Kiprah Politik Perempuan serta Upaya Men

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. 1 Negara
demokrasi sangat mengakui kedaulatan rakyat, dan rakyat merupakan pemegang kedaulatan
tertinggi dalam negara. Selain itu negara demokrasi menjamin semua warga negara untuk
bersuara mengemukakan pendapat serta terlibat dan terjun dalam dunia politik. Negara
membuka ruang yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk mendapatkan akses, ruang kebebasan,
dan menjamin ruang kebebasan tersebut untuk menyampaikan aspirasi, baik melalui media
maupun secara langsung. Kebebasan berpolitik sangat dijunjung tinggi dalam suatu negara
demokrasi seperti halnya Indonesia.
Salah satu sendi utama negara demokrasi yaitu menjamin hak kebebasan bagi setiap
warga negara baik laki-laki maupun perempuan untuk sama-sama berkiprah dalam mengakses
kedaulatan rakyat. Kegagalan dalam mencapai cita-cita demokrasi, seringkali dipicu oleh
ketidakadilan dalam mengemban kekuasaan negara khususnya kedudukan dalam bidang politik,
dalam hal ini adalah perempuan. Belakangan ini, representasi perempuan Indonesia dalam ranah
politik kurang diperhatikan. Sering kali perempuan kurang mendapat tempat dalam ranah politik
praktis, sehingga tidak jarang terlihat dominasi kaum laki-laki yang menduduki kursi terpenting
dalam birokrasi pemerintah sangat signifikan. Selain itu partai politik sebagai salah satu sarana
politik kurang mengakomodasi perempuan untuk terjun dalam dunia politik.
Melihat realitas tersebut di atas, maka penulis dengan tulisan kiprah politik perempuan
Indonesia serta upaya meningkatkan partisipasinya dalam dunia politik di Indonesia mau
meneguhkan kembali akan pentingnya peran dan partisipasi perempuan dalam bidang politik

serta berupaya sedapat mungkin meningkatkan representasi mereka ke dalam ranah politik
melalui kekuatan hukum dan Undang-Undang serta sistem perpolitikan. Semoga tulisan ini dapat
berguna bagi sistem perpolitikan di Indonesia terutama partai politik sebagai salah satu
kelengkapan politik dalam menjaring kader-kader politik mampu menjamin stabilitas politik
khususnya keseimbangan politik baik laki-laki maupun perempuan.

2.1. Kiprah Politik Perempuan di Indonesia
1
Demokrasi berasal dari kata bahasa Yunani yakni “demos” (rakyat) dan “kretein” (pemerintah). Jadi,
demokrasi berarti sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Bdk. Otto Gusti, “Demokrasi atau Oligarki?
Mengembalikan Kedaulatan Rakyat”, Biduk, XLXII (Desember 2012), hlm. 14.

1

Perjalanan bangsa Indonesia hingga saat ini tidak terlepas dari keterlibatan kaum
perempuan. Kaum perempuan memiliki sumbangsih yang besar dalam setiap lini kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu kiprah perempuan yang sangat menarik untuk ditelusuri
adalah keterlibatannya dalam dunia politik. Perpolitikan di Indonesia seperti halnya di negaranegara Eropa, tidak terlepas dari peran serta kaum perempuan. Keterlibatan kaum perempuan
dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah bukti nyata partisipasi aktif mereka
dalam bidang politik.

Namun sejarah tidak banyak mencatat peranan perempuan. Padahal, pada masa revolusi
gerakan perempuan sepenuhnya dikerahkan untuk mendukung agenda nasionalis. Perempuan
bekerja di dapur-dapur umum yang secara vital menentukan ketahanan para gerilyawan. Mereka
menyusup dan menyamar untuk menyelundupkan informasi strategis, menjadi mata-mata,
merawat pejuang. Tak kurang perempuan yang mengangkat senjata. 2 Keterlibatan perempuan ini
dalam ranah perjuangan kemerdekaan menjadi titik awal keterlibatan perempuan dalam dunia
politik. Perempuan ternyata bukan hanya aktif dalam kegiatan domestik rumah tangga, tetapi
berani tampil dalam kancah politik.
Keterlibatan wanita di kancah politik bukanlah sebagai hal yang baru. Dalam sejarah
perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam pembangunan telah banyak dicapai
terutama dalam bidang pendidikan, ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Khusunya
dalam lemabaga pemerintahan, sejarah mencatatkan bahwa delapan abad sebelum Kartini 3 lahir,
di kerajaan Aceh Darusalam ada 4 (empat) orang yang pernah menjadi Sultanah (sultan
perempuan). Mereka adalah Sultanah Syaflatuddin Syah (1641-1675), Sultanah Nurul Alam
Naqiatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688) dan Ratu Kamalat
Zainatuddin Syah (1688-1699).4 Selain itu, fakta sejarah yang ada menyebutkan bahwa ada
sejumlah pejuang wanita Aceh yang memimpin perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah
Belanda seperti: Cut Nyak Dhien (1848-1908), Cut Nyak Meutia (1870-1910). 5 Dari beberapa
fakta sejarah ini, jelas merupakan bukti bahwa sebenarnya perempuan telah jauh-jauh hari
memperjuangkan nasibnya bahkan lebih dari pada itu mereka berjuang melawan penindasan,

penjajahan yang tidak hanya kepada kaumnya sendiri tetapi juga menyeluruh kepada seluruh
rakyat yang ada pada saat itu.
Selain itu perempuan Indonesia juga aktif berorganisasi dan melakukan aksi-aksi.
Organisasi-organisasi perempuan yang pernah ada misalnya; Organisasi Putri Merdoko di
2
(t.p.), Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 128.
3
Kartini dengan nama lengkap Raden Ajeng Kartini adalah seorang perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah
pada tanggal 21 April 1879. Ia adalah sosok perempuan yang sangat fenomenal dan sangat berjasa dalam sejarah
bangsa Indonesia terutama dalam hal mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia yang kerap disebut sebagai
gerakan emansipasi wanita. Bdk. Joan Domaiko Udu, Melampaui Kegelisahan (Klaten: Penerbit Dito Color, 2012),
hlm. 152.
4
MDGs (Millenium Development Goals) Sebentar Lagi. Sanggupkah kita Menghapus Kemiskinan di Dunia?
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 291.
5Ibid.

2

Batavia 1912 yang bertujuan untuk mendorong emansipasi perempuan dengan cara memberikan

beasiswa kepada anak bumiputra agar mereka bisa melanjutkan sekolah.6 Selain itu di luar
Batavia (Jakarta) perempuan mengambil inisiatif untuk mendudukan organisasi misalnya,
Organisasi Pawiyata Wanita (1915) di Magelang, Wanita Hado (1915) di Jepara, Wanita Soesila
(1918) di Palembang, dan Putri Sejati di Surabaya. Adapun puncak perjuangan perempuan saat
itu adalah diselenggarakannya Kongres Wanita Indonesia I pada tanggal 22 Desember 1928 di
Yogyakarta. Salah satu hasilnya adalah membentuk PPI (Perserikatan Perempuan Indonesia).
Kongres II diadakan di Jakarta (1929) dan salah satu hasilnya adalah mengubah nama PPI
menjadi PPII (Perserikatan Perhimpoenan Istri Indonesia).7
Perjuangan perempuan untuk menembus dunia perpolitikan Indonesia terus mengalami
peningkatan. Setelah kemerdekaan, saat sistem Demokrasi Parlementer berjalan (1950-1957),
perempuan-perempuan yang tergabung di partai-partai Islam cukup signifikan dan memiliki
peran, serta pengaruh yang kuat. Namun pada zaman Orde Baru dengan Demokrasi
Pancasilanya, terutama pada akhir tahun 1970-an dan tahun-tahun sesudahnya pergerakan
perempuan untuk menembus dunia politik mengalami penyurutan yang drastis akibat sistem
politik yang represif dan otoriter yang diterapkan.8 Namun kiprah politik perempuan tidak hanya
berhenti disini, terobosan partisipasi mereka mulai nampak dan bangkit kembali setelah rezim
Orde Baru berakhir. Partisipasi mereka kini semakin terdorong ketika Megawati Soekarno Putri
terpilih sebagai presiden perempuan RI yang pertama dalam sejarah perpolitikan Indonesia pada
Pemilihan Umum 2004.


2.2. Kendala Kiprah Politik Perempuan9
Harapan akan keterlibatan perempuan dalam ranah politik belum mencapai hasil yang
signifikan. Hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menghambat partisipasi mereka
terutama untuk mengisi jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan. Beberapa faktor yang
yang sangat berpengaruh terhadap kiprah mereka yaitu:

2.2.1. Faktor Institusional
6
Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara. Pemikiran tentang Kajian Perempuan (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010), hlm. 106.
7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 107-108.
9
Memeperkuat Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia (online),
(http:www//idea.int/publication/swippi/upload/memperkuat-partisipasi-perempuan-dalam-politik-diindonesia.pdf.,
diakses pada tanggal 11 September 2014).

3


Kurangnya kinerja dari partai-partai politik dalam mengakomodir kaderisasi perempuan
untuk terlibat langsung dalam dunia politik di Indonesia. Secara spesifik, dalam tubuh parpol
(partai politik) terdapat beberapa kenadala atau rintangan yang menghadang perempuan
Indonesia yang berusaha memajukan diri serta meningkatkan keefektifannya di dalam sistem
kepartaian. Pertama; tingkat sosialisasi politik terhadap perempuan demikian rendah; tak banyak
perempuan aktif berkiprah sebagai kader partai. Kedua; kepemimpian partai politik cendrung
didominasi kaum laki-laki, dan pada gilirannya mereka cendrung hanya menominasikan
kandidat-kandidat lelaki yang mereka yakini berpotensi besar memenangkan pemilihan. Sangat
jelas terlihat disini, peran partai politik sangat bias gender. Partai politik hanya mementingkan
kaum patriarkat dibandingkan dengan kaum matriarkat. Ketiga, ada kecendrungan untuk
menyeleksi kandidat perempuan yang memiliki hubungan dekat dengan penguasa parpol. Sangat
jelas terlihat disini, sistem oligarki politik yang dilakukan oleh kepemimpinan parpol tengah
membudaya tiap-tiap partai politik. Keempat, adanya persepsi bahwa pemilu (pemilihan umum)
adalah perhelatan yang mahal yang memakan biaya yang sangat besar. Persepsi politik demikian
meeminimkan modus perempuan dengan menggunakan dana secara independen untuk
membiayai proses pemilu, karena tidak adanya dispensasi dana dari partai politik.

2.2.2. Faktor ideologi
Adanya persepsi bahwa dunia politik adalah dunianya laki-laki, sedangkan perempuan

hanya mengurus segala pekerjaan domestik rumah tangga. Perempuan tidak pantas berpolitik
karena tidak bisa berpikir rasional, dan kurang berani mengambil resiko. Perempuan itu tercipta
dari tulang rusuk laki-laki, sehingga posisinya dalam berelasi dengan laki-laki selalu tidak
seimbang, karena laki-laki lebih superior dalam memutuskan segala sesuatu. Tentu pandangan
seperti ini semakin menghambat langkah perempuan dalam dunia perpolitikan, bahkan
perempuan sama sekali mengrungkan niatnya untuk berkiprah dalam dunia politik karena
berpasrah pada pandangan-pandangan stereotip tersebut.

2.2.3. Faktor psikologis
Adanya prasangka yang timbul dari dalam perempuan sendiri yang merasa diri rendah
jika dibandingkan dengan laki-laki, sehingga mereka merasa politik bukanlah bidangnya.
Adapula anggapan bahwa perempuan tidak penting untuk berpolitik karena posisinya hanyalah
menjadi istri. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi sikap mereka yang cendrung pasif, apalagi
adanya cap bahwa politik itu kejam, korup, jahat, “kotor”, dan lain sebagainya. Alasan lainnya
juga seperti: sidang-sidang partai yang sarat akan konflik bahkan sesekali diwarnai dengan
kekearasan fisik, serta pergulatan tanpa henti dalam memperebutkan kedudukan dan kekuasaan,
sehingga buksn tidak mungkin menyiutkan nyali mereka untuk berpartisipasi dalam kancah
politik.
4


2.2.4. Faktor sosial-budaya
Masih menguaknya budaya paternalstik dalam masyarakat, laki-laki sebagai pegang
kendali segala sesuatu dalam masyarakat, terutama menyangkut harta warisan dan lain
sebagainya. Perempuan hanyalah makhluk yang lemah lembut, tidak rasional dan pekerjaan
utama mereka adalah melayani suami, mengurus anak dan rumah tangga. Pergerakan perempuan
hanyalah sekitar rumah, dan dilarang untuk tampil di muka umum. Kekangan gaya hidup
mengakibatkan perempuan mempunyai sedikit waktu untuk berpolitik. Mengurus keluarga dan
kewajiban-kewajiban lainnya menuntut perhatian penuh perempuan, sehingga mereka tidak
memiliki kesempatan sama sekali untuk berpolitik.
Sejumlah faktor-faktor tersebut merupakan alasan substansial yang menghambat
langkah perempuan dalam medio perpolitikan Indonesia. Faktor-faktor tersebut merupakan
garisan tegas bahwa antara perempuan dan politik merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak
dapat bersinergi satu dengan yang lain. Hal ini pula nampak dalam rendahnya perwakilan mereka
pada lembaga pemerintahan terutama pada era demokrasi modern yang kian berkembang saat
ini. Rendahnya perwakilan mereka tentunya tidak semata-mata merugikan kelompok mereka
sendiri, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

2.3. Data Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia
2.3.1. Undang-Undang Keterwakilan Politik Perempuan
Berbicara mengenai keterwakilan politik perempuan tidak dapat dilepaskan dari peran

politik perempuan secara umum. Indonesia memiliki catatan panjang dalam upaya
pemberdayaan perempuan melalui berbagai ketentuan Perundang-Undangan. Hal ini dapat
dilihat, antara lain dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
yang secara formal sebenarnya telah menjamin peran serta perempuan Indonesia dalam arena
politik. Pasal-pasal yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut, telah dengan tegas
menolak diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap warga negaranya, bahwa negara mengakui
Hak Dasar setiap warga negara. Selain itu, negara juga telah memberikan perlakuan khusus, agar
setiap warga negara memperoleh kesempatan, dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan. Hak-hak politik warga negara antara lain tercantum dalam pasal 27 ayat (1), 28
ayat (3), dan 28 H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.10

10
Asmaeny Azis, Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen (Yogyakarta: Penerbit Rangkang
Education, 2013), hlm. 179-180.

5

Secara historis, pada masa Orde Lama selama masa pemerintahan Soekarno 11,
pemerintah telah memberikan hak kepada perempuan untuk memilih, dan dipilih dalam lembaga
legislatif negara melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Hal serupa terjadi pada tahun

1984, di bawah kepemimpinan Soeharto12, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.13
Perjalanan politik perempuan Indonesia kian menguat ketika ditetapkannya Undang
Partai Politik Nomor 31 Tahun 2003 dan Undang-Undang Pemilu (Pemilihan Umum) Nomor 12
Tahun 2002. Kedua Undang-Undang ini berupaya mengakomodasi partisipasi perempuan dan
memberi peluang bagi keterwakilan perempuan dalam lembaga birokrasi dan politik pembuat
keputusan.14 Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Pemilu menyebutkan setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD I, DPRD II, untuk setiap daerah pemilihan
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Pasal 7 (e) Partai
Politik menyebutkan bahwa rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi harus memperhatikan kesetaraan gender. Juga pasal 13 ayat (3)
menyatakan bahwa kepengurusan partai politik di setiap tingkat dipilih secara demokratis
melalui forum musyawarah parpol (partai politik) dengan AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga) dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dicapai melalui
peningkatan jumlah perempuan secara signifikan dalam kepengurusan partai politik di setiap
tingkatan.15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD
(Pemilu Legislatif) serta Undang-Undang Dasar 1945 Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, telah memberikan mandat kepada partai politik untuk memenuhi kuota 30% bagi
perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Selanjutnya dalam pasal 66
ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa KPU Pusat, KPU Propinsi

dan KPU Kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan melalui daftar
calon tetap partai politik lewat media masa khususnya media cetak harian dan elektronik
nasional. Selain itu Undang-Undang Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 tentang mengatur
keterwakilan perempuan, dan Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 ayat (5)
11

Soekarno dengan nama lengkap Koesno Sosrodihardjo lahir di Surabaya, Jawa Timur 6 Juni 1901 dan
meninggal di Jakarta 21 Juni 1970. Ia adalah presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Ia
memainkan peran penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia berjulukan sebagai
bapak proklamator kemerdekaan yang terjadi pada 17 Agustus 1945. Soekarno (online),
(http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno, diakses 20 Oktober 2014).

12

Soeharto adalah mantan Jendral Besar TNI selama masa presiden Soekarno, lahir di Dusun Kemusuk Desa
Agromulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul-Yogyakrta dan meninggal di Jakarta 27 Januari 2008. Ia adalah presiden
Indonesia kedua periode 1967-1998 menggantikan Soekarno. Soeharto (online),
(http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto, diakses 20 Oktober 2014).
13
14
15

Asmaeny Azis, loc. cit.
Isidorus Lilijawa, Perempuan, Media dan Politik (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010), hlm. 40.
Ibid., hlm. 40-41.

6

menyatakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat menyertakan paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan.16
Dengan menelisik ketentuan Hukum dan Undang-Undang tersebut diatas, terbukti bahwa
negara telah menjamin secara yuridis-konstitusional keterwakilan perempuan untuk berkiblat
dalam kancah perpolitikan Indonesia. Hal ini nampak pada tiap pasal Undang-Undang baik
Undang Partai Politik maupun Undang-Undang Pemilu, negara dengan tegas menetapkan
sekurang-kurangnya 30% keterwakilan mereka dalam lembaga perwakilan rakyat dan tidak
menutup kemungkinan untuk lebih dari kuota yang ditetapkan ini, serta negara telah
menginstruksikan setiap partai politik secara real merekrut kader-kader perempuan, agar melalui
kekuatan politik mampu mempercepat proses keterwakilan mereka dalam lembaga birokrasi
pemerintahan.

2.3.2. Kesertaan Perempuan
Secara historis, keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen telah berlangsung sejak
masa Orde Lama. Pada periode pemilu legislatif antara tahun 1950 dan 1955, keterwakilan
perempuan di parlemen 3,8% dari jumlah seluruh anggota parlemen dan 6,3% antara tahun 1955
dan 1960. Selama 30 tahun berikutnya, representasi perempuan tertinggi 13 persen dicapai pada
periode tahun 1987 sampai tahun 1992.17
Keterwakilan perempuan pada institusi-institusi politik lainnya baik di tingkat lokal,
Propinsi, maupun Nasional secara empirik mengalami fluktuasi. Selama periode pemilu legislatif
dari tahun 1992 sampai tahun 1997, perempuan memperoleh hanya 12,5% kursi di parlemen.
Jumlah ini kemudian mengalami penurunan pada periode legislatif tahun 1997-1998 yaitu
10,8%. Kecendrungan penurunan representasi perempuan tersebut berlanjut terus dimana pada
periode legislatif tahun 1999-2004 hanya 9,0% dari seluruh anggota parlemen nasional.18
Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, bahwa tiap partai politik dan peserta
pemilu perlu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari partainya.
Hal ini langsung terbukti pada pemilu periode 2004-2009 melibatkan banyak kader perempuan
yang maju dan terlibat dalam proses pemilu. Bahkan secara intuisi dikejutkan dengan terpilihnya
Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan pertama dalam sejarah perpolitikan
Indonesia. Namun, kendatipun Megawati terpilih sebagai presiden perempuan pertama Indonesia
pada periode pemilu tersebut, nyali perempuan lainnya masih belum mencapai kuota yang telah
ditetapkan. Jumlah perempuan yang terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat hanya 62 orang
atau 11,6 persen dari 550 jumlah seluruh anggota dewan yang terpilih, dan jumlah menteri
perempuan hanya 4 orang dari 36 jumlah seluruhnya. Fluktuasi jumlah representasi perempuan
16
17
18

Asmaeny Azis, op. cit., hlm. 260.
Ibid., hlm. 181.
Ibid., hlm. 182.

7

kian berlanjut pada periode pemilu 2004-2009 yakni; 101 orang perwakilan perempuan terpilih
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau 18,03% dari 560 jumlah anggota seluruhnya.
Kendatipun perolehan ini meningkat 6 persen dari periode pemilu sebelumnya, namun tetap saja
masih jauh dari target yang telah ditentukan secara konstitutif. Jumlah menteri perempuan yang
tergabung dalam kabinet hanya 5 orang dari 34 jumlah menteri seluruhnya.19
Ekspektasi keterwakilan perempuan sejatinya terwujud pada Pemilu 2014. Hal ini
ditandai dengan jumlah Partai politik yang terlibat makin banyak dan berusaha untuk merebut
posisi di parlemen. Hal ini sepintas membuktikan bahwa demokrasi perpolitikan Indonesia
mengalami kemajuan ke arah yang ideal. Setiap partai politik khususnya partai-partai politik
besar mengusung para kadernya masing-masing yang sudah siap dengan matang baik dari segi
materinya maupun mentalnya. Selain itu, kehadiran partai-partai politik tersebut sejatinya
membawa angin segar bagi para kader politisi perempuan untuk turut bersaing dengan kader
lawannya untuk sama-sama merebut kursi di parlemen melalui Pemilihan Umum. Namun
kendatipun demikian, perolehan hasil masih belum mencapai rata-rata minimal kuota
keterwakilan perempuan khususnya di parlemen. Jumlah perolehan suara perempuan umumnya
yang terpilih sebagai dewan perwakilan 23,31 persen namun jumlah kursi yang dibutuhkan
untuk perempuan hanya 17% dari yang sebelumnya 18,03%, sedangkan jumlah menteri kabinet
perempuan 8 orang dari 34 jumlah menteri seluruhnya.20
Sementara itu, gubernur perempuan hingga saat ini hanya ada satu (1) orang dari tiga
puluh tiga (33) gubernur yang ada di Indonesia atau hanya 3 persen. Sementara itu kaum
perempuan yang menjadi bupati/walikota hanya delapan (8) orang dari 440 kepala daerah di
seluruh Indonesia dan hanya 18 orang dari 440 wakil kepala daerah di seluruh Indonesia.21
Perjalanan perpolitikan Indonesia telah diwarnai oleh keterlibatan perempuan. Hal ini
terbukti melalui kiprahnya dalam proses Pemilihan Umum yang telah berlangsung sejak masa
Orde Lama. Namun realitas menunjukkan kekuatan politik perempuan masih tidak sebanding
dengan laki-laki. Kendatipun semangat dan daya juang perempuan memiliki landasan yuridiskonstitusional yakni Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik, namun dalam
langkah praktisnya masih jauh dari target yang ditentukan. Patut dipertanyakan isi materi dari
Undang-Undang tersebut.

2.4. Upaya Meningkatkan Partisipasi Perempuan dalam Dunia Politik di Indonesia
19
(t.p.), MDGs (Millenium Development Goals) Sebentar Lagi. Sanggupkah Kita Menghapus Kemiskinan di
Dunia? op.cit., hlm. 289.
20
Ibid.
21
Kontribusi Perempuan di Pemerintah Minim (online), (http://www.menegpp.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=176:kontribusi-perempuan-di-pemerintah-minim&catid=38:artikelperempuan&Itemid=114, diakses pada tanggal 11 September 2014).

8

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Stastitik,
jumlah perempuan Indonesia adalah sebesar 118.010.413 jiwa atau sekitar 49% dari total jumlah
penduduk.22 Jumlah ini merupakan kondisi ideal keterwakilan perempuan Indonesia dalam
lembaga perwakilan. Berkaca pada hasil Pemilu selama ini, untuk mencapai angka kritis 30%
keterwakilan perempuan belum memiliki sinyal positif. Oleh karena itu, untuk mencapai angka
persentase tersebut dan juga untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan secara umum
diperlukan upaya.

2.4.1. Melalui Sistem Pemilihan Umum (Pemilu)23
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik demokrasi.
Tujuan Pemilu tidak lain adalah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan
cara memilih wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Semuanya itu bertujuan untuk
mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.
Salah satu sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia dan lebih menguntungan
perempuan adalah sistem Pemilu Proporsional. Sistem Pemilu Proporsional adalah sistem
Pemilihan Umum dengan cara pemungutan suara berimbang, jika dalam sistem distrik
disesuaikan terhadap letak geografis wilayah, maka proporsional disesuaikan dengan jumlah
suara berimbang dengan perbandingan tertentu. Jadi, dalam sebuah wilayah bisa jadi tidak hanya
ada satu kursi yang diperebutkan, karena disesuaikan jumlah pemilih di dalamnya. Melalui
sistem ini perempuan diberi ruang untuk maju melalui partai politik sebagai promotor
keterwakilannya. Sistem ini sejatinya telah diterapkan pasca Pemilu masa reformasi hingga
sampai dengan saat ini.

2.4.2. Melalui Partai Politik (Parpol)
Secara umum Partai Politik merupakan suatu organisasi yang disusun secara rapi dan
stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang secara sukarela yang mempunyai kesamaan
kehendak, cita-cita dan persamaan ideologi tertentu untuk berusaha mencari dan
mempertahankan kekuasaan melalui Pemilihan Umum untuk mewujudkan alternatif kebijakan
atau program-program yang telah mereka susun.24 Partai Politik sebagai salah satu pilar
demokrasi mutlak diperlukan sebagai penghubung perwakilan perempuan untuk mengisi jabatan
tertentu dalam birokrasi pemerintahan.
22
Hasil Sensus Penduduk 2010 (online), (http://dds.bps.go.id/eng/abotus.php?=o, diakses 15 September 2014)
23
Asmaeny Azis, op.cit.,hlm. 208.
24
Pengertian,Tujuan, dan Fungsi Partai Politik (online),
(http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/pengertian-dan-fungsi-partai.html#xzz2uQnEiMbp, diakses pada tanggal
15 September 2014).

9

Hal yang sangat urgen yang menentukan mutu Partai Politik adalah rekrutmen politik.
Rekrutmen politik merupakan suatu proses seleksi atau rekrutmen anggota-anggota untuk
mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan administratif maupun politik. 25 Rekrutmen politik
adalah kesempatan partai politik untuk mengurus kadernya duduk dalam jabatan politik tertentu.
Oleh karena itu, dalam proses rekrutmen politik, partai politik perlu memperhatikan
kesetaraan gender, dalam hal ini adalah perempuan. Partai politik harus peka terhadap gender
agar dapat meningkatkan jumlah kandidat perempuan dalam daftar partai, serta memberi mereka
peluang yang sama untuk berpartisipasi pada proses-proses pengambilan keputusan. Untuk
memudahkan proses kaderisasi politik, perempuan perlu dibekali dengan pendidikan politik
sebagai tuntutan dasar seorang politisi (kader) sebelum tampil dalam panggung politik praktis.
Partai politik harus memiliki komitmen untuk memberikan pendidikan yang baik terhadap
perempuan agar mereka mampu bersaing dengan para politisi laki-laki.
Selain itu, melalui rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik, pendirian, pembentukan dan kepengurusan Partai Politik tentunya menjadi kabar baik
bagi keterlibatan perempuan dalam dunia politik.26 Partai Politik sebagai wadas pembentukan
kader-kader politik perlu mengakomodasi kaum perempuan untuk menduduki suatu jabatan
politis tertentu dalam negara. Partai Politik mesti menjadi promoter penggerak dalam
mewujudkan kesetaraan gender dalam dunia politik.

2.4.3. Melalui Sistem Kuota27
Selain dengan perubahan sistem Pemilu dan juga pola rekrutmen Partai Politik, metode
lain yang juga sangat urgen dan efisien membantu mempercepat peran politik perempuan adalah
dengan menggunakan sistem kuota. Kuota politik adalah peraturan jumlah dalam perbandingan
tertentu dalam hal ini adalah perempuan sekurang-kurangnya harus ada dalam forum atau
lembaga perwakilan. Tujuan hal ini adalah meletakkan suatu persentase minimal untuk
representasi laki-laki dan perempuan sehingga menjamin adanya keseimbangan jumlah jabatan
politik dalam pengambilan keputusan.
Argumen dasar penggunaan sistem ini adalah untuk mengatasi ketidakseimbangan pola
keputusan dan kebijakan hukum dan budaya serta berusaha menetapkan kesetaraan gender dalam
dunia politik. Beberapa negara di dunia telah menggunakan sistem kuota yaitu; Bangladesh,
Bostwana, Pakistan, Taiwan dan Tanzania.28

25
Fadilah Putra, Partai Politik dan Kebijakan Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.
26
Robert Mirsel, “Good Governance dan Pemilu 2009: Kerinduan di Tengah Kegelisahan”, Jurnal Ledalero,
VII (Desember 2008), hlm. 143-144.
27
Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 171.
28
Ibid.

10

Di Indonesia, sistem kuota telah diterapkan pasca penetapan Undang-Undang Pemilu No.
12 Tahun 2003 yang bermateri tentang menuntut sekurang-kurangnya 30% kuota keterwakilan
perempuan dalam dunia politik. Sasaran yang menjadi aktor utama yang berperan dalam hal ini
adalah pola perekrutan Partai Politik. Partai Politik berusaha merekrut para kandidat perempuan
untuk menduduki posisi atau jabatan politik melalui proses seleksi yang terbuka. Partai Politik
secara sukarela dan efektif menjaring semua wakil-wakilnya baik laki-laki maupun perempuan
tanpa terkecuali satupun. Selama proses tersebut berjalan Partai Politik perlu memperhatikan dua
(2) hal berikut: pertama, Partai-partai Politik harus menampilkan daftar-daftar para kandidat
secara sosial atau seimbang. Kedua, semua Partai Politik harus lebih banyak melibatkan
perempuan dalam arti tanpa mengeksklusifkan kaum laki-laki.29
Dalam langkah praktis selama diterapkannya sistem kuota dalam medium perpolitikan
Indonesia, khususnya dalam menjaga stabilitas keseimbangan perwakilan baik laki-laki maupun
perempuan berangsur-angsur mengalami kemajuan yang signifikan. Hal ini terbukti ketika pesta
demokrasi khususnya pasca Pemilihan Umum yang sudah berlangsung di Indonesia khususnya
pada tahun-tahun terakhir ini, mendapatkan respon positif dari semua para politisi politik
khususnya dalam menjaring kader-kader politiknya. Tak sedikitpun jumlah para kader politisi
perempuan yang beramai-ramai mengambil posisi atau jabatan tertentu dalam partai politik
untuk selanjutnya berkiprah ke parlemen.

2.4.4. Pemberdayaan Perempuan30
Pemberdayaan perempuan secara sederhana dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk
mendorong dan meningkatkan kesadaran perempuan akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya. Upayan ini tentunya perlu diikuti dengan upaya yang
konkret dengan cara memperkuat potensi atau daya yang dimiliki perempuan dengan langkahlangkah nyata seperti menciptakan iklim perpolitikan yang elegan dan adil.
Kekuatan hukum pemberdayaan perempuan di Indonesia adalah dikeluarkannya Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 sebagai suatu strategi Pengarus Utamaan Gender
(PUG).31 Pengarusutamaan Gender adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan
gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berspektif gender pada organisasi dan
institusi. Pengarusutamaan gender mengatur strategi alternatif bagi usaha percepatan tercapainya
29
30

Ibid., hlm. 180.
Asmaeny Azis, op. cit., hlm. 245.
31
Pengarusutamaan Gender atau disingkat PUG adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistimatis
untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia (rumah
tangga, masyarakat dan negara), melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi,
kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Bdk. PUG (Pengarusutamaan
Gender) (online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Pengarusutamaan_gender, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014).

11

kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam
penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta
menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya. Atau dalam arti lain pengarusutamaan gender
adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional. Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan terfokus pada
peningkatan perempuan dalam pembangunan. Strategi ini dibangun atas asumsi bahwa
permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan itu
sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam
masyarakat termasuk dalam pembangunan.32
Dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000 dikemukakan bahwa: seluruh departemen, lembaga
pemerintahan, departemen propinsi, kabupaten/kota harus melakukan PUG dalam perencanaan
program serta pelaksanaannya adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan Indonesia.
Beberapa upaya tersebut diantaranya: pertama, pendidikan; pendidikan merupakan proses yang
sangat penting bagi pertumbuhan nalar manusia khususnya perempuan. Melalui pendidikan
kemampuan daya pikir serta pola tingkah laku perempuan diasah dan dikembangkan, serta
pendidikan merupakan modal dasar perempuan untuk bersaing dengan laki-laki terutama dalam
kancah politik. Kedua, kesehatan; kesehatan merupakan unsur yang sangat urgen dalam
kehidupan manusia. Kesehatan jiwa dan raga merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi
oleh manusia karena sangat menentukan keberadaan hidup manusia itu sendiri. Pemberdayaan
kesehatan kepada perempuan merupakan hal penting untuk mendorong kemajuan perempuan
dalam segala hal. Kesehatan perempuan yang terjamin sangat menentukan bangsa dan negara
yang sehat, selain sebagai motivator penggerak dalam hal pembangunan dan politik maupun
sebagai jaminan untuk melahirkan tunas-tunas baru bangsa. 33 Oleh karena itu, agar kedua hal
tersebut dapat terwujud secara praktis, sangat diharapkan komitmen serta kinerja dari pemerintah
melalui pencanangan kebijakan-kebijakan secara riil sehingga mampu mengangkat harkat dan
martabat perempuan untuk bangun dan bangkit bersama-sama dalam merancang pembangunan
hidup bangsa dan negara yang lebih maju.

III. PENUTUP
Perjuangan perempuan dalam dunia perpolitikan Indonesia ternyata telah berlangsung
jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia dikumandangkan. Perempuan turut
berandil besar terhadap kemajuan bangsa dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Pada
diri perempuan sebetulnya sudah tertanam jiwa nasionalisme yang tinggi yang kian mendorong
32

Pengarus Utamaan Gender (PUG) di Indonesia (online),
(http://njgroupgender.blogspot.com/2013/12/makalah-pengarusutamaan-gender-pug-di_7803.html, diakses pada
tanggal 20 Oktober 2014).
33

Asmaeny Aziz, op. cit., hlm. 251-252.

12

mereka untuk tampil di depan publik dan aktif dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini ke arah yang makmur dan sejahtera. Perempuan telah banyak berkontribusi dan
bekerja untuk bangsa dan negara ini.
Namun, dengan melihat realitas yang ada pada saat ini, kiprah perempuan dalam dunia
perpolitikan Indonesia berangsur-angsur mencolok ke bawah bahkan berbanding jauh dari
politisi laki-laki. Terlebih khusus dalam ruang parlemen Indonesia saat ini jumlah perempuan
masih jauh dari jumlah laki-laki. Mayoritas laki-laki kian menghiasi kursi parlemen Indonesia
sedangkan perempuan masih jauh dari harapan. Terhambatnya langkah politik perempuan pada
umumnya dipengaruhi oleh beragam faktor, baik faktor internal yang berasal dari dalam diri
perempuan itu sendiri maupun faktor eksternal yang timbul dari persepsi masyarakat dan juga
terpasung oleh ideologi-ideologi yang berkembang dalam masyarakat yang bersikeras
memojokkan kaum perempuan, sehingga kedudukan perempuan selalu dinomorduakan dalam
masyarakat. Lebih jauh daripada itu, partai politik yang merupakan alat transportasi politik
kurang menjalankan fungsinya secara sempurna bahkan dalam mengakomodir kader-kader
politiknya tak jarang bias akan gender.
Oleh karena itu, beberapa upaya yang disodorkan untuk mengatasi masalah tersebut
yakni: pertama; pengubahan sistem Pemilu di Indonesia yang lebih mendukung keseimbangan
perwakilan. Kedua; melalui partai politik dalam merekrut dan memberikan pendidikan politik
yang baik terhadap kaum perempuan sangat diharapkan. Ketiga; penetapan Kuota keterwakilan
dengan menetapkan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan sebagaimana yang telah
dicantumkan dalam Undang-Undang Partai Politik No. 21/2003. Keempat; meningkatkan
kualitas perempuan Indonesia melalui pendidikan dan kesehatan yang terjamin. Apabila langkahlangkah ini terwujud, maka dunia perpolitikan Indonesia tidak lagi bias akan gender yang lebih
memihak pada kaum laki-laki tetapi politik yang mengakomodasi hak setiap warga negara
termasuk perempuan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
BUKU:
Azis, Asmaeny. Dilema Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen. Yogyakarta: Penerbit
Rangkang Education, 2013.
13

Lilijawa, Isidorus. Perempuan, Media dan Politik. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.
Lovenduski, Joni. Politik Berparas Perempuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.
Robert Mirsel, “Good Governance dan Pemilu 2009: Kerinduan di Tengah Kegelisahan”. Jurnal
Ledalero. 7: 143-144, 2008.
Putra, Fadilah. Partai Politik dan Kebijakan Politik. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Belajar, 2004.
Sadli, Saparinah. Berbeda tetapi Setara. Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2010.
(t.p.). MDGs (Millenium Development Goals) Sebentar Lagi. Sanggupkah Kita Menghapus
Kemiskinan di Dunia?. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
(t.p.). Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
Udu, Joan Domaiko. Melampui Kegelisahan. Klaten: Penerbit Dito Color, 2012.
INTERNET:
http:www//idea.int/publication/swippi/upload/memperkuat-partisipasi-perempuan-dalam-politikdiindonesia.pdf., diakses pada tanggal 11 September 2014.
http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=176:kontribusi
perempuan-di-pemerintah-minim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114, diakses pada
tanggal 11 September 2014.
http://dds.bps.go.id/eng/abotus.php?=o, diakses 15 September 2014.
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/pengertian-dan-fungsi-partai.html#xzz2uQnEiMbp,
diakses pada tanggal 15 September 2014.
http://njgroupgender.blogspot.com/2013/12/makalah-pengarusutamaan-gender-pugdi_7803.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno, diakses 20 Oktober 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto, diakses 20 Oktober 2014.

14

15