Lokalitas televisi lokal : menonton orang Ngapak di Jogja TV - USD Repository

  

LOKALITAS TELEVISI LOKAL:

MENONTON ORANG NGAPAK DI JOGJA TV

Oleh;

Wahyudin

  

NIM: 066322013

Pembimbing

  Dr. St. Sunardi Dr. G. Budi Subanar, SJ

  

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

PENGANTAR

  • )(-

  “Dulu banyak orang ingin masuk televisi dan sekarang banyak televisi

pengin dimasukin orang” ungkapan seorang teman ini mungkin hanya sebatas

  anekdot belaka. Saya tidak menghiraukan ungkapan tersebut, apalagi memikirkannya secara serius. Saya ingin melupakannya tetapi usaha itu berujung sia-sia; suatu hari, pada masa mengikuti kuliah Penulisan Tesis di IRB, anekdot tersebut seolah-olah masuk begitu saja dan mengendap dalam pikiran saya.

  Anekdot itu serasa ingin ditulis dan tidak sebatas menjadi anekdot yang selesai bersama tawa.

  Anekdot di atas tidaklah salah bahkan tampak begitu nyata ketika saya berusaha keras memikirkan dan mencari-cari alasannya. Di mana televisi-televisi lokal telah tumbuh di daerah-daerah dan sudah barang tentu televisi tersebut membutuhkan banyak orang untuk “dimasukan” di dalamnya. Kesimpulan kecil sesaat tersebut akhirnya membawa saya mulai berani menulis tesis ini dengan judul Lokalitas Televisi Lokal: Menonton Orang Ngapak di Jogja TV. Tentu, penulisan tesis ini tidak semudah dan secepat anekdot yang keluar dalam candaan ringan teman saya di atas. Melalui penelusuran jejak, mencari informasi sampai bertemu orang-orang Ngapak sendiri harus saya lalui. Tidak sampai di sini, saya bahkan harus menonton dan beberapa kali merekam tayangan Inyong Siaran sampai akhirnya menuliskannya dalam bentuk tesis atau penelitian ini.

  • )(-

  Lokalitas Televisi Lokal: Menonton Orang Ngapak di Jogja TV sebagai

  judul dari tesis ini ingin menelusuri kelokalan televisi lokal melalui sebuah tayangan Banyumasan di Jogja TV atau Inyong Siaran. Inyong Siaran sendiri telah mengudara sejak tahun 2006 adalah sebuah tayangan (liputan) seputar Banyumasan lengkap dengan narasi bahasa Ngapak-nya yang hadir bukan hanya sebagai berita tetapi juga sekaligus feutures. Tayangan tersebut juga bukanlah sesuatu yang asing bagi komunitas Banyumasan di Yogyakarta karena sebagian besar dari mereka bahkan tampak akrab dalam Inyong Siaran. Mereka berkomentar dan menyapa satu sama lain sebagai warga komunitas Banyumasan di Yogyakarta salah satunya lewat Inyong Siaran. Lewat Inyong Siaran akhirnya sebagai anggota komunitas dapat dipotret jelas bahwa ada kenikmatan sebagai orang Ngapak dalam mengonsumsi seputar Banyumasan.

  Penulisan tesis ini meski terkesan sederhana namun terasa tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya dorongan dan “nasihat” dari pak Nardi yang tidak pernah bosan memberikan masukan dari isi sampai alur penulisan. Kepada beliau saya mengucapkan beribu terima kasih atas bimbingannya, juga pada pak Ishadi SK., Mba Katrin, Romo Banar, Romo Baskoro, Pak Budiawan, Pak George dan Romo I. Wibowo, atas kesediaannya membagi banyak waktu dan pengetahuan selama di IRB. Tidak kalah pentingnya adalah teman-teman di IRB; Hasan Basri, Dewa Ketha, Dona Prawita, Anzib, Ridlo, Wisnu, Budhis, RM. Rony, Inyiak, dan semuanya, kepada mereka saya mengucapkan banyak terima kasih dan selalu ingin bertanya; rupanya kita memiliki kebiasaan yang sama, “Jangan suka ngebut

  sampai kuliah sudah larut

  ”. Saya mengucapkan terimakasih sedalamnya pada

  

mba Aik dan crew Inyong Siaran Jogja TV yang telah memberikan banyak data,

  juga pada teman-teman yang telah menjadi bagian dalam penelitian ini (Mukhosis, Mustain, Nur hadiudin, dll). Tidak lupa teman-teman Kali Opakers (Mas Jadul, Mas Julung, Salman H, Ipang dan semuanya), saya masih ingat pesanya; “Nulis tesis itu yang penting jelas dan mendalam dan yang lebih penting

  lagi selesai ”.

  .................... Wahyudin

  

DAFTAR ISI

  23 A.1. Masa Negosiasi Televisi Indonesia ………………….

  54 C. Menggambar Kembali Banyumasan ……………………….

  48 B.2. Inyong Siaran sebagai Ikatan Emosi ……………........

  48 B.1. Menonton Inyong Siaran …………………………….

  45 B. Menonton Orang-Orang Ngapak ………………………….

  44 A. Inyong Siaran: Sebagai Program Siaran ………………….

  INYONG SIARAN, TAYANGAN KOMUNITAS DAN KELOKALAN ALA JOGJA TV …………………………....

  41 BAB III

  38 E. Jogja TV: Tradisi Tiada Henti ……………………………

  34 D. Yogyakarta Ala Jogja TV ………………………………....

  32 C. Anakronisme Televisi Lokal ……………………………...

  29 B.2. Kelahiran Televisi Swasta Lokal ………………….....

  29 B.1. Lahirnya Televisi Bisnis Nasional …………………...

  27 B. Swastanisasi Televisi ……………………………………...

  23 A.2. TVRI Daerah Sebagai Awal Televisi Lokal …………

  21 A. Televisi Awal ……………………………………………...

  Hal HALAMAN JUDUL ………………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................ HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….. ii iii

  19 BAB II KISAH TELEVISI: DARI NASIONAL KE LOKAL ……..

  16 G. Sistematika Penulisan. …………………………………......

  12 F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data...…………….

  9 E. Kerangka Teori.....…………………………………………

  8 D. Tinjauan Pustaka.………………………………………….

  8 C. Tujuan Penulisan dan Signifikansinya ...………………….

  1 B. Rumusan Masalah…….. ………………………………….

  1 A. Latar Belakang ……………………………………………

  BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….

  HALAMAN PERSEMBAHAN ......……………………………………… xi MOTTO ……………………………………………………………………. xii

  DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. ix ABSTRAK ………...………………………………………………………. x

  DAFTAR ISI ……………………………………………………………… vii

  KATA PENGANTAR ……………………………………………………... v

  HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………. iv

  57

  A.

  96 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………

  Lampiran 4: Undang- Undang Penyiaran 2002 ……………………..

  ........………………………… 105

  104 Lampiran 3: Stockshot Inyong Siaran

  Lampiran 2: Lokasi Jogja TV ........…………………………………

  Lampiran 1: Susunan Produksi Inyong Siaran ……………………... 103

  99 LAMPIRAN ………...………………………………………………………. 103

  91 B. Medan Kompromi Dalam Kenikmatan Konsumsi ……….....

  Komunitas Pendatang Baru ……………………………..

  91 A. Mengelak Terjebak: Dua Jalan Paradoks dari Produksi Sampai Konsumsi Tontonan Inyong Siaran ..………………….

  84 BAB V PENUTUP ………...…………………………………………

  82 D.2. Medan Menonton Inyong Siaran ..………………….

  82 D.1. Ditonton ........……………………………………….

  77 D. Resepsi Audien: Kenikmatan Dalam Negosiasi …………

  68 C. Mitos Kelokalan: Sehabis Inyong Siaran ………………..

  63 B. Komodifikasi “Klangenan” Banyumasan ……………….

  107

  

Daftar Gambar

  Gambar no. 1 Bumper Inyong Siaran .............................................................. 45 Gambar no. 2 Pengambilan gambar (shoot) Inyong Siaran di Purwokerto dan Banyumas .................................................................................. 49

  

ABSTRAK

  Televisi pasca reformasi sangat beragam dengan ditandai banyaknya stasiun televisi lokal. Di setiap daerah, televisi lokal tersebut berdiri lengkap dengan program siarannya, meski Undang-Undang belum membuat aturan di dalamnya. Dengan informasi seputar daerah setempat, televisi lokal menyajikan berbagai macam program untuk para pemirsa di wilayahnya. Tidak sebatas pada wilayah geografis, televisi-televisi lokal pun bahkan menyediakan program untuk suatu komunitas tertentu. Mereka para anggota suatu komunitas dapat menikmati berita meski mereka berada di daerah lain.

  Inyong Siaran yang muncul di Jogja TV sebagai salah satu bentuk

  program untuk orang-orang Banyumasan di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari alasam-alasan di atas. Mereka, para anggota komunitas Banyumasan disediakan informasi seputar wilayah mereka lengkap dengan narasi bahasa

  Ngapak -nya. Inyong Siaran

  “memperbarui” dari media-media sebelumnya yang sudah ada bagi komunitas Banyumasan di Yogyakarta. Orang- orang Banyumasan mendapat “tempat khusus” sebagai warga media di Yogyakarta. Identitas sebagai Jawa Ngapak dihadirkan kembali dalam program tontonan. Mereka di tempatkan bukan hanya sebagai “orang asing” di Yogyakarta tetapi sekaligus istimewa keberadaannya dengan disediakannya produk khusus. Para anggota komunitas pun mengonsumsi Inyong Siaran yang tidak lain adalah produk informasi seputar Banyumasan. Kata kunci: Televisi lokal, Inyong Siaran, Komunitas, Globalisasi dan Komodifikasi Tayangan

  Untuk Abah dan Ema Terima kasih atas semuanya

  Motto Kita menyaksikan bahwa banyak orang yang sangat radikal dan progresif secara intelektual dan filosofis melainkan sangat ortodoks dan konservatif secara politis, dan banyak orang sangat radikal dan progresif secara politis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak reformasi bergulir dunia media seakan mengalami masa keemasan. Banyak orang menyebutnya sebagai era kebebasan pers atau masa kejayaan pers,

  setelah era sebelumnya mengalami pengkerdilan terus-menerus baik dari segi isi maupun kepemilikan. Begitu juga dengan salah satu bentuk media, televisi, setelah era sebelumnya hanya menayangkan apa yang dianggap sopan oleh pemerintah, secara tiba-tiba, televisi bebas mengisi berbagai macam program untuk mengisi siarannya. Bahkan televisi dapat dimiliki oleh orang-orang daerah. Televisi tidak lagi dimiliki oleh para pemodal yang memiliki kedekatan dengan penguasa karena setiap daerah dapat mendirikan dan menyiarkan berbagai macam program sesuai yang dibutuhkan. Stasiun televisi seakan bukan barang mahal lagi yang hanya dapat tumbuh di kota mahal atau kota kuasa (Jakarta) dengan segala tayangan rekaannya. Pada pasca reformasi stasiun televisi lokal juga bermunculan di daerah-daerah. Sampai tahun 2005, fenomena pertumbuhan televisi lokal masih terus merebak dan hampir ada di setiap propinsi bahkan kabupaten di seluruh

1 Indonesia. Suatu fase baru yang belum ada di era-era sebelumnya.

  Televisi-televisi lokal terus mengalami pertumbuhan pada satu windu setelah reformasi. Dari alasan- 1 alasan yang sederhana sampai atas nama “identitas

  Sebuah catatan Majalah „Behind the Screen‟ mencatat sampai agustus tahun 2005 saja,

setidaknya terdapat 65 stasiun televisi lokal yang rutin siaran. Sebagian besar dari mereka masuk kelokalan” kemunculan televisi lokal terus mewarnai dunia penyiaran di Indonesia. Asumsi-asumsi di belakang pertumbuhan televisi lokal tersebut adalah nilai-nilai kelokalan tidak mendapat porsi atau kurang tergarap dalam program tayangan televisi-televisi nasional. Sehingga, tayangan-tayangan yang memiliki nilai-nilai kelokalan tersebut harus memiliki wadah tersendiri dalam media televisi. Asumsi tersebut dapat dibuktikan bahwa, kekuatan televisi swasta nasional terus mendominasi dan menekan potensi daerah dari era sebelum reformasi, baik dalam pemberitaan maupun program-program acara lainnya.

  Bukan hanya karena alasan-alasan di atas, lahirnya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah (OTDA) dan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran juga “ditengarai” menjadi pemicu lahirnya TV-TV lokal. Dalam UU Otda, setiap pemerintah daerah juga memiliki kebebasan untuk mengatur wilayahnya sendiri-sendiri, dari pengaturan keuangan sampai regulasi media

  2

  massa. Semangat kebebasan pengaturan penyiaran yang dijamin dalam UUP 2002, telah memberikan peluang sekaligus legitimasi bagi TV lokal untuk “tumbuh kembang” melalui keragaman isi (diversity of content) dan keragaman kepemilikan (diversity of ownership). Dalam bidang content (isi tayangan) misalnya, televisi-televisi lokal tersebut bersemangat membuat program untuk memvisualisasikan daerahnya masing-masing. Sedangkan dalam segi kepemilikan, para pemilik modal di daerah-daerah (dan sebagian bekerjasama dengan pemerintah setempat) beramai-ramai membangun stasiun-stasiun transmiter televisi.

  Stasiun-stasiun televisi lokal berdiri dan ratusan program dapat dinikmati para pemirsa di setiap daerah. Alasan-alasan tentang keberbedaan dan kedaerahan (serta bisnis) dalam tontonan di televisi yang selama beberapa dekade ditentukan dari Jakarta telah terpenuhi. Televisi lokal pun menayangkan program-program “kedaerahannya” dan “keberbedaannya” dalam berbagai siarannya. Melalui program-program dokumenter dan berita kedaerahan misalnya, semakin terbukanya akses penonton di daerah untuk mendapatkan informasi yang selama beberapa tahun lalu dipancarkan secara sentral dari Jakarta dan tidak pernah melihat berita di daerahnya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan adanya televisi lokal porsi berita-berita daerah lebih banyak mendapat tempat daripada berita- berita yang sifatnya umum atau nasional. Dengan “keberbedaannya” misalnya, televisi lokal kemudian menciptakan program-program yang membedakan diri dengan televisi-televisi swasta nasional.

  Namun, munculnya televisi lokal bukan berarti dengan sendirinya apa yang menjadi semangat awal akan kedaerahan dan keberbedaan dalam perjalanannya tanpa aral. Televisi lokal dengan program kedaerahan yang mencoba mengangkat isu dalam program tayangan tentang kearifan lokal atau kekayaan budaya lokal menjadi semacam boomerang. Alasan tentang kelokalan di lain tempat bukan menjadi sesuatu yang ajeg

  (tetap) tetapi “yang lokal” juga sedang berhadapan dengan “yang global” dalam ruang dan waktu yang bersamaan. Lebih jauh ekspresi dan semangat lokalitas, bahasa, seni tradisi dan berbagai kultur yang masuk dalam bingkai televisi lokal pun pada kenyataanya masih bernegosiasi dengan jam tayang serta “laku jual” atau tidak dalam penyiarannya. Bingkai “yang global” bagaimanapun dalam kenyataannya masih

  3

  harus membalut apa yang disebut “yang lokal”. Ketakutan pada “yang global” (sebagaimana pada televisi pemerintah di era Orde Baru) pada akhirnya bukanlah sesuatu yang harus dihindari. David Held memberikan alasan bahwa, global bukan juga sesuatu yang telah ada begitu adanya, melainkan sesuatu yang

  4

  diciptakan dan dibuat. Alih-alih kebutuhan televisi lokal untuk merepresentasikan kelokalan pada akhi rnya hanya menjadi “perpanjangan tangan” televisi nasional yang pada masa Orde Baru (dan sampai saat ini) dikenal sebagai televisi bisnis. Kelokalan dalam televisi lokal pada akhirnya terjebak pada idiom “tempelan” dalam ruang globalisasi di media yang bernama televisi. Dengan kata lain, televisi lokal pun melakukan “peniruan” televisi swasta melalui acara-acara musik-musik pop, berita nasional, kuis dan beberapa iklan yang juga mendapat tempat tersendiri.

  Tayangan-tayangan televisi lokal secara tidak langsung pun menjadi sesuatu yang ambivalen, yang harus berhadapan dengan produk budaya nasional sekaligus budaya global. Dilema terjadi pada televisi lokal untuk mengangkat budaya lokalnya sendiri melalui berbagai program tayangannya. Dalam perkembangannya beberapa televisi lokal mampu mengemas program-program dengan muatan lokal yang kental, khususnya program-program kesenian untuk diminati pemirsanya. Nielsen Media Research (NMR) mencatat, program jenis berita dan tayangan seni dan kebudayaan yang bersifat kedaerahan masih 3 Dennis McQuaill, Mass Communication Theory: an Introduction, Cambridge: Polity Press, 1994, hlm. 117.

  5

  menempati rating paling atas di antara program-program lainnya. Tingginya rating program yang mengupas seputar informasi dan berita “berbau” daerah, mengindikasikan hausnya informasi masyarakat mengenai perkembangan- perkembangan mutakhir yang terjadi di wilayahnya sendiri.

  Selanjutnya, permasalahan mengenai kelokalan (sekaligus ke-dilematis- an) sebagaimana alasan di atas yang sekaligus menja di “nilai jual” dan strategi pemasaran televisi lokal dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada kasus

  Jogja TV. Sebagai salah satu televisi lokal swasta Jogja TV yang telah berdiri lebih dari empat tahun, tidak luput untuk menayangkan program-program yang sifatnya nasional maupun global. Penayangan program acara seperti berita, musik,

  VOA (Voice of America) dan film (termasuk iklan) yang sifatnya nasional dan global di Jogja TV juga memiliki porsi yang tidak sedikit. Sehingga, penayangan dan pemaknaan atas representasi kelokalan Jogja TV tidak sekedar pada isi acara yang bercorak ke-jogja-an semata. Meski representasi atas kelokalan tersebut mengacu pada penggambaran kelompok-kelompok dan institusi sosial, tetapi penggambaran tersebut tidak hanya berkenaan dengan tampilan fisik dan deskripsi, melainkan juga terkait makna (lebih jauh lagi ideologi) di balik

  6 tampilan fisik sebagaimana yang ada di Jogja TV.

  Representasi lokalitas Yogyakarta dalam Jogja TV memiliki keunikan tersendiri. Dalam isi acara kedaerahan Jogja TV, memandang apa yang disebut “tradisi” Yogyakarta dalam penayangannya adalah sesuatu yang berkembang di 5 Dari pemantauan majalah CAKRAM terhadap tayangan program-program TV lokal, Desember 2005.

  masyarakat. Lokalitas yang ada dalam program acara musik Goodril misalnya, bahwa musik Campursari adalah bagian dari lagu-lagu kreativitas masyarakat Yogyakarta, sehingga Goodril menjadi wadah tersendiri bagi para pecinta setia (komunitas) musik ala Jogjaan dengan lantunan campursarinya. Dalam acara ini mereka para pecinta lagu-lagu Campursari bisa bertegur sapa dan memesan lagu pilihannya dengan bahasa “khas” Jogja. Goodril yang ditayangkan live setiap hari dari pukul 9.30 sampai pukul 10.00 pagi, telah menjadi semacam wadah bersama masyarakat Yogyakarta pecinta setia Campursari yang dekat dengan

  7 “kejogjaan”.

  Program lain misalnya, Inyong Siaran menjadi media pilihan bagi warga komunitas Banyumasan (Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Banjarnegara, Purwokerto, Tegal, Brebes) yang ada di Yogyakarta untuk saling berkomunikasi

  8

  dan berinteraksi dengan program tersebut. Program yang disiarkan dua kali dalam sepekan, pada hari Jumat dan Minggu malam, selain menyapa komunitas dae rah Jawa Tengah bagian barat dan utara, tidak lain adalah sebagai “pembeda” tersendiri dari program-program lainnya. Pembeda dalam arti bahwa program acara tersebut dimaksudkan untuk komunitas-komunitas luar Yogyakarta yang secara dialek berbeda dengan bahasa Jawa umumnya yang dipakai di Jogja TV.

  Inyong Siaran ingin menceritakan pada komunitas-komunitas

  9 Banyumasan perihal seputar kota-kota tersebut. Mereka sengaja disediakan 7 Dalam penulisan tesis ini, pengertian Campursari merujuk pada musik yang sudah “mentradisi” dengan masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta. 8 Inyong Siaran berarti “Saya Siaran”, dengan menggunakan bahasa Jawa berdialek Banyumas, Inyong Siaran menjadi sebuah judul program tayangan di Jogja TV.

  program khusus oleh Jogja TV sebagai bahan liputan tentang seluk-beluk daerah mereka. Aktivitas orang-orang yang mengadakan pesta adat, keindahan wisata di daerah Banyumasan juga tempat-tempat yang bersejarah di daerah tersebut. Jogja TV bahkan membuat bentuk khusus dari Inyong Siaran yang menyediakan berita dan informasi-informasi kebanyumasan. Di jam Inyong Siaran, mereka orang- orang yang memiliki kultur Ngapak bahkan bisa bercerita atau bertanya kabar berita saudara atau kerabat mereka yang tersebar di Yogyakarta.

  Dengan melihat kelokalan sebagaimana fokus penelitian ini, Inyong

  

Siaran menjadi pilihan kasus. Pilihan pada program Inyong Siaran tentunya

  memiliki alasan tersendiri, di mana Inyong Siaran menjadi bagian representasi masyarakat Banyumasan yang hadir di Yogyakarta dalam media “baru” televisi.

  Di sisi lain, selama lebih dari tiga tahun setidaknya program Inyong Siaran masih cukup bertahan dan mendapat respon masyarakat (pemirsa) yang tidak kecil.

  Dengan berbagai isinya Inyong Siaran seakan sudah melihat keberadaan pemirsa untuk tetap berada pada jaringan suatu komunitas guyub “budaya” Banyumasan.

  Begitu juga dengan keterlibatan pemirsa (audiens) yang sudah begitu kental (mapan) pada program acara tersebut menandakan bahwa Inyong Siaran

  “mencuri perhatian” untuk diteliti lebih dalam.

  Uraian di atas (khususnya kasus program Inyong Siaran) setidaknya memberikan gambaran pada penulis khususnya untuk melihat apakah kelokalan sebagai suatu kebutuhan televisi lokal? Representasi kelokalan harus mendapat porsi dalam tayangan televisi lokal. Hubungan lain yang akan dilihat adalah bagaimana pemirsa yang terlibat sebagai bagian dari komunitas Banyumasan berdialog dengan program tersebut. Apakah Inyong Siaran “mewadahi” adanya hubungan antara komunitas dengan yang direpresentasikan dalam Jogja TV?

  B. Rumusan Masalah

  Penelitian ini ingin mengkaji lokalitas yang direpresentasikan oleh Jogja TV dan diresepsi oleh audiens mengenai kelokalannya. Melalui lokalitas yang direproduksi televisi lokal menjadi sebuah realitas baru, penelitian ini ingin mempertanyakan apa makna “kelokalan” atau “nilai tradisi” dari program, Inyong

Siaran yang ditayangkan Jogja TV kemudian dikonsumsi oleh audiens (pemirsa).

  Dengan asumsi-asumsi yang telah terbangun dari latar belakang masalah, selanjutnya penelitian ini akan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut;

  a) Bagaimanan tayangan Inyong Siaran di Jogja TV menghadirkan kelokalan Banyumasan pada pirsawannya? b)

  Bagaimana audiens mengalami kelokalan Jogja TV melalui tayangan

  Inyong Siaran ?

  C. Tujuan Penulisan dan Signifikansinya

  Dengan melihat permasalahan di atas yakni representasi kelokalan masyarakat Yogyakarta dalam tayangan Jogja TV, tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menganalisis hal-hal berikut:

  1) Mengungkap dan menganalisis makna representasi kelokalan di televisi lokal pada kasus stasiun Jogja TV melalui program tayangan Inyong

  Siaran .

  2) Menggambarkan pola pemirsa saat berhadapan dengan tayangan kelokalan

  Jogja TV. Penggambaran di sini tidak lain dari cara pandangan pada lokalitas dan globalitas, bagaimana televisi lokal “mensiasati” efek globalisasi dalam program-program tayangan. Penelitian ini diharapkan sedikit banyak bisa memberi manfaat dan signifikansi pada dunia akademisi dan pada masyrakat umum. Dengan kata lain penelitian ini dapat memberikan gambaran dan cara pandang keberadaan televisi-televisi lokal yang telah marak berkembang dengan berbagai macam programnya. Signifikansi setidaknya berupa:

  a) Kerangka pemahaman (benang merah) tentang arti dan makna kelokalan atau tradisi di televisi lokal Jogja TV kaitannya dengan fenomena pertumbuhan televisi-televisi lokal di Indonesia.

  b) Memberikan persepsi secara umum masyarakat (audiens) terhadap pola- pola lokalitas televisi lokal di Yogyakarta dan implikasinya terhadap pertumbuhan televisi lokal.

D. Tinjauan Pustaka

  Beberapa hasil penelitian terdahulu sedikit banyak telah membahas tema yang akan penulis kerjakan dan sangat membantu dalam keberlanjutan penelitian ini. Beberapa karya tersebut telah banyak membincangkan televisi dengan budayanya dan sebagian yang lain melihat hubungan televisi dengan masyarakat lokal. Sisi lain sebaliknya, penelitian-penelitian banyak melihat pada ekonomi atau modal yang digunakan oleh televisi atau ekonomi politik media. Spesifikasi pembahasan mengenai kelokalan yang akan dikaji dalam penelitian ini lewat medan konsumsi tontonan televisi lokal menjadi sedikit berbeda dengan sebelumya.

  Sebagian dari hasil penelitian/karya-karya terdahulu telah diterbitkan dalam bentuk buku. Karya-karya tersebut banyak mengulas tentang media, identitas dan lokalitas sebagai efek dari globalisasi, di antaranya; Ekspresi Lokal

  Dalam Fenomena Global; Safari Budaya dan Migransi karya Edwin Juri

  ẽns yang membahas identitas budaya lokal dalam televisi. Melalui ekspresi yang muncul di media televisi, Juri ẽns menelisik ekspresi-ekspresi kelokalan dari film berseri di TVRI Jawa Barat, Inohong di Bojongrangkong. Penelitiannya tentang migrancy budaya di TVRI memberikan kesimpulan tentang bagaimana hubungan lokal dan global berkelindan bersama dalam sebuah ekspresi tayangan film seri Inohong di Bojongrangkong.

  Buku-buku lain yang menarik yang telah membahas tentang televisi (media) di Indonesia adalah Philip Kitley, Television, Nation, and Culture in

  

Indonesia dan David T. Hill dan Krishna Sen, Media, Budaya dan Politik di

Indonesia . Karya Kitley dapat dikatakan memiliki kadar penulisan yang cukup

  detil dalam mencatat sejarah televisi di Indonesia. Ia memulainya dengan sejarah TVRI era Orde Lama sampai dengan perkembangan akhir televisi swasta di akhir era Orde Baru. Dalam penelitiannya, Kitley lebih banyak membahas hubungan kekuasaan yang mengatur televisi di Indonesia, mulai dari undang-undang sampai pada isi tayangannya. Berbeda dengan Kitley, David T. Hill dan Krishna Sen lebih banyak membincangkan berbagai media yang berkembang pada era otoritarianisme berjalan di Indonesia. Penelitiannya yang mencakup berbagai media (pers, televisi, industri musik dan film serta internet) memberikan garis tegas bahwa kekuatan kontrol pemerintah berjalan pada semua media.

  Karya-karya ilmiah lain yang membahas dan lebih dekat hubungan lokal dan global dalam televisi adalah

  The Concept of „Local‟ in Local Chinese

Television : a Case Study of Southwest China‟s Chongqing Television oleh Zhang

  Xin. Dalam penelitiannya Zhang melihat bagaimana konsep lokal dipahami dan bagaimana mereka (masyarakat China barat daya) mempertimbangkannya sebagai bagian dari diri mereka dengan melihat dari pengalaman keseharian mereka yang diformulasikan oleh televisi lokal. Zhang memulainya dengan asumsi bahwa televisi lokal, nasional dan internasional dalam konteks China tampak pragmatis belaka; di mana perusahaan televisi lokal berusaha memenuhi fungsi politik (kaki tangan) dalam menjalankan roda pemerintahan daerah dan memaksimalkan pendapatan daerahnya.

  Penelitian Kajri Jain dari Deakin University, Imagined and Performed

  

Locality: The Televisual Field in a North Indian Industrial Town di Ludhiana

  Punjab India, memfokuskan pada masyarakat urban dan identitas komunitas di Ludhiana. Penelitian Kajri ini banyak membicarakan kehidupan sehari-hari masyarakat Punjab dan identitas Ludhiana yang digambarkan lewat televisi kabel.

  Dengan melihat sisi lainnya, seperti budaya yang tumbuh dalam masyarakat urban di Punjab sendiri, penelitian tersebut sangat kompleks dengan persoalan-persoalan lokalitas dan bagaimana kemudian direpresentasi dalam televisi kabel.

  Buku Understanding the Local Media karya Meryl Aldridge, merupakan buku yang memiliki kadar pengulasan tentang media lokal sangat luas. Ia memulai tulisannya dengan mempertanyakan mengapa media lokal penting? Aldridge memberikan pernyataan bahwa, “Life is global: Living is local” untuk merefleksikan lebih jauh tentang hubungan lokal dan global dalam media (dalam konteks ini adalah bangsa Inggris). Dalam buku tersebut juga banyak dibahas orang lokal dalam masyarakat media global. Konstruksi yang diciptakan media (bukan hanya televisi) tentang masyarakat lokal coba dijawab oleh Aldrige bagaimana masa depan media dan masyarakat.

  Selanjutnya, sebagai celah dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, penelitian ini lebih difokuskan pada wacana lokalitas itu sendiri dalam kajian televisi lokal. Seperti disinggung di atas dan pada judul penelitian ini, secara khusus akan membahas bagaimana Banyumasan muncul dan dialami oleh pemirsanya lewat Inyong Siaran. Dengan pendekatan konsumsi pada program televisi, penelitian ini memiliki posisi yang sedikit berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya paling tidak dari segi geografis dan perbincangan atas pemaknaan kelokalan dalam media (representasi) TV lokal yang lebih spesifik pada kasus Jogja TV.

E. Kerangka Teori

  Televisi lokal mencoba menjawab bagaimana seharusnya televisi itu memiliki “peran” bagi masyarakatnya di tengah-tengah kepungan dunia tontonan.

  Dengan penuh semangat, televisi lokal kemudian mempersepsikan diri sebagai “lawan” dari televisi-televisi nasional/internasional yang sudah ada. Melalui berbagai jenis programnya, televisi lokal mencoba “melawan” televisi yang selama ini banyak didukung oleh kepentingan pemodal. Lewat bentuk-bentuk program yang ditawarkan, televisi lokal mengelak untuk disebut bagian dari sirkulasi modal melalui medium televisi dengan segenap ideologi komersialnya.

  Televisi lokal masih terus mencoba setia bahwa dunia tontonannya adalah bagian dari semangat orang-orang daerah tentang kelokalan. Mereka kemudian memproduksi program-program yang memiliki nilai lokal untuk para pemirsanya yang berada di daerah-daerah. Hasilnya adalah tayangan-tayangan kedaerahan kemudian memenuhi layar kaca para pemirsa (konsumen) di hampir setiap rumah di daerah-daerah.

  Sebagai alternatif dari program-program seragam dari televisi nasional/internasional, televisi lokal kemudian membuat tayangan “yang berbeda”. Dengan berbagai macam programnya, televisi lokal membuat tawaran- tawaran baru dalam tontonan. Televisi lokal membuat produk-produk baru dengan rasa lokal yang siap dinikmati khususnya oleh orang-orang lokal, bahkan suatu komunitas tertentu (termasuk Inyong Siaran). Televisi lokal siap melayani orang- orang lokal untuk memenuhi segala kebutuhannya dalam dunia tontonan.

  Gambaran tentang bagaimana televisi harus mencari konsumen untuk setiap programnya telah banyak dijelaskan oleh para teoritisi. Teori-teori yang muncul dari mereka sebagian besar berhulu dari teori produksi yang dilontarkan oleh Karl Marx. Para teoritisi yang mengikuti dan kemudian mengembangkannya antara lain Jean Baudrillard dengan teori konsumsinya dan John Fiske dengan gagasannya bahwa televisi sebagai pendorong dan sirkulator makna-makna.

  Baudrillard melihat dengan jelas perkembangan masyarakat konsumsi dari homo

  

economicus sampai Metakonsumsi. Ia melihat bahwa manusia dipenuhi dengan kebutuhan yang sifatnya antropologis sampai drama waktu luang; kesemuaannya

  10

  menuju pada konsumsi. Lain lagi bagi Fiske, melalui makna-makna yang di sampaikan dalam televisi inilah yang menjadi fokus kajian: televisi membuat makna-makna yang melayani berbagai kepentingan dominan masyarakat dan mensirkulasikan makna-makna tersebut di tengah ragam kelompok sosial yang luas. Gagasan Fiske tersebut sangat kental dengan praktik industrial atau sebagai produsen komoditas yang mencari keuntungan. Di mana suatu program memiliki kesamaan sifat dengan barang yang diproduksi. Dalam teori produksi klasik suatu barang pertama-tama akan dikonsumsi karena memiliki nilai guna. Televisi kemudian menjadi alat perebutan untuk mencari konsumen sebanyak-banyaknya bahkan dengan cara memproduksi program khusus karena ada asumsi kegunaan dengan sifat informasinya. Tetapi di sisi lain, sebagai produksi program-program televisi juga sebagai industri hiburan dan kesenangan yang saling mendukung satu sama lain bagi para pemirsanya.

  Dari sisi teknologi, televisi sudah dianggap bagian proses globalisasi, di mana segala macam jenis tontonan bisa masuk menjadi bagian dari sirkulasi pemrograman. Inyong Siaran bisa menjadi bagian dari tontonan global di mana antara kelokalan dan ke-global-an bercampur dalam Inyong Siaran. Globalisasi yang dirasa begitu cepat (setidaknya melalui media televisi) dan berjalan searah menyebar hingga terus merepresi pengalaman dan nilai kelokalan. Globalisasi yang hanya menciptakan satu tawaran wajah, di sisi lain juga menciptakan kompromi-kompromi baru dari kelokalan. Kompromi yang terjadi antara lokal 10 Bukunya yang secara spesifik membahas tentang konsumsi adalah La soci ẻtẻ de dan global memunculkan teori - oleh Roland Robertson disebut sebagai - glokalisasi. Ramalan Roland Robertson mengatakan, pluralisasi dunia terjadi ketika lokalitas melahirkan berbagai tanggapan kultural yang unik terhadap

  11

  kekuatan-kekuatan global. Dari proses tersebut bukanlah meningkatkan homogenisasi kultural, melainkan “glokalisasi” yakni interaksi yang komplek antara global dan lokal yang bercirikan peminjaman budaya (Cultural

12 Borrowing ).

  John Naisbitt, dalam Global Paradox memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt mengemukakan pokok-pokok pikiran, yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi ke sukuan atau lebih berorientasi “kesukuan” dan berpikir secara lokal,

  13

  namun bertindak global. Naisbitt di sini memberikan makna bahwa masyarakat harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional. Dengan demikian, berpikir global, bertindak lokal, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, akan diletakkan dan diposisikan dalam melihat masalah-masalah kelokalan televisi lokal di Indonesia khususnya Jogja TV dan masyarakat (khalayak) sebagai kekuatan yang penting dalam era globalisasi ini.

  Dalam isinya, Inyong Siaran sudah jelas sebuah tayangan yang berbeda dengan tayangan-tayangan lainnya. Ia adalah sebuah berita yang 11 Konsep tentang glokalisasi semula adalah istilah di bidang pemasaran, untuk

  

mengungkapkan bahwa yang lokal diproduksi secara global, dan lokalisasi yang global. Lihat

Chris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik, Yogyakarta: Bentang, 2005, hlm. 158. 12 Roland Robertson, Globalization and “Glocalization: Time-Space and Homogenity-

Heterogenity” dalam Mike Featherstone, Scot Lash, dan Roland Robertson (eds.), Global

  menginformasikan (merepresentasikan) Banyumasan di kota lain. Banyumasan sedang membuat cerita dengan teks Banyumasan itu sendiri yang siap dibaca para pecintanya di Yogyakarta. Selanjutnya Inyong Siaran akan dilihat ketika program tersebut dibaca (ditonton) oleh pemirsanya. Dengan asumsi awal mereka meresepsi sebuah teks (tontonan) sekaligus menegosiasikannya ketika berada di depan televisi. Mereka (bisa jadi) semakin dekat dengan Banyumasan sehingga mereka terdorong untuk terus mengonsumsi Inyong Siaran atau sebaliknya hanya stimulus sesaat ketika di hadapan tontonan. Resepsi ini secara tidak langsung akan melihat bagaimana posisi para pemirsa melihat orang-orang Banyumasan ketika dihadirkan oleh Jogja TV. Karenanya interaksi antara penonton dengan yang di tonton dan ruang sekitar menjadi penting dalam sikap keterlibatan satu sama lain. Benarkah pemirsa akan merasa terlibat aktif dalam menonton Inyong Siaran yang “berbeda” dari berbagai pengalaman yang mungkin tidak sama. Ien Ang, memberikan argumennya setelah meneliti Dallas dan pemirsanya, bahwa ada keterlibatan aktif penonton dalam produksi makna dan kesenangan yang termanifestasikan dalam banyak hal yang tidak bisa direduksi ke dalam struktur

  14 teks, efek ideologis ataupun proyek politik.

F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

  Metode pengumpulan data adalah apa yang penulis dapatkan lewat menonton Inyong Siaran dan praktik pengalaman menonton Inyong Siaran bersama dengan suatu komunitas anak muda yang kemudian dijadikan sumber data. Sumber data pada proses penelitian ini akan dibagi menjadi dua yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang penulis kumpulkan lewat menonton langsung program tayangan Inyong Siaran, wawancara serta berbagai komentar yang penulis cari dan temukan dari berbagai sumber media yang berkaitan dengan televisi lokal maupun Inyong Siaran. Data lainnya adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang membincangkan tentang televisi baik sebagai wacana maupun teori. Tulisan- tulisan ini berasal dari berbagai tempat dan berbagai kasus yang ikut mewarnai wacana televisi yang umumnya dimuat dalam media cetak dan buku-buku.

  Dari pengumpulan data primer maupun data sekunder, penulis membagi pengumpulan data tersebut ke dalam teks dan wawancara. Perolehan data teks dan wawancara akan dijelaskan sebagai berikut;

  1) Teks Penelitian ini ingin memahami Inyong Siaran sebagai sebuah teks yang sudah dikonsumsi oleh para pemirsanya. Inyong Siaran yang telah diproduksi oleh Jogja TV dengan bahan Banyumasan telah merepresentasikan Banyumasan sebagaimana yang ditampilkan. Teks tersebut sangat jelas bahwa yang dihadirkan dalam Inyong Siaran adalah Banyumasan yang sengaja dihadirkan di Yogyakarta. Tentunya berangkat dari bagaimana televisi yang sudah dipahami sebagai produk budaya, telah menghasilkan berbagai teks budaya dari teks-teks media yang merupakan hasil dari kreativitas kerja broadcaster televisi. Penggunaan kategori teks adalah sebagai jalan penemuan dan pemahaman makna di dalam tayangan

  Inyong Siaran .

  Sebagaimana pentingnya membaca isi-isi yang disampaikan media televisi itu sendiri dan karena representasi berkaitan erat dengan perilaku sebuah tayangan, teks akan memiliki posisi utama. Teks sendiri tidak lain dalam penelitian ini adalah program-program yang ditayangkan televisi, dalam hal ini

  

Inyong Siaran . Tayangan Inyong Siaran selanjutnya direkam dan disimpan dalam

  bentuk file yang bisa penulis putar sewaktu-waktu. Tentunya, dalam penelitian ini penulis mengambil secara acak tayangan Inyong Siaran tersebut yang berkisar antara awal 2008 sampai awal 2009.

  2) Wawancara Wawancara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh lewat penelitian lapangan mulai dari observasi, wawancara dan catatan- catatan kecil pada proses produksi Inyong Siaran atau dengan kata lain secara etnografis. Dalam wawancara tersebut juga akan melibatkan orang-orang dalam bagian produksi Inyong Siaran serta beberapa pemirsa Inyong Siaran. Dalam wawancara tersebut saya tidak melakukannya secara “formal” dengan mengajukan kuisioner atau dengan mencecar mereka dengan pertanyaan- pertanyaan perihal Inyong Siaran