NIP. 1971 0920 201001 2 003 Pembimbing Pendamping Anggota Penguji Sri Martuti, dr., Sp.A., M.Kes

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN HIPOTERMI DENGAN KEMATIAN NEONATUS PASCA OPERASI BEDAH KELAINAN SALURAN CERNA DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ALVEUS KRISTIANTO EKAPUTRA

G 0008195

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kejadian Hipotermi dengan Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Alveus Kristianto Ekaputra, G0008195, Tahun 2011

Telah diuji dan sudah disahkan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari........ , Tanggal .......................2011

Pembimbing Utama Penguji Utama

Pudjiastuti, dr., Sp.A (K) Dwi Hidayah, dr., Sp.A., M.Kes

NIP. 1960 0110 198712 2 001 NIP. 1971 0920 201001 2 003

Pembimbing Pendamping Anggota Penguji

Sri Martuti, dr., Sp.A., M.Kes Widardo, Drs., M.Sc

NIP. 1973 0312 201001 2 002 NIP. 1963 1216 199003 1 002

Tim Skripsi

Muthmainah, dr., M.Kes

NIP : 1966 0702 1998 02 2 001

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kejadian Hipotermi dengan Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Alveus Kristianto Ekaputra, NIM : G0008195, Tahun : 2011

Telah diuji dan sudah disahkan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari........ , Tanggal .......................2011

Pembimbing Utama

Pudjiastuti, dr., Sp.A (K) NIP. 1960 0110 198712 2 001

Pembimbing Pendamping

Sri Martuti, dr., Sp.A., M.Kes NIP. 1973 0312 201001 2 002

Penguji Utama

Dwi Hidayah, dr., Sp.A., M.Kes NIP. 1971 0920 201001 2 003

Anggota Penguji

Widardo, Drs., M.Sc NIP. 1963 1216 199003 1 002

Surakarta,........................2011

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes

Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP : 1966 0702 1998 02 2 001

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta,.....................2011

Alveus Kristianto Ekaputra NIM. G0008195

Alveus Kristianto Ekaputra, G0008195, 2011. Hubungan antara Kejadian Hipotermi dengan Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi.

Metode Penelitian: Deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel 60 neonatus. Sampel diambil dari rekam medis RSUD Dr. Moewardi tahun 2007 - 2010. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Regresi Logistik Ganda.

Hasil Penelitian: Neonatus yang mengalami hipotermi angka kematian pasca operasi bedah kelainan saluran cerna lebih besar secara signifikan (p = 0,000; OR = 86; C.I. = 12,9 – 575,1). Dari analisis multivariat menggunakan Regresi Logistik Ganda, hipotermi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna (p = 0,017; OR = 15,0; C.I. = 1,6 – 138,2). Selain itu, sepsis juga merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna (p = 0,038; OR = 15,2; C.I. = 1,2 - 199,6).

Simpulan Penelitian: Ada hubungan yang signifikan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi. Neonatus dengan hipotermi pasca operasi bedah kelainan saluran cerna memiliki risiko tinggi mengalami kematian daripada yang tidak mengalami hipotermi.

Kata kunci : neonatus, hipotermi, kematian neonatus

Alveus Kristianto Ekaputra, G0008195, 2011. The Relationship between Hypothermia Incident and Neonatal Mortality Post-Surgical Gastrointestinal Disorders in RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Faculty of Medicine Sebelas

Maret University, Surakarta.

Objectives: This research aims to know the relationship between hypothermia incident dan neonatal mortality post-surgical gastrointestinal disorders in RSUD Dr. Moewardi Surakarta. … Methods: An analytical descriptive with cross sectional study, using purposive sampling with 60 neonates. The samples had taken from the medical records of RSUD Dr. Moewardi in 2007 – 2010. The data was analyzed using Regression Binary Logistic . …… ……………………………………. Results : Neonates who had hypothermia post-surgical gastrointestinal disorders was significant (p = 0,000; OR = 86; C.I. = 12,9 – 575,1). From the multivariate analyzes using Regression Binary Logistic, hypothermia is a dominant factor that affects neonatal mortality post-surgical gastrointestinal disorders (p = 0,017; OR = 15,0; C.I. = 1,6 – 138,2). Furthermore, sepsis is a dominant factor too that affects neonatal mortality post-surgical gastrointestinal disorders (p = 0,038; OR = 15,2; C.I. = 1,2 - 199,6).

Conclusions: There were significant between hypothermia incident and neonatal mortality post-surgical digestive disorders in RSUD Dr. Moewardi. Neonates with hypothermia post-surgical gastrointestinal disorders had a high risk of mortality than neonates without hypothermia.

Key words : neonates, hypothermia, neonatal mortality

Puji Tuhan penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena senantiasa menyertai dalam proses penyelesaian tugas akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kejadian Hipotermi dengan Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna di RSUD Dr. Moewardi”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas oleh karena Tuhan Yesus Kristus senantiasa menyertai penulis melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi beserta Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Pudjiastuti, dr., Sp.A (K), selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

4. Sri Martuti, dr., Sp.A., M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

5. Dwi Hidayah, dr., Sp.A., M.Kes, selaku Penguji Utama yang telah memberikan bimbingan dan nasihat.

6. Widardo, Drs., M.Sc, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan bimbingan dan nasihat.

7. Segenap Staf skripsi FK UNS, Staf SMF IKA dan Staf RSUD Dr. Moewardi atas segala bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini.

8. Papa, Mama, Papi, Mami, Kakak, Adek, Pacar serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

9. Teman-teman tersayang (Artha, Zakky, Fitra, Ira, Abi, Sherly) dan teman-teman Pendidikan Dokter 2008 FK UNS lainnya yang selalu memotivasi penulis dengan tawa dan semangat mereka.

10. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 2011

Tabel 1. Sebaran Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna (N = 60)

25 Tabel 2. Sebaran Outcome Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna (N = 60)

26 Tabel 3. Analisis Univariat Hipotermi, Syok, Perdarahan, dan Sepsis terhadap Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna (N = 60)

27 Tabel 4. Analisis Akhir Permodelan Multivariat Regresi Logistik Ganda Variabel Hipotermi, Syok, Perdarahan, Sepsis

28

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 17 Gambar 3.1. Rancangan Penelitian ..................................................................... 20

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran

Lampiran 2. Surat Pengantar Penelitian dari RSUD Dr. Moewardi Lampiran 3. Data Hasil Penelitian

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Penelitian

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran

Lampiran 2. Surat Pengantar Penelitian dari RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Penelitian

hipotermi tidak hipotermi

Count

12 2 14

Expected Count

Expected Count

Expected Count

15.0 45.0 60.0

Chi-Square Tests

Value

df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1- sided)

Pearson Chi-Square

35.901 a 1 .000

Continuity Correction b 31.801

1 .000

Likelihood Ratio

33.817

1 .000

Fisher's Exact Test

.000

.000 Linear-by-Linear Association

35.302

1 .000

N of Valid Cases

60

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,50. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower

Upper

Odds Ratio for hipotermi (0 / 1)

For cohort meninggal = 0

For cohort meninggal = 1

N of Valid Cases

60

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Penelitian

Total hidup meninggal

syok tidak syok

Count

13 30 43

Expected Count

Expected Count

Expected Count

15.0 45.0 60.0

Chi-Square Tests

Value

df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1- sided)

Pearson Chi-Square

2.216 a 1 .137

Continuity Correction b 1.341

1 .247

Likelihood Ratio

2.462

1 .117

Fisher's Exact Test

.192

.121 Linear-by-Linear Association

2.179

1 .140

N of Valid Cases

60

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,25. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower

Upper

Odds Ratio for syok (0 / 1)

For cohort meninggal = 0

For cohort meninggal = 1

N of Valid Cases

60

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Penelitian

Total hidup meninggal

perdarahan

tidak perdarahan

Count

14 32 46

Expected Count

Expected Count

Expected Count

15.0 45.0 60.0

Chi-Square Tests

Value

df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1- sided)

Pearson Chi-Square

3.106 a 1 .078

Continuity Correction b 1.988

1 .159

Likelihood Ratio

3.741

1 .053

Fisher's Exact Test

.155

.073 Linear-by-Linear Association

3.054

1 .081

N of Valid Cases

60

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,50. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower

Upper

Odds Ratio for perdarahan (0 / 1)

For cohort meninggal = 0

For cohort meninggal = 1

N of Valid Cases

60

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower

Upper

Odds Ratio for sepsis (0 / 1)

For cohort meninggal = 0

For cohort meninggal = 1

N of Valid Cases

60

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Penelitian

sepsis tidak sepsis

Count

14 7 21

Expected Count

Expected Count

Expected Count

15.0 45.0 60.0

Chi-Square Tests

Value

df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1- sided)

Pearson Chi-Square

29.915 a 1 .000

Continuity Correction b 26.593

1 .000

Likelihood Ratio

31.445

1 .000

Fisher's Exact Test

.000

.000 Linear-by-Linear Association

29.416

1 .000

N of Valid Cases

60

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,25. b. Computed only for a 2x2 table

Variables in the Equation

B S.E.

Wald

df Sig.

Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower

Upper Step 1 a hipotermi

Step 2 a hipotermi

Step 3 a hipotermi

a. Variable(s) entered on step 1: hipotermi, syok, perdarahan, sepsis.

Lampiran 4. Hasil Analisis Data Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipotermi pada neonatus adalah suatu masalah yang sering dijumpai dan apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kematian pada neonatus (Shah et al., 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahmood (2007) pada bulan Juli 2005 sampai Juni 2007, dari 510 neonatus ditemukan 108 neonatus mengalami hipotermi pada saat pre-operasi dan 87 neonatus tersebut masih mengalami hipotermi pasca operasi.

Di Indonesia, angka kematian neonatal pertahunnya mencapai 88.770 neonatus. Dari angka kematian tersebut, 4,3 % merupakan kasus kelainan saluran cerna (Depkes, 2008). Atresia ani dan megakolon kongenital merupakan kasus kelainan saluran cerna bayi yang sering ditemukan. Di RSUD Dr. Moewardi, tahun 2007 ditemukan 32,50 % kasus, tahun 2008 ditemukan 30,64 % kasus, tahun 2009 ditemukan 17,07 % kasus, dan pada tahun 2010 ditemukan 13,15 % kasus.

Secara umum tatalaksana neonatus dengan kelainan saluran cerna adalah tindakan operasi bedah (Boocock, 2007). Tindakan pre operasi bedah, operasi bedah, dan pasca operasi bedah untuk menangani kelainan saluran cerna pada neonatus dapat menyebabkan gangguan termoregulasi pada neonatus melalui mekanisme radiasi, evaporasi, konduksi, dan konveksi sehingga neonatus mengalami kehilangan panas dan tidak bisa mempertahankan suhu tubuh Secara umum tatalaksana neonatus dengan kelainan saluran cerna adalah tindakan operasi bedah (Boocock, 2007). Tindakan pre operasi bedah, operasi bedah, dan pasca operasi bedah untuk menangani kelainan saluran cerna pada neonatus dapat menyebabkan gangguan termoregulasi pada neonatus melalui mekanisme radiasi, evaporasi, konduksi, dan konveksi sehingga neonatus mengalami kehilangan panas dan tidak bisa mempertahankan suhu tubuh

C. Karakteristik hipotermia adalah sensasi dingin, menggigil, vasokonstriksi, kaku otot, bradikardi, asidosis, hipoventilasi, hipotensi, kehilangan kemampuan gerak spontan, koma dan bahkan kematian. (Tortora G. J., Derrickson, 2006).

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin meneliti sejauh mana hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna karena penelitian ini masih jarang dilakukan dan nantinya diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian berikutnya.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna oleh karena faktor internal maupun faktor eksternal.

2. Tujuan khusus

Untuk mengetahui penyebab kematian pada neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi.

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan informasi mengenai hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna.

2. Manfaat Praktis

Apabila terbukti terdapat hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah saluran cerna, maka diharapkan tenaga medis dapat melakukan tindakan preventif untuk mengurangi kematian neonatus oleh karena kejadian hipotermi.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Termoregulasi

Bayi baru lahir terutama rentan pada kehilangan panas dan terbatas kemampuannya untuk berespons pada stres dingin. Empat mekanisme kehilangan panas adalah konduksi, radiasi, konveksi, dan evaporasi. Konduksi adalah kehilangan panas dari objek hangat dalam kontak langsung dengan objek yang lebih dingin. Radiasi adalah kehilangan panas dari objek panas dalam jarak yang cukup dekat dengan objek yang lebih dingin. Kehilangan panas konveksi terjadi ketika aliran udara menyapu lapisan udara yang hangat yang mengitari tubuh hangat. Akhirnya, panas hilang ketika cairan berevaporasi dari kulit (Thomas, K., 2004).

Bayi bersifat basah saat lahir dan lebih berisiko terhadap kehilangan evaporatif. Bayi baru lahir juga mempunyai area permukaan relatif lebih lebar dalam kaitannya dengan massa tubuh, yang memberi lebih banyak pertemuan dengan lingkungan lebih dingin (Waldron, S., Mackinnon, R., 2007).

Bayi baru lahir tidak dapat mengatur temperatur tubuhnya secara memadai, dan dapat dengan cepat kedinginan jika kehilangan panas tidak segera dicegah. Bayi yang mengalami kehilangan panas berisiko tinggi untuk jatuh sakit atau meninggal. Jika bayi dalam keadaan basah dan tidak Bayi baru lahir tidak dapat mengatur temperatur tubuhnya secara memadai, dan dapat dengan cepat kedinginan jika kehilangan panas tidak segera dicegah. Bayi yang mengalami kehilangan panas berisiko tinggi untuk jatuh sakit atau meninggal. Jika bayi dalam keadaan basah dan tidak

Bayi baru lahir dilengkapi dengan lemak cokelat, yang memberi keuntungan adaptif. Lemak cokelat membuat 2% hingga 6% berat badan bayi (Bruck, K., 2007). Lemak ini dikonsentrasikan di sekitar tengkuk leher, medula spinalis atas, dan aksila serta antara skapula dan sekitar pembuluh darah besar dan ginjal (Merklin, R., 2007). Lemak cokelat mempunyai lebih banyak vaskularitas dan persarafan simpatis, selain itu lemak cokelat merupakan generator energi yang lebih efisien. Namun, lemak cokelat adalah suatu sumber energi yang tidak dapat diperbarui (Asakura, H., 2004).

Stimulasi dingin terhadap reseptor kulit mengakibatkan pelepasan katekolamin dan oksidasi lemak cokelat menjadi asam lemak. Oksigen dan glukosa diperlukan, tetapi lebih banyak panas yang dihasilkan (Nicholls, D., Locke, R., 2007). Ketika bayi mengalami hipoglikemia, metabolisme lemak cokelat tidak efisien. Metabolisme diatur oleh sistem saraf simpatis

dan triiodotironin (T 3 ). Normalnya peningkatan nyata pada hormon perangsang tiroid, tiroksin, dan T 3 dalam 24 jam pertama setelah kelahiran. Suhu aksila normal adalah 36,5 o sampai 37,5 o

C. Suhu kulit abdomen adalah 36 o sampai 36,5 o

C. Stres dingin meningkatkan frekuensi pernapasan dan menyebabkan tigakali sampai empatkali lipat peningkatan laju metabolik. Bayi mendeplesi simpanan energi dalam upaya untuk C. Stres dingin meningkatkan frekuensi pernapasan dan menyebabkan tigakali sampai empatkali lipat peningkatan laju metabolik. Bayi mendeplesi simpanan energi dalam upaya untuk

Bayi baru lahir juga mempunyai keterbatasan kemampuan untuk mentoleransi panas berlebihan. Berkeringat bukan mekanisme efektif untuk menghilangkan kelebihan panas pada bayi baru lahir. Dapat terjadi takikardia dan atau gangguan proses metabolik. Sehingga harus diperhatikan untuk tidak membuat bayi terlalu panas. Normalnya pada 2 hari setelah kelahiran bayi baru lahir yang sehat mampu menstablikan suhu tubuhnya dengan adekuat (Hey, E. N., Katz, G., 2007).

2. Hipotermi

a. Pengertian Di negara berkembang, termasuk Indonesia, tingginya morbiditas dan mortalitas Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih menjadi masalah utama. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas BBLR di negara berkembang adalah asfiksia, sindrom gangguan napas, infeksi, serta komplikasi hipotermi. Hipotermi dapat menimbulkan penyulit infeksi, gagal ginjal, serangan apnea, dan lain- lain yang mengakibatkan kematian (Lubis, 2008).

Hipotermi pada neonatus adalah suatu keadaan di mana terjadi penurunan suhu tubuh yang disebabkan oleh berbagai keadaan, terutama karena tingginya konsumsi oksigen dan penurunan suhu Hipotermi pada neonatus adalah suatu keadaan di mana terjadi penurunan suhu tubuh yang disebabkan oleh berbagai keadaan, terutama karena tingginya konsumsi oksigen dan penurunan suhu

b. Etiologi menurut Sessler (2008),

1) Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan, seperti lingkungan dingin, basah, atau bayi yang telanjang, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti mandi, pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta pembedahan. Juga peningkatan aliran udara dan penguapan.

2) Ketidakmampuan menahan dingin, seperti pada permukaan tubuh yang relatif luas, kurang lemak, ketidaksanggupan mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan tubuh dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan hilangnya panas yang lebih besar pada Bayi Berat Lahir Rendah.

3) Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm, kecil masa kelahiran, kerusakan sistem saraf pusat sehubungan dengan anoksia, intra kranial hemorrhage, hipoksia, dan hipoglikemia.

Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral pengatur panas di hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu mencapai brown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi asam lemak secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi panas, kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah. Ini menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat. Methabolicthermogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem saraf sentral, kecukupan dari brown fat , dan tersedianya glukosa serta oksigen (Ohlson, K., Cannon, B., 2003).

Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem saraf pusat antara lain: depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria, EEG yang abnormal, depresi kesadaran yang progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang, dan penurunan yang progresif dari aktivitas EEG (Lubis, 2008).

Pada jantung dapat terjadi takikardi, kemudian bradikardi yang Pada jantung dapat terjadi takikardi, kemudian bradikardi yang

Pada pernapasan dapat terjadi takipnea, bronkhorea, bronkhospasma, hipoventilasi konsumsi oksigen yang menurun sampai 50 %, kongesti paru dan edema, konsumsi oksigen yang menurun sampai 75 %, dan apnea (McCarren, J. P., 2008).

Pada ginjal dan sistem endokrin, dapat terjadi cold diuresis, peningkatan katekolamin, steroid adrenal, T3 dan T4 dan menggigil; peningkatan aliran darah ginjal sampai 50 %, autoregulasi ginjal yang intak, dan hilangnya aktivitas insulin. Pada keadaan berat, dapat terjadi oliguria yang berat, poikilotermia, dan penurunan metabolisme basal sampai 80 % (Patel, P. M., Drummond, J. C., 2005).

Pada otot saraf, dapat terjadi penurunan tonus otot sebelum menggigil, termogenesis, ataksia, hiporefleksia, dan rigiditi. Pada keadaan berat, dapat terjadi arefleksia daerah perifer. (Miller, J. D., Rosenbaum, H., 2008).

d. Tanda-Tanda Klinis, WHO (2007)

1) Hipotermi sedang (suhu tubuh 32 o

C - 35,9 o

C ), tanda-tandanya antara lain: lemah atau lettargis, kaki teraba dingin, kemampuan C ), tanda-tandanya antara lain: lemah atau lettargis, kaki teraba dingin, kemampuan

2) Hipotermi berat (suhu tubuh < 32 o C ), tanda-tandanya antara lain: sama dengan hipotermi sedang, dan disertai dengan pernapasan lambat tidak teratur, bunyi jantung lambat, terkadang disertai hipoglikemi dan asidosis metabolik.

3) Stadium lanjut hipotermi, tanda-tandanya antara lain: muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh lainnya pucat, kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan tangan (sklerema).

e. Klasifikasi, WHO (2007)

1) Hipotermi sepintas, yaitu penurunan suhu tubuh 1 - 2 o C sesudah lahir. Suhu tubuh akan menjadi normal kembali sesudah bayi berumur 4 - 8 jam, bila suhu lingkungan diatur sebaik-baiknya. Hipotermia sepintas ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi yang lama, ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi tidak segera dibungkus setelah lahir, terlalu cepat dimandikan (kurang dari 4 jam sesudah lahir), dan pemberian morfin pada ibu yang sedang bersalin.

2) Hipotermi akut, terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6 - 12 jam. Terdapat pada bayi dengan BBLR di ruang tempat bersalin yang dingin, inkubator yang tidak cukup panas, kelalaian dari dokter, bidan, dan perawat terhadap bayi yang akan 2) Hipotermi akut, terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6 - 12 jam. Terdapat pada bayi dengan BBLR di ruang tempat bersalin yang dingin, inkubator yang tidak cukup panas, kelalaian dari dokter, bidan, dan perawat terhadap bayi yang akan

3) Hipotermi sekunder, penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia atau hipoglikemia, perdarahan intra-kranial tranfusi tukar, penyakit jantung bawaan yang berat, dan bayi dengan BBLR serta hipoglikemia.

4) Cold injury, yaitu hipotermi yang timbul karena terlalu lama dalam ruangan dingin (lebih dari 12 jam). Gejalanya ialah lemah, tidak mau minum, badan dingin, oliguria, suhu berkisar antara

29,5 - 35 o

C, tak banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan, kaki, dan muka seolah-olah bayi dalam keadaan sehat; pengerasan jaringan subkutis.

3. Kelainan Saluran Cerna Neonatus

Kelainan saluran cerna neonatus merupakan kasus yang sering ditemukan di NICU RSUD Dr. Moewardi. Kelainan yang sering ditemukan antara lain atresia ani dan megacolon. Pada tahun 2007 ditemukan 32, 50 % kasus, tahun 2008 ditemukan 30, 64 % kasus, tahun 2009 ditemukan 17, 07 % kasus, dan pada tahun 2010 ditemukan 13, 15 % kasus.

a. Pengertian

Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Cook, R., 2006).

Atresia Ani merupakan kelainan kongenital, tidak adanya lubang atau saluran anus, tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum (Donna, L., 2003).

b. Etiologi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan atresia ani, antara lain :

1) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur

sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.

2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia

12 minggu atau 3 bulan.

3) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

(Donna, L., 2003)

Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:

1) Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus.

2) Membran anus yang menetap.

3) Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada

bermacam-macam jarak dari peritoneum.

4) Lubang anus yang terpisah dengan ujung.

d. Patofisiologi

Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :

1) Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

2) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,

sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.

3) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan.

4) Berkaitan dengan down syndrome.

5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan. (Groff, 2007) 5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan. (Groff, 2007)

Megakolon kongenital adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionis usus, mulai dari spingter ani interna ke arah proksimal dengan panjang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya rectum (Fonkalsrud, 2007).

b. Etiologi

Adapun yang menjadi penyebab penyakit megakolon sampai sekarang belum diketahui, tetapi menurut para ahli itu diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan down syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (Fonkalsrud, 2007).

c. Klasifikasi

Menurut letak segmen aganglionik, penyakit megakolon ini dibagi dalam :

1) Megakolon kongenital segmen pendek

Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70 - 80%).

2) Megakolon kongenital segmen panjang Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20 %).

3) Kolon aganglionik total

Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5 - 11 %).

Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5 %).

(Kartono, 2003)

d. Patofisiologi

Istilah megakolon kongenital menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada megakolon ( Betz, 2002).

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan dilatasi bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan di bagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 2002).

Pasca Operasi Bedah

Pada neonatus, hipotermi pasca operasi bedah dapat disebabkan karena gangguan proses termoregulasinya. Selain itu, neonatus juga masih terbatas kemampuannya untuk merespons stres dingin. Empat mekanisme kehilangan panas adalah konduksi, radiasi, konveksi, dan evaporasi (Pierro, A., Eaton, S., 2006).

Konduksi adalah kehilangan panas dari objek hangat dalam kontak langsung dengan objek yang lebih dingin. Panas yang hilang sekitar 5 % dari tubuh bayi (Sessler, D. I., 2005). Radiasi adalah kehilangan panas dari objek panas dalam jarak yang cukup dekat dengan objek yang lebih dingin. Tubuh bayi kehilangan panas sekitar 60 % (Anderson, D., 2003). Kehilangan panas konveksi terjadi ketika aliran udara menyapu lapisan udara yang hangat yang mengitari tubuh hangat. Panas yang hilang dari tubuh bayi mencapai 15 %. Akhirnya, 20 % panas keluar dari tubuh bayi ketika cairan berevaporasi dari kulit (Sessler, D., I., 2005).

Apabila pada neonatus ditemukan hipotermi pasca operasi bedah dan tidak ditangani dengan baik, maka bisa terjadi hipotermi menetap dan mengakibatkan letargi pada neonatus, kemudian konsumsi oksigen yang menurun sampai 75 % sehingga dapat berakibat apnea dan bradikardia. Semua itu menyebabkan bayi berisiko tinggi mengalami kematian (Shah et al. , 2006).

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: Variabel Perancu

: Yang diteliti

KETERBATASAN DALAM MERESPON DINGIN

TERMOREGULASI

SUMBER ENERGI PANAS NEONATUS

PREOPERASI – OPERASI - PASCAOPERASI 1. TANDA VITAL NEONATUS (SUHU, RR,

NADI)

2. BERAT BADAN NEONATUS 3. MASA GESTASI (PRETERM/ ATERM) 4. PERALATAN (THERMAL BLANKET, BABY

WARMER )

5. LAMANYA OPERASI

ASAM LEMAK

MEMPERTAHANKAN SUHU TUBUH

PELEPASAN KATEKOLAMIN DAN OKSIDASI LEMAK COKELAT

LEMAK COKELAT

APABILA ADA STIMULASI DINGIN DI KULIT

HIPOTERMI

KEHILANGAN PANAS

a. KONDUKSI b. RADIASI c. KONVEKSI d. EVAPORASI

GANGGUAN PELEPASAN KATEKOLAMIN DAN OKSIDASI LEMAK COKELAT

GANGGUAN MEMPRODUKSI ASAM LEMAK

GANGGUAN MEMPERTAHANKAN SUHU TUBUH

PERDARAHAN KEMATIAN

SYOK

SEPSIS

Lemak cokelat merupakan sumber energi panas neonatus. Pada saat kulit neonatus menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral pengatur panas di hipothalamus. Maka memicu pelepasan katekolamin dan juga oksidasi lemak cokelat yang merupakan fungsi homeostasis tubuh neonatus untuk mempertahankan suhu tubuhnya. Di sisi lain, neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna memiliki risiko mengalami keterbatasan dalam merespon dingin. Banyak faktor yang mempengaruhi termasuk di antaranya proses dan lamanya operasi. Keterbatasan tubuh neonatus dalam merespon dingin mengakibatkan gangguan pelepasan katekolamin dan oksidasi lemak sehingga neonatus berisiko kehilangan panas tubuh melalui proses konduksi, radiasi, konveksi, maupun evaporasi. Semua proses ini menyebabkan neonatus rentan mengalami hipotermi. Dalam keadaan hipotermi berat, dapat terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang hilang, dan penurunan progresif dari aktivitas EEG yang mampu menyebabkan bayi menjadi letargi dan berisiko tinggi menjadi kematian. Adapun faktor perancu yang mempengaruh neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yaitu perdarahan, sepsis, dan syok.

C. Hipotesis

Ada hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Sastroasmoro, 2008).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi.

2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 31 Mei 2011.

C. Subjek Penelitian

1. Kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini, adalah:

a. Neonatus.

b. Pasca operasi bedah kelainan saluran cerna.

c. Dirawat di NICU pada tahun 2007-2010.

2. Adapun kriteria eksklusi adalah:

a. Data tidak lengkap.

b. Neonatus dengan kelainan saluran cerna yang disertai kelainan sistem saraf pusat.

Sampel berasal dari Rekam Medik di RSUD Dr. Moewardi tahun 2007 - 2010. Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan, dengan jumlah subjek penelitian ditentukan sebanyak 60 neonatus. Sampel tersebut telah memenuhi syarat pengambilan sampel penelitian yang berjumlah minimal 30 orang (Murti, 2006).

E. Rancangan Penelitian

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian

Jumlah neonatus dengan kelainan saluran cerna yang dioperasi dan dirawat di NICU RSUD Dr. Moewardi tahun 2007 - 2010

Hipotermia

Tidak hipotermia

Analisis Uji Statistik Regresi Logistik Ganda

Rekam Medik

Hidup

PREOPERASI – OPERASI - PASCAOPERASI 1. Tanda vital bayi (suhu, rr, nadi)

2. Berat badan bayi 3. Masa gestasi (preterm/ aterm) 4. Peralatan (thermal blanket, baby

warmer)

5. Lamanya operasi

Meninggal

Hidup

Meninggal

1. Variabel Independen Kejadian hipotermi.

2. Variabel Dependen

Kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna.

3. Variabel Perancu Perdarahan, syok, sepsis.

G. Definisi Operasional Variabel

1. Kejadian hipotermi Hipotermi pada neonatus adalah suatu masalah yang sering dijumpai dan apabila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kematian pada neonatus (Shah et al., 2006). Hipotermi adalah kondisi di

mana suhu inti tubuh sama dengan atau kurang dari 36 o

C (Tortora G. J., Derrickson, 2006). Subjek penelitian ini nantinya dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu hipotermi dan tidak hipotermi. Adapun skala pengukuran variabel ini adalah skala nominal.

2. Kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna

Kematian pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yang dimaksud adalah kematian neonatus akibat hipotermi setelah dilakukan operasi bedah. Hipotermi pada neonatus pasca operasi bedah dapat menyebabkan kematian karena tubuh neonatus masih terbatas untuk merespons stres dingin, di mana dapat terjadi gangguan proses Kematian pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yang dimaksud adalah kematian neonatus akibat hipotermi setelah dilakukan operasi bedah. Hipotermi pada neonatus pasca operasi bedah dapat menyebabkan kematian karena tubuh neonatus masih terbatas untuk merespons stres dingin, di mana dapat terjadi gangguan proses

3. Perdarahan Perdarahan pasca operasi bedah, sering dihubungkan dengan perdarahan terlambat dan terjadi karena masalah pada jahitan atau kauterisasi pembuluh darah. Perdarahan pasca operasi bedah diketahui dari menurunnya hematokrit, atau munculnya hematoma. (De Jong, 2004).

Skala pengukuran ini adalah nominal, di mana nantinya subjek akan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu ada perdarahan dan tidak ada perdarahan.

4. Syok Syok merupakan suatu keadaan patofisiologik dinamik yang terjadi pengiriman oksigen ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi oksigen. Syok bukan merupakan penyakit dan tidak selalu disertai kegagalan perfusi jaringan (De Jong, 2004).

Skala pengukuran ini adalah nominal, di mana nantinya subjek akan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu ada syok dan tidak ada syok.

5. Sepsis Sepsis merupakan respon tubuh terhadap infeksi yang menyebar melalui darah dan jaringan lain. Sepsis terjadi pada kurang dari 1%

Sepsis neonatus adalah sindrom klinis dari bakteremia dengan gejala sistemik dan gejala infeksi yang sering ditemukan pada 4 minggu pertama kelahiran (Herald, 2010).

Skala pengukuran ini adalah nominal, di mana nantinya subjek akan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu ada sepsis dan tidak ada sepsis.

H. Pengumpulan Data

1. Jenis Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medik RSUD Dr. Moewardi tahun 2007 - 2010.

2. Alat dan Instrumen Penelitian Rekam medik adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas, anamnesis, penentuan fisik, laboratorium, diagnosis segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat (Gondodiputro, 2007). Adapun data untuk penelitian ini yang diambil dari rekam medik adalah : nama neonatus, umur neonatus, jenis kelamin, masa gestasi, berat badan lahir, berat badan sekarang, keluhan utama, tanda vital pre operasi, diagnosis pre operasi, jenis operasi, lamanya operasi, tanda vital selama operasi, tanda vital pasca operasi, diagnosis pasca operasi, dan perawatan pasca operasi.

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan Uji Regresi Logistik Ganda menggunakan program SPSS 18 for Windows Release 11.5 (a = 0,05).

HASIL PENELITIAN

Penyajian hasil penelitian diuraikan mulai dari karakteristik responden, seluruh variabel yang terlibat dalam penelitian yaitu variabel perancu (syok, perdarahan, dan sepsis), variabel independen yaitu kejadian hipotermi dan variabel dependen yaitu kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna. Selanjutnya akan dilakukan analisis univariat untuk melihat hubungan antara hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna. Penelitian ini diakhiri dengan mencari faktor penyebab kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yang paling dominan berdasarkan variabel perancu karakteristik pasien.

A. Karakteristik Responden Tabel 1

Sebaran Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna (N = 60)

No Karakteristik Demografi N (%)

1 Usia (hari)

2 Berat Badan Lahir (kg) 1,0 - 1,9 2,0 - 2,9 3,0 - 3,9

Outcome terbesar didapatkan dari hipotermi yaitu sebanyak 46 Outcome terbesar didapatkan dari hipotermi yaitu sebanyak 46

Tabel 2

Sebaran Outcome Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna terhadap Faktor Penyebab (N = 60)

N Hidup (%)

N Meninggal (%) Hipotermi

Penyebab kematian tertinggi dari neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna adalah hipotermi yaitu sebanyak 43 neonatus meninggal (93,5 %).

B. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk membuktikan adanya hubungan antara variabel independen yaitu hipotermi dan variabel dependen yaitu kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna. Selain itu untuk mencari hubungan antara variabel perancu yaitu syok, perdarahan, dan sepsis dengan variabel dependen yaitu kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square karena jenis data yang dianalisis adalah kategorik. Pengujian dilakukan dengan derajat kemaknaan sebesar 5 % seperti pada tabel 3.

Tabel 3

Analisis Univariat Hipotermi, Syok, Perdarahan, dan Sepsis terhadap Kematian Neonatus Pasca Operasi Bedah Kelainan Saluran Cerna (N = 60)

OR

C.I. Hipotermi

Setelah dilakukan analisis data dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh p 0,000 (α < 0,05) dan OR = 86. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna.

C. Analisis Multivariat

Analisis multivariat bertujuan untuk menentukan variabel yang paling dominan yang berhubungan dengan variabel dependen.

1. Seleksi kandidat Seleksi kandidat mempunyai hasil yang sama dengan Tabel 3. Analisis univariat hipotermi, syok, perdarahan, dan sepsis terhadap kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna (N = 60).

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai p seluruh variabel sebesar < 0,25, sehingga seluruh variabel diteruskan ke dalam permodelan multivariat.

Tabel 4

Analisis Akhir Permodelan Multivariat Regresi Logistik Ganda Variabel Hipotermi, Syok, Perdarahan, Sepsis

Setelah dilakukan analisis data dengan menggunakan uji Regresi Logistik Ganda, hipotermi (p = 0,017; OR = 15,0; C.I. = 1,6 - 138,2) dan sepsis (p = 0,038; OR = 15,2; C.I. = 1,2 - 199,6) dapat meningkatkan risiko kematian apabila keduanya terjadi secara bersamaan.

No Variabel

OR

C.I.

1 Hipotermi

0,017

15,0

1,6 -138,2

2 Sepsis

0,038

15,2

1,2 - 199,6

3 Perdarahan

0,553

0,4

0,0 - 7,8

4 Syok

0,999

0,0

0,0 - .

PEMBAHASAN

A. Hasil Analisis Data

Dari total 60 pasien neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yang dirawat di RSUD Dr. Moewardi tahun 2007-2010, 83,48 % meninggal oleh karena hipotermi. Kemungkinan disebabkan oleh faktor eksternal yaitu lamanya operasi bedah, jenis operasi bedah, suhu ruang perawatan (NICU), dan keterbatasan peralatan di ruang perawatan (NICU). Faktor internal yaitu neonatus yang prematur dan berat badan lahir rendah, kedua hal tersebut akan menyebabkan neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna berisiko tinggi mengalami kematian. Prematuritas dan berat badan lahir rendah meningkatkan risiko kematian pada neonatus karena neonatus tersebut memiliki lemak cokelat yang belum berkembang dengan sempurna sehingga masih sangat terbatas dalam merespon dingin dari luar (ruang operasi dan NICU).

Nilai Odds Ratio dari analisis univariat didapatkan hasil 86 yang berarti bahwa hipotermi dapat menyebabkan kematian pada neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna 86 kali lebih besar. Maka dapat disimpulkan bahwa kejadian hipotermi merupakan faktor risiko penyebab kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh F. Nayeri dan F. Nili (2006), yang menyatakan bahwa hipotermi merupakan faktor risiko yang

kelainan saluran cerna. Neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yang prematur dan neonatus dengan berat lahir rendah memiliki risiko tinggi untuk mengalami hipotermi. Dari data F. Nayeri dan F. Nili (2006), didapatkan 24 neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yang prematur dan berat lahir rendah, meninggal oleh karena hipotermi. V. Kumar dan A. Kumar (2009) menyatakan hal sama yaitu neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yang memiliki berat badan lahir rendah akan berisiko tinggi mengalami kematian.

Berdasarkan hasil analisis uji multivariat menggunakan regresi logistik ganda terdapat 2 faktor dominan yang berhubungan dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yaitu hipotermi dan sepsis. Hipotermi (p = 0,017; OR = 15,0; C.I. = 1,6 - 138,2), OR = 15,0 berarti bahwa hipotermi menyebabkan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna 15 kali risiko lebih besar dibandingkan yang tidak hipotermi. Sepsis (p = 0,038; OR = 15,2; C.I. = 1,2 - 199,6), OR = 15,2 berarti bahwa sepsis menyebabkan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna 15,2 kali risiko lebih besar dibandingkan yang tidak sepsis. Dari hasil penelitian Oludayo (2007), terdapat 53 pasien neonatus yang menderita kelainan saluran cerna, di mana 16 neonatus (14,5 %) di antaranya mengalami kematian oleh karena sepsis pasca operasi bedah kelainan saluran cerna. Ada berbagai macam komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna, salah satunya Berdasarkan hasil analisis uji multivariat menggunakan regresi logistik ganda terdapat 2 faktor dominan yang berhubungan dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna yaitu hipotermi dan sepsis. Hipotermi (p = 0,017; OR = 15,0; C.I. = 1,6 - 138,2), OR = 15,0 berarti bahwa hipotermi menyebabkan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna 15 kali risiko lebih besar dibandingkan yang tidak hipotermi. Sepsis (p = 0,038; OR = 15,2; C.I. = 1,2 - 199,6), OR = 15,2 berarti bahwa sepsis menyebabkan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna 15,2 kali risiko lebih besar dibandingkan yang tidak sepsis. Dari hasil penelitian Oludayo (2007), terdapat 53 pasien neonatus yang menderita kelainan saluran cerna, di mana 16 neonatus (14,5 %) di antaranya mengalami kematian oleh karena sepsis pasca operasi bedah kelainan saluran cerna. Ada berbagai macam komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna, salah satunya

B. Kelemahan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis menggunakan data sekunder dari rekam medis RSUD Dr. Moewardi. Terdapat beberapa kendala terutama terbatasnya sampel neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi. Selain itu, banyak terdapat data dari rekam medik yang tidak lengkap sehingga dimasukkan ke dalam kriteria ekslusi.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Ada hubungan antara kejadian hipotermi dengan kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi dengan p = 0,000; OR = 86; C.I. = 12,9 - 575,1. Neonatus dengan hipotermi pasca operasi bedah kelainan saluran cerna memiliki 86 kali risiko lebih besar mengalami kematian daripada yang tidak mengalami hipotermi.

2. Dari analisis multivariat, hipotermi (p= 0,017; OR = 15,0; C.I. = 1,6 - 138,2) dan sepsis (p = 0,038; OR = 15,2; C.I. = 1,2 - 199,6). Neonatus dengan hipotermi pasca operasi operasi bedah kelainan saluran cerna memiliki 15,0 kali risiko lebih besar mengalami kematian, sedangkan neonatus dengan sepsis pasca operasi bedah kelainan saluran cerna memiliki 15,2 kali risiko lebih besar mengalami kematian.

3. Hipotermi dan sepsis merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna di RSUD Dr. Moewardi.

B. Saran

1. Bagi Pelayanan Kesehatan Usaha perbaikan mutu pelayanan sebaiknya dapat lebih dioptimalkan, sehingga dapat mencegah kematian neonatus pasca operasi bedah kelainan saluran cerna oleh karena hipotermi dan sepsis.