Dukungan european court of human right bagi pelarangan jilbab di sekolah, serta niqab dan burqa di Perancis (2004-2013)
DUKUNGAN
EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHT
BAGI PELARANGAN JILBAB DI SEKOLAH, SERTA
NIQAB DAN BURQA DI PERANCIS
(2004-2013)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh
Sauri Susanto
1110113000071
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
v ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisis dukungan European Court of Human Rights bagi
pemerintahan Perancis terkait undang-undang pelarangan jilbab di sekolah yang disahkan pada tahun 2004 dan pelarangan niqab dan burqa di ruang publik Perancis pada tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi dukungan European Court of Human Rights bagi pemerintahan
Perancis terkait undang-undang tersebut dalam kurun waktu sembilan tahun ke belakang. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan metode kualitatif dan analisa deskriptif.
Penelitian ini menemukan bahwa dukungan European Court of Human Rights
bagi pemerintahan Perancis terkait undang-undang tersebut tidak terlepas dari faktor
integrasi kawasan seperti multikulturalisme, kesetaraan gender, toleransi dan entitas
Eropa. Hasil penelitian ini berdasarkan analisis yang dilakukan menggunakan kerangka teori konstruktivisme dan organisasi internasional.
(6)
vi
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Allhamdulillahi rabbilalamin
Dengan rahmat dan karunia yang diberikan Allah SWT, saya diberikan kesempatan, kekuatan, dan ketabahan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul dukungan European Court of Human Rights bagi pelarangan jilbab di
sekolah, serta niqab dan burqa di Perancis pada tahun 2004 hingga 2013.
Selama proses mengerjakan skripsi ini, penulis banyak menghadapi berbagai kendala baik itu teknis maupun non-teknis. Namun, dengan bantuan dari berbagai pihak serta dukungan dari orang-orang terdekat, penulis lebih mudah untuk menghadapi kendala tersebut sehingga mampu menyelesaikan penelitian ini. Dengan jasa-jasa dari berbagai pihak, pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, yaitu:
1. Kedua orang tua penulis bapak Satimin dan ibu Sukemi yang telah
memberikan dukungan moril maupun materil dari awal proses penelitian hingga akhir.
2. Bapak Andar Nubowo selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan bantuan selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung. Selain itu, terima kasih atas kesempatan dan pengalaman yang telah Bapak berikan kepada penulis selama proses bimbingan.
(7)
vii
3. Ibu Debbie selaku Ketua Jurusan dan pengajar di FISIP. Terima kasih atas
ilmu dan jasa yang telah ibu berikan kepada penulis.
4. Indi Ariestamaya yang selalu setia memberikan dukungan dan motivasi bagi
penulis agar penelitian ini selesai dengan hasil yang bagus. Terima kasih atas kesabaran, dan kesediaannya untuk selalu mendampingi penulis selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung.
5. Sahabat dekat penulis Alfinia, Eka Dian, Asri, Rahmi, Balqis, Dara, Sabana,
Thufeil, Riko, Ray, Rifky, Dhimas, Faisal, Hafied, Wildan, dan Novian. Terima kasih atas pengalaman dan keseruan-keseruan yang sudah dilewatkan bersama serta dukungan yang selalu diberikan. Terima kasih kepada Dewi atas kesediaanya mengoreksi beberapa hasil penelitian yang telah dibuat. Semoga setelah ini, silaturahmi kita selalu terjaga. Semoga kita semua sukses!
6. Teman-teman HI B khususnya kepada Aulia Fajardini, Fini Rubianti, M.
Ainul Ibad, Dede Rifa'atul dan Fahmi Ramdhani yang banyak memberikan masukan dan bersedia untuk bertukar pikiran kepada penulis terkait judul skripsi ini serta teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
(8)
viii
Penulis juga mengucapkan terima kasih sekaligus ucapan maaf kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih telah membantu secara langsung ataupun tidak langsung, serta berbagai bentuk dukungan yang telah diberikan.
Jakarta, 1 Desember 2014
(9)
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Tinjauan Pustaka ... 8
E. Kerangka Teori ... 11
Teori Konstruktivisme ... 12
Organisasi Internasional ... 16
F. Metode Penelitian ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II Islam di Eropa dan European Court of Human Rights A. Pertumbuhan Muslim di Eropa ... 22
1) Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa Pasca Perang Dunia ke-2 ... 22
2) Kondisi Minoritas Muslim di Eropa Pasca 9/11 ... 25
(10)
x
C. Islam di Perancis ... 37 D. European Court of Human Rights ... 43
BAB III Pelarangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa di Perancis tahun 2004 – 2013
A. Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis ... 46
1) Pelarangan Jilbab di Sekolah tahun 2004 di Perancis ... 46
2) Larangan Penggunaan Niqab dan Burqa di Perancis tahun 2010 .. 52
B. Pro dan Kontra Larangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di
Perancis 2004 - 2013 ... 57
1) Respon Masyarakat Perancis terhadap Larangan Jilbab di
Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis ... 57
2) Respon Dunia Internasional terhadap Larangan Jilbab di Sekolah
dan Niqab serta Burqa di Perancis ... 64 BAB IV Dukungan European Court of Human Rights bagi Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis (2004 – 2013)
A. Perlindungan European Court of Human Rights bagi Paham
Sekularisme Perancis dari Ancaman Jilbab, Niqab dan Burqa ... 70
B. Pengaruh Integrasi Eropa dalam Dukungan European Court of Human
Rights terhadap Pelarangan Jilbab, Niqab dan Burqa ... 77
BAB V KESIMPULAN
Kesimpulan ... 85 DAFTAR PUSTAKA ... xv LAMPIRAN ... xxvii
(11)
xi
DAFTAR TABEL
(12)
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Populasi Muslim di beberapa Negara Eropa ... 29 Gambar 2. Perbedaan Jilbab, Niqab dan Burqa ... 32
(13)
xiii
DAFTAR SINGKATAN
CCIF Collectif Contre l'Islamophobie en France
CFCM The Conseil Français du Culte Musulman
CIMG France Comité de Coordination des Musulmans Turcs de France, Millî
Görüs
CNCDH Commission Nationale Consultative des Droits de l'Homme
CRI Coordination contre le Racisme et l‘Islamophobie
CSA Le Conseil Supérieur de l'Audiovisuel
ECHR European Convention on Human Right
ECtHR European Court of Human Right
FNMF Fédération Nationale des Musulmans de France
GMP Grande Mosquée de Paris
HAM Hak Asasi Manusia
HRW Human Right Watch
ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights
IFOP L‘Institut Français d'Opinion Publique
IHRC Islamic Human Rights Commission
IIWO International Islamic Women Organisation
RUU Rancangan Undang-Undang
UMP Union Pour un Mouvement Populaire
UOIF Union des Organisations Islamiques de France
(14)
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
(15)
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perancis adalah rumah bagi sebagian besar komunitas Muslim di Eropa. Perkembangan Islam yang begitu signifikan di Perancis menjadikan agama tersebut
sebagai agama terbesar kedua setelah Kristen.1 Dengan jumlah Muslim sekitar enam
persen dari total penduduk Perancis2, Islam dipandang sebagian masyarakat Perancis
sebagai sebuah ancaman yang mampu mengancam kedaulatan dan merusak nila-nilai
luhur dikarenakan adanya perbedaan nilai-nilai antara Islam dengan Perancis.3
Pandangan negatif yang terbentuk mengenai Muslim di Perancis memunculkan isu-isu yang menyudutkan umat Muslim yang menetap disana. Salah satu isu-isu yang muncul dan berpengaruh terhadap kehidupan Muslim, terutama wanita Muslim di Perancis adalah isu mengenai pelarangan simbol-simbol keagamaan di lingkungan pendidikan pada tahun 2003.
Isu mengenai pelarangan simbol-simbol yang melanda Perancis menimbulkan efek domino bagi negara-negara di Eropa. Negara-negara Eropa lainnya termasuk Belgia, Swiss dan Spanyol juga ikut mengupayakan RUU yang serupa dengan hukum
1 Jocelyne Caesari, ―Islam in France: The Shaping of a Religious Minority‖, dalam
Muslims in the West, from Sojourners to Citizens, ed. Yvonne Haddad-Yazbek, (New York: Oxford University Press,
2002), 36.
2 Britton D. Davis,
Lifting the Veil: France‟s New Crusade, 34 B.C. Int'l & Comp. L. Rev. 117 (2011),
http://lawdigitalcommons.bc.edu/iclr/vol34/iss1/6.
3 Robert J Pauly, ―Islam in France‖dalam
Islam in Europe: Integration or Marginalization?
(16)
2
Perancis tersebut.4 Isu mengenai pelarangan simbol keagamaan di lingkungan
pendidikan diawali oleh rancangan undang-undang yang diajukan Presiden Jacques Chiraq pada tahun 2003 yang memuat pelarangan penggunaan simbol-simbol
keagamaan di sekolah, termasuk jilbab, yang kemudian disahkan pada 2004.5
Sebenarnya ini bukanlah isu baru yang terjadi di Perancis. Persoalan wanita memilih untuk memakai tutup kepala pertama muncul pada tahun 1989 ketika tiga gadis di Creil, pinggiran Paris, dilarang mengikuti kegiatan belajar karena mereka memakai jilbab di sekolah. Insiden ini sesudahnya dikenal sebagai "Headscarf Affair" antara tahun 1989 dan 1998 dan lebih dari 1.200 artikel telah ditulis mengenai kontroversi
jilbab di Perancis.6
Secara bertahap, pemerintah Perancis mengembangkan undang-undang pelarangan simbol keagamaan di sekolah. Pada tahun 2007, undang-undang larangan pemakaian simbol keagamaan tidak hanya berlaku di lingkungan pendidikan, namun
larangan tersebut juga berlaku di tempat-tempat yang memberikan pelayanan publik.7
Undang-undang tersebut kemudian berangsur-angsur mengerucut dan menghasilkan
undang-undang anti niqab dan burqa yang disahkan tahun 2011.8 Niqab dan burqa
4BBC, ―The Islamic veil across Europe‖, 22 September 2011, diakses pada 24 Maret 2014,
http://www.bbc.com.
5 Caroline Wyatt, ―Liberty, equality and the headscarf‖, 20 Desember 2003, diakses pada 25 Desember
2013, http://www.news.bbc.co.uk.
6 Adrien Katherine Wing dan Monica Nigh Smith, ―Critical Race Feminism Lifts the Veil? Muslim
Women, France, and the Headscarf Ban‖, UC Davis Law Review Vol. 39, No. 3, (2005): 743.
7 Faiza Zerouala, ―Headscarf ban turns France‘s Muslim women towards homeworking‖, 3 Oktober
2014, diakses pada 26 Oktober2014, tersedia di
http://www.theguardian.com/world/2014/oct/03/france-Muslim-women-home-working;
8 Lina Ragep Powell, ―The Constitutionality Of France's Ban On The Burqa In Light Of The European
Convention's Arslan V. Turkey Decision On Religious Freedom‖,Wisconsin International Law Journal Vol. 31 Issue 1, (2013):118.
(17)
3 merupakan pakaian yang digunakan wanita Muslim untuk menutupi dan melindung aurat mereka. Niqab adalah tabir untuk wajah yang hanya memperlihatkan daerah sekitar mata dengan jelas. Sedangkan burqa adalah tabir yang menutupi seluruh wajah dan juga menutupi mata dengan sehelai kain tipis atau dengan memberi
celah-celah di bagian mata.9
Beberapa alasan dijadikan pemerintah Perancis sebagai acuan dalam pembuatan undang-undang pelarangan jilbab, niqab dan burqa. Alasan mendasar pemerintah Perancis mengesahkan undang-undang tersebut adalah bahwa penggunaan jilbab, niqab dan burqa, baik itu di sekolah maupun di ruang publik
bertentangan dengan prinsip dasar laïcité di Perancis.10Laïcité adalah sebuah konsep
yang disahkan pemerintah Perancis pada tahun 1905.11 Bagi masyarakat Perancis,
laïcité merupakan sebuah konsep yang menunjukkan identitas Perancis dan juga digunakan masyarakat, politisi dan ilmuwan sebagai pondasi dasar dari tindakan
politik dan budaya di Perancis. Bahkan konsep laïcité pun digunakan oleh para
ilmuwan dan politisi untuk memahami fenomena dunia politik kontemporer di
Perancis.12 Selain laïcité, terdapat beberapa isu domestik yang juga mendorong
9 Kendal Davis, ―The Veil That Covered France's Eye: The Right to Freedom of Religion and Equal
Treatment in Immigration and Naturalization Proceedings‖,Nevada Law Journal Vol. 10: Iss. 3,
(2010): 732.
10 Hera Hashmi, ―Too Much to Bare? A Comparative Analysis of the
Headscarf in France, Turkey, and the United States‖, University of Maryland Law Journal of Race, Religion, Gender and Class vol. 10; 2 (2010): 418.
11 Raphaël Liogier, ―Laïcité on the Edge in France: Between the Theory of Church-State Separation
and the Praxis of State-Church Confusion‖, Macquarie Law Journal vol. 9. (2009): 26.
(18)
4 pemerintah Perancis untuk mengesahkan undang-undang tersebut seperti keamanan, gender, toleransi, hingga gerakan radikalisme yang semakin berkembang di Perancis.
Sejak disahkannya undang-undang yang pelarangan jilbab, niqab dan burqa di Perancis, terdapat sejumlah kasus yang melibatkan pemerintah dengan penduduk
Muslim dan tercatat di European Court of Human Rights (ECtHR). ECtHR
merupakan pengadilan HAM di Eropa yang dibentuk untuk menerapkan dan melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara di Benua Eropa. ECtHR ini memiliki prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia yang disusun pada masa setelah Perang Dunia II. ECtHR yang didirikan pada tahun 1959 di Strasbourg, Perancis, menganggap bahwa setiap kasus yang terkait dengan Hak Asasi Manusia yang dibawa oleh individu, organisasi dan
negara-negara di Eropa merupakan kasus yang terikat oleh konvensi.13
Di tahun 2008, ECtHR mengeluarkan sebuah keputusan terkait kasus
pelanggaran peraturan penggunaan jilbab di sekolah yang diberlakukan Perancis oleh seorang siswi bernama Dogru. Pada saat itu Dogru di keluarkan dari kelas karena menolak untuk melepas jilbabnya ketika pelajaran olahraga oleh guru mata pelajaran
tersebut.14 Peristiwa tersebut dilaporkan ke ECtHR yang kemudian melakukan analisa
terhadap kasus tersebut. ECtHR memutuskan bahwa apa yang dilakukan guru
13 BBC, ―Profile: European Court of Human Rights‖, 7 Februari 2012, diakses pada 15 Februari 2014,
http://www.bbc.co.uk.
14 Powell, ―The Constitutionality Of France's Ban On The Burqa In Light Of The European
(19)
5
tersebut tidak melanggar HAM dan tidak pula melanggar Pasal 9 dalam European
Convention on Human Right.15
Larangan yang diberlakukan di Perancis ini menimbulkan ketegangan antara hubungan Muslim dan warga non-Muslim di Perancis yang merupakan warga mayoritas negara tersebut. Pada tahun 2010, Aturan baru yang melarang burqa dan niqab di Perancis juga memicu debat dan kemarahan. Ratusan perempuan ditangkap karena melanggar aturan itu sejak disahkan menjadi undang-undang, meskipun tidak
semua dijatuhi hukuman.16
Pada pertengahan tahun 2013, terjadi insiden yang melibatkan Muslim Perancis dengan aparat di negara tersebut. Puluhan orang menyerang kantor polisi di
Trappes, melemparkan kembang api dan membakar tempat-tempat sampah.17 Insiden
ini terjadi setelah polisi menangkap seorang pria yang dituduh menghina polisi.
Sebelumnya polisi Perancis menangkap istri dari pria tersebut karena di antara mereka mengenakan niqab di tempat umum yang merupakan hal yang dilarang di Perancis. Dari kejadian-kejadian yang telah terjadi akibat dari pelarangan yang
dilakukan Perancis di atas, ECtHR telah memberikan feedback dengan memenangkan
kasus-kasus tersebut bagi pemerintahan Perancis.18 Hal ini merupakan sebuah hal
yang menarik mengingat penggunaan jilbab, niqab ataupun burqa bagi seorang
15 Shaira Nanwani, ―The Burqa Ban : An Unreasonable Limitation on Religious Freedom or Justifiable
Restrictions?‖Emory International Law Review vol. 25 Issue 3, (2011): 1433.
16 Lisa Bryant, ―Larangan Jilbab Picu Ketegangan di Perancis‖, 23 Juli 2013, diakses pada 15 Oktober
2013, http://www.voaindonesia.com.
17Bryant, ―Larangan Jilbab Picu Ketegangan di Perancis.‖
18Powell, ―The Constitutionality Of France's Ban On The Burqa In Light Of The European
(20)
6 wanita Muslim merupakan sebuah pilihan dan juga merupakan salah satu dari bentuk
(21)
7
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan singkat mengenai latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, pertanyaan penelitian dari skripsi ini adalah Mengapa European
Court of Human Rights mendukung pelarangan jilbab di sekolah dan niqab serta
burqa di Perancis pada tahun 2004 – 2013?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui respon European Court of Human Rights terkait aturan
larangan penggunaan jilbab, niqab dan burqa di Perancis.
2. Mengetahui dampak respon European Court of Human Rights
terhadap kehidupan minoritas Muslim di Perancis. Manfaat Penelitian
1) Manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan
perkembangan bagi studi Hubungan Internasional terutama dalam perkembangan studi Organisasi Internasional.
2) Penelitian ini lebih lanjut diharapkan mampu membantu akademisi
yang ingin meneliti peran European Court of Human Rights dalam
(22)
8
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian dan karya ilmiah yang telah membahas peran European Court of Human Rights terhadap larangan pemakaian niqab dan burqa di Perancis. Salah satunya adalah artikel jurnal yang ditulis pada tahun 2008 oleh Baljit Kooner dari Southampton Solent University. Artikel ini memberikan analisis kritis terhadap hukum Perancis yang diperkenalkan pada tahun 2003 yang melarang simbol
agama dipakai di sekolah umum.19 Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun
hukum tersebut terlihat netral, namun dalam penerapannya, wanita Muslim yang mengenakan hijab menjadi target oleh undang-undang ini melebihi kelompok agama lain. Tulisan ini meneliti gagasan sekularisme yang digunakan oleh Perancis dalam membenarkan larangan tersebut untuk menyimpulkan bahwa Perancis menggunakan
versi fundamentalis sekularisme yang tidak sesuai dengan Konvensi Eropa.20
Selain artikel jurnal, terdapat pula tesis berjudul yang ditulis tahun 2011 oleh Marie Haspeslagh yang pada saat itu tengah menepuh studi master di University of
Ghent, Belgia.21 Tesis ini dilandasi oleh penalaran dari ECtHR Hak Asasi Manusia
Eropa dalam menganalisis apakah larangan umum tentang burqa di ruang publik memang melanggar Hak Asasi Manusia tertentu dan jika hal ini terjadi, pertanyaan
19Baljit Kooner, ―The Veil of Ignorance: A Critical Analysis of the French Ban on Religions Simbols
in the Context of the Application of Article 9 of the European Court of Human Rights‖, Mountbatten Journal of Legal Studiesvol. 12 (2), (2008): 24.
20Kooner, ―The Veil of Ignorance‖, 26.
21 Marie Haspeslagh, ―The Belgian Burqa-Ban: Unveiled from a Human Right Perspective‖,
(23)
9 yang perlu dijawab adalah apakah larangan burqa di Belgia merupakan suatu
pembatasan yang dibenarkan.22
Secara keseluruhan Marie Haspeslagh menemukan bahwa larangan Belgia
merupakan suatu pembatasan yang dibenarkan. Analisis larangan burqa di Belgia yang menggunakan perspektif Hak Asasi Manusia ini menjadi contoh bagi negara-negara Eropa lain karena analisis ini juga dapat berlaku terhadap analogi pada
larangan Perancis dan larangan lain di masa depan.23
Tesis yang kedua dibuat oleh Margaret Epstein dari Trinity College, Amerika
Serikat.24 Tesis ini merupakan upaya untuk mempelajari kajian baru dengan apa yang
dikenal sebagai "Headscarf Affair" dan hukum yang telah ditulis dalam menanggapi
hal itu. Tesis ini menyelidiki cara Perancis dan seluruh dunia dalam membuat wacana tentang masalah larangan jilbab saat ini, hukum saat ini dan masa depan yang
berpotensi menimbulkan larangan berjilbab.25 Hal ini dilakukan dalam tiga bagian,
pertama melalui analisis esai lain yang membahas undang-undang yang melarang jilbab selama dua puluh tahun terakhir oleh penulis Perancis dan penulis
non-Perancis.26
22Haspeslagh, ―The Belgian Burqa Ban‖, 19.
23Haspeslagh, ―The Belgian Burqa Ban‖, 99.
24Margaret Epstein, ―Look Who‘s Talking: The Burqa Ban in France‖, (Trinity Collage, 2012). 25Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 7
. 26
(24)
10 Bagian kedua terfokus pada film dokumenter yang dibuat oleh Perancis dan
non-Perancis yang menjelaskan situasi yang telah terjadi.27 Bagian ketiga adalah
analisis aktivis Perancis, baik mendukung maupun yang menentang hukum dan
cara-cara di mana mereka melakukan hal tersebut.28 Pada akhirnya muncul kesimpulan
untuk setiap bagian dari tesis yang menjelaskan bahwa percakapan tentang pelarangan jilbab di Perancis tidak terikat pada batas mereka sendiri dan bahwa baik di dalam dan luar negari, terdapat banyak pendapat yang bervariasi. Tesis ini berharap dapat memperkenalkan cara baru untuk melihat pelarangan jilbab di Perancis dan menjadi panduan untuk melihat apa yang sebelumnya telah dilakukan
terkait larangan jilbab ini.29
Adapun penelitian dan tesis-tesis di atas menggunakan dasar hak asasi manusia untuk meneliti larangan hijab yang terjadi di beberapa negara. Selain itu,
Eropa memiliki European Court of Human Rights yang mampu dijadikan acuan bagi
setiap negara di sana untuk mengambil sebuah kebijakan yang terkait dengan Hak
Asasi Manusia. Dalam hal ini, European Court of Human Rights selaku organisasi
yang menaungi Hak Asasi Manusia internasional juga tidak terlepas dari tanggung jawabnya untuk mengatasi permasalahan larangan penggunaan hijab, niqab dan burqa yang masih menjadi dilema.
27Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 34. 28Epstein, ―Look Who‘s Talking‖, 45. 29
(25)
11 Dari beberapa sumber yang disebutkan di atas, skripsi ini akan meneliti
faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi dukungan European Court of Human
Rights terhadap pelarangan jilbab di sekolah dan burqa di ruang publik yang
diterapkan Perancis dari tahun 2004-2013 dengan melihat dari kasus-kasus yang
terjadi dalam kurun waktu 5 tahun.
Meskipun memiliki beberapa aspek ataupun sudut pandang yang sama, namun
dari sumber-sumber di atas tidak membahas alasan yang membuat European Court of
Human Rights selaku badan HAM di Eropa mendukung Perancis terhadap larangan simbol agama hingga menjadi larangan penggunaan jilbab, niqab dan burqa di ruang publik.
E. Kerangka Teori
Dalam menjawab pertanyaan penelitian, skripsi ini berusaha menganalisi menggunakan teori konstruktivisme dan organisasi internasional. Skripsi ini mengaitkan keduanya dengan pertanyaan penelitian karena dinilai bahwa konstruktivisme dan organisasi internasional mampu menjelaskan dan memahami
bagaimana respon European Court of Human Rights terhadap larangan penggunaan
jilbab di sekolah, niqab dan burqa di ruang publik Perancis. Dengan menggunakan kerangka pemikiran tersebut, skripsi ini berusaha mengaitkan pembatasan yang
dilakukan pemerintah Perancis dengan European Court of Human Rights selaku
(26)
12 Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan teori yang memfokuskan pada kesadaran manusia dan peranannya dalam lingkungan internasional. Kesadaran manusia dalam hal ini berkaitan dengan pandangan mereka mengenai ide, norma, pengetahuan, kebudayaan, argumen politik serta menekankan pada peran kolektif atau ide
intersubjektif dalam memahami kehidupan sosial.30 Konstruktivisme merupakan
pendekatan sosial yang menganalisis tentang interaksi manusia yang dibedakan berdasarkan faktor ide atau gagasan, bukan berupa materi belaka. Faktor gagasan tersebut merupakan hasil dari keyakinan intersubjektif, yakni tidak hanya berasal dari individual saja. Kemudian kepercayaan ini membentuk identitas dan kepentingan bagi seseorang. Menurut pandangan Searle, konstruktivisme fokus pada istilah yang disebut sebagai ―kenyataan sosial‖ yakni hal-hal seperti harta, kedaulatan, dan hak hanya ada karena manusia secara kolektif meyakini hal-hal tersebut ada dan bertindak
sesuai dengan yang mereka yakini.31
Konstruktivisme, melalui pandangan Katzenstein menilai bahwa nilai-nilai sosial, dalam hal ini identitas negara, yang tertanam memiliki pengaruh dalam sebuah
institusi.32 Selain itu, identitas dalam sebuah negara juga mampu mempengaruhi sifat
dan tujuan sebuah institusi. Identitas dan norma-norma mampu mengarahkan institusi
30 Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, ―Taking Stock: The Constructivist Research Program in
International Relations and Comparative Politics‖, Annual Review of Political Science 4, (2001): 392.
31 Finnemore dan Sikkink, ―Taking Stock‖,392-393.
32Peter J. Katzenstein, Alexander Wendt dan Ronald L. Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in
National Security‖ dalam The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics, ed.
(27)
13 mengenai bagaimana cara institusi ini beroperasi. Identitas memiliki peran penting sebagai penghubung antara struktur lingkungan institusi dengan kepentingan
anggota.33 Konfigurasi identitas dalam suatu negara mampu mempengaruhi
struktur-struktur normatif antarnegara, seperti rezim atau komunitas keamanan.34 Kebijakan
yang dikeluarkan negara mampu mereproduksi dan merekonstruksi struktur
kebudayaan dan juga institusi.35
Konstruktivisme juga dapat dikatakan sebagai teori yang menekankan pada kesadaran manusia mengenai posisinya dalam hubungan antar negara. Konstruktivisme tidak berfokus pada materi saja seperti teori HI lainnya yang menekankan pada unsur material yang fokus pada distribusi kekuatan materi dan bagaimana kekuatan tersebut memengaruhi tindakan suatu negara. Bagi teori ini, aspek utama dalam hubungan internasional adalah nilai sosial bukan material. Dalam dunia sosial dan politik, termasuk juga hubungan internasional, bukan merupakan entitas fisik atau objek material yang berada di luar kesadaran manusia. Hal ini menandakan bahwa dunia sosial dan politik merupakan konstruksi dari para aktor berdasarkan apa yang mereka yakini. Dengan demikian, studi hubungan internasional tidak dapat terbatas hanya pada unsur material tetapi juga gagasan dan kepercayaan
33Katzeinstein, Wendt dan Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in National Security‖, 12. 34Katzeinstein, Wendt dan Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in National Security‖, 23. 35 Katzeinstein, Wendt dan Jepperson, ―Norms, Identity, and Culture in National Security‖, 24.
(28)
14 yang membentuk peran aktor dalam dunia internasional dan bagaimana para aktor
tersebut berbagi pemahaman mengenai dunia.36
Sistem internasional, tidak seperti sistem tata surya yang ada dengan sendirinya, tetapi diciptakan karena adanya kekhawatiran bersama antar manusia. Hal ini menandakan bahwa sistem internasional dibentuk berdasarkan ide atau gagasan, bukan material. Hal tersebut menunjukan bahwa hasil temuan tidak di dasarkan pada bentukan fisik atau materi tetapi karena bentukan ide dan intelektual. Dapat dipahami juga bahwa sistem internasional merupakan sekumpulan ide, pemikiran, dan norma yang dikreasikan oleh orang-orang yang memiliki perhatian mengenai hal tertentu. Perubahan yang terjadi dalam sistem internasional juga dipengaruhi oleh perubahan pemikiran dan ide sebab kedua hal tersebut mampu menciptakan sebuah sistem. Seperti halnya sistem, negara juga merupakan hasil konstruksi, terutama konstruksi sejarah. Keduanya sama-sama dikreasikan oleh manusia dan dapat diubah juga sesuai
dengan yang mereka kehendaki.37
Tidak jauh berbeda dengan beberapa pandangan yang telah disebutkan di atas mengenai konstruktivisme, Christian Reus Smit menilai bahwa konstruktivisme terlahir dari kritik terhadap teori hubungan internasional yang sudah ada sebelumnya. Dalam kacamata Smit, konstruktivisme menekankan pentingnya struktur normatif dan ideasional karena ini dianggap sebagai pembentuk identitas sosial aktor politik.
36 Robert Jackson dan George Sorensen. (2006).
Introduction to International Relations Theories and Approaches. Edisi Ketiga. New York: Oxford University Press. 156
37 Robert Jackson dan George Sorensen.
Introduction to International Relations Theories and Approaches. 162-164.
(29)
15 Smit juga berpendapat bahwa memahami kondisi struktur non-materi dari identitas aktor merupakan hal yang penting karena identitas dapat menginformasikan kepentingan dan juga tindakan mereka. Memahami bagaimana aktor mengembangkan minat mereka sangat penting untuk menjelaskan berbagai fenomena
politik internasional.38
Christian Reus Smit juga menyatakan bahwa ada tiga proposisi dasar untuk memahami konstruktivisme dalam hubungan internasional :
a. Pertama, struktur normatif dan ideasional sama pentingnya dengan struktur
material dalam membentuk kebiasaan negara sebagai aktor dalam hubungan internasional.
b. Kedua, dalam memahami kebiasaan negara dan aktor lain dalam hubungan
internasional diperlukan pemahaman atas identitas sosial yang menentukan kepentingan dan tindakan yang dilakukannya. Karena identitas sosial aktor dapat bermacam-macam, maka demikian pula kepentingan dan tindakan yang dipilih untuk dilakukannya.
c. Ketiga, walaupun konstruktivisme sangat menekankan kekuatan struktur
normatif dan ideasional, namun keduanya hanya ada melalui praktek rutin yang dilakukan oleh aktor pembuat ide dan norma itu menjadi nyata dalam dinamika kehidupan manusia. Konstruktivisme tidak hanya menekankan alasan untuk bertindak dan memfokuskan kajian dan kesesuaian antara
38 Christian Reus-Smit.
(30)
16 tindakan dan norma-norma dasar, namun juga logika dalam berargumentasi dengan cara membentuk norma dan ide dalam kerangka kerja tentang strategi,
tujuan dan lembaga apa yang sah untuk digunakan.39
Lebih lanjut, Reus Smit menyatakan bahwa ketika melakukan tindakan politik, aktor selalu dilandasi oleh empat pertimbangan, yaitu idiografi, tujuan, etis dan instrumental. Pertimbangan idiografi menjadi penting ketika aktor negara menentukan identitas, siapa dirinya. Pertimbangan purposif berlaku ketika aktor merumuskan apa yang ingin dicapainya, mendekatkan diri pada pembentukan kepentingan dan preferensinya atas kepentingan yang hendak dicapainya. Pertimbangan etis dipakai ketika aktor hendak memutuskan bagaimana mereka harus bertindak dan terakhir pertimbangan instrumental dipakai ketika aktor hendak memutuskan sarana apa yang digunakan dalam rangka meraih tujuan yang telah
ditetapkan.40
Organisasi Internasional
Selain melihat menggunakan teori konstruktivisme, penulis juga berusaha
melihat respon yang diberikan European Court of Human Rights dengan
menggunakan konsep dari Organisasi Internasional. Dalam hal ini, penulis ingin
melihat fungsi dari European Court of Human Rights itu sendiri selaku organisasi
internasional. Organisasi internasional pada awalnya dijadikan sebuah alat untuk
39 Christian Reus-Smit.
Constructivism., 196-197.
40 Christian Reus Smit. (2004).
The Politics of International Law, dalam the Politics of International Law. Cambridge: Cambridge University Press. 25
(31)
17 mempertahankan peraturan-peraturan agar berjalan tertib dalam mengupayakan pencapaian tujuan bersama dan juga menjadi sebuah tempat agar negara-negara menjalin hubungan dalam upaya memenuhi kepentingan nasionalnya
masing-masing.41
Awal dari terbentuknya organisasi internasional, menurut Bennet, terjadi ketika terdapat sebuah kesepakatan antara satuan-satuan politik yang otonom untuk menegaskan hak dan kewajiban bersama demi kerjasama atau perdamaian. Organisasi internasional tidak pernah dibentuk untuk saling memerangi ataupun saling memusuhi antar anggotanya. Selanjutnya, Bennet juga berpendapat bahwa organisasi internasional dapat diartikan sebagai suatu perikatan antar subjek yang melintasi batas-batas negara dimana perikatan tersebut terbentuk berdasarkan suatu perjanjian
dan memiliki organ bersama.42
Organisasi internasional dalam hubungan internasional telah diakui karena keberhasilannya dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi suatu negara. Bahkan saat ini organisasi internasional dinilai dapat memengaruhi tingkah laku negara secara tidak langsung. Dari hal ini, dapat kita lihat bahwa organisasi intenasional memiliki peran yang signifikan bagi stabilitas sistem internasional. Organisasi internasional juga dijadikan alat untuk digunakan oleh negara-negara anggotanya agar tujuan politik luar negeri mereka tercapai. Selain itu, organisasi internasional juga dapat dijadikan sebagai wadah untuk mendiskusikan serta
41 Le Roy Bannet, ―International Organization: Principles and Issues‖, dalam
Pengantar Hubungan Internasional, ed. Yani dan Perwita, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 91.
(32)
18 memecahkan permasalahan yang terjadi di suatu negara ataupun sistem internasional serta mampu menjadi aktor independen yang mampu mengambil sebuah keputusan
tanpa ada intervensi dari pihak luar organisasi.43
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif di mana penulis berusaha untuk melakukan penelitian dalam hubungan internasional dengan melihat permasalahan yang ada kemudian dikaitkan dengan teori-teori dalam
hubungan internasional.44 Selain menggunakan metode deskriptif, penulis juga akan
menggunakan metode penelitian kualitatif dalam upayanya menjawab pertanyaan penelitian. Metode penelitian kualitatif merupakan metode pendekatan yang menggunakan data-data yang berbentuk kalimat, skema, gambar, tabel maupun diagram yang berfungsi untuk memperkuat argumen yang akan digunakan dalam
penelitian.45
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan teknik studi pustaka untuk
mengumpulkan data-data yang diperlukan. Dengan menggunakan teknik studi pustaka, penulis berusaha untuk memanfaatkan beberapa jurnal, buku, artikel maupun beberapa informasi yang dapat diakses dari media elektronik. Terdapat beberapa perpustakaan yang dikunjungi oleh penulis demi melengkapi data-data yang
43 Clive Archer, ―International Organization‖, dalam
Pengantar Hubungan Internasional, ed. Yani
dan Perwita, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 95.
44 Mochtar Mas'oed,
Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990),
223.
45 Lisa Harison,
(33)
19 diperlukan seperti perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan FISIP UIN Syarif hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan CSIS dan Freedom Library.
(34)
20
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Pertanyaan Penelitian
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Kerangka Teori
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II Islam di Eropa dan European Court of Human Rights
A. Pertumbuhan Muslim di Eropa
1) Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa Pasca Perang
Dunia ke-2
2) Kondisi Minoritas Muslim di Eropa Pasca 9/11
B. Larangan Simbol Keagamaan di Eropa: Kasus Jilbab, Niqab dan
Burqa
C. Islam di Perancis
D. European Court of Human Rights
BAB III Pelarangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa di Perancis 2004 - 2013
(35)
21
1) Pelarangan Jilbab di Sekolah tahun 2004 di Perancis
2) Larangan Penggunaan Niqab dan Burqa di Perancis
tahun 2010
B. Pro dan Kontra Larangan Jilbab di Sekolah serta Niqab dan Burqa
di Perancis 2004 – 2013
1) Respon Masyarakat Perancis terhadap Larangan Jilbab di
Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis
2) Respon Dunia Internasional terhadap Larangan Jilbab di
Sekolah dan Niqab serta Burqa di Perancis
BAB IV Dukungan European Court of Human Rights bagi Pelarangan Jilbab di Sekolah dan Burqa di Perancis (2004 – 2013)
A. Perlindungan European Court of Human Rights bagi Paham
Sekularisme Perancis dari Ancaman Jilbab, Niqab dan Burqa
B. Pengaruh Integrasi Eropa dalam Dukungan European Court of
Human Rights terhadap Pelarangan Jilbab, Niqab dan Burqa bagi Perancis
BAB V Penutup
(36)
22
BAB II
Islam di Eropa dan European Court of Human Rights
A. Pertumbuhan Muslim di Eropa
1) Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa Pasca Perang Dunia ke-2 Eropa merupakan sebuah benua yang memiliki jumlah populasi lebih dari 700 juta jiwa di tahun 2013 dan menjadi benua ketiga terpadat setelah Asia dan Afrika
dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen.46 Namun, selain Kristen,
tedapat pula agama lain yang saat ini tengah berkembang di Eropa yaitu Islam. Terdapat sekitar lebih dari 20 juta jiwa penduduk Eropa yang memeluk agama Islam
dan itu menjadikan Islam sebagai agama kedua di Eropa.47
Terdapat 10 juta imigran dari negara-negara Muslim tinggal di Eropa dan di antara mereka melahirkan anak dengan status sebagai warga negara di salah satu
negara di Eropa.48 Tidak hanya itu, bahkan di tahun 2007, agama Islam bahkan
menjadi agama mayoritas di kalangan imigran dan kelompok agama terbesar kedua dari masyarakat Eropa. Masyarakat Muslim terbesar ditemukan di Perancis, Jerman dan Inggris, dan laju pertumbuhan mereka stabil serta memiliki kecenderungan
46 Europe Population 2013, 6 Maret 2014, diakses pada 17 Juni 2014,
http://www.worldpopulationstatistics.com.
47 Kristin Archick, Paul Belkin, Carl Ek et al,
Muslims in Europe: Promoting Integration and Countering Extremism, (Congressional Research Service, 2011), 3.
48 Gilles Kepel,
The War for Muslim Minds: Islam and the West. (Harvard University Press, 2004),
(37)
23
meningkat setiap tahunnya.49 Sebagian besar Muslim yang tinggal di Eropa, terutama
Eropa Barat, merupakan keturunan imigran yang kebanyakan dari mereka berasal
dari migrasi ekonomi yang terjadi tahun 1950-an, 1960-an dan 1970-an.50
Gelombang imigrasi yang terjadi di Eropa merupakan efek dari perang dunia kedua dan gejolak politik yang terjadi di Eropa Timur, Timur Tengah dan wilayah
lain.51 Imigrasi Muslim besar-besaran di Eropa dimulai ketika pada periode
pasca-perang terjadi perekrutan pekerja dari selatan dan tenggara Eropa, dan kemudian dari
Anatolia (Turki) yang dilakukan untuk memperluas pasar tenaga kerja.52
Negara-negara di Eropa mengalami gelombang migrasi besar pada awal tahun 1950-an. Gerakan migrasi terjadi dari bagian Eropa Selatan, negara-negara Mediterania non-Eropa dan negara-negara bekas koloni menuju ke Barat dan non-Eropa Utara. Alasan terjadinya gerakan migrasi ini dikarenakan adanya ekspansi besar perekonomian yang merupakan rekonstruksi perekonomian negara-negara Eropa Utara ditambah dengan kurangnya tenaga kerja yang terampil serta de-kolonisasi para mantan penguasa
kolonial.53
49 Katrine Anspaha, ―The Integration of Islam in Europe: Preventing the radicalization of Muslim
diasporas and counterterrorism policy,‖ ECPR Fourth Pan-European Conference on EU Politics
(2008): 2.
50 Anspaha. ―The Integration of Islam in Europe,‖ 3.
51 Jack Citrin dan John Sides, ―Immigration and the Imagined Community in Europe and the United
States,‖ Political Studies vol 56 (2008): 34.
52 Dr. Christine Schirrmacher, ―Muslim Immigration to Europe – The Challenge for European
Societies – Human Rights – Security Issues – Current Developments,‖ MBS – Texte (2008): 106.
53 Christian Dustmann dan Tommaso Frattini,‖ Immigration: The European Experience,‖
Norface Migration No. 2012-01, (2012): 5.
(38)
24 Perpindahan penduduk dari bekas negara-negara koloni ke negara-negara penjajah terjadi akibat pemberian hak oleh negara bekas penjajah kepada bekas negara yang terjajah. De-kolonisasi membiarkan orang Eropa yang telah menetap di wilayah bekas koloni, bahkan yang telah menikah dengan penduduk pribumi bermigrasi kembali setelah pemerintahan kolonial telah berhenti. Selama periode ini, negara-negara seperti Belanda menerima imigran dari Indonesia pada tahun 1950an dan dari Suriname di awal tahun 1970an, Inggris menerima imigran dari Karibia, Asia dan Afrika Timur. Setelah perang Aljazair pada tahun 1962, Perancis menerima satu juta penduduk Aljazair yang berasal dari Eropa serta banyak imigran Afrika
Utara.54
Gelombang imigrasi besar yang terjadi di Eropa perlahan mulai menunjukkan penurunan ketika terjadi krisis minyak di tahun 1973 yang menyebabkan penurunan ekonomi dan peningkatan angka pengangguran di sebagian besar negara-negara Barat dan Eropa Utara. Meskipun demikian, imigrasi tidak berhenti setelah tahun 1973. Banyak imigran menetap lebih permanen dan bergabung dengan keluarga mereka. Akibatnya, terjadilah migrasi ke Eropa Utara antara tahun 1973 dan 1985 dengan
alasan reunifikasi keluarga.55
Gerakan demokrasi besar selanjutnya terjadi pada tahun 1980-an ketika terjadi liberalisasi kebijakan di Uni Soviet dan ditambah dengan runtuhnya tembok Berlin di
54 James R. McDonald, ―The Repatriation of French Algerians 1962-63,‖ dalam
Immigration: The European Experience, ed. Christian Dustmann & Tommaso Frattini, Norface Migration No. 2012-01,
(2012): 6.
(39)
25 tahun 1989. Pada tahun 1989, populasi Muslim meningkat 142.35% dan memiliki
rata-rata tahunan yang meningkat pada angka 6.4%.56 Liberalisasi yang terjadi
memunculkan gerakan imigrasi yang besar dari Timur ke Barat. Di tahun 1990
hingga tahun 2000-an, jumlah Muslim di Eropa meningkat lebih dari 5 juta jiwa.57
Bahkan semenjak tahun 1990 hingga tahun 2010, jumlah populasi Muslim di Eropa
mengalami kenaikan 10 juta jiwa.58
2) Kondisi Minoritas Muslim di Eropa Pasca 9/11
Pasca peristiwa penyerangan yang terjadi di World Trade Center (WTC),
Amerika Serikat pada 11 September 2001, banyak negara yang memperketat sistem keamanan mereka untuk menjaga negara mereka dari ancaman terorisme, tidak terkecuali negara-negara di Eropa. Semenjak peristiwa 9/11, Uni Eropa telah menangkap lebih dari 20 kali jumlah tersangka teroris di Amerika. Angka tersebut membuat Muslim di Eropa sering dipandang sebagai musuh asing. Bahkan hampir di seluruh negara di Eropa memperluas kajian hukum negara mereka untuk meredam ancaman potensial, terutama terorisme, yang akan timbul dari populasi Muslim di
masing-masing negara di Eropa.59
56 Shayla B. Campbell, ―The Conflicts of Euro-Islam: The issues of immigration and integration of
Muslims into European Society,‖ (Senior Thesis., Trinity College Digital Repository, 2012), 7.
57Ceri Peach, ―Muslim Integration: Challenging Conventional Wisdom in Europe and the United
States,‖(The Center for Strategic and International Studies, 2007): 13.
58 Angka berasal dari laporan Pew Forum yang memperkirakan tingkat pertumbuhan antara populasi
Muslim di seluruh dunia dan memberikan proyeksi penduduk untuk tahun 2020 dan 2030. Sebuah laporan tahun 2009 oleh Pew Forum, "Mapping the Global Muslim Population
(http://pewforum.org/Muslim/Mapping- the-global-Muslim-Population.aspx) dalam Muslim Networks and Movements in Western Europe oleh Pew Forum on Religion & Publik Life
59 Jocelyne Caesari, ―The Securitisation of Islam in Europe,‖
CHALLENGE Research Paper no. 15
(40)
26 Peristiwa terorisme yang terjadi setelah peristiwa 9/11 juga memunculkan
persepsi yang menganggap bahwa Islam merupakan ancaman politik internasional.60
Dengan munculnya persepsi bahwa Islam merupakan ancaman politik internasional, terlebih lagi ditambah dengan pengeboman yang terjadi di Eropa, tepatnya di Madrid, 11 Maret 2004 dan London pada 11 November 2005 serta pembunuhan sutradara
Belanda dengan tersangka seorang ekstrimis Islam,61 membuat hubungan minoritas
Muslim yang tinggal di Eropa dengan penduduk mayoritas seakan memiliki sebuah kesenjangan yang memisahkan keduanya dan juga memicu timbulnya tindakan
diskriminatif dan rasialis terhadap kaum minoritas Muslim di sana.62
Di Eropa sendiri, tindakan diskriminatif yang dilakukan etnis mayoritas terhadap etnis minoritas Muslim meningkat terutama pasca peristiwa 9/11. Bahkan tindakan diskriminatif yang terjadi di Eropa tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sipil tetapi juga dilakukan oleh pihak kepolisian. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya pemeriksaan terhadap etnis minoritas. Setiap etnis minoritas, terutama yang terlihat sebagai seorang Muslim, diberhentikan ketika sedang di jalan dan kemudian mereka diminta untuk menunjukan surat-surat identitas mereka. Tidak hanya itu, tetapi para minoritas Muslim yang ada di Eropa seakan menjadi target utama dari
60 Jocelyne Caesari,
When Islam and Democracy Meet: Muslims in Europe and in the United States,
(New York: Palgrave MacMillan, 2004), 21.
61 Julia M. Woesthoff,
Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society: Muslims in Europe. (Thousand
Oaks: SAGE Publikations Inc,2008), 6.
62Craig S. Smith, ―Racism Up After 9/11, European Monitor Says,‖ 11 Desember 2002, diakses pada
(41)
27
polisi.63 Minoritas Muslim yang bermukim di Eropa mengalami tindakan yang
diskriminatif terhadap mereka baik itu di sekolah, tempat bekerja maupun lingkungan rumah mereka. Di Perancis dan Inggris, orang yang memiliki nama berbau Islam dan yang merupakan keturunan dari negara mayoritas Muslim kurang disukai untuk
panggilan interview pekerjaan. Hal tersebut membuat tingkat pengangguran umat
Muslim di beberapa negara Eropa lebih tinggi ketimbang warga non-Muslim.64
Dalam sistem pendidikan, posisi Muslim di Eropa juga sangat tidak diuntungkan karena sistem pendidikan yang diterima tidak lebih baik dari penduduk
non-Muslim.65 Hal tersebut dapat dibuktikan dengan laporan dari Federasi
Internasional Helsinki untuk Hak Asasi Manusia di tahun 2005 yang menunjukan bahwa tingkat ketidakpercayaan, permusuhan dan prasangka buruk terhadap Muslim sudah pada level mengkhawatirkan semenjak terjadinya aksi terorisme pada
September 2001 di Amerika Serikat.66
Masih banyak bentuk tindakan diskriminatif maupun rasialis yang dialami oleh kaum minoritas Muslim di Eropa selain yang disebutkan di atas di antaranya seperti pelecehan terhadap wanita Muslim yang mengenakan jilbab, penyerangan masjid, pengerusakan makam umat Islam dan kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk
63 Thomas Hammarberg,
Human rights in Europe: no grounds for complacency, (Council of Europe Publishing, 2011), 32.
64
Hammarberg, ―Human rights in Europe,‖ 38.
65Hammarberg, ―Human rights in Europe,‖ 38.
66Zuhal Yesilyurt Gündüz, ―Europe and Islam: No Securitization, Please!,‖
Berlin: Friedrich-Ebert-Stiftung, (2007): 1.
(42)
28
membatasi aktivitas umat Muslim.67 Namun, meskipun terjadi peningkatan dari
jumlah perlakuan diskriminatif dan rasialis yang diterima Muslim minoritas di Eropa, akan tetapi jumlah pemeluk agama Islam juga semakin meningkat pasca terjadinya serangkaian peristiwa terorisme di benua biru tersebut. Sejak tahun 1950 hingga
tahun 2010, Muslim di Eropa selalu menunjukan angka yang meningkat.68
Tabel 1. Pertumbuhan Populasi Muslim di Eropa dari tahun 1950 sampai 201069
1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Populasi 547,424,812 604,423,268 655,996,572 692,899,864 720,758,128 726,156,921 732,729,325
Muslim% 1.97 2.22 3.04 3.57 4.43 5.14 5.74
Muslim 10,765,329 13,426,084 19,918,426 24,726,900 31,939,389 37,323,169 42,052,753
Tabel di atas menunjukan adanya peningkatan yang stabil dari populasi Muslim sejak tahun 1950 hingga 2010. Peningkatan yang terjadi dalam kurun waktu lebih dari setengah abad tersebut memiliki peningkatan populasi mulai dari 2,5 juta hingga 7 juta jiwa. Peningkatan terbesar Muslim yang berada di Eropa terjadi dalam di tahun 1980 hingga 1990 dengan jumlah kenaikan sebesar 7,212,489 jiwa atau sekitar 0.86% dari total kenaikan populasi penduduk di Eropa di tahun yang sama. Selain tabel di atas, beberapa penelitian lain juga menunjukan bahwa jumlah populasi Muslim mengalami peningkatan di Eropa pasca peristiwa 9/11. Di 2000, 2007 dan 2008 jumlah populasi Muslim di negara-negara Eropa mengalami peningkatan.
67 Justin Vaisse, ―Muslims in Europe: A short introduction,‖
Brookings Institution: Center on the United States and Europe, (2008): 6.
68Houssain Kettani, ―Muslim Population in Europe: 1950 –2020,‖
International Journal of Environmental Science and Development vol. 1, No. 2, (Juni 2010): 162.
(43)
29
Gambar 1. Diagram Populasi Muslim di beberapa Negara Eropa.70
Dari diagram di atas, peningkatan populasi Muslim di beberapa negara di Eropa dalam kurun waktu 8 tahun sejak tahun 2000 menunjukan persentase kenaikan yang cukup signifikan di tahun 2007, terutama Perancis. Peningkatan yang terjadi pada populasi Muslim di Eropa pasca peristiwa 9/11 disebabkan oleh tingginya angka
kelahiran populasi Muslim yang ada disana, terutama dari para imigran Muslim.71
70 Eric Kaufmann, ―The Demography of Islam in Europe,‖ diakses pada 26 April 2014,
http://www.sneps.net;.
71Jehu Lentius, ―Islam-EU demographics –Islamic growth rates‖, diakses pada 26 Juni 2014,
(44)
30
B. Larangan Simbol Keagamaan di Eropa: Kasus Jilbab, Niqab dan Burqa Islam merupakan populasi terbesar kedua di Eropa setelah Kristen dan di antara keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan antara Islam dan Kristen memunculkan benturan antara kedua populasi yang menetap di Eropa. Benturan yang terjadi antara Kristen dan Islam di Eropa memberikan posisi yang kurang menguntungkan bagi Muslim yang bermukim di Eropa karena mayoritas penduduk Muslim di Eropa merupakan imigran dan keturunan imigran yang bermigrasi pasca berakhirnya perang dunia ke-2.
Beberapa permasalahan muncul di antara kaum mayoritas dan minoritas Muslim di Eropa seperti Islamophobia, identitas, makanan, aktivitas keagamaan dan
juga permasalahan simbol keagamaan.72 Dari beberapa masalah di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang belakangan ini tengah menjadi topik perbincangan di Eropa bahkan dunia karena permasalahan tersebut menimbulkan ketegangan antara minoritas Muslim dengan penduduk mayoritas di Eropa. Permasalahan itu adalah mengenai larangan penggunaan simbol keagamaan yang awalnya diberlakukan bagi seluruh agama di beberapa negara di Eropa namun dalam pengaplikasiannya justru
hanya mengarah bagi Muslim.73
Permasalahan mengenai simbol agama di ruang publik telah menimbulkan banyak perdebatan dalam ruang lingkup kebebasan beragama dan juga netralitas
72Caesari, ―When Islam and Democracy Meet‖, 15.
73Anastasia Vakulenko, ― `Islamic Headscarves' and the European Convention On Human Rights: an
(45)
31
pemerintah di berbagai negara di Eropa.74 Secara khusus, muncul kekhawatiran
mengenai penggunaan pakaian yang terkait dengan agama-agama yang berasal dari
imigran, yaitu jilbab dan turban75 di berbagai tempat seperti sekolah, tempat kerja dan
ruang sidang, atau gambar yang tertera pada dokumen resmi. Namun, permasalahan pemakaian simbol-simbol keagamaan di beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Swiss tidak berlaku bagi penggunaan salib di sekolah-sekolah,
ruang sidang, dan bangunan publik lainnya.76 Pemberlakuan larangan simbol agama
di ruang publik di beberapa negara di Eropa dikarenakan oleh alasan kebebasan
beragama, sekularisme dan ketertiban dan keamanan publik.77
Jilbab adalah pakaian bagi wanita Muslim yang menutupi bagian kepala, leher hingga dada namun tidak menutupi wajah. Jilbab merupakan pakaian Islami yang
paling banyak digunakan oleh para wanita Muslim.78 Selain jilbab, terdapat pula
niqab dan burqa. Niqab adalah pakaian wanita yang menutupi hampir seluruh bagian
tubuh dan hanya menyisakan bagian sekitar mata saja.79 Sedangkan burqa adalah
pakaian Islam yang paling tertutup. Burqa merupakan pakaian yang menutupi seluruh
74Isabelle Rorive, ―Religious Symbols in the Publik Space: in Search of a European Answer”,
Yeshiva University: Cardozo Law Review vol. 30:6 (2009): 2669.
75 Turban merupakan salah satu pakaian keagamaan yang dipakai oleh Muslim, penganut Hindu dan
kepercayaan Sikh. Turban merupakan penutup kepala yang terbuat dari sehelai kain panjang yang dililitkan berkali-kali dikepala. Cambridge Dictionaries Online, diakses pada 21 Desember 2014, http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/turban.
76Rorive, ―Religious Simbols in the Publik Space‖, 2670. 77Rorive, ―Religious Simbols in the Publik Space‖, 2670.
78“What is the Hijab and Why do Women Wear it‖
, diakses pada 29 November 2014,
http://arabsinamerica.unc.edu/identity/veiling/hijab/;.
79Bint Ahmad, ―Its Islamic Ruling and Controversy in the Western world,‖the London Open College,
(46)
32 badan termasuk kepala dan wajah dan hanya menyisakan lubang-lubang kecil di
bagian mata.80
Gambar 2. Perbedaan jilbab, niqab dan burqa81
Selama lebih dari 20 tahun, penggunaan busana Muslim, terutama yang berkaitan dengan jilbab, niqab dan burqa, di ruang publik telah menjadi perdebatan
yang sangat kompleks di Eropa.82 Di Eropa, isu larangan penggunaan jilbab, niqab
dan burqa di ruang publik ini merupakan isu yang kontroversial sebab masyarakat mayoritas Kristen menganggap bahwa penggunaan jilbab, niqab dan burqa
80―What is the Hijab and Why do Women Wear it‖.
81
From hijab to burqa - a guide to Muslim headwear, 22 Oktober 2013, diakses pada 30 November
2014, http://www.channel4.com/news/from-hijab-to-burqa-a-guide-to-muslim-headwear.
82 Pew Global Attitudes Project, Islamic Extremism – Common Concern for Muslim and Western
Publiks, (www.pewglobal.org/reports/display.php?PageID¼809); Leyla S¸ahin v. Turkey, Application no. 44774/98, below n. 15, para. 55–64.dalam ―The Islamic Vail and Freedom of Religion, the Right to Education and Work: a Survey of Recent International and national cases,‖ Chinese Journal of
(47)
33 merupakan suatu bentuk penindasan terhadap perempuan dan juga menunjukan
ketidaksetaraan gender.83 Selain itu, seorang wanita Muslim yang memilih untuk
menggunakan jilbab, niqab maupun burqa memiliki kecenderungan dianggap sebagai
bagian dari anggota Islam fundamental atau bahkan sebagai teroris.84
Lebih dari lima negara besar di Eropa pernah melakukan larangan penggunaan jilbab, niqab dan burqa, baik itu di sekolah maupun di ruang publik. Berikut ini adalah kasus larangan simbol keagamaan, terutama penggunaan jilbab, niqab dan burqa di beberapa negara di Eropa.
1. Jerman.
Semenjak tahun 2004 hingga 2009, delapan negara bagian, Baden-Württemberg, Bavaria, Berlin, Bremen, Hesse, Lower Saxony, Rhine-Westphalia Utara, dan Saarland, telah menetapkan peraturan dan kebijakan untuk melarang guru-guru di sekolah umum untuk memakai
item tertentu yang terkait dengan pakaian dan simbol keagamaan.85
Namun, dari delapan negara bagian yang melarang penggunaan simbol dan pakaian keagamaan, terselip lima negara yang membuat pengecualian bagi penggunaan simbol dan pakaian umat Kristen. Di Baden-Württemberg, negara melarang guru Muslim mengenakan jilbab
83 European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia, ―Muslims in the European Union:
Discrimination and Islamophobia,‖ EUMC (2006): 40.
84 Manisuli Ssenyonjo, ―The Islamic Vail and Freedom of Religion, the Right to Education and Work:
a Survey of Recent International and national cases,‖Chinese Journal of International Law (2007):
657.
85Human Right Watch, ―Discrimination in the Name of Neutrality: Headscarf Bans for Teachers and
(48)
34 tetapi memungkinkan guru untuk mengenakan pakaian Kristen. Sedangkan peraturan di North Rhine-Westphalia Utara serupa dengan yang terjadi di Baden-Württemberg. Di Bavaria juga memungkinkan
kebiasaan biarawati, sementara melarang pemakaian jilbab.86
2. Belgia.
Pada tahun 2011, negara ini memperkenalkan peraturan yang melarang
penggunaan jilbab, niqab dan burqa di tempat umum.87 Di
sekolah-sekolah di Belgia pun hampir lebih dari 95% menerapkan larangan penggunaan burqa sebagai larangan internal sekolah mereka bagi siswi
wanita.88 Dalam proses pengesahannya, mayoritas anggota parlemen
mendukung larangan penggunaan jilbab dan burqa dengan total suara
sebanyak 134 anggota yang memberi dukungan dan dua anggota abstain.89
3. Spanyol.
Pada tahun 2010, penggunaan larangan niqab dan burqa di berlakukan di Spanyol, lebih tepatnya di kota Catalonia dan Andalusia, di mana kedua kota tersebut menjadi dua kota dengan konsentrasi penduduk imigran Muslim terbesar di Spanyol. Bahkan Menteri Kehakiman Spanyol pada saat itu, Francisco Camano, mengklaim bahwa penggunaan burqa tidak
86Viviane Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖,
Israel Journal of Foreign Affairs vol. 1, (2011):
96.
87Marie Haspeslagh, ―The Belgian Burqa Ban: Unveiled from a Human Rights Perspective”,
(University of Ghent, 2012), 5.
88Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖, 93.
(49)
35
sesuai dengan martabat manusia.90 Pada saat itu Partai Populer
Konservatif di Spanyol juga menginginkan perpanjangan undang-undang
tersebut dengan pemberlakuan di seluruh Spanyol.91
4. Inggris
Di Inggris, komentar mantan Sekretaris Negara untuk Kehakiman menuai reaksi yang kontroversial setelah di tahun 2006, Jack Straw mengkritik penggunaan jilbab. Kemudian, dalam kasus yang melibatkan sebuah sekolah dengan seorang pengajarnya yang menggunakan jilbab, ECtHR menyatakan bahwa sekolah tersebut dapat memecat guru tersebut. Kasus ini kemudian menyita perhatian Tony Blair yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Saat itu Tony Blair menyatakan bahwa jilbab
merupakan sebuah tanda pemisah.92
5. Belanda
Di Belanda, perdebatan mengenai larangan penggunaan niqab dan burqa
sudah ada sejak tahun 2007.93 Namun, Belanda baru memberlakukan
larangan burqa pada tahun 2012. Hal tersebut menjadikan Belanda sebagai
negara ketiga yang melarang burqa di Eropa.94 Dalam undang-undang
larangan burqa di Belanda, apabila seorang wanita tertangkap menggunakan burqa di jalan, transportasi publik, sekolah ataupun rumah
90Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖, 95. 91―The Islamic Veil Across Europe‖
, 22 September 2011, diakses pada 27 Juni 2014, http://bbc.com.
92Teitelbaum, ―The European Veil Debate‖, 96. 93 Application No. 43835/11 –
S.A.S. v. France in European Court of Human Right, (2012), 4; diunduh
di http://www.opensocietyfoundations.org pada 19 Juli 2014.
94 Application No. 43835/11 –
(50)
36 sakit akan dikenakan denda sebesar £ 380. Namun, Belanda memberlakukan pengecualian dalam penerapan undang-undang tersebut. Pengecualian tersebut berlaku apabila wanita menggunakan burqa di masjid dan bagi wanita asing yang sedang transit di bandara internasional
Belanda.95
6. Perancis
Di Perancis, isu mengenai larangan jilbab, niqab dan burqa telah ada semenjak tahun 2003 ketika Presiden Chiraq menyatakan bahwa penggunaan simbol keagamaan di ruang publik dan sekolah merupakan
tindakan yang tidak mencerminkan nilai sekularisme dan harus dilarang.96
Kemudian di tahun 2004, Perancis meloloskan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab maupun simbol agama lain di
sekolah-sekolah negeri di negara itu.97 Setelah larangan penggunaan jilbab,
kemudian pemerintaha Perancis mengembangkan larangan tersebut
menjadi larangan burqa di tahun 2010.98
Dari beberapa kasus diatas, kehadiran simbol-simbol yang mengacu pada identitas keagamaan Islam di ruang publik Eropa dianggap sebagai tantangan serius
95Bruno Waterfield, ―Netherlands to ban the burka”, 15 September 2011, diakses pada 29 Juni 2014,
http://www.telegraph.co.uk.
96 Henri Peña-Ruiz, ―Laïcité etégalité, leviers de l'émancipation‖
, Le Monde Diplomatique dalam ―The French ―Headscarves Ban‖: Intolerance or Necessity?‖,ed. Reuven Ziegler, (2006): 4.
97Elaine B. Sciolino, ―French Assembly Votes to Ban Religious Simbols in Schools,‖ N.Y. TIMES,
11 Februari 2004 dalam ―The Headscarf Affair: The Conseil d‘État on the Role of Religion and Culture in French Society‖, ed. Elisa T. Beller (2004): 26.
(51)
37 terhadap masa depan sekularisme. Meskipun sebagian dari kaum Muslim telah tercatat sebagai warga negara, namun masih banyak kalangan dalam masyarakat Eropa yang meragukan kesetiaan mereka terhadap hukum-hukum dan prinsip-prinsip kewarganegaraan. Loyalitas kaum Muslim terhadap Islam dianggap menegasikan patriotisme kaum Muslim terhadap negara Eropa tempat mereka tinggal sekarang. Pandangan-pandangan stereotipikal dan stigmatis inilah yang sering menjadi beban dalam menciptakan sebuah pola hubungan yang dialogis antara Islam dan Eropa. Menurut Parekh, pandangan-pandangan tersebut berakar pada kesalahpahaman masyarakat Eropa sendiri dalam memaknai logika integrasi, seolah-olah identitas-identitas yang sekarang dianggap melekat dalam tradisi masyarakat Eropa seperti
liberalisme, sekularisme, dan rasionalisme adalah konsepsi yang tunggal.99
C. Islam di Perancis
Perancis merupakan sebuah negara dengan populasi Muslim terbesar di Eropa
Barat.100 Negara yang menganut paham laïcité ini memiliki tingkat pertambahan
Muslim yang cukup signifikan setiap tahunnya baik itu yang berasal dari luar
Perancis maupun dari para mualaf.101 Laïcité merupakan konsep yang
mendeskripsikan ke kolektifan identitas publik dari masyarakat Perancis dan juga landasan kepribadian nasional yang mendefinisikan apa artinya "orang Perancis."
99 Parekh, Bikhu, Europe, Liberalism, and the „Muslim Question dalam
Multiculturalism, Muslims, and Citizenship: A European Approach ed. Tariq Modood, Richard Zapata-Barrero, dan Anna
Triandafyllidou, (London: Routledge, 2006), 23.
100Stéphanie Giry, ―France and Its Muslim,‖Foreign Affairs Vol 85 :5 (2006): 87. 101 Caesari, ―Islam in France,‖ 36-51.
(52)
38
Warga Perancis dari semua latar belakang politik melihat laïcité sebagai refleksi dari
identitas nasional di ruang publik dan mayoritas dari mereka berusaha untuk
melindungi identitas Perancis ini dari perbedaan minoritas. Laïcité melindungi warga
negara Perancis dari tekanan kelompok minoritas yang mengancam identitas sekuler Perancis, terutama dari kelompok yang bersifat religius. Selama berabad-abad,
perlindungan ini fokus pada pengurangan pengaruh Gereja Katolik.102
Negara yang menganut laïcité ini didominasi oleh penduduk Katolik. Namun
pada tahun 2007, penelitian yang dilakukan oleh Catholic World News, jumlah pemeluk Katolik di Perancis menurun menjadi 51%. Sementara itu, dari sumber yang sama juga menunjukkan 31% diidentifikasi sebagai Atheis, 10% dari agama lain, 4%
Muslim, 3% Protestan, 1% Budha dan 1% Yahudi.103
Awal dari masuknya Islam di Perancis sudah terjadi sejak abad ke-10 ketika negara kerajaan Islam ingin memperluas daerah kekuasaannya. Namun sayang, ketika itu Islam gagal karena tengah menghadapi perang salib dan akhirnya Islam pun keluar
dari Perancis.104 Masuknya Islam di Perancis menjadi signifikan bersamaan dengan
kolonialisasi Perancis di Afrika Utara yang di mulai ada tahun 1830. Para pedagang
dikenal dengan istilah turcos datang dari Aljazair setelah tahun 1850, menyusul
102 Davis, ―Lifting the Veil: France‘s New Crusade,‖ 122.
103 Ratna Fitriani Imanita, ―Alhamdulillah, Muslim Perancis Meningkat Pesat‖, 19 Mei 2012, diakses
pada 4 Januari 2013, http://www.republika.co.id.
104 John L Esposito,
The Oxford Encycloppedia of The Modern World vol.2, (New York: Oxford
(1)
xxxvii
which they had been properly informed – and not of their religious convictions, as they alleged.
Furthermore, the disciplinary measures taken against the applicants had fully satisfied the duty to balance the various interests at stake and had been accompanied by safeguards that were apt to protect the pupils’ interests. As regards the choice of the most severe penalty, where the ways and means of ensuring respect for internal rules were concerned, it was not within the province of the Court to substitute its own vision for that of the disciplinary authorities which, being in direct and continuous contact with the educational community, were best placed to evaluate local needs and conditions or the requirements of a particular training.
Consequently, the penalty of expulsion did not appear disproportionate, and the applicants had been able to continue their schooling by correspondence classes. The applicant’s religious convictions thus appeared to have been fully taken into account in relation to the requirements of protecting the rights and freedoms of others and public order. It was also clear that the decision complained of had been based on those requirements and not on any objections to the applicant’s religious beliefs. The interference in question had been justified in terms of the principle and proportionate to the aim pursued.
Conclusion: no violation (unanimously).
© Council of Europe/European Court of Human Rights This summary by the Registry does not bind the Court.
(2)
xxxviii
Information Note on the Court’s case-law No. 176 July 2014S.A.S. v. France [GC]
- 43835/11
Judgment 1.7.2014 [GC]
Article 8
Article 8-1Respect for private life
Ban on wearing religious face covering in public: no violation
Article 9
Article 9-1Manifest religion or belief
Ban on wearing religious face covering in public: no violation
Article 14
DiscriminationBan on wearing religious face covering in public: no violation
Facts – The applicant is a practising Muslim and said that she wore the burqa and niqab, which covered her whole body except for her eyes, to live in accordance with her religious faith, culture and personal convictions. She added that she wore this clothing of her own accord in public and in private, but not systematically. She was thus content not to wear it in certain circumstances but wished to be able to wear it when she chose to do so. Lastly, her aim was not to annoy others but to feel at inner peace with herself. Since 11 April 2011, the date of the entry into force of Law no. 2010-1192 of 11 October 2010 throughout France, it had been against the law to conceal one’s face in a public place.
Law – Article 8 and Article 9: The ban on wearing, in public places, clothing designed to conceal one’s face raised issues with regard to the right to respect for the private life (Article 8 of the Convention) of women who wished to wear the full-face veil for reasons relating to their beliefs; and to the extent that the
(3)
xxxix
ban was complained of by individuals such as the applicant who were thus prevented from wearing in public places clothing that they were required to wear by their religion, it particularly raised an issue with regard to the freedom to manifest one’s religion or beliefs (Article 9).
The Law of 11 October 2010 confronted the applicant with a dilemma: either she complied with the ban and thus refrained from dressing in accordance with her approach to religion, or she refused to comply and would face criminal sanctions.* There had thus been an “interference” or a “limitation” prescribed by law as regards the exercise of rights protected by Articles 8 and 9 of the Convention.
The Government had argued that the interference pursued two legitimate aims: “public safety” and “respect for the minimum set of values of an open democratic society”. However, the second paragraph of Articles 8 and 9 did not expressly refer to the second of those aims or to the three values invoked by the Government in that connection.
The Court accepted that the legislature had sought, by adopting the ban in question, to address concerns of “public safety” within the meaning of the second paragraph of Articles 8 and 9.
As regards the second aim, “respect for the minimum set of values of an open democratic society”**, the Court was not convinced by the Government’s submission in so far as it concerned respect for gender equality. A State Party could not invoke gender equality in order to ban a practice that was defended by women – such as the applicant – in the context of the exercise of the rights enshrined in those Articles, unless it were to be understood that individuals could be protected on that basis from the exercise of their own fundamental rights and freedoms. Moreover, in so far as the Government thus sought to show that the wearing of the full-face veil by certain women shocked the majority of the French population because it infringed the principle of gender equality as generally accepted in France, the Court referred to its reasoning (below) as to the other two values that they had invoked.
Secondly, respect for human dignity could not legitimately justify a blanket ban on the wearing of the full-face veil in public places. The clothing in question might be perceived as strange by many of those who observed it, but it was the expression of a cultural identity which contributed to the pluralism inherent in democracy.
Thirdly, in certain conditions, what the Government had described as “respect for the minimum requirements of life in society” –or of “living together”, as stated in the explanatory memorandum accompanying the Bill – could be linked to the legitimate aim of the “protection of the rights and freedoms of others”. The respondent State took the view that the face played an important role in social interaction. The Court was therefore able to accept that the barrier raised against others by a veil concealing the face was perceived by the respondent State as
(4)
xl
breaching the right of others to live in a space of socialisation which made living together easier. That being said, in view of the flexibility of the notion of “living together” and the resulting risk of abuse, the Court had to engage in a careful examination of the necessity of the impugned limitation.
First, it could be seen clearly from the explanatory memorandum accompanying the Bill that it was not the principal aim of the ban to protect women against a practice which was imposed on them or would be detrimental to them.
As regards the question of necessity in relation to public safety, within the meaning of Articles 8 and 9, the Court understood that a State might find it essential to be able to identify individuals in order to prevent danger for the safety of persons and property and to combat identity fraud. However, in view of its impact on the rights of women who wished to wear the full-face veil for religious reasons, a blanket ban on the wearing in public places of clothing designed to conceal the face could be regarded as proportionate only in a context where there was a general threat to public safety. The Government had not shown that the ban introduced by the Law of 11 October 2010 fell into such a context. As to the women concerned, they were thus obliged to give up completely an element of their identity that they considered important, together with their chosen manner of manifesting their religion or beliefs, whereas the objective alluded to by the Government could be attained by a mere obligation to show their face and to identify themselves where a risk for the safety of persons and property had been established, or where particular circumstances entailed a suspicion of identity fraud. It could not therefore be found that the blanket ban imposed by the Law of 11 October 2010 was necessary, in a democratic society, for public safety, within the meaning of Articles 8 and 9 of the Convention.
The Court then examined the questions raised by the need to meet the minimum requirements of life in society as part of the “protection of the rights and freedoms of others”. It took the view that the ban in question could be regarded as justified in its principle solely in so far as it sought to guarantee the conditions of “living together”.
In the light of the number of women concerned, about 1,900 women in relation to the French population of about sixty-five million and to the number of Muslims living in France, it might seem excessive to respond to such a situation by imposing a blanket ban. In addition, there was no doubt that the ban had a significant negative impact on the situation of women who, like the applicant, had chosen to wear the full-face veil for reasons related to their beliefs. A large number of actors, both international and national, in the field of fundamental rights protection had found a blanket ban to be disproportionate. The Law of 11 October 2010, together with certain debates surrounding its drafting, might have upset part of the Muslim community, including some members who were not in favour of the full-face veil being worn. In this connection, the Court was very concerned by the fact that the debate which preceded the adoption of the Law of 11 October 2010 was marked by certain Islamophobic remarks. It was admittedly not for the Court to rule on whether legislation was desirable in such matters. It
(5)
xli
nevertheless emphasised that a State which entered into a legislative process of this kind took the risk of contributing to the consolidation of the stereotypes which affected certain categories of the population and of encouraging the expression of intolerance, when it had a duty, on the contrary, to promote tolerance. Remarks which constituted a general, vehement attack on a religious or ethnic group were incompatible with the values of tolerance, social peace and non-discrimination underlying the Convention and did not fall within the right to freedom of expression that it protected.
However, the Law of 11 October 2010 did not affect the freedom to wear in public any garment or item of clothing – with or without a religious connotation – which did not have the effect of concealing the face. The impugned ban mainly affected Muslim women who wished to wear the full-face veil. Nevertheless, the ban was not expressly based on the religious connotation of the clothing in question but solely on the fact that it concealed the face.***
As to the fact that criminal sanctions were attached to the ban, the sanctions provided for by the legislature were among the lightest that could be envisaged, consisting of a fine at the rate applying to second-class petty offences (currently EUR 150 maximum), with the possibility for the court to impose, in addition to or instead of the fine, an obligation to follow a citizenship course.
By prohibiting everyone from wearing clothing designed to conceal the face in public places, the respondent State had to a certain extent restricted the reach of pluralism, since the ban prevented certain women from expressing their personality and their beliefs by wearing the full-face veil in public. However, the Government had indicated that it was a question of responding to a practice that the State deemed incompatible, in French society, with the ground rules of social communication and more broadly the requirements of “living together”. From that perspective, the respondent State was seeking to protect a principle of interaction between individuals, which in its view was essential for the expression not only of pluralism, but also of tolerance and broadmindedness, without which there was no democratic society. It could thus be said that the question whether or not it should be permitted to wear the full-face veil in public places constituted a choice of society.
In such circumstances, the Court had a duty to exercise a degree of restraint in its review of Convention compliance, since such review would lead it to assess a balance that had been struck by means of a democratic process within the society in question. In matters of general policy, on which opinions within a democratic society might reasonably differ widely, the role of the domestic policy-maker had to be given special weight. In the present case France thus had a wide margin of appreciation.
This was particularly true as there was no European consensus as to the question of the wearing of the full-face veil in public. While, from a strictly normative standpoint, France was very much in a minority position in Europe, it had to be observed that the question of the wearing of the full-face veil in public was or
(6)
xlii
had been a subject of debate in a number of European States. In addition, this question was probably not an issue at all in a certain number of member States, where this practice was uncommon.
Consequently, having regard in particular to the breadth of the margin of appreciation afforded to the respondent State in the present case, the Court found that the ban imposed by the Law of 11 October 2010 could be regarded as proportionate to the aim pursued, namely the preservation of the conditions of “living together” as an element of the “protection of the rights and freedoms of others”. The impugned limitation was therefore “necessary in a democratic society”. This conclusion held true with respect both to Article 8 of the Convention and to Article 9.
Conclusion: no violation (fifteen votes to two).
Article 14 of the Convention taken together with Article 8 or Article 9: The applicant had complained of indirect discrimination. As a Muslim woman who for religious reasons wished to wear the full-face veil in public, she belonged to a category of individuals who were particularly exposed to the ban in question and to the sanctions for which it provided.
A general policy or measure that had disproportionately prejudicial effects on a particular group might be considered discriminatory even where it was not specifically aimed at that group and there was no discriminatory intent. This was only the case, however, if such policy or measure had no “objective and reasonable” justification, that is, if it did not pursue a “legitimate aim” or if there was not a “reasonable relationship of proportionality” between the means employed and the aim sought to be realised. In the present case, while it might be considered that the ban imposed by the Law of 11 October 2010 had specific negative effects on the situation of Muslim women who, for religious reasons, wished to wear the full-face veil in public, this measure had an objective and reasonable justification.
Conclusion: no violation (unanimously).
* See Dudgeon v. the United Kingdom, 7525/76, 22 October 1981.
** See Leyla Şahin v. Turkey [GC], 44774/98, 10 November 2005, Information Note 80; and Ahmet Arslan and Others v. Turkey, 41135/98, 23 February 2010, Information Note 127.
*** Contrast Ahmet Arslan and Others v. Turkey, op. cit.
© Council of Europe/European Court of Human Rights This summary by the Registry does not bind the Court.