KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012

(1)

ABSTRAK

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012

Oleh

Rossy Mario Endhy Ristianto

Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan Dewan Perwakilan Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum melalui pendekatan normatif dan empiris. Metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah; a) bahwa dari putusan Mahkamah Konstitusi, dinyatakan secara tegas kewenangan konstitusional anggota DPD adalah wakil daerah yang hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan daerahnya. Sehingga DPD mempunyai kewenangan dan posisi yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU dan oleh karenanya DPD juga mempunyai kewenangan dan posisi yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU. b) (1)Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah;(2)Kewenangan DPD ikut membahas RUU meiputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai dengan pembahasan tingkat II. dalam rapat Paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan;(c) Kewenangan DPD ikut menyusun Prolegnas. Kata Kunci: Kewenangan, DPD, Mahkamah Konstitusi


(2)

ABSTRACT

THE AUTHORITY OF REGIONAL REPRESENTATIVE COUNCIL AFTER CONSTITUTIONAL COURT DECISION NO.

92/PUU-X/2012 By

Rossy Mario Endhy Ristianto

This research aims to determine the authority of Regional Representative Council (DPD) after Constitutional Court (MK) decision No. 92/PUU-X/2012. Research method used is normative empirical method, whis is, by conducting the literature research, and interview. The conclusion of this research are: a)DPD is the political area representative that will only represent the need of area represented by them . DPD has the authority and position with president and DPR equally toward propose the RUU, so DPD also has same authority and position with president and DPR toward the RUU discussion. b) (1)DPD authority in proposing RUU is positioned equally with the government and DPR; (2)DPD has authority to get involved in discussing RUU include all second process in the DPR Paripurna meeting before the final decision; c)DPD has authority to arrange the National Legislation Program (Prolegnas).


(3)

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012

Oleh

Rossy Mario Endhy Ristianto

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Kotawaringin Kecamatan Adiluwih, Kabupaten Pringsewu pada tanggal 21 Oktober 1989. Putera bungsu dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Bapak Yohanes Pembaptis Tugino, dan Ibu Theresia Sukini. Mengenyam pendidikan awal di Taman Kanak-kanak (TK) Tri Bhakti Totokarto, Pringsewu pada tahun 1993. Tahun 1995 melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 7 Bandung Baru, Pringsewu dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Fransiskus Tanjung Karang, Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2004.

Tahun 2007 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Xaverius Pahoman, Bandar Lampung. Penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Lampung Fakultas Hukum melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007.

Selama masa studi, Penulis telah melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) pada tahun 2010 di Sekretariat Daerah Propinsi Lampung. Selama menjalani pendidikan, Penulis aktif di beberapa organisasi baik internal maupun eksternal kampus. Di organisasi internal


(8)

kampus, pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai Anggota Korps Muda Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung. Pada tahun yang sama, penulis menjadi Staf pada Departemen Luar Negeri BEM Universitas Lampung.

Tahun 2008 penulis terdaftar sebagai anggota organisasi ektra kampus, yaitu Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Bandar Lampung St. Ignatius de Loyola. Pada tahun 2009 penulis diberikan mandat sebagai Ketua Presidium PMKRI Cabang Bandar Lampung St. Ignatius de Loyola Periode 2009/2010.

Selain aktif di organisasi kemahasiswaan, penulis juga terlibat aktif di komunitas bisnis Lampung Publisher Community (LPC) yang saat ini berganti nama menjadi Komunitas Blogger Lampung (KBL).


(9)

Sebuah karya sederhana ini kupersembahkan untuk:

Ayahanda Yohannes Pembabtis Tugino dan Ibunda Theresia Sukini, yang senantiasa mendoakan dan mendukung setiap langkah yang kuambil.


(10)

Motto

Larut tapi tidak hanyut.

Pater Beek

Selesaikan apa yang sudah dimulai!! Rossy Mario Endhy Ristianto

Being a part of something special, will make you special.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi yang berjudul

“KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012” bukanlah semata-mata hasil jerih payah sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materiil sehingga Penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan ketulusan hati Penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Yusdiyanto, S.H., M.H., sebagai dosen pembimbing I dan juga sebagai teman diskusi yang telah memberikan bimbingan serta menyumbangkan waktu dan pikiran selama proses mengerjakan skripsi ini;


(12)

2. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., sebagai dosen pembimbing II yang dengan sabar dan perhatian memberikan bimbingan, masukan dan motivasi selama proses mengerjakan skripsi ini;

3. Ibu Dr. Yusnani Hasyim Zum, S.H., M.Hum., sebagai dosen Pembahas I yang selalu tegas memberikan kritik dan masukan yang berharga demi layaknya skripsi ini sehingga dapat dibaca dan digunakan bagi orang-orang yang membutuhkan;

4. Bapak Iwan Satriawan, S.H., M.H., sebagai dosen Pembahas II yang senantiasa dengan sabar memberikan masukan dan motivasi selama proses Penulisan skripsi ini;

5. Kedua Orang Tua Yohanes Pembaptis Tugino dan Theresia Sukini, yang dengan kasih dan sayang yang tak terhingga, selalu mendoakan dan memberikan dukungan kepada Penulis. “Segala bentuk apapun tidak akan pernah cukup untuk membalas pengorbanan, serta kasih dan sayang yang Bapak dan Ibu berikan”. “Terimakasih untuk semuanya, dan mohon maaf karena Bapak dan Ibu harus menunggu terlalu lama untuk melihat Penulis meraih gelar Sarjana Hukum”.; 6. Mas dan Mbak Agustinus Suwandi, Caecilia Sutatik, Yusup Susanto,

Gregorius David, Rita Sukesi, Agatha Sukemi, Ambrocius Sumarwan, Maria Sutiwi, Elisabeth Susy Noventy, yang selalu memberikan dukungan dan doa sehingga Penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih yang tak terhingga Mbak Tiwi untuk semua kasih dan pengorbananmu, hingga Penulis bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, mohon maaf jika selama ini sudah merepotkan”.


(13)

Terimakasih Yayuk Tatik yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk Penulis”. “Terimakasih Mbak Uci yang selalu ada untuk memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis, dan menjadi sahabat terbaik bagi Penulis”.;

7. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. sebagai Dekan Fakultas Hukum, Universitas lampung;

8. Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D., sebagai Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Lampung yang telah banyak memberikan kritik dan saran, dan mengajarkan kepada Penulis mengenai sopan santun dan kedisiplinan;

9. Bapak Muhtadi, S.H., M.H., sebagai Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Lampung yang telah banyak memberikan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan Penulis;

10.Ibu dan Bapak Dosen bagian Hukum Tata Negara, yaitu Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum., Ibu Yulia Neta, S.H., M.Si., M.H., Pak Dr. Budiyono, S.H., M.H., Pak Zulkarnain Ridwan, S.H., M.H., dan Pak Ahmad Saleh, S.H., M.H., yang telah menyumbangkan ilmu-ilmu hukum yang sangat bermanfaat dan ikut membahas skripsi Penulis dalam seminar I dan seminar II dengan masukan-masukan yang membangun sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

11.Ibu Yennie Agustin MR, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Akademik yang telah memberikan waktu luang kepada Penulis untuk berkonsultasi mengenai matakuliah;


(14)

12.Pak FX. Sumarja, S.H., M.H., sebagai dosen Fakultas Hukum, Universitas Lampung yang sudah banyak membantu Penulis selama menempuh studi;

13.Pak Henni Siswanto, S.H., M.H., sebagai dosen Fakultas Hukum, Universtias Lampung dan Penanggung Jawab matakuliah PKLH yang telah memberikan bantuan sehingga Penulis dapat melaksanakan matakuliah PKLH dengan baik;

14.Bapak dan Ibu Karyawan di Fakultas Hukum, Universitas Lampung yang telah melancarkan segala keperluan Penulis dalam keadministrasian dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan; 15.Mas Marji, Mas Jarwo, dan Mas Pendi yang selalu memberikan

dukungan dan motivasi, serta menjadi teman diskusi selama Penulis mengerjakan skripsi;

16.Pak Ir. Anang Prihantoro, sebagai anggota DPD RI Perwakilan Provinsi Lampung yang telah bersedia menjadi narasumber dalam Penulisan skripsi ini;

17.Pak I Wayan Sudiarta, S.H., sebagai anggota DPD RI Perwakilan Provinsi Bali yang telah bersedia menjadi narasumber dalam Penulisan skripsi ini;

18.Pak Mayjen (Purn) Ign. Mulyono, sebagai anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat yang telah bersedia menjadi narasumber dalam Penulisan skripsi ini;

19.Christina Aprina Rahayu Sulistyaningsih, A.Md. yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan perhatian kepada Penulis


(15)

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. “Terimakasih untuk semuanya, mohon maaf karena membuat kamu menunggu terlalu lama.”;

20.Bondan Wicaksono, A.Md. yang telah membantu Penulis dalam pengumpulan data sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

21.Seluruh Sahabat dan Saudara di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cab. B. Lampung St. Ignatius de Loyola yaitu Risma, Asido, Albert, Jony, Vincent, Cornel, Falent, Owe, Taim, Rizal, Agus, Ajie, Lintong, Willy, Marcella, Shinta, Hanny, Yuyun, Bihel, Barli, Mario, Juna, Probo, Alponso, Brento, Marya L, Maria S, Yona, Krismi, Lusita, Via, Yani, dan semua saudaraku yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah

berproses bersama sebagai sebuah keluarga. “Pro Ecclesia et Patria”;

22.Teman-teman HTN angkatan 2007, Sharma, Eko, Jhon, Muchtar, Sigit, Adi, Yessy, Heri, Temi, Arya, Efrial, terimakasih atas perkenalan dengan orang-orang hebat seperti kalian;

23.Teman-teman Komunitas Blogger Lampung (KBL), Bambang, Made, Heru, Wawan, Haris, Apri, Anwar, Indra, Ojel, Ipul, Iis, terimakasih untuk selalu mengingatkan Penulis agar menyelesaikan studi;

24.Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu Penulis selama kuliah dan dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(16)

Akhir kata Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 5 September 2014 Penulis,


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 10

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia ... 12

2.2. Pengertian Dewan Perwakilan Daerah ... 17

2.3. Kewenangan dan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah ... 19

2.4. Konsep Dewan Perwakilan Daerah setelah putusan Mahkamah Konstitusi ... 26

III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah ... 33

3.2. Tipe Penelitian ... 33

3.3. Data dan Sumber Data ... 34

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.5. Teknik Pengolahan Data ... 35


(18)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan MK

Nomor 92/PUU-2012 ... 37 4.2. Upaya Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah

Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 ... 55 4.3. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Perubahan

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 ... 62

V PENUTUP

Simpulan ... 65 Saran ... 66


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk amandemen terhadap konstitusi (UUD 1945) dari amandemen pertama sampai amandemen keempat. Hal substansial yang menjadi fokus perubahan tersebut mencakup empat gagasan fundamental, yaitu

Pertama, anutan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan. Kedua, diterapkannya kebijakan nasional yang menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Ketiga, gagasan pemilihan presiden secara langsung,

dan Keempat, gagasan pembentukan DPD.

Implikasi lain bergulirnya reformasi dan amandemen UUD 1945 juga berkaitan dengan lahirnya lembaga-lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Munculnya lembaga-lembaga baru tersebut selalu membawa pertanyaan seputar kewenangannya baik dilihat dari aspek filosofis, sosiologis maupun yuridis. Apa yang menjadi dasar diperlukannya lembaga tersebut atau gagasan apa yang menghendaki dilahirkannya lembaga baru tersebut. Dalam konteks sosiologis, pertanyaan yang sering muncul tentunya berkaitan dengan apa tujuan dan


(20)

2

manfaatnya bagi masyarakat. Pertanyaan ini cukup relevan ditujukan terhadap keberadaan DPD. Kelahiran lembaga ini tentu saja semakin mewarnai ide dan gagasan ketatanegaraan Indonesia yang memang semakin bergema sejak era reformasi dimulai.

Persoalan lain yang muncul berkaitan dengan eksistensi lembaga ini adalah kurang dikenalnya lembaga ini oleh masyarakat luas. Hal tersebut disebabkan karena belum maksimalnya DPD dalam mengakomodasikan aspirasi daerah sebagai akibat monopoli kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh satu kamar, yaitu DPR. Hal yang dilematis tersebut terlihat misalnya dalam pasal 22 D ayat (2) UUD 1945, dimana disebutkan bahwa fungsi DPD hanya member peran yang efektif dalam melaksanakan pengawasan dan membari saran kepada lembaga legislatif. Kurang maksimalnya peran DPD di Indonesia membuat lembaga ini terkesan mandul dan tidak memiliki taring.

Kelahiran DPD pada dasarnya didasari oleh semua pihak baik pemerintah pusat maupun daerah untuk memperbaiki hubungan kerja dan penyaluran kepentingan antara dua level pemerintahan tersebut. Dalam hal ini, DPD juga diharapkan hadir sebagai lembaga yang mampu membantu mengatasi kesenjangan antara pusat dan daerah sesuai semangat otonomi daerah yang menjamin keadilan, demokrasi, jaminan keutuhan integritas wilayah negara.

Ide pembentukan DPD dalam kerangka sistem legislatif Indonesia memang tidak terlepas dari ide pembentukan struktur dua kamar parlemen atau bikameral. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan dengan sistem double check yang memungkinkan representasi seluruh rakyat


(21)

3

secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. Menurut Jimly Asshiddiqie, sesungguhnya kewenangan DPR sebagai representasi politik (political representation) dengan kewenangan DPD yang mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation) memiliki kewenangan setara, yakni sebagai keanggotaan perwakilan. 1 Namun demikian pada kenyataannya, ide dasar pembentukan tetrsebut tidak terealisasi sebab UUD 1945 hasil Amandemen menyebutkan bahwa DPD tidak mempunyai kewenangan membuat undang-undang. DPD hanya mempunyai kewenangan pengawasan khusus dalam bidang otonomi daerah. Oleh karena itu, kewenangan DPD dalam hal ini hanya bersifat penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang legislasi, atau disebut sebagai co-legislator. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan kewenangan tersebut DPD dapat lebih berkonsentrasi dibidang pengawasan, sehingga keberadaannya dapat dirasakan lebih efektif oleh masyarakat di daerah-daerah.

Legitimasi konstitusional keberadaan DPD sebenarnya sudah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Dengan demikian legitimasi konstitusional atas keberadaan DPD sangatlah kuat, sebab keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya, dalam pasal 22 D juga ditegaskan, DPD juga memiliki hak untuk mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, pemekaran daerah, penggabungan daerah, sumber daya daerah dan keuangan daerah. Dengan demikian, legitimasi konstitusional DPD sebagai

1

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Kosolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hlm. 138.


(22)

4

lembaga yang mewakili kepentingan daerah juga berada dalam posisi yang setara dengan DPR dalam proses-proses legislasi perundang-undangan.

Perubahan UUD 1945 yang mendasar tentu mengakibatkan perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan negara, karena juga karena perubahan paradigm hukum dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip yang mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara menurut Jimly Asshiddiqie, diantaranya adalah:

1. Supremasi Konstitusi

Salah satu perubahan mendasar UUD 1945 adalah perubahan Pasal 1 ayat (2)

yang berbunyi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.” Ketentuan ini membawa implikasi bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya dilakukan oleh MPR, tetapi dilakukan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara di atas lembaga-lembaga tinggi negara. Pernyataan Pasal 1 ayat (2) di atas dimaksudkan awal kedaulatan rakyat dilakukan oleh seluruh organ konstitusional dengan masing-masing fungsi dan kewenangannya berdasarkan UUD 1945.

2. Sistem Presidensial

Sebelum adanya perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut tidak sepenuhnya sistem presidensial. Jika dilihat hubungan antara DPR sebagai parlemen dengan Presiden yang sejajar (neben), serta adanya masa jabatan Presiden yang ditentukan (fix term) memang menunjukan ciri sistem presidensial. Namun jika dilihat dari keberadaan MPR yang memilih, memberikan mandat, dan dapat memberhentikan Presiden, maka sistem tersebut memiliki ciri-ciri sistem parlementer. Presiden adalah mandataris MPR, sebagai konsekuensinya Presiden bertanggungjawab kepada MPR dan MPR dapat memberhentikan Presiden.

Salah satu kesepakatan dalam Sidang Tahunan 1999, adalah sepakat untuk mempertahankan sistem presidensial. Kerena itu untuk menyesuaikan dengan sistem Presidensial, perubahan mendasar pertama adalah perubahan kewenangan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara. Perubahan selanjutnya adalah menyeimbangkan legitimasi dan kewenangan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Hal ini dilakukan dengan pengaturan


(23)

5

mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.

3. Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances

Sebelum perubahan UUD 1945, sistem kelembagaan yang dianut bukan pemisahan kekuasaan (separation of power) tetapi sering disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Presiden tidak hanya memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (eksekutif) tetapi juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang atau kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR sebagai co-legislatif-nya. Sedangkan masalah kehakiman (yudikatif) dalam UUD 1945 sebelum perubahan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman menurut undang-undang.2

Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22 C dan Pasal 22 D. sebagai tindak lanjut dari Pasal 22 C dan Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Namun adanya keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh DPD di dalam Pasal 22 D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, dimana pertama, Pasal 22 D ayat (1) DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undanng yang berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaann sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta, yang berkaitan dengan perimbangan

2


(24)

6

keuangan pusat dan daerah. Kedua, Pasal 22 D ayat (2) DPD dapat ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaann sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta, yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta, memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Ketiga, Pasal 22 D ayat (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaann sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan dan belanja negara, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Berdasarkan hal tersebut di atas menjelaskan bahwa ada ketidaksamaan kewenangan DPD dan DPR dalam sistem bikameral, maka perlu adanya peningkatan fungsi kewenangan DPD setidaknya karena tiga alasan, yaitu: (1) pembenahan sistem ketatanegaraan, (2) akomodasi terhadap aspirasi daerah, (3) menghidupkan mekanisme check and balances. Karena saat ini DPR terkesan gamang dalam mengakui eksistensi DPD dalam pengajuan undang-undang misalnya, DPD tidak diberi perlakuan khusus, namun tetap harus melalui prosedur prioritas Proglam Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal ini menjadikan kewenangan DPD tidak ada bedanya dengan lembaga swadaya masyarakat yang juga melalui prosedur yang sama ketika mengajukan Rancangan Undang-Undang.


(25)

7

Kehadiran DPD sebagai lembaga baru hasil perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) merupakan konsekuensi dari perubahan Pasal 1 ayat (2) sebagai upaya untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat. Hal ini terjadi karena paham kedaulatan rakyat selama ini melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (selajutnya disebut MPR) sebagai pemegang kedaulatan rakyat telah disalahgunakan. Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 inipun dengan sendirinya menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya yang melaksanakan kedaulatan

rakyat. Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Kedaulatan

adalah di tangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”. Rumusan tersebut di atas dimaksudkan bahwa kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diserahkan kepada badan/ lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 itu serta yang langsung dilaksanakan oleh rakyat. Dengan kata lain, pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak diserahkan kepada badan/ lembaga manapun, tetapi langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu. Implementasi dari prinsip kedaulatan rakyat di atas, maka dilakukan dalam bentuk pemilihan langsung bagi anggota DPD.

DPD dalam kurun waktu dari Oktober 2004 sampai dengan Maret 2013 telah mengajukan 39 Rancangan Undang-Undang (RUU), 184 Pandangan dan Pendapat, 60 Pertimbangan, dan 110 Hasil Pengawasan. Dari seluruh RUU, Pandangan dan Pendapat, dan Pertimbangan tersebut telah disampaikan ke DPR tetapi tidak ada tindak lanjutnya sebagaimana amanat UUD 1945 untuk melibatkan DPD dalam proses pengajuan, pembahasan, dan pertimbangan RUU.


(26)

8

Dalam rangka mendudukkan fungsi dan kewenangan DPD sesuai dengan UUD 1945, pada tanggal 14 September 2012 DPD telah menyampaikan permohonan pengujian undang-undang atau disebut uji materi atas Undang-Undang Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 kepada Mahkamah Konstitusi yang kemudian terdaftar dalam Nomor Perkara 92/PUU-X/2012. Permohonan uji materi dimaksud dilakukan untuk memperoleh penafsiran yang lebih tepat dan pasti bagi kepentingan bersama dalam sistem legislasi antara DPR, DPD, dan Presiden.

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 maka UU MD3 dan UU P3 telah mereduksi kewenangan legislasi DPD menjadi setara dengan kewenangan legislasi Anggota, Komisi, dan Gabungan Komisi DPR. Ketentuan dalam Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UU P3 mengatur bahwa RUU yang diajukan oleh DPD, oleh DPR dilakukan kegiatan harmonisasi, pembulattan, dan pemantapan konsepsi terlebih dahulu. Dengan ketentuan ini maka RUU dari DPD yang jelas ditentukan dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1) UU 1945, kewenangannya direduksi menurut Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UUP3. UU 1945 dalam hal ini telah mendudukan RUU dari DPD seperti halnya RUU dari Presiden [Pasal 20 ayat (1) UU 1945]. Ketentuan Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU MD3, Pasal 48 ayat (2) dan (4) UUP3, jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 D ayat (1), karena telah memperlakukan RUU yang diajukan DPD menjadi sama seperti usul RUU dari Anggota DPR atau alat kelengkapan DPR yang masih


(27)

9

harus “diharmonisasi, dibulatkan, dan dimantapkan” oleh Badan Legislasi yang

notabene merupakan bagian dari institusi DPR. Kondisi ini diakibatkan karena, para penyusun UU MD3 dan UU P3 mempersepsikan kewenangan mengajukan RUU dari DPD sama dengan kewenangan usul RUU dari anggota DPR (Pasal 21 UUD 1945), sehingga secara kelembagaan, kewenangan DPD hanya disetarakan dengan alat perlengkapan DPR yang difungsikan sebagai badan pertimbangan dalam pembentukan Undang-Undang.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang kemudian disusun dalam rangka

penulisan skripsi dengan judul “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012”.

1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1.2.1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang jadi permasalahan yaitu: a. Bagaimana kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012?

b. Bagaimana upaya penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012?

1.2.2. Ruang Lingkup Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian hukum tata Negara, khususnya mengenai:


(28)

10

a. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

b. Upaya Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis upaya penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara Teoritis

a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang Hukum Tata Negara mengenai upaya penguatan kewenangan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

b) Dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan acuan sesuai dengan ilmu yang dimiliki guna mengungkapkan suatu permasalahan secara objektif melalui metode ilmiah.


(29)

11

b. Kegunaan Praktis

1) Sebagai penambah wawasan berfikir penulis tentang hukum tata Negara tentang kewenangan Dewan Perwakilan Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

2) Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(30)

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selain itu, berdasarkan Pancasila maka dianut pula prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sehingga untuk melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejewantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangakan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.3

Amandemen UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 tahap pada periode 1999-2002. Perubahan ini akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Sehingga pada era reformasi, terjadi masa transisi menuju Indonesia baru dengan sistem ketatanegaraan yang sama sekali berubah secara fundamental dari sistem ketatanegaraan sebelumnya berdasarkan UUD 1945 yang asali. Salah satu gagasan fundamental yang sudah diadopsi yaitu anutan prinsip pemisahan

3

Penjelasan Umum Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


(31)

13

kekuasaan (separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) yang berlaku sebelumnya dalam sistematika UUD 1945. Jika sebelumnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan berada di tangan Presiden dan dilakukan dengan persetujuan DPR, maka dalam perubahan pertama dan kedua UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk undang-undang (UU) itu ditegaskan berada ditangan DPR, sedangkan Presiden menurut Pasal 5 ayat (1) yang baru ditentukan hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR. Perubahan ini menegaskan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, dengan konsekuensi berubah pula pengertian tentang anutan prinsip pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan seperti dipahami selama ini.4

Latar Belakang Amandemen UUD 1945:

1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berkaitan pada tidak terjadinya

checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.

2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yaitu kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi)

4

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm,. 153.


(32)

14

dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undang-undang.

3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum diamandemen).

4. UUD 1945 terlalu banyak memberii kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam undang-undang.5

Tuntutan reformasi melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dan sistem ketata negaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut terjadi pada kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD). Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D. Sebagai tindaklanjut dari Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

5

M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.77—78.


(33)

15

Setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan

fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memilik kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar. 6 Sebelum diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki 6 (enam) kewenangan yaitu:

(a) menetapkan Undang-Undang Dasar dan Mengubah Undang-Undang Dasar, (b) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,

(c) memilih Presiden dan Wakil Presiden,

(d) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden, (e) memberihentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

6

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14—18 Juli 2003, hlm.15


(34)

16

Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR berubah menjadi:

(a) menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD, (b) melantik Presiden dan Wakil Presiden,

(c) memberihentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden,

(d) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana messtinya.

Ketiga, diadopsinya prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayayt (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945. Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem

MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga Negara di bawahnya. Keempat, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem presidensial dalam UUD 1945. 7 Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggung jawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi

7


(35)

17

juga langsung kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulattan yang ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. 8 Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara , dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama kewenangannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

2.2. Pengertian Dewan Perwakilan Daerah

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, selanjutnya disingkat DPD, adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9

DPD adalah lembaga perwakilan daerah. Sesuai dengan namanya ia mewakili kepentingan daerah, yaitu daerah asal provinsi pemilihan anggotanya. Namun, pada hakikatnya, yang dimaksud dengan daerah itu bukanlah pemerintah daerah, melainkan rakyat pemilih dari daerah provinsi yang bersangkutan. Artinya, DPD

8

Ibid, hlm. 16—17 9

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dewan Perwakilan Daerah


(36)

18

dan DPR pada hakikatnya sama-sama merupakan lembaga perwakilan rakyat, hanya bedanya, anggota DPR dipilih melalui peranan partai politik, sedangkan anggota DPD dipilih tanpa melibatkan peranan partai politik.10

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya. Dewan Perwakilan Daerah adalah salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kewenangan sejajar dengan lembaga lainnya. Jadi walaupun Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, namun lembaga ini mempunyai kewenangan yang sejajar dengan lembaga lain yang ada sebelumnya seperti MPR, DPR, Presiden, MA dan lain-lain. Reformasi telah membawa beberapa perubahan pada sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang ditandai dengan perubahan UUD 1945 yang didalamnya juga mengatur pembentukan lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Mengenai Dewan Perwakilan Daerah, yang menjadi gagasan dasar pembentukannya adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang berkaitan dengan daerah. Ketentuan BAB VIIA Pasal 22C dan 22D dalam UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan Indonesia antara lain dimaksudkan untuk:

(1) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pemperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah;

10


(37)

19

(2) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah;

(3) Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.

Dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah dilandasi untuk menciptakan checks and balances di tubuh parlemen itu sendiri, agar produk perundang-undangan yang dibuat lebih bersifat aspiratif. Prinsip checks and balances dimaksudkan supaya antara lembaga satu dengan lainnya ada saling kontrol dan adanya keseimbangan kewenangan dan supaya tidak ada dominasi kekuasaan dari satu lembaga yang lain. 11

2.3. Kewenangan Dewan Perwakilan daerah

Berbicara mengenai kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan, hal ini tidak mungkin dilepaskan dari konsepsi demokrasi. Dalam konsepsi demokrasi terkandung asas dasar, yakni kedaulatan rakyat menentukan jalannya pemerintahan. Perwujudan asas ini dalam kehidupan pemerintah sehari-hari tergambar dari keikutsertaan rakyat memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintah. DPD selaku lembaga perwakilan daerah yang memiliki karakter keterwakilan berdasarkan daerah-daerah pada hakikatnya memiliki karakter yang lebih luas dari DPR, karena dimensi keterwakilannya berdasarkan seluruh rakyat yang terdapat pada daerah-daerah tersebut. Untuk itu, pengaturan kewenangan DPD yang merupakan lembaga perwakilan daerah dan sebagai sebuah lembaga negara,

11

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 106.


(38)

20

sebagai perwujudan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, hendaknya merupakan dasar perumusan kewenangan DPD.

Kewenangan UUD 1945 mengatur keberadaan lembaga DPD di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia antara lain dimaksudkan guna memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperkokoh persatuan kebangsaan seluruh wilayah nusantara, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah, serta serasi dan seimbang. Keberadaan DPD diharapkan dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah, serta memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Selain itu keberadaan DPD diharapkan dapat memperkuat sistem parlemen yang pada gilirannya dapat memperkuat demokrasi.12

Pemberian ruang partisipasi daerah dalam penyelenggaraan negara secara nasional untuk bersama-sama menentukan kebijakan nasional tidak memiliki makna ketika jembatan penghubung antara daerah dan pusat, terutama yang berpusat di parlemen hanya sebagai hiasan pelembagaan saja. Alasannya posisi DPD sebagai

subordinated DPR, sehingga menjadikan lembaga ini tidak dapat

memperjuangkan kepentingan dari daerah yang mereka wakili. Secara politik, DPD sebagai lembaga tinggi belum mampu menunjukkan taring politiknya untuk lebih menunjukkan eksistensi dan kinerja yang efektif dalam sistem parlemen di Indonesia. Sebab, peran DPD dalam menjalankan fungsi legislasi yang dimiliki, tidak diikuti dengan pemberian kekuasaan dan kewenangan yang memadai.

12

Sekretariat Jendral DPD RI, Hasil-hasil Pelaksanaan Tugas Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 111.


(39)

21

Adapun diketahui kekuasaan dan kewenangan yang diberikan kepada DPD dalam membuat UU terbatas, itupun tidak ada jaminan apakah disetujui oleh DPR. Sedangkan untuk masalah lainnya, dalam hal perimbangan dan pengawasan, juga tanpa ada jaminan akan diterima oleh DPR. Dalam keadaan seperti ini, akan sulit bagi DPD untuk memainkan fungsi sebagai parlemen yang kedua, karena memang kewenangannya terbatas.13

Mengenai kewenangan DPD telah di tentukan dalam Pasal 22D UUD 1945 yang menetapkan:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas Rancangan Undang-Undang APBN dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya

13

Efriza dan Syafuan Rosi, Parlemen Indonesia Geliat Volksraad hingga DPD Menembus Lorong


(40)

22

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syaratnya dan tata caranya diatur dalam udang-undang.

Selain tugas pokok yang melekat padanya, DPD juga memiliki kewenangan

lainnya yang ditetapkan dalam Pasal 23E ayat (2) yaitu; “Hasil pemeriksaan

keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan

kewenangannya.”

Dengan demikian DPD juga menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan kewenangannya. Kemudian

dalam Pasal 23E ayat (1) menyebutkan; “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan

Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.” Pasal ini menegaskan

bahwa DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK.

Dasar normatif pengatur kewenangan konstitusioanal DPD diatur dalam Pasal 22D ayat (1), ayat (2), ayat (3) UUD 1945. Adapun Pasal 22D ayat (1), ayat (2), ayat (3) menyebutkan bahwa:

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,


(41)

23

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

Dari dasar pengaturan kewenangan konstitusional di atas, DPD memiliki 3 (tiga) fungsi, fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan. Ketiga fungsi DPD ini bersifat terbatas, karena pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut terbatas pada bidang-bidang tertentu saja yang menjadi kewenangan DPD.


(42)

24

Sebagai tindak lanjut dari pengaturan DPD dalam konstitusi maka Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 mengatur juga mengenai fungsi, tugas dan wewenang DPD. Dalam Pasal 223 Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 menetapkan fungsi DPD sebagai berikut:

(1) DPD mempunyai fungsi:

a. Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;

b. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; c. Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang

tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan

d. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. (2) Fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka


(43)

25

Kemudian Pasal 224 Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 menetapkan DPD memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:

(1) DPD mempunyai tugas dan wewenang:

a. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;

b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan


(44)

26

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari BPK sebagai

bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;

h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan

i. ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan pemerintah daerah, DPRD dan unsur masyarakat di daerah pemilihannya.

2.4. Konsep Dewan Perwakilan daerah Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012

Pasca putusan MK telah terjadi perubahan terhadap fungsi legislasi DPD. Hal ini dapat diuraikan terhadap kaitannya dengan lima pokok persoalannya yaitu sebagai berikut:

1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR. Proses selama ini sebelum putusan MK, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan


(45)

27

Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR. Hal ini dianggap mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam pasal 22D Ayat (1) UUD 1945. Dalam Putusannya, Makhkamah berpendapat bahwa14:

Kewenangan DPD yang “dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah” bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional

Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden

berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan

Rakyat”. Dengan demikian, DPD mempunyai posisi dan kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehingga, kewenangan DPD dibidang legislasi tidak lagi sebagai subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan Presiden.

14


(46)

28

2. Selanjutnya, DPD berhak dan/atau berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan. Disebutkan dalam putusan MK terkait pendapat Mahkamah, bahwa:15

Kewenangan DPD untuk membahas RUU telah diatur dengan tegas dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,

pendidikan, dan agama”. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah. Penggunaan frasa “ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (2)

UUD 1945 karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 telah menentukan dengan tegas bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan

persetujuan bersama. Penggunaan frasa “ikut membahas” adalah wajar

karena Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 disahkan pada Perubahan Pertama UUD

15Ibid,


(47)

29

1945 tahun 1999, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 disahkan pada

Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Hal itu berarti bahwa, “ikut membahas” harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan

dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, bersama DPR dan Presiden. Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

Menurut Mahkamah Konstitusi, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberi pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberi penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan


(48)

30

oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi. Sehingga dalam hal ini, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR.

3. Kewenangan DPD tetap berhenti pada persetujuan atau pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD 1945 telah membatasi ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalah kehendak konstitusi. Dalam putusan MK disebutkan bahwa 16 :

Bahwa Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengandung dua kewenangan, yaitu kewenangan untuk membahas dan kewenangan untuk menyetujui bersama antara DPR dan Presiden, sedangkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi, DPD tidak ikut memberi persetujuan tehadap RUU untuk menjadi Undang-Undang;

4. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun program legislasi nasional (prolegnas). Dalam putusan MK disebutkan bahwa 17: Penyusunan Prolegnas sebagai instrument perencana program pembentukan Undnag-Undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011, perencanaan penyusunan Undng-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program

16

Ibid, hlm. 248 17Ibid,


(49)

31

pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam prolegnas tidak menjadi prioritas untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan dibahas.

5. Kewenangan DPD untuk memberikan pertimbangan dalam hal RUU terkait APBN, pajak, pendidikan dan agama oleh DPD tetap tidak bisa dimaknai sebagai kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut pula. Dalam putusan MK disebutkan bahwa 18:

Makna “memberikan pertimbangan” sebagaimana yang dimaksud 22D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak sama dengan bobot kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU. Artinya, DPD memberikan pertimbangan tanpa ikut serta dalam pembahasan dan merupakan kewenangan DPR dan Presiden untuk menyetujui atau tidak menyetujui pertimbangan DPD sebagian atau seluruhnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 memberikan perubahan pola legislasi DPD. Dalam putusannya, dapat dilihat kewenangan DPD di bidang legislasi tidak lagi

subordinat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melainkan setara dengan DPR dan

Presiden. Selanjutnya, DPD berhak dan/atau berwenang untuk mengusulkan dan membahas RUU tertentu sejak awal hingga akhir tahapan, namun kewenangan

18Ibid,


(50)

32

DPD tetap berhenti pada persetujuan pengesahan RUU menjadi Undang-Undang (UU). Hal ini dikarenakan secara eksplisit UUD 1945 telah membatasi ketentuan mengenai hal tersebut. Sehingga ketentuan limitatif tersebut pada dasarnya adalah kehendak konstitusi. MK juga memutuskan bahwa DPD ikut menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas).


(51)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Masalah

Pendakatan masalah yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Pendekatan normatif dengan menggunakan data sekunder, yaitu untuk menganalisis kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU-X/2012 dengan menggunakan peraturan perundang-undangan, teori hukum, dan pendapat para ahli.

2. Pendekatan Empiris, yaitu pendekatan yang dilakukan langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui wawancara sehubungan dengan kewenangan DPD pasca putusan MK. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian pada Kantor DPD Provinsi Lampung.

3.2. Tipe Penelitian

Tipe dan jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan jenis penelitian empiris dan normatif. Empiris yaitu dengan menemukan fakta dilapangan sedangkan normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau


(52)

34

data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.19

3.3. Data dan Sumber Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.

1. Data Primer antara lain:

a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

2. Data Sekunder berupa bahan hukum yang berkaitan erat dan menjelaskan permasalahan misalnya, doktrin atau pendapat ahli Hukum Tata Negara yang terdapat dalam buku, jurnal dan lain sebagainya.

19

Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,hal.13-14.


(53)

35

3. Bahan Hukum Tersier, seperti kamus-kamus yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

3.4.1. Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip informasi yang berkaitan dengan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.20

3.4.2. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

3.5. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Seleksi Data

20


(54)

36

Seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mancakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

2. Klasifikasi Data

Klasifikasi data yang telah diperoleh disusun menurut klasifikasi yang telah ditentukan.

3. Penyusunan Data

Penyusunan data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang sistematis dan logis serta berdasarkan kerangka fikir.

3.6. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.21 Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal-hal itu yang sifatnya lebih khusus.

21


(55)

65

V. PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 bahwa dari putusan Mahkamah Konstitusi, dinyatakan secara tegas kewenangan konstitusional anggota DPD adalah wakil daerah yang hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya. Sehingga DPD mempunyai kewenangan dan posisi yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD dan oleh karenanya DPD juga mempunyai kewenangan dan posisi yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD.

2. Upaya penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 antara lain meliputi:

1) Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah;


(56)

66

2) Kewenangan DPD ikut membahas RUU meiputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai dengan pembahasan tingkat II. dalam rapat Paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

3) Kewenangan DPD ikut menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

3. Perubahan UU MD3 dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014, ternyata belum mengakomodasi kewenangan dan fungsi DPD sebagaimana yang diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

5.2. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah :

1. Perlu adanya perubahan dan perbaikan segera mungkin UUD 1945 yang menempatkan Dewan Perwakilan Daerah setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka menjalankan fungsi legislasi, sehingga tercipta prinsip check and balances di lembaga perwakilan rakyat.

2. Perlu adanya perubahan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, dimana fungsi dan kewenangan DPD belum diakomodasi sebagaimana


(57)

67

diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Dan juga perlu adanya perubahan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) dengan menyesuaikan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan tidak melibatkan fraksi dalam membahas setiap Rancangan Undang-Undang.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU KEPUSTAKAAN

Asshiddiqie, Jimly. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar.

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2006, Perkembangan dan Kosolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta

Asshiddiqie, Jimly.2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Berry Goldmab, Janda. 1992. The Challenge of Democracy, Government in America,

Houghton Miffin, Boston

Christol Rodee, Anderson . 1967, Introduction of Political Science, McGraw-Hill. Hasan, M. Iqbal .2002. Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Huda, Ni’matul, 2006.Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Marzuki. Peter Mahmud. 2008. “Penelitian Hukum”. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, Cetakan Keempat.

MD. Mahfud. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta

Muhammad, Abdulkdir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

O’Donnel, Gilermo. 1993. Transisi Menuju Demokrasi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, LP3ES.


(59)

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

Redaksi Sinar Grafika,2005. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999-Keempat 2002), Jakarta, Sinar Grafika.

Sekretariat Jenderal DPD RI, 2008. Hasil-hasil Pelaksanaan Tugas Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta.

Sekretariat Jenderal DPD RI Pengabdian untuk Masyarakat dan Daerah, 2010.

Dinamika Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Konstitusional Komite III DPD RI Tahun Sidang 2009-2010, Sekretariat Jenderal DPD RI. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian survei, jakarta. LP3ES.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2006. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Syafuan Rosi, Efriza. 2010. Parlemen Indonesia Geliat Volksraad hingga DPD Menembus Lorong Waktu Doloe, Kini, dan Nanti, Cet kesatu, CV Afabeta, Bandung.

Wayan Sudirta, I, 2013.Implikasi Putusan Mk Nomor 92/Puu-X/2012 Terhadap

Pembentukan Undang-Undang.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


(1)

Seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mancakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

2. Klasifikasi Data

Klasifikasi data yang telah diperoleh disusun menurut klasifikasi yang telah ditentukan.

3. Penyusunan Data

Penyusunan data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang sistematis dan logis serta berdasarkan kerangka fikir.

3.6. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.21 Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal-hal itu yang sifatnya lebih khusus.

21Ibid


(2)

65

V. PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 bahwa dari putusan Mahkamah Konstitusi, dinyatakan secara tegas kewenangan konstitusional anggota DPD adalah wakil daerah yang hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya. Sehingga DPD mempunyai kewenangan dan posisi yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD dan oleh karenanya DPD juga mempunyai kewenangan dan posisi yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD.

2. Upaya penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 antara lain meliputi:

1) Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU diposisikan sama dengan DPR dan Pemerintah;


(3)

2) Kewenangan DPD ikut membahas RUU meiputi semua tahapan dan proses pembahasan RUU sampai dengan pembahasan tingkat II. dalam rapat Paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan.

3) Kewenangan DPD ikut menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

3. Perubahan UU MD3 dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014, ternyata belum mengakomodasi kewenangan dan fungsi DPD sebagaimana yang diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.

5.2. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah :

1. Perlu adanya perubahan dan perbaikan segera mungkin UUD 1945 yang menempatkan Dewan Perwakilan Daerah setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka menjalankan fungsi legislasi, sehingga tercipta prinsip check and balances di lembaga perwakilan rakyat.

2. Perlu adanya perubahan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, dimana fungsi dan kewenangan DPD belum diakomodasi sebagaimana


(4)

67

diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Dan juga perlu adanya perubahan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3) dengan menyesuaikan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan tidak melibatkan fraksi dalam membahas setiap Rancangan Undang-Undang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU KEPUSTAKAAN

Asshiddiqie, Jimly. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar.

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2006, Perkembangan dan Kosolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta

Asshiddiqie, Jimly.2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Berry Goldmab, Janda. 1992. The Challenge of Democracy, Government in America,

Houghton Miffin, Boston

Christol Rodee, Anderson . 1967, Introduction of Political Science, McGraw-Hill. Hasan, M. Iqbal .2002. Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Huda, Ni’matul, 2006.Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Marzuki. Peter Mahmud. 2008. “Penelitian Hukum”. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, Cetakan Keempat.

MD. Mahfud. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta

Muhammad, Abdulkdir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

O’Donnel, Gilermo. 1993. Transisi Menuju Demokrasi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian, LP3ES.


(6)

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

Redaksi Sinar Grafika,2005. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999-Keempat 2002), Jakarta, Sinar Grafika.

Sekretariat Jenderal DPD RI, 2008. Hasil-hasil Pelaksanaan Tugas Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta.

Sekretariat Jenderal DPD RI Pengabdian untuk Masyarakat dan Daerah, 2010.

Dinamika Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Konstitusional Komite III DPD RI Tahun Sidang 2009-2010, Sekretariat Jenderal DPD RI. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian survei, jakarta. LP3ES.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2006. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Syafuan Rosi, Efriza. 2010. Parlemen Indonesia Geliat Volksraad hingga DPD Menembus Lorong Waktu Doloe, Kini, dan Nanti, Cet kesatu, CV Afabeta, Bandung.

Wayan Sudirta, I, 2013.Implikasi Putusan Mk Nomor 92/Puu-X/2012 Terhadap Pembentukan Undang-Undang.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.