PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS: STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN YOGYAKARTA Tesis

  

PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG

BAGI YANG KUDUS:

STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN

CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN

YOGYAKARTA

  

Tesis

  Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  Oleh: YH. Bintang Nusantara

  046322003

  

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

  

PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG

BAGI YANG KUDUS:

STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN

CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN

YOGYAKARTA

  

Tesis

  Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  Oleh: YH. Bintang Nusantara

  046322003

  

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : YH. Bintang Nusantara

  Nomor Mahasiswa : 046322003 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS: STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN YOGYAKARTA.

  Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 21 April 2009 Yang menyatakan (YH. Bintang Nusantara)

  

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan penulis haturkan atas limpahan kasihNya.

  PenyertaanNya telah memungkinkan penulis menyelesaikan tesis ini. KehadiranNya sungguh nyata dalam setiap orang yang membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

  Oleh karena itu penulis bermaksud menghaturkan tesis dengan judul “Peziarahan Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Yogyakarta” sebagai persembahan hidup kepadaNya.

  Penulis sungguh bersyukur atas studi tentang pembentukan CHKTY Ganjuran yang penulis lakukan. Dari studi inilah penulis mengenal lebih banyak tentang keluarga Schmutzer sebagai sosok utama dibalik munculnya peziarahan CHKTY Ganjuran. Mereka telah memberikan sebagian besar hidupnya sebagai persembahan bagi Hati Kudus Tuhan Yesus. Oleh karena itu dengan menelusuri pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran, penulis berharap apa yang telah penulis hasilkan sebagai apresiasi penulis terhadap seluruh cara hidupnya.

  Bagi penulis, fenomena peziarahan CHKTY memang sungguh menarik untuk dikaji. Inisiatif keluarga Schmutzer untuk mendirikan suatu ruang tempat mereka berdevosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus ternyata telah “melahirkan” sebuah peziarahan yang saat sekarang sangat ramai dikunjungi para peziarah. Peziarahan CHKTY Ganjuran sekarang ini juga terus-menerus memperlihatkan pergulatannya untuk menjadi ruang bagi Yang Kudus. Kajian tentang pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran yang penulis lakukan ini kiranya dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pergulatan dan kerja besar yang telah berlangsung itu.

  Terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari dorongan, bimbingan, perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan limpah terimakasih kepada: 1.

  Dr. G. Budi Subanar SJ. selaku dosen pembimbing dan penguji yang dengan keikhlasan di tengah kesibukannya berkenan untuk memberi arahan dan pandangan yang memungkinkan keberlangsungan penulis dalam studi dan 2.

  Dr. St. Sunardi selaku Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, yang memperkembangkan penulis dengan wawasannya yang mendalam dan telah berkenan pula menjadi penguji tesis ini.

  3. Prof. Dr. A. Supratiknya yang telah berkenan menjadi dosen penguji untuk membantu penulis dalam mempertanggungjawabkan tesis ini.

  4. Prof. Dr. A. Sudiarja SJ yang telah berkenan membimbing penulis dengan memberikan kerangka berpikir dan gagasan-gagasan yang mengarahkan penulis dalam penyusunan keseluruhan penulisan tesis.

  5. Seluruh staf dosen Program Magister Ilmu Religi dan Budaya khususnya Dr.

  Budiawan yang telah berkenan menjadi moderator pelaksanaan ujian tesis ini.

  6. Mbak Henki selaku staf sekretariat yang dengan caranya memperkembangkan penulis selama perjalanan studi dan penyusunan tesis.

  7. Staf pimpinan dan para dosen Program Studi Ilmu Pendidikan dengan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang memberi kepercayaan kepada penulis untuk menjalani studi dan terus-menerus mendorong penyelesaiannya.

  8. Pengelola Peziarahan CHKTY Ganjuran bersama para peziarah yang telah menjadi sumber informasi bagi penulis untuk keseluruhan penulisan tesis ini.

  9. Secara khusus kepada Rita Setyaningsih, istri tercinta yang dengan penuh kasih dan kelembutan memberi dorongan yang tiada habisnya dalam pasang surut perjalanan studi dan penulisan tesis ini bersama dengan buah hati kami Lintang dan Gabriel, yang telah menjadi pendukung paling istimewa bagi penulis.

  Bapak Ibu di Kutoarjo, Bapak Ibu di Malang dan semua keluarga di Jogja, Kutoarjo, Purworejo, Malang, Tangerang dan dimana pun berada, yang senantiasa berdoa dan memberi dukungan dengan cara masing-masing selama penulis menjalani studi dan menyusun tesis ini.

  11. Teman-teman seangkatan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berperan dalam proses studi maupun penulisan tesis ini.

  Penulis juga menyadari bahwa apa yang tersaji dalam tesis ini tak lepas dari kekurangan dan kekuranglengkapan, maka penulis sungguh berterimakasih atas berbagai masukan, kritik maupun saran demi penyempurnaan tesis ini. Semoga berbagai masukan, kritik dan pemikiran baru yang penulis terima akan semakin menyempurnakan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada seluruh pembaca demi upaya meningkatkan cara hidup kita di hadapan Yang Kudus khususnya melalui praktek ziarah yang kita jalani.

  Yogyakarta, 20 Januari 2009 Penulis

  YH. Bintang Nusantara

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................ iv KATA PENGANTAR ................................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................... viii ABSTRAK .................................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................

  1 A. LATAR BELAKANG.................................................................. 1 .

  B. RUMUSAN PERMASALAHAN ............................................ 8 C. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 8 D. TUJUAN PENULISAN ............................................................ 19 E. MANFAAT PENULISAN ........................................................ 20 F. METODE PENULISAN ........................................................... 21 G. SISTEMATIKA PENULISAN ................................................. 22

  BAB II ZIARAH MANUSIA DAN PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS...........................................................

  24 A. ZIARAH DALAM HIDUP MANUSIA ..................................... 24 1. Manusia Sebagai Peziarah ............. ..................................... 24 2. Kebiasaan Berziarah dalam Hidup Manusia ......................

  27 3. Kebiasaan Berziarah dalam Gereja ..................................... 29 4. Peranan Sosio Religius Ziarah ............................................ 33 5.

  Obyek Ziarah ...................................................................... 38 B. YANG KUDUS DALAM HIDUP MANUSIA ........................ 41 1.

  Gambaran Manusia Religius tentang Yang Kudus ............. 41 2. Kehadiran Yang Kudus dalam Hidup Manusia ................. 42 C. UPAYA-UPAYA PENGUDUSAN RUANG DAN WAKTU BAGI YANG KUDUS ............................................................

  46

  1. Perlakuan yang Berbeda Terhadap Ruang dan Waktu .........

  46 2. Upaya-Upaya Pengudusan Ruang dan Waktu bagi Yang Kudus .........................................................................

  48 BAB III PERTUMBUHAN DAN PEMBENTUKAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS SEBAGAI PEZIARAHAN ..............

  53 A. PERISTIWA-PERISTIWA PENTING YANG MEMBENTUK CANDI HKTY GANJURAN SEBAGAI PEZIARAHAN .........

  54 Pembangunan Gereja Ganjuran ...........................................

  2. Pembangunan Candi ............................................................

  56 3. Pemberkatan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai Monumen Perutusan ..............................................

  59 4. Gerakan Romo Utomo dengan Spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus ........................................................................

  60 5. Pembangunan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai Kompleks Peziarahan ............................................

  64 6. Munculnya Air Perwitasari .................................................

  67 B. BERBAGAI UNSUR YANG MEMBENTUK PEZIARAHAN CHKTY GANJURAN .............................................................

  69 1. Adanya Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ........................... 69 2.

  Ritual Ziarah yang Inkulturatif .......................................... 71 3. Air Perwitasari: Tuhan Yang Menyembuhkan .................... 76 4. Adanya Legitimasi dari Otoritas Gereja .................................. 78 5. Kisah-kisah yang Tercipta dan Pengakuan Diri ....................... 80

  BAB IV PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS: RUANG BAGI YANG KUDUS .........................................

  85 A. PENGUDUSAN YANG TERJADI ............................................... 86 1. Kehadiran Yang Kudus. ........................................................ 86 2. Ritual Agama yang Inkulturatif ............................................ 91 3. Peranan Legitimasi dari Gereja ............................................ 96

  B. CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS: DARI DEVOSI KELUARGA KE DEVOSI UMAT .............................................. .. 102 1.

  Devosi Keluarga yang Mengumat ........................................ 102 2. Konstruksi yang Berkelanjutan ............................................ 105 C.

  TANTANGAN KE DEPAN: TERUS MENJADI RUANG BAGI YANG KUDUS ................................................................. 108 1.

  Terus Menjadi Ruang Perjumpaan dengan Yang Kudus ........ 108 Menempatkan Ritual Ziarah pada Tempatnya ...................... 110

  BAB V PENUTUP ........................................................................... 113 A. KESIMPULAN ............................................................ 113 B. SARAN ........................................................................ 117 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 120

  ABSTRAK

  Judul tesis ini adalah “Peziarahan Sebagai Pengudusan Ruang Bagi Yang Kudus: Studi Tentang Proses Pembentukan Peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Yogyakarta”. Tesis ini merupakan usaha untuk menelusuri dan mengkaji secara mendalam proses pembentukan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus (CHKTY) Ganjuran sebagai sebuah peziarahan. Kajian ini tak lepas dari adanya upaya yang terus berlangsung pada saat ini untuk membentuk dan mengembangkan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah. CHKTY seperti halnya tempat ziarah yang lain seolah-olah “diusahakan”, sehingga menjadi tempat ziarah yang menarik. Oleh karena itu permasalahan tesis ini berpusat pada pertanyaan utama yaitu bagaimana

  CHKTY Ganjuran yang dibangun mulai tahun 1927 dan selesai tahun 1930 sesudah pembangunan gereja tahun 1924 diyakini telah menjadi tempat di mana iman kepada Yang Kudus diekspresikan sedemikian rupa, sehingga menjadi wahana tumbuh dan berkembangnya hidup beriman umat Katolik dalam lingkup daerah Ganjuran dan sekitarnya. Bahkan karena perannya dalam “memekarkan” iman Katolik, maka CHKTY Ganjuran dijadikan sebagai monumen perutusan dan diakui sebagai tempat ziarah. Berdasarkan pemikiran Mircea Eliade tentang Yang Kudus dan pembentukan ruang bagi Yang Kudus, maka CHKTY Ganjuran telah mengalami proses menjadi ruang bagi Yang Kudus.

  Dari penelitian diperoleh penegasan bahwa, terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai ruang bagi Yang Kudus tak lepas dari inisiatif keluarga Schmutzer untuk “menciptakan” ruang bagi Hati Kudus Tuhan Yesus dalam bentuk sebuah candi. Kehadiran Yang Kudus dalam ruang yang disebut peziarahan CHKTY Ganjuran sangat diyakini oleh pengelola maupun para peziarah. Keyakinan ini didukung oleh pengalaman mereka sendiri atau pun kesaksian dari peziarah yang lain. Peristiwa yang “meneguhkan” keyakinan akan kehadiran Yang Kudus di CHKTY Ganjuran adalah “munculnya” Tirta Perwitasari dari bawah candi. Air yang mempunyai daya menyembuhkan ini diyakini menjadi tanda kehadiran Yang Kudus. Berbagai kisah pun bermunculan sehubungan pengalaman akan Yang Kudus. Kisah “besar” dan kisah “kecil” yang tercipta berperanan menjadi unsur yang membentuk identitas ruang yang disebut sebagai peziarahan CHKTY Ganjuran. CHKTY Ganjuran pun menciptakan “legendanya” sendiri.

  Hal yang tidak kalah penting yang menentukan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan adalah adanya ritual ziarah yang inkulturatif. Bahkan ritual ini telah menjadi primadona untuk “memikat” para peziarah maupun wisatawan untuk datang ke CHKTY Ganjuran. Perhatian pada budaya setempat, yaitu budaya Jawa dipandang merupakan keunikan atau ciri khas CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan. Oleh karena itu ada tantangan besar untuk tetap mempertahankannya tanpa mengabaikan fungsinya untuk membantu peziarah mengungkapkan, memperdalam dan meperkembangkan relasinya dengan Yang Kudus. Diharapkan CHKTY Ganjuran dapat terus menjadi oase bagi umat dan masyarakat untuk hidup dalam keterarahan pada Yang Kudus, dan meneruskan pengalaman perjumpaan dengan Yang Kudus dalam hidup dengan sesamanya.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ziarah merupakan gerakan umat manusia yang bersifat universal. Kebiasaan

  berziarah dilakukan manusia di sepanjang jaman dan tempat. Tradisi ziarah adalah

  1 milik semua umat manusia, tanpa membedakan bangsa, suku, ras dan agama.

  Berziarah dilakukan manusia dengan berkunjung ke tempat tertentu yang dianggap suci atau keramat. Bagi orang beragama, tempat yang menjadi tujuan ziarah diyakini sebagai tempat kehadiran Yang Ilahi. Oleh karena itu menurut Brenda Shoshanna, PHD., dalam bukunya Zen, Wisdom, di banyak agama besar, ada perintah untuk melakukan ziarah, yaitu untuk meninggalkan tempat tinggal, sahabat, aktivitas, keadaan diri seseorang yang biasa, dan melakukan perjalanan menuju antah

  2

  berantah. Perjalanan ziarah ini dilakukan entah secara perorangan atau secara kelompok. Inti dari perjalanan ziarah bagi orang beriman adalah “mencari” dan menemukan Yang Ilahi.

  Pada masa sekarang ini, di tengah deru modernisasi yang melanda hampir semua sektor kehidupan termasuk dalam hidup keagamaan, ziarah sebagai kekayaan

  3

  spiritual tetap dipertahankan dan bahkan ditumbuhsuburkan. Dalam hidup keagamaan umat Katolik di Indonesia, tradisi ziarah juga tumbuh subur. Hal ini tampak dari ramainya tempat-tempat ziarah umat Katolik pada bulan Mei dan

  1 M.Budi Sardjono. Ziarah Dari Sendangsono Sampai Puhsarang Kediri. Yogyakarta: Yayasan

Pustaka Nusatama. 2002, 3. Lihat juga C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi.

2 Yogyakarta: Kanisius, 187. 3 Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom terj. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 187.

  Lihat M.Budi Sardjono. 2002, 3. Oktober. Umat Katolik entah secara perorangan atau secara kelompok mengunjungi berbagai tempat ziarah yang ada pada bulan-bulan tersebut.

  Mengapa umat mendatangi tempat-tempat ziarah? Budi Sardjono berpandangan bahwa alasan-alasan umat berkunjung ke suatu tempat ziarah sangatlah beragam. Alasan-alasan itu antara lain, di tempat ziarah orang lebih mantap dalam hal berdoa dibandingkan di tempat yang biasa. Permohonan serta doa yang mengalami kehadiran Yang Ilahi. Pengalaman akan Yang Ilahi ini disebut oleh umat/peziarah sebagai mukjijat, yaitu dengan terjadinya kesembuhan dari sakit,

  4

  mendapat keturunan, ataupun rumah tangganya utuh kembali. Dengan kata lain di tempat ziarah yang dikunjungi, umat berpandangan bahwa mereka dapat berdoa secara khusuk untuk mendapatkan sesuatu, entah yang amat spiritual, seperti pengalaman dengan Yang Ilahi, atau yang material seperti kesembuhan, keberhasilan dalam usaha dan karya, jodoh, dan sebagainya.

  Sekarang ini ternyata bukan hanya ziarah yang marak tetapi juga munculnya upaya untuk membangun atau mengembangkan tempat-tempat ziarah. Di mana- mana “tempat ziarah” seolah-olah “diusahakan”, tentunya atas dasar pertimbangan

  5

  bahwa berguna sebagai saluran devosi rakyat. Pembangunan tempat-tempat ziarah ini pun “dibarengi” usaha promosional untuk menunjukkan kekhasan yang ada di tempat tersebut. Usaha promosional ini dimaksudkan agar tempat ziarah yang ada menjadi “laku”, sehingga peziarah atau pun pengunjung yang datang ke tempat 4 tersebut akan bertambah banyak.

  

M.Budi Sardjono. Ibid., 4. Dan lihat Andreas Wasono yang memperoleh ketentraman dengan

datang berziarah seperti dikisahkan Albertus Handriyo Widi Ismanto. “Setelah Disentuh Tyas

5 Dalem”, dalam Majalah Utusan No. 06 Tahun ke-52, Juni 2002, 30-31.

  Lihat C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta: Kanisius, 190.

  Tempat ziarah pada akhirnya diperlakukan sebagai obyek untuk menarik kunjungan para peziarah maupun wisatawan yang hendak menikmati tempat tersebut. Akibatnya pertumbuhan tempat-tempat ziarah kemudian diikuti dengan munculnya berbagai kegiatan lain yang terkait dengan usaha untuk beroleh keuntungan termasuk penjualan berbagai kebutuhan untuk “melayani” para peziarah maupun wisatawan saat pelaksanaan ritual ziarah ataupun juga pasca ziarah tempat-tempat ziarah. Tempat ziarah tak ubahnya tumbuh sebagai tempat untuk berdoa menuju surga, namun sekaligus juga tempat untuk mencari harta ataupun pemenuhan hidup harian. Dengan demikian keberadaan suatu tempat ziarah

  6 senantiasa tak pernah lepas dari aneka kepentingan.

  Sekarang ini tampak kecenderungan seperti halnya pariwisata, maka ziarah juga direkayasa sehingga menjadi kebutuhan. Ziarah menjadi agenda yang “diciptakan” untuk menjadi kebutuhan bagi orang beragama. Artinya, siapapun yang menganggap diri sebagai orang beriman dan beragama sudah semestinya menjalankan laku ziarah seperti telah diagendakan dalam tradisi agamanya. Bagi umat Katolik di Indonesia, kecenderungan ini tampak dari adanya agenda umat untuk berziarah ke tempat-tempat ziarah Maria pada bulan tertentu, yaitu Mei dan Oktober. Pengelolaan tempat ziarah pun dilakukan sedemikian rupa sehingga membuat para peziarah merasa “harus” datang berziarah di tempat tersebut.

6 Menurut Dr. B.S. Mardiatmadja SJ ziarah yang mengandung langkah menentukan, mengandung

  

panggilan untuk mengambil keputusan karena pentingnya hubungan Allah bagi saya sering dinodai

oleh sejumlah hal-hal remeh seperti belanja atau turisme. Kadang belanja atau tamasya dipakai

sebagai pancingan agar orang mau berziarah. Dengan begitu derajat ziarah diturunkan. Oleh karena

itu bila tak ada relasi batin antara peziarah dengan pribadi yang dikunjungi sebenarnya makna

ziarah tidak terjadi sama sekali. Lihat Dr. B.S. Mardiatmdja SJ, “Makna Ziarah di Tahun

Yubelium”, dalam Hidup, No. 40 Tahun LIV, 1 Oktober 2000, 13-14.

  Seperti halnya tempat pariwisata senantiasa memilih dan berupaya untuk mengidentifikasikan produknya sebagai sesuatu yang eksotis, sehingga melalui eksotisme yang ada menggiring orang ke dalam suatu bentuk penjelajahan, petualangan dan penemuan baru dengan mengunjunginya, maka demikian juga tempat ziarah ditawarkan sedemikian rupa sehingga memikat para peziarah untuk

  7

  datang. Tempat ziarah dengan berbagai cara ditawarkan sebagai tempat yang eksotis tersebut sungguh masih “asli” dan membuat para peziarah yang datang beroleh kepuasan. Oleh karena itu yang terjadi kemudian adalah berbagai usaha (pengelola) yang berlomba-lomba menunjukkan tempat ziarahnya sebagai tempat yang eksotis.

  Eksotisme sebuah tempat ziarah ditunjukkan bukan hanya melalui pencitraan sisi fisik tetapi juga berbagai pendukung lainnya yang dimaksudkan untuk memperlihatkan kekudusan tempat tersebut: entah dengan menunjukkan banyaknya mukjijat, kesaksian peziarah yang datang atau lainnya. Artinya ada upaya untuk “merekayasa” tempat ziarah, sehingga mengundang minat peziarah untuk datang. Bahkan setiap tempat ziarah berupaya untuk menciptakan “legenda kudusnya” masing-masing yang memperlihatkan apa yang khas dalam peziarahan tersebut.

  Sehubungan dengan muncul serta tumbuh dan berkembangnya tempat ziarah, maka fenomena peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran (Candi HKTY) menjadi hal yang sangat menarik. Tempat ziarah yang dibangun mulai tahun 1927 dan selesai tahun 1930 sesudah pembangunan gereja tahun 1924 ini sekarang sangat ramai dikunjungi. Tempat ziarah ini dalam aneka kesempatan juga terus 7 memperkenalkan keberadaannya pada para peziarah. Saat ritual ziarah dilaksanakan

Dr. James J. Spillane, S.J. 1994. Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan.

  Yogyakarta: Kanisius, 15. ataupun saat promosional yang lain selalu dilakukan semacam upaya untuk menyampaikan kisah-kisah berkenaan dengan munculnya peziarahan ini. Kisah- kisah yang disampaikan nampaknya hendak menunjukkan apa saja yang memperlihatkan "kekuatan” CHKTY sebagai peziarahan. Disadari betul adanya kebutuhan untuk memperkenalkan latar belakang munculnya CHKTY sebagai tempat ziarah beserta kekhasannya kepada para peziarah atau bagi para pengelola

  Dari pengamatan awal dan dialog dengan pengelola peziarahan menjadi jelas bahwa tahun 1988 ada gerakan untuk menghidupkan “lagi” dan mengembangkan

8 CHKTY sebagai tempat ziarah. Salah satu hal yang sangat kuat dilakukan adalah

  menggali kembali “semangat awal” yang mendorong adanya CHKTY. Adapun semangat awal ini diyakini terdapat dibalik berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan pertumbuhan dan perkembangan CHKTY. Apa sajakah peristiwa- peristiwa penting yang dikisahkan untuk memperkenalkan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah? Mengapakah peristiwa-peristiwa tersebut dipandang penting? Bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut secara perlahan menciptakan “legenda” tentang CHKTY sebagai peziarahan? Benarkah sejak awal mula CHKTY sebagai tempat ziarah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pertanyaan sentral untuk tesis ini.

  Kajian secara mendalam terhadap proses pembentukan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ini diharapkan akan dapat membantu para peziarah 8 dalam menjalani laku ziarah. Kajian ini diharapkan juga membantu para pengelola

  

Pengelola peziarahan menyatakan tahun 1988 yang menandai gerakan menghidupkan “lagi” lingkup

CHKTY sebagai peziarahan dengan menunjukkan apa yang dinyatakan dalam buku Panduan

Prosesi 2004. Lihat Panitia Prosesi Dewan Paroki Ganjuran. 2004. Panduan Prosesi 2004. Yogyakarta: Dewan Paroki Ganjuran, 55. peziarahan dalam mengembangkan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah di masa sekarang dan yang akan datang. Bagi para peziarah kajian ini semakin perlu untuk memberikan pemahaman akan latar belakang tempat ziarah yang dikunjunginya, sebab banyak peziarah tidak mengetahuinya. Dengan mengetahui latar belakang tempat ziarah yang dikunjungi, sadar akan sejarahnya, serta mau belajar dari sejarah berdirinya tempat-tempat ziarah itu, maka para peziarah bisa belajar untuk akan datang seperti halnya pengenalan akan kehendak Yang Ilahi yang telah dilakukan oleh para tokoh “pendiri” dan “pengembang” tempat ziarah tersebut.

  Tempat-tempat ziarah bagi umat beragama pada umumnya memang menjadi tempat di mana iman kepada Yang Ilahi diekspresikan sedemikian rupa, sehingga menjadi wahana tumbuh dan berkembangnya hidup beriman umat. Dengan kata lain

  9

  tempat ziarah itu menjadi tonggak-tonggak mekarnya iman kepada Yang Ilahi. Hal inilah yang juga terjadi berkenaan dengan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran. Peziarahan CHKTY Ganjuran juga telah menjadi tonggak bagi mekarnya iman akan Yang Ilahi dalam lingkup daerah Ganjuran dan sekitarnya.

  Bahkan karena perannya dalam “memekarkan” iman Katolik, maka CHKTY

  10 Ganjuran dijadikan sebagai monumen perutusan murid Kristus.

  9 10 Lihat M.Budi Sardjono. 2002, 5.

  

Tentang monumen ini menurut George Aditjondro merupakan kecenderungan Gereja Katolik yang

ingin menancapkan image eksistensi (dominasi) dimana Gereja berada melalui aneka simbol:

patung, salib, bangunan gereja yang megah, tempat ziarah. Semuanya menurut George sebagai

semacam monumen. Hal ini dinyatakan George dalam tulisannya Death Squad, The Antropology of

State Terror ketika menyoroti realitas kekerasan di Timor Leste hal. 158-188. Apakah sebenarnya

candi sebagai monumen? Supraktino Rahardjo dalam bukunya Peradaban Jawa menegaskan hal

ini. Menurut perspektif Hindu dan Jawa, melalui candi para raja ingin menunjukkan

keberadaannya pada waktu berkuasa dan bagaimana kejayaannya pada jaman pemerintahannya.

Maka ada candi yang sungguh besar dan megah sebagai lambang bahwa pernah ada masa

keemasan raja tertentu pada jaman candi dibuat. Lihat Supratikno Rahardjo. 2002. Peradaban

Jawa . Jakarta: Komunitas Bambu., 243.

  Menurut Rm. G. Utomo Pr candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran sebenarnya merupakan “monumen keluarga” yang dibuat oleh keluarga Schmutzer untuk mengungkapkan syukur kepada Allah atas keberhasilan pabrik gula yang dimilikinya dalam mengatasi krisis ekonomi tahun 1920an. Schmutzer membangun CHKTY sebagai persembahan syukur atas apa yang diperolehnya kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Namun dalam perkembangannya ternyata CHKTY telah berkembang

  Bagaimanakah ekspresi pribadi Schmutzer dan keluarganya lantas menjadi

  11

  ekspresi umat? Bagaimanakah tempat untuk devosi pribadi Schmutzer dan keluarganya lantas menjadi tempat untuk devosi umat? Bagaimana lingkup CHKTY Ganjuran menjadi peziarahan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pertanyaan lebih lanjut untuk ditelusuri sejalan dengan kesadaran akan pentingnya pengenalan secara mendalam akan latar belakang tumbuh dan berkembangnya peziarahan CHKTY Ganjuran. Bagaimakah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditelusuri jawabannya?

  Pemikiran Mircea Eliade tentang Yang Kudus, ruang kudus beserta bagaimana manusia melakukan pengudusan terhadap alam dan berbagai pemikiran lain yang relevan, kiranya kita dapat menjadi acuan kita untuk pengkajian. Eliade secara mendalam telah menunjukkan bagaimana pengudusan suatu obyek (termasuk ruang atau tempat) dapat terjadi baik melalui hierofani, tanda manifestasi dari Yang

  12 Kudus, tanda yang diusahakan maupun upacara. Dengan memanfaatkan berbagai 11 sumber pengetahuan yang ada termasuk yang secara khusus telah mengkaji tentang

Sehubungan dengan devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus ini, Tom Jacobs seorang teolog dalam

Gereja Katolik di Indonesia memaparkan pemikirannya di majalah Utusan, dengan menyatakan

bahwa devosi adalah bentuk kebaktian tertentu. Kebaktian ini ditujukan kepada Hati Kudus Tuhan

Yesus. Tekanan devosi hendaknya pujian dan syukur bukan pertama-tama pada permohonan. Lihat

Tom Jacob. “Devosi Kepada Hati Kudus Tuhan Yesus: Pujian atau Permohonan”. dalam Utusan.

12 No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002, 8-10.

  P.S. Hary Susanto. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 49-53. CHKTY Ganjuran, maka kita akan memperoleh masukan yang semakin kaya dan semakin mendalam untuk dapat menjadi landasan dalam mencermati proses pembentukan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan. Berbagai pemikiran yang ada juga dapat sungguh menjadi dasar untuk pengkajian kita.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

  berpusat pada pertanyaan utama yaitu bagaimana proses terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah? Peristiwa-peristiwa penting mana yang sebenarnya dipandang sebagai jejak-jejak menentukan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah? Bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut secara perlahan menciptakan “legenda” tentang peziarahan CHKTY Ganjuran? C.

TINJAUAN PUSTAKA

  Manusia dalam sejarahnya di dunia adalah peziarah (“homo viator”). Ia senantiasa hidup dalam perjalanan. Menurut Yohanes Paulus II, pada jaman sekarang ini, perjalanan hidup manusia, di satu pihak agaknya berjalan ke arah tujuan-tujuan positif berbagai ragam: integrasi seluas dunia dalam sistem-sistem global, sekaligus perasaan yang tajam terhadap pluralisme dan sikap hormat terhadap pelbagai jati diri historis dan nasional, kemajuan ilmiah dan teknis, dialog antar umat beragama, pelbagai komunikasi yang agak mengabur dalam keramaian seluruh dunia melalui instrumen-instrumen, yang semakin efektif dan langsung. Akan tetapi di lain pihak, pada setiap salah satu jalan-jalan itu, rintangan-rintangan silih berganti tampil dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang baru: berhala- berhala ekonomi, penindasan, penyalahgunaan posisi politik orang, arogansi ilmiah, fanatisme religius.

  13 13 Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999. Ziarah dalam

Yubileum Agung , terj. R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan

KWI, 30.

  Manusia terus-menerus hidup dalam pergolakan untuk mengatasi apa saja yang ditemukan dalam perjalanan hidupnya. Di tengah pergolakan hidup yang terus menerus berlangsung itu ia tidak jarang mengalami keletihan, ketidakpastian dan bahkan frustasi. Sekalipun telah menguasai alam semesta melalui akal budinya, namun manusia seringkali menemukan fenomena-fenomena yang di luar kemampuannya untuk mengatasi atau pun menemukan jawabannya. Hendropuspito memang dapat membuat hidup ini suatu frustasi yang mendalam atau bahkan

  14

  penderitaan lahir dan batin. Hal ini juga dikemukakan Geertz dengan mengatakannya bahwa apa yang dialami manusia tersebut sebagai kecemasan paling mengerikan bagi manusia. Menurut Geertz,

  Manusia dapat menyesuaikan dirinya entah bagaimana pada apa saja yang dapat dikuasai imajinasinya; tetapi ia tidak bisa berhadapan dengan Khaos. Karena fungsi khas dan modalnya yang paling tinggi adalah konsep, ketakutan terbesarnya adalah menemui apa yang tidak dapat diuraikannya…Oleh karena itu modal-modal kita yang paling penting adalah simbol-simbol tentang orientasi umum kita di dalam alam, di atas bumi,

  15 dalam masyarakat, dan dalam apa yang sedang kita kerjakan.

  Manusia menyadari bahwa upayanya untuk menanggapi fenomena-fenomena hidup yang dialami tidak dapat hanya dengan melihat dalam dunia empiris saja.

  Manusia menyadari adanya keterbatasan dirinya untuk mengatasi semua hal berdasarkan akal budi semata. Manusia memandang perlunya dunia yang lain, yaitu yang supra empiris, dunia transenden, yang tidak terjangkau oleh pengalaman empiris manusia, menjadi medan yang “dimasukinya”. Di sinilah letak agama yang diyakini manusia dapat memberikan jawaban atas persoalan eksistensial yang tidak 14 dapat dijangkaunya. Melalui agama, manusia kemudian mengandalkan dan 15 D. Hendropuspito. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 31-32.

  Clifford Geertz. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 16-17. menggunakan kekuatan supra empiris yang tertinggi. Inilah yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dengan ungkapan agama sebagai usaha manusia untuk membentuk

  16 suatu kosmos keramat. Agama adalah kosmisasi dalam suatu cara keramat (sakral).

  Bagi Berger kosmos yang ditegakkan oleh agama bukan hanya mengatasi (trancend) manusia, melainkan juga meliputi manusia. Berger melihat bahwa kosmos yang keramat itu dihadapi oleh manusia sebagai suatu realitas yang sangat berkuasa yang

  17

  tatanan yang bermakna. Dengan demikian agama ialah suatu sikap terhadap dunia, sikap mana menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih luas daripada lingkungan dunia ini yang bersifat ruang dan waktu; lingkungan yang lebih luas itu adalah dunia

  18 rohani.

  Agama menyangkut cara pandang tentang dunia dan sekaligus cara bertindak. Simbol-simbol keagamaan akan mendorong pemeluknya untuk mengambil disposisi tertentu termasuk juga pilihan tindakan yang diambil dari disposisi yang telah ditentukannya. Berdasarkan pemikiran Peter L. Berger dengan cara ini dalam kaitan dengan usaha manusia untuk kosmisasi realitas, maka agama menghantar manusia dalam suatu tatanan hidup yang bermakna. Agama menciptakan semacam kosmos keramat yang di dalamnya masyarakat religius hidup terlindungi dalam keteraturan puncak. Dalam kosmos keramat ini manusia dibebaskan dari rasa cemas karena kekacauan anomik (tanpa nomos), yakni tanpa hukum dan peraturan yang

  19 menyatukan mereka.

  16 17 Peter L. Berger. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. terj. Jakarta: LP3ES, 32-33. 18 Ibid. 19 Ibid.

  

Nico Syukur Dister, OFM., Dr. 1988. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisius,

17.

  Mengingat bahwa manusia selalu mengungkapkan imannya dalam rupa-rupa bentuk religius, maka agama mempunyai segi batiniah maupun lahiriah. Manusia beragama itu memperkembangkan hubungannya dengan kekuatan yang transenden (Yang Ilahi) dalam bentuk sistem pemikiran, yaitu mitos, ajaran agama maupun dogma; dalam sistem kelakuan sosial melalui upacara keagamaan, ritus dan juga

  20

  melalui sistem kelembagaan berupa organisasi-organisasi keagamaan. Oleh karena memandang penting kedudukan upacara atau ritual keagamaan.

  Ritual keagamaan dilaksanakan untuk penghadiran kembali pengalaman keagamaan dalam bentuk kultis. Hal ini dinyatakan oleh Mariasusai Dhavamony dengan menyatakan bahwa agama merupakan tindakan simbolis: ritual. Menurut Mariasusai, ritual dapat dikatakan sebagai agama dalam tindakan. Simbol-simbol yang digunakan dalam ritual mengungkapkan perasaan, perilaku serta membentuk

  21

  disposisi pribadi dalam diri manusia yang menjalankannya. Penghadiran kembali pengalaman yang terjadi melalui ungkapan simbolik ini mengekspresikan pengalaman manusia dengan Yang Ilahi. Akibatnya, seturut pemikiran Mircea Eliade, maka ritual membuat suatu perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikan manusia kepada situasi keberadaan baru, yaitu penempatan ke

  22

  dalam lingkup yang kudus. Manusia pun pada akhirnya mengalami perubahan fundamental yang eksistensial dalam hal cara beradanya, yakni cara berada yang dikuduskan. Dengan kata lain agama melalui ritualnya menghantar manusia mengatasi kelemahan eksistensial ketika dia berhadapan dengan berbagai persoalan 20 eksistensial dalam hidupnya yang tidak mampu dijawabnya hanya dengan 21 Nico Syukur Dister, OFM., Dr. 1988. ibid.. 22 Mariasusai Dhavamony, “Fenomenologi Agama. terj. Yogyakarta: Kanisius, 167.

  Ibid., 183. mengandalkan apa yang empiris saja. Agama menjadi usaha manusia untuk mengatasi kelemahan eksistensinya. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai,

  “(1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu

  23 tampak khas realistis”.

  Pemahaman apapun terhadap agama, tampaknya tidak ada yang menyangsikan, bahwa dalam apa yang disebut agama tersedia apa yang ingin diraih manusia. Agama tumbuh dari kemauan manusia untuk hidup atau dari kemauan untuk mengatasi persoalan eksistensial kehidupannya khususnya akan makna terdalam dari hidupnya. Motivasi untuk kelakuan beragama ini oleh Nico Syukur Dister dikelompokkannya dalam empat bagian, yaitu beragama untuk sarana mengatasi frustasi, beragama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat, beragama untuk memuaskan intelek yang ingin tahu dan beragama

  24

  untuk mengatasi ketakutan. Agama merupakan bagian dari kesadaran manusia akan adanya sesuatu yang lebih ideal dan memberi arti serta makna kepada kehidupannya.

  Bagi A. Sudiarja secara fenomenologis, agama muncul dari pengalaman manusia akan “daya” (power). Manusia kagum menyaksikan dunia dan lingkungannya yang dipenuhi oleh “daya-daya”: daya hidup, daya alam, daya-daya yang tidak kelihatan, tetapi mempunyai pengaruh yang dapat dirasakan. Manusia

  23 24 Clifford Geertz. 1992, 5.

  

Nico Syukur Dister, OFM dengan sangat lengkap memaparkan secara rinci motivasi beragama

dalam bukunya Pengalaman dan Motivasi Beragama, mulai halaman 71-115.

  25

  juga dapat terkena atau memiliki “daya-daya” ini dan menjadi “berdaya”. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Mariasusai, maka menurut Sudiarja dengan ritus, manusia memang mencoba mengungkapkan sikapnya yang benar di hadapan yang

  26 suci, yang berdaya itu.

  Manusia mempunyai sikap tertentu baik terhadap kehidupan ini maupun di hadapan yang suci. Namun ada perbedaan antara manusia religius dan manusia non mendalam Mircea Eliade mengemukakan pemikirannya bagaimana manusia (religius) dalam bersikap terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, terhadap manusia sendiri dan terhadap apa yang dianggapnya kudus. “Agama”, menurut Mircea Eliade, tidak harus berarti kepercayaan kepada Tuhan, dewa-dewa atau roh-roh, tetapi mengacu pada pengalaman akan yang kudus dan, sebagai konsekuensinya,

  27 berhubungan erat dengan konsep ada, makna, dan kebenaran.

  Manusia religius senantiasa menempatkan kehidupannya tak lepas dari relasi dengan Yang Kudus. Yang Kudus menjadi pusat kehidupannya. Realitas yang paling utama ialah Yang Kudus. Manusia religius mempunyai kerinduan yang dalam, untuk tinggal di dalam suatu dunia yang kudus atau berada sedekat mungkin dengan obyek-

  28

  obyek yang dikuduskan. Hal ini berbeda dengan manusia yang non religius yang lebih mengutamakan rasio dalam menanggapi realitas hidupnya sehari-hari. Manusia non religius selalu melihat dan menghadapi persoalan kehidupannya secara rasional 25 dengan mengandalkan kemampuan otaknya. Oleh karena itu berhadapan dengan 26 A. Sudiarja. 2006., 43. 27 Ibid., 46.

  

Hary Susanto. 2006. “Memeluk Agama, Menemukan Kebebasan: Mircea Eliade tentang Manusia

Arkhais”. dalam Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius.,

28 306.

  Hary Susanto. 1987, 44. pandangan tentang Yang Kudus, yang supranatural, mereka tetap membutuhkan bukti-bukti rasional. Hary Susanto menyatakan bahwa kehidupan religius menuntut kesadaran akan pertentangan antara Yang Kudus dan yang profan. Alam tidak pernah merupakan alam secara murni. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius

  29 seluruh alam sanggup untuk menyatakan dirinya sebagai sakralitas kosmis.

  Dalam bukunya The Sacred and The Profane , Eliade menyatakan lebih lanjut

  30

  manusia religius, dunia dimengerti sebagai daerah yang mereka diami saja. Dunia yang macam ini disebutnya sebagai kosmos, artinya dunia yang teratur. Sedangkan daerah asing yang tidak didiami disebutnya sebagai daerah yang masih kacau atau tidak teratur atau khaos. Melalui proses “penyucian”, maka menurut manusia religius dapat dilakukan adanya peralihan daerah atau wilayah yang semula sebagai daerah

  

khaos menjadi kosmos. Eliade menyebut proses “penyucian” ini dengan istilah

kosmogoni , yaitu mengulang kembali penciptaan awal. Dengan cara ini tempat

  tinggal yang telah dipilih manusia religius untuk mendiaminya menjadi tempat yang telah “dikuduskan” dan sekarang mengambil bagian dalam kekudusan Yang

31 Kudus. Oleh karena itu, manusia religius tidak memperlakukan semua tempat atau

  ruang secara sama. Perbedaan perlakuan ini tak lepas dari adanya keyakinan bahwa tingkat kekudusan suatu ruang berbeda dari ruang yang lain justru karena ada atau tidaknya kehadiran dari Yang Kudus. Apabila Yang Kudus memanifestasikan diri di

  32 suatu tempat atau ruang tertentu, maka ruang tersebut menjadi kudus.

  29 30 Ibid.

  

Mircea Eliade. 1959. The Sacred and The Profane terj. Willard R. Trask. New York: Harcourt,

31 Brace and World Inc., 29-30. 32 Ibid., 31-32, 34, 45-51.

  Ibid., 20-21.

  Bagi manusia religius, seluruh kosmos terbuka kepada Yang Kudus. Oleh karena itu manusia religius meyakini bahwa obyek apa saja dapat menjadi hierofani atau penampakan Yang Kudus baginya. Dari pemikiran Eliade menurut Hary Susanto kekudusan suatu tempat memang tidak selalu ditunjukkan oleh adanya

  

hierofani , yaitu peristiwa yang menunjukkan manifestasi dari Yang Kudus, tetapi

sering hanya dengan suatu tanda.

  ataupun metode-metode tertentu, itu berlaku untuk semua obyek dan mahluk di dunia. …Lewat tanda-tanda istimewa, suatu obyek, binatang atau manusia tertentu menjadi kudus. Dan apabila hierofani serta tanda-tanda istimewa yang menguduskan itu tidak ada, maka semua obyek, binatang atau manusia

  33 bisa dikuduskan dengan berbagai bentuk upacara pengudusan.

  Dengan demikian upacara (ritus) pengudusan harus dipandang sebagai sarana bagi manusia religius untuk menguduskan apa saja yang terkait dengan kehidupannya termasuk dirinya. Dengan ritus ia melakukan proses penyucian atau pembaharuan dunia dan dirinya sendiri menuju keadaan yang baru seperti pada awal dirinya

  34 diciptakan.

  Pelaksanaan upacara atau ritus ini juga dilaksanakan didasarkan adanya kesadaran bahwa realitas dunia yang sekarang tidak lagi menunjukkan apa yang sejalan dengan realitas dunia pada awal mula. Dengan kata lain dunia sekarang bukan sebagai dunia yang teratur atau kosmos. Oleh karena itu dunia ini perlu diperbaharui kembali agar dunia bisa memulihkan kembali kekudusan aslinya, yaitu

  35

  kekudusan yang diperoleh dari tangan Sang Pencipta. Pengudusan melalui ritus ini 33 memungkinkan terjadinya kembali kedekatan hubungan manusia religius dengan

  

Hary Susanto. 1987, 49-53. Dari pengamatan Hary Susanto, secara rinci Eliade menunjukkan

bagaimana dunia mengambil bagian dalam kekudusan Yang Kudus. Oleh karena itu, air, tanah,

34 langit dan lain-lain disebut kudus. 35 Mircea Eliade. The Sacred and The Profane, 78.

  Hary Susanto. 1987, 56-61. Yang Kudus. Ritus menghantar manusia religius untuk merasakan kehadiran dan tinggal bersama dengan Yang Kudus.