BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipertensi 2.1.1. Definisi dan Klasifikasi - Chapter II (509.6Kb)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Definisi dan Klasifikasi

  Hipertensi sulit untuk didefinisikan karena sering berubah-ubah dan harus disesuaikan dengan kondisi. Pasien hipertensi pada saat istirahat memiliki tekanan darah diastolik dengan pengukuran berulang tetap konsisten pada atau di atas 90 mmHg (12,0 kPa) dapat berisiko tinggi mengalami kesakitan dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Sebaliknya, penurunan nilai tekanan darah diastolik dibawah 90 mmHg (12,0 kPa) dapat mengurangi risiko stroke sekitar 35-40% dan penyakit jantung koroner sekitar 15-20%. Definisi terkini tentang hipertensi adalah tingkat tekanan darah sistolik pada atau di atas 140 mmHg (18,7 kPa), atau tingkat tekanan darah diastolik pada atau di atas 90 mmHg (12,0 kPa). Namun karena tekanan darah sangat bervariasi, sebelum menetapkan pasien mengalami hipertensi dan memutuskan untuk memulai pengobatan, perlu untuk memastikan peningkatan tekanan darah dengan pengukuran berulang-ulang selama beberapa minggu. Setiap nilai pengukuran di kisaran hipertensi ringan atau borderline ditemukan, kepastian pengukuran harus diperpanjang selama 3-6 bulan. Periode observasi yang singkat diperlukan pada pasien dengan peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi atau pasien dengan komplikasi (Brunner & Suddarth, 2001; dan Kaplan, 2006).

  Hipertensi sering disebut sebagai “the silent killer” karena individu yang mengalami hipertensi sering tidak menampakkan gejala. Ketika penyakit ini diderita, tekanan darah pasien harus dipantau dengan interval teratur karena hipertensi merupakan kondisi seumur hidup (Brunner & Suddarth, 2001).

  Tekanan sistolik dan diastolik bervariasi pada tingkat individu. Namun disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah yang sama atau lebih besar dari 140/90 mmHg adalah hipertensi (JNC VII,2003 dan WHO-ISH 1999). Hipertensi menurut JNC VII dapat dilihat dari tabel 2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi hipertensi menurut The Seventh Report of The Joint

  

upNational Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure (JNC 7) (Kusuma, 2003)

  Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Darah (mmHg) Diastolik

  (mmHg) Normal <120 <80 Prahipertensi 120-139 80-89 Hipertensi derajat 1 140-159 90-99 Hipertensi derajat 2

  ≥160 ≥100 Berdasarkan hasil dari berbagai studi eksperimental, kriteria operasional hipertensi yang disepakati oleh para ahli adalah tekanan darah sistol > 140 mmHg atau tekanan darah diastol > 90 mmHg ( MacMahon,1990;WHO,1996;Brown dan Haydock,2000). Kriteria ini digunakan di seluruh dunia, akan tetapi bukan merupakan nilai batas hipertensi pada semua penderita dewasa. Karena nilai batas tersebut hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur secara independen ( Port, et al,.1999).

2.1.2. Epidemiologi

  Data epidemiologi menunjukkan bahwa jumlah penderita hipertensi bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Baik hipertensi sistolik maupun kombinasi dari hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun (Yogiantoro, 2007).

  Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang sudah maju. Dari data The National Health and Nutrition

  

Examination Survey (NHNES) menunjukan bahwa adanya peningkatan insidensi

  hipertensi pada orang dewasa sekitar 29-31% pada tahun 1999-2000, yang berarti sekitar 58-65 juta orang mengalami hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi primer (essensial) merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro, 2007).

  Di Indonesia, belum ada data nasional lengkap untuk prevalensi hipertensi. Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3%. Survei faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV) oleh tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria adalah 13,6% (1988), 16,5% (1993), dan 12,1% (2000). Pada wanita, angka prevalensi mencapai 16% (1988), 17% (1993), dan 12,2% (2000). Secara umum, prevalensi hipertensi pada usia lebih dari 50 tahun berkisar antara 15%-20%. Survei di pedesaan Bali (2004) menemukan prevalensi pria sebesar 46,2% dan 53,9% pada wanita (Depkes, 2007)

  Stroke, hipertensi, dan penyakit jantung meliputi lebih dari sepertiga penyebab kematian, dimana stroke menjadi penyebab kematian terbanyak 15,4%, kedua hipertensi 6,8%, penyakit jantung iskemik 5,1%, dan penyakit jantung 4,6% (Hasil Riskesdas 2007). Data Riskesdas 2007 juga disebutkan prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan insiden komplikasi penyakit kardiovaskular lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan laki-laki (48%) (Depkes, 2009).

2.1.3. Faktor Risiko

  Faktor risiko dan level dari hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan sosioekonomi dan akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah: 1.

  Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi: a.

  Umur Pada kebanyakan orang yang berusia diatas 65 tahun tekanan darah dapat meningkat dengan cepat (Spillman & lubitz, 2000). Tekanan darah sistol meningkat dengan cepat berhubungan dengan usia (burt et al., 1995).

  b.

  Jenis kelamin Pada usia dini tidak terdapat perbedaan tekanan darah antara pria dan wanita. Akan tetapi, mulai masa remaja pria cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Barret-Connor, 1997). Hal ini dibuktikan oleh tingkat kematian yang lebih tinggi pada pria setengah baya pengidap hipertensi.

  c.

  Suku cenderung memiliki tingkat tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan suku yang lain (Hajjar & kotchen, 2003). Jumlah angka kematian pada kasus hipertensi tinggi pada masyarakat berkulit hitam (Gillum, 1996).

  d.

  Keturunan Riwayat keluarga yang menunjukan adanya tekanan darah yang meninggi merupakan faktor resiko paling kuat bagi seseorang untuk mengidap hipertensi di masa datang (WHO, 2001).

2. Faktor resiko yang dapat di modifikasi : a.

  Kehidupan dini Baru-baru ini telah diperkirakan bahwa lingkungan yang buruk selama periode kehamilan menimbulkan faktor resiko penyakit kardiovaskuler termasuk tekanan darah tinggi (WHO, 2001).

  b.

  Bobot badan Kelebihan berat badan memiliki resiko 2-6 kali untuk mendapatkan penyakit hipertensi (Yogiantoro, 2007). Pada populasi di negara Barat, jumlah kasus hipertensi yang disebabkan oleh obesitas diperkirakan 30- 60% (WHO, 2001). Pada pasien dengan obesitas tedapat curah jantung yang meningkat, aktifitas saraf simpatis yang meningkat terutama di ginjal, kadar angiotensin II dan aldosteron yang meningkat dua hingga tiga kali lebih banyak, proses natriuesis yang terganggu dan ginjal tidak akan mensekresikan garam dan air yang tinggi kecuali tekanan arteri yang tinggi (Guyton , 2008).

  c.

  Faktor nutrisi Menurut WHO (2001) beberapa faktor nutrisi yang mempengaruhi tekanan darah adalah:

  • Natrium klorida

  Kajian eksperimental dan pengamatan menunjukan bahwa asupan natrium klorida melebihi kebutuhan fisiologis dapat menimbulkan hipertensi.

  • Kalium Kajian INTERSALT mencatat adanya pengurangan tekanan darah sebesar 2,7 mmHg jika pengeluaran kalium dari urine meningkat 60 mmol/hari melalui urine.
  • Mikronutrisi lain

  Mikronutrisi lain seperti kalsium, magnesium, dan seng juga memiliki peranan dalam peningkatan tekanan darah.

  • Makronutrisi lain

  Meskipun kajian pengamatan menunjukan adanya hubungan beberapa makronutrisi (lemak, asam lemak, karbohidrat, serat, dan protein) terhadap tekanan darah, tetapi belum terdapat hubungan sebab akibat dengan hipertensi sendiri.

  d.

  Alkohol Dilaporkan jika meminum minuman keras sedikitnya dua kali per hari, tekanan darah sistolik dapat naik sekitar 1,0 mmHg dan tekanan darah diastolik sekitar 0,5 mmHg (WHO, 2001).

  e.

  Kegiatan fisik Orang yang normotensi tetapi kurang gerak dan tidak bugar mempunyai resiko 20-50% lebih besar untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan orang yang lebih aktif bergerak dan bugar (WHO, 2001).

  f.

  Faktor psikososial Terdapat bukti bahwa berbagai bentuk stress yang akut dapat meningkatkan tekanan darah (WHO, 2001).

  g.

  Faktor lingkungan Adanya polusi udara, polusi suara, dan air lunak semuanya telah diindikasikan sebagai faktor penyebab tekanan darah tinggi.

  2.1.4. Patofisiologi

  Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap akibatnya, terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi.

  Akan tetapi, kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui, dan terjadi dilatasi jantung dan payah jantung. Jantung semakin terancam dengan adanya atheriosklerosis koroner yang menyebabkan penyediaan oksigen miokardium berkurang. Peningkatan kebutuhan oksigen pada miokardium terjadi akibat hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung yang akhirnya dapat menyebabkan angina atau infark miokardium (Price, 2006).

  Kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi, terlihat jelas diseluruh pembuluh darah perifer. Perubahan pada pembuluh darah retina dapat diketahui dengan pemeriksaan oftalmoskopik. Atheriosklerosis yang dipercepat dan nekrosis medial aorta merupakan faktor presiposisi terbentuknya aneurisma dan diseksi. Perubahan struktur-struktur dari arteri kecil dan arteriola menyebabkan penyumbatan pembuluh darah progresif dan dapat menyebabkan mikroinfark jaringan. Akibat pembuluh darah yang paling nyata terjadi pada otak dan ginjal (Price, 2006).

  Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung dari adanya autoantibodi terhadap reseptor ATI angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dan ekspresi dari nitric oxide

  syntase ,dan lain-lain (Yogiantoro, 2007).

  2.1.5. Komplikasi

  Berikut merupakan beberapa komplikasi dari hipertensi yang dapat terjadi (Yogiantoro, 2007; Price, 2006).

  1. Kerusakan pada otak Tekanan darah yang tinggi pada pembuluh darah otak mengakibatkan pembuluh sulit meregang sehingga darah yang ke otak kekurangan semakin melemah maka dapat menimbulkan pendarahan akibat pecahnya pembuluh darah.

  2. Ganguan dan kerusakan mata Tekanan darah tinggi melemahkan bahkan merusak pembuluh darah di belakang mata, gejalanya yaitu pandangan kabur dan berbayang.

  3. Gangguan dan kerusakan jantung Akibat tekanan darah yang tinggi, jantung harus memompa darah dengan usaha yang lebih tinggi lagi. Otot jantung semakin menebal dan melemah sehingga mudah kehabisan energi untuk memompa lagi. Jika terjadi penyumbatan darah akibat atheriosklerosis, maka dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius. Gejalanya yaitu, pembengkakan pada pergelangan kaki (swollen ankles), peningkatan berat badan, dan nafas yang tersenggal-senggal.

  4. Gangguan dan kerusakan ginjal Ginjal berfungsi untuk menyaring darah serta mengeluarkan air dan zat sisa yang tidak diperlukan tubuh. Ketika tekanan darah tinggi, pembuluh darah kecil akan rusak. Akibatnya ginjal tidak mampu lagi menyaring dan mengeluarkan zat-zat sisa. Umumnya gejala pada ginjal tidak segera tampak, namun komplikasinya menimbulkan gejala yang serius.

2.1.6. Gejala Klinis

  Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menunjukkan gejala sampai bertahun-tahun. Oleh karena itulah hipertensi dikenal sebagai silent killer. Peninggian tekanan darah terkadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang spesifik. Namun jika terjadi komplikasi maka akan muncul gejala seperti pada ginjal, mata, otak, atau jantung karena akibat dari kerusakan organ akibat tingginya tekanan darah. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing (Mansjoer, 2005).

  Evaluasi hipertensi pada pasien hipertensi bertujuan untuk: 1.

  Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan.

  2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.

  3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular (Yogiantoro, 2007). Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang (Yogiantoro, 2007). Anamnesis meliputi: 1.

  Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah 2. Indikasi adanya hipertensi sekunder a.

  Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria, pemakaian obat-obat analgesik dan obat/bahan lain c.

  Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme) 3. Faktor-faktor risiko a.

  Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien b.

  Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya.

  d.

  Kebiasaan merokok .

  e.

  Pola makan f. Kegemukan, intensitas olahraga g.

  Kepribadian

  4. Gejala kerusakan organ a.

  Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient ischemic attack , defisit sensoris atau motoris. Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria .

  c.

  Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki.

  d.

  Arteri perifer : ekstremitas dingin .

  5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: a.

  Tes darah rutin b. Glukosa darah (sebaiknya puasa) c. Kolesterol total serum d. Kolesterol LDL dan HDL serum e. Trigliserida serum f. Asam urat serum g.

  Kreatinin serum h. Kalium serum i. Hemoglobin dan hematokrit j. Urinalisis k.

  Elektrokardiogram (Yogiantoro, 2007). Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedangkan pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien (Yogiantoro, 2007).

2.2. Persepsi

  Persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu- individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna kepada lingkungan. Persepsi seseorang individu mempengaruhi bagaimana cara menafsirkan dari suatu obyek yang dilihatnya. Apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan obyektif (Sunarto, 2004).

  Persepsi menurut Jallaludin (2007) adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna inderawi. Persepsi melalui panca indera yang sudah dipahami sebelumnya.

  Menurut Sunaryo (2004), persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indera yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang luar maupun dalam diri individu.

  Menurut Baihaqi (2007), sifat persepsi antara lain : 1.

  Persepsi timbul secara spontan pada manusia, 2. Persepsi merupakan sifat paling asli, yang tolok ukur perbuatan kesadaran manusia,

  3. Dalam mempersepsikan tidak selalu dipersepsikan secara keseluruhan, mungkin juga hanya sebagian dan dibayangkan, dan 4. Persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi atau bergantung pada konteks pengalaman.

  Menurut Baihaqi (2007) persepsi dibentuk oleh tiga lapisan, yaitu: 1.

  Lapisan fisis/fisiologis, yaitu objek dunia, 2. Lapisan psikis, yaitu penghayatan sumber kesatuan, dan 3. Lapisan eksistensial, yaitu berhubungan dengan pribadi.

  Ditinjau dari fungsinya, secara kognitif persepsi berfungsi untuk kontak utama dengan manusia dan dunia. Sedangkan secara emosional berfungsi untuk membangkitkan perasaan dan merangsang tindakan-tindakan tertentu (Baihaqi, 2007).

  Menurut Jalaludin (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi adalah:

1. Faktor-faktor fungsional

  Faktor-faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal lainnya sehingga disebut juga sebagai faktor-faktor personal. Persepsi secara fungsional bersifat selektif sehingga obyek-obyek yang mendapatkan tekanan dalam persepsi biasanya memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. kesiapan, mental, suasana emosional, dan latar belakang sosial budaya. Jadi yang menentukan persepsi bukan jenis atau stimulus tetapi karakteristik orang menentukan respon atau stimulus.

2. Faktor-faktor struktural

  Faktor struktural merupakan pengaruh yang berasal dari sifat stimulus fisik dan efek-efek yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Menurut teori Gestatlt prinsip yang bersifat struktural yaitu apabila kita kita mempersepsikan sesuatu, maka kita akan mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan.

2.3. Pengobatan Hipertensi

  Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi farmakologis dan non farmakologis. Menurut Yogiantoro (2007) tujuan dari pengobatan pasien hipertensi adalah untuk: 1.

  Menurukan tekanan darah dengan target tekanan darah <140/90 dan untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80.

  2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.

  3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.

  1. Terapi nonfarmakologi: Pengubahan gaya hidup pada pasien harus dilaksanakan sebelum mempertimbangkan perawatan dengan obat untuk menurunkan tekanan darah dan resiko penyakit kardiovaskular yang lainnya (Kaplan, 2001). Terapi nonfarmakologi hipertensi menurut JNC VII terdiri dari: a.

  Pengubahan gaya hidup yang mempengaruhi penurunan tekanan darah:

  • Menurunkan berat badan berlebih.
  • Menurunkan konsumsi alkohol berlebih.

  Batasi asupan alkohol tidak lebih dari 30 ml etanol perhari pada pria(yaitu 720 ml bir, 300 ml anggur, 60 ml wiski) atau 15 ml etanol perhari untuk wanita dan orang dengan berat badan lebih ringan.

  • Latihan fisik Meningkatkan aktivitas aerobik 30-45 menit dalam 1 minggu.
  • Menurukan asupan garam

  Kurangi asupan natrium tidak lebih dari 100mmol/hari (2,4 g natrium klorida atau 6 g sodium).

  • Menjaga asupan kalium diet (sekitar 90 mmol / hari).
  • Menjaga asupan diet kalsium dan magnesium untuk kesehatan umum.

  b.

  Pengubahan gaya hidup untuk menangani faktor resiko berkaitan: • Menghentikan kebiasaan merokok.

  • Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
  • Mengendalikan diabetes.

2. Terapi farmakologis

  Jenis-jenis obat antihipertensi yang dianjurkan untuk terapi hipertensi adalah:

1. Diuretika, terutama jenis obat Thiazide atau Aldosterone

  Antagonist

  Thiazide merupakan obat utama dalam terapi hipertensi dimana terbukti paling efektif dalam menurunkan risiko kardiovaskular. Thiazide dapat digunakan sebagai obat tunggal pada penderita hipertensi ringan sampai sedang dan dapat juga dikombinasi dengan obat antihipertensi lain untuk meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dan mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain (Nafrialdi, 2007).

  2. Beta Blocker Merupakan obat antihipertensi yang populer kedua setelah diuretik. Beta blocker digunakan sebagai obat tahap pertama dengan penyakit jantung koroner (khususnya infark miokard akut), pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa kelainan konduksi (Nafrialdi, 2007).

  3. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist

  Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist pada terapi

  hipertensi memberikan efek yang sama dengan antihipertensi yang lain. Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang rendah seperti pada usia lanjut (Nafrialdi, 2007).

  4. Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI) Obat golongan ini bermanfaat terutama pada pasien hipertensi yang kronik atau menetap akibat penyakit parenkim ginjal.

  Hiperkalemia mungkin terjadi pada penggunaaan ACE inhibitor akibat hambatan pada renin (Rahayoe, 2003).

  5. Angiotensin II Receptor Blocker AT, receptor

  antagonist/blocker (ARB) Angiotensin II Receptor Blocker sangat efektif untuk

  menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi sepeti hipertensi renovaskular lain dan hipertensi genetik, tetapi kurang efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang rendah (Nafrialdi, 2007).

  Menurut Yogiantoro (2007) strategi untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada pengobatan adalah:

  • Empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan kepatuhan pasien.
  • Dokter harus mempertimbangkan latar belakang budaya, kepercayaan pasien serta sikap pasien terhadap pengobatan.
  • Pasien diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah, dan target yang masih harus dicapai.

  Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup (Riaz, 2012). Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai sebelum dimulai pengobatan antihipertensi (Yogiantoro, 2007).