BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1 Definisi - Chapter II (600.4Kb)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2

  2.1.1 Definisi

  Diabetes adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan terjadinya resistensi insulin, sekresi insulin yang tidak memadai, atau gabungan keduanya.

  Manifestasi klinis gangguan tersebut adalah hiperglikemia. Pasien diabetes diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu diabetes tipe 1 yang disebabkan oleh defisiensi absolut insulin, dan diabetes tipe 2 didefinisikan adanya resistensi insulin dengan meningkatnya kompensasi sekresi insulin yang tidak memadai.

  Wanita yang mengalami diabetes selama masa kehamilan dikelompokkan sebagai diabetes gestasional.

  Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang dikaitkan dengan masalah metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dan dapat menimbulkan komplikasi kronik seperti gangguan mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Dipiro, 2007)

  2.1.2 Etiologi

  DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita DM. Umumnya berusia diatas 45 tahun. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.

  Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup didalam darahnya. Disamping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.

2.1.3 Manifestasi Klinis

  Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi baik metabolisme karbohidrat maupun protein dan lemak. Pada diabetes tipe II ini, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa. Pasien dengan diabetes tipe II ini seringkali gemuk dan sering dihubungkan dengan organ target yang membatasi respon insulin endogen dan eksogen. Pada beberapa kasus, resistensi insulin disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor insulin (Mycek, 2001).

  Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah.

2.1.3.1 Komplikasi Kronik Diabetes Melitus

  Komplikasi kronik dari diabetes mellitus dapat menyerang semua sistem organ

tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit

makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis.

  1. Komplikasi Makrovaskuler

  3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral

  

Vascular Disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga

  terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome

  X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin

Resistance Syndrome. Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya

  pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya (Depkes RI, 2005).

  2. Komplikasi Mikrovaskeler Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.

  Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes (Depkes RI, 2005).

  Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60% (Depkes RI, 2005).

2.1.4 Diagnosis

  Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan diperkirakan bila ada keluhan khas gejala hiperglikemia berupa poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (Scobie, 2007; Soegondo dkk, 2004). Jika keluhan khas ada maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu

  ≥ 11, 1 mmol/l (200 mg/dl) dan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa (tidak adanya asupan kalori yang masuk selama minimal 8 jam)

  ≥ 7,0 mmol/l (126 mg/dl ) (Holt and Kumar, 2010; Scobie, 2007; Soegondo dkk, 2004). Diperlukan pemeriksaan kembali kadar glukosa darah melalui hasil tes toleransi glukosa oral. Diberikan 75 gram glukosa yang dilarutkan dalam 250-350 ml air, setelah 2 jam baru diukur kadar glukosa darahnya (Holt and Kumar, 2010). Bila didapatkan kadar glukosa darah setelah 2 jam pemberian larutan glukosa ≥ 11,1 mmol/l (200 mg/dl), maka dapat dikatakan seseorang menderita diabetes melitus (Holt and Kumar, 2010; Scobie, 2007;

  Soegondo dkk, 2004).

Tabel 2.1 Kriteria penegakan diagnosis Glukosa Plasma Glukosa Plasma 2

  Puasa Jam setelah makan

  Normal <100 mg/dL <140 mg/dL

  • Pra-diabetes 100 – 125 mg/dL
  • IFT atau IGT 140 – 199 mg/dL Diabetes

  >200 mg/dL ≥126 mg/dL

  Keterangan:

  IFT = Impaired Fasting Glucose (IFG)

  IGT = Impaired Glucose Tolerance (Sumber: Depkes RI, 2005)

  Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL (Depkes RI, 2005)

  Kriteria diagnosis Diabetes Melitus menurut American Diabetes

  

Association didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa plasma baik pada keadaan

  puasa (Fasting Plasma Glucose/FPG) atau setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Puasa adalah keadaan tanpa asupan makanan/kalori selama minimal 8 jam (Depkes RI, 2005).

2.1.5 Penatalaksanaan

  Tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani kadar gula darah adalah:

  a. Diet Karena diet merupakan langkah awal dari usaha untuk penanganan diabetes.

  b. Gerak badan Latihan fisik atau olahraga teratur dapat memperbaiki pengendalian kadar glukosa karena meningkatkan sensitivitas insulin.

  d. Farmakoterapi 1.

  Obat antidiabetik oral Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: a.

  Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).

  b.

  Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif.

  c.

  Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”.

2. Insulin

  Insulin disintesis di sel β pankreas dari prekursor 110 asam amino rantai tunggal yang disebut preproinsulin. Setelah translokasi melalui membran retikulum endoplasma kasar, peptide penanda N-terminal 24-asam amino dari preproinsulin segera dipotong untuk membentuk proinsulin. Disini molekul akan melipat dan terbentuk ikatan disulfida. Pada konversi proinsulin manusia menjadi insulin di kompleks Golgi, empat asam amino basa dan peptida C atau peptida penghubung yang tersisa dihilangkan melalui proteolisis. Hal ini menghasilkan dua rantai peptida molekul insulin (A dan B), yang mengandung ikatan disulfida satu intrasubunit dan dua intrasubunit. Rantai A biasanya terdiri dari 21 residu asam amino dan rantai B memiliki 30 residu (Gilman, 2007).

  Untuk tujuan terapeutik, dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dalam unit (U). Tradisi ini dimulai ketika sediaan hormon belum murni dan perlu untuk menstandardisasi sediaan ini melalui uji hayati. Satu unit insulin setara dengan jumlah yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah pada kelinci yang berpuasa menjadi 45 mg/dl. Sediaan homogen insulin manusia mengandung antara 25-30 U/mg (Gilman, 2007).

  Insulin merupakan hormon utama yang bertanggungjawab untuk mengontrol ambilan, penggunaan dan penyimpanan nutrisi sel. Jaringan target yang penting untuk pengaturan homeostasis glukosa oleh insulin adalah hati, otot, dan lemak, tetapi insulin juga menggunakan efek pengaturan yang kuat terhadap jenis sel lainnya. Stimulus transport glukosa kedalam jaringan otot dan adipos merupakan bagian penting pada respon fisiologis terhadap insulin. Glukosa memasuki sel dengan cara difusi terfasilitasi melalui salah satu family transporter glukosa (GLUT1 sampai GLUT5). Insulin menstimulus transport glukosa setidaknya sebagian dengan cara meningkatkan translokasi vesikel intrasel bergantung-energi yang mengandung transporter glukosa GLUT4 dan GLUT1 ke dalam membran plasma. Pengaturan yang salah dalam proses ini dapat menyebabkan patofisiologi diabetes tipe 2 (Gilman, 2007).

  Di hati, insulin menghambat produksi glukosa, menurunkan glukoneogenesis dan glikogenesis. Menstimulus ambilan glukosa di hati. Di otot, insulin menstimulus pengambilan glukosa dan menghambat aliran prekursor glukoneogenik ke hati (mis: alanin, laktat dan piruvat). Di jaringan adiposa, insulin menstimulus pengambilan glukosa dan menghambat aliran prekursor ke hati (Gilman, 2007).

  Klasifikasi insulin:

  a) Insulin yang bekerja singkat

  Sediaan ini memiliki onset kerja paling cepat, tetapi durasinya paling singkat (Gilman, 2007). Dapat dibedakan berdasarkan sumbernya:

  • Insulin regular atau insulin soluble

  Merupakan satu-satunya insulin jernih atau larutan insulin, sementara lainnya adalah suspensi (Soegondo dkk, 2004). Dapat diberikan secara intravena atau intramuskular. Biasanya harus diinjeksikan 30-45 menit sebelum makan. Kadar puncak dalam plasma sekitar 1,5 sampai 4 jam (Gilman, 2007) dan biasanya berlangsung selama 6-8 jam (Holt and Kumar, 2010). Contoh insulin ini adalah Human Actrapid (Novo Nordisk), Humulin

  S(Lilly), Insuman Rapid (Aventis), Hypurin Porcine Neutral (CP), Hypurin Bovine Neutral (CP), Pork actrapid (Scobie, 2007).

  • Insulin analog kerja cepat

  Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 0,5 sampai 1,5 jam dan berlansung selama 2 sampai 5 jam (Gilman, 2007). Contoh insulin analog kerja cepat adalah Insulin Aspart (NovoRapid), Insulin Lispro (Humalog), Insulin Glulisine (Apidra) (Holt and Kumar, 2010).

  b) Insulin yang bekerja sedang

  Dapat dibagi menjadi:

  • Suspensi insulin isophan

  Merupakan suspensi insulin dalam bentuk kompleks dengan zink dan protamin. Umumnya diberikan satu kali sehari sebelum sarapan atau dua kali sehari. Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 6 samapi 12 jam dan berlangsung selama 18 sampai 24 jam (Gilman, 2007). Contoh suspensi insulin isophan: Insulatard,

  Humulin I, Insuman Basal, Hypurine Porcine Isophane, Hypurin Bovine Isophane (Holt and Kumar, 2010).

  • Suspensi insulin Zink (lente)

  Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 6 sampai 12 jam dan berlangsung selama 18 sampai 24 jam (Gilman, 2007). Contoh suspensi insulin Zink: Human Monotard, Humulin Lente Hypurin, Bovine Lente (Scobie, 2007). c) Insulin yang bekerja panjang

  Memiliki onset yang sangat lambat dan puncak kerja yang relatif datar yang lebih lama. Insulin ini ditujukan untuk memberikan konsentrasi insulin yang rendah sepanjang hari (Gilman, 2007). Dapat dibagi menjadi:

  • Suspensi Zink insulin yang diperpanjang (ultralente)

  Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 16 sampai 18 jam dan berlangsung selama 20 sampai 36 jam (Gilman, 2007). Contoh insulin ultralente adalah Human Ultratard dan Humulin ZN (Scobie, 2007).

  • Suspensi insulin bekerja panjang Analog insulin ini dapat bekerja sampai dengan 24 ketika disuntikkan secara subkutan dan diberikan sekalai sehari dan tidak mempunyai puncak dalam plasma (Holt and Kumar, 2010). Contoh insulin ini adalah Glargine (lantus) dan Detemir (Levemir) (Scobie, 2007).

2.2 Coronary Artery Disease (CAD)

2.2.1 Definisi

  Coronary artery disease (CAD) merupakan penyakit yang ditandai dengan berkembangnya plak aterosklerotik (fibro-fatty deposits) di arteri koroner.

  Penyebab utama penyakit ini adalah adanya aterosklerosis yang terdapat pada pembuluh darah epicardial sehingga bisa menyebabkan terjadinya blokade aliran darah. (Dipiro,2007).

  Arteri koroner merupakan pembuluh arteri yang mensuplai darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi ke miokardium (otot jantung). Terdapat suatu keseimbangan kritis antara suplai dan kebutuhan oksigen miokardium, suplai oksigen harus sesuai dengan kebutuhan akan oksigen tersebut. Pengurangan suplai oksigen atau peningkatan kebutuhan oksigen dapat mengganggu keseimbangan ini dan membahayakan fungsi miokardium (Price dan Wilson, 2005).

  Bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat, maka suplai oksigen juga harus meningkat. Untuk meningkatkan suplai oksigen dalam jumlah yang memadai,aliran pembuluh koroner haruslah ditingkatkan, karena ekstraksi oksigen miokardium dari daerah arteri hampir maksimal pada keadaan istirahat.

  Rangsangan yang paling kuat untuk mendilatasi arteri koroner dan meningkatkan aliran pembuluh darah adalah hipoksia jaringan local. Pembuluh koroner dapat melebar dan meningkatkan aliran darah sekitar lima sampai enam kali di atas tingkat istirahat. Tetapi, pembuluh darah yang mengalami stenosis atau gangguan, tidak dapat melebar dengan sempurna sehingga terjadi kekurangan oksigen bila kebutuhan oksigen meningkat (Price dan Wilson, 2005).

2.2.2 Etiologi

  Hasil penelitian pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan bahwa adanya lapisan lemak merupakan awal terjadinya aterosklerosis. Adanya lesi awal ini sangat sering muncul dari peningkatan focal yang mengandung lipoprotein pada daerah intima. Adanya hiperkolesterolemia dapat meningkatkan akumulasi lipoprotein terutama low density lipoprotein (LDL) di intima. Partikel lipoprotein sering berhubungan dengan konstituen dari matriks ekstraseluler, khususnya proteoglikan. Sekuestrasi (penyerapan) di dalam intima memisahkan lipoprotein dari antioksidan plasma dan menyebabkan terjadinya modifikasi oksidatif.

  Partikel lipoprotein yang termodifikasi dapat memicu respon inflamasi lokal yang memberikan sinyal untuk tahap selanjutnya pada pembentukan lesi. Tanda-tanda yang lain dari berbagai adhesi molekul leukosit adalah adanya monosit yang mulai timbul di lesi arteri (Dipiro, 2007).

  Pada waktu berlekatan, beberapa sel darah putih bermigrasi ke dalam intima. Migrasi ini terjadi karena adanya faktor chemoatractant, meliputi partikel lipoprotein yang termodifikasi dan sitokin. Adanya mononuklear fagosit akan mencerna lipid dan membentuk foam cells, yang ditunjukkan oleh pengisian sitoplasma dengan droplet lipid. Lapisan lemak tersebut akan memperparah lesi aterosklerotik, sel otot polos akan bermigrasi dari media melalui membrane internal dan terakumulasi di dalam intima dan akan membentuk lesi yang semakin memburuk (Dipiro, 2007).

  2.2.3 Manifestasi Klinis

  Manifestasi klinis dari CAD yang terpenting adalah nyeri di dada karena adanya iskemia miokard. Nyeri dada juga bisa disertai sulit bernafas (dyspnea) (Dipiro, 2007)

  2.2.4 Diagnosis

  Untuk menegakkan diagnosis CAD, perlu dilakuklan beberapa tes diagnosis, diantanya adalah: a.

  Elektrokardiografi (EKG) Terjadi perubahan pada gelombang ST-T, inverse gelombang T dan elevasi segmen ST.

  b.

  Exercise tolerance testing (ETT) c.

  Pencitraan jantung

  Radionuclide angiocardiography digunakan untuk mengukur fraksi ejeksi,

  performa ventrikel, keluaran jantung, volume ventrikel, regurgitasi katup, dan abnormalitas dinding jantung.

  d.

  Echocardiography

  Echocardiography berguna jika pasien mempunya riwayat penyakit katup pericardial atau disfungsi ventrikel.

  e.

  Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner

2.2.5 Penatalaksanaan

  Menurut American College of Cardiology (ACC) dan American Heart

  

Association (AHA), terapi awal untuk pasien CAD adalah dengan pemberian

  oksigen intranasal (jika saturasi oksigen <90%), nitrogliserin sublingual, asprin,

  

beta blocker oral, dan antikoagulan dan agen fibrinolitik. Sedangkan terapi untuk

  pasien CAD yang pernah mengalami infark miokard sebelumnya (CAD Old

  Myocardial Infarction /CAD OMI) adalah beta blocker, ACEIs, aspirin, lipid- lowering agents , antagonis aldosteron, dan antikoagulan (Dipiro, 2007).

  a.

   Beta Blocker

  Pada pasien CAD, manfaat pemberian beta blocker diperoleh dari kemampuannya menginhibisi secara kompetitif reseptor beta-1 yang terletak di miokardium. Inhibisi tersebut menyebabkan pengurangan denyut jantung, kontraktilitas miokardium, tekanan darah, dan penurunan kebutuhan oksigen miokardial. Selain itu, pengurangan denyut jantung akan meningkatkan diastolic time, yang akan memperbaiki pengisian ventrikel dan perfusi arteri koroner. Akibatnya, beta blocker akan mengurangi resiko kekambuhan iskemia, infarct ataupun reinfarct dan juga aritmia ventrikuler (Dipiro, 2007).

b. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)

  Pemberian ACEIs didasarkan pada kemampuannya untuk mencegah

  remodeling jantung. Mechanisme lainnya adalah kemapuan ACEIs untuk

  memperbaiki fungsi endothelial, mengurangi aritmia atrium dan ventrikel, meningkatkan angiogenesis, dan mengurangi kejadian iskemia (Dipiro, 2007).

2.3 Decompensatio Cordis/Gagal Jantung

2.3.1 Definisi

  Gagal jantung terjadi ketika jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Gagal jantung dapat juga merupakan hasil dari disfungsi sistolik dan diastolik (Corwin, 2008). Pada disfungsi sistolik, kerja memompa (kontraktilitas) dan ejection fraction (EF) dari kerja jantung mengalami penurunan. Sedangkan pada disfungsi diastolik, proses mengerasnya dan kehilangan kemampuan relaksasi otot jantung memiliki peranan yang penting dalam menurunkan keluaran jantung (cardiac output) (Katzung, 2007).

  Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan turunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri (Price and Wilson, 2005).

  Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis kompensatoris. Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk mempertahankan curah jantung. Pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus akan meningkatkan pengaktifan sistem renin-angiotensin aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan meningkatkan aliran balik vena (Soufer, 2005).

2.3.2 Etiologi

  Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel, dan beban akhir meningkat pada keadaan akhir seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati (Price and Wilson, 2005).

  Secara epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan penyebab lain terbanyak adalah penyakit jantung katup (Mariyono dan Santoso, 2007).

  New York Heart Association (NYHA) mengelompokkan gagal jantung

  dalam 4 kelas fungsional berdasarkan jumlah aktivitas fisik yang diperlukan untuk menimbulkan gejala-gejalanya (Gunawan, 2007; SIGN, 2007). Pengelompokan gagal jantung menurut NYHA dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Pengelompokan gagal jantung menurut NYHA

  Kelas Symptom I Tidak ada limitasi aktivitas fisik, tidak timbul sesak napas, dan rasa lelah.

  Sedikit limitasi aktivitas fisik, timbul rasa lelah dan sesak napas dengan

  II aktivitas fisik biasa, tetapi nyaman sewaktu istirahat.

  Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik kurang dari biasa sudah

  III menimbulkan gejala, tetapi nyaman sewaktu istirahat.

  Gejala-gejala sudah ada sewaktu istirahat, dan aktivitas sedikit saja akan

  IV memperberat gejala.

  2.3.3 Manifestasi Klinik

  Manifestasi klinik gagal jantung menunjukkan derajat kerusakan miokardium dan kemampuan serta besarnya respon kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa ditemukan pada gagal jantung kiri: a.

  Gejala dan tanda: dispnea, oliguria, lemah, lelah, pucat dan berat badan bertambah.

  b.

  Auskultasi: ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat).

  c.

  EKG: takikardia d.

  Radiografi dada: kardiomegali, kongesti vena pulmonalis (Price and Wilson, 2005).

  2.3.4 Diagnosis

  Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan Jugular Venous

  Pressure (JVP), hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat

  dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain fotothorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Mariyono dan Santoso, 2007).

2.3.5 Penatalaksanaan

  Target terapi gagal jantung kronik adalah meminimalisir hingga menghilangnya gejala, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi angka rawat inap, memperlambat peningkatan keparahan penyakit, serta memperpanjang ketahanan (Sukandar, dkk., 2008). Prinsip manajemen terapi juga meliputi pengurangan beban kerja jantung, meningkatkan kinerja memompa jantung (kontraktilitas), dan juga mengontrol penggunaan garam (Andreoli, et. all., 1997).

  Pemilihan obat yang tersedia untuk pengobatan gagal jantung kongestif bersifat terbatas dan terfokus terutama untuk mengontrol gejala-gejala yang terjadi. Obat sekarang telah dikembangkan baik untuk memperbaiki gejala, dan yang terpenting, memperpanjang kelangsungan hidup.

a. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)

  ACE inhibitor telah digunakan untuk pengobatan hipertensi selama lebih dari 20 tahun. Golongan obat ini juga telah dipelajari secara ekstensif dalam pengobatan gagal jantung kongestif. Obat-obat ini menghambat pembentukan angiotensin II, suatu hormon dengan efek yang berpotensi mempengaruhi jantung dan sirkulasi pada pasien gagal jantung. Penelitian yang dilakukan pada beberapa ribu pasien, obat ini telah menunjukkan peningkatan perbaikan gejala-gejala penyakit pada pasien, pencegahan kerusakan klinis, dan memperpanjang hidup. Selain itu, obat ini digunakan untuk mencegah perkembangan gagal jantung dan serangan jantung (Kulick, 2011).

  Efek samping dari obat ini termasuk batuk kering yang mengganggu, hipotensi, memburuknya fungsi ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit, dan jarang terjadi reaksi alergi. Ketika digunakan dengan hati-hati dengan pemantauan yang tepat, bagaimanapun, mayoritas individu dengan gagal jantung kongestif dapat mentolerir obat-obat ini tanpa masalah yang signifikan. Contoh inhibitor ACE meliputi: kaptopril, enalapril, lisinopril, benazepril dan ramipril (Kulick, 2011).

  b.

   Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)

  Individu yang tidak mampu mentolerir dampak ACE inhibitors, dapat digunakan sebuah kelompok alternatif obat, yang disebut angiotensin receptor

  blockers ( ARBs). Obat ini bekerja pada jalur sirkulasi yang sama dengan inhibitor

  ACE, tetapi kerjanya menduduki reseptor angiotensin II secara langsung Efek samping dari obat ini mirip dengan seperti penggunaan ACE inhibitors, meskipun batuk kering jarang dijumpai. Contoh golongan ini obat meliputi: losartan, candesartan, telmisartan, valsartan, irbesartan, dan olmesartan (Kulick, 2011).

  c.

   Beta-blocker

  Hormon-hormon tertentu, seperti epinefrin (adrenalin), norepinefrin, dan hormon serupa lainnya, bertindak pada reseptor beta pada berbagai jaringan tubuh dan menghasilkan efek stimulatif. Efek hormon ini pada reseptor beta di jantung adalah kontraksi yang lebih kuat dari otot jantung. Beta-blocker adalah obat yang menghalangi aksi hormon ini dengan menduduki reseptor beta dari jaringan tubuh. Karena diasumsikan bahwa menduduki reseptor beta dapat menekan fungsi dari jantung, beta-blocker secara tradisional tidak digunakan pada orang dengan gagal jantung kongestif (Kulick, 2011).

  Penelitian telah menunjukkan manfaat klinis dari beta-blocker dalam meningkatkan fungsi jantung dan kelangsungan hidup pada individu dengan gagal jantung kongestif yang sedang menggunakan ACE inhibitors. Keberhasilan dalam menggunakan beta-blocker pada gagal jantung kongestif adalah dengan memulai dari dosis rendah dan kemudian meningkatkan dosis secara lambat (Kulick, 2011).

  Efek samping yang mungkin termasuk retensi cairan, hipotensi, dan kelelahan serta pusing. Beta-blocker umumnya harus tidak digunakan pada orang dengan penyakit yang signifikan tertentu pada saluran napas (misalnya, asma, emfisema). Contoh golongan obat ini adalah bisoprolol, metoprolol, dan carvedilol (Kulick, 2011).

  d. Glikosida jantung Glikosida jantung menstimulasi otot jantung untuk berkontraksi lebih kuat.

  Dengan kata lain, glikosida jantung adalah obat yang memperkuat kontraktilitas otot jantung (efek inotropik positif), terutama digunakan pada gagal jantung (dekompensasi) untuk memperbaiki fungsi pompanya. Potensi efek samping termasuk: mual, muntah, gangguan irama jantung, disfungsi ginjal, dan kelainan elektrolit. Efek-efek samping umumnya timbul akibat dari toksisitas dalam darah dan dapat dimonitor dengan tes darah. Dosis glikosida jantung juga perlu disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan (Gunawan, 2007).

  e. Diuretik

  Diuretik seringkali merupakan komponen penting dalam pengobatan gagal jantung kongestif untuk mencegah atau mengurangi gejala retensi cairan. Obat ini membantu mengurangi cairan di paru-paru dan jaringan lain dengan cara menyalurkan cairan melalui ginjal. Meskipun diuretik efektif dalam menghilangkan gejala seperti sesak napas dan pembengkakan kaki, diuretik belum menunjukkan untuk memberikan dampak positif pada kelangsungan hidup jangka panjang. Namun demikian, diuretik tetap kunci dalam mencegah memburuknya kondisi pasien. Bila diperlukan rawat inap, diuretik sering diberikan secara intravena karena absorbsi diuretik oral mungkin terganggu, ketika gagal jantung kongestif yang parah .Potensi efek samping diuretik meliputi dehidrasi, kelainan elektrolit, hipokalemia, gangguan pendengaran, dan hipotensi (Brunton and Parker, 2008).

  Dalam terapi sangat penting untuk mencegah kadar kalium rendah dengan cara menambahkan suplemen. Gangguan elektrolit tersebut dapat membuat pasien rentan terhadap gangguan irama jantung yang serius. Contoh dari berbagai kelas diuretik meliputi: furosemid, hidroklorotiazid, bumetanide, torsemide, dan spironolactone. Spironolactone (Aldactone) telah digunakan selama bertahun- tahun sebagai diuretik lemah dalam pengobatan berbagai penyakit. Obat ini memblokir aksi dari hormon aldosterone. Aldosteron memiliki banyak efek pada jantung dan sirkulasi pada gagal jantung kongestif (Brunton and Parker, 2008).

f. Vasodilator

  Vasodilator sudah lama digunakan dalam pengobatan gagal jantung. Obat golongan ini merileksasi otot polos pembuluh darah secara langsung. Penggunaan secara kombinasi telah terbukti dapat mengurangi angka kematian pada pasien gagal jantung. Hidralazin merupakan vasodilator arteri sehingga menurunkan afterload dan isosorbid dinitrat merupakan venodilator sehingga menurunkan preload jantung (Brunton and Parker, 2008).

2.4 Hipertensi

  2.4.1 Definisi

  Hipertensi atau Darah tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal. Hipertensi didefenisikan sebagai tekanan darah diastolik tetap lebih besar dari 90 mmHg disertai dengan kenaikan tekanan darah sistolik (140 mmHg) (Mycek, 2001).

  Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila TDS ≥ 210 mmHg dan TDD ≥ 120 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu sampai beberapa minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang diperoleh TDS

  ≥ 140 mmHg dan TDD 90 mmHg (Ganiswarna, 1995).

Tabel 2.3 Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah Kategori TDS (mmHg) TDD (mmHg)

  Normal < 130 < 85 Normal tinggi 130-139 85-89 Hipertensi: Tingkat 1 (ringan) 140-159 90-99 Tingkat 2 (sedang) 160-179 100-109 Tingkat 3 (berat) 180-209 110-119 Tingkat 4 (sangat berat)

  ≥ 210 ≥ 120

  2.4.2. Etiologi

  Hipertensi merupakan kondisi medis yang heterogen. Pada kebanyakan pasien, penyebab hipertensi belum diketahui secara pasti, sedangkan sebagian pasien lainnya dapat diidentifikasi penyebab terjadinya hipertensi. Berdasarkan etiologinya, hipertensi dapat di bagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder.

  1. Hipertensi Esensial Hipertensi disebut juga hipertensi primer atau idiopatik. Hipertensi esensial adalah hipertensi esensial adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya.

  Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer.

  Penyebab hipertensi esensial merupakan multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan dan terlihat adanya riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu makan garam (natrium) berlebihan, stress psikis dan obesitas (Dipiro, 2007).

  2. Hipertensi Sekunder Prevalensi hipertensi sekunder ini kurang dari 10% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal atau penggunaan obat-obat tertentu

  2.4.3. Manifestasi Klinik

  Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas. Tanda- tanda ynag bisa menjadi indicator hipertensi adalah nilai tekanan darah pasien (Dipiro, 2007).

  2.4.4 Diagnosa

  Tes diagnosa perlu dilakukan untuk mempertegas diagnosa karena hipertensi secara umum tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas. Pengukuran tekanan darah sebagai dasar dalam menegakkan diagnose tidak cukup dilakukan satu kali. Diagnosa hipertensi dapat ditentukan dari rerata dua kali atau lebih pengukuran yang diambil pada waktu yang berbeda. Dari hasil pengukuran rerata tekanan darah tersebut, kemudian digunakan untuk mengklasifikasi tingkat (stage) penyakit hipertensi.

2.4.5 Penatalaksanaan

  Tujuan penanganan hipertensi adalah untuk mengurangi angka kematian dan kesakitan terkait hipertensi. Penurunan tekanan darah sampai nilai yang direkomendasikan tidak menjamin kerusakan organ target tidak terjadi. Namun dengan penurunan tekanan darah hingga nilai normal dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Adapun nilai tekanan darah yang direkomendasikan oleh JNC7 adalah sebagai berikut:

  • : <130/80 mmHg

  : <140/90 mmHg Kebanyakan pasien

  Pasien dengan diabetes

  • Pasien dengan penyakit ginjal kronik : <130/80 mmHg (dengan nilai LFG
  • <60 mL/menit, serum kreatinin >1,3 mg/dL pada wanita atau >1,5 mg/dL pad pria, atau albuminuria >300 mg/hari atau

  ≥200 mg/g kreanitin) (Dipiro, 2007).

  Pemilihan obat untuk hipertensi sangat beragam. Terdapat 9 kelas antihipertensi yang berbeda. Diuretik, penghambat β, angiotensin converting

  enzyme inhibitors (ACEIs), angiotensin II receptor blockers (ARBs), dan calcium channel blockers (CaCBs) merupakan agen antihipertensi primer (Dipiro, 2007).

  a. Diuretik

  Diureti bekerja menurunkan tekanan drah dengan mengeluarkan garam serta mengurangi volume darah dari tubuh. Pada awalnya, diuretic mengurangi tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan keluaran jantung.

  b.

   Beta-Blocker

  Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial. Contoh obatnya adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol.

  Pada penderita diabetes melitus harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula dalam darah turun menjadi sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya). Pada orang tua terdapat gejala bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus hati-hati.

  c. Angiotensin Converting Enzym Inhibitors (ACEIs)

  Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah : batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.

  d. Calcium Channel Blocker (CaCB)

  Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah. Dengan pengobatan dan kontrol yang teratur, serta menghindari faktor resiko terjadinya hipertensi, maka angka kematian akibat penyakit ini bisa ditekan.

  Beberapa golongan antihipertensi lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.4 Golongan Obat-obat Antihipertensi Kelas Nama Obat Dosis Frek./ Komentar

  lazim hari (mg/hari )

  DIURETIK Klortalidon 6.25-25

  1 Pemberian pagi hari untuk Thiazid Hidroklorotiazi 12.5-50 1 menghindari diuresis malam d 1.25-2.5

  1 hari, sebagai antihipertensi Indapamide

  0.5 1 gol.tiazid lebih efektif dari Metolazone diuretik loop kecuali pada pasien dengan GFR rendah (±

  ClCr<30 ml/min); gunakan dosis lazim untuk mencegah efek samping metabolik,; hiroklorotiazid (HCT) dan klortalidon lebih disukai, dengan dosis efektif maksimum 25 mg/hari; klortalidon hampir 2 kali lebih kuat dibanding HCT; keuntungan tambahan untuk pasien osteoporosis; monitoring tambahan untuk pasien dengan sejarah pirai atau hiponatremia

  Loop Bumetanide 0.5-4

  2 Pemberian pagi dan sore untuk Furosemide 20-80 2 mencegah diuresis malam hari; Torsemide

  5 1 dosis lebih tinggi mungkin diperlukan untuk pasien dengan GFR sangat rendah atau gagal jantung

  Penahan Triamteren 50-100 1 atau Pemberian pagi dan sore untuk kalium Triamteren/ 37.5-75/ 2 mencegah diuresis malam hari;

  HCT 25-50 1 diuretic ringan biasanya di kombinasi dengan tiazid untuk meminimalkan hipokalemia; karena hipokalemia dengan diuretic tiazid dosis rendah tidak lazim, obat-obat ini biasanya dipakai untuk pasien- pasien yang mengalami diureticinduced hipokalemia; hindari pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (± ClCr < 30ml/min); dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama kombi nasi dengan ACEI, ARB, atau suplemen kalium)

  Kelas Nama Obat Dosis Frek./ Komentar lazim hari (mg/hari )

  Antagonis Eplerenone 50-100 1 atau Pemberian pagi dan sore untuk Aldosteron Spironolakton 25-50 2 mencegah diuresis malam hari;

  Spironolakton 25-50 / 1 diuretic ringan biasanya di / HCT 25-50 kombinasi dengan tiazid untuk meminimalkan hipokalemia; karena hipokalemia dengan diuretic tiazid dosis rendah tidak lazim, obat-obat ini biasanya dipakai untuk pasien- pasien yang mengalami diureticinduced hipokalemia; hindari pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (± ClCr < 30ml/min); dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama kombi nasi dengan ACEI, ARB, atau suplemen kalium)

  B. ACE Benazepril 10-40 1 atau Dosis awal harus dikurangi inhibitor Captopril 12.5-150 2 50% pada pasien yang sudah

  Enalapril 5-40 2 atau dapat diuretik, yang Fosinopril 10-40 3 kekurangan cairan, atau sudah Lisinoril 10-40 1 atau tua sekali karena resiko Moexipril 7.5-30 2 hipotensi; dapat menyebabkan Perindopril 4-16 1 hiperkalemia pada pasien Quinapril 10-80 1 dengan penyakit ginjal kronis Ramipril 2.5-10 1 atau atau pasien yang juga Trandolaapril 1-4 2 mendapat diuretik penahan 1 kalium, antagonis aldosteron,

  1 atau atau ARB; dapat menyebabkan 2 gagal ginjal pada pasien 1 atau dengan renal arteri stenosis; 2 jangan digunakan pada perempuan hamil atau pada pasien dengan sejarah

  Angioedema

  C. Penyekat Kandesartan 8-32 1 atau Dosis awal harus dikurangi reseptor Eprosartan 600-800 2 50% pada pasien yang sudah angiotensin Irbesartan 150-300 1 atau dapat diuretik, yang

  Losartan 50-100 2 kekurangan cairan, atau sudah Olmesartan 20-40 1 tua sekali karena resiko Telmisartan 20-80 1 atau hipotensi; dapat menyebabkan Valsartan 80-320 2 hiperkalemia pada pasien 1 dengan penyakit ginjal kronis

  1 atau pasien yang juga 1 mendapat diuretik penahan kalium, antagonis aldosteron, atau ACEI; dapat menyebabkan gagal ginjal pada pasien dengan renal arteri stenosis; tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI; jangan digunakan pada perempuan hamil

  Kelas Nama Obat Dosis Frek./ Komentar lazim hari (mg/hari )

  D. Kardioselektif: 25-100

  1 Pemberhentian tiba-tiba dapat Penyekat Atenolol 5-20 1 menyebabkan rebound beta Betaxolol 2.5-10

  1 hypertension ; dosis rendah s/d Bisoprolol 50-200 1 sedang menghambat reseptor Metoprolol 50-200

  1 β1, pada dosis tinggi menstimulasi reseptor β2; dapat menyebabkan eksaserbasi asma bila selektifitas hilang; keuntungan tambahan pada pasien dengan atrial tachyarrythmia atau preoperatif hipertensi.

  Nonselektif: 40-120

  1 Pemberhentian tiba-tiba dapat Nadolol 160-480 2 menyebabkan rebound Propranolol 80-320 1 hypertension, menghambat Propranolol reseptor β1 dan β2 pada semua LA dosis; dapat memperparah Timolol asma; ada keuntungan Sotalol tambahan pada pasien dengan essensial tremor, migraine,

  Tirotoksikosis Aktifitas simpatomimeti k Intrinsik: Acebutolol Carteolol Pentobutolol Pindolol

  200-800 2.5-10 10-40 10-60

  Antagonis kalsium Dihidropiridin: Amlodipin Felodipin Isradipin Lekarnidipin Nicardipin SR Nifedipin LA Nisoldipin

  1

  180-360

  Non- dihidropiridin Diltiazem SR

  1 Dihidropiridin yang bekerja cepat (long-acting) harus dihindari, terutama nifedipin dan nicardipin; dihidropiridin adalah vasodilator perifer yang kuat dari pada nondihidropiridin dan dapat menyebabkan pelepasan simpatetik refleks (takhikardia), pusing, sakit kepala, flushing, dan edema perifer; keuntungan tambahan pada sindroma Raynaud

  1

  2

  1

  2

  1

  1

  2.5-10 5-20 5-10 5-20 60-120 30-90 10-40

  Kelas Nama Obat Dosis lazim (mg/hari ) Frek./ hari Komentar E.

  2

  penyekat α meng akibatkan hipotensi ortostatik

  hypertension ; penambahan

  2 Pemberhentian tiba-tiba dapat menyebabkan rebound

  2

  12.5-50 200-800

  Campuran penyakat α dan β: Karvedilol Labetolol

  merangsang reseptor β sementara menyekat terhadap rangsangan tambahan; tidak ada keuntungan tambahan untuk obat-obat ini kecuali pada pasien-pasien dengan bradikardi, yang harus mendapat penyekat beta; kontraindikasi pada pasien pasca infark miokard, efek samping dan efek metabolik lebih sedikit, tetapi tidak kardioprotektif seperti penyekat beta yang lain.

  hypertension; secara parsial

  2 Pemberhentian tiba-tiba dapat menyebabkan rebound

  1

  1

  1 Produk lepas lambat lebih disukai untuk hipertensi; obat- obat ini menyekat slow Verapamil SR channels di jantung dan menurunkan denyut jantung; dapat menyebabkan heart block; keuntungan tambahan untuk pasien dengan atrial Takhiaritmia

  (Sumber : Dipiro, 2007)

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENYAKIT DIABETES MELLITUS (DM) 2.1.1 Definisi DM - Pengaruh Puasa Ramadhan Terhadap Profil Lipid Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1Promosi 2.1.1 Pengertian Promosi - Chapter II (106.6Kb)

0 1 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus - Profil Foto Thoraks Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tb Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Tahun 2012

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Prevalensi Terjadinya Manifestasi Oral Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Risiko Sedang Di Rs. Haji Medan

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi - Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2

0 0 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koping 2.1.1 Definisi Koping - Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Mekanisme Koping Pasien Diabetes Melitus di RSUD Deli Serdang

0 1 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepatuhan 2.1.1 Definisi - Kepatuhan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus di Poli Klinik Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Umum - Chapter II (461.1Kb)

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi - Hubungan Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 Dengan Terjadinya Gangguan Pendengaran Di RSUP. H. Adam Malik Medan

0 0 30