THE AUTHORITY OF THE CONSTITUTIONAL COURT IN EXAMINING ON RATIFIED LAW OF INTERNATIONAL TREATY KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

(1)

ABSTRACT

THE AUTHORITY OF THE CONSTITUTIONAL COURT IN EXAMINING ON RATIFIED LAW OF INTERNATIONAL TREATY

By

ANDI KUSNADI

This study aims to assess the Constitutional Court's authority to conduct examination of the statute as the results of an international treaty ratification. The approach was done through the normative juridical approach, by examining the Constitutional Court judgement, and all laws and regulations related to the principal matter that was examined. The data analyzed was the secondary data in the form of legal materials, especially primary legal materials and secondary legal materials. Analysis of the data used was qualitative analysis. The result of the research showed that, the Constitutional Court as an institution that serves to protect the sovereignty of the state constitution in this regard the Act of 1945 has the authority to conduct judicial review of the results of the ratification of international treaties towards the Act of 1945. According to the consideration of constitutional supremacy of the Act of 1945, Principles of relationships with national and international law, as well as the position of the Constitutional Court as the Guardian of Constitution which created the space for the Constitutional Court to prelude legal sovereignity of constitution in order to create substantive justice that protect all the people of Indonesia.

Keywords: Constitutional Court, The Constitution of 1945, The International Treaty


(2)

ABSTRAK

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL

Oleh

ANDI KUSNADI

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil dari sebuah ratifikasi perjanjian internasional. Pendekatan masalah dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, dengan menelaah putusan Mahkamah Konstitusi, dan segala peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok masalah yang diteliti. Data yang dianalisis merupakan data skunder yang berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Hasil pembahasan menunjukan, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berfungsi untuk melindungi kedaualatan konstitusi negara dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berdasarkan dengan pertimbangan supremasi konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, Prinsip hubungan hukum nasional dan hukum internasional, serta kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution yang menciptakan ruang untuk Mahkamah Konstitusi mendahulukan kedaulatan hukum konstitusi guna menciptakan keadilan substantif yang melindungi segenap bangsa Indonesia.

Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, Perjanjian Internasional.


(3)

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL

Oleh ANDI KUSNADI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL

(Skripsi)

Oleh ANDI KUSNADI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 22 Juni 1992, Pasangan dari Bapak Cik Agus dan Ibu Pursani.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak Dwi Tunggal Jagabaya II, kemudian melanjutkan studi di MIN II Jagayabaya II. Pada Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan kejenjang pendidikan menengah di SMP N 12 Bandar Lampung, lulus pada tahun 2007 dan melanjutkan studi ke SMAN 5 Bandar Lampung.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2010 melalui jalur PKAB yang kemudian mengambil minat dibagian Hukum Tata Negara. Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif mengikuti berbagai organisasi kampus dan beberapa kali diamanahkan sebagai pengurus diberbagai organisasi antara lain, Kepala Departemen Kaderisasi Fossi FH 2012 – 2013, Menteri Sosial Politik BEM U KBM Unila Kabinet Cinta dan Kebanggan 2013 – 2014, dan Sekretaris Jendral Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Provinsi Lampung.


(9)

MOTO

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) ALLAH, niscaya DIA akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

(QS. Muhammad ayat 7)

Hargailah waktumu karena ia takkan bisa kembali, lakukanlah yang terbaik bagimu dan orang lain. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat

untuk orang lain”


(10)

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan karya mungil ini…

Untuk Ibundaku tersayang Pursani, Ayahandaku tercinta Cik Agus,

Keluargaku,

Sahabat-sahabat seperjuangan,

dan untuk para pendidikku di Taman Kanak-kanak, Taman Pendidikan Al-Qur’an, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan di Perguruan

Tinggi yang telah memberikan pelajaran hidup yang begitu berharga, pelajaran akan kedewasaan pikiran dan hati ini yang selalu membuat untuk selalu bangkit dan berjuang

melawan keterbatasan, serta


(11)

SANWACANA

Assallamualaikum Wr. Wb.

Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah melimpahkan nikmat, anugerah serta kekuatan lahir dan batin kepada Penulis. Iringan shalawat serta salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan yang dinantikan syafaatnya di yaumil akhir kelak.

Sebuah penghantar penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang selama ini membantu dan menyemangati penulis sehingga dapat menyelesaikan skipsi ini. Melalui kesempatan ini, Penulis hendak mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril, maupun spiritual.

Teriring salam dan doa serta ucapan terimakasih yang tak terhingga Penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D., sebagai pembimbing utama penulis, yang selain membimbing secara cermat dan kritis juga selalu mengajarkan nilai – nilai kehidupan, moral, kejujuran dan kebersahajaan kepada diri penulis. Terimakasih sebesar-besarnya atas ilmu dan nasehat yang diberikan selama ini.


(12)

2. Bapak Zulkarnain Ridlwan, S.H., M.H., sebagai Dosen Pembimbing II, atas bantuan dan bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga dapat menyelesaikannya dengan baik.

3. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., sebagai Pembahas I, atas kritik dan saran yang diberikan sebagai koreksi bagi penulis.

4. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., sebagai Pembahas II sekaligus Pembimbing Akademik yang juga banyak memberi masukan, dan menjadi tempat berdiskusi, yang banyak membantu bagi penulis untuk belajar. 5. Dosen-dosen Fakutas Hukum terkhusus bagian Hukum Tata Negara yang

tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Guru-guruku di TK Dwi Tunggal Jagabaya II, MIN II Jagabaya II, SMPN 12 Bandar Lampung, SMAN 5 Bandar Lampung yang telah mengasah, mengasih dan mengasuh penulis hingga sampai dapat melanjutkan studi di perguruan tinggi.

7. Keluarga FOSSI FH Unila semuanya, rekan seangkatan, pengurus, alumni,

MMF tanpa terkecuali yang selalu membantu do’a secara lisan maupun tulisan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Keluarga BEM U KBM Universitas Lampung Kabinet Cinta dan Kebanggan, Nanda Satriana I. P., Tri Wibowo, Melita Harleyani, Widatul Faizah MD, Ade Oktaviani C., Melly Anida, Ely Ulfa Sari, Riko Pambudi, Rudi Hari Perdana, Mumarisa Nida, Ervan Heppyda, Nivoliya Febriana M., Tri Okta Handoko, Dwitaria P, Ridwan Kusuma, Lestari, Muhammad


(13)

Akbar, Defi Setiawati yang selalu memberikan masukan, semangat, dan doa untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga Kementerian Sosial Politik BEM U KBM Unila, M. Eko Prasetyo, Johansyah, Siti Muslimah, Yona, Agung Priyatna, Ochi, Havez Annamir, Agum, Desti, Desi dan yang tidak dapat dituliskan satu persatu. 10.Adik-adik di BEM U KBM Unila Kabinet Cinta dan Kebanggaan,

Sholehuddin Ridlwan, Nadiril Syah, Diah Rizqi, Agung Ardiansyah, Jeck, Maya Agustina, Ani Dahlia, Ichvan Sofyan, Miftahul Huda, Nahdia Fadhila, Herlina, Suci Lestari, Novita Sari dan yang tidak dapat dituliskan satu persatu.

11.Keluarga HIMA HTN Indah, Sinta, Reti, Reni, Charlyna, Echo, Yesi, Rizal, Andika Nafka, Josua, Aristo terimakasih kebersamaannya dan juga kak Amin, mbak Malicia, kak Sofyan, kak Yudho, kak Agus Tomi terimakasih bantuannya, serta adik-adik Elsa, Maryanto, Emil, Hera dan lainnya semangat selalu dan berikan yang terbaik untuk HTN.

12.Saudara-saudara Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Desa Gedong Boga, Way Serdang, Mesuji, Ka Ronal Yaki, Mb Rani Indriati, Mb Damay

Lisdiana, Sanggam Simanullang, Abdu’ Rahman, Ka Fadillah Ahmad,

Devi yang sudah memberikan salah satu pengalaman yang sangat luar biasa.

13.Almamaterku tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung.

14.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini.


(14)

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Bapak, Ibu, serta rekan-rekan semua. Sangat penulis sadari bahwa berakhirnya masa studi Strata Satu (S-1) ini baru sebatas bagian kecil dari perjalanan kehidupan ini.

Wassalamualaikum.Wr.Wb.

Bandar Lampung, 22 Juni 2014 Penulis


(15)

Daftar Isi

Halaman

Halaman Judul ... i

Abstract ... ii

Abstrak ... iii

Halaman Pengesahan ... iv

Halaman Persetujuan ... v

Riwayat Hidup ... vi

Motto ... vii

Persembahan ... viii

Sanwacana ... ix

Daftar Isi ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 9


(16)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hukum Internasional dan Hubungan Hukum Internasional dengan

Hukum Nasional ... 11

2.2 Kedaulatan Konstitusi ... 20

2.3 Mahkamah Konstitusi ... 30

2.4 Undang-undang ... 39

2.5 Perjanjian Internasional ... 41

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Tipe Penelitian ... 45

3.2 Pendekatan Masalah ... 45

3.3 Sumber Data ... 46

3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum ... 47

3.4 Metode Pengelolaan Data dan Bahan Hukum ... 47

3.5 Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mahkamah Konstitusi dan Constitutional Review di Indonesia ... 49

4.2 Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional ... 60


(17)

4.2.2 Prinsip Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional ... 75

4.2.3 Perbandingan dengan Mahkamah Konstitusi di Jerman dan Prancis 82 4.2.3.1 Kasus As Solange I ... 83

4.2.3.2 Kasus As Solange II ... 85

4.2.3.3 Kasus Perjanjian Maastricht ... 87

4.2.3.4 Kasus Maastricht I ... 89

4.2.3.5 Kasus Maastricht II ... 91

4.2.3.6 Kasus Perjanjian Amsterdam ... 93

4.2.3.7 Refleksi Perbandingan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi………..………. 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 100

5.2 Saran ... 101


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk dari judicial control dalam kerangka checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan.1 Lembaga tersebut adalah Mahkamah Konstitusi atau yang sering disebut MK. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai mana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2

Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C menyebutkan beberapa kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan-kewenangan itu sendiri tertuang dalam ayat (1) dan (2) yang menggariskan Kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

1

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 1.

2

Lihat Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN 70, TLN 5226).


(19)

2

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.3

Lebih lanjut wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.4

Pada perjalanannya Mahkamah Konstitusi telah menguji dan memutuskan lebih dari ratusan kasus yang diajukan oleh pemohon. Dari data yang ada Mahkamah

3

Lihat Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 4

Lihat Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN 70, TLN 5226).


(20)

3

Konstitusi hingga tahun 2013 ini telah mengeluarkan 477 hanya dalam kasus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.5

Tahun 2011 terdapat sebuah kasus yang cukup menarik perhatian yaitu tentang pengajuan sebuah pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional kepada Mahkamah Konstitusi. Yaitu pengujian terhadap Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf (n) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) yang dianggap bertentangan dengan konstitusi Indonesia.

Adapun isi dari Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) menyatakan:

“Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas.”6

Dan Pasal 2 ayat (2) huruf (n) menyatakan:

“Berpegang teguh pada aturan-aturan perdagangan multilateral dan rejim-rejim yang didasarkan pada aturan ASEAN untuk melaksanakan komitmen-komitmen ekonomi secara efektif dan mengurangi secara progresif ke arah penghapusan semua jenis hambatan menuju integrasi ekonomi kawasan, dalam ekonomi yang digerakkan oleh pasar.”7

Pasal-pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

5

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU diakses pada tanggal 26 Juni 2013 pukul 18:43 WIB

6

Lihat Pasal 1 angka 5 UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) (LN 165, TLN 4915). 7

Lihat Pasal 2 ayat (2) huruf (n) Terjemahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) (LN 165, TLN 4915).


(21)

4

bagi kemanusiaan, dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) diperkarakan pada nomor 33/PUU-IX/2011. Pada putusannya Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya dikarenakan Hakim Mahkamah Konstitusi menilai karena ASEAN Charter

mengambil bentuk hukum undang-undang maka:

1. Undang-Undang mempunyai kekuatan hukum mengikat atas substansi yang diatur dalam Undang-Undang tersebut (objek) dan mengikat terhadap pihak-pihak yang membuat perjanjian (subjek) dalam hal ini adalah negara-negara yang membuatnya;

2. Undang-undang berlaku sebagai norma hukum, maka negara Indonesia dan negara lain, dalam hal ini negara ASEAN wajib terikat secara hukum oleh UU 38/2008;

3. Mahkamah Internasional atau International Court of Justice adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian antarnegara;8

8

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PPU-IX/2011 tanggal 26 Februari 2013 https://docs.google.com/gview?url=http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Putusa n%2033%20PUU%202011%20dan%2010%20PHPU%202013%20tgl%2026%20Februari%202013.pdf& chrome=true diakses pada 17 Juli 2013 04:43 WIB


(22)

5

Tentu saja alasan Mahkamah Konstitusi menolak pengujian terhadap Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf (n) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) dengan alasan seperti yang terlampir diatas cukup menarik perhatian.

Hal ini menjadi menarik karena berdasarkan pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19459 yang dalam hal ini dengan tegas menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar lalu pada Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dalam hal ini menyatakan undang-undang yang dapat diuji dengan Undang-Undang Dasar apabila:

a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 9 ayat (2) menyatakan “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

9

Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa :

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar


(23)

6

Undang-undang ini menyatakan bahwa perjanjian internasional disahkan dalam bentuk undang-undang atau keputusan presiden.

Pengesahan sebuah perjanjian Internasional kedalam bentuk undang-undang sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional memberikan efek hukum tentang kedudukan undang-undang hasil perjanjian internasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Menelaah teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie), Hans berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).10 Norma Dasar yang dimaksud disini adalah Konstitusi dalam suatu negara.

Konstitusi merupakan norma/hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dalam suatu negara yang biasanya berbentuk Undang-Undang Dasar. Dahlan Thaib mengutip Herman Heller membagi tiga pengertian Konstitusi, dalam ketiga pengertian konstitusi mengungkapkan bahwa salah satu pengertian konstitusi adalah:

“Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara”.11

10

Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, (Jakarta: Kanisius, 2009), hlm. 41. 11


(24)

7

Pendapat yang disampaikan oleh Herman Haller yang dikutip oleh Dahlan Thaib sejalan dengan yang diungkapkan oleh E.C.S. Wade dalam bukunya

Constitutional Law Undang-Undang Dasar/Konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan-badan tersebut.12 Melihat pengertian yang dikemukakan oleh Herman Heller dan E.C.S. Wade memperlihatkan supremasi konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara.

Menghubungkan teori berjenjang yang dikemukakan oleh Hans Kelsen serta pengertian dari konstitusi dalam hal ini Undang-Undang Dasar, teori ini memberikan dasar bahwa undang-undang dalam hal ini tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi diatasnya hingga mencapai sumber hukum tertinggi dalam suatu negara yaitu Grundnorm/Konstitusi suatu negara. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi untuk menolak seluruhnya pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) menimbulkan spekulasi dan pertanyaan yang membuat menarik untuk diteliti.

Apakah Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan supremasi konstitusi dalam kedaulatannya? terlebih lagi seharusnya kedaulatan hukum dalam suatu negara hukum menjadikan konstitusi sebagai panglima dan sumber hukum tertinggi hukum tertinggi guna menjamin keadilan kepada warga negaranya. Persoalannya apakah memang hal demikian benar, bagaimana suatu negara berdaulat harus tunduk kepada ketentuan yang dibentuk bersama negara lain yang bertentangan dengan konstitusinya. Kalau ada negara lain yang memberi bentuk perjanjian internasional menurut hukum

12


(25)

8

nasionalnya dalam bentuk undang-undang, apakah Indonesia secara serta merta harus terikat dengan undang-undang negara lain tersebut?

Terlihat jelas terdapat kesenjangan antara kedaulatan konstitusi (aspek keadilan masyarakat) versus perjanjian internasional (kepentingan negara lain) dalam permasalahan ini, hal inilah yang memberikan landasan akademik kepada penulis untuk melakukan evaluasi secara mendalam terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil perjanjian internasional.

Selain itu beberapa pendapat seperti yang dikeluarkan oleh pakar hukum tata negara seperti pendapat Fajrul Falaakh saat menjadi saksi ahli dalam sidang pleno pengujian Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 hasil ratifikasi piagam ASEAN yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan menguji hukum internasional yang disahkan menjadi undang-undang meski salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi menguji hukum dibawah UUD.13 Pada jurnal penelitian yang dibuat oleh Rohwidiana Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada Tahun 2013 mengenai Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-IX/2011 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN belum memiliki keputusan yang jelas apakah memang Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional. Kemudian pula dalam jurnal artikel ilmiah yang dibuat oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya hanya memberikan gambaran mengenai pro kontra kedudukan undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional tanpa merinci kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Dalam kesimpulan yang termuat dalam jurnal ini menyatakan

13

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-perundang-undangan/1402-mk-tak-berwenang-uji-uu-hasil-ratifikasi-perjanjian-internasional.html diakses pada 26 Maret 2014 pukul 07:38 WIB


(26)

9

secara tersirat mendukung keputusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menolak menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang isinya menyatkan:

“Dalam praktik perjanjian internasional perlu dipertimbangkan kembali oleh Indonesia khusus dalam kasus Piagam ASEAN seperti yang dituturkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini Piagam ASEAN merupakan suatu konstitusi atau sebagai anggaran dasar dari ASEAN, tentu jika Indonesia melakukan penarikan diri terhadap piagam ASEAN akan mempengaruhi keanggotannya dalam ASEAN.”14

Permasalahan dan perbedaan pendapat terkait pengujian undang-undang hasil ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi menarik minat penulis untuk meneliti dan menuangkannya dalam sebuah karya orisinil yang belum pernah diangkat dalam bentuk penelitian sebelumnya, dalam hal ini penulis akan melakukan penelitian terkait

“Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Melakukan Pengujian Terhadap Undang-Undang Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional”

1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1.2.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini, yaitu :

Apakah Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi dari perjanjian internasional?

1.2.2 Ruang Lingkup

Penelitian ini berada di dalam bidang Hukum Tata Negara pada umumnya, dan lebih dikhususkan lagi ruang lingkup pada: Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang telah termuat dalam konstitusi negara Indonesia. Sehingga dapat

14

http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/Jurnal-Rohwidiana-0910113183.pdf diakses pada Rabu 26 Maret 2014 pukul 8:30 WIB


(27)

10

menelaah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya terkait pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yaitu :

Mengetahui apakahMahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian Internasional.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan hukum, khususnya di dalam Hukum Tata Negara, dalam rangka memberikan penyampaian pengetahuan terkait kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Khususnya mengenai kedudukan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional dan memberikan penjabaran-penjabaran landasan Mahkamah Konstitusi dapat melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil perjanjian internasional melalui analisis-analisis yang dilakukan.


(28)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Hukum Internasional dan Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional.

Hukum Internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.1 Beberapa pendapat lain juga yang coba mendefenisikan pengertian hukum internasional yaitu:

a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi intenasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu; dan

b. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan-badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.

Meski demikian pada awalnya banyak kontroversi teoritis yang muncul mengenai hakikat dan dasar hukum internasional, satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas bahwa hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.2 Penulis Yurisprudensi atau ilmu pengetahuan dan filsafat hukum berkebangsaan Inggris, John Austin

1

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2010), hlm. 3. 2


(29)

12

1859), dianggap sebagai pendukung utama teori ini. Menurut teori Austin, hukum stricto sensu dihasilkan dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar berdaulat. Secara logis, apabila kaidah-kaidah yang bersangkutan pada analisis akhir bukan berasal dari otoritas yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi atau apabila tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam kaidah hukum, melainkan hanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika semata-mata.3

Namun seiring dengan perkembangan jaman mengenai hukum internasional teori yang di kemukakan oleh Austin dapat dibantah apabila melihat, yaitu:

1. Yurisprudensi pada jaman modern tidak memperhitungkan kekuatan teori umum tentang hukum dari Austin. Telah ditunjukan bahkan pada beberapa kelompok masyarakat yang tidak mempunyai suatu otoritas legislatif formal, suatu sistem hukum telah berjalan dan ditaati, dan bahwa hukum tersebut tidak berada dalam hal ketentuan mengikatnya dari suatu hukum negara yang benar-benar mempunyai otoritas legislatif.

2. Pandangan-pandangan Austin tersebut meskipun benar pada zamannya, namun sekarang tidak tepat lagi bagi hukum internasional sekarang ini. Dalam abad sekarang banyak sekali perundang-undangan internasional terbentuk sebagai akibat-akibat dari traktat-traktat dan konvensi-konvensi yang membuat hukum, dan sejalan dengan perkembangan ini maka proporsi kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional makin berkurang. Bahkan andaikata benar bahwa tidak ada otoritas legislatif yang secara tegas berdaulat dibidang internasional, prosedur untuk merumuskan kaidah-kaidah perundang-undangan internasional ini telah dipecahkan dengan cara penyelenggaraan konferensi-konferensi internasional atau melalui organ-organ internasional yang ada, meskipun tidak seefesien seperti prosedur legislatif pada suatu negara.

3. Persoalan-persoalan hukum internasional senantiasa diperlakukan sebagai persoalan-persoalan hukum oleh kalangan yang menangani urusan internasional dalam berbagai Kementerian Luar Negeri, atau melalui berbagai badan administrasi internasional. Dengan perkataan lain, badan-badan otoritatif yang bertanggung jawab untuk memelihara hubungan-hubungan internasional tidak menganggap hukum internasional hanya sebagai suatu himpunan peraturan moral semata-mata.4 Seperti yang secara tepat dikatakan hampir seabad lalu oleh Sir Frederick Pollock: “apabila hukum internasional hanya semacam moralitas semata-mata, maka para perumus dokumen-dokumen tentang kebijaksanaan luar negeri akan menekankan

3

Ibid., hlm. 20. 4


(30)

13

semua kekuatan dokumen-dokumen itu pada argumentasi-argumentasi moral. Namun, dalam kenyataannya hal demikian tidak mereka lakukan. Pertimbangan para perumus tersebut bukan kepada perasaan umum atas kebenaran moral, akan tetapi kepada preseden-preseden, traktat-traktat, dan pada opini-opini para ahli. Semua itu dianggap ada diantara para negarawan dan penulis-penulis hukum yang dapat dibedakan dari kewajiban-kewajiban moral dalam hubungan bangsa-bangsa.”5 Selain itu Hakim-Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat – Pengadilan Negara yang tertinggi – telah berulang kali mengakui validitas konstitusional dari hukum internasional. Dalam suatu perkara Marshall C.J. menyatakan bahwa sebuah undang-undang kongres “seyogianya tidak ditafsirkan untuk melanggar hukum bangsa-bangsa andaikata masih ada konstruksi lain”. Dalam perkara lainnya Gray J. mengemukakan pernyataan berikut:

“Hukum internasional merupakan bagian dari hukum kita, dan harus diketahui serta dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sesuai yurisdiksinya, sesering persoalan-persoalan tentang hak yang bergantung kepadanya yang diajukan secara layak untuk diputuskan.”6

Lebih lanjut, kekuatan mengikat secara hukum dari hukum internasional berulang kali ditegaskan oleh bangsa-bangsa di dunia dalam konferensi internasional. Satu gambaran tentang hal ini adalah Charter (Piagam) pembentukan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945, piagam ini baik secara tegas maupun implisit didasarkan atas legalitas yang sebenarnya dari hukum internasional.

Di era globalisasi seperti saat ini eksistensi hukum internasional tidak dapat terbantahkan kembali keberadaannya, bahkan hukum internasional bukan hanya mengatur tentang hubungan antarbangsa, saat ini hukum internasional telah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah terbatas pada negara-negara saja sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan, vatican, billigerency sekarang telah diakui sebagai bagian dari subjek

5

Ibid. 6


(31)

14

hukum internasional. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang menyatakan:

“hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.”7

Definisi hukum internasional diberikan secara lebih lengkap oleh Shearer yang menyatakan:

International law may be defined as body of law which is composed for its greater part of the principles and rules of conduct which states feel themselves bound to observe, and therefore, do commonly observe in their relations with each other, and which includes also:

1. The rules of law relating to the functioning of international institutions or organizations, their relations which each other, and their relations with states and individual, and

2. The rules of law relating to individuals and non-states so far as the rights or duties of such individuals and nonn states entities are the concern of the international community.”8

Lantas bagaimana sebenarnya hukum Internasional dapat mengikat suatu negara? Beberapa teori yang akan memberikan penjelasan mengenai daya hukum internasional adalah teori-teori hukum alam, positivisme dan sosiologis. Teori hukum alam menganggap hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Vattel dalam bukunya Droit des Gens yang terbit pada tahun 1958 menyatakan:

“Kita perlu memakai istilah hukum bangsa-bangsa karena hukum tersebut berasal dari penerapan hukum alam terhadap bangsa. Hal itu perlu, karena bangsa-bangsa mutlak terikat untuk menaatinya. Hukum bangsa-bangsa-bangsa-bangsa berisi aturan-aturan yang diperintahkan hukum alam kepada negara-negara, dan tidak kurang mengikatnya terhadap negara sebagaimana terhadap individu-individu. Karena negara terdiri dari manusia, kebijaksanaan-kebijaksanaannya ditentukan oleh manusia, dan manusia-manusia tunduk pada hukum alam dalam kapasitas apapun mereka bertindak. Hukum ini sama dengan apa yang oleh Grotius dan pengikut-pengikutnya disebut sebagai hukum bangsa-bangsa intern, karena mengikat hati nurani bangsa-bangsa. Beberapa penulis menyebutnya sebagai Hukum Alam Bangsa-Bangsa”9

7

Sefriani, Hukum Internasional, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 2. 8

Ibid., hlm. 3. 9


(32)

15

Jejak-jejak teori “hukum alam” masih bertahan hingga saat ini, walaupun dalam bentuk yang kurang begitu dogmatis. Dikatakan oleh Kelsen “Teori hukum alam yang dominan pada abad ke-17 dan ke-18 setelah mengalami kejenuhan pada abad ke-19, telah bangkit kembali dengan pemikiran keagaman dan metafisika”.10

Karena karakter rasional dan idealistiknya, konsepsi “hukum alam” telah menanamkan pengaruh besar – suatu pengaruh yang memberikan sumbangan terhadap perkembangan hukum internasional.

Lalu pada teori positivis, penganut-penganut teori positivis berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum internasional pada analisis terakhir memiliki karakter yang sama dengan hukum nasional (hukum negara) “positif” sepanjang kaidah-kaidah hukum tersebut juga berasal dari kehendak negara. Mereka yakin bahwa hukum internasional secara logis dapat dikembalikan kepada suatu sistem kaidah yang untuk validitasnya akan bergantung hanya pada fakta bahwa negara-negara telah menyatakan kesetujuannya.11

Positivis terkenal adalah yuris Italia, Anzilotti (1867-1950), yang pernah menjabat sebagai hakim pada Permanent Court of International Justice, menurutnya kekuatan mengikat hukum internasional dapat ditelusuri ulang sampai suatu prinsip atau norma tertinggi dan fundamental, prinsip yang lebih dikenal dengan pacta sunt servanda. Norma

pacta sunt servanda ini merupakan dalil absolut dari sistem hukum internasional, dan dengan cara apapun menjelmakan diri dalam semua kaidah termasuk dalam hukum internasional. Konsisten dengan teori ini Anzilotti berpendapat bahwa seperti halnya dalam traktat-traktat, kaidah-kaidah kebiasaan didasarkan atas persetujuan negara-negara, dan dalam hal ini terdapat suatu perjanjian implisit. Anzilotti berpendapat:

“Setiap tata hukum terdiri dari suatu komplek norma yang mendapat karakter mewajibkan dari suatu norma fundamental terhadap norma-norma itu, baik langsung maupun tidak langsung, berhubungan. Norma fundamental itu menetapkan sedikit banyak tentang norma-norma mana yang membentuk suatu tata hukum dan

10

Ibid., hlm. 25. 11


(33)

16

membentuk kesatuan utuh. Tata hukum internasional dibedakan dari fakta bahwa dalam tata hukum internasional ini, prinsip pacta sunt saverda tidak bergantung, sebagaimana dalam hukum internasional, pada suatu norma paling tinggi; pacta sunt saverda itu sendiri merupakan norma tertinggi. Dalam kaidah ini “negara -negara harus menghormati perjanjian-perjanjian yang dibuat diantara mereka”, dengan demikian merupakan kriteria formal yang membedakan norma-norma yang kita bicarakan dari norma-norma lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh; semua norma dan hanya norma-norma, yang bergantung pada prinsip ini sebagai seumber yang perlu dan eksklusif dari karakter mewajibkan norma-norma tersebut.12

Aliran berikutnya yang akan coba menjawab dasar mengikatnya Hukum Internasional adalah aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut aliran ini masyarakat internasional yang dalam hal ini merupakan bangsa-bangsa merupakan mahluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Betapa majunya suatu negara ia tidak akan dapat hidup sendiri, suatu bangsa pastilah membutuhkan bangsa lain dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam berinteraksi tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk memberikan kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan tersebut masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional adalah kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan kepastian hukum dalam melaksanakan hubungan internasional.

Memperkuat daya ikat dari hukum internasional H.A. Smith mengungkapkan “…… jelas ditekankan bahwa hukum internasional secara utuh mengikat terhadap semua negara beradab tanpa memandang persetujuan individual mereka, dan bahwa tidak ada satu negara pun melalui tindakannya sendiri dapat melepaskan diri dari kewajiban baik berasal dari hukuum pada umumnya ataupun dari suatu kaidah yang benar-benar berlaku”.13

Setelah dipaparkan mengenai daya mengikat hukum internasional terhadap suatu negara kemudian timbul pertanyaan apakah hukum internasional dan hukum negara

12

Ibid., hlm. 26. 13


(34)

17

merupakan satu kesatuan hukum atau terpisah satu sama lain? Mana yang harus diutamakan bila antara keduanya mengandung konflik?

Terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul seperti yang dipaparkan diatas, terdapat dua teori yang dapat menjawabnya. Yang pertama teori monisme dikemukakan oleh aliran monisme. Menurut aliran ini hukum internasional dan hukum negara merupakan dua kesatuan hukum dari satu sistem hukum yang lebih besar yaitu hukum pada umumnya. Karena terletak dalam satu sistem hukum maka sangat besar sekali kemungkinan terjadi konflik antar keduanya. Dalam perkembangannya aliran monisme terpecah menjadi dua, yaitu aliran monisme primat HI dan monisme primat HN.14

Monisme primat HI berpendapat bahwa apabila terjadi suatu konflik dalam tatanan sistem hukum antara hukum internasional dan hukum negara maka hukum internasional haruslah lebih diutamakan dan diberlakukan dari pada hukum negara. Sedangkan monisme primat HN memiliki pandangan yang terbalik yaitu apabila terdapat suatu konflik dalam tatanan sistem hukum maka hukum negara terlebih dahulu yang harus diutamakan dan diberlakukan. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa hukum internasional berasal dari hukum negara. Contohnya adalah hukum kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara-negara. Karena hukum internasional berasal atau bersumber dari hukum negara maka hukum negara kedudukannya lebih tinggi dari hukum internasional.

Teori kedua dikemukakan oleh aliran dualisme yang mengemukakan bahwa hukum internasional dan hukum negara adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan yang dimaksud antara lain:

1. Subjek, subjek HI negara-negara sedangkan subjek individu adalah individu;

2. Sumber hukum, HI bersumberkan pada kehendak bersama negara adapaun HN bersumberkan pada kehendak negara;

14


(35)

18

3. HN memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan HI.

Selain itu Anzilotti penganut aliran dualisme berpendapat perbedaan Hukum Internasional dan hukum nasional dapat ditarik dari dua prinsip yang fundamental. HN mendasarkan pada prinsip bahwa aturan negara harus dipatuhi sedangkan HI mendasarkan pada prinsip bahwa perjanjian internasional harus dihormati berdasarkan prinsip pacta sunt servanda.15

Meski demikian hingga saat ini Indonesia belum pernah secara tegas menyatakan aliran mana yang digunakan, hanya saja apabila menelaah apa yang telah diamanahkan oleh konstitusi Indonesia mengatur suatu kaidah hukum internasional dalam undang-undang nomor 24 Tahun 2000 mengenai perjanjian internasional yang mewajibkan suatu kaidah hukum internasional apabila ingin menjadi suatu kaidah hukum nasional maka harus melalui tahap ratifikasi.

Ratifikasi pada hakikatnya merupakan salah satu cara pengesahan sebuah perjanjian internasional untuk dapat dijadikan salah satu produk hukum di negara-negara peserta perjanjian tersebut. Istilah pengesahan yang dipergunakan dalam praktik hukum perjanjian internasional di Indonesia khususnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional16 diambil dan diterjemahkan dari istilah ratifikasi.17 Menurut Pasal 2 ayat (1) b Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi adalah:

“Ratification”, “accaptance”, “approval”, and “accession” mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treary;18

Selanjutnya menurut Pasal 14 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi adalah salah satu cara mengikatkan diri pada suatu perjanjian

15

Ibid., hlm. 87. 16

Pasal 1 huruf (b) Konvensi Wina menyatakan:

Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). 17

Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 69.

18


(36)

19

internasional dan lazimnya selalu dirumuskan untuk menggambarkan persyaratan ratifikasi adalah sebagai berikut:

a. The present Convention shall be open for signature by all States Members of the United Nations;

b. The present Convention is subject to ratification. The instruments of the ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.19

Pada dasarnya ratifikasi merupakan pengesahan atau penguatan terhadap perjanjian yang ditandatangani.20 Ada tiga sistem menurut mana ratifikasi diadakan yaitu:

a. Ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif

Ratifikasi yang semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif kini jarang sekali kita dapati dan merupakan peninggalan zaman ini. Menelusuri sejarah sistem ini pernah berlaku menurut konstitusi Jepang tertanggal 11 Februari 1829 (yang berlaku hingga terbentuknya konstitusi yang baru pada tanggal 3 November 1946) juga merupakan sistem yang diikuti oleh negara-negara yang mempunyai pemerintahan otoriter, antara lain: Italia (1922-1943), Negara nasional Sosialis (Nazi) Jerman (1933-1945), dan Perancis selama pendudukan (pemerintah Vichy 1940-1944); b. Ratifikasi dilakukan oleh badan perwakilan atau legislatif

Sistem ratifikasi yang dilakukan semata-mata oleh badan perwakilan legislatif juga tidak sering begitu didapat, tercatat hanya beberapa negara yang pernah melakukannya antara lain: Negara Turki (menurut Pasal 26 konstitusi tanggal 20 April 1924), El Salvador (konstitusi 8 September 1950) dan Honduras (konstitusi 8 Maret 1936);

c. Ratifikasi perjanjian dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif.

19

Ibid., hlm. 69. 20


(37)

20

Sistem ratifikasi perjanjian internasional yang dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif merupakan yang paling banyak digunakan. Dalam golongan ini terdapat lagi pembagian ke dalam 2 golongan, yang dapat dinamakan subsistem, yaitu sistem campuran dimana badan legislatif lebih menonjol dan sistem campuran dimana badan eksekutif lebih menonjol.21

Ratifikasi hanya dapat dilakukan apabila suatu negara akan mengesahkan suatu perjanjian internasional yang nantinya akan dijadikan sebagai suatu norma hukum seperti apa yang diatur dalam konstitusi dengan memperhatikan kedaulatan konstitusi tersebut.

1.2 Kedaulatan Konstitusi

Dalam berbagai tulisan ahli ketatanegaraan, kedaulatan terbagi atas dua aspek, kedaulatan internal (internal sovereignty) dan kedaulatan eksternal (external sovereignty).22 Kedaulatan eksternal berkaitan dengan kedaulatan dalam hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya yang merupakan objek kajian Hukum Internasional, sedangkan kedaulatan internal adalah kedaulatan dalam hubungannya dengan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, yang merupakan objek kajian Hukum Tata Negara.

Kedaulatan merupakan padanan istilah “superanus” (bahasa Latin) yang mempunyai arti tertinggi. Jean Bodin seorang tokoh ahli ketatanegaraan mengemukakan bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi untuk menetukan hukum dalam suatu negara,23 yang mempunyai sifat/hakikat:

1. Asli

2. Langgeng atau abadi 3. Tertinggi

21

Mochtar Kusumaatmadja dkk, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 131. 22

Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, (Malang: Intrans Publishing, 2011), hlm. 3. 23


(38)

21

4. Tak dapat dibagi-bagi 5. Tidak dapat dialihkan

Menyangkut siapa yang berdaulat (berkuasa) dalam suatu negara, dalam ilmu ketatanegaran dikenal adanya beberapa teori atau ajaran, yaitu: teori kedaulatan Tuhan; teori kedaulatan raja; teori kedaulatan negara; teori kedaulatan rakyat; dan teori kedaulatan hukum.24 Adapun kajiannya sebagai berikut:

1. Konsep Teori Kadaulatan Tuhan

Menurut teori kedaulatan Tuhan, yang berdaulat atau memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ialah Tuhan. Ini merupakan konsekuensi bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam raya ini beserta isinya, sehingga bagaimana megatur dan mengelola dunia inheren mengelola suatu negara sepenuhnya menurut kehendak Tuhan.25

2. Konsep Teori Kedaulatan Raja

Menurut teori kedaulatan raja, rajalah yang memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.26 Selain mendasarkan teori kedaulatan raja atas kehendak Tuhan, adapula yang mendasarkan kekuasaannya karena hak miliik atas tanah ataupun mendasarkannya atas kekuatan. Seperti sindiran Voltaire, raja pertama adalah soerang prajurit yang beruntung/ berbahagia merumuskan pikiran seperti itu secara pendek dan lucu.27 Ahli yang menjadi pembela teori kedaulatan raja ini adalah Machiavelli dari Italia dan Shang Yang dari China.

2. Konsep Teori Kedaulatan Negara

24Ibid.,

hlm. 3. 25

Ibid., hlm. 30. 26

Ibid., hlm. 33. 27


(39)

22

Teori kedaulatan negara timbul akibat pertentangan para penganut teori kedaulatan Tuhan yang mempunyai pengaruh besar terhadap raja ataupun penguasa negara, bahkan menjadi ciri umum sistem pemerintahan negara yang berdaulat. Teori kedaulatan negara hanyalah konstitusi baru dari teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat, yang pernah diintroduksikan di Jerman. Pelopor utama teori kedaulatan negara adalah George Jellinek, dalam bukunya Algemeine Staatslehre mengemukakan bahwa negara adalah organisasi yang dilengkapi sesuatu kekuatan aslinya, kekuatan yang bukan didapat dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi derajatnya, hukum diciptakan oleh negara sendiri dan setiap gerak gerik manusia dalam negara itu harus menurut pada negara. Sedangkan negara sendiri tidak perlu takluk dibawah hukum, karena negara sendiri yang membuat hukum.28 4. Konsep Teori Kedaulatan Rakyat

Immanuel Kant merupakan pengikut teori kedaulatan rakyat, ia mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan dan menjamin kebebasan para warga negaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan, sedangkan yang berhak membuat undang adalah rakyat itu sendiri. Jadi undang-undang adalah penjelmaan kemauan rakyat, dengan demikian rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam suatu negara.29

Diantara para ahli nama Rousseau merupakan tokoh yang paling menonjol bahkan sering disebut sebagai penemu teori kedaulatan rakyat. Rosseau adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Swiss (1712-1778). Ajaran kedaulatan rakyat dari Rousseau merupakan kelanjutan dari filsafat yang bersumber kepada perasaan. Menurut Rousseau, manusia dilahirkan sebagai mahluk yang baik, kemudian orang hendak mencari apakah sebabnya maka dalam pergaulan hidup manusia itu senantiasa terdapat kekuasaan.

28

Ibid., hlm. 34. 29


(40)

23

Ajaran kedaulatan rakyat berpangkal tolak kepada hasil penemuannya bahwa tanpa tata tertib dan kekuasaan, manusia akan hidup tidak aman dan tentram.

Tanpa tata tertib manusia merupakan binatang buas “homo homini lupus”, dan kehidupan itu berubah menjadi perang antar sesama manusia “bellum omnium contra omnes”.30

5. Konsep Teori Kedaulatan Hukum

Teori kedaulatan hukum lahir sebagai reaksi terhadap teori kedaulatan negara, yang menentukan bahwa satu-satunya dasar bagi hukum ialah negara dan wibawanya, sebaliknya menurut Hugo Krabbe, sumber dan ukuran bagi mengikatnya hukum ialah perasaan dan kesadaran hukum rakyat.31 Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit

yang memiliki kekuasaan atau kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa ataupun rakyat atau warga negara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum.32

Dalam segi pelaksanaannya kedaulatan untuk memiliki daya ikat dituangkan dalam suatu bentuk norma tertinggi yang disebut sebagai konstitusi. Menurut Prodjodikoro konstitusi berasal dari kata “constituer” (Perancis) yang berarti membentuk, jadi konstitusi berarti pembentukan.33 Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat pengertian konstitusi yang pertama adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar dan sebagainya), yang kedua adalah Undang-Undang Dasar suatu negara.34 Termuat dalam Kamus Hukum Inggris, Oxford Dictionary of Law mencatat pengertian konstitusi adalah

30

Ibid., hlm.36. 31

Ibid., hlm. 37. 32

Ibid. 33

Ibid., hlm, 56.

34


(41)

24

“Constitution is the rules and parctices that determain the composition and functions of the organs of central and local government in a state and regulate the relationship between individual and the state.”35

C.F. Strong memahami konstitusi sebagai asas-asas fundamental yang mengatur kekuasaan lembaga-lembaga negara di satu pihak, dan pihak lain mengatur pula hak-hak rakkyat yang dikenal sebagai hak-hak asasi manusia yang sering disingkat (HAM), serta bagaimana mengatur hubungan vertikal antara yang memerintah dan yang diperintah, sehingga hubungan keduanya berjalan dengan harmonis.

Berbagai macam pengertian konstitusi semakin berkembang sejak Abad 19, Ferdinan Lassal salah satu pakar tata negara yang hidup pada Abad ke 19 memberikan pengertian konstitusi dengan membaginya kedalam dua pengertian. Menurut Ferdinan mengartian konstitusi sebagai Undang-Undang Dasar merupakan pengertian yang lebih sempit dari pengertian konstitusi yang sebenarnya. Ferdinan membagi pengertian konstitusi menjadi dua konsep pemikiran, yaitu:

1. Konstitusi dalam arti sosiologis dan politik. Konstitusi dalam hal ini dipandang sebagai hubungan dari faktor-faktor kekuatan real dalam masyarakat, seperti Presiden, Parlemen, Partai Politik, Kelompok Kepentingan dan sebagainya.

2. Konstitusi dalam arti yuridis. Konstitusi dalam pengertian ini dipandang sebagai dokumen yang tertulis yang mengatur lembaga-lembaga negara dan prinsip memerintah dalam suatu negara.36

Konstitusi dalam pandangan yuridis yang dikemukakan oleh Ferdinan jelas sama dengan Undang-Undang Dasar yang memuat aturan-aturan hukum. Selain Ferdinan Lassal, Herman Heller juga memberikan pengertian yang luas mengenai pengertian dari konstitusi.

35

I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi indonesia Sesudah UUD 1945, (Malang: Setara Press, 2010) hlm. 23.

36


(42)

25

Herman Heller menggambarkan perngetian konstitusi atas tiga tingakatan. Ketiga tingkatan pengertian konstitusi tersebut dalah sebagai berikut:

Konstitusi dalam pengertian sosial-politik. Pada tingkat pertama ini, konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan karena memang mencerminkan keadaan sosial politik dalam masyarakat bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum dituangkan dalam bentuk hukum, melainkan tercermin dalam perilaku nyata dari kehidupan warga masyarakat.

Pada tingkat kedua, konstitusi dalam pengertian hukum. Pada tahap ini, konstitusi sudah diberi bentuk hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan, terhadap setiap pelanggaran atas konstitusi.

Konstitusi dalam pengertian pengaturan tertulis. Pada tingkat ketiga konstitusi disamakan dengan Undang-Undang Dasar yang muncul akibat aliran kodifikasi. Aliran kodifikasi adalah mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum, kesederhanaan hukum, dan kepastian hukum.37

Konstitusi menjadi amat penting dalam suatu negara karena apabila tidak terdapat sebuah kedaulatan konstitusi maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara. Kedaulatan konstitusi merupkan syarat mutlak yang harus dimiliki sebuah negara, mengingat kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar atau basic law yang mengandung norma-norma dasar berfungsi untuk mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Lantas bagaimana kedaulatan konstitusi di Indonesia?

37


(43)

26

Sri Soemantri M dalam disertasinya mengartikan konstitusi di Indonesia sama dengan Undang-Undang Dasar. Penyamaan arti keduanya ini sesuai dengan praktik ketatanegaraan di sebagaian negara-negara dunia termasuk Indonesia.38 penyamaan pengertian antara konstitusi dengan Undang-Undang Dasar, sebenarnya sudah dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai Instrument of Government, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar dibuat sebagai pegangan untuk memerintah dan di sinilah timbul identifikasi dari pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar.39

Sri Soemantri berpendapat pada umumnya materi konstitusi atau Undang-Undang Dasar mencakup tigas hal dasar yang fundamental:

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya;

2. Ditetapkan susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.40

Di Indonesia kedaulatan ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam kaitannya dengan teori-teori kedaulatan seperti apa yang telah dipaparkan diatas lantas muncul sebuah pertanyaan yang menarik yaitu: teori kedaulatan mana saja dianut oleh UUD 1945? Lantas bagaimana kedudukannya? Dan bagaimana pelaksanaannya?

Melihat substansi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pembuat UUD 1945 sejak semula memilih bentuk pemerintahan Republik, sehingga dengan sendirinya pemerintahan yang berbentuk kerajaan atau kedaulatan raja tidak dikehendaki di Indonesia.

38

Dahlan Thaib dkk, Op.cit., hlm. 8. 39

Ibid., hlm. 8. 40


(44)

27

Kedaulatan negara merupakan unsur kedaulatan pertama yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, hal ini terlihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan tersirat memberikan kekuasaan penuh terhadap negara dan menempatkan negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Selain kedaulatan negara ternyata Indonesia juga menganut teori kedaulatan Tuhan, hal ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alenia ketiga yang menyatakan:

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”

Atas berkat rahmat Allah menunjukan bahwa rakyat Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan pemberian dari Allah SWT yang membuktikan dalam hal ini Indonesia menganut konsep kedaulatan Tuhan. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa:

(1) Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

(2) Negara Indonesia adalah negara hukum.

Melihat apa yang telah diterangkan Pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia juga menganut kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.

Kedaulatan hukum tidak dapat dilepaskan dari konsep negara modern, yaitu teori negara hukum dan teori konstitusi. Teori negara hukum meletakkan prasyarat bagi pelaksanaan pemerintahan dalam negara yang berdasarkan kedaulatan hukum. Teori konstitusi meletakkan kerangka dasar hukum tertinggi dalam suatu negara modern atau memberikan landasan bagi berjalannya supremasi konstitusi/UUD yang menjadi prasayarat berlakunya kedaulatan hukum. Karena itu, teori negara hukum dan teori konstitusi


(45)

28

selanjutnya dijadikan landasan teori untuk menganalisis kedaulatan hukum pada umumnya, khususnya kedaulatan hukum menurut UUD 1945.

Kedaulatan hukum pada suatu negara dapat dilihat dari sisi apakah negara tersebut menganut konsepsi kedaulatan hukum, apabila suatu negara menganut konsepsi kedaulatan hukum maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah negara hukum. Istilah negara hukum ini merupakan padanan dari rechtsstaat dan the rule of law. Istilah Rechtsstaat

mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah lama adanya. Istilah The rule of law mulai populer dengan terbitnya buku oleh Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the study of the law of the constitution.”

Unsur-unsur rechtsstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Barat Kontinental adalah sebagai berikut:

a. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia;

b. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politica;

c. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang;

d. Apabila dalam menjalankan tugasnya, pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah dalam kehidupan peribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.

AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memeberikan unsur-unsur the rule of law sebagai berikut:

a. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenangan-wenangan, sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan


(46)

29

Berdasarkan uraian diatas melihat ciri, konteks dan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat disimpulkan bahwa Konstitusi Indonesia menganut kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang seyogyanya berjalan dengan seiring.

Kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sebuah konstitusi negara Indonesia yang memuat 4 kedaulatan sekaligus merupakan norma dasar yang menjadi patokan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dan pembentukan hukum yang terdapat di Indonesia.

Pada konteks ketatanegaraan penyelenggaraan konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) di Indonesia dijalankan oleh organ-organ negara yang memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing untuk menjalankan tugas dan kewajiban negara. Dalam perkembangannya di Indonesia organ-organ pelaksana konstitusi dibagi menjadi 3 lembaga pelaksana yaitu: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Semua lembaga ini berperan penting dan memiliki masing-masing wilayah dalam hal pelaksanaan konstitusi suatu negara. Dan salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bagian dari badan peradilan (yudikatif) yang berfungsi untuk menjamin dan mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara.

2.1 Mahkamah Konstitusi

Pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum dan ketatanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau

judicial review.41 Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi, keberadaan Mahkamah Konstitusi pada awalnya hanyalah untuk menjalankan wewenang

constitusional review, sedangkan munculnya constitutional review itu sendiri dapat

41

Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: MKRI, 2010), hlm. 1.


(47)

30

dipahami sebagai perkembangan hukum dan politik ketatanegaraan modern. Dari aspek politik keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sebagai bagian dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi.42

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, yang dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 1945.43 Indonesia sendiri merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan fenomena negara modern abad ke-20.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun demikian, dari sisi gagasan constitutional review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota BPUPK, Muhammad Yamin, telah mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo menolak pendapat tersebut karena memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut paham trias politika dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki pengalaman constitutional review.44

Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari perubahan ketiga UUD 1945, wewenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dipegang oleh MPR. Hal ini diatur dalam ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 5 ayat (1) ketetapan tersebut

42

Ibid., hlm. 3. 43

Perubahan Ketiga UUD 1945 ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, tanggal 9 November 2001.

44

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid 1, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 341-342.


(48)

31

menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan MPR.” Namun pengujian ini tidak dapat disebut sebagai constitutional review, karena dilakukan oleh MPR yang bukan merupakan lembaga peradilan.45 Pada awalnya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Yaitu, MPR, MA atau MK. Gagasan memberikan wewenang tersebut kepada MPR akhirnya dikesampingkan karena disamping tidak ada lagi lembaga tertinggi, MPR bukan merupakan kumpulan ahli hukum dan konstitusi, melainkan wakil organisasi dan kelompok kepentingan politik. Gagasan yang kedua memberi wewenang pengujian undang-undang kepada Mahkamah Agung (MA), namun juga akhirnya tidak dapat diterima karena MA sendiri sudah terlalu banyak beban tugasnya dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi kompetensinya. Itulah sebabnya wewenang pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 akhirnya diberikan kepada lembaga tersendiri, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.

Hal ini berdasarkan pembahasan panjang yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc I 2000. Panitia yang secara khusus dibentuk untuk membahas amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa awal rapat pleno PAH I BP MPR 2000, telah diulas tentang kekuasaan kehakiman dan judicial review. Namun, belum ada anggota-anggota fraksi yang mengusulkan pembentukan Mahkamah Konstitusi dampai akhirnya beberapa bulan kemudian mucul ide pembentukan Mahkamah Konstitusi setelah PAH I BP MPR 2000 melakukan kunjungan ke daerah-daerah, studi banding, dan dengar pendapat dengan berbagai pihak.46

45

Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Op.cit., hlm. 6-7. 46

Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman,(Jakarta: MKRI, 2008), hlm. 283.


(49)

32

Pada rapat ke-32 PAH I, tanggal 17 Mei 2000, Gregorius Seto Harianto dari F-PKB menyampaikan pendapatnya mengenai Mahkamah Konstitusi dalam usulan fraksinya. Di dalam rapat yang membahasa terkait usulan-usulan fraksi dalam hal perubahan rumusan BAB I UUD 1945 ini, Gregorius Seto Harianto menyampaikan pemikiran tentang sistem pemerintahan negara, yang didalamnya tercakup pula mengenai Mahkamah Konstitusi. Menurut Gregorius Seto Harianrto, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang tidak permanen dan berfungsi sebagai pengadilan bagi penyelenggara negara yang dianggap melanggar UUD menurut aturan yang diterapkan dengan UU. Uraiannya lebih jauh, sebagai berikut:

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang tidak permanen berfungsi sebagai peradilan bagi penyelenggara negara yang dianggap melanggar UUD menurut aturan yang ditetapkan dengan UU.”47

Selain itu dalam rapat pembahasan usulan fraksi mengenai rumusan Bab II UUD 1945, anggota-anggota fraksi di PAH I BP MPR 2000 telah pula menyinggung keberadaan Mahkamah Konstitusi. Rapat yang berlangsung tanggal 22 Mei 2000, dan dilakukan sebanyak dua sesi ini anggota fraksi yang menyebut-nyebut Mahkamah Konstitusi dalam usulannya, adalah F-PG, F-PDU, F-PDKB, dan F-UG.

Penyuaraan akan pembentukan Mahkamah Konstitusi ternyata bukan hanya terdapat pada rapat PAH I BP MPR 2000 saja, usulan-usulan yang menghendaki agar terbentuknya Mahkamah Konstitusi juga disuarakan oleh elemen-elemen yang terdapat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Usulan-usulan dari masyarakat disampaikan oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, dan dari kalangan akademisi berbagai kampus yang disampaikan pada rapat dengar pendapat dengan PAH I BP MPR 2000.

Untuk melanjutkan pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pasca ST MPR 2000, PAH I BP MPR 2000 membentuk tim ahli untuk membantu proses pembahasan

47


(50)

33

materi-materi amandemen yang belum diputuskan. Tim ahli yang dibentuk ini berjumlah dari 30 orang, mereka terdiri dari para pakar dengan latar belakang keahlian seperti ahli politik, hukum, agama, ekonomi, pendidikan serta ahli bidang sosial dan budaya.

Usulan dan pandangan para ahli menjadi bahan masukan bagi PAH I BP MPR 2000. Untuk itu, para ahli telah secara khusus diundang pada rapat dengar pendapat dengan anggota PAH I. Selain itu, usulan dari pakar disampaikan pula pada masa-masa persidangan di luar agenda resmi persidangan. Rapat dengar pendapat dengan ahli dilakukan pada masa persidangan dengan ahli dilakukan pada masa PAH I BP MPR 2000 dan PAH I BP MPR 2001.

Para ahli yang memberikan pendapat dan pandangannya pada masa persidangan tersebut antara lain adalah Bagir Manan. Menurut Bagir Manan Mahkamah Konstitusi memungkinkan dibentuk sendiri tetapi dalam praktik di negara lain dimungkinkan diletakkan juga pada peradilan biasa.48

Mahkamah Konstitusi dalam pembentukannya banyak perdebatan dan jajak pendapat antar tim ahli dan fraksi-fraksi yang terdapat dalam PAH I BP MPR 2000 dan PAH I BP MPR 2001, sampai akhirnya pada amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 Mahkamah Konstitusi secara resmi ditenpatkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, selain Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya.

Pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi ini juga merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Hal ini juga penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi manusia (hak konstitusional) yang telah dijamin oleh konstitusi, serta sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam praktek ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan.

48


(51)

34

Mengenai rumusan Mahkamah Konstitusi secara detail adalah sebagai berikut: Kedudukan Mahkamah Konstitusi, Hal ini termuat dalam Pasal 24 ayat (1)49, dan ayat (2)50. Dengan rumusan tersebut kedudukan Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga peradilan yang berdiri sendiri. Mahkamah Konstitusi bersama Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, ditetapkan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. dengan demikian Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan dua lembaga negara yang sejajar. Dan keduanya adalah pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Dari rumusan ini dapat disimpulkan bila kekuasaan kehakiman terbagi dari dua cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court), yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.

Perubahan ketiga UUD 1945, ditegaskan posisi MPR tidak lagi sebagai pelaksana tunggal kedaulatan rakyat. Bersamaan dengan itu diletakkan pula sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat untuk Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif) dan Mahkamah Konstitusi sebagai sarana kontrol bagi cabang kekuasaan lainnya. Dengan konsep kekuasaan ini dapat dikatakan keberadaan kelembagaan negara dalam posisi dan kedudukan yang setara atau sederajat. Kemudian mengenai susunan kelembagaan Mahkamah Konstitusi dituangkan dalam Pasal 24C ayat (3)51 UUD 1945, yaitu Komposisi, susunan dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan tiga cabang kekuasaan negara, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Komposisi ini, diharapkan dapat menerapkan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi. Diharapkan pula,

49

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

50

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 51

Pasal 24C ayat (3) UUD 1945: Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.


(1)

V. SARAN DAN KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian penulis terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional, peneliti menyimpulkan bahwa: Mahkamah Konstitusi Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional. Hal ini berdasarkan dari kedudukan Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai penjaga konstitusi/The guardian of constitution. Sebagai lembaga yang menjaga kedaulatan. Kemudian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat melakukan pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional dapat dilihat dari perbandingan yang telah dilakukan, terlihat Mahkamah Konstitusi/Dewan Konstitusi yang terdapat di Jerman dan Perancis memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap perjanjian internasional/undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional bila terindikasi bertentangan dengan konstitusi negaranya sebagaimana fungsi Mahkamah Konstitusi/Dewan Konstitusi sebagai the guardian of constitution.


(2)

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan simpulan penulis dapat memberikan saran, diantaranya: Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga konstitusi sudah saatnya untuk memberanikan diri melakukan pengujian undang-undang hasil ratifikasi Internasional terhadap Undang-Undang Dasar 1945, terlebih diera globalisasi seperti saat ini kesepakatan-kesepakatan masyarakat Internasional akan semakin banyak menghasilkan norma-norma hukum internasional yang akan langsung bersinggungan dengan konstitusi di Indonesia, apabila Mahkamah Konstitusi masih bersikap untuk enggan melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang dianggap bertentangan dengan konstitusi negara hal ini dapat menjadikan sebuah negara kehilangan kedaulatan konstitusi di negaranya sendiri. Saat ini perlu adanya pembentukan regulasi mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang dapat dilakukan dengan memasukannya kedalam peraturan-peraturan mengenai Mahkamah Konstitusi baik undang-undang maupun kedalam Peratuan Mahkamah Konstitusi (PMK) agar kedepannya kerancuan terhadap permasalahan ini tidak terulang kembali. Selain itu sudah saatnya pelaksanaan prinsip checks and balances dalam konteks perjanjian internasional dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara (ekskutif, legislatif, dan yudikatif) baik dari proses persetujuan sampai proses ratifikasi suatu perjanjian internasional dengan prinsip saling mengawasi, sehingga hasil ratifikasi suatu perjanjian internasional dapat menghasilkan ratifikasi yang tidak melanggar prinsip-prinsip konstitusi. Selain Prinsip checks and balances, Mahkamah Konstitusi tidak boleh langsung menolak untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional. Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan melihat substansi secara menyeluruh sehingga dapat melihat terlebih dahulu apakah undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional


(3)

102

tersebut benar-benar bertentangan dengan konstitusi. Sehingga norma hukum yang berlaku di Indonesia benar-benar merupakan norma yang bertujuan mewujudkan keadilan substantif bagi masyarakat Indonesia, keadilan yang menyentuh rongga-rongga substansial, hakiki dan dirasakan oleh masyarakat sebagai keadilan yang sesungguhnya, rasa keadilan yang diakui dan hidup dalam masyarakat guna mewujudkan cita-cita yang diamanatkan oleh konstitusi negara ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku:

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung. Citra Aditya Bhakti.

Agusman Damos Dumoli. 2010. Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia. Bandung. PT Refika Aditama.

Anwar C. 2011. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang. Intrans Publishing.

C. S. T. Kansil dkk. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini. Jakarta. PT Rineka Cipta.

Dahlan Thaib dkk. 1999. Teori Hukum dan Konstitusi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Daulay Ikhsan Rosyada Parluhutan. 2006. Mahkamah Konstitusi Memahami

Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta. PT Asdi Mahasatya.

I Gede Dewa Atmadja. 2010. Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi indonesia Sesudah UUD 1945. Malang. Setara Press.

Jimly Asshiddiqie. 2010. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta. Sinar Grafika. Maria Farida Indrati S. 2009. Ilmu Perundang-undangan. Jakarta. Kanisius.

Martitah. 2013. Dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta. Konstitusi Press.


(5)

104

Mochtar Kusumaatmadja dkk. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung. PT Alumni.

Muhammad Yamin. 1959. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid 1. Jakarta. Yayasan Prapanca.

Ni’matul Huda. 2003. Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945. Yogyakarta. FH UII Press.

Norman Dorsen dkk. 2002. Comparative Constitutionalism cases and Materials. America. American Casebook Series.

T. May Rudy. 2011. Hukum Internasional 2. Bandung. PT Refika Aditama.

Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitus. Jakarta. MKRI.

. . 2008. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Jakarta. MKRI.

Sefriani. 2010. Hukum Internasional. Jakarta. Rajawali Press.

Siahaan Maruarar. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.

Starke, J.G. 2010. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta. PT Sinar Grafika.

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia Press.

Thaib Dahlan dkk. 2012. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. Wahyu Sasongko. 2010. Dasar-dasar ilmu hukum. Lampung. Universitas Lampung.


(6)

B. Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226). Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4915).

C. Putusan Mahkamah Konstitusi:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011

D. Internet dan lain-lain:

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekaPUUU

https://docs.google.com/gview?url=http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_ sidang_Putusan%2033%20PUU%202011%20dan%2010%20PHPU%202013%20tgl%2026 %20Februari%202013.pdf&chrome=true

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/berita-hukum-dan-perundang-undangan/1402-mk-tak-berwenang-uji-uu-hasil-ratifikasi-perjanjian-internasional.html


Dokumen yang terkait

A. Pendahuluan - KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MELAKUKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 12

BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33PUU-IX2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Put

0 0 39

BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33PUU- IX2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of - WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL (Studi Kasus Putusan Mahkama

0 0 18

Ultra Petita dalam Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi Ultra Petita in the Judicial Review of Law by the Constitutional Court

0 0 18

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012 Terkait Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang- Undang Implementation of Constitutional Court Decision Number 92PUU-X2012 In Relation To The Authority of Regional Representati

0 0 27

Yudisialisasi Politik dan Sikap Menahan Diri: Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Undang-Undang Judicialization of Politics and Judicial Restraint: The Role of the Constitutional Court on the Review of Laws

0 0 30

Keberlakuan Yurisprudensi pada Kewenangan Pengujian Undang-Undang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Jurisprudence Enforceability on Judicial Review Authority in the Constitutional Court Decision

0 0 24

Tenggang Waktu Konstitusionalitas dan Kebersesuaian Undang-Undang dengan UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi The Limitation of Time in Constitutionality and Conformity of Law to The Constitution UUD 1945 in Constitutional Court Decision

0 0 22

Penambahan Kewenangan Constitutional Question di Mahkamah Konstitusi sebagai Upaya untuk Melindungi Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Expanding the Authority of Constitutional Question in the Constitutional Court as an Effort for Protecting Citizens’ Co

0 0 22