BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Teori-Teori Pemidanaan - IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Repository - UNAIR REPOSITORY

PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

2.1 Teori-Teori Pemidanaan

  12 BAB II

  Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk

  1

  :

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Hukum pidana ialah suatu kekhususan hukum yang mana hubungan hukum ini adalah perseorangan dengan negara. Jadi biasanya jika ada pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana dijatuhi hukuman penjara yang mana hukuman tersebut berdasarkan Undang-undang yang berlaku di negara tersebut.

  Seperti halnya hukum pidana, hukum pidana dapat timbul jika terjadi pelanggaran ataupun kejahatan yang melanggar atau melawan Undang-Undang yang berlaku 1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, 2009, h. 1 dalam suatu negara. Sehingga dalam ilmu hukum pidana harus diterapkan asas legalitas yang biasa disebut dengan asas “Nullum delictum nulla poena sine lege”, yang menunjukan bahwa keseluruhan hukum pidana harus ditegaskan dengan

  2 suatu Undang-Undang .

  Dalam sistem pemidanaan hukum di Indonesia, dikenal dengan sistem

  double track , yaitu suatu sistem pemidanaan yang terdiri dari sanksi pidana (straf)

  dan sanksi tindakan (maatregel). Perbedaan dari kedua sistem pemidanaan ini adalah, kalau sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan agar pelakunya menjadi jera, sedangkan sanksi tindakan lebih kepada upaya pemberian pertolongan kepada pelaku agar dapat berubah. Sering dikatakan juga, sanksi tindakan berbeda dengan sanksi pidana,

  3

  sanksi tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat . Sehingga sanksi pidana lebih kepada unsur pembalasan, sedangkan sanksi tindakan lebih kepada

  4 perlindungan masyarakat dan pembinaan ataupun perawatan bagi pelakunya .

  Bisa dikatakan, double track system tadi sangat berkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika. Karena dalam Tindak Pidana Narkotika, terdapat suatu tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yang mana menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang tersebut diselenggarakan 2 Roeslan Saleh, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Perspektif, Aksara Baru, 1981, h.

  28 3 Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009) , Rineka Cipta, 2012, h. 238 4 Abdul Affandi, “Double Track System Pada Sistem Sanksi Hukum Pidana”, dikunjungi pada 16 Desember 2014 berasaskan keadilan, pengayoman, kemanuasiaan, ketertiban, perlindungan,

  5

  keamanan, nilai-nilai ilmiah, dan kepastian hukum , artinya sebuah pertolongan tehadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, yaitu rehabilitasi. Serta ada juga penjatuhan pidana penjara kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tertangkap tangan oleh pihak yang berwajib kedapatan sedang melakukan penyalahgunaan Narkotika.

  Jika dikaitkan dengan hukum pidana sendiri, dalam hukum pidana, tentu saja mempunyai tujuan dalam hal pemidanaan itu sendiri. Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang membenarkan (justification) penjatuhan

  6 hukuman (sanksi). Diantaranya teori absolut, relatif, dan gabungan .

  Teori absolut (Vergeldingstheori) merupakan teori yang mana hukuman tersebut dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau

  7

  anggota masyarakat . Dalam teori ini, dapat dilihat bahwa suatu kejahatan atau tindak pidana harus dikenakan sanksi yang setimpal, artinya suatu pembalasan terhadap tersangka berupa pidana, sebagai cermin pertanggungjawaban tersangka tersebut karena telah melawan hukum pidana yang berlaku, karena telah melakukan hal yang berakibat buruk atau pun sampai merugikan orang lain.

  Dalam teori absolut ini, jika dikaitkan dengan pidana penjara, maka pidana penjara tersebut dapat dijadikan suatu pembalasan yang setimpal terhadap 5 Bambang Waluyo, Viktimologi : Perlindungan Korban Dan Saksi, Sinar Grafika, 2012,

  h. 126 6 7 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, 2005, h. 4 Ibid tersangka. Bisa dikatakan suatu sanksi yang telah diatur oleh Undang-Undang yang berlaku dalam masyarakat, dan jika dilawan maka akan dikenakan sanksi yang telah diatur pula dalam pasal demi pasal yang ada pada Undang-Undang yang berlaku tersebut.

  Selain teori absolut, dikenal juga yang namanya Teori Relatif (Doeltheori). Teori ini dilandasi oleh tujuan dari hukum itu sendiri dibuat, yaitu dengan adanya tindakan menjerakan, memperbaiki pribadi terpidana, serta

  8 membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya .

  Dalam teori relatif, menjerakan disini merupakan suatu tindakan yang bertujuan agar terpidana memdapatkan efek jera dari perbuatan yang telah dilakukannya dengan pemidanaan, sehingga tidak melakukan perbuatannya lagi, serta diketahui oleh masyarakat, agar masyarakatnya juga tahu bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terpidana tersebut adalah salah dan dapat dikenai sanksi pidana.

  Selain itu, dalam teori relatif juga dikenal yang namanya memperbaiki pribadi dari terpidananya itu sendiri. Artinya dalam proses dilakukannya hukuman terhadap terpidana, selain mendapatkan efek jera terhadap perbuatan yang telah dilakukannya, terpidana tersebut juga mendapatkan suatu penyuluhan dan pendidikan, sehingga terpidana tersebut menjadi tahu akan kesalahannya dan menyesali perbuatannya, dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.

8 Ibid

  Lalu ada yang namanya membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya dalam teori relatif. Membinasakan disini adalah suatu hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana karena memang perbuatan yang dilakukan terpidana tersebut layak untuk dihukum mati. Sementara membuat terpidana tidak berdaya adalah hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada terpidana, sehingga terpidana tersebut sudah tidak berdaya lagi, dan menghabiskan sisa hidupnya didalam penjara.

  Sementara teori gabungan adalah penggabungan antara teori absolut dan teori relatif itu tadi. Yang mana teori gabungan merupakan suatu teori yang mana menjatuhkan suatu tindak pidana atau pembalasan dengan memasukan teori relatif itu tadi, yaitu contohnya dengan memberikan suatu penyuluhan dan pendidikan sambil menjalani pidana yang dijatuhkan.

  Terkait dengan hukum pidana, ancaman pidana dan pemidanaan bisa dikatakan suatu norma dalam hukum pidana. Bisa dibilang, sanksi adalah suatu norma yang ada dalam hukum pidana. Hukum pidana disini mempertegas suatu norma yang sudah ada, yaitu dengan adanya ancaman pidana dan pemidanaan itu

  9 sendiri .

  Melihat teori-teori diatas, keterkaitan teori-teori diatas dengan tindak pidana Narkotika merupakan sebuah pemberian hukuman atau sanksi terhadap pelaku tindak pidana, tetapi juga memberikan suatu tindakan, yang mana disini adalah rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. 9 Moeljatno, Loc.Cit, h. 9

  Jika berbicara hukum pidana, biasanya hukum pidana dilakukan oleh pelaku dan merugikan orang lain, dimana orang tersebut telah diambil atau dirampas kebebasan untuk hidup dan perbuatan pelaku tersebut melanggar atau melawan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Sama dengan Tindak Pidana Narkotika, yang disini lebih kepadan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, juga dapat merembet kepada kerugian yang ditimbulkan oleh Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tadi.

  Sebagai contohnya, jika Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika tersebut sedang membutuhkan uang untuk membeli zat terlarang tersebut, maka sangat besar kemungkinan ia melakukan tindak pidana lain, seperti pencurian yang dapat menimbulkan kepada pihak lain yang menjadi korban pencurian yang dilakukan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut.

  Menimbulkan kerugian diatas bisa dikatakan dampak yang timbul dariPecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dari ketergantungannya tadi akan zat terlarang tersebut yang harus dihilangkan dan diberi pertolongan akan ketergantungan dengan rehabilitasi ini, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial, meskipun jika menyalahgunakan Narkotika merupakan suatu tindak pidana.

  Tindak Pidana Narkotika merupakan suatu perbuatan pidana. Perbuatan ini ada yang menimbulkan kerugian secara langsung karena perbuatannya yang dilarang, serta ada yang tidak langsung, seperti halnya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tadi yang sampai melakukan pencurian karena ketergantungan akan zat terlarang tersebut. Sebagai contohnya perbuatan yang dilarang sehingga menimbulkan kerugian langsung adalah Pengedar, Bandar Narkoba, Kurir, dan lain-lain yang berkaitan dengan Pengedaran dan Penggelapan Narkotika yang secara ilegal mengedarkan Narkoba dengan bebas, sampai dijadikan suatu mata pencaharian, yang sasarannya adalah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

  Selain Narkotika itu sendiri dalam Tindak Pidana Narkotika, juga dikenal yang namanya Prekursor. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor

  44 Tahun 2010 tentang Prekursor dijelaskan bahwa, Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika. Jadi, disini bisa dikatakan, Narkotika sebelum jadi zat Narkotika tersebut juga sudah diatur, dan tidak hanya Narkotika saja yang dapat dikatakan legal, yang mana harus tetap diawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan pengadaan dan penggunaan Prekursor. Karena Prekursor merupakan bahan dari Narkotika itu sendiri, dan tidak boleh disalahgunakan oleh Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

  Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ialah Pengguna Narkotika yang menggunakan Narkotika tersebut dengan tidak legal. Dalam halnya Narkotika tidak lagi masuk dalam dimensi hukum, tetapi dimensi kesehatan, yang mana setiap orang mempunyai hak untuk hidup sehat dan menjunjung tinggi nilai kesehatan bagi kehidupannya. Jadi bisa dikatakan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika disini adalah orang sakit, yang harus disembuhkan.

  Penggunaan putusan rehabilitasi merupakan sebuah upaya penanggulangan penggunaan Narkotika itu sendiri. Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan yang sedang dalam proses rehabilitasi tidak hanya mendapatkan suatu rehabilitasi secara medis, tetapi secara sosial juga. Secara sosial disini adalah suatu upaya proses pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas Pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa dikatakan, dalam proses rehabilitasi tersebut bukan hanya suatu pengobatan saja, tetapi sama

  10

  seperti didalam penjara , tetapi hanya bahasanya saja diperhalus, karena memang proses rehabilitasi lebih kepada perlindungan kepada penyalahguna Narkotika dengan melindungi sumber daya manusia.

  Terkait masalah rehabilitasi, terdapat 2 (dua) bentuk penangan pengobatan, tergantung keputusan dari lembaga atau hakim yang berwenang memutuskan, yaitu rehabilitasi inap dan rehabilitasi jalan, seperti penanganan

  11 pengobatan pada umumnya pelayanan rumah sakit untuk masyarakat .

  Pengguna Narkotika sampai tahun 2014 ini sudah sekitar delapan belas

  12

  ribu jiwa, serta Prevalensi dari tahun ke tahun cenderung meningkat . Maka harus dipulihkankan dan diberantas. Dengan proses rehabilitasi inilah, maka Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika bisa dipulihkan dan diberantas. 10 Wawancara dengan Bapak Yogi, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, di

  Jakarta, 23 Juli 2014 11 Wawancara dengan dr. Beny, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, 15 Agustus 2014 12 Anang Iskandar, Loc. Cit.

  Terkait dalam hal rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dikenal yang namanya kerangka kerja dekriminalisasi dan depenalsasi, yang akan dibahas pada sub Bab 2.3. Kedua kerangka kerja tersebut bisa dikatakan suatu sanksi secara rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang bedanya adalah bagaimana Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut bisa menjalani proses rehabilitasi tersebut.

2.2 Putusan Rehabilitasi Dalam Undang-Undang Narkotika Sebagai Bentuk Pemidanaan

2.2.1 Manfaat Putusan Rehabilitasi Dalam Tindak Pidana Narkotika

  Rehabilitasi adalah suatu upaya berupa tindakan dalam hal memberikan pertolongan untuk melindungi sumber daya manusia agar dapat berubah dan pulih. Dalam rehabilitasi, terbagi kedalam 2 (dua) bentuk, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Sedangkan rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu dapat kembali melaksanakan

  13

  fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat . Bisa dikatakan rehabilitasi medis merupakan suatu pengobatan medis dan rehabilitasi sosial merupakan suatu pemulihan secara fisik, mental, dan sosial.

13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Lembaran Negara Republik

  Indonesia Tahun 2009 Nomor 143), Pasal 1 angka 16 dan 17

  Dalam Tindak Pidana Narkotika dikenal dengan suatu proses yang bernama rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan upaya dalam menanggulangi dan memberantas penyalahgunaan Narkotika. Sehingga bisa dijadikan suatu upaya yang sangat tepat untuk menanggulangi dan memberantas penyalahgunaan Narkotika itu tadi. Serta para Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika juga wajib menjalani rehabilitasi, seperti dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Narkotika tadi juga dijelaskan, bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

  14 rehabilitasi sosial .

  Jika melihat mengenai ketentuan tentang rehabilitasi, maka jelas bahwa seorang Pecandu Narkotika ataupun seorang Korban Penyalahgunaan Narkotika harus sama-sama menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial itu tadi yang dilaksanakan oleh pihak yang berwenang disini, yaitu Badan Narkotika Nasional dan dari pihak lembaga rehabilitasi, yang mempunyai wewenang juga dalam hal memutuskan tentang apa saja yang diperlukan dan bagaimana penanganan rehabilitasi yang tepat untuk Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut, serta lamanya proses rehabilitasi.

  Putusan Rehabilitasi merupakan suatu putusan dimana selain Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika mendapatkan efek jera, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika juga mendapatkan penyuluhan serta pendidikan akan bahaya dari Narkotika itu sendiri, sehingga

  14 Ibid, Pasal 54 Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dapat kembali kekehidupan normal dimasyarakat.

  Adapun beberapa kategori ketika Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dapat dikatakan pulih, sekaligus manfaat dan tujuan dari pelaksanaan rehabilitasi tersebut. Kategori sekaligus manfaat tersebut yaitu tidak menggunakan Narkotika (Drugs Free), artinya tidak lagi menggunakan zat Narkotika lagi, lalu tidak melakukan tindakan kriminal (Criminalize Free), artinya tidak melakukan tindakan kriminal yang dilarang Undang-Undang, lalu hidup sehat (Healty Life Style), artinya menerapkan gaya hidup yang sehat, dan yang terakhir lebih produktif (Productivity), artinya dapat menjalankan hidup yang lebih produktif lagi dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan

  15

  masyarakat sekitar . Jika keempat kategori tersebut sudah bisa dilaksanakan oleh Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, maka baru bisa dikatakan pulih dan dapat kembali kemasyarakat.

  Melihat keempat kategori tersebut, bisa dikatakan proses rehabilitasi merupakan sebagai proses untuk mencapai beberapa manfaat bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar memenuhi keempat kategori di atas, sehingga dapat kembali dapat hidup normal dalam masyarakat.

2.2.2 Perbandingan Putusan Rehabilitasi dengan Putusan Pidana Penjara

  Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika 15 Wawancara dengan dr. Amrita, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan

  Narkotika Nasional, di Jakarta, 18 Agustus 2012 wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal tersebut jelas menerangkan, pelaku tindak pidana Narkotika yang terindikasi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi. Tetapi rehabilitasi disini juga dilakukan tidak hanya yang melaporkan diri atau dilaporkan oleh orang tua/wali secara sukarela, tetapi juga yang sudah tertangkap tangan, yang mendapatkan putusan pidana penjara seperta halnya Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, juga wajib direhabilitasi seperti halnya yang melaporkan diri atau dilaporkan oleh orang tua/wali secara sukarela.

  Putusan Rehabilitasi dan Putusan Pidana Penjara adalah dua bentuk penegakan hukum yang ada dalam Tindak Pidana Narkotika. Jika dikaitkan dengan suatu penegakan hukum, rehabilitasi bisa dikatakan merupakan suatu upaya dalam hal penanggulangan Tindak Pidana Narkotika selain sanksi pidana.

  Perbedaannya jelas, rehabilitasi kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang melaporkan diri atas kesadaran sendiri atau

  16

  dilaporkan oleh orang tua/wali , sementara untuk sanksi pidana penjara, kepada yang tertangkap tangan oleh Badan Narkotika Nasional/POLRI. Melaporkan atas dasar kesadaran diri sendiri dan tertangkap tangan sama-sama dapat direhabilitasi, tetapi perbedaannya dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu untuk yang melapor atas kesadaran sendiri disebut Voluntary dan yang tertangkap tangan terlebih dahulu

  17 baru direhabilitasi ketika sudah tertangkap tangan disebut Compulsary . 16 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 143), Pasal 55 Dalam hal kategori rehabilitasi, baik Voluntary maupun Compulsary, mempunyai perbedaan dalam hal pemberian keputusan mengenai lamanya masa rehabilitasi yang dijatuhkan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Untuk kategori Voluntary, keputusan mengenai lamanya masa rehabilitasi ditentukan oleh pihak Badan Narkotika Nasional, sementara untuk kategori Compulsary, ditentukan atau dijatuhkan dengan putusan hakim yang berwenang. Sehingga bisa dikatakan, untuk kategori Voluntary, adalah hubungan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan lembaga, dimana lembaga yang berwenang memutuskan lamanya masa rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, karena dalam kategori Voluntary ini bersifat dengan sukarela agar diberikan pertolongan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar direhabilitasi, sementara untuk kategori Compulsary adalah hubungan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan hakim, dimana hakim yang memutuskan lamanya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika direhabilitasi, yang tecantum dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, karena kategori ini Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika statusnya sudah tertangkap tangan.

  Dalam proses atau kegiatan rehabilitasi, baik Voluntary maupun

  Compulsary , harus tetap menggunakan proses asesmen untuk mengukur sejauh

  mana kriteria tingkat kecanduan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan 17 Wawancara dengan Ibu Rini, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, di

  Jakarta, 23 Juli 2014

  Narkotika. Asesmen disini tetap sama-sama menggunakan Tim Dokter dan Tim Hukum yang ditetapkan oleh Pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi, dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

  Dari situlah, mengapa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika lebih baik direhabilitasi dari pada dipenjara, karena Pecandu Narkotika sudah bisa dikatakan masuk keranah kesehatan yang harus dipulihkan, dan pemulihan tersebut, selain memberikan efek jera terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut harus direhabilitasi, serta karena prevalensi Pecandu di Indonesia ini cenderung meningkat dari tahun ketahunnya, karena memang ada beberapa Pecandu yang setelah dipenjara pun bukan malah dia mendapatkan efek jera, tetapi malah lebih lagi menggunakan zat tersebut, karena kurangnya penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi terhadap bahaya Narkotika tersebut bagi kehidupan, yang mana jika Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut hanya dipenjara, tidak direhabilitasi.

  Sehingga maka dari itulah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib untuk direhabilitasi, dengan rehabilitasi medis sebagai pengobatan, serta rehabilitasi sosial, sebagai pemulihan fisik, mental, maupun sosial Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.

  Adapun perbandingan putusan rehabilitasi dengan putusan pidana penjara pada bagan dibawah ini.

Tabel 2.2.1. Perbandingan Putusan Rehabilitasi Dengan Putusan Pidana Penjara

  Putusan Rehabilitasi Putusan Pidana Penjara

  1. Diputus oleh lembaga rehabilitasi

  1. Diputus oleh Hakim

  2. Yang terindikasi Pecandu Narkotika

  2. Yang terindikasi dan Korban Penyalahgunaan kurir/bandar/pengedar Narkotika Narkotika yang sedang mengalami yang melakukan peredaran gelap ketergantungan Narkotika dan harus Narkotika dipulihkan

  3. Lebih kepada pemberian

  3. Lebih kepada pemberian efek jera pertolongan kepada Pecandu berupa sanksi pidana penjara kepada Narkotika dan Korban Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Penyalahgunaan Narkotika

  4. Melalui proses asesmen

  4. Tidak melalui proses asesmen

  5. Terdapat proses dimana dilakukan

  5. Tidak ada proses pengobatan dan tindakan pengobatan secara medis pemulihan kepada Pecandu dan pemulihan secara fisik, mental, Narkotika dan Korban maupun sosial kepada Pecandu Penyalahgunaan Narkotika Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika

  6. Tidak ada remisi atau potongan

  6. Ada remisi atau potongan masa masa tahanan tahanan Sumber : Diolah dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

  Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu; Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban

  Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabilitasi; Wawancara dengan Bapak Rachman, Staf Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional; dan Wawancara dengan dr. Beny, Salah Satu Dokter Di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional.

2.3 Rehabilitasi Sebagai Bentuk Dekriminalisasi atau Depenalisasi

2.3.1 Dekriminalisasi

  Proses dekriminalisasi adalah suatu proses dimana suatu perbuatan yang bisa dikatakan suatu perbuatan jahat karena dilarang dalam peraturan perundang- undangan pidana, kemudian pasal tersebut dihapus dari perundang-undangan dan dengan demikian perbuatan itu tidak lagi merupakan suatu kejahatan yang dapat dipidana.

  Dekriminalisasi dilaksanakan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, apabila perbuatan yang semula merupakan tindak pidana kemudian karena perkembangan masyarakat dikeluarkan dari hukum

  18 pidana artinya perbuatan tersebut tidak dianggap jahat lagi .

  Dalam dekriminalisasi juga disebutkan bahwa dekriminalisasi ini merupakan seleksi peraturan hukum pidana yang sudah ada. Bisa dikatakan, seleksi ini adalah penyesuaian terhadap kejahatan-kejahatan yang pasalnya dicabut dan tidak lagi merupakan suatu perbuatan jahat, yang mana apabila peraturan yang sudah ada itu tidak dapat dijalankan lagi, bertentangan dengan

  19 kedudukan RI, ataupun tidak mempunyai arti lagi . 18 Sarwirini, “Dekriminalisasi Penyalahgunaan Narkotika (Reorientasi Kebijakan Pemidanaan Bagi Penyalahguna Narkotika), Makalah disampaikan pada Seminar tanggal 24

  September 2014, di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 19 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana : Pengembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2014, h. 233

  Penerapan dekriminalisasi dan depenalisasi adalah sebuah penerapan untuk proses pemulihan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dari proses rehabilitasi tersebut. Perbedaannya, dekriminalisasi adalah proses rehabilitasi yang mana dilaksanakan untuk Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ketika sudah tertangkap tangan dan dilakukan disela- sela sanksi pidana itu dilakukan, jadi bisa dikatakan, dalam proses pidana penjara

  20

  juga ada proses rehabilitasi didalamnya . Dalam dekriminalisasi ini proses penjatuhan lamanya rehabilitasi dijatuhi oleh Hakim pengadilan yang berwenang menangani kasus tersebut.

  Dekriminalisasi merupakan sebuah rehabilitasi, bukan bagian dari sanksi. Rehabilitasi sebagai implikasi kegagalan sanksi pidana mencegah meningkatnya

21 Pengguna Narkotika . Bisa dikatakan, rehabilitasi dari kerangka kerja

  dekriminalisasi ini adalah sebagai upaya pemulihan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan menggunakan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

  Dalam hal dekriminalisasi merupakan suatu upaya, yang dituangkan dalam proses rehabilitasi itu sendiri dengan tidak hanya memberikan efek jera terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang telah tertangkap tangan, tetapi juga memberikan penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika itu tadi, yang mana diadakan khusus bagi terpidana Narkotika, agar bisa lebih mengerti lagi bahaya 20 Wawancara dengan Bapak Rachman, staf Direktorat Hukum Badan Narkotika

  Nasional, di Jakarta, 22 Juli 2014 21 Sarwirini, Loc. Cit., dikutip dari Herbert L. Packer, 1968

  dari Narkotika itu sendiri bagi kehidupan, yang bahkan dapat menyebabkan kematian.

  Selain dekriminalisasi, ada satu lagi kerangka kerja dalam hal rehabilitasi, yaitu depenalisasi. Depenalisasi dilaksanakan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, apabila perbuatan yang dulunya diancam pidana, karena perkembangan masyarakat, ia dianggap bukan perbuatan yang diancam pidana lagi, tetapi sifat perbuatan yang diancam pidana lagi, tetapi sifat

  22 perbuatan masih dianggap jahat .

2.3.2 Depenalisasi

  Proses depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam pidana, tetapi ancaman pidananya disini dihilangkan, tetapi dapat dituntut dengan sanksi yang lainnya. Dalam hal ini, hanya pidananya yang dihilangkan, tetapi sifat melawan atau melanggar hukumnya tetap dipertahankan. Bisa dikatakan, depenalisasi ini merupakan penghilangan pidana terhadap pelaku, tetapi tetap perbuatannya dianggap melawan atau melanggar hukum.

  Depenalisasi bisa dikatakan sebuah proses rehabilitasi yang dilaksanakan apabila Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika atau keluarga/wali tersebut melapor kepada pihak yang berwenang dan meminta sendiri untuk direhabilitasi (voluntair), yang melapor secara sukarela. Dalam proses depenalisasi ini, adalah sebuah pelayanan kepada masyarakat untuk menerapkan proses rehabilitasi oleh pihak yang berwenang disini adalah Badan 22 Sarwirini, Loc. Cit. Narkotika Nasional kepada masyarakat yang ingin pulih dari ketergantungan terhadap zat Narkotika itu sendiri.

  Untuk melaksanakan proses ini, perlu adanya suatu tolak ukur terhadap sudah sejauh mana Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang secara sukarela tadi melapor kepada Badan Narkotika Nasional, Pecandu tersebut harus melakukan proses asesmen yang dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasionaltadi, sebelum akhirnya lamanya proses rehabilitasi ditentukan oleh lembaga yang berwenang, yaitu lembaga rehabilitasi yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional.

  Tim Asesmen terdiri dari Tim Medis dan Tim Hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan surat keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi, dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota, yang mana kedua tim tersebut bersatu dan bernama

23 Tim Asesmen Terpadu .

  Adapun mekanisme pelaporan yang ada dalam kerangka kerja depenalisasi ini bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ini yang melapor secara sukarela kepada Badan Narkotika Nasional untuk direhabilitasi.

  24 Mekanisme pelaporan tersebut dibagi menjadi 2 (dua) cara, yaitu :

23 Peraturan Bersama Ketua Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri

  Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional Republik IndonesiaTahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Berita Negara RI Nomor 465 Tahun 2014) 24 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 46)

  1. Pecandu melaporkan dirinya secara sukarela kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), akan menjalani proses kondisi pecandu Narkotika, yang meliputi aspek medis dan sosial. Asesmen dilakukan dengan cara wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis terhadap pecandu Narkotika. Wawancara tersebut meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial pecandu Narkotika. Setelah persyaratan administrasi lengkap, pecandu akan langsung ditempatkan ke pusat terapi dan rehabilitasi yang telah disepakati oleh pecandu Narkotika, orang tua/wali, atau keluarga pecandu Narkotika dan pimpinan IPWL tanpa melalui proses hukum.

  2. Bagi pecandu yang sudah ditangani oleh penyidik, juga, akan menjalani proses asesmen terlebih dahulu. Selanjutnya hasil asesmen tersebut dikaji oleh Deputi Pemberantasan dan Direktorat Hukum Badan Narkotika Nasional, apakah pelapor tersebut berhubungan dengan jaringan Narkoba atau pengguna Narkoba murni. Jika dia dinyatakan memiliki jaringan Narkoba, maka selanjutnya akan ditangani oleh hakim yang menangani kasus tersebut melalui proses peradilan. Melihat dari mekanisme diatas, depenalisasi merupakan sebuah penerapan rehabilitasi medis maupus sosial yang mana bersifat voluntair yang diberikan oleh

  Badan Narkotika Nasional kepada Pecandu Narkotika dan Korban

  Penyalahgunaan Narkotika yang ingin pulih agar bisa kembali pulih. Seperti tujuan rehabilitasi juga yaitu sebagai suatu upaya dalam penanggulangan Tindak Pidana Narkotika, yang mana rehabilitasi merupakan suatu kegiatan pengobatan dan kegiatan pemulihan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika agar dapat mengerti tentang bahaya Narkotika itu sendiri dengan mendapatkan penyuluhan dan pendidikan serta efek jera dari perbuatannya, sehingga dapat pulih dan tidak mengulangi perbuatannya lagi untuk hidup yang lebih baik lagi.

  Melihat kedua kerangka kerja dekriminalisasi dan depenalisasi, ada suatu kesamaan dari kedua kerangka kerja tersebut. Yaitu kedua kerangka kerja diatas merupakan sebuah upaya untuk pemulihan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang mana sama-sama melaksanakan penerapan pengobatan serta pemulihan dengan cara rehabilitasi. Cuma hanya bedanya dekriminalisasi diputus oleh hakim terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dimana suatu kejahatan karena dilarang oleh Undang-Undang pidana, tetapi pasal yang mengatur dicabut, dan bukan lagi dianggap suatu perbuatan pidana, sementara depenalisasi adalah Pecandu yang melaporkan diri secara sukarela atau dilaporkan oleh orang tua/wali untuk dilakukan rehabilitasi kepada Pecandu tersebut, yang mana disini pidananya dihilangkan, dan diganti proses rehabilitasi dalam hal penanganan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, tetapi perbuatan melawan hukum atau melanggar hukumnya tetap ada.

  Rehabilitasi disini bukan merupakan suatu sanksi, rehabilitasi adalah bentuk pemulihan terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika baik secara medis maupun secara sosial. Karena sesungguhnya, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika bukan pelaku kejahatan, melainkan orang yang sakit dan bisa dikatakan korban dari Narkotika itu sendiri. Lain halnya dengan bandar, kurir, atau pengedar Narkoba itu sendiri, mereka yang harus diberantas, karena merekalah pelaku kejahatan dari Tindak Pidana Narkotika yang sesungguhnya. Sehingga Pengguna Narkoba lebih baik direhabilitasi daripada dipenjara.

  Dalam proses rehabilitasi ada beberapa penerapan proses rehabilitasi yang akaan dijelaskan lebih rinci dalam Bab 3. Tetapi ada beberapa tahapan yang harus diketahui sebelum berlanjut masuk Bab 3. Tahapan rehabilitasi yaitu berawal dari proses asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu, yaitu Tim Medis dan Tim Hukum, setelah melaksanakan proses asesmen tersebut, Pecandu Narkotika telah mendapatkan tolak ukur, sejauh mana Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut mengetahui dan mengonsumsi Narkotika. Lalu, setelah proses asesmen tersebut, masuklah kedalam proses rehabilitasinya itu sendiri, sesuai kebijakan lembaga rehabilitasi. Dalam proses rehabilitasi ini, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika proses dan lamanya rehabilitasi sesuai hasil asesmen yang dikeluarkan oleh Tim Asesmen Terpadu beserta pihak lembaga rehabilitasi yang berwenang. Setelah itu, ada masanya suatu percobaan kepada Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dikembalikan kemasyarakat, artinya suatu percobaan untuk bersosialisasi kembali ke masyarakat luar. Dan sampai akhirnya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika tersebut dikatakan pulih dan

  

25

bisa kembali kekehidupan normal lagi .

  Jadi, rehabilitasi disini, jika merujuk kepada tujuan dari hukum pidana itu

  

26

  sendiri untuk melindungi masyarakat , yang mana disini yang dilindungi adalah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dengan cara rehabilitasi yang merupakan suatu upaya, selain memberikan efek jera terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, dalam proses rehabilitasi ini juga diberikan penyuluhan, pendidikan, dan sosialisasi kepada pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika terhadap bahaya Narkotika bagi kehidupan yang bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap yang menyalahgunakannya, serta pemulihan disini bertujuan agar Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika itu sendiri dapat kembali kekehidupan normal seperti biasanya yang sehat dan terbebas dari Narkotika itu sendiri. Yang mana, disini dalam penerapannya, depenalisasilah yang menjadi suatu proses yang akan dibahas dalam rehabilitasi ini, karena merupakan suatu rehabilitasi yang bersifat penal dan voluntair, artinya Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika secara sukarela memohonkan agar dapat direhabilitasi sehingga dapat pulih dan mengerti akan bahaya Narkotika yang nantinya tidak menjadi Pecandu Narkotika lagi.

  25 Wawancara dengan dr. Amrita, salah satu dokter di Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, di Jakarta, Tgl 18 Agustus 2014 26 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1994, h. 23-24