BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) 1. Pengertian - Koko Ginanjar Saputro BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) 1. Pengertian SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat
yang terdiri dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar Rumah Sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi (Depkes RI, 2010).
2. Kegiatan pokok a.
Pengembangan SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu)
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) adalah sebuah sistem yang merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan didukung berbagai kegiatan profesi disiplin dan multi profesi untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan
Sistem ini telah diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1985, yang merupakan sistem pelayanan pasien gawat darurat dari tempat kejadian sampai ke sarana pelayanan kesehatan, yang berpedoman pada respon cepat yang menekankan pada time saving is
life and limb saving . Implementasi SPGDT dapat dibagi dalam Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-Sehari-hari (SPGDT-S) dan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu-Bencana (SPGDT-B) (DepKes RI, 2006a).
b.
Pengembangan Sumber Daya Logistik adalah istilah yang dipakai untuk aktivitas yang mendukung yang dipusatkan dengan menyediakan dan mengirimkan sumber-sumber usaha penyelamatan. Sumber ini dapat berupa sumber daya manusia, peralatan, makanan dan air, fasilitas yang meringankan anggota dan semacamnya (Stone dan Humphries, 2004).
Bagian logistik adalah bagian yang menyediakan barang dan jasa dalam jumlah, mutu dan waktu yang tepat dengan harga yang sesuai.
Logistik menurut bidang pemanfaatannya, barang dan bahan yang harus disediakan di rumah sakit dapat dikelompokkan menjadi: persediaan farmasi, persediaan makanan, persediaan logistik umum dan persediaan teknik (Aditama, 2006). Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor sentral dalam suatu organisasi(Gomes cit Parsan, 2005). Tersedianya SDM dalam jumlah yang cukup dengan mutu dan maupun antar sektor akan menentukan keberhasilan dalam penanganan keadaan gawat darurat (DepKes RI, 1999).
SDM ini dapat dilihat dari pengetahuan dan tingkat pendidikannya. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata (penglihatan) dan telinga (pendengaran). Pengetahuan juga dapat diperoleh melalui pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoadmodjo, 2003).
Menurut Dinas Kesehatan DIY (2005), sumber daya manusia yang perlu standarisasi pada UGD, meliputi: (1)Jenis petugas (medis, paramedis, administrasi, penunjang, dll); (2)Tingkat kemampuan (spesialisasi, ketrampilan khusus); (3)Keberadaan (stand by, on call); (4)Jumlah petugas (perbandingan antara jumlah pasien dan beban kerja). Kriteria sumber daya manusia untuk UGD di rumah sakit tipe A adalah: dokter sub spesialis untuk semua jenis on call (<30menit), dokter spesialis untuk semua jenis on site , dokter PPDS/+GELS on site 24jam, dokter umum on site 24 jam kerja bergilir 5 orang, perawat kepala S1 (jam kerja) dan DIII (diluar jam kerja) semuanya sudah PPGD+BLS, perawat on site 24 jam 26 orang bergilir, non medis total perawat.
Fasilitas yang disediakan harus dapat menjamin efektivitas bagi pelayanan kepada masyarakat termasuk pelayanan unit gawat darurat di RS dengan waktu pelayanan 24 jam. Sarana dan prasarana, peralatan dan obat yang disiapkan sesuai dengan standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan serta adanya subsistem pendukung baik subsistem komunikasi, transportasi termasuk pelayanan ambulans dan subsistem keselamatan kerja (DepKes RI, 2006b).
Fasilitas dan peralatan yang perlu standarisasi pada UGD menurut Dinas Kesehatan DIY (2005), meliputi: (1)Gedung/bangunan (luas, jenis ruangan dan susunannya, akses dari dan ke UGD, hubungan dengan unit kerja lain); (2)Peralatan, meliputi Ambulans Gawat Darurat (AGD), peralatan diagnostik, terapi dan perawatan. Kriteria fasilitas dan peralatan untuk UGD di rumah sakit tipe A adalah sebagai berikut: mempunyai luas gedung >2000 m3 dengan terdapat bangunan disekitar UGD yang dapat digunakan jika terjadi musibah massal, akses dari dan ke UGD dapat menampung >5 AGD, akses khusus ke UGD dangan 2 jalur AGD sejajar, lokasi dekat jalan raya, mudah dicapai dari dalam RS, terdapat berbagai macam jenis ruangan yang lengkap, hubungan dengan unit lain mudah, terdapat konsultan, peralatan medis di agnostik umum lengkap dengan jumlah memadai, peralatan medis diagnostik utama lengkap yang terdapat 2-4 troley, lengkap. c.
Pengembangan subsistem komunikasi.
Menurut DepKes RI (2006b), peran komunikasi pada penanggulangan penderita gawat darurat dilatarbelakangi karena time
saving is live and limb saving . Selain itu, kondisi kegawat daruratan
yang mungkin terjadi sehari-hari atau bencana tertentu dapat menimbulkan korban individu atau korban massal. Pentingnya peran komunikasi dalam penanggulangan penderita gawat darurat juga dikarenakan adanya peningkatan kasus gawat darurat dan adanya perubahan epidemiologi penyakit. Potensi terjadinya bencana yang cukup tinggi (baik bencana alam/akibat ulah manusia) dan kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, belum semua daerah memiliki sarana komunikasi dan transportasi yang memadai juga menjadi latar belakang penting adanya peran komunikasi dalam penanggulangan penderita gawat darurat.
Komunikasi dalam kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari memerlukan sebuah sub sistem komunikasi yang terdiri dari jaring penyampaian informasi, jaring koordinasi dan jaring pelayanan gawat darurat sehingga seluruh kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem terpadu. Jaring komunikasi adalah suatu jejaring atau komando untuk mengkomunikasikan informasi dalam suatu penghubung semua fase penanganan gawat darurat sehari-hari dan bencana (pra RS, intra RS, antar RS, lintas sektor) (DepKes RI,
2006b).
Tata cara berkomunikasi adalah singkat, jelas dan benar. Komponen dalam komunikasi mencakup pengirim berita, penerima berita dan penerus berita (DepKes RI, 2006b).
d.
Pengembangan subsistem transportasi Evakuasi dan transportasi merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan gawat darurat. Melalui evakuasi dan transportasi yang tepat dapat membantu penanganan penderita gawat darurat dengan baik. Evakuasi adalah transportasi yang terutama ditujukan dari rumah sakit lapangan menuju ke rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit dikarenakan ada bencana yang terjadi pada satu rumah sakit dimana pasien harus dievakuasikan ke rumah sakit lain (DepKes RI, 2006b).
Upaya transportasi dibagi menjadi dua macam, yaitu transportasi untuk penolong dan transportasi untuk korban. Transportasi untuk penolong dari tim setempat dapat memobilisasi semua fasilitas kendaraan yang dimiliki instansi kesehatan setempat baik pemerintah maupun swasta dan untuk tim bantuan diusahakan mendapatkan prioritas fasilitas transportasi yang ada agar dapat segera sampai ke tempat kejadian. Transportasi untuk korban dengan menggunakan yang diperlukan sesuai kebutuhan yang disempurnakan berdasarkan situasi dan kondisi setempat (DepKes RI, 1999). e.
Latihan-latihan gabungan Pelatihan (drills) penanganan bencana menyediakan kesempatan untuk pendidikan personel rumah sakit mengenai kesiapsiagaan bencana. Pelatihan ini membantu kita untuk kreatif dalam memilih alternatif untuk respon bencana sehingga dapat mempersiapkan lebih baik untuk bencana yang sesungguhnya (Sheehy, 1992). Departemen Kesehatan RI (1999) menyatakan bahwa dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Bencana (SPGDB) perlu dilakukan kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi tersebut dapat dilaksanakan pada waktu betul-betul terjadi bencana. Namun karena bencana jarang terjadi maka evaluasi dapat dilakukan pada latihan-latihan yang simulasi bencana, dengan demikian SPGDB sudah dapat ditingkatkan mutu nya jauh sebelum bencana terjadi.
Simulasi dapat digunakan untuk menguji sebuah ketentuan- ketentuan baik berupa prosedur tetap (protap) maupun petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis). Ketentuan terse but perlu diuji agar dapat diketahui apakah semua rancangan dapat diimplementasikan pada kenyataan yang sebenarnya di lapangan (DepKes RI, 2006).
Menurut Dinas Kesehatan DIY (2005) standarisasi pendidikan dan Support (BLS), Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD) dan General Emergency Life Support (GELS); (2)Pelatihan Lanjut, yaitu First Responder, Instruktur PPGD dan Acute Trauma Life Support (ATLS), Acute Cardiac Life Support (ACLS) dan Pediatric Advanced Life Support (PALS). Kriteria pendidikan dan pelatihan untuk UGD di rumah sakit tipe A adalah: mampu melakukan pelatihan BLS awam, BLS/PPGD paramedis, BLS/GELS medis; jumlah pelatihan yang dilakukan dalam setahun >2 kali; jadwal pelatihan terencana dan didokumentasikan; serta mengadakan pelatihan penanganan musibah massal terjadwal, teratur dan ada dokumentasi.
f.
Kerjasama lintas sektor Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas lintas-sektor yang berkelanjutan. Kegiatan tersebut membentuk suatu bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggung jawab untuk mengembangkan perencanaan dan program pengelolaan bencana (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, rehabilitasi atau rekonstruksi). Upaya kesiapsiagaan bencana mempunyai tujuan khusus, yaitu menjamin bahwa sistem, prosedur dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi korban bencana sehingga dapat mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan (PAHO, 2006). pihak kepolisian, pemadam kebakaran, rescue team (tim SAR), Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), mengadakan pelatihan gabungan dengan tim bantuan medis mahasiswa dan pihak-pihak lain yang terkait dalam penanggulangan bencana.
B. Merujuk Penderita 1. Pengertian
Rujukan adalah penyerahan tanggung jawab dari satu pelayanan kesehatan ke pelayanan kesehatan yang lain. Sistem rujukan upaya kesehatan adalah suatu system jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya penyerahan tanggung jawab secara timbale- balik atas masalah yang timbul, baik secara vertical maupun horizontal ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional, dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi (Syafrudin & Hamidah, 2009).
2. Faktor Merujuk Penderita
Menururt Pusponegoro, dkk (2012), saat merujuk penderita tergantung dari banyak faktor, yaitu: b.
Jarak rumah sakit yang akan dituju c. Keberadaan tenaga terampil yang akan mendampingi penderita d.
Kemampuan rumah sakit yang menangani penderita (kebutuhan sumber daya manusia dan peralatan)
3. Cara Rujukan dan cara transport
Dokter yang merujuk Dokter harus memahami cara pemilihan transport, perawatan sepanjang perjalanan, berkomunikasi dengan dokter yang akan menerima rujukan. Proses merusuk yang harus dipahami adalah pasien saat dirujuk dalam kondisi stabil.
b.
Dokter yang menerima perujukan Dokter harus menyakini bahwa rumah sakitnya mampu menerima penderita dan memang bersedia menerima rujukan (Pusponegoro, dkk,
2012).
4. Peran Perawat Dalam Merujuk Pasien
Peran perawat dalam merujuk pasien sebagai berikut: a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan b.
Peran sebagai advokat klien c. Peran edukator d.
Peran koordinator e. Peran kolaborator f. Peran Konsultan g.
Peran Pembaharuan C.
Cidera Kepala 1. Definisi Cidera Kepala
Cidera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, dkk 2006 dalam Mallinaidu, 2010).
2. Fisiologi Organ Kepala a.
Tengkorak Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008 dalam
Trimaningsih, 2012) merupakan struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan :lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi lobus temporalis, parientalis, 10 oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan sereblum.
b.
Meningen Pearce, Evelyn C. (2008 dalam Trimaningsih, 2012) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembulu darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang memperkecil lapisan yaitu:
1) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat . Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 3)
Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak c.
Otak Menurut Ganong, (2002 dalam Trimaningsih, 2012); price, (2005 dalam Trimaningsih, 2012), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
1) Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu. Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bias menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
b) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. c) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
d) Lobus Oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis 16akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
3) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat otonom yang mengatur fungsi- fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin. 4)
Saraf-Saraf Otak Suzanne C Smeltzer, (2001 dalam Trimaningsih, 2012)
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu: (1)
Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kelopak mata dan bola mata.
(2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
(3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf penggoyang sisi mata g)
Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII) Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar. i)
Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX) tonsil dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak. j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa. k)
Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI), Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan l)
Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII) Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung.
3. Penyebab Cidera Kepala
Cedera kepala terjadi paling umum setelah kecelakaan sepeda motor, jatuh di rumah atau kerja, tindak kekerasan, olah raga dan cedera rekreasi Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok) dan tembakan.
4. Jenis Cidera Kepala
terjadi trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain
and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup
adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, 2006 dalam Mallinaidu, 2010). Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut; a. fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline
fracture, depressed fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap
fraktur adalah sebagai berikut: 1)
Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit 2)
Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi, distorsi dan ‘splintering’.
3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural
(Duldner, 2008 dalam Mallinaidu, 2010). terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando Regional Healthcare, 2004 dalam Mallinaidu, 2010). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis krani yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004 dalam Mallinaidu, 2010).
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari (Garg, 2004 dalam Mallinaidu, 2010).
b.
Luka memar (kontosio) Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004 dalam Mallinaidu, 2010).
c.
Laserasi (luka robek atau koyak) Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.
d.
Abrasi Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.
Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e.
Avulsi Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial.
Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan (Mallinaidu, 2010).
Tingkatan Cidera Kepala Tipe dan Tingkatan Cedera Kepala.
a.
Cedera kepala ringan :
1) Klien bangun dan mungkin bisa berorientasi
2)
GCS (13-15)
4) Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hamatom.
GCS (9-12)
Menurut Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan permeabilitas faskuler.
4) Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial (Mallinaidu, 2010).
3) Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
Klien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran 2)
Cedera kepala berat 1)
4) Dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan c.
3) Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
Klien mungkin konfusi/samnolen, namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana 2)
Cedera kepala sedang 1)
b.
3) Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit
GCS (3-8)
6. Patofisiologi
Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
7. Penanganan Cidera Kepala
Penganan cidera kepala yang dilakukan sebagai berikut (Trimaningsih, 2012):
Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. b.
Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
c.
Pemberian analgetik.
d.
Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40% atau gliserol.
e.
Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
f.
Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g.
Pembedahan.
D. Trauma Skor 1. Pengertian Trauma skor adalah salah satu skor fisiologis yang lebih umum.
Menggunakan 3 parameter sebagai berikut: (1) skala Glasgow koma (GCS), (2) (SBP) tekanan darah sistolik dan (3) frekuensi pernafasan(RR).Skor bernilai dari 0-4. RTS memiliki 2 bentuk tergantung pada penggunaannya. Ketika digunakan, RTS ditentukan dengan menambahkan masing-masing nilai-nilai kode bersama-sama (Mallinaidu,
2. Faktor Trauma Skor Pada Cidera Kepala
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis adalah : a.
Terlambatnya penanganan awal dan resusitasi.
b.
Pengangkutan/transport yang tidak adekuat.
c.
Dikirim ke RS yang tidak adekuat.
d.
Tindakan bedah yang terlambat.
e.
Disertai dengan cedera multipel yang lain.
Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena dapat mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan awal ini termasuk pada penatalaksanaan segera ditempat kejadian dan proses transport penderita secara benar ke fasilitas lain yang lebih lengkap. Jadi tujuannya tidak saja untuk menolong jiwa pada penderita cedera kepala tetapi mencegah terjadinya sequele seminimal mungkin (Mallinaidu, 2010).
3. Kategori Trauma Skor
Skor bernilai dari 0-4. RTS memiliki 2 bentuk tergantung pada penggunaannya. Ketika digunakan di Triase, RTS ditentukan dengan menambahkan masing-masing nilai-nilai kodebersama-sama. Dengan demikian, RTS berkisar dari 0-12 dan dengan mudah dihitung (Mallinaidu, 2010).
Table 2.1. Kategori Trauma SkorKode Nilai GCS SBP (mmHg) RR (breath/menit)
3 1 4-5 <50 <5 2 6-8 50-75 5-9 3 9-12 76-90 <10 4 13-15 >90 10-30
E. Kerangka Teori
Jarak tempuh rujukan menurut Pusponegoro, dkk (2012) merupakan salah satu faktor pertimbangan dalam merujuk pasien, hal ini karena jarak tempuh dapat mempengaruhi kondisi pasien. Jarak tempuh yang jauh dengan pasien yang mengalami cidera kepala akan mempersempit kesempatan pasien untuk tertolong, oleh karena itu dalam merujuk pasien cidera kepala harus memahami letak geografis, penguasaan informasi jalan yang terdekat menuju rumah sakit rujukan, serta mengetahui refrensi rumah sakit yang tepat untuk merujuk yaitu memiliki keyakinan bahwa rumha sakit rujukan mampu menangani pasien cidera kepala. Perubahan kondisi pasien cidera kepala yang dinilai dengan tekanan darah sistolik (TDS), Frekuensi nafas, dan skala Glasgow koma (GCS) yang hasil akhir dinilai sebagai trauma skor.
Kerangla teori
Gambar 2.3 Kerangka TeoriSumber: Pusponegoro, dkk (2012) Kegawatan Penyakit Dalam: 1.
MCI 2. Asma 3. Ganguan Nafas 4. Serangan jantung 5. DM 6. Stroke 7. dll
Kegawatan Kasus Bedah: 1.
Tumor/kanker 2. Sesar 3. Fraktur 4. Usus Buntu 5. Cidera Kepala 6. dll
Instalasi Gawat Darurat
Penilaian Skor Trauma:
1. Nilai tekanan darah sistolik (TDS)2. Frekuensi nafas, 3.
Skala Glasgow koma (GCS) Faktor:
1. Terlambatnya penanganan awal dan resusitasi.
2. Pengangkutan/transport yang tidak adekuat.
3. Dikirim ke RS yang tidak adekuat.
4. Tindakan bedah yang terlambat.
5. Disertai dengan cedera multipel yang lain.
Fasilitas Keselamatan: 1.
Jarak tempuh Rujukan 2. Keterampilan Tenaga Medis 3. Kondisi Jalan 4. Jenis Transport
F. Kerangka Konsep
Pasien cidera kepala yang tidak mampu ditangani oleh pelayanan kesehatan pertama paling dekat dengan terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan pasien cidera kepala akan mempertimbangkan jarak tempuh rumah sakit yang paling dekat untuk merujuk, karena jika jarak tempuh terlalu jauh akan mempengaruhi kondisi pasien yang dinilai berdasarkan trauma skornya.
Pasien cidera kepala Penilaian TS
Penilaian TS pre hispital hispital
Jarak Tempuh Transportasi
Gambar 2.4. Kerangka Konsep PenelitianG. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teorisasi tersebut di atas dapat diambil hipotesis penelitian yaitu “Terdapat hubungan yang positif antara jarak tempuh rujukan dengan trauma skor pasien cidera kepala di RSU Siaga Medika Banyumas”.