BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oil Sludge 2.1.1 Definisi oil sludge - PENGARUH VARIASI KONSENTRASI CRUDE ENZYME LIPASE Micrococcus sp. L II 61 DAN BIOSURFAKTAN Acinetobacter sp. P2(1) TERHADAP KELARUTAN OIL SLUDGE Repository - UNAIR REPOSITORY

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oil Sludge

2.1.1 Definisi oil sludge

  Oil sludge adalah endapan berupa lumpur atau pasta berwarna hitam yang

  tercampur dengan tanah, kerikil, air dan bahan lainnya. Endapan tersebut semakin lama semakin menumpuk pada bagian bawah dari tangki-tangki penyimpanan atau pada pipa-pipa penyaluran bahan bakar minyak sehingga dapat menyumbat pipa, mengurangi kapasitas operasional dari tangki penyimpanan minyak serta mempercepat proses korosi (Banat and Rancich, 2009).

  Oil sludge terdiri atas minyak (hydrocarbon), air, abu, karat tangki, pasir,

  dan bahan kimia lainnya yang membentuk sedimen atau endapan dari partikel- partikel halus bahan bakar minyak pada dasar tangki penyimpanan akibat adanya kontak dengan udara. Kandungan dari hydrocarbon antara lain benzene, toluene, ethylbenzene, xylenes, dan logam berat seperti timbal (Pb) pada oil sludge merupakan limbah B3 yang dalam pengelolaannya harus diproses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 menjadi tidak beracun dan berbahaya karena itu, harus ada aplikasikan teknik pengolahan limbah atau daur ulang yang tepat dan murah untuk menangani masalah limbah oil sludge tersebut (Sugiarto, 2004).

  Hidrokarbon adalah senyawa organik yang terdiri sepenuhnya dari hidrogen dan karbon. Hidrokarbon terutama adalah polutan dari kilang minyak

  7 dan tumpahan minyak. Hidrokarbon bersifat unik karena untuk proses degradasi dibutuhkan peran mikroba terutama dari bentuk dirantai dan bercabang lurus melibatkan penambahan awal oksigen molekuler. Hidrokarbon mengandung benzena, dicylopentadiene siklopentadiena, stryene, toluena dan xilena sebagai komponen utama dan hidrokarbon lain sebanyak kecil komponen (Shantini et al., 2009).

  Hidrokarbon umumnya ditemukan di alam dalam bentuk minyak mentah alami antara lain solar dan petroleum. Minyak dan solar merupakan campuran kompleks hidrokarbon cair dan padat yang komposisinya bervariasi. Komponen utamanya adalah paraffin hydrocarbon, campuran hidrokarbon alisiklik jenuh dan hidrokarbon aromatik, serta hidrokarbon aromatik (Shantini et al., 2009).

  2.1 Surfaktan

  Surfaktan (surface active agent) adalah molekul amfifatik yang terdiri atas gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga dapat berada pada interfasial (antar muka) antara cairan yang memiliki sifat polar dan ikatan hidrogen berbeda, seperti interfasial minyak/air atau udara/air. Hal ini menyebabkan surfaktan mampu mereduksi tegangan permukaan dan membentuk mikroemulsi sehingga hidrokarbon dapat larut di dalam air dan sebaliknya (Desai and Banat, 1997).

  2.2 Biosurfaktan

2.3.1 Definisi biosurfaktan

  Biosurfaktan atau surface active compound merupakan sekelompok molekul

  • –molekul heterogen aktif yang diproduksi oleh mikroorganisme yang menempel pada permukaan sel atau diekskresikan secara ekstraseluler di dalam medium pertumbuhan (Tabatabaee et al., 2005). Molekul-molekul ini mengurangi
tegangan permukaan dan Kritis Pengenceran Misel (CMC) di antara kedua fase larutan air dan hidrokarbon campuran. Properti ini membuat mikroemulsi dimana misel formasi terjadi antar hidrokarbon sehingga dapat melarutkan dalam air atau air dalam hidrokarbon (Banat, 1993).

  Proses pelarutan antara fase cair dan minyak dikarenakan sifat biosurfaktan yang memiliki dua molekul kompleks sekaligus (amfifatik), yaitu gugus hidrofilik (polar) dan hidrofobik (non polar) sehingga dapat berada di antara cairan yang memiliki sifat polar dan ikatan hidrogen yang berbeda. Sifat ini menyebabkan biosurfaktan mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan interfasial pada ruang antara air dan minyak serta material non polar dengan cara berakumulasi pada interfasial dari cairan yang tidak dapat saling larut tersebut (Georgiou et al., 1992; Vater et al., 2002, Singh et al., 2006). Gugus hidrofilik dan hidrofobik tersebut juga memudahkan dispersi dari material hidrofobik seperti minyak atau lipid ke dalam fase cair sehingga dapat membentuk mikroemulsi yang menyebabkan hidrokarbon dapat larut di dalam air dan sebaliknya (Desai and Banat, 1997; Mazaheri and Tabatabaee, 2010).

  Beberapa jenis biosurfaktan telah diisolasi dan ditandai, termasuk glikolipid, fosfolipid, lipopeptida, lipid alami, asam lemak, lipopolisakarida dan lainnya sepenuhnya ditandai. Biosurfaktan umumnya dihasilkan oleh mikroorganisme yang tumbuh di atas air larut hidrokarbon, tetapi beberapa telah diproduksi pada larut dalam air seperti substrat sebagai glukosa, gliserol dan etanol (Banat et al., 1991; Desai and Banat, 1997; Makkar and Cameotra, 1998).

  Biosurfaktan adalah hasil ekskresi mikroorganisme yang memiliki sifat mirip dengan surfaktan (Thavasi et al., 2009). Kehadiran surfaktan dalam media reaksi katalisis enzim lipase dapat mempengaruhi tingkat hidrolisis, hal tersebut berkaitan dengan pembentukan kompleks enzim-surfaktan, sifat katalitiknya dapat berbeda dengan enzim asli. Menurut Qur

  ’aini (2011) Biosurfaktan Acinetobacter sp. P2(1) adalah golongan lipopolisakarida yang memiliki 14 jenis asam lemak.

  Biosurfaktan dengan berat molekul tinggi seperti polimer surfaktan ekstraseluler yang terdiri atas polisakarida, protein, lipopolisakarida, lipoprotein, atau campuran kompleks dari biopolimer-biopolimer tersebut serta polisakarida amfifatik yang sangat efektif untuk menstabilkan emulsi minyak dalam air.

  Biosurfaktan Acinetobacter sp. P2(1) memiliki asam linoleat (asam oktadeka 9-12 dienoat) merupakan jenis asam lemak terbanyak yang terkandung dalam produk kasar, yaitu sebesar 35,22%. Asam linoleat mempunyai jumlah atom karbon sebanyak 18 buah dan termasuk kedalam asam lemak tak jenuh karena mempunyai 2 ikatan rangkap serta termasuk dalam asam lemak essensial gambar 1.

  COO

  Gambar 1. Struktur asam linoleat (Qur

  ’aini, 2011) Hasil uji kualitatif komponen kimia produk kasar Acinetobacter sp. P2(1) yang ditumbuhkan pada substrat molase termasuk kedalam biosurfaktan jenis fosfolipid. Ron and Rosenberg (2001) mendapatkan hasil bahwa biosurfaktan Acinetobacter sp. P2(1) mengandung polisakarida. Biosurfaktan memiliki kelebihan toksisitas yang lebih rendah,

  biodegradable alam, dan efektivitas pada suhu ekstrim, pH, salinitas dan

  kemudahan sintesis. Biosurfaktan adalah calon potensial untuk banyak aplikasi komersial dalam farmasi, pengolahan makanan dan industri pengolahan minyak (oil recovery) (Banat et al., 1991; Desai and Banat, 1997; Makkar and Cameotra, 1998).

  Biosurfaktan dapat menyebabkan komponen minyak yang terkandung dalam oil sludge menjadi larut dalam air, sedangkan kandungan lipid yang tidak larut dalam air akan didegradasi oleh enzim lipase menjadi produk yang larut air. Penambahan crude enzyme lipase akan mengkatalis hidrolisis ikatan ester dalam substrat lipid yang tidak larut air menjadi larut air kemudian biosurfaktan membantu mengemulsikan senyawa hidrokarbon yang telah terpecah oleh enzim lipase sehingga lebih mudah melarutkan oil sludge.

  Sebagian besar biosurfaktan dihasilkan oleh mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon untuk meningkatkan daerah interfasial dan kontak pengambilan substrat. Hal tersebut berkaitan dengan sifat biosurfaktan yang memiliki dua molekul kompleks sekaligus, yaitu gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan pada ruang antar air dan minyak (Vater et al., 2002).

  Biosurfaktan pada penelitian ini diproduksi dari Acinetobacter sp. P2(1) pada substrat molase dengan media Air Mineral Sintetis (AMS) berdasarkan komposisi Pruthi and Cameotra (1997) yang merupakan media optimum bagi pertumbuhan biosurfaktan Acinetobacter sp. P2(1) yang ditambahkan molase dengan konsentrasi 4% selama tiga hari.

  Pemilihan substrat molase menguntungkan selama proses produksi karena molase merupakan limbah dari pabrik tebu yang tidak dipakai lagi dan memiliki harga yang murah. Molase digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya. Sumber karbon memegang peranan penting dalam produksi biosurfaktan karena sumber karbon dapat menginduksi mikroba untuk menghasilkan biosurfaktan. Sumber karbon yang berbeda dapat mempengaruhi komposisi biosurfaktan yang dihasilkan dan bagaimana biosurfaktan diproduksi.

  Masa inkubasi selama tiga hari dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa masa inkubasi optimum untuk menghasilkan biosurfaktan Acinetobacter sp. P2(1) pada substrat molase adalah tiga hari (Widodo, 2010). Bukti adanya pertumbuhan oleh bakteri ditandai oleh warna media molase yang telah diinokulasi oleh bakteri menjadi keruh dan berbusa jika dibandingkan dengan kontrol (molase tanpa inokulasi bakteri).

  P2(1) memproduksi biosurfaktan secara ekstraseluler.

  Acinetobacter sp.

2.3.2 Kelebihan biosurfaktan dibanding surfaktan sintetis

  Biosurfaktan mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan surfaktan sintetis, di antaranya toksisitasnya rendah, mudah terurai (biodegradable), ramah lingkungan, berbusa dan dapat aktif bekerja pada suhu, pH dan salinitas yang ekstrim (Tabatabaee et al., 2005). Berdasarkan Kosaric (1992) kelebihan biosurfaktan di antaranya adalah dapat didegradasi secara alami, mempunyai toksisitas yang lebih rendah, dan dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia sehingga memungkinkan untuk digunakan dalam bidang farmasi dan tambahan makanan, dapat diproduksi dengan bahan baku yang murah, dapat digunakan sebagai kontrol lingkungan, mempunyai spesifitas yang tinggi, serta efektif dalam suhu, pH dan salinitas yang ekstrim sekalipun.

  Berdasarkan ukuran molekulnya, biosurfaktan dapat dibagi menjadi dua, yaitu biosurfaktan dengan berat molekul kecil dan berat molekul besar.

  Biosurfaktan dengan berat molekul kecil dapat menurunkan tegangan permukaan atau antar permukaan dan polimer-polimer yang terikat secara erat pada permukaan. Biosurfaktan dengan berat molekul tinggi seperti polimer surfaktan ekstraseluler yang terdiri atas polisakarida, protein, lipopolisakarida, lipoprotein, atau campuran kompleks dari biopolimer-biopolimer tersebut serta polisakarida amfifatik yang sangat efektif untuk menstabilkan emulsi minyak dalam air.

  Berdasarkan penelitian Muna (2011) mengindikasikan bahwa produk biosurfaktan Bacillus subtilis 3KP dari molase 4% berpotensi untuk menggantikan penggunaan surfaktan sintetis karena fungsinya yang mampu menggantikan keberadaan surfaktan sintetis.

  Efektifitas kemampuan biosurfaktan dinilai berdasarkan kemampuannya dalam menurunkan tegangan permukaan. Produk biosurfaktan yang baik dilihat dari kemampuannya dalam menurunkan tegangan permukaan media pertumbuhannya. Tegangan permukaan sangat diperlukan dalam pembentukan gelembung, dispersi droplet serta proses lainnya yang melibatkan perubahan di daerah antarmuka. Selain itu, tegangan permukaan diperlukan untuk memudahkan percampuran antara fase air dan fase minyak sehingga fase minyak dapat masuk kedalam fase air dan sebaliknya.

2.3.3 Biosurfaktan sebagai agen bioremidiasi

  Bioremidiasi merupakan salah satu proses alternatif pengolahan limbah minyak bumi dengan cara degradasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan tidak beracun di lingkungan. Proses degradasi relatif lebih murah, efektif, dan ramah lingkungan. Namun metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan cara fisika atau kimia. Proses bioremidiasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi inokulum, nutrisi (rasio C: N: P), dan faktor lingkungan (pH) ( Zam, 2006).

  Mikroorganisme dapat menurunkan polutan organik banyak karena metabolisme mereka mesin dan kapasitas mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan yang tidak ramah. Kapasitas dari suatu populasi mikroba untuk mendegradasi polutan dalam matriks lingkungan (misalnya, tanah, sedimen, lumpur atau air limbah) dapat ditingkatkan baik oleh stimulasi penduduk asli mikroorganisme, dengan penambahan nutrisi atau akseptor elektron (Biostimulation) atau dengan pengenalan mikroorganisme khusus untuk lokal populasi (bioaugmentation) (Singh et al., 2006).

  Salah satu strategi yang paling penting bagi keberhasilan berhubungan dengan bioremediasi mempertahankan jumlah layak sesuai strain diperkenalkan. Ada yang berbeda pendekatan dalam memberikan galur bakteri untuk daerah yang terkontaminasi yang diinginkan. Imobilisasi mikroorganisme telah diusulkan sebagai strategi untuk meningkatkan efektivitas dari bioaugmentasi karena menyediakan penghalang pelindung di sekitar mikroorganisme (Singh et al., 2006). Mikroorganisme ini akan mati seiring dengan habisnya minyak mentah di sekitar perairan tersebut. Biodegradasi dari hidrokarbon dengan populasi alami mikroorganisme merupakan salah satu mekanisme utama yang minyak dan polutan hidrokarbon lainnya dieliminasi dari lingkungan (Leahy and Colwell, 1990).

  Biostimulasi merupakan proses mikrobiologis untuk mendegradasi senyawa polutan biasanya melibatkan modifikasi dari media terkontaminasi dengan menyesuaikan pH, memberi penambahan nutrisi atau membatasi nutrisi untuk mencapai nutrisi yang ideal C: N: P rasio dan memperbaiki tanah kelembaban. Pendekatan lain adalah dengan menambahkan biostimulasi produk mikroba, seperti biosurfaktan atau enzim, secara langsung sebagai amandemen baik sendiri atau dalam kombinasi dengan inokulan mikroba. Biosurfaktan telah digunakan untuk bioremediasi logam dan bahan organik yang terkontaminasi, biosurfaktan juga digunakan di alam sebagai aplikasi bioaugmentasi untuk melindungi inokulan mikroba dari keracunan logam atau untuk meningkatkan jumlah substrat organik yang tersedia pada proses degradasi (Singh et al., 2006).

  Kombinasi bioaugmentasi dan biostimulasi menjanjikan strategi untuk mempercepat proses bioremediasi. Kedua treatment dari eksogen mikroorganisme dapat mengambil manfaat dari biostimulasi dengan penambahan energi sumber atau akseptor elektron. Kombinasi dengan biosurfaktan bioaugmentasi dapat meningkatkan peluang untuk berhasil (Singh et al., 2006).

  2.3.4 Mikroba hidrokarbonoklastik ponghasil biosurfaktan Kelompok mikroba yang mampu menggunakan sumber karbon dari senyawa hidrokarbon disebut hidrokarbonoklastik. Karakter mikroba penghasil biosurfaktan ini yang tidak dimiliki bakteri lain adalah kemampuannya dalam meng ekspresikan ω-hidroksilase, yaitu suatu enzim pengoksidasi hidrokarbon.

  Mikroba yang memiliki enzim ini mempunyai kemampuan untuk menempel pada hidrokarbon, memproduksi emulsifier serta membebaskan diri (desorption) dari hidrokarbon. Beberapa golongan mikroba menguraikan hidrokarbon dengan jalur oksidasi yang mengubah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana (Desai

  and Banat, 1997).

  Menurut Hawkins (2006) dalam mendegradasi hidrokarbon, mikroba memproduksi enzim tertentu sehingga hidrokarbon dapat dipecah. Sebagian dari jenis bakteri yang dapat memecah hidrokarbon adalah Achromobacter,

  Flavobacterium , dan Pseudomonas. Bakteri ini termasuk Monera dan heterotrophik, menggunakan karbon sebagai sumber makanan utama mereka.

  Genus bakteri pengguna hidrokarbon yang paling penting berdasarkan frekuensi isolasinya adalah Achromobacter, Acinetobacter, Aeromonas,

  Alcaligenes, Athrobacter, Bacillus, Benecdea, Brevibacterium, Corynebacterium, Flavobacterium , Methylobacter, Methylobacterium, Methylococcus, Methylocystis, Methylomonas, Micromonospora, Mycobacterium, Nocardia, Pseudomonas, Spirillum, Vibrio (Ebuehi et al., 2005). Beberapa jenis bakteri yang

  juga telah diketahui mampu mendegradasi pencemaran hidrokarbon meliputi Actynomycetes dan Alcanivorax (Nugroho, 2006).

  Ni’matuzahroh dkk. (2009) juga melaporkan bahwa terdapat beberapa spesies bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi hidrokarbon dalam minyak mentah, yaitu

  Acinetobacter faecalis tipe II, Actinobacillus sp., Aeromonas hydrophyla, Pseudomonas aeruginosa , P. putida, P. cepacea, P. flourescens-25, dan P.

  Pseudomallei .

2.3.5 Klasifikasi bakteri Acinetobacter sp. P2(1)

  Klasifikasi bakteri Acinetobacter sp. P2(1) menurut Garrity et al. (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Gammaproteobacteria Ordo : Pseudomonadales Famili : Pseudomonadaceae Genus : Acinetobacter Spesies : Acinetobacter sp. P2(1)

  1 skala = 1 µm Gambar 2. Morfologi sel Acinetobacter sp. P2(1) perbesaran 1000x

  ( Ni’matuzahroh dkk., 2009)

2.3.6 Karakteristik bakteri Acinetobacter sp. P2(1)

  Acinetobacter sp. P2(1) merupakan gram negatif. Bakteri ini berbentuk

  kokoid dengan ukuran 0,5

  • – 1,0 µm, aerobik, tidak membentuk spora, biasanya menggunakan nitrat dan oksidasi negatif. Tidak mempunyai flagel sehingga non motil. Bakteri ini dapat tumbuh optimal pada suhu ruang dan tumbuh baik pada media Mac Conkey Agar. Bakteri ini dapat ditemukan pada lingkungan yang lembab dan kondisi yang mengandung banyak mineral seperti komponen aromatik. Acinetobacter sp. memiliki biosurfaktan jenis lipopolisakarida (Rosenberg et al., 1979).

  Berdasarkan penelitian Widodo (2010) menyebutkan bahwa bakteri

  Acinetobacter sp. P2(1) dapat menurunkan tegangan permukaan sebesar 27,25

  dyne/cm (dari 61,67 dyne/cm menjadi 34,42 dyne/cm) dan dapat mengemulsi minyak mentah sebesar 6,34% (waktu inkubasi 1 jam), tetapi emulsi tersebut kurang stabil. Hal ini dapat dilihat setelah 24 jam, aktivitas emulsifikasi turun menjadi 5,23%. Meskipun demikian, Acinetobacter sp. P2(1) dapat dikatakan mempunyai kemampuan menghasilkan senyawa yang berfungsi sebagai

  bioemulsifier. Widodo (2010) juga menyebutkan bahwa Acinetobacter sp. P2(1)

  memiliki nilai CMC (Critical Micelle Concentration) 10.427,9 mg/L atau 10,43 g/L (berat kering) dengan nilai tegangan permukaan 48,8 dyne/cm. Desai and Banat (1997) menyatakan CMC sebagai kemampuan biosurfaktan yang larut di antara fase air dan minyak, dan sebagai tolok ukur efisiensi biosurfaktan. Kosaric (1992) menambahkan bahwa biosurfaktan dikatakan efisien jika memiliki nilai CMC berkisar antara 1-2.000 ppm.

2.4 Metabolisme Mikroba

  Suatu mikroorganisme harus melaksanakan sejumlah reaksi yang melibatkan katalis enzim demi keberlangsungan hidupnya. Enzim merupakan substansi di dalam sel yang ada dalam jumlah amat kecil dan mampu menyebabkan perubahan-perubahan berkaitan dengan proses selular dan kehidupan. Di dalam sebuah sel terdapat ribuan jenis enzim yang berbeda-beda dimana aktivitasnya harus terkoordinasi sedemikian rupa sehingga diperoleh produk-produk yang tepat dengan penggunaan energi seminimal mungkin (Sumarsih, 2002).

  Tidak semua enzim yang dihasilkan hanya berfungsi untuk keperluan aktivitas di dalam sel, tetapi terdapat beberapa enzim yang diekskresikan sehingga dapat berfungsi untuk aktivitas di luar sel. Oleh karena tu, dikenal adanya dua enzim, yaitu enzim intraselular/endoenzim dan enzim ekstraselular/eksoenzim (Pelczar and Chan, 2005). Endoenzim umumnya merupakan enzim yang digunakan untuk proses sintesis di dalam sel dan untuk pembentukan energi (ATP) yang berguna untuk proses kehidupan sel, energi dalam proses respirasi. Sedangkan eksoenzim umumnya be rfungsi untuk “mencernakan” substrat secara hidrolisis, untuk dijadikan molekul yang lebih sederhana dengan berat molekul (BM) lebih rendah sehingga molekul tersebut dapat masuk melewati membran sel.

  Energi yang dibebaskan pada reaksi pemecahan substrat di luar sel tidak digunakan dalam proses kehidupan sel (Campbell et al., 1998).

2.5 Enzim

  Enzim adalah protein yang memiliki fungsi spesifik sebagai katalis yang efektif, memiliki spesifisitas terhadap substrat, dan hanya akan mengkatalis reaksi tertentu (Sumarsih, 2002). Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul-molekul zat-zat yang bereaksi untuk kemudian mempercepat proses reaksi. Secara lebih jelas, enzim bekerja dengan cara menurunkan energi aktivasi yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi sehingga akan mempercepat jalannya reaksi.

  Enzim adalah katalis hayati sehingga walaupun dalam jumlah sedikit mempunyai kemampuan unik untuk mempercepat berlangsungnya reaksi kimiawi.

  Enzim adalah senyawa organik yang dihasilkan oleh sel-sel hidup yang menampakkan spesifisitas pada suatu jenis reaksi tertentu saja (Pelczar and Chan, 2005).

  Enzim bekerja secara spesifik, yaitu setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu jenis senyawa atau reaksi kimia, hal ini disebabkan karena struktur kimia tiap enzim berbeda dan bersifat tetap. Sebagai contoh adalah enzim alpha amilase hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa. Sistem kerja enzim adalah dengan cara menempel pada substrat dan menurunkan energi aktivasi yang dengan sendirinya mempercepat proses reaksi.

  Satu molekul enzim dapat mengkatalis 10 sampai 1000 molekul substrat per detik (Pelczar and Chan, 2005).

  Berdasarkan tempat bekerjanya enzim, dikenal dua tipe enzim: enzim ekstraselular atau eksoenzim (berfungsi di luar sel) dan enzim intraselular atau endoenzim (bekerja di dalam sel). Fungsi utama eksoenzim adalah melakukan perubahan-perubahan nutrien di sekitarnya sehingga memungkinkan nutrien tersebut memasuki sel. Sedangkan enzim intraselular berfungsi untuk mensisntesis bahan selular dan menguraikan nutrien untuk menyediakan energi yang dibutuhkan sel (Pelczar and Chan, 2005).

  Berdasarkan sumbernya enzim dibagi menjadi dua tipe enzim, yaitu: enzim induktif dan konstitutif. Enzim induktif memerlukan penambahan substrat sebagai penginduksi untuk memproduksi enzim, sedangkan enzim konsitutif tidak memerlukan penambahan substrat guna menginduksi enzim karena enzim terkoordinasi langsung dalam sel untuk memproduksi enzim (Pelczar and Chan, 2005).

2.5.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim

  1. Konsentrasi enzim Menurut Pelczar and Chan (2005) terdapat hubungan linear antara konsentrasi enzim dengan laju reaksi. Semakin tinggi konsentrasi enzim maka semakin cepat laju suatu reaksi.

  Gambar 3. Pengaruh konsentrasi enzim terhadap laju reaksi (Pelczar and Chan, 2005).

  2. Konsentrasi substrat Konsentrasi substrat mempengaruhi kecepatan reaksi suatu enzim.

  Konsentrasi yang tinggi dapat mempercepat laju reaksi. Tapi apabila konsentrasi substrat diperbesar maka tidak ada lagi penambahan laju reaksi (Berg et al., 2007). Hal ini disebabkan enzim mengalami kejenuhan karena konsentrasi substrat yang tinggi namun tanpa adanya peningkatan konsentrasi enzim sehingga semua sisi aktif enzim sudah ditempati oleh substratnya dan ketika produk telah terbentuk serta meninggalkan sisi aktif enzim maka segera sisi aktif enzim akan ditempati oleh molekul substrat berikutnya (Campbell et al., 1998). Peningkatan konsentrasi substrat akan meningkatkan kecepatan laju reaksi sampai batas tertentu dimana enzim telah jenuh oleh keberadaan substrat sehingga kecepatan laju suatu reaksi akan konstan.

  Gambar 4. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap laju reaksi

  (Pelczar and Chan, 2005)

  3. Pengaruh suhu Suhu dapat menentukan aktivitas maksimum enzim. Tercapainya suhu optimum tergantung pada enzim, pH, dan waktu. Makin tinggi suhu akan lebih meningkatkan kecepatan reaksi. Hal ini disebabkan oleh atom-atom dalam molekul enzim memiliki energi yang lebih besar dan adanya kecenderungan untuk bergerak karena membukanya rantai ikatan protein setelah putusnya ikatan-ikatan yang lemah sehingga akan menurunkan tingkat laju keseluruhan (Campbell et al., 1998).

  Pada suhu optimum energi kinetik molekul-molekul yang bereaksi bertambah sehingga molekul-molekul yang bereaksi semakin banyak dan produk yang dihasilkan semakin besar. Di atas suhu optimum aktivitas enzim akan turun karena terjadi denaturasi protein yang dapat merubah konformasi struktur sehingga enzim akan kehilangan sifat alamiahnya. Denaturasi protein dapat terjadi

  o o

  pada suhu 45 -50

  C. Beberapa enzim yang sangat tahan terhadap denaturasi pada suhu tinggi, khususnya enzim hasil isolasi dari mikroorganisme termofilik (Pelczar and Chan, 2005).

  Gambar 5. Pengaruh suhu terhadap laju reaksi (Pelczar and Chan, 2005)

  4. Pengaruh pH Aktivitas konsentrasi enzim yang dapat mencapai maksimum disebut pH optimum. pH optimum menunjukkan muatan gugus samping asam amino berada pada keadaan yang sesuai sehingga enzim sangat efisien dalam mempercepat reaksi biokimia yang spesifik (Campbell et al., 1998). pH optimum tergantung pada masing-masing enzim karena setiap enzim memiliki pH optimum yang spesifik yang juga tergantung pada konsentrasi substrat yang digunakan. Pada kondisi pH rendah maka gugus muatan negatif akan terprotonasi sehingga dapat menetralkan muatan negatif. Pada kondisi pH tinggi maka gugus muatan positif akan terdisosiasi sehingga dinetralkan.

  Laju reaksi akan berkurang pada daerah di luar pH optimum. Terdapat 3 alasan yang memungkinkan untuk penurunan laju reaksi, yaitu:

  1. Protein enzim dapat mengalami denaturasi akibat pH terlalu tinggi atau terlalu rendah.

  2. Protein enzim memerlukan gugus asam amino yang terionisasi pada rantai samping yang mungkin aktif hanya pada satu keadaan ionisasi.

  3. Substrat dapat memperoleh atau kehilangan proton dan reaktif hanya dalam bentuk muatan (David, 1997).

  Gambar 6. Pengaruh pH terhadap laju reaksi (Pelczar and Chan, 2005)

2.5.1 Enzim sebagai biokatalis Enzim adalah katalisator organik (biokatalisator) yang dihasilkan oleh sel.

  Enzim berfungsi seperti katalisator anorganik, yaitu untuk mempercepat reaksi kimia. Setelah reaksi berlangsung, enzim tidak mengalami perubahan jumlah sehingga jumlah enzim sebelum dan setelah reaksi adalah tetap (Pelczar and Chan, 2005). Enzim mempunyai selektivitas dan spesifitas yang tinggi terhadap reaktan yang direaksikan dan jenis reaksi yang dikatalisasi. Enzim telah diproduksi secara komersial dari sumber tanaman, hewan, dan mikroorganisme.

  Enzim mikroba mempunyai keuntungan yang sangat besar karena dapat diproduksi dalam jumlah besar dengan teknik fermentasi (Sumarsih, 2002) dibandingkan enzim dari tanaman. Enzim dari mikroba telah banyak dimanfaatkan sebagai katalis pada biotransformasi senyawa menjadi senyawa yang lebih bernilai, misalnya produksi steroid, antibiotik, dan prostaglandin. Reaksi yang dikatalis enzim meliputi: reaksi dehidrogenasi, oksidasi, hidroksilasi, dehidrasi dan kondensasi, dekarboksilasi, aminasi, deaminasi, dan isomerisasi.

2.5.3 Enzim lipase

  Lipase merupakan kelompok paling penting dari biocatalysts untuk aplikasi bioteknologi. Lipase telah diisolasi dari banyak spesies tanaman, hewan, bakteri, jamur dan ragi. Enzim dari mikroorganisme ini digunakan dalam berbagai industri seperti sebagai susu, makanan, deterjen, tekstil, farmasi, kosmetik dan biodiesel industri, dan dalam sintesis bahan kimia, bahan kimia pertanian dan bahan polimer baru (Saxena et al., 2003).

  Penelitian Hasan et al. (2010) tentang mikroba lipase potensial yang ditambahkan dalam penggunaan detergen, fungsinya telah meningkat karena kebutuhan komersial besar yang potensial. Lipase ditambahkan ke dalam deterjen untuk rumah tangga dan industri laundry, dimana mikroba penghasil enzim lipase berfungsi dalam penghapusan residu lemak dan membersihkan saluran air yang tersumbat. Daya pembersih dari penambahan lipase mampu meningkatkan kemampuan tajam. Enzim protease, amilase, selulase dan lipase yang ditambahkan ke dalam deterjen mampu meningkatkan efisiensi pencucian lemak.

  Bioteknologi agen pembersih berbasis seperti enzymebased agen banyak digunakan dalam industri. Bioteknologi bahan pembersih berbasis lebih murah dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Enzim memiliki spesifikasi membersihkan dan juga dapat digunakan pada suhu yang lebih rendah. Enzim menghasilkan limbah dengan COD rendah dan noncorrosive pada alam (Hasan et al ., 2010).

  Enzim berbasis pembersih menjadi semakin populer diindustri makanan dibandingkan dengan kosmetik atau asam pembersihan rezim. Deterjen berbasis enzim mampu membersihkan lebih baik dibandingkan dengan deterjen sintetis. Deterjen berbasis enzim aktif pada pencucian suhu rendah dan bersifat ramah lingkungan. Enzim dalam deterjen tidak kehilangan aktivitas setelah proses penghapusan noda (Hasan et al., 2010).

  Lipase merupakan enzim yang dapat larut dalam air dan secara alami mengkatalis hidrolisis ikatan ester dalam substrat lipid yang tidak larut air (Miller

  et al. , 2010). Lipid merupakan senyawa organik hasil dari dehidrogenasi

  endotermal rangkaian hidrokarbon. Adapun senyawa-senyawa yang termasuk golongan lipid, di antaranya lemak, fosfolipid, steroid, asam lemak dan turunannya seperti triasilgliserol.

  Penambahan enzim lipase dapat membantu menghidrolisis ikatan ester menjadi molekul yang lebih sederhana sehingga lebih mudah larut dalam air. Lipid merupakan senyawa organik hasil dari dehidrogenasi endotermal rangkaian hidrokarbon (Campbell et al., 1998; Oxtoby, 2003).

  Enzim lipase termostabil atau asilgliserol hidrolase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis rantai panjang trigliserida. Enzim ini memiliki potensi untuk digunakan memproduksi asam lemak, yang merupakan prekursor berbagai industri kimia. Produksi asam lemak secara industri menggunakan katalis kimia menghasilkan efek samping bagi lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan enzim lipase yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang lebih ramah lingkungan dan dengan sendirinya dapat hilang seiring berkurangnya jumlah substrat di alam.

  Lipase juga memiliki peran penting dalam bidang bioteknologi karena kestabilannya yang tinggi pada media organik dan pada temperatur tinggi, serta mampu mengkatalis reaksi hidrolisis dan sintesis dengan berbagai substrat sintetik. Oleh karena itu, lipase banyak digunakan sebagai katalis untuk memperoleh senyawa monogliserida dan digliserida (Sihotang dan Ginting, 2006).

  Berdasarkan penelitian Renjana (2011) pembentukan globul-globul minyak goreng terjadi akibat terhidrolisisnya hidrokarbon minyak goreng oleh enzim lipase. Hidrolisis hidrokarbon minyak goreng terjadi pada ikatan ester trigliserida yang diputus oleh enzim lipase sehingga menjadi asam lemak dan gliserol. Produk yang terbentuk selanjutnya digunakan oleh bakteri untuk kebutuhan metabolisme selnya.

2.5.4 Aktivitas lipolitik mikroba

  Aktivitas lipolitik merupakan suatu proses pemecahan lipid menjadi asam lemak dan alkohol oleh enzim lipase. Terdapat banyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa mikroba juga memiliki kemampuan memecah senyawa lipid. Santoso dkk. (2002) melaporkan bahwa aktivitas lipolitik optimal Rhizopus

  microspores var rhizopodiformis isolat UICC no. 6 adalah 3,19 U/mg dengan

  konsentrasi inokulum 1% dan pepton 5% pada inkubasi 72 jam. Mikroba lain adalah Penicillium wortmanii dengan aktivitas lipolitik optimal adalah 12,5 U/mg pada pH 7.0 dan suhu 45 ºC (Costa and Peralta, 1999) dan pada P. citrinum adalah 4,09 U/mg dengan media yang mengandung yeast extract sebagai sumber nitrogen (Sharma et al., 2001).

  Hasnunidah dan Sumardi (2009) juga melaporkan bahwa aktivitas lipolitik pada Bacillus sp. yang diisolasi dari saluran pencernaan ayam kampung adalah 17,50 U/mg dengan pH dan suhu optimal adalah 7.0 dan 50 ºC. A. odorans,

  Micrococcus luteus dan Pseudomonas putida telah ditemukan untuk dapat

  memulai proses utama pendegradasian LAS. Kemampuan organisme untuk mentolerir konsentrasi tinggi LAS membuat mereka penting dalam penghapusan LAS dari air yang mengandung tinggi konsentrasi surfaktan seperti tidak diobati limbah. Menurut Eniola and Olayemi (2007) kemampuan organisme untuk menahan konsentrasi tinggi surfaktan adalah mungkin telah dihasilkan dari reorientasi mereka atau adaptasi karena paparan surfaktan dalam limbah.

  Berdasarkan Hasan et al. (2010) extracelluar lipase yang dihasilkan oleh

  Micrococcus sp. ML-1 umumnya digunakan dalam kombinasi dengan berbagai

  deterjen, untuk meningkatkan penghapusan noda berminyak dari berbagai jenis kain. Minyak kedelai diikuti dengan dalam minyak mustard, minyak kacang tanah dan minyak kelapa telah dihapus dengan mudah oleh Micrococcus sp. ML-1.

  Kemampuan deterjen untuk mencuci, menghilangkan noda, makanan berlemak dan sebum dari kain, yang ditingkatkan dengan penambahan lipase.

2.5.5 Klasifikasi Micrococcus sp. L II 61

  Klasifikasi bakteri Micrococcus sp. L II 61 menurut Garrity et al. (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Actinobacteria Sub kelas : Actinobacteridae Ordo : Actinomycetes Sub ordo : Micrococcineae Famili : Micrococcaceae Genus : Micrococcus Spesies : Micrococcus sp. L II 61

  1 skala = 1 µm Gambar 7. Sel bakteri Micrococcus sp. L II 61

  Perbesaran 1000x (Fatimah dan Nurhariyati, 2011)

2.5.6 Karakteristik Micrococcus sp. L II 61 sebagai penghasil enzim lipase

  Micrococcus adalah genus dari bakteri dalam Micrococcus keluarga Micrococcaceae terjadi dalam berbagai lingkungan termasuk debu, air dan tanah.

  Micrococci memiliki gram positif sel bulat mulai dari sekitar 0,5 sampai 3

  mikrometer dengan diameter dan biasanya diatur dalam cluster. Beberapa strain

  Micrococcus dapat digunakan untuk hidrokarbon dan degradasi lilin. Micrococcus

  dapat tumbuh dalam lingkungan dengan sedikit air dari konsentrasi garam yang tinggi kebanyakan mesophiles Shantini et al. (2009).

  Micrococcus memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai substrat

  yang tidak biasa seperti piridin, herbisida, biphenyls diklorinasi dan minyak menurut Shantini et al. (2009) Micrococcus sp. L II 61 merupakan bakteri hasil isolasi dari Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian Surabaya Jawa Timur. Bakteri tersebut tergolong potensial dalam menghasilkan enzim lipase (Fatimah dan Nurhariyati, 2011).

  Bakteri Micrococcus sp. L II 61 berbentuk kokus dengan diameter antara 0,5-2,0 µm, gram positif, berpasangan, tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak berspora, memiliki pigmen berwarna merah, bisa tumbuh baik pada medium nutrien agar pada suhu 30°C di bawah kondisi aerob. Bakteri ini menunjukkan hasil positif pada uji katalase, motilitas, dan fermentasi glukosa sementara hasil negatif diperoleh saat bakteri ini diuji dengan uji fermentasi manitol, uji Voges- Proskauer (VP), dan urease (Fatimah dan Nurhariyati, 2011).

  Micrococcus sp. L II 61 juga mampu menghidrolisis pati serta

  pembentukan asam glukosa dari yang ditunjukkan dengan perubahan warna gula- gula tersebut dari merah menjadi kuning. Sementara itu, pada uji raffinosa, rhamnosa dan xylosa, bakteri ini menunjukkan hasil uji yang negatif.

  Micrococcus sp. L II 61 mampu memproduksi enzim lipase ekstraselular

  secara konstitutif namun dipengaruhi oleh gizi dan kondisi fisik. Enzim lipase dalam supernatan kultur dari Micrococcus sp. L II 61 memiliki ketahanan terhadap panas. Micrococcus sp. L II 61 bersifat lebih aktif terhadap ester yang mengandung rantai pendek asam lemak.

  Aktivitas enzim lipase dari bakteri tersebut optimal untuk semua substrat pada pH 8-0-8.5 dan tidak berkurang pada nilai pH yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan keterlibatan kelompok asam dalam enzim substrat mengikat. Hasil studi inhibisi konsisten dengan melihat bahwa kedua lipase memiliki pusat serin- imidazol aktif dan oleh karena itu, mirip dengan enzim esterolytic dalam sistem mamalia (Lawrence et al., 1967).

2.5.7 Sifat-sifat lipase

  1. Berat molekul enzim Hasil penelitian oleh Hiol et al. (2000) menyebutkan bahwa lipase dari

  Rhizopus oryzae memiliki berat molekul 32 kDa. Sedangkan menurut hasil

  penelitian Chahinian et al. (2000) P. cyclopium menghasilkan lipase dengan berat molekul 37 kDa.

  2. pH optimum Berdasarkah hasil penelitian Hasnunidah dan Sumardi (2009) lipase ekstraseluler dari Bacillus sp. optimum pada pH 7. Lipase ekstraseluler dari

  Aspergillus oryzae optimum pada pH 6,8 dan 10. Sedangkan lipase dari R. oryzae menunjukkan aktivitas optimal pada 7,5 dan stabil pada kisaran pH 4,5

  • – 7,5 (Sharma et al., 2001).

  3. Suhu optimum Lipase dari Bacillus sp. stabil pada suhu 50 ºC (Hasnunidah dan Sumardi,

  2009). Sedangkan hasil penelitian Sharma et al. (2001) lipase dari P. aeruginosa stabil pada suhu 45 ºC dan R. oryzae stabil pada suhu 35 ºC.

  2.5.8 Aktivitas enzim lipase

  Lipase dari berbagai sumber memperlihatkan spesifisitas yang berbeda- beda. Dari sisi asam lemak, beberapa lipase mempunyai afinitas terhadap asam- asam lemak rantai pendek (asam asetat, butirat, kaprat, kaproat, kaprilat, dan sebagainya). Sedangkan beberapa lipase lain yang tidak spesifik, memutus asam lemak trigliserida secara acak.

  Pada kondisi alami, lipase berinteraksi dengan substrat pada antar muka (interface) air/minyak, yaitu antara fasa substrat tak larut air (fasa organik) dan fasa air dimana enzim terlarut. Banyaknya lipase yang ada pada antar muka menentukan aktivitas lipase. Luas antar muka dapat ditingkatkan hingga batas kejenuhannya dengan menggunakan emulsifier atau pengocokan. Lipase mengkatalis reaksi hidrolisis trigliserida menjadi digliserida, monogliserida, gliserol, dan asam lemak.

  2.5.9 Mekanisme hidrolisis oleh enzim lipase

  Mekanisme hidrolisis hidrokarbon oleh lipase yang telah dieludasikan secara detail adalah mekanisme dari serin hidrolase dimana pada sisi aktifnya terdapat tiga residu asam amino, yaitu residu serin, asam aspartat, dan histidin (Sumarsih, 2002).

  

Gambar 8. Struktur tiga residu asam amino pada enzim (Sumarlin, 2010)

  Sisi aktif enzim merupakan bagian dari molekul enzim yang befungsi sebagai lokasi (tempat) berhubungnya (kontak) antara enzim dengan substrat.

  Proses pengikatan substrat pada enzim membentuk kompleks enzim-substrat merupakan tahap awal berlangsungnya katalis enzimatik. Pengikatan antara enzim dan substrat disebabkan adanya gaya tarik-menarik (ikatan) yang lemah, seperti ikatan elektrostatik, ikatan hidrogen, gaya-gaya van Der Walls ataupun interaksi hidrofobik. Sebelum trigliserida dihidrolisis, di dalam serin hidrolase akan dilakukan aktivasi residu serin oleh residu histidin (gambar 8). Ketika residu serin telah aktif, trigliserida mulai dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak.

2.5.10 Manfaat lipase

  Pemanfaatan enzim lipase di dalam industri pangan maupun non pangan semakin meningkat. Pada industri pangan, lipase banyak digunakan dalam industri susu (hidrolisis lemak susu), industri roti dan kue (meningkatkan aroma dan memperpanjang umur simpan), industri bir (meningkatkan aroma dan mempercepat fermentasi), industri bumbu (meningkatkan kualitas atau tekstur), serta pengolahan daging dan ikan (meningkatkan aroma dan mengubah lemak).

  (Chahinian et al., 2000).

  Pada industri non pangan, lipase digunakan pada industri kimia dan obat- obatan (transesterifikasi minyak alami), industri oleokimia (hidrolisis lemak atau minyak), industri detergen (melarutkan spot minyak atau lemak), industri obat- obatan (mempermudah daya cerna minyak atau lemak dalam pangan), kedokteran (analisis trigliserida dalam darah), industri kosmetik (mengubah lemak), dan industri kulit (mengubah lemak dalam jaringan lemak) (Hiol et al., 2000).

2.6 Definisi Minyak

  Minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid, yaitu senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C

  2 H

  5 OC

  2 H 5 ),

  Kloroform (CHCl

  3 ), benzena dan hidrokarbon lainnya, lemak dan minyak dapat

  larut dalam pelarut yang disebutkan di atas karena lemak dan minyak mempunyai polaritas yang sama dengan pelarut tersebut.

  Lemak dan minyak merupakan senyawaan trigliserida atau triasgliserol, yang berarti “triester dari gliserol”. Jadi lemak dan minyak juga merupakan senyawaan ester. Hasil hidrolisis lemak dan minyak adalah asam karboksilat dan gliserol. Asam karboksilat ini juga disebut asam lemak yang mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang (Herlina dan Hendra, 2002).

2.7 Asam Lemak

  Asam lemak merupakan sekelompok senyawa hidrokarbon yang berantai panjang dengan gugus karboksilat pada ujungnya. Asam lemak disimpan dalam bentuk triasilgliserol, yang merupakan ester gliserol yang tidak bermuatan. Triasilgliserol disebut juga lemak netral atau trigliserida (Rusdiana, 2004).

  Berdasarkan kejenuhannya (ikatan rangkap) asam lemak dibagi menjadi dua macam, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh.

Tabel 2.1 Contoh-contoh dari asam lemak jenuh (Herlina dan Hendra, 2002).

  Nama asam Struktur Sumber Butirat CH (CH ) CO H Lemak susu 3 2 2 2 Palmitat Lemak hewani dan nabati CH (CH ) CO H 3 2 14 2 stearat Lemak hewani dan nabati CH 3 (CH 2 ) 16 CO 2 H

Tabel 2.2 Contoh-contoh dari asam lemak tak jenuh (Herlina dan Hendra, 2002).

  Nama asam Struktur Sumber Palmitoleat CH (CH2) CH=CH(CH ) CO H Lemak hewani dan nabati 3 5 2

7

2 Oleat Lemak hewani dan nabati CH (CH2) CH=CH(CH ) CO H 3 7 2

7

2 Linoleat

  Minyak nabati CH (CH2)4CH=CHCH CH=CH(CH2) CO H 3 2 7 2 linolenat Minyak biji rami CH CH CH=CHCH2CH=CHCH =CH 3 2 2 (CH ) CO H 2 7 2 Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan

  tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Asam lemak jenuh mempunyai rantai zig- zig yang dapat cocok satu sama lain sehingga gaya tarik van Der Walls tinggi dan biasanya berwujud padat. Sedangkan asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya. asam lemak dengan lebih dari satu ikatan dua tidak lazim, terutama terdapat pada minyak nabati, minyak ini disebut poliunsaturat. Trigliserida tak jenuh ganda (poliunsaturat) cenderung berbentuk minyak (Herlina dan Hendra, 2002).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1 Definisi - Chapter II (600.4Kb)

0 0 29

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipertensi 2.1.1. Definisi dan Klasifikasi - Chapter II (509.6Kb)

2 4 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan - PENGARUH KONSENTRASI GULA CAIR DAN WAKTU INKUBASI TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN Bacillus subtilis 3KP Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Surfaktan - PENGARUH KONSENTRASI GULA CAIR DAN WAKTU INKUBASI TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN Bacillus subtilis 3KP Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian - PENGARUH KONSENTRASI GULA CAIR DAN WAKTU INKUBASI TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN Bacillus subtilis 3KP Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 10

PENGARUH KONSENTRASI GULA CAIR DAN WAKTU INKUBASI TERHADAP PRODUKSI BIOSURFAKTAN Bacillus subtilis 3KP Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan tentang Jamur - PENGARUH PEMBERIAN KONSORSIUM MIKROBA BIOFERTILIZER TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JAMUR TIRAM PUTIH (Pleorotus ostreatus) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kacang Tanah 2.1.1. Klasifikasi kacang tanah - PENGARUH PEMBERIAN KONSORSIUM MIKROBA DALAM BIOFERTILIZER TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 22

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - BIODEGRADASI OIL SLUDGE DENGAN VARIASI LAMA WAKTU INKUBASI DAN JENIS KONSORSIUM BAKTERI YANG DIISOLASI DARI LUMPUR PANTAI KENJERAN Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 18

BIODEGRADASI OIL SLUDGE DENGAN VARIASI LAMA WAKTU INKUBASI DAN JENIS KONSORSIUM BAKTERI YANG DIISOLASI DARI LUMPUR PANTAI KENJERAN Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 22