BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33PUU-IX2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Put

BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

2.1 Wewenang Presiden dalam Pembentukan Perjanjian Internasional

  Presiden selain sebagai kepala negara juga menjabat sebagai kepala pemerintahan. Selaku kepala negara Presiden adalah simbol represetasi negara dan simbol pemersatu bangsa sementaras selaku kepala pemerintahan Presiden

  15

  harus bertanggung jawab penuh atas jalannya suatu pemerintahan. Presiden yang memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan salah satu ciri dari sistem presidensial. Sistem presidensial Presiden dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu, artinya keduanya bertanggung jawab pada rakyat. Meskipun masa jabatan Presiden telah ditentukan oleh Konstitusi namun rakyat tidak dapat melakukan pengawasan secara langsung maka dari itu anggota legislatif yang juga dipilih

  16

  secara langsung oleh rakyat mengemban fungsi pengawasan tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sistem presidensial yaitu diantara lain adalah Presiden selain kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan, Presiden dan lembaga legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

15 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus

  Presiden didasarkan atas kategori mekanisme pelaksanaan wewenang Presiden yang ada maka dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

  1. Wewenang yang mekanisme pelaksanaannya hanya dilakukan oleh Presiden, dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden yang mandiri (wewenang prerogatif Presiden).

  2. Wewenang yang dapat dilaksanakan dengan persetujuan DPR, dalam studi ini kategorikan sebagai wewenang Presiden dengan persetujuan DPR.

  3. Wewenang yang dilaksanakan dengan pertimbangan dari lembaga-lembaga negara yang lain, dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden

  17 dengan pertimbangan lembaga negara lain.

  Bentuk dari wewenang Presiden yang mandiri adalah wewenang menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945), wewenang mengangkat dan memberhentikan Menteri-Menteri (Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD RI 1945), wewenang mengangkat dan memberhentikan Kapolri, dan sebagainya. Contoh wewenang Presiden yang membutuhkan persetujuan DPR adalah wewenang menyatakan perang dan membuat perdamaian (Pasal 11 UUD NRI 1945 dan Pasal 41 ayat (2) UU No 20/1982), wewenang membuat perjanjian dengan negara lain dan sebagainya. Wewenang Presiden yang menarik untuk dibahas adalah mengenai wewenang pembuatan perjanjian dengan negara lain yang tertuang dalam Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa

  ” Presiden

  dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat peramaian dan perjanjian dengan negara lain

  .” Dijelaskan kembali pada ayat 2 bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang

  menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait 17 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Studi Mengenai Reposisi MPR,DPR dan,

  dengan beban keuangan engara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

  Mekanisme internal disetiap negara berbeda-beda dalam meratifikasi suatu perjanjian internasional. Indonesia membutuhkan Persetujuan DPR untuk melakukan mekanisme internalnya (Pasal 11 UUD NRI 1945). Hal demikian berdasarkan pertimbangan bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan hak dan kewajiban terhadap negara sehingga Presiden dalam membuat perjanjian internasional memerlukan persetujuan DPR. Di setiap negara memiliki berbagai macam mekanisme internal, hal ini terdapat pada Konvensi Wina 1969 Pasal 2 ayat 1 huruf b, yang diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Indonesia pada Pasal 11,

  Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 11 ayat 2 UUD NRI 1945, “Persetujuan DPR terhadap Perjanjian Internasional” tidak dapat disamakan dengan “Persetujuan bersama DPR-Presiden terhadap RUU” yang terdapat di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 Persetujuan bersama yang dimaksud dalam pembuatan undang-undang jika diteliti dalam kamus bahasa Indonesia kata “persetujuan” itu diartikan dengan “pernyataan setuju” sedangkan kata “setuju” berarti “sepakat”, selain itu kata

  18 Maka dari “menyetujui” dapat juga berarti “membenarkan” atau “mengiyakan”.

  itu makna dari “persetujuan bersama” agar di dalam membentuk undang-undang Dewan Perwakilan Rakyat harus melaksanakannya dengan persetujuan, atau dengan berbarengan, serentak, bersama-sama dengan Presiden mulai dari pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus

  19 dilaksanakan agar undang-undang dapat terbentuk.

  Konsep persetujuan DPR dan tindakan Presiden tidak sama dengan Persetujuan bersama DPR dengan Presiden. Disini konsep persetujuan DPR hanya terkait pengesahanya saja, DPR tidak berwenang mengubah substansi perjanjian internasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan negara atau organisasi

  20

  internasional lain. Beda halnya dengan pembuatan Undang-Undang yang normanya dapat dirubah oleh Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat melalui kewen angan “persetujuan”. Peran DPR disini hanyalah melaksanakan fungsi check and balancesnya bukan fungsi legislasi.

2.2 Undang-Undang Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional

  Undang-Undang merupakan instrumen penting bagi negara hukum. Sesuai dengan asas Legalitas yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikenai hukuman jika tidak ada hukum yang mengatur. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri negara hukum (rechstaat) yang dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie.

  Terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di negara hukum yaitu Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam hukum (Equality before the Law), Asas Legalitas, Pembatasan Kekuasaan, Organ- organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan tidak memihak, Peradila Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai

  19 20 Ibid.

  sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechstaat), serta

  21 Transparansi dan Kontrol Sosial.

  Kedua belas prinsip tersebut tidak dapat terlepas dari fungsi undang- undang yang memiliki peran penting dalam mendukung adanya negara hukum.

  Undang-Undang merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan- ketentuan yang ada dalam UUD NRI 1945. Didalam UUD NRI 1945 banyak sekali ketentuan-ketentuan yang masih abstrak dan ketentuan-ketentuan tersebut adalah hal pokok yang mendukung adanya negara hukum, misalnya pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia yang diatur dalam bab XA UUD NRI 1945. Ketetentuan dalam bab tersebut sangatlah abstrak sehingga membutuhkan peraturan lebih lanjut untuk mengaturya. Contohnya pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

  kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatua Republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang

  ”. Dalam ketentuan pasal tersebut konsep menghormati masyarakat adat belumlah konkrit dan jelas melalui mekanisme yang seperti apa, maka dari itu dalam kalimat selanjutnya dijelaskan bahwa ketentuan ini diatur dalam undang-undang.

  Fungsi undang-undang jika dikaitkan dengan peran undang-undang sebagai peraturan lebih lanjut adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dalam UUD NRI 1945 yang tegas-tegas menyebutkannya, pegaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945, 21 pengaturan lebih lanjut dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya,

  22 serta pengaturan di bidang materi dalam konstitusi.

  Menurut UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat (2), Undang-Undang merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU 12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dan persetujuan bersama Presiden. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat suatu peraturan dapat disebut sebagai undang- undang dilihat dari pembentuknya adalah dibentuk oleh DPR dan mendapat persetujuan bersama Presiden. Syarat ini menjadi karakteristik khusus dalam membedakan undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

  Syarat harus dibentuk oleh DPR dan mendapat persetujuan bersama dengan Presiden dapat mengklasifikasikan undang-undang menjadi 2 macam yaitu pengertian undang-undang selain dalam arti formil (wet in formale zin) dan undang-udang dalam arti materiil (wet in materiele zin).

  Di Belanda apa yang disebutkan dengan „wet in formale zin’ adalah setiap keputusan yang dibentuk oleh Regering dan Staten General atau dalam konteks Indonesia yaitu dibuat oleh Presiden dengan persetujuan bersama DPR, sedangkan yag disebut dengan „wet in materiele zin‟ adalah setiap keputusan yang dibentuk baik oleh Regering atau State General maupun keputusan-keputusan lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga lainnya selain yang dibentuk baik oleh Regeling dan Staten General asalkan isinya

  22 adalah peraturan lain yang mengikat umum (algemene verbidende

  23 voorschriften ).

  Dapat diambil kesimpulan bahwa undang-undang dalam arti materiil atau

  wet in materiele zin merupakan peraturan perundang-undangan yang hanya

  dibentuk salah satu syarat pembentukan undang-undang dan memuat aturan umum (tidak konkrit). Contohnya adalah Undang-Undang APBN, Undang- undang ini tidak mengikat secara umum dan tidak konkrit karena Undang-Undang

  24 APBN hanya berisi dua tiga pasal saja, namun lampirannya sangatlah tebal.

  Rumusan undang-undangnya dapat dikatakan hanya dicantumkan menjadi semacam pengantar saja. Demikian pula dengan undang-undang ratifikasi perjanjian internasional, yang justru lebih penting adalah lampirannya.

  Tetapi pembentuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah memenuhi syarat pembentuk undang-undang dalam arti formil. Lain halnya dengan Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang menurut Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 hanya dibentuk oleh Presiden namun materi muatan dan kedudukannya disejajarkan dengan undang-undang.

  Namun hal ini juga terjadi pada undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional. Menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa “Presiden dalam membuat perjanjian internasional

  lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan 23 24 Ibid., h. 52.

  atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang hasil

  ratifikasi telah memenuhi syarat pembentukan hasil undang-undang, tetapi apakah materi atau muatan dalam Undang-Undang hasil ratifikasi bersifat umum ataukah konkrit?

  Untuk memperjelas pembedaan wet in formale zin dengan wet in materiele

  zin perlu adanya faktor lain yang membedakan yaitu berdasarkan materi muatan

  suatu peraturan perundang-undangan. Undang-undang memiliki materi muatan yang sangat khas yaitu:

  1. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD NRI 1945 dan TAP MPR;

  2. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI 1945;

  3. Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia;

  4. Yang mengatur hak dan kewajiban warganegara;

  5. Yang mengatur pembagian kekuasaan;

  6. Yang mengatur organisasi pokok Lembaga-Lembaga Tinggi Negara;

  7. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;

  8. Yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan;

  9. Yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan

25 Undang.

  Materi muatan ini menentukan apakah suatu masalah dapat ditetapkan dengan peraturan berbentuk undang-undang atau dengan peraturan perundang- undangan yang lainnya yaitu Keputusan Presiden jika dalam konteks pengesahan perjanjian internasional. Apabila telah memenuhi salah satu materi muatan yang telah diuraikan diatas maka masalah tersebut dapat diatur dengan undang-undang.

25 Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.242, dikutip

  Menurut Fajhrul seperti yang dikutip dalam artikel online di Direktorat Jendral Hukum dan HAM, Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian internasional merupakan undang-undang dalam arti materiil maka dari itu tidak dapat diuji karena bukan merupakan Undang-Undang dalam arti formil (wet in

  26 formil zein ). Pendapat ini didukung dengan adanya fakta bahwa dalam undang-

  undang hasil ratifikasi hanya terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 1 yang menyatakan bahwa mengesahkan suatu perjanjian internasional dan pasal 2 menyatakan kapan berlakunya undang-undang tersebut, hal ini mencerminkan bahwa materi muatan undang-undang hasil ratifikasi tidak memiliki norma yang dapat diterapkan secara langsung dan meskipun dalam undang-undang tersebut melampirkan perjanjian internasional yang disahkan, tidak mengubah bahwa norma dalam perjanjian internasional tersebut membutuhkan pengaturan lebih lanjut baru dapat dilaksanakan.

2.2.1 Proses Pembentukkan Undang-Undang dan Pembentukkan Perjanjian Internasional

  Dalam Dissenting Opinion oleh Hamdan Zoelfa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang hasil ratifikasi, menyatakan perbedaan yang mendasar antara Undang-Undang materil dengan Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian Internasional adalah: (a) Dalam Undang-Undang dalam arti formil, pembahasan norma 26 dapat dibahas dan direvisi, sedangkan Undang-Undang ratifikasi

  Direktorat Jenderal Kementrian Hukum dan HAM, “MK tak Berwenang Menguji UU Hasil Ratifikasi Perjanjin Internasional”,http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-

  Pra-Legislasi Legislasi Pasca Legislasi

  merupakan kesepakatan berbagai negara dan tidak dapat direvisi kecuali perjanjian tersebut memberi peluang untuk itu (b) Pemberlakuan Undang-Undang ratifikasi berbeda dengan Undang-

  Undang formil pada umumnya. Undang-Undang dalam arti formil akan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat semenjak disahkannya Undang-Undang tersebut, sedangkan Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian Internasional membutuhkan metode internal bagi negara peserta Perjanjian Internasional agar dapat mengikat. (Pasal 5 ayat 2 Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional)

27 Secara jelas dalam dissenting opinion Hamdan Zoelfa

  membedakan proses dalam proses pembuatan undang-undang dengan pembuatan perjanjian internasional.

  Skema 1 Tahap Pembuatan Undang-Undang

  Penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya undang- undang dalam pelaksanaannya terbagi dalam 3 tahap yaitu tahap Pra- Legislasi, tahap Legislasi, dan tahap Pasca Legislasi.

  28 Pada tahap Pra-

  Legislasi dilalu proses: (i) Pencarian Pembentukan UU (RUU), (ii) Persiapan Penyusunan RUU yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan penyusunan naskah akademik (iii) teknik dan mekanisme penyusunan RUU (iv) Penyusunan RUU. 27 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang hasil ratifikasi Piagam ASEAN, h.200. 28 Ahmad Ubbs, Mekanisme Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan

  Tahap Legislasi akan melalui proses (i) Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah, (ii) Pengesahan, penetapan serta pengundangannya.

  Sedangkan Tahap Pasca Legislasi akan melalui proses (i) Pendokumentasioan UU (ii) Penyebarluasan UU (iii) Penyuluhan (iv)

29 Penerapan UU.

  Perjanjian Internasional jika ingin memiliki kekuatan mengikat pada para negara peserta pastilah melewati berbagai tahapan/prosedur pembuatan. Prosedur pembuatan Perjanjian Internasional diatur oleh Konvensi Wina 1969 dan Indonesia lebih lanjut mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

  Tahap-tahapan pembuatan Perjanjian Internasional dimulai dari Penjajakan, Perundingan, Adopsi, Authentication, Consent to be Bound

  30 dan Entry into Force.

  Skema 1 Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional Tahap I : Tahap II : Tahap IV : Tahap III :

  Penjajakan Perundingan Otentikasi Adopsi

  29 Sadikin, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya dengan Program Legislasi Nasional . Makalah, h. 71. 30 Ulasan ini merupakan intisari perkuliahan Dosen Jany dalam Mata Kuliah Hukum

  Sesuai skema diatas tahap awal adalah tahapan Penjajakan. Tahap ini tidak diatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986, namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasannya yang menyatakan bahwa Penjajakan merupakan tahap awal kemugkinan dibuatnya suatu Perjanjian Internasional. Penjajakan ini muncul didasarkan pada dua faktor yaitu keinginan untuk kerja sama dan jika terjadi sengketa para pihak.

  Tahapan yang kedua adalah Perundingan, dasar hukum tahapan diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pada tahapan ini membahas mengenai substansi dan masalah-masalah tekhnis yang disepakati dalam Perjanjian Internasional tersebut. Dalam hal ini setiap negara akan membawa kepentingannya masing-masing untuk dirundingkan, maka dari itu dalam proses perundingan ini setiap negara biasanya menentukan posisi agar dapat meletakkan kepentingan mereka dalam Perjanjian Internasional.

  Yang dibutuhkan dalam tahap perundingan Perjanjian Internasional adalah:

  1. Koordinasi dan kosultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Departemen teknis terkait (Dasar Hukum Pasal 2 dan 5(1) UU 24/2000).

  2. Menetapkan Pedoman Delegasi (Dasar hukum Pasal 5 ayat 2 dan ayat (3).

  3. Penyusunan Rancangan Perjanjian (Pasal 5 ayat 4)

  4. Penunjukan delegasi yang disertai dengan Full Power Letter (Pasal 7 (1) (2) (4) dan (5) UU 24/2000) atau Credential Letter (Pasal 7 (3) dan

  31 (4) UU 24/2000).

  Yang berwenang melakukan perundingan adalah orang yang mempunyai otoritas/wewenang, jika tidak berwenang maka hasil perundingan tersebut tidak berakibat hukum. Untuk melihat apakah orang tersebut berwenang atau tidak dalam melakukan perundingan maka dapat dilihat dari apakah orang tersebut memiliki Full Power Letter atau

  Credential Letter untuk menunjukan sejauh mana otoritasnya dalam

  32

  pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam hal ini ada pengecualian untuk yang tidak memerlukan Full Power Letter maupun Credential Letter yaitu Menteri Luar Negeri, Kepala Pemerintahan dan Presiden (The Big Three) serta Duta besar yang ditugaskan di negara tempat perjanjian internasional tersebut dibuat. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

  Setelah memeriksa apakah orang tersebut memiliki otoritas untuk mewakili negaranya, maka orang tersebut dalam menjalankan tugasnya untuk ikut dalam pembuatan Perjanjian Internasional harus sesuai dengan Pedoman Delegasi yang telah ditentukan. Pedoman Delegasi merupakan panduan bagi delegasi yang mewakili negara Indonesia untuk pembuatan

  33

  perjanjian Internasional, Pedoman ini dibuat oleh Dewan Perwakilan 31 Rakyat dan departemen teknis terkait, hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat

  Ulasan dari Slide Perkuliahan Dosen Ibu Aktieva dalam Mata Kuliah Hukum Perjanjian Internasional Semester V dalam topik Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional. 32

  (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Substansi pedoman delegasi adalah latar belakang permasalahan, analisa permasalahan dari aspek politis, yuridis, dan aspek lain yang berpengaruh pada kepentingan nasional indonesia dan menetapkan posisi Indonesia, saran dan penyesuaian yang dapatdilakukan

  

34

  untuk mencapai kesepakatan. Hasil dari perundingan adalah draft awal (preliminary draft) yang memuat substansi perjanjian guna dijadikan dasar pembahasan oleh para pihak.

  Tahap selanjutnya adalah Adopsi, Adopsi di atur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dan Konvensi Wina 1969 dan 1986 Article 9. Adopsi merupakan proses merumuskan naskah suatu rancangan perjanjian internasional serta penerimaan substansi perjanjian internasional sebagaimana dituangkan dalam naskah Perjanjian Internasional. Tahap ini menunjukkan bahwa para pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atas naskah perjanjian, meskipu kesepakatan itu belum merupakan

  35 kesepakatan final atau belum merupakan naskah yang definitif.

  Proses adopsi ini adalah menuangkan kesepakatan lisan hasil perundingan dalam format tertulis. Dalam proses adopsi dapat menggunakan voting atau penentuan mayoritas, cara tersebut bergantung 34 dari bagaimana kesepakatan para pihak atau kesepakatan para peserta konverensi atau sebagaimana yang ditentukan oleh Organisasi Internasional.

  Tahap yang keempat adalah Ontetikasi (Authentication) yang diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Otentikasi merupakan proses penandatanganan/pemarafan setiap hal dalam perjanjian tersebut untuk menyatakan bahwa naskah tersebut bersifat final menurut negara yang bersangkutan. Pegontetikasian atau pengesahan ini akan meningkatkan status dari naskah perjanjian yang sudah melewati tahap penerimaan, menjadi naskah yang final dan

  36

  definitif. Tata cara otentikasi : sebagaimana disepakatai oleh para pihak, sesuai dengan prosedur yang terdapat pada naskah perjanjian atau dapat dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan atau paraf pada naskah perjanjian.

  Setelah keempat tahap tersebut dilakukan, maka pernyataan

  Consent to be Bound berlangsung merupakan tahapan yang tidak terpisahkan setelah pembuatan perjanjian internasional tersebut selesai.

  Consent to be Bound diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-

  Undang Nomor 24 tahun 2000. Consent to be Bound merupakan pernyataan suatu negara untuk mau menundukkan diri pada ketentuan yang telah dibuat dan sekaligus memberlakuukannya, jadi dapat berefek

  entry into force . Dengan penandatangan belum tentu berefek Consent to be Bound (Pasal 6(2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000). Banyak cara dalam mekanisme internal suatu negara, mekanisme tersebut bergantung pada pengaturan konstitusi negara tersebut. Macam-macam cara mekanisme internal yang menyatakan Consent to be Bound adalah pertukaran dokumen (exchange document ), ratifikasi, akseptasi, aksesi/persetujuan atau dengan signature of referendum.

  Suatu persetujuan (consent to be bound) terhadap perjanjian internasional dapat dinyatakan dengan cara ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan dapat dilihat pada Pasal 14 Kovensi Wina 1969:

  1. The Consent of a State to be bound by a treaty is expressed by ratification when: (a) the treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification; (b) it is otherwise established that the negotiating States were agreed that ratification should be required; (c) the representative of the State has signed the treaty subject to raitification; or (d) the intention of the State to sign the treaty subject to ratification appears from the full powers of its representative or waas expressed during the negotitation.

  2. The Consent of a State to be bound by treaty is expressed by acceptance or approval under conditions similar to those which apply ratification.

  Selain berefek pengikatan diri terhadap suatu perjanjian internasional, negara pihak tentu ingin perjanjian internasional tersebut dapat berlaku. Langkah terakhir yang perlu dilakukan yaitu Entry into

  Force (kekuatan memaksa). Dasar hukum dari Entry into Force terdapat

  pada Article 24-27 Part II Section III . Entry into force menentukan kapan saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional itu sendiri. Kapan mulai berlakunya suatu perjanjian internasional bergantung pada kesepakatan para pihak yang mengadakan perundingan dan merumuskan

  37

  perjanjian itu sendiri. Terdapat berbagai cara, sebuah perjanjian

  38

  internasional entry into force menurut Anthony Aust, yaitu:

  1. Pada saat sesuai tanggal yang ditentukan dalam perjanjian. Para pihak bebas untuk menentukan tanggal, atau bahkan untuk menerapkan perjanjian untuk beroperasi secara retroaktif/berlaku surut. Dalam hal perjanjian multilateral dan adanya kebutuhan ratifaksi, memasukkan tanggal tertentu dapat melayani tujuan politik dengan mendorong negaraatau mungkin lebih tepatnya kepada parlemen untuk memenuhi tenggat waktu;

  2. Pada saat tanda tangan oleh semua negara negosiasi dilakukan. Hal ini umum untuk perjanjian bilateral yang tidak harus disetujui oleh parlemen, dan kadang-kadang ditemukan dalam perjanjian antara beberapa negara (perjanjian plurilateral) meskipun dengan materi perjanjian yang sangat penting;

  3. Pada saat ratifikasi oleh kedua (atau semua) negara yang telah bertanda tangan. Jika perjanjian multilateral membutuhkan ratifikasi oleh semua

37 Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press,

  negara negosiasi, maka berlakunya dapat dinyatakan berada pada waktu tertentu setelah penyimpanan instrumen terakhir ratifikasi;

  4. Tergantung pada tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) dari negara- negara yang ditentukan oleh nomor, nama atau kategori tertentu;

  5. Pada saat tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) oleh jumlah minimum dari negara negosiasi (Pasal 84 (1) Konvensi Wina 1961). Biasanya dalam hal perjanjian multirateral, jumlah negara cukup banyak untuk memastikan bahwa perjanjian mendapatkan penerimaan yang luas sebelum diberlakukan;

  6. Seperti pada nomor 4 dan 5 di atas, tapi jumlah minimum negara atau organisasi juga harus memenuhi persyaratan lainnya;

  7. Pada saat pertukaran instrumen ratifikasi (perjanjian bilateral);

  8. Pada saat pemberitahuan oleh setiap negara penandatanganan kepada negara lain atas selesainya persyaratan konstitusional.

  9. Dalam kasus perjanjian dibentuk oleh exchange of notes, pada tanggal note balasan/ reply note (note in response).

  10. Seperti pada poin 9 di atas, tetapi pada tanggal yang lebih awal atau lebih daripada reply note.

  11. Pada tanggal yang akan disepakatai.

  Adanya Undang-Undang Nomor 38 tahun 2008 tidak serta merta dapat memberlakukan norma Piagam ASEAN, namun hal tersebut begantung pada kapan pemerintah Indonesia menyerahkan instrument of

  ratification . Sedangkan Indonesia juga tidak dapat serta merta masa

  mengundurkan diri atau membatalkan perjanjian internasional secara sepihak. Terdapat mekanisme tersendiri untuk kedua hal tersebut.

  Pembentukan UU dan perjanjian internasional sangatlah berbeda, meskipun sistem pengajuannya berbeda namun jika dapat disimpulkan bahwa UU mulai dari awal pembahasan sampai pengesahan dan pelaskanaan semuanya dibahas dan didiskusikan oleh DPR dan Presiden secara bersama-sama, sedangkan Perjanjian Internasional proses pembahasanannya dan proses penandatanganan hanya diwakili oleh delegasi yang telah membawa pedoman delegasi yang di buat DPR. Meskipun pengesahan perjanjian internasional hampir sama dengan pembentukan UU yaitu dengan adanya peran DPR namun ada beberapa perbedaan prosedur yang tidak berlaku dalam pengesahan perjanjian

  39

  internasional diantaranya: Pertama, inisiatif pengajuan RUU pengesahan suatu perjanjian internasional hanya berasal dari pemerintah (tidak dari DPR) karena berdasarkan teori pembagian kekuasaa, hubungan luar negeri termasuk membuat atau memasuki perjanjian internasional masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif. Kedua, DPR tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan perjanjian internasional, DPR hanya berwenang menyetujui, menerima atau menolak pengesahan suatu perjanjian internasional. Ketiga, pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk UU dimungkinkan untuk diajukan ke DPR melalui Daftar Kumulatid Terbuka (DKT) Prolegnas. Namun demikian, akan lebih baik jika RUU pengesahan perjanjian internasional dilakukan secara terencana dan masuk dalam daftar prioritas, agar sejalan dengan politik hukum yang sedang dilaksanakan pemerintahan. Keempat, dalam praktik pengesahan perjanjian internasional baik melalui UU maupun Keputusan Presiden, RUU pengesahan perjanjian internasional selalu dilengkapi dengan sebuah Naskah Penjelasan (Naskah Akademis) yang berisi pejelasan diantaranya mengenai keuntungan dan kerugian/konsekuensi dari pengesahan perjanjian internasional tersebut dan implikasi pengesahan terhadap sistem hukum.

2.2.1.2 Konsep Persyaratan dan Penarikan Diri atau Pembatalan dari Kewajiban Hukum Perjanjian Internasional

  Suatu negara diharapkan dapat menyetujui maupun melaksanakan seluruh isi atau pasal perjanjian, sehingga perjanjian itu mengikat secara utuh dan menyulurh terhadap setiap negara yang telah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada

  40

  perjanjian. Namun setiap negara tentunya memiliki kondisi atau keadaan tertentu daripada negara lainnya. Demi tercapainya pemberlakuan perjanjian internasional maka diberikanlah fasilitas berupa persyaratan atau ada beberapa yang menyebutnya sebagai

  reservasi .

  Pada Pasal 2 ayat (1) butir d menyatakan bahwa persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi , menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan. Pernyataan sepihak suatu negara mempunyai 2 bentuk:

  1. Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut, dan/atau;

  2. Mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti tersendiri atas sah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang

  41 bersangkutan.

  Namun persyaratan ini memiliki batasan atau larangan, hal ini disebutkan pada Pasal 19 Konvensi Wina 1969 yang berjudul “Furmulation of Reservation”, sebagai berikut:

  Suatu negara dapat mengajukan persyaratan, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi suatu perjanjian internasional, kecuali: (a) Persyaratan itu dilarang oleh perjanjian; (b) Perjanjian itu menentukan, bahwa hanya persyaratan yang khusus, yang tidak termasuk di dalam persyaratan yang merupakan masalah, yag dapat diajukan; atau (c) Dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam subparapraph (a) dan (b) persyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan obyek dan tujuan dari perjanjian.

  Fasilitas persyaratan ini diberikan oleh perjanjian internasional agar negara pihak (contracting states) tidak menggunakan alasan bertentangan dengan hukum nasional agar tidak melaksanakan kewajibannya. Pasal 27 Konvensi Wina 1969, sangat jelas melarang negara untuk menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar atas kegagalannya melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional.

  Dalam pengajuan persyaratan atau reservasi, setiap negara tidak dapat langsung disetujui oleh negara-negara lainnya. Secara garis besar, reaksi dari negara-negara itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu ada yang menyetujui persyaratan tersebut, ada yang keberatan atau menolaknya, ada yang tidak

  42 menyatakan sikap tegas apakah menyetujui atau menolaknya.

  Pasal 56 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa negara tidak dapat menarik diri dari perjanjian internasional jika dalam perjanjian internasioal tersebut tidak mengatur pasal yang memperbolehkan , kecuali disetujui oleh semua contracting states.

  Namun hal ini tidak selaras dengan Pasal 18 huruf h Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang menyatakan, “Perjanjian

  Internasional berakhir apabila:…… h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

  ” Pasal ini tentunya menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan Konvensi Wina 1969 dan membuat Indonesia memiliki peluang untuk tidak konsisten dalam menjalankan perjanjian internasional. Dilihat dari proses pembuatan perjanjian internasional, suatu negara sudah diberi berbagai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan kembali apakah perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan tujuan maupun manfaat yang akan diperoleh oleh negara. Maka dari itu untuk melepaskan diri dari keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional sangatlah susah.

  2.2.2 Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional

  Perjanjian Internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi

  43

  ketentuan-ketentuan yang mempunyai akibat hukum. Dalam mengesahkan suatu Perjanjian Internasional, Indonesia memiliki pengaturan tersendiri. Hal tersebut tertuang pada Pasal 11 UUD NRI 1945 NRI 1945 yang menyebutkan bahwa bentuk hukum perjanjian internasional tidak harus berbentuk Undang-Undang, tetapi dalam konstitusi menyebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR yang berhak membuat Perjanjian Internasional. Praktik pembuatan perjanjian internasional dulunya belum memiliki undang-undang yang mengatur khusus mengenai hal itu, maka dari itu dibentuklah Surat Presiden No.

43 Prasetyo Hadi Purwandoko, Januari 2003, Implementasi Ratifikasi Perjanjian

  Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000. Justisia Edisi 60

  2826/Hk/1960 yang merupakan penafsiran Pasal 11 UUD NRI 1945 oleh

44 Presiden.

  Namun MPR menyatakan Surat Presiden tersebut bertentangan dengan Tap I/MPR/1983 Pasal 4 (b) yang meyatakan bahwa MPRlah yang berwenang untuk menafsirkan ketetepan-ketepannya (UUD NRI 1945

  

45

  dianggap sebagai ketetapan) . Maka dari itu kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

  Dalam Undang-Undang tersebut diatur kembali lebih terperinci melalui

  Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa “Pengesahan perjanjian

  internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden

  .” Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang diperkuat dengan adanya Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:

  (a) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; (c) Pengesahan perjanjian Internasional tertentu;

(d)Tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi dan/atau

(e) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. 44

  “ Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1999, h. Agar dapat membedakan bentuk pengesahan dengan UU dan Keputusan Presiden maka diperlukan kriteria yang yang dapat membedakan hal tersebut.

  Tabel 1. Perbedaan Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional dengan

  46 Undang-Undang atau dengan Keputusan Presiden

  Keputusan Presiden/Peraturan KRITERIA Undang-Undang

  Presiden Syarat Memenuhi kriteria Dibentuk dengan Keputusan materi muatan yang Presiden jika dalam perjanjian dapat disahkan dengan internasional disyaratkan undang-undang. adanya pengesahan sebelum berlakunya perjanjian tersebut, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi perundang- undangan nasional. Objek Ratifikasi Mayoritas adalah Mayoritas adalah perjanjian perjanjian multirateral bilateral Materi Muatan Sesuai dengan Pasal 10 Selain materi yang diatur dalam

  Undang-Undang Nomor undang-undang. (Pasal

  11

  24 Tahun 2000. Undang-Undang Nomor

  24 Tahun 2000 dan penjelasannya). Pembentukkannya Dengan Persetujuan Dibentuk oleh Presiden, Dewan

  Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat Rakyat (Pasal 11 ayat 2 mengevaluasi.(Pasal 11 ayat (2) UUD NRI 1945 NRI Undang-Undang Nomor

  24 1945) Tahun 2000)

  Dalam penjelasan pasal 11 tersebut menjelaskan bahwa DPR dapat membatalkan pengesahan perjanjian internasional tersebut jika merugikan kepentingan nasional. Sifat Mengikat yang membuat Karena undang-undang 46 perjanjian saja, untuk perjanjian internasional berlaku mengikat masyarakat tahun 2000, maka bentuk yang Indonesia diperlukan dipakai adalah keputusan instumen lebih lanjut. presiden.

  Namun hal ini berubah seiring dengan adanya undang-undang nomor 10 tahun 2004 yang merubah keputusan presiden menjadi peraturan presiden. Hal ini berakibat pada kekuatan mengikat peraturan presiden yaitu mengikat seluruh masyarakat indonesia.

  Kriteria yang membedakan suatu pengesahan perjanjian internasional dapat dibentuk dengan undang-undang atau keputusan presiden ada beberapa aspek. Aspek yang pertama adalah syarat yang dimuat oleh perjanjian internasional tersebut. Suatu perjanjian internasional dapat disahkan atau di ratifikasi dengan Keputusan Presiden jika perjajian internasional tersebut mensyaratkan adanya pengesahan terlebih dahulu sebelum berlakunya perjanjian tersebut, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi perundang- undangan nasional. Hal ini tertuang dalam penjelasan pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Sedangkan untuk bentuk pengesahan berupa undang-undang maka harus memenuhi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yaitu:

  1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;

  2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia;

  3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;

  4. Hak Asasi Manusia dan Lingkungan hidup;

  5. Pembentukan kaidah hukum baru; 6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

  Contoh pengesahan perjanjian internasional dengan menggunakan undang-undang adalah UU 12/2005 tentang Pengesahan

  International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

  Internasional tentang hak-hak sipil dan politik), UU 38/2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN dan Undang-Undang Hasil Raifikasi Perjanjian Internasional yang lainnya. Sedagkan kriteria suatu pengesahan perjanjian internasional dapat dibuat dalam bentuk Keputusan Presiden tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa Pengesahan perjanjian internasional yang menggunakan Keputusan Presiden adalah yang memuat selain materi yang terdapat dalam kriteria materi pengesahan dengan undang-undang. Hal tersebut diperjelas dalam penjelasan pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 bahwa pengesahan yang diatur dalam Keputusan Presiden yaitu perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan , kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.

  Beberapa contoh pengesahan perjanjian internasional dengan

  1. ASEAN Framework Agreement ASEAN-China FTA (ACFTA) dengan bentuk pengesahan berupa Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 yang disahkan pada 15 Juni 2004.

  2. ASEAN dengan India untuk mengadakan Free Trade Area yang dibentuk berdasarkan Framework Agreement on Comprehension Economic Cooperation melalui Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 2004.

  47

  3. Perjanjian Kopi Internasional (International Coffee Agreement), perjanjian internasional ini adalah perjanjian multilateral dan disahkan oleh Indonesia dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2002.

48 Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun

  2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya

  Pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1 yang berakibat hukum pada pengesahan dengan bentuk Keputusan Presiden tidak lagi dipergunakan tetapi menggunakan Perpres atau Peraturan Presiden. Contoh Peraturan Presiden yang mengesahkan Perjanjian Internasional adalah:

  1. ASEAN dengan Korea Selatan untuk mengadakan Free Trade Area yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor

  11 Tahun 2007.

  2. ASEAN dengan Australia/New Zealand untuk mengadakan Free Trade Area yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor

  26 Tahun 2011.

  49

  3. International Convention Maritime Search and Rescue, 1979 with

  Annex and 1998 Amendements to International Convention on 47 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h. 102-103. 48 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2002, (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor

  Maritime Search and Rescue tentang Kovensi Internasional yang

  memuat mengenai pencarian dan pertolongan di bidang maritim yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2012.

  Contoh-contoh yang telah disebutkan diatas mencerminkan bahwa terdapat ciri-ciri baru dari pengesahan perjanjian internasional berbentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yaitu mayoritas perjanjian internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden merupakan perjanjian billateral. Beda halnya dengan undang-undang yang notabene meratifikasi atau mengesahkan perjanjian internasioal yang sifatnya multirateral.

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

0 5 17

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK/2006 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI

0 4 21

KAJIAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK/2006 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI

0 2 21

KAJIAN YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI DALAM MENGADILI PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA

0 7 17

THE AUTHORITY OF THE CONSTITUTIONAL COURT IN EXAMINING ON RATIFIED LAW OF INTERNATIONAL TREATY KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

0 12 71

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012

0 14 59

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM KONSTITUSI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XI/2013

0 11 82

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69PUUXIII2015 TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP TUJUAN PERKAWINAN

0 0 27

BAB II JENIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 2.1. Konsep Pengujian Undang-Undang - PERUMUSAN NORMA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 12