembaruan ke dalam, alAfghani mengikuti gerakan Wahabi tetapi lebih komprehensif dalam ruang lingkup dan dimensinya,
berjuang dengan penuh semangat untuk membebaskan hati dan otak umat dari takhayul, masa
bodoh dan pasivisme. Berbeda dengan Wahabi, al-Afghani menekankan penggunaan akal manusia
dengan lebih bebas dan menolak tradisionalisme tanpa pikir; juga menolak peniruan membabibuta
terhadap Barat. Karena perhatian utamanya adalah usaha pembebasan tanah kaum Muslim dari
penjajahan Barat, ia tampak tidak memiliki waktu untuk melakukan pemikiran kontemplatif yang
serius bagi bangunan intelektual Muslim. Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari dominasi
Barat juga menegakkan kemerdekaan spritual, intelektual dan ekonomi Timur. Sedikit menengok
pendapat-pendapat Muhammad Iqbal (1877-1936 M), pemikir dan penyair Muslim yang paling
serius sebelum Perang Dunia II. Iqbal penentang habis-habisan kediktatoran, sekalipun ia juga cukup
kritis terhadap demokrasi Barat. Tetapi kritiknya tidaklah berarti penolakannya pada sistem
demokrasi. Ia mengkritik demokrasi Barat karena sistem ini banyak menutupi kezaliman di samping
sebagai senjata bagi imperialisme da kapitalis e Eropa. Dala se uah esai ya g erjudul Islam as
a Moral and Political Ideal ya g u ul perta a kali dala Hidustan Review (1909), Iqbal
menuliskan bahwa demokrasi merupakan aspek terpenting Islam, dipandang sebagai cita-cita politik.
Baginya, hakikat Tauhid sebagai satu gagasan kerja ialah persamaan, solidaritas dan kebebasan.

Negara, dari sudut pandang Islam, adalah suatu upaya untuk mengubah prinsip-prinsip ideal ini ke
dalam kekuatan ruang-waktu, suatu inspirasi buat merealisasikanya dalam organisasi manusia yang
jelas dan pasti.
Banyak sekali cerita sejarah perjuangan politik Islam ditera gka dala
uku Isla da
Pa asila se agai Dasar Negara i i. “ehi gga saya tidak isa e uliska ya satu per satu
dikarenakan kekompleksan dan saling keterhubungan cerita yang untuk memahaminya harus
membaca bukunya secara lengkap. Hal yang memicu gerakan politik Islam yang deras di Indonesia
pada waktu itu adalah politik kolonial Belanda dan gerakan tandingan dari pihak komunis yang dinilai
bisa membahayakan nasib umat beragama di Indonesia. Pada 1917, Agus Salim biasa menggunakan
ungkapan simbolis tapi tajam dalam menyerang kolonialisme dan membela kemerdekaan. Baginya
adalah suatu ironi bahwa orang Indonesia di tanah airnya seperti penumpang, dan itu berlangsung
dalam tempo yang cukup lama. Namun, pihak komunis tampaknya lebih terus terang dan lebih fasih
dalam propagandanya menentang kolonialisme dibandingkan tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI). Pihak
komunis ternyata lebih unggul dalam menaklukkan kaum intelektual maupun dalam mendekati
massa. Sementara itu, dalam menanggapi isu tentang sosialisme yang begitu lantang disuarakan
pihak komunis, H.O.S. Cokroaminoto agak sedikit apologetik, dengan mengatakan bahwa sosialisme
Page 5 of 14

Islam lebih awal dan lebih baik daripada sosialisme ciptaan Karl Marx, baik dalam teori maupun

dalam praktik. Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialisme sudah inheren dalam Islam.
Kita Musli , jadi kita sosialis, u ap Cokroa i oto. Agus Salim bahkan menegaskan bahwa
keutamaan dalam prinsip-prinsip lain dapat dijumpai dalam Islam, sementara semua cacat-cacat,
kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan prinsip-prinsip lain itu tidak terdapat dalam Islam!
Dijelaskan juga bahwa tujuan SI adalah untuk menegakkan suatu tatanan politik yang membawa
persamaan dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Mungkin hal tersebut jugalah yang
menyebabkan para aktivis pendiri negara Islam di Indonesia saat ini terinspirasi untuk
mengkampanyekan bahaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kolonialisme Cina.
Meskipun, jika kita membaca sejarahnya dengan cermat, pada masa pra kemerdekaan sampai
runtuhnya PKI pada tahun 1966 sangatlah berbeda dengan kondisi Indonesia pada masa sekarang.
Namun demi politik suatu golongan tertentu, kondisinya didesain menyerupai masa lampau,
sehingga isu kebangkitan PKI sangat menarik diceritakan kepada masyarakat yang sebagian besar
belum dilahirkan pada masa itu.
Masih tentang gerakan modernis Islam di Indonesia, khususnya di kalangan kelompok
terpelajar yang mendapat pendidikan Barat. Kelompok ini adalah mereka yang ingin memahami
berbagai aspek ajaran Islam dari kacamata pemikiran modern. Dalam hal ini, peran Agus Salim perlu
diapresiasi yang berhasil membimbing kesadaran keagamaan menurut gagasan-gagasan modern
terhadap kelompok terpelajar ini. Kesadaran keagamaan tersebut kemudian disalurkan lewat
organisasi JIB (Jong Islamiten Bond, Ikatan Pemuda Islam) yang didirikan pada awal 1925 di
Yogyakarta dengan ketua pertamanya R.J. Syamsurijal, mantan ketua Jong Java. Dalam Anggaran
Dasarnya disebutkan bahwa dua tujuan yang hendak diraih JIB adalah: 1. Mempelajari Islam dan
menganjurkan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan, 2. Mengembangkan rasa simpati terhadap Islam
dan para pengikutnya, di samping menunjukkan sikap toleran positif terhadap pemeluk agama lain.
Dengan menyebut sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, JIB ingin menunjukkan bahwa Islam
bukanlah agama yang sempit dan dangkal, dan kaum Muslim memang sama sekali tidak punya niat
untuk memaksa pihak lain agar memeluk Islam karena hal itu berlawanan dengan ajaran Al-Quran
sendiri. Selama periode akhir dari kekuasaan kolonial, JIB telah u ul se agai pa rik agi ha pir
semua tokoh-tokoh modernis di Indonesia. Sebagai mahasiswa atau pelajar, hampir semua anggota
JIB juga merangkap jadi anggota gerakan modern Islam lainnya. Misalnya Mohammad Natsir yang
merupakan tokoh Persis, Kasman Singodimedjo ialah aktivis Muhammadiyah, kemudian A.R.
Baswedan, keturunan Arab pembela Indonesia merdeka, adalah tokoh Al-Irsyad, Pendiri Partai Arab
Indonesia (PAI) tahun 1934, di samping juga anggota Muhammadiyah. Namun dikarenakan tidak
semua tokoh-tokoh JIB menguasai bahasa Arab maka pemikiran mereka tentang Islam yang
komprehensif belum lagi tuntas. Mereka belum lagi terlibat dalam usaha ijtihad secara serius bagi
kebangkitan Islam yang sebenarnya di bidang inovasi dan pemikiran kreatif.
Bagaimana pandangan Natsir tentang hubungan agama dengan negara? Dalam pidatonya
ya g erjudul Isla se agai Dasar Negara , Natsir erdalil ah a u tuk dasar egara, I do esia
hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la-diniyyah) atau paham agama (dini). Dan
pancasila menurut pendapatnya bercorak la-diniyyah, karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui
wahyu sebagai sumbernya. Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat. Mengenai negara
sebagai institusi, Natsir hanyalah mengikuti pendapat-pendapat tentang persyaratan negara
modern, yaitu harus memiliki: wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, konstitusi atau sumber
Page 6 of 14

hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Lalu bagaimana dengan gelar kepala negara, apakah
harus memakai nama khalifah sebagaimana yang diwajibkan oleh teori klasik dalam literatur Islam?
Mengenai titel seorang kepala negara, bagi Natsir, khalifah boleh, amir al- u’ i i boleh, presiden
boleh, asalkan sifat-sifat, hak dan kewajibannya adalah sebagaimana yang dikehendaki Islam.
Kemudian menurutnya, dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosio-politik umat, di
antara prinsip yang harus diikuti dan dihormati adalah prinsip syura. Tentang bagaimana
mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura, semuanya tergantung pada ijtihad umat,
karena Islam tidak menetapkannya secara kaku dan pasti. KH. M. Syukri berpendapat bahwa bentuk
pemerintahan tidaklah terlalu penting dalam Islam. Yang lebih penting ialah agar pemerintahan
dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. Namun karena Islam ingin melihat agar prinsip-prinsip
syura-demokrasi dipahami dan dilaksanakan dalam masyarakat manusia, maka bentuk republik lebih
baik daripada bentuk monarki. Dalam pemerintahan yang berbentuk republik, menurut jalan
pemikiran Syukri, kolaborasi kolegial antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam rangka
melaksanakan UUD lebih memungkinkan. Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam majelis
konstituante berlangsung sampai rapat terakhir pada 2 Juni 1959 tanpa suatu keputusan. Dengan
demikian, pembuatan suatu Undang-Undang Dasar (UUD) permanen menjadi terbengkalai. Maka
pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno dengan sokongan penuh dari pihak militer mengeluarkan dekrit
untuk kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih
rakyat itu. Sejak kemerdekaan, Indonesia memiliki tiga UUD Sementara, yaitu: UUD 1945, UUD 1949
dan UUD 1950. Dalam tiga UUD tersebut, Pancasila ditetapkan sebagai dasar ideologi negara.
Kemudian bagaimana argumen Mohammad Hatta tentang Pancasila? Menurut Hatta, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia.
Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa
Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah
kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila
kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila.
Mengenai sila Kerakyatan atau Demokrasi, Hatta yakin bahwa demokrasi akan hidup selamalamanya di Indonesia, sekalipun mengalami nasib pasang surut. Menurutnya, sumber demokrasi
sosial di Indonesia ada tiga. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme.
Kedua, ajaran Islam yang memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga,
pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa Indonesia. Baginya, suatu
kombinasi organik antara tiga kekuatan sosiologis-religius ini tidak boleh tidak akan
mengembangkan dan memperkuat demokrasi Indonesia. Dengan berpegang teguh pada filsafat ini,
pemerintah Negara Republik Indonesia jangan sampai menyimpang dari jalan lurus bagi keselamatan
negara dan masyarakat, ketertiban dunia, dan persaudaraan antar bangsa.
Dalam buku yang telah kita bahas ini, Buya Syafii menyimpulkan bahwa baik dalam Al-Quran
maupun ajaran Nabi Muhammad tidak menetapkan pola teori tentang negara yang harus diikuti
oleh umat Islam di berbagai negeri, asal prinsip syura dijalankan dan dihormati sepenuhnya, sesuatu
yang diabaikan pasca al-Khulafa’ al-Rasyidun. Apa yang disebut teori politik Islam dalam bentuk
khilafah dan imamah sebagaimana dikembangkan oleh para yuris seperti al-Baqillani dan al-Mawardi
pada abad pertengahan tidak lebih dari sekedar usaha intelektual untuk memenuhi dan menjawab
tuntutan sejarah dan tantangan zaman. Para yuris ini merumuskan doktrin politik mereka di bawah
aya ga i perial Isla se agai a a Fazlur ‘ah a
e gistilahka ya. Sementara itu, meskipun
Page 7 of 14

penulis modernis Muslim juga kelompok pesantren menyukai sistem politik demokrasi sebagai
bentuk modern dari pelaksanaan prinsip-prinsip syura, suatu teori politik Islam yang komprehensif,
sistematis, dan dapat beroperasi secara efektif belum lagi ditemui dalam literatur Islam modern. Hal
ini merupakan suatu kendala mengapa usaha-usaha untuk menciptakan suatu negara Islam
menghadapi kesulitan yang menggunung. Karena itu, sangat diharapkan umat Islam meluaskan
cakrawala religius intelektualnya dan menyiapkan diri untuk mempelajari Al-Quran sebagai satu
kesatuan yang padu tentang ajaran-ajaran moral dan etika guna meraih suatu keseluruhan yang
sistematis tentang pesan Al-Quran untuk umat manusia. Pendekatan setengah-setengah dan parsial
terhadap Al-Quran tidak akan banyak artinya dalam meretas kemacetan religius-intelektual yang
masih menghimpit umat Islam sekarang ini. Dalam jangkauan maknanya yang komprehensif inilah
sebenarnya peran utama dari kerja ijtihad.
Saya berpendapat bahwa perdebatan dalam menentukan dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ialah kesalahpahaman dalam menafsirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu
yang jauh dari ajaran aga a. U tuk itulah, uku kedua, Negara Bukan-Buka ? karya “il a o Keo
Bhaghi diharapkan bisa menjadi jawaban atas kesalahpahaman tersebut. Alasan penulisan buku ini
adalah yang pertama, fenomena pluralisasi masyarakat modern sudah pasti akan menimbulkan
konflik normatif tak terhindarkan antara lain konflik purba antara agama dan negara. Kedua, bahwa
Driyarkara, seora g filsuf I do esia e a arka Negara Buka -Buka
elalui filsafat Pa asila
u tuk e ya tu i ko flik terse ut. Ketiga, ah a solusi Negara Bukan-Buka Driyarkara ter yata
belum tuntas menyelesaikan konflik normatif bersangkutan dan oleh karena itu, dan keempat, kita
dituntut untuk senantiasa melakukan diskursus lebih lanjut tentang ideal relasi antara agama dan
negara agar NKRI tidak menjadi negeri yang berdarah-darah hanya karena kegagapan menyantuni
fenomena pluralisasi doktrin komprehensif masyarakat modern, misalnya seperti agama. Pertanyaan
utama yang hendak dijawab buku ini ialah apakah Indonesia adalah Negara Agama atau Negara
Sekuler atau bukan keduanya?
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta dengan a berarti tidak dan gama
ya g erarti ka au. Aga a erarti peratura tradisio al, ku pula peratura da /atau ajara
yang tetap. Umumnya kita menggunakan agama dalam arti religio (Latin) dan din (Persia). Kata
religio (keseganan atau kekhawatiran) berasal dari kata kerja relegere (membaca kembali atau
memperhatikan dengan teliti), religare (mengingat kembali) dan reeligare (memilih lagi). Sementara
itu, kata din menurut terminologi Islam diartikan sebagai apa yang disyaratkan Allah dengan
pengantaraan nabi-nabi-Nya berupa perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia
di dunia dan di akhirat. Jadi secara etimologis, agama berarti peraturan berupa perintah dan
larangan yang diturunkan Allah dengan pengantaraan para nabi yang kepadanya manusia
mengikatkan diri.
Sekalipun sudah berakar pada tradisi polis Yunani Kuno dan res publica Romawi Kuno,
konsep negara sebenarnya baru muncul pada abad modern antara lain ditandai oleh terbitnya karyakarya Nicollo Machiavelli (1469-1528) tentang negara (lo stato). Sosiolog Max Weber (1864-1920)
mendefinisikan negara sebagai institusi kekuasaan politik yang memiliki monopoli menetapkan
undang-undang dan kewenangan menggunakan instrumen pemaksaan atau kekerasan fisik dalam
lingkup wilayah geografis tertentu. Negara berfungsi untuk memersatukan masyarakat dengan
menetapkan pelbagai produk peraturan kelakuan warga yang bersifat mengikat. Umumnya, konsep

Page 8 of 14

Negara Modern mengacu pada institusi politik yang terdiri atas unsur wilayah, penduduk,
pemerintah yang berdaulat dan pengakuan internasional.
Pada tataran mondial, hubungan antara agama dan negara bersifat sangat kompleks. Di satu
pihak, agama tidak pernah boleh direduksi hanya kepada sistem politik tertentu, namun di pihak
lain, agama selalu lahir dari kebudayaan tertentu dan karena itu rentan untuk diperalat. Secara
teoritis, relasi antara agama dan negara bisa dipetakan dalam empat pola hubungan. Pertama,
negara memeralat agama sebagai basis legitimasi kekuasaan. Misalnya, kekaisaran Romawi Kuno
menempatkan kaisar sebagai imam agung (portifex maximus), titisan dan wakil dewa yang tega
membunuh puluhan ribu umat Nasrani hanya karena tidak menyembah dewa-dewa Romawi. Kedua,
agama menguasai negara untuk menjalankan kekuasaan religius sekaligus profan. Penguasaan
agama atas negara tampak dalam pemerintahan para raja yang mengklaim diri sebagai keturunan
dewa seperti di kerajaan-kerajaan kuno di Timur Tengah dan teokrasi baik dalam bentuk hierokrasi,
nomokrasi maupun ideokrasi. Ketiga, pada abad modern muncullah konsep pemisahan tegas antara
agama dan negara. Dalam arti positif, pemisahan agama dan negara bertujuan agar negara netral
dari agama apapun. Dalam arti negatif, negara memusuhi semua agama, misalnya di negara-negara
komunis. Keempat, agama dan negara dibedakan untuk selanjutnya saling bekerja sama, sekalipun
tetap netral, negara mengambil sikap positif terhadap agama dan mengakui kontribusinya bagi
keadaban publik. Jadi, kasus relasi antara agama dan negara sesungguhnya bisa dikembalikan
kepada tiga tipe relasi; tipe relasi pertama dan kedua mengisyaratkan prinsip penyatuan erat, tipe
relasi ketiga menganjurkan prinsip pemisahan tegas dan tipe relasi keempat menegaskan prinsip
pembedaan antara agama dan negara. Prinsip penyatuan erat menghasilkan Negara Agama,
sedangkan prinsip pemisahan tegas menghasilkan Negara Sekuler.
Sebelum sampai pada pengertian filsafat Pancasila, kita harus mengetahui terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan filsafat dan bagaimana sejarah terbentuknya Pancasila. Istilah filsafat
pertama kali digunakan oleh Pythagoras (572-497 SM). Ketika ditanya apakah ia seorang yang
bijaksana, ia menjawab bahwa ia hanyalah seorang pecinta kebijaksanaan (philoshoper) sebagai
bentuk protes terhadap kaum terpelajar (shopist) pada masa itu yang menamakan dirinya
ijaksa a. Istilah filsafat itu se diri erasal dari ahasa Yu a i, philoshopia yang terdiri atas dua
kata, yakni philos artinya cinta, sahabat, kekasih atau philia yang artinya persahabatan dan sophos
yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan praktis, dan intelegensi. Secara etimologis,
filsafat berarti ketertarikan atau cinta akan kebijaksanaan, yang memberikan indikasi bahwa
manusia tidak pernah memiliki kebijaksanaan itu dalam dirinya sendiri. Kebijaksanaan hanya dapat
didekati dengan cinta atau malah dengan perasaan bingung, heran dan juga kagum.
Dalam sidang BPUPKI yang pertama pada 1 Juni 1945, Sukarno mengutarakan lima sila
Pancasila dengan rumusan dan urutan sebagai berikut: (i) Kebangsaan Indonesia, (ii)
Internasionalisme atau perikemanusiaan, (iii) Mufakat atau demokrasi, (iv) Kesejahteraan sosial, dan
(v) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan merumuskan kembali
Pancasila versi Sukarno dalam sebuah dokumen yang dikenal sebagai Piagam Djakarta. Rumusan dan
urutan lima sila Pancasila menurut Piagam Djakarta adalah (i) Ketuhanan, dengan kewajiban
e jala ka syari at Isla
agi pe eluk-pemeluknya, (ii) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (iii)
Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan (v) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setelah

Page 9 of 14

proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
I do esia PPKI
e ghapus a ak kali at de ga ke aji a
e jala ka syari at Isla
agi
pemeluk-pe eluk ya pada sila perta a de ga tetap e ertaha ka ru usa sila lai serta
urutannya. Akan tetapi, pada tahun 1950, dalam mukadimah UUD RIS, rumusan dan urutan
Pancasila mengalami perubahan lagi: (i) Ketuhanan Yang Maha Esa, (ii) Perikemanusiaan, (iii)
Kebangsaan, (iv) Kerakyatan, dan (v) Keadilan sosial. Yang pada akhirnya tanggal 5 Juli 1959, melalui
Dekrit Presiden Sukarno yang menandai awal masa demokrasi terpimpin, Pancasila kembali lagi ke
rumusan dan urutan awal sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Menurut
Mohammad Hatta, perubahan rumusan dan urutan Pancasila tidak mengubah ideologi dan tujuan
negara, melainkan justru meneguhkan posisi Pancasila sebagai dasar, pedoman, dan tujuan negara.
Istilah ideologi berasal dari bahasa Yunani, idein yang artinya melihat dan logia artinya ilmu.
Secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang ide. Namun secara historis, istilah itu diperkenalkan
oleh A.L.C Destutt de Tracy (1754dala
ahasa Pra is ideologie pada tahu
di asa
revolusi Prancis. Tracy memerkenalkan ideologi sebagai usaha untuk menawarkan sistem pendidikan
nasional yang dapat mentransformasi Prancis menjadi masyarakat yang rasional dan ilmiah. Dalam
perkembangannya, istilah ideologi digunakan dalam arti yang berbeda-beda. Karl Marx, misalnya
memahami ideologi sebagai uberbau atau bangunan atas , yakni pandangan hidup yang
dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial. Soejanto Poespowardojo
memahami ideologi sebagai keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi,
landasan, serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya
dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Pancasila tidak menjadi ideologi tertutup yang lahir
dari kepentingan sempit golongan tertentu, melainkan ideologi terbuka yang digali dari kekayaan
khazanah budaya masyarakat Indonesia. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila adalah dasar yang bisa
menampung dan menjamin keutuhan bangsa Indonesia yang plural. Rumusan Pancasila tidak
bersifat operasional-konkret. Pancasila tidak memandu pola tingkah laku masyarakat secara
langsung. Dalam bahasa Franz Magnis-Suseno, Pancasila tidak memuat unsur-unsur totaliter a priori
sama sekali. Sebagai gantinya, perwujudan dan penghayatan Pancasila disesuaikan dengan
perkembangan, perubahan dan situasi konkret bangsa Indonesia. Maka Pancasila dapat dipahami
sebagai kumpulan nilai-nilai fundamental yang digali dari kebudayaan Indonesia, sejarah pergerakan
bangsa dan konsensus nasional. Roeslan Abdul Gani mengartikan Pancasila sebagai proses
perenungan jiwa yang mendalam oleh para founding fathers.
Seorang filsuf sekaligus pendidik bernama Driyarkara berpendapat bahwa kebenaran
Pancasila ditinjau dari sudut filsafat adalah cinta kasih kepada Tuhan. Driyarkara berbicara dan
menulis banyak topik mulai dari kebudayaan, pendidikan, negara dan bangsa. Namun tidak seperti
para filsuf lain yang menulis pemikirannya dalam sebuah buku yang sistematis, ia tidak menulis satu
buku pun semacam itu. Satu-satunya tulisan menyerupai buku adalah disertasi yang ia tulis dalam
bahasa Latin untuk meraih gelar doktor di Universitas Gregoriana. Disertasi itu berjudul
Participationis Cognitio i E iste tia Dei Pe ipieda Se u du Male a he Ult u Pate Ha eat”
(Peranan Pengertian Partisipasi dalam Pengertian tentang Tuhan menurut Malebranche). Kumpulan
karangan yang diterbitkan pada saat ia masih hidup hanyalah pidato inangurasi pengukuhannya
sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam bidang filsafat pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
de ga judul “osialitas se agai Eksiste sial
da Pertjika Filsafat
. Selebihnya,
tulisannya merupakan kumpulan karangan yang ia tulis untuk kepentingan diktat kuliah, seminar,
Page 10 of 14

ceramah, majalah, surat kabar dan siaran radio. Wilayah pergaulan intelektual Driyarkara sangat luas
terutama dalam bidang teologi dan filsafat. Ia menggunakan metode fenomenologis untuk
menyingkapkan hakikat sesuatu. Ia sendiri mengartikan fenomenologi sebagai metode pendekatan
filsafat terhadap suatu asalah. Ia e ulis, e a da g secara fenomenologis berarti memandang
dunia manusia yang ada di belakang suatu gejala atau fe o e a. Metode fe o e ologis
menuntut seseorang untuk menunda atau mengurungkan gagasan pribadi tentang suatu objek dan
membiarkan objek tampil apa adanya. Kelebihan lain dari metode filsafat Driyarkara adalah
kemampuannya untuk melakukan perkawinan antara ide para pemikir besar dan situasi konkret
bangsa Indonesia. Misalnya, ia berusaha menjelaskan konsep Martin Heidegger tentang besorgen
(sikap baik terhadap dunia) dan fursoge (sikap baik terhadap sesama) dengan menggunankan konsep
dalam kitab kuno Jawa seperti Serat Wulang Reh dan Serat Wedatama.
Me urut Driyarkara, I do esia adalah Negara Buka -Bukan, bukan negara sekuler, bukan
negara agama. Di satu pihak, agama dan negara perlu didiferensiasi sebagai dua karya berbeda,
agama bukan negara, dan negara bukan agama. Pembedaan agama dan negara tidak bertujuan
untuk mendepak agama ke ranah privat, melainkan merangkul agama untuk dapat berpartisipasi
dalam ruang publik dan kehidupan menegara dengan menjalankan peran sebagai sumber moralitas
publik atau civil religion. Driyarkara membedakan dua tujuan menegara, yakni tujuan langsung dan
tujuan tidak langsung. Tujuan langsung menegara adalah mengadakan ketertiban umum (openbarr
orde) dan menciptakan kemakmuran bersama (elegemeen welzjin). Negara menjamin syarat, alat
dan perlengkapan warga untuk hidup secara layak di dunia. Tujuan langsung itu disuratkan dalam
sila keadilan sosial. Sementara itu, tujuan tidak langsung menegara adalah mewujudkan kodrat
terdalam manusia, yakni cinta kasih kepada Tuhan. Tujuan tidak langsung itu disuratkan dalam sila
ketuhanan. Dalam konteks ini Driyarkara menjelaskan hubungan antara nilai dan negara.
Menurutnya, semakin tinggi sebuah nilai, maka semakin kecil peranan negara. Ketuhanan
merupakan prinsip sekaligus tujuan tidak langsung dari menegara. Dengan kata lain, negara tidak
secara langsung menyelenggarakan prinsip ketuhanan. Pelaksanaan prinsip ketuhanan diserahkan
kepada agama setiap warga.
Paradigma diferensiasi Driyarkara dalam mengatasi dilema relasi antara agama dan negara
sekaligus mengatasi bahaya relasi antara agama dan negara, yakni privatisasi agama dalam
liberalisme dan politik identitas dalam tradisi komunitarianisme. Privatisasi agama menunjuk pada
terdepak agama ke ranah privat. Agama seolah-olah tidak memberikan sumbangan apapun kepada
negara. Agama sama sekali tidak mencampurtangani negara. Peminggiran agama dari ruang publik
ke ranah privat disinyalir telah memicu terorisme dan kekerasan atas nama agama yang marak
terjadi belakangan ini. Sementara itu, politik identitas menunjuk pada identifikasi antara agama dan
negara sebagai dua entitas yang satu dan sama. Akibatnya agama dijadikan hanya sebagai salah satu
faktor politik semata. Paul Budi Kleden merumuskan politik identitas itu dengan mengidentifikasi
kecenderungan mempolitikkan agama dan mengagamakan politik. Sebagaimana dalam tulisannya:
Politisasi aga a terjadi saat aga a dijadika alat legiti asi kekuasaa politis. ‘eligiofikasi politik
terjadi ketika orang memberikan berbagai atribut keagamaan kepada politik untuk membentenginya
dari berbagai kritik. Karena kecenderungan ini, kita perlu menempatkan politik dan agama sebagai
dua entitas berbeda namun saling berhubungan. Dan karena penyatuan itulah, identitas antara
agama dan politik melenceng. Agama gagap menunjukkan jalan menuju persatuan abadi dengan
wujud tertinggi, sedangkan politik gagap memenuhi panggilan untuk memerjuangkan kemanusiaan
Page 11 of 14

dan kesejahteraan umum. Dengan demikian, politik identitas rentan terjebak dalam posisi yang
ekstrim, sesuatu yang disebut dengan fundamentalisme. Sementara identifikasi kolektif tak pernah
selesai karena proses identitas akan terus berlangsung, fundamentalisme mengklaim bahwa
identitas budaya partikular tertentu sudah final, tak dapat diganggu gugat dan karena itu patut
diuniversalisasi sebagai patokan hidup bersama. Politik identitas antara lain tampak dalam paham
nasional sosialisme Jerman yang mengukuhkan kekhasan ras Arya dengan cara membasmi jutaan
warga Yahudi, hanya karena keberbedaannya. Sebagaimana yang dituturkan Goenawan Mohamad,
Ide titas uka lah sesuatu ya g tu uh dari ada . “esu gguhnya ia baru muncul di kantor
se sus, di eja keluraha . Dengan kata lain, identitas tak pernah abadi. Yang abadi hanyalah proses
identifikasi. Kekeliruan fundamentalisme adalah memandang identitas sebagai sesuatu yang abadi.
Dalam sebuah negara yang terdiri atas satu agama saja, konsep dan praktik negara agama
bisa saja diberlakukan tanpa banyak konflik yang berarti. Akan tetapi, dalam sebuah negara yang
ditandai oleh fenomena pluralisasi agama, konsep dan praktik negara agama pasti menimbulkan
kesan tidak adil. Jika Indonesia bukan Negara Agama, apa sebenarnya maksud dicantumkannya
prinsip ketuhanan dalam Pancasila? Driyarkara menjawab bahwa Pancasila tidak menunjuk Tuhan
secara konkret. Tak mungkin juga Pancasila menunjuk secara konkret bagaimana manusia harus
percaya kepada Tuhan. Pancasila tidak bisa memaksakan keyakinan dan kebenaran tentang adanya
Tuhan. Sila pertama hanya merupakan pengakuan tentang Tuhan; selanjutnya isi pengakuan itu
diserahkan sepenuhnya kepada diri kita masing-masing. Sudah barang tentu isinya akan berbedabeda. Kemudian jika Indonesia bukan negara agama, apakah berarti ia adalah negera sekuler?
Negara profan (secular state) adalah negara yang acuh tak acuh dan sama sekali tidak mengakui
peranan agama dalam kehidupan menegara. Driyarkara e ulis, “e agai arga Negara I do esia,
manusia Indonesia haruslah pancasilais. Sebagai pancasilais, dia harus menerima sila pertama. Dia
tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi, keadilan sosial, dan sebagainya. Dia juga
tidak boleh bersikap acuh tak acuh tak acuh terhadap ketuhanan. Soal mengenai hubungan antara
manusia dan Tuhan, soal Lebensgelstatung dari sila pertama itu, bagi orang Indonesia haruslah
e jadi soal serius dala hidup ya .
Driyarkara terjebak dalam konteks kompromi antara golongan nasionalis sekuler dan
golongan nasionalis agama yang menghasilka Negara Buka -Buka . Terhadap golo ga
nasionalis agama, ia menulis, Negara Pa asila uka lah orga isasi aga a. “aya tidak e asa g
aga a a apu juga se agai dasar ya. Terhadap golo ga asio alis sekuler, ia erkata, “oal
mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan, soal Lebensgelstatung dari sila pertama itu, bagi
ora g I do esia haruslah e jadi soal serius dala hidup ya . Aka tetapi, terhadap golo ga
minoritas seperti komunisme dan ateisme, misalnya Driyarkara bersikap sangat totaliter dengan
menyatakan bahwa mereka tidak berhak untuk menentukan jalannya pemerintahan di Indonesia. Ia
e ulis, “ila ketuha a tidak e u tut supaya segala-gala ya kita aga aka , tetapi te tu juga
menuntut bahwa aliran-aliran yang anti-Tuhan tidak boleh ikut serta menentukan politik kita, baik di
dala
aupu di luar egeri. Namun setiap relasi antara agama dan negara akan selalu ditandai
oleh konflik kepentingan. Mengikuti analisis Franz Magnis-Suseno, konflik kepentingan antara agama
dan negara dapat dibatasi apabila pertama, setiap agama memiliki kemampuan untuk bersikap
toleran. Kedua, adanya kemampuan untuk membedakan antara kebijakan yang bertentangan
dengan suara hati di satu pihak dan untuk tujuan kepentingan umum di pihak lain. Ketiga, nilai-nilai
dasar yang ada dalam masyarakat menjadi dasar penyelenggaraan negara, perundangan dan
Page 12 of 14

pemerintah. Dan keempat, Negara Pancasila perlu melakukan demokratisasi diri secara terus
menerus karena semakin demokratis suatu negara maka semakin kecil kemungkinan untuk
bertentangan dengan keyakinan agama.
Sastrawan Jerman abad ke-18, Johann Wolfgang von Goethe mengkritisi praktik toleransi
pasif seperti yang dirumuskan dalam dokumen klasik tentang toleransi bernama Edik Nantes (The
Edict of Nantes). Dokumen yang berasal dari tahun 1958 ini merupakan salah satu catatan historis
terpenting dan tertua tentang toleransi. Maklumat ini disusun guna mengakhiri peperangan antara
Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan yang melanda Eropa pada abad ke-16 dan 17. Salah satu
petika doku e terse ut er u yi, Agar tidak e jadi alasa ko flik da kegaduha di a tara
warga masyarakat, maka kami telah dan akan mengizinkan para penganut agama reformis untuk
hidup dan tinggal di semua kota dan tempat di kerajaan kami ini, di mana mereka tidak merasa
dikejar atau ditekan, dilecehkan dan dipaksa untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
keyaki a suara hati ya. Pada asa ya, Goethe e ge dus a at da a i ale si tolera si ersi
Edik Nantes ini. Di satu sisi, penguasa memberikan jaminan keamanan dan kebebasan terbatas
kepada kelompok minoritas, namun di sisi lain, jaminan tersebut tak lain dari praktik kekuasaan
menindas yang terselubung bagi kelompok minoritas. Alasannya, kelompok minoritas harus
membayar ketaatannya karena hidup mereka sangat bergantung pada kebaikan hati penguasa. Di
samping itu mereka juga diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Bagi Goethe, praktik
toleransi versi Edik Nantes adalah penghinaan terhadap kebebasan asasi manusia. Sebab toleransi di
sini tidak dipahami sebagai hak, melainkan hadiah yang dimohonkan dari penguasa atau kelompok
mayoritas, dan setiap saat dapat dicabut kembali jika kaum minoritas melanggar sejumlah
ketentuan.
Menurut Otto Gusti Madung, kualitas demokrasi di Indonesia yang plural sangat ditentukan
oleh kualitas kebajikan toleransi yang berpijak pada prinsip hak, kebebasan dan kesetaraan. Karena
itu, sudah saatnya beralih dari toleransi belas kasihan menuju paradigma hak. Bangsa Indonesia
harus meninggalkan konsep toleransi pasif yang berbasiskan tradisi semata menuju toleransi otentik
dengan penekanan pada persamaan hak antara kelompok mayoritas dan minoritas. Untuk kondisi
masyarakat post-sekular di mana agama-agama secara empiris dan normatif berkiprah di ruang
publik, saling menghormati merupakan sikap paling tepat dalam relasi antar agama, juga dalam
relasi antara agama dan akal budi. Post-sekularisme memberi ruang agar terjadi proses saling belajar
antara agama dan akal budi sekuler. Seperti pandangan Jurgen Habermas, akal budi tidak boleh
bertindak sebagai hakim sepihak atas kebenaran-kebenaran religius, tapi bersedia mendengarkan
klaim-klaim religius di ruang publik. Agar dapat didengar dan dipahami di ruang publik yang plural,
para pemuka agama pun harus mampu menerjemahkan doktrin-doktrin agama ke dalam bahasa
nalar publik. Di samping itu, agama dituntut untuk mengakui otoritas nalar dalam ilmu pengetahuan
dan prinsip egalitarianisme universal dalam hukum dan moral.
Dengan kualitas refleksi yang seperti itu, agama-agama mampu meyampaikan gagasannya di
ruang publik dan mengambil bagian dalam proses belajar yang berlangsung dalam konstelasi
masyarakat post-sekular. Bahaya intoleransi dan fundamentalisme agama pun dapat dihindari dan
ditolak