PELAKSANAAN REHABILITASI SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Pada Loka Rehabilitasi Kalianda)

  

ABSTRAK

PELAKSANAAN REHABILITASI SEBAGAI UPAYA

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Pada Loka Rehabilitasi Kalianda)

oleh

  

R. A. Alfajriyah F Z, Eddy Rifai, Diah Gustiniati

Email : alfajriyah.zain@gmail.com

  Rehabilitasi merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Berkenaan dengan hal tersebut telah diatur Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan rehabilitasi dan faktor apakah yang menjadi penghambat pelaksanaan rehabilitasi dalam penaggulangan tindak pidana narkotika di loka rehabilitasi kalianda. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder setelah data terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pelaksanaan rehabilitasi dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika pada loka rehabilitasi kalianda dapat dilakukan melalui dua cara yaitu rehabilitasi sosial yang merupakan proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial. Selanjutnya rehabilitasi medis yang merupakan proses dimana pecandu menghentikan penyalahgunaan narkoba dengan cara di berikan obat- obatan dan pengawasan dokter. Faktor penghambat pelaksanaan rehabilitasi dalam penaggulangan tindak pidana narkotika pada loka rehabilitasi kalianda terdiri dari faktor subtansi hukum, faktor sarana dan fasilitas yang belum memadai, faktor masyarakat yang masih kurang sadar akan hukum, dan faktor kebudayaan dimana masyarakat terbiasa mengkonsumsi zat adiktif seperti rokok dan lain-lain yang merupakan awal dari keberanian untuk mengenal dan mencoba narkoba. Saran dalam penelitian ini adalah perlunya penambahan jumlah tim medis di Loka Rehabilitasi Kalianda agar semua pecandu narkoba bisa mendapatkan pengobatan yang layak dan lebih baik, pemberian obat kepada pecandu narkotika harus dilakukan seraca baik dan benar. Serta Perlunya penambahan aparat hukum guna mendapatkan pengawasan dan pegamanan yang maksimal agar memperkecil kemungkinan pecandu narkotika melarikan diri serta perlunya sosialisasi terhadap masyarakat yang belum mengetahui adanya tempat rehabilitasi agar mereka tidak takut untuk melaporkan seseorang yang menjadi pencandu narkoba.

  Kata Kunci: Rehabilitasi, Penanggulangan, Tindak Pidana Narkotika

  

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF REHABILITATION AS A

COUNTERMEASURE OF NARCOTICS CRIMINAL ABUSE

(A Study at Kalianda Rehabilitation Center)

By

  

R. A. Alfajriyah F Z, Eddy Rifai, Diah Gustiniati

Email: alfajriyah.zain@gmail.com

  Rehabilitation is one of the government's efforts in overcoming narcotics abuse. In relation to the matter above, it had been regulated in Article 54 of Law no. 35/2009 on Narcotics. The problems in this research are formulated to find out the implementation of rehabilitation and the inhibiting factors in the implementation of rehabilitation in combating narcotics crime in the rehabilitation area. This research used normative and empirical approaches. The data sources in this research consisted of primary and secondary data; the collected data were then analyzed qualitatively to draw a conclusion. The results and discussion of the research showed that the implementation of rehabilitation in the effort to overcome the criminal acts of narcotics at Kalianda Rehabilitation Center has been done in two ways: social rehabilitation which is the process of integrated recovery activities, whether in physical, mental, and social activities. Furthermore, medical rehabilitation as a process of stopping the drug addicts by giving medicines under the doctors supervision. The inhibiting factors of rehabilitation in the handling of narcotics crime at rehabilitation center, included: factor of legal subtance, the inadequate number of facilities and infrastructures, the lack of awareness of the community about the law, and also the cultural factor where people are accustomed to consume addictive substances such as cigarettes and the like, which is the beginning of the curiosity of trying the drugs. The researcher suggested that it is necessary to increase the number of medical teams in Kalianda Rehabilitation Center so that all drug addicts can get a proper and a better treatment, the medical treatments to drug addicts should be done properly and wisely. Further, it is necessary to add the number of legal apparatus in order to obtain maximum surveillance and security to minimize the possibility of drug addicts to escape: lastly, it is necessary to socialize to the community about the existence of the rehabilitation center so they have no fear to report any drug addicts. Keywords: Rehabilitation, Countermeasures, Narcotics Crime

I. PENDAHULUAN

  Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) telah menjadi ancaman nyata yang sangat berbahaya. Narkotika tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama.

  Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya non tembakau dan alkohol) baik di tingkat global, regional dan nasional, sejak lama telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary

  crimes ) yang terus mengancam dan

  telah merusak sendi-sendi kehidupan manusia, berbangsa dan bernegara. Berbagai upaya telah dilakukan secara bersama-sama dalam menanggulangi masalah tersebut, namun demikian fenomena tersebut masih terus menyita fokus perhatian dari pemerintah untuk dikurangi penurunannya hingga ke titik nol. Penyalahgunaan Narkotika sebagai suatu tindak pidana telah memunculkan korban-korban penyalahgunaan narkotika dalam masyarakat. Korban penyalahgunaan narkotika dalam masyarakat sendiri tidak mengenal usia, jenis kelamin, suku, agama dan

  Korban penyalahgunaan narkotika sendiri berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibagi menjadi dua, yaitu pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Pecandu Narkotika adalah menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis, sedangkan Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

  Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang No.

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. sehingga dari pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe Pecandu Narkotika yaitu : 1.

  Orang yang menggunakan narkotika dalam keadaaan ketergantungan secara fisik maupun psikis; dan 2. Orang yang menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan secara fisik maupun psikis. Untuk tipe yang pertama, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatan dirinya sendiri. Selanjutnya untuk Pecandu Narkotika tipe kedua, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang tidak mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatannya.

  1 1 http://hukum.kompasiana.com/2014/06/18/- kualifikasi-penyalahguna-pecandu-dan-korban- penyalahgunaan-narkotika-dalam-implementasi- uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika- Tingginya penyalahgunaan narkotika di Bandar Lampung dapat dilihat dari jumlah kasus narkotika yang ditangani oleh Ditreserse Narkotika Polda Lampung 3 (tiga) tahun terakhir dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 rata adalah 828 kasus setiap tahunnya. Sementara itu jumlah perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang selama tiga tahun terakhir dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 adalah sebanyak 1218 kasus atau rata-rata adalah 828 kasus setiap tahunnya dimana dari 1218 kasus tersebut hanya 125 (Seratus dua puluh lima) kasus yang dinyatakan bebas di tahun 2014 dan sisanya dijatuhi hukuman pidana penjara dan denda, hanya beberapa yang divonis dengan rehabilitasi sosial.

  dilakukan untuk mengurangi jumlah penyalahguna narkotika tersebut tidaklah cukup dengan satu cara, melainkan harus dilaksanakan dengan rangkaian tindakan yang berkesinambungan dari berbagai macam unsur,baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Rangkaian tindakan tersebut mencakup usaha- usaha yang bersifat preventif, represif dan rehabilitative.

  3 Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang

  Nomor 3 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau 2 Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah

  Lampung Derektorat Reserse Narkoba Tahun 2014 3 http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/-

  perawatan apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Kedua, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Secara tersirat kewenangan ini, mengakui bahwa korban peyalagunaan narkotika,selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap disebut dengan self

  victimization atau victimless crime.

  4 Sebagaian besar narapida atau tahanan

  kasus narkotika adalah pemakai sekaligus sebagai korban jika dilihat dari aspek kesehatan yang sesungguhnya orang-orang tersebut menderita sakit akibat pemakaian narkotika tersebut. Sehingga dengan memberikan sanksi pidana penjara bukanlah langkah yang tepat untuk dilakukan. Berkenaan dengan hal tersebut maka Mahkamah Agung dengan tolakukur ketentuan Pasal103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dimana SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ini dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi.

2 Upaya penanggulangan narkotika yang

  Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebuah 4 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,

  Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan , Jakarta- PT. Raja Grafindo Persada, 2007, yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap lainnya kecuali bahan adiktif dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada

   .

  Sarana rehabilitasi sosial terpidana narkotika diharapkan menjalin kerjasama dengan panti rehabilitasi sosial milik pemerintah atau masyarakat, atau dengan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan layanan pasca rawat. Tahap Rehabilitasi sosial dalam proses pemulihan meliputi kegiatan fisik, psikososial dan spritual layanan lanjutan dari proses terapi gangguan penggunaan narkotika, bentuk Rehabilitasi sosial yang diberikan kepada pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika biasa disebut terapi vokasional dengan memberikan pelatihan kepada korban penyalahgunaan narkotika antara lain : otomotif, service alat-alat elektronik, kerajinan tangan, multimedia, fotografi, pertanian dan peternakan, dan lain-lain sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing klien. Pecandu narkoba tidak lagi bermuara pada sanksi pidana penjara melainkan bermuara di tempat rehabilitasi, karena sanksi bagi pecandu disepakati berupa rehabilitasi.

  diatas, penulis tertarik untuk membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul

  “Pelaksanaan Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan Tindak 5

   6 M. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika,

  Pidana Narkotika“ (Studi Loka Rehabilitasi Kalianda) Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi 1.

  Bagaimanakah Pelaksanaan

  Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika pada Studi Loka Rehabilitasi Kalianda ? 2. Apakah

  Faktor Penghambat Pelaksanaan Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika pada Studi Loka Rehabilitasi Kalianda?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data praimer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap pihak pengadilan negeri kalianda, kejaksaan negeri kalianda, Polres kalianda, Badan Narkotika Nasional Kalianda, Loka Rehabilitasi Kalianda dan Dosen bagian Hukum Pidana fakultas Hukum Universitas Lmapung. Selanjutnya data di analisis secara kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Rehabilitasi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Pada Loka Rehabilitasi Kalianda

6 Berdasarkan hal tersebut

  Rehabilitas merupakan bentuk pemidanaan terhadap pecandu norkotika, hal ini diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan: pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

  Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan: 1.

  Rehabilitasi sosial adalah suatu Proses kegiatan pemulihan Secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

  2. Rehabilitasi medis adalah proses pecandu menghentikan penyalahgunaan narkoba dibawah pengawasan dokter untuk mengurangi gejala putus zat atau (sakau)

  Korban penyalahgunaan narkotika adalah seorang yang sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, ditipu, diperdaya, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Kebijakan hukum pidana dalam formulasi ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku penyalah- gunaan narkotika, yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku agar ia berubah jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku.

  tersangka dan/atau terdakwa yang ditempatkan pada fasilitas rehabilitasi rawat inap dilaksanakan oleh lembaga 7 Sujono, A.R. dan Bony Daniel.. Komentar &

  Pembahasan Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika. Sinar Grafika

  rehabilitasi yang memenuhi standart keamanan tertentu dan dalam pelaksanaanya dapat berkoordinasi dengan pihak kepolisian Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi atau penuntut umum dengan menyerahkan resume akhir kegiatan rehabilitasi. Penanganan melalui obat-obatan akan dilakukan melalui pengawasan dokter, tergantung dari jenis narkoba yang digunakan. Pengguna narkoba jenis

  heroin atau morfin akan diberikan terapi obat seperti methadone dan buprenorfin.

  Obat ini akan membantu mengurangi keinginan memakai narkoba, yang diharapkan dapat mencegah penyakit seperti hepatitis C dan HIV hingga kematian. Obat jenis lain yang dapat digunakan untuk membantu rehabilitasi narkoba yaitu naltrexona. hanya saja obat ini memiliki beberapa efek samping dan hanya diberikan pada pasien rawat jalan, setelah pengobatan detoksitifikasi dilakukan di lokasi rehabilitasi.

  Naltrexone akan menghalangi efek

  narkoba berupa euforia (perasaan senang yang berlebihan dalam hal ini karena efek obat) dan ketagihan. Tim Asesmen Terpadu terdiri dari Tim Dokter dan Tim Hukum. Tim Dokter terdiri dari dokter umum atau dokter spesialis kedokteran kesehatan jiwa atau dokter spesialis forensic dan/atau psikolog, beranggotakan minimal 2 (dua) orang dari Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang sudah tersertifikasi oleh Kemenkes atas rekomendasi dari Kementrian Kesehatan untuk Tim Asesmen tingkat Pusat, Kepala Dinas Kesehatan

7 Pengamanan dan pengawasan bagi

  Asesmen ditingkat Provinsi/Kab/Kota. Sedangkan Tim hukum beranggotakan masing-masing 1 (satu) orang terdiri dari unsur POLRI (ditunjuk oleh Dir IV Narkoba, Dir Narkoba Polda, atau Kasat Narkoba Polres), unsur BNN (Penyidik Pemberantasan/Kepala BNNP/BNNK), unsure Kejaksaan (jaksa yang ditunjuk), dan Kemenkumham (BAPAS) apabila tersangkanya adalah anak.

  Tahap bina lanjutan aftercare yang merupakan serangkaian kegiatan positif dan produktif bagi korban penyalahgunaan narkotika dan/atau pecandu narkoba pasca menjalani tahap pemulihan rehabilitasi sosial. tahap bina lanjut merupakan bagian dari integral dalam rangkaian rehabilitasi ketergantungan narkoba dan tidak dianggap sebagai bentuk terapi berdiri sendiri, hal ini berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah pecandu menjalani program rehabilitasi sosial di tempat rehabilitasi, mereka masih memerlukan pendampinngan agar proses reintegrasi ke masyarakat dapat berlangung sesuai tujuan untuk dapat mampu hidup normatif, mandiri dan produktif. Pada kenyataannya terapi ketergantungan narkoba tidak berhenti di dalam tempat rehabilitasi berlanjut sampai klien kembali ke masyarakat dengan menjalani hidup sehat dan menjadi manusia yang produktif Berdasarkan hasil wawancara, sebagai korban pasca rehabilitasi, Program pasca rehabilitasi ini bertujuan utuk memberikan dukungan bagi mantan penyalahguna, keluarga dan orang- orang terdekat mereka untuk melalui proses pemulihan dengan baik hingga tahap reintegrasi ke masyarakat dan menjadi anggota masyarakat yang mencegah kekambuhan relepse

  prevention.

  Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan undang-undang. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

  Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa, karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umun baik dalam proses pra penuntutan maupun penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penegakan hukum demikeadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat hukum, dengan begitu dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam rangka penegakan hukum adalah untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, menjembatani rasa keadilan dan keadilan. Menurut penjelasan Ristu Darmawan maka diketahui bahwa pada tahap pra penuntutan ada proses dan awal mulai SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) dari kepolisian ke kejaksaan, P-16 dan T-4 (dewasa 40 hari masa pemeriksaan berkas, anak- anak 10 hari masa pemeriksaan berkas, apabila SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) sudah masuk ke wilayah kejaksaan dan tidak mengalami perkembangan dalam jangka waktu tertentu, dan berkas perkara tidak dilimpahkan/menyusul, maka jaksa penuntut umum harus membuat P-17 (yaitu surat penagihan berkas perkara atas SPDP yang telah dilimpahkan ke kejaksaan, apabila berkas perkara tidak dilimpahkan juga maka pihak kepolisian akan membuat SP3 (surat pemberhentian penyidikan) dengan berbagai ketentuan, apakah tidak ditemukannya barang bukti dan lain- lain. Lain halnya apabila berkas perkara masuk ke kejaksaan maka itu yang disebut Tahap I. Tahap I adalah penerimaan berkas untuk diteliti oleh jaksa penuntut umum, apabila berkas perkara belum lengkap sepert contoh barang bukti kurang atau keterangan saksi nya kurang maka jaksa penuntut umum mengeluarkan P-18 (surat pemberitahuan adanya kekurangan di dalazn berkas) dan P-19 (surat yang berisikan petunjuk dimana letak kekurangan di dalam berkas perkara) menyusul, setelah berkas mengeluarkan P-21 (surat pemberitahuan bahwa berkas sudah lengkap) yang akan dilanjutkan ke pengadilan. Pada tahap penuntutan dikenal istilah penerimaan tersangka dan barang bukti, didalam tahap penuntutan ini ada istilah P-16A (surat ingkrah penetapan jaksa penuntut umum oleh Aspidum (Asisten Tindak Pidana Umum) untuk meneliti dan mengikuti perkembangan kasus yang diproses,misalkan seperti itu. Dan ada T-7 (surat penahanan terdakwa dan barang bukti, khususnya terdakwa karena dikhawatirkan melarikan din, dan merusak atau menghilangkan barang bukti. Selain itu ada BA-l0 (berita acara penahanan), BA-15 (berita acara pemeriksaan tersangka), BA-18 (berita acara penerimaan barang bukti), dan jaksa penuntut umum harus membuat surat dakwaan dari hasil pemeriksaan dan lain-lain, karena surat- surat seperti P-16A, T-7, BA-lO, BA- 15, BA-18 dan surat dakwaan harus di kumpulkan dan disusun yang nantinya akan dilimpahkan ke pengadilan beserta berkas perkara.

  Selanjutnya adalah tahap Pelimpahan Ke Pengadilan Negeri. Setelah di pengadilan negeri, tugas jaksa penuntut umum harus mengumpulkan berkasberkas/surat seperti pada tahap penuntutan dan ditambah dengan surat pengantar yang ada didalam berkas perkara, P-3 1 (perkara biasa) seperti tindak pidana umum, contoh: pencurian, pembunuhan, perjudian (yang ada di dalam KUHP) dan tindak pidana umum lainnya (TPUL) seperti narkotika, psikotropika, perikanan dan lain-lain termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan P-31 hanya surat pemberitahuan tentang perkara apa berkas-berkas/surat dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka pengadilan negeri membuat jadwal persidangan tentang pembacaan dakwaan, pemeriksaan tersangka dan barang bukti, pemeriksaan saksi-saksi.

  Pada tahap persidangan, jaksa penuntut umum harus membuat P41 (rencana tuntutan) dan nota dinas (nodis), yang dimaksudkan rentut dan nodis yang berkesimpulan menjadi nota telepon (notel) akan dipaparkan pada saat pendadaran, setelah diperoleh nota telepon dan pimpinan misalkan Kajati (kepala kejaksaan negeri) maupun Kajari (kepala kejaksaan negeri) dan fakta yang berkembang dipersidangan maka tahap selanjutnya adalah jaksa membuat P42 (surat tuntutan). Setelah berjalannya persidangan, maka hakim akan mengambil keputusan yang disebut putusan hakim, apabila hakim telah menjatuhkan putusan. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bukanlah hal yang baru di Indonesia. Tindak pidana Narkotika merupakan bentuk pelanggaran hukum danpelanggaran norma sosial yang telah ada sejak lama. Masalah Narkotika ini merupakan ancaman yang begitu hebat melanda indonesia, dalam media massa hampir setiap hari terdapat berita penyalahgunaan Narkotika.

  Menurut Yanseb Sihite,

  Narkotika semakin meningkat dari tahun ke tahun. Telah banyak yang menjadi korban tanpa memandang umur dan status sosial. Ironisnya, penyalahgunaan dan peredaran Narkotika sudah merambah sampai kesemua kalangan menjadi korban. 8 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  narasumber Polres Kalianda , pada tanggal

  biasa saja yang telah menjadi korban penyalahgunaan narkotika, bahkan aparat kepolisian yang notabene merupan penegak hukum yang seharunya memberantas peredaran tindak pidana narkotika.

  Tindak pidana Narkotika merupakan bentuk pelanggaran hukum dan pelanggaran norma sosial yang telah ada sejak lama. Masalah Narkotika ini merupakan ancaman yang begitu hebat melanda indonesia. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika tidak terlepas pada asas-asas hukum pidana gunamewujudkan suatu kepastian hukum dari setiap bentuk penyelesaian perkara tindak pidana narkotika berdasarkan sistem hukum indonesia. Penegakan hukum memiliki peran yang sangat penting dalam mengintegrasikan dan menyeimbangkan pendekatan kebutuhan (demand) dan peredaran gelap narkotika (supply). Dalam kaitan ini sistem pemidanaan dalam UU No.

  35 Tahun 2009 tentang Narkotika menganut double tracksystem terhadap pecandu narkotika yaitu mencantumkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan sanksi tindakan berupa rehabilitasi. Menjatuhkan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bagi pecandu narkotika adalah pilihan terbaik yang memiliki nilai tambah karena dapat menurunkan angka prevalensi pecandu narkotika yang merupakan indikator keberhasilan dalam menanggulangi masalah narkotika. Penanggulangan permasalahan narkotika membutuhkan kerjasama antar lembaga. Diperlukan kesamaan cara bertindak dalam menangani masalah narkotika secara integratif dan seimbang dengan tujuan

8 Penyalahgunaan dan peredaran gelap

10 Tidak hanya masyarakat atau remaja

  gelap narkotika.Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari tim dokter.

  Sehubungan dengan hal tersebut, kerjasama antar penyidik dapat dilakukan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, penyidik Polri memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Berdasarkan ketentuan perundang- undangan, koordinasi antar penyidik tersebut dilakukan dengan cara saling memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan terhadap penyalahgunaan narkotika, dalam hal ini penyidik Polri memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.

  Fungsi penyidikan memiliki kaitan erat dengan penanganan pecandu narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi, rehabilitasi bagi pecandu narkotika yang berstatus tersangka harus diajukan secara tertulis oleh pihak keluarga atau penasehat hukumnya kepada penyidik. Dalam proses penyidikan berdasarkan pertimbangan yang layak dan wajar, penyidik dapat menempatkan pecandu narkotika ke tempat rehabilitasi medis dan atau sosial setelah mendapat surat asesmen terpadu. Berdasar hasil penelitian, terhadap 3 (tiga) tersangka pecandu narkotika tersebut dilakukan oleh tim asesmen terpadu yang terdiri dari tim dokter yang meliputi dokter dari Rumah Sakit Bhayangkara, dan yang terdiri dari unsur Polri yakni Polres, dan BNN. Berdasarkan hasil penelitian, hasil tim asesmen terpadu biasanya berpedoman pada hasil pemeriksaan penyidik.

  Penempatan tersangka pecandu narkotika ke tempat rehabilitasi medis ditindak lanjuti dengan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan disampaikan kepada Kejaksaan Negeri. Selama tersangka pecandu narkotika berada di tempat rehabilitasi medis dan atau sosial, maka faktor pengamanan menjadi tanggung jawab lembaga rehabilitasi. Menurut hasil wawancara Erna Dewi,

  9 Pentingnya rehabilitasi bukanlah

  sebagai upaya pembelaan terhadap pelaku atau korban tindak pidana penyalahgunaan narkotika, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam hal ini dapat diartikan sebagai : 1.

  Rehabilitasi Medis adalah proses pecandu menghentikan penyalah- gunaan narkoba dibawah pengawasan dokter untuk mengurangi gejala putus zat atau (sakau) 2. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. 9 Berdasarkan hasil wawancara dengan

  narasumber Universitas Lampung , pada tanggal Menurut pendapat penulis upaya rehabilitasi pecandu narkotika dan korban penyalahguna norkotika merupakan hal yang wajib dan seharusnya lebih diutamakan. Begitu pentingnya rehabilitasi sebagai upaya perhatian khusus dalam menangani tindak pidana narkotika, kita ketahui disini bahwa ada narkotika yang mengandung zat yang dapat membuat seseorang ketergantungan dan hal ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pidana penjara. Perlu adanya rehabilitasi bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi baik karena sengaja atau karena dorongan candu yang disebabkan oleh narkotika yang dokonsumsi sebelumnya.

  Peranan BNN Kab Lampung Selatan dalam menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak dapat diatasi secara perorangan, melainkan dilakukan oleh setiap pihak dan instansi yang terkait secara bersama-sama. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa cara-cara dalam mengupayakan penegakan hukum pidana, yaitu:

  Contohnya,kurangnya pemahaman terhadap korban penyalahguna narkotika tentang lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi social, misalnya belum ada banyak yang tahu untuk melakukan rehabilitasi, maka dari itu seharusya aparat penegak hukum melakukan sosialisai ke desa-desa yang belum banyak memahami rehabilitasi

  2. Faktor Sarana atau Fasilitas yang mendukung Penegak Hukum.

  Contohnya, Fasilitas pendukung salah satunya yaitu minimnya pendidikan yang diberikan kepada masyarakat, masih kurang memadai tunggu bagi pengunjung dan kurangnya keramahan antara pegawai dan pengunjung residen.

  3. Faktor Masyarakat. Yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, dimana masyarakat masih tidak peduli terhadap proses penegakan hukum, kurangnya keberanian dalam melaporkan diriatau melaporkan orang lain apabila terjadi tindak pidana narkotika, sebab hal tersebut bukan merupakan kepentingannya. tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan- kepentingannya tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor ekonomi, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya.

B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Pada Loka Rehabilitasi Kalianda

  4. Faktor Kebudayaan. Yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karya manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya nilai ketertiban dan ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan, dan rohaniah/keakhlakan. Dimana masyarakat yang mengkonsumsi narkotika seperti minuman beralkohol, merokok, pecandu kopi, lem aibon, tiner, obat-obatan yang diminum tanpa resep atau petunjuk dari dokter serta obat psikoaktif dianggap biasa, hal ini merupaka awal dari keberanian mereka untuk mengenal dan mencoba narkotika.

1. Faktor Hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri.

  Faktor penyalahgunaan narkotika dapat dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu:

  1. Lingkungan Sosial a.

  Motif ingin tahu, yakni di masa remaja seseorang lazim mempunyai rasa ingin tahu, lalu setelah itu mencobanya. Misalnya dengan mengenal maupun minuman keras atau bahan berbahaya lainnya.

  b.

  Adanya kesempatan, yakni karena orang tua sibuk dengan kegiatan masing-masing atau mungkin juga karena kurangnya rasa kasih sayang dari keluarga maupun karena akibat dari broken home.

  2. Kepribadian a.

  Rendah diri, yakni perasaan rendah diri di dalam pergaulan di masyarakat ataupun di lingkungan sekolah, kerja dan sebagainya. Mereka mengatasi masalah tersebut dengan cara menyalahgunakan narkotika, psikotropika maupun minuman keras yang dilakukan untuk menutupi kekurangan mereka tersebut, sehingga mereka memperoleh apa yang diinginkan seperti lebih aktif dan berani.

  b.

  Emosional mental, yakni pada masa-masa ini biasanya mereka ingin lepas dari segala aturan- aturan dari orang tua mereka dan akhirnya sebagai tempat pelarian, yaitu dengan menggunakan narkotika, psikotropika, dan minuman keras lainnya. Lemahnya mental seseorang akan lebih mudah dipengaruhi oleh perbuatan-perbuatan negatif yang akhirnya menjurus ke arah penggunaan narkotika, psikotropika, danminuman

  Masyarakat yang tidak peduli bahaya tindak pidana narkotika akan menjadi penghambat. Sebab apabila sikap individulisme dan tidak peduli telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kota pada khususnya, maka pelaku penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika akan mengalami hambatan karena kurangnya partisipasi atau dukungan dari masyarakat yang telah memiliki nilai- nilai individualisme dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sistem kebudayaan yang baik akan sangat berpengaruh pada terciptanya tatanan kehidupan masyarakat.

  Berdasarkan teori dan penjelasan responden tersebut maka penulis berpendapat bahwa kebudayaan masyarakat yang sering mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok, pecandu kopi, lem aibon, tiner, obat-obatan yang diminum tanpa resep atau petunjuk dari dokter, serta obat psikoaktif merupakan awal dari keberanian mereka untuk mengenal dan mencoba narkotika.

  Faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan rehabilitasi tindak pidana narkotika yaitu kurangnya pemahaman terhadap korban penyalahguna narkotika tentang lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, yang kedua yaitu faktor sarana dan fasilitas yang dimiliki masih kurang memadai seperti tidak adanya ruang tunggu bagi pengunjung dan kurangnya keramahan antara pegawai dan pengunjung, ketiga yaitu faktor masyarakat dimana sikap masyarakat masih tidak peduli terhadap proses penegakan hukum, kurangnya keberanian dalam melaporkan diri atau melaporkan orang lain apabila terjadi tindak pidana narkotika sebab hal tersebut bukan merupakan kebudayaan dimana masyarakat yang mengkonsumsi narkotika seperti minuman beralkohol, merokok, pecandu kopi, lem aibon, tiner, obat-obatan yang diminum tanparesep atau petunjuk dari dokter, serta obat psikoaktif dianggap keberanian mereka untuk mengenal dan mencoba narkotika.

  Pelaksanaan rehabilitasi dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika pada studi lokasi rehabilitasi Kalianda, yaitu: a.

  Rehabilitasi sosial yaitu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pelaksanaan rehabilitasi sosial terdiri dari pemberian keahlian atau keberanian dan pemberian bekal rohani untuk kembali ke masyarakat agar pemakai dapat menjaga dirinya dari keinginan memakai narkotika.

  b.

  Rehabilitasi medis adalah proses pecandu menghentikan penyalahgunaan narkoba dibawah pengawasan dokter untuk mengurangi gejala putus zat atau (sakau). Kegiatan pelaksanaan rehabilitasi medis yaitu melalui pemberian obat- obatan yang dilakukan melalui dokter, tergantung dari jenis narkoba dengan bantuan psikiater ataupun konselor khusus di bidang ini. Contohnya penggunaan terapi obat seperti methadone dan buprenorfin pada

  morfin untuk mencegah penyakit

  seperti hepatitis C dan HIV hingga kematian dan penggunaan terapi obat seperti naltrexona yang di berikan pada pasien rawat jalan, setelah dilakukan di lokasi rehabilitasi.

  Naltrexone akan menghalangi efek narkoba berupa euforia (perasaan senang yang berlebihan dalam hal ini karena efek obat) dan ketagihan.

III. PENUTUP A. Simpulan 1.

  2. Faktor Penghambat Pelaksanaan Rehabilitasi Dalam Upaya Penaggulangan Tindak Pidana Narkotika terdiri dari faktor subtansi hukum yaitu kurangnya pemahaman terhadap korban penyalahguna narkotika tentang lembaga Rehabilitasi medis dan Rehabilitasi sosial, yang kedua yaitu faktor sarana dan fasilitas yang dimiliki masih kurang memadai seperti tidak adanya ruang tunggu bagi pengunjung dan kurangnya keramahan antara pegawai dan pengunjung, ketiga yaitu faktor masyarakat dimana sikap masyarakat masih tidak peduli terhadap proses penegakan hukum, kurangnya keberanian dalam melaporkan diri atau melaporkan orang lain apabila terjadi tindak pidana narkotika sebab hal tersebut bukan merupakan kepentingannya.

  Keempat yaitu faktor kebudayaan dimana masyarakat yang mengkonsumsi narkotika seperti minuman beralkohol, merokok, pecandu kopi, lem aibon, tiner, obat-obatan yang diminum tanparesep atau petunjuk dari dokter, serta obat psikoaktif dianggap biasa, hal ini merupakan awal dari keberanian mereka untuk

  B.

  Sumber lain Saran

  Adapun saran yang diberikan penulis antara lain ialah

  1.

   Perlunya penambahan jumlah tim medis di Loka Rehabilitasi

  Kalianda agar semua pecandu baik, pemberian obat kepada pecandu narkotika harus dilakukan seraca baik dan benar.

  2. penambahan aparat Perlunya hukum guna mendapatkan pengawasan dan pegamanan yang maksimal agar memperkecil kemungkinan pecandu narkotika melarikan diri serta perlunya sosialisasi terhadap masyarakat No. HP : 082242772019 yang belum mengetahui adanya tempat rehabilitasi agar mereka tidak takut untuk melaporkan seseorang yang menjadi pencandu narkoba.

  DAFTAR PUSTAKA A.R. Sujono. dan Bony Daniel. 2011.

  Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.

  Makarao, M. Taufik. 2003. Tindak

  Pidana Narkotika , Jakarta: Ghalia Indonesia.

  Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, 2007. Urgensi

  Perlindungan Korban Kejahatan ,

  jakarta-PT. Raja Grafindo Persada. Kepolisian Negara Republik Indonesia

  Daerah Lampung Derektorat Reserse Narkoba Tahun 2014

Dokumen yang terkait

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

0 0 11

UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN PENIPUAN MELALUI TELEPON GENGGAM YANG DILAKUKAN OLEH NARAPIDANA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Bandar Lampung)

0 0 19

URGENSI PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARAT PP NO. 99 TAHUN 2012

0 1 12

ANALISIS YURIDIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI SMS (Short Message Service) (Analisis Putusan No : 59Pid.B2015PN.Sdn) (Jurnal)

0 0 17

ABSTRAK PERAN PENYIDIK DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN CARA MUTILASI (STUDI KASUS DI POLDA LAMPUNG)

0 0 16

MEDIASI PENAL OLEH LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN DALAM MEWUJUDKAN PRINSIP RESTORATIVE JUCTICE (Studi di Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung)

0 0 14

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) BEA DAN CUKAI DENGAN PENYIDIK POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANAEKSPOR ILEGAL PASIR TIMAH (Studi di Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Bandar Lampung)

0 1 15

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENAMBANGAN BATU ILEGAL DI KABUPATEN LAMPUNG UTARA (Studi Pada Polres Lampung Utara) Jurnal Penelitian

0 0 13

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG

0 0 15

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN DENGAN MENGGUNAKAN IDENTITAS PALSU SEBAGAI POLISI (Studi Putusan No. 1287Pid.B2014PN-Tjk) (Jurnal)

0 0 14