DUNGAN K ia sinensis L METODE K

  

IDENTIFIK KASI KAN DUNGAN K KAFEIN DA ALAM EK STRAK ET TANOLIK

DAUN TEH H (Camelli ia sinensis L L.) DARI DA AERAH BO OYOLALI D DENGAN

M METODE K KLT-DENSI

  ITOMETRI

  I SKRIPSI

  Diaju ukan untuk M Memenuhi Sa alah Satu Sy yarat Memp peroleh Gela ar Sarjana F armasi (S.Fa arm)

  Program Studi Ilmu F Farmasi Oleh:

  Inge Maria Wibo owo NIM M : 0681140

  59 FAKUL LTAS FAR MASI

  

UN NIVERSITA AS SANATA A DHARMA A

YO GYAKART TA

2010

  

IDENTIFIK KASI KAN DUNGAN K KAFEIN DA ALAM EK STRAK ET TANOLIK

DAUN TEH H (Camelli ia sinensis L L.) DARI DA AERAH BO OYOLALI D DENGAN

M METODE K KLT-DENSI

  ITOMETRI

  I SKRIPSI

  Diaju ukan untuk M Memenuhi Sa alah Satu Sy yarat Memp peroleh Gela ar Sarjana F armasi (S.Fa arm)

  Program Studi Ilmu F Farmasi Oleh:

  Inge Maria Wibo owo NIM M : 0681140

  59 FAKUL LTAS FAR MASI

  

UN NIVERSITA AS SANATA A DHARMA A

YO GYAKART TA

2010

  

In the day of trouble He will keep me

safe in His dwelling; He will hide me

in the shelter of His tabernacle and set

me high upon a rock

  Psalm 27:5 Kupersembahkan karyaku ini kepada :

  ♥ Tuhan Yesus atas segala berkat dan perlindunganNya

Papaku Alm. Soenarto dan mamaku Dewi Ratnawati sebagai

ungkapan terima kasihku atas kasih sayang yang telah kalian berikan

  ♥ Adikku Edwin Yakub Winarto Koko Anton, yang selalu memberi dukungan dan mencintai Almamaterku

  

PRAKATA

  Puji syukur dan terima kasih ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan kasih-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Identifikasi Kandungan Kafein dalam Ekstrak Etanolik Daun Teh (Camellia sinensis L.) dari Daerah Boyolali dengan Metode KLT-Densitometri.

  Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

  1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. Selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas semua kesempatan yang diberikan untuk menuntut ilmu dan melaksanakan penelitian.

  2. Erna Tri Wulandari M.Si.,Apt. selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bimbingan yang sangat berguna demi terselesaikannya skripsi ini.

  3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen penguji atas masukan dan saran kepada penulis.

  4. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas masukan dan saran kepada penulis.

  5. Semua Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, atas semua ilmu yang telah diberikan kepada penulis di bangku kuliah.

  6. Teman-teman seperjuangan selama menyusun skripsi, Ayu, Dini, Grace.

  7. Seluruh staff laboratorium Farmakognosi Fitokimia dan Laboratorium Kimia Analisis Instrumen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto, Mas Parlan, Mas Kunto, dan Mas Bimo yang telah menemani dan membantu selama penelitian.

  8. Keluarga yang kucintai yang menjadi semangat dan tujuan perjuanganku.

  9. Anthony, atas pinjaman laptopnya, cinta, rasa sayang, perhatian, dukungan

  10. Teman–teman seperjuangan praktikum semester 1-3, Tony, Oktav, Arum, Aroma.

  11. Sahabat-sahabatku, Yuni, Winny, Yenni, Rico, Linda dan seluruh teman- teman FKK Angkatan 2006.

  12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu terwujudnya skripsi ini.

  Penulis menyadari atas keterbatasan dan kekurangan penulis, maka ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari segenap pembaca, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal penelitian di bidang Farmakognosi dan berguna bagi pembaca.

  Penulis

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  

INTISARI

  Salah satu daerah perkebunan teh di Jawa Tengah berada di Kabupaten Boyolali, tepatnya di Kecamatan Selo, yang terletak pada ketinggian 1.300-1.500 dpl (di atas permukaan laut). Ketinggian tempat mempengaruhi kadar dan efek kandungan kimia suatu tanaman. Salah satu minuman teh yang saat ini banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah teh hijau, yang berfungsi sebagai stimulan karena adanya kandungan kafein di dalamnya. Kafein dalam daun teh yang berbentuk basa bebas dapat diekstraksi menggunakan pelarut etanol 70% karena kafein dalam bentuk basa dapat larut dalam pelarut organik. Berdasarkan gugus kromofor dalam struktur kafein yang bertanggung jawab atas penyerapan energi radiasi sinar UV, maka untuk identifikasi kuantitatif kandungan kafein digunakan metode KLT-densitometri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dari daerah Boyolali dengan metode KLT-densitometri.

  Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental karena tidak ada perlakuan terhadap subyek uji. Langkah penelitian terdiri atas identifikasi secara kualitatif, yaitu pemeriksaan kandungan kafein secara KLT, dan dilanjutkan KLT-densitometri adalah dengan mengukur kerapatan bercak senyawa uji yang dipisahkan dengan KLT dan dibandingkan dengan kerapatan bercak senyawa standar yang dielusi bersama-sama.

  Hasil identifikasi kualitatif secara KLT menunjukkan ekstrak etanolik daun teh mengandung kafein dengan Rf 0,39 dibandingkan standar kafein dengan Rf 0,40. Pada identifikasi kuantitatif secara densitometri diperoleh rata-rata kadar kafein dalam ekstrak etanolik daun teh yang berasal dari daerah Boyolali sebesar

  b (1,2439 ± 0,1039) % / . b

  Kata kunci : ekstrak etanolik daun teh, kafein, KLT, densitometri

  

ABSTRACT

  One of tea garden in Jawa Tengah is located at Kabupaten Boyolali, the exact place is Kecamatan Selo which is located at 1.300-1.500 m above the surface of the sea. A higher area will influence tthe amount and effect of chemical contains in a plant. One of tea beverage which is mostly consumed by Indonesian people is green tea, which is used as a stimulant because of it’s caffeine contains. Caffeine in tea’s leaves in base forms can be extracted by ethanol 70% because caffeine in base forms is soluble in organic solvent. According to the chromophor in caffeine structure which is responsible to absorption of UV radiation energi, TLC-densitometry method is used as quantitative identification of caffeine contains. The purpose of this research is to determine the amount of caffeine in tea’s leaves ethanolic extract.

  This research is a nonexperimental research because there is no treatment to the subject. The step of this research are consist of qualitative identification, a determination of caffeine by TLC, and then followed by quantitative identification by TLC-densitometry. The principle of this method is by measuring the density of standard chromatogram wich is eluted together.

  The result of qualitative identification by TLC shows that tea’s leaves ethanolic extract contains caffeine with Rf 0,39 compared to caffeine standard with Rf 0,40. While quantitative identification by densitometry shows that the rate amount of caffeine in tea’s leaves ethanolic extract from Boyolali is (1,2439 ±

  w 0,1039) % / . w

  Key words : tea’s leaves ethanolic extract, caffeine, TLC, densitometry

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v PRAKATA ............................................................................................................ vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. ix

  INTISARI .............................................................................................................. x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xviii

  BAB I. PENGANTAR .......................................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................... 1

  1. Perumusan masalah ........................................................................ 2

  2. Keaslian penelitian ......................................................................... 3

  3. Manfaat penelitian ......................................................................... 3

  B. Tujuan Penelitian ................................................................................ 4

  BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5 A. Teh ..................................................................................................... 5

  1. Keterangan botani .......................................................................... 5

  2. Deskripsi ........................................................................................ 5

  3. Penggolongan ................................................................................. 5

  4. Kandungan kimia ........................................................................... 6

  5. Jalur biosintesis kafein ................................................................... 7

  6. Penggunaan .................................................................................... 9

  B. Syarat Penanaman Teh ....................................................................... 9

  1. Curah hujan .................................................................................... 9

  2. Tinggi tempat ............................................................................... 10

  3. Tanah ............................................................................................ 10

  1. Pengumpulan bahan baku ............................................................ 10

  2. Sortasi basah ................................................................................ 11

  3. Pencucian ..................................................................................... 12

  4. Pengeringan .................................................................................. 12

  5. Sortasi kering ............................................................................... 13

  D. Penyarian .......................................................................................... 13

  1. Ekstrak ......................................................................................... 13

  2. Pemilihan pelarut ......................................................................... 14

  3. Maserasi ....................................................................................... 14

  4. Penguapan .................................................................................... 16

  E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ...................................................... 16

  F. Densitometri ..................................................................................... 19

  G. Keterangan Empiris ........................................................................... 20

  BAB III.METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 21 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ....................................................... 21

  1. Jenis penelitian ............................................................................. 21

  2. Rancangan penelitian ................................................................... 21

  B. Definisi Operasional ......................................................................... 21

  C. Alat dan Bahan ................................................................................. 22

  1. Alat penelitian .............................................................................. 22

  2. Bahan penelitian ........................................................................... 22

  D. Tata Cara Penelitian ......................................................................... 22

  2. Determinasi tanaman ................................................................... 23

  3. Pembuatan simplisia daun teh ...................................................... 23

  4. Pembuatan serbuk daun teh ......................................................... 23

  5. Pembuatan ekstrak etanolik daun teh ........................................... 23

  6. Identifikasi kafein secara kualitatif dengan KLT ......................... 24

  7. Identifikasi kafein secara kuantitatif dengan KLT-densitometri . 24

  E. Analisis Hasil .................................................................................... 26

  BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 27 A. Pengumpulan Bahan ........................................................................ 27 B. Determinasi Tanaman ...................................................................... 28 C. Sortasi Basah .................................................................................... 28 D. Pencucian ......................................................................................... 28 E. Pengeringan ...................................................................................... 29

  F. Sortasi Kering ................................................................................... 30

  G. Pembuatan Serbuk Daun .................................................................. 30

  H. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Teh ........................................... 32

  I. Identifikasi Kafein secara Kualitatif dengan KLT............................ 34 J. Identifikasi Kafein secara Kuantitatif dengan KLT-Densitometri ... 38

  1. Penentuan panjang gelombang maksimum standar dan sampel .. 38

  2. Pembuatan kurva baku ................................................................. 41

  3. Penetapan kadar kafein sampel dengan KLT-Densitometri ........ 42

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 45 B. Saran .................................................................................................. 45 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46 LAMPIRAN .......................................................................................................... 49 BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 70

  

DAFTAR TABEL

  Tabel I. Hasil ekstraksi daun teh ........................................................................ 34 Tabel II. Hasil KLT standar kafein dan sampel ................................................... 36 Tabel III. Data pembuatan kurva baku kafein....................................................... 41 Tabel IV. Hasil pengukuran AUC dan kadar kafein pada kromatogram ekstrak etanolik daun teh ................................................................................... 43

   

  

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Struktur kafein ....................................................................................... 7 Gambar 2. Jalur biosintesis kafein .......................................................................... 8 Gambar 3. Ekstrak etanol cair ............................................................................... 33 Gambar 4. Ekstrak kental daun teh ....................................................................... 33 Gambar 5. Kromatogram ekstrak etanolik daun teh dan larutan standar kafein pada silika gel GF dengan deteksi lampu UV 254 nm .................... 36

  254

  Gambar 6. Gugus kromofor dalam struktur kafein ............................................... 37 dengan TLC densitometry scanner ...................................................... 39 Gambar 8. Kurva penelusuran panjang gelombang maksimum sampel dengan

  TLC densitometry scanner .................................................................. 40

  Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi dengan AUC pada kurva baku kafein dengan persamaan regresi linier y = 48782,5 x + 28037,7 ................. 42  

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Surat keterangan determinasi ........................................................... 49 Lampiran 2. Foto bahan dan alat penelitian .......................................................... 51 Lampiran 3. Data pengentalan ekstrak etanolik daun teh ..................................... 52 Lampiran 4. Perhitungan perolehan ekstrak kental ............................................... 53 Lampiran 5. Perhitungan rendemen ekstrak kental daun teh ................................ 54 Lampiran 6. Hasil pengukuran AUC standar kafein dengan TLC densitometry

  scanner pada panjang gelombang 274 nm ....................................... 55

  pada panjang gelombang 274 nm .................................................... 60 Lampiran 8. Perhitungan kadar kafein dalam sampel ........................................... 65

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Teh merupakan tanaman yang membutuhkan curah hujan yang tinggi

  dan suhu rendah. Daerah dataran tinggi menjadi daerah yang sesuai untuk penanaman tanaman teh. Salah satu daerah perkebunan teh di Jawa Tengah berada di Kabupaten Boyolali, tepatnya di Kecamatan Selo, yang terletak pada ketinggian 1.300-1.500 dpl (di atas permukaan laut). kimia suatu tanaman. Berdasarkan penelitian Purnamasari (2009) yang berjudul Perbandingan Aktivitas Daya Antioksidan Infusa Teh Hijau (Camellia sinensis L.) dari Daerah Wonosobo dan Daerah Karanganyar dengan Menggunakan Metode Deoksiribosa, infusa teh hijau dari daerah Karanganyar dengan ketinggian 1.200 m dpl memiliki aktivitas penangkapan radikal hidroksil yang lebih besar (nilai ES rata-rata = 0,029 mg/ml) daripada infusa teh hijau daerah Wonosobo (nilai

  50 ES rata-rata = 0,032 mg/ml) dengan ketinggian 760 m dpl.

  50 Sejak dulu masyarakat Indonesia banyak memanfaatkan tanaman teh

  sebagai bahan minuman. Salah satu minuman teh yang saat ini banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah teh hijau. Selain berfungsi sebagai antioksidan, teh hijau juga berfungsi sebagai stimulan karena adanya kandungan kafein di dalamnya. Kandungan kafein dalam daun teh dapat diperoleh dengan proses ekstraksi. Salah satu metode ekstraksi yang dapat digunakan adalah maserasi.

  2 Proses ekstraksi dapat berlangsung dengan sempurna apabila digunakan cairan penyari yang sesuai. Kafein dalam daun teh berbentuk basa bebas sehingga dapat larut dalam pelarut organik. Salah satu pelarut organik yang dapat melarutkan kafein adalah etanol sehingga etanol digunakan sebagai cairan penyari.

  Kafein memiliki gugus kromofor dalam strukturnya. Berdasarkan gugus kromofor dalam struktur kafein yang bertanggung jawab atas penyerapan energi radiasi sinar UV, maka untuk identifikasi kuantitatif kandungan kafein digunakan metode KLT-densitometri.

  Pada penelitian ini akan dilakukan identifikasi kandungan kafein di secara kualitatif maupun kuantitatif. Identifikasi secara kualitatif akan dilakukan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dengan membandingkan Rf dan warna kromatogram antara standar dan sampel. Sementara identifikasi secara kuantitatif dilakukan menggunakan TLC densitometry scanner, dengan membandingkan kerapatan antara kromatogram standar dan sampel yang dielusi bersama-sama dengan KLT.

  Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi industri farmasi maupun masyarakat dalam mengidentifikasi kandungan kafein dari daun teh dan dalam penggunaannya sebagai stimulan.

1. Perumusan masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka timbul permasalahan, berapa kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dari daerah Boyolali dengan metode KLT-densitometri?

  3

  2. Keaslian penelitian

  Sejauh pengetahuan penulis penelitian mengenai identifikasi kandungan kafein ekstrak etanolik daun teh dengan metode KLT-densitometri belum pernah dilakukan. Penelitian yang sudah ada : Pengaruh Sari Daun Teh (Camellia

  

sinensis L.) dan Herba Urang-Aring (Eclipta prostrata L.) Terhadap Pertumbuhan

  Rambut Kelinci Jantan serta Skrining Fitokimianya (Rangga, 1995), Uji Hepatoprotektif Infus Daun Teh (Camellia sinensis.(L.).O.K) pada Tikus Jantan Terangsang Parasetamol (Yuningsih, 1998), Penetapan Kadar Flavonoid Total Terhitung sebagai Kuersetin dengan Menggunakan Metode Kolorimetri dalam Radikal Hidroksil oleh Ekstrak Etanol Daun Teh Hijau dan Teh Hitam dengan Metode Deoksiribosa (Kuntari, 2002), Perbandingan Daya Antioksidan Infusa Teh Hijau (Camellia sinensis L.) dari Daerah Wonosobo dan Daerah Karanganyar dengan Menggunakan Metode Deoksiribosa (Purnamasari, 2009).

  3. Manfaat penelitian

  a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dengan metode KLT-densitometri.

  b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi industri farmasi dan masyarakat mengenai kandungan kafein dalam daun teh yang berguna sebagai stimulan.

  4

B. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh yang berasal dari daerah Boyolali dengan metode KLT- densitometri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teh

  1. Keterangan botani

  Tanaman teh termasuk ke dalam famili Theaceae, suku Camellia, dan memiliki nama ilmiah Camellia sinensis L.. Nama umum atau dagang biasa disebut Tea (Inggris), Pu erh cha (Cina), Teh (Jawa). Nama daerah : Teh (Melayu), Nteh (Sunda), Teh (Jawa Tengah) (Hutapea, 1994).

  Teh merupakan tanaman perkebunan, dipanen secara manual, dan dapat tumbuh pada ketinggian 200-2.300 m dpl. Berdaun kecil, ujung agak tumpul, dan permukaannya mengkilap. Batang pohonnya tegak, berkayu, dan bercabang- cabang. Bunga di ketiak daun, berkelamin dua, berwarna putih cerah dengan kepala sari berwarna kuning. Buahnya kotak, berdinding tebal, berwarna hijau saat muda, dan berwarna cokelat kehitaman saat tua. Biji keras, berjumlah 1 – 3 (Arisandi, 2006).

  3. Penggolongan

  Ada 2 kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu varietas assamica yang berasal dari Assam dan varietas sinensis yang berasal dari Cina. Varietas assamica daunnya agak besar dengan ujung yang runcing, sedangkan varietas sinensis daunnya lebih kecil dan ujungnya agak tumpul (Arisandi, 2006).

  Komoditas teh dihasilkan dari pucuk daun tanaman teh melalui proses

  6 pengolahan tertentu. Secara umum berdasarkan proses pengolahannya, teh dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Teh hijau dibuat dengan cara menginaktivasi enzim oksidase/fenolase yang ada dalam pucuk daun teh segar, dengan cara pemanasan atau penguapan menggunakan uap panas, sehingga oksidasi enzimatik terhadap katekin dapat dicegah. Teh hitam dibuat dengan cara memanfaatkan terjadinya oksidasi enzimatis terhadap kandungan katekin teh. Sementara, teh oolong dihasilkan melalui proses pemanasan yang dilakukan segera setelah proses penggulungan daun, dengan tujuan untuk menghentikan proses fermentasi. Oleh karena itu, teh oolong disebut hitam dan teh hijau (Hartoyo, 2003).

4. Kandungan kimia

  Setiap 100 gram daun teh mengandung 7-80% air, polifenol 25%, protein 20%, karbohidrat 4%, kafein 2,5-4,5%, teofilin, teobromin, tanin, serat 27%, dan pektin 6%. Teh mengandung alkaloid purin, yaitu kafein mencapai 4%, serta sedikit teofilin dan teobromin (Arisandi, 2006).

  Kafein secara alami di dalam tanaman terdapat dalam bentuk basa. Kafein bebas dalam bentuk basa tidak dapat larut dalam air, tetapi kafein dalam bentuk garam yang dihasilkan dari reaksi dengan asam dapat larut dalam air.

  Kafein bebas dalam bentuk basa larut dalam eter, kloroform atau pelarut organik lain, tetapi garam kafein tidak larut (Robbers, 1996).

  Kafein merupakan alkaloid golongan derivat asam nikotinat atau golongan purin, yang bersifat basa dan mengandung 4 atom nitrogen (N) sebagai

  7 bagian dari sistem siklik. Kafein dalam teh berfungsi sebagai stimulan susunan saraf pusat (Roberts, 1998).

  Kafein memiliki sinonim 1, 3, 7 – trimetil xantin dan memiliki rumus molekul C H N O . Pemerian kafein berupa serbuk putih atau bentuk jarum

  8

  10

  4

  2

  mengkilat putih, biasanya menggumpal, tidak berbau, rasa pahit, agak sukar larut dalam air, dalam etanol, mudah larut dalam kloroform, sukar larut dalam eter (Anonim, 1995). Sedangkan menurut Popl (1990), kafein dapat larut dalam etanol dan kloroform. Struktur kafein adalah sebagai berikut :

  O CH 3 H C N H 3 N N O N CH 3 Gambar 1. Struktur kafein

5. Jalur biosintesis kafein

  Jalur biosintesis kafein mengikuti jalur biosintesis asam sikimat. Jalur biosintesis asam sikimat berasal dari karbohidrat menuju asam amino. Asam sikimat adalah bahan awal untuk biosintesis tanin dan dapat juga lewat asam chorismat yang dibentuk dengan reaksi dengan molekul asam piruvat menjadi asam amino aromatik. Nitrogen yang dibutuhkan untuk biosintesis asam amino berasal dari udara. Nitrogen udara direduksi menjadi ammonia oleh bakteri pengikat N sehingga dapat digunakan untuk proses biosintesis yang terjadi dalam

  2 tanaman (Roberts, 1998).

  8

  Gambar 2. Jalur biosintesis kafein

  Adenosin merupakan asam amino yang berperan sebagai prekursor biosintesis kafein. Adenosin akan berubah menjadi adenin, dan adenin kemudian akan berubah menjadi AMP (Adenosin Monofosfat) yaitu suatu nukleotida purin. AMP kemudian akan berubah menjadi IMP (Inosin Monofosfat), dan selanjutnya

  IMP akan berubah menjadi XMP (Xantosin Monofosfat). XMP akan melepas gugus fofatnya sehingga XMP berubah menjadi xantosin, yang kemudian termetilasi menjadi 7-metilxantosin. Tujuh-metilxantosin akan melepas gula ribosanya sehingga berubah menjadi 7-metilxantin, yang kemudian termetilasi menjadi teobromin. Teobromin akan termetilasi lagi hingga menjadi kafein

  9 (Hiroshi, 1996).

6. Penggunaan

  Teh terkenal memiliki efek antimikrobia, antimutagenik, dan antioksidan. Selain itu, teh hijau dapat menurunkan resiko kanker, menurunkan kadar kolesterol/lemak dalam tubuh, serta sebagai terapi diare dan muntah (Anonim, 2009).

  Kandungan kafein dan teobromin dalam teh berfungsi untuk merangsang susunan saraf pusat dan aktivitas jantung, karena keduanya sama-sama memiliki efek stimulan. Sementara teofilin dapat menstimulasi kerja jantung dan

  Sifat antioksidan yang dimiliki teh disebabkan oleh kandungan flavonoid, yang juga mampu memperkuat dinding sel darah merah dan mengurangi kecenderungan trombosis, serta menghambat oksidasi LDL sehingga mengurangi terjadinya proses aterosklerosis di pembuluh darah. Sedangkan sifat antimutagenik yang dimiliki teh disebabkan oleh tanin, yang mengandung epigallocatechin galat, yang mampu mencegah kanker lambung dan kerongkongan (Arisandi, 2006).

B. Syarat Penanaman Teh

1. Curah hujan

  Tanaman teh tidak tahan terhadap kekeringan, oleh karena itu memerlukan daerah yang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun. Curah hujan tahunan yang diperlukan adalah 2.000 mm – 2.500

  10 mm. Curah hujan yang kurang dari batas minimum akan mengakibatkan penurunan produksi, terutama di daerah yang relatif rendah letaknya (Setyamidjaja, 2000).

  2. Tinggi tempat

  Tanaman teh di Indonesia hanya ditanam di dataran tinggi. Penanaman teh dilakukan pada ketinggian 400 m - > 1.200 m dpl, sehingga daerah penanaman teh dapat dibagi menjadi 3 daerah berdasarkan ketinggian tempat, yaitu :

  a. Daerah dataran rendah : 400 – 800 m dpl

  b. Daerah dataran sedang : 800 – 1.200 m dpl

  3. Tanah

  Area penanaman teh dunia terdapat pada tanah dengan jenis yang berbeda-beda. Teh di India Utara ditanam pada tanah kuarter dan aluvial, di Sri Lanka dan India Selatan pada hasil pelapukan batuan archaen. Teh di pulau Jawa ditanam pada tanah hasil erupsi yang berasal dari pelapukan granit, gneis,batu pasir, dan deposit baru kegiatan vulkanis. Tipe tanah untuk tanaman teh di Indonesia dibedakan menjadi 2 jenis utama, yaitu tanah andosol (di pulau Jawa, pada ketinggian di atas 800 m dpl) dan tanah podsolik (di Sumatra) (Setyamidjaja, 2000).

C. Pembuatan Simplisia

1. Pengumpulan bahan baku

  Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain

  11 tergantung pada :

  a. Umur tanaman yang dipanen. Umur tanaman yang dipanen berpengaruh pada kadar senyawa aktif. Apabila umur tanaman pada saat panen sama, maka mutu simplisia yang dihasilkan juga akan sama.

  b. Lingkungan tempat tumbuh. Lingkungan tempat tumbuh yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan kadar kandungan senyawa aktif. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi tinggi tempat, keadaan tanah, dan cuaca.

  d. Waktu panen. Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang dalam jumlah yang terbesar. Panen dapat dilakukan dengan tangan, menggunakan alat atau mesin. Dalam hal ini ketrampilan pemetik diperlukan, agar diperoleh simplisia yang benar, tidak tercampur dengan bagian lain dan tidak merusak tanaman induk. Alat atau mesin yang digunakan untuk memetik perlu dipilih yang sesuai. Alat yang terbuat dari logam sebaiknya tidak digunakan bila diperkirakan akan merusak senyawa aktif simplisia seperti fenol, glikosida, dan sebagainya (Anonim, 1985).

2. Sortasi basah

  Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan- bahan asing lainnya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusak, serta pengotor lainnya harus dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam jumlah yang tinggi, oleh karena

  12 itu pembersihan simplisia dari tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Anonim, 1985).

  3. Pencucian

  Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian agar dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pencucian sayur-sayuran 1 kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal. Jika dilakukan pencucian 3 Pencucian tidak dapat membersihkan semua mikroba karena air pencucian yang digunakan biasanya mengandung sejumlah mikroba juga (Anonim, 1985).

  4. Pengeringan

  Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik maka penurunan mutu atau perusakan simplisia dapat dicegah. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan.

  Suhu pengeringan tergantung pada bahan simplisia dan cara

  13 pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30-90°C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60°C (Anonim, 1985).

5. Sortasi kering

  Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering (Anonim, 1985).

D. Penyarian

  dari bahan yang tidak dapat larut dengan cairan penyari. Pada proses penyarian terjadi perpindahan masa zat aktif yang semula berada di dalam sel akan ditarik oleh cairan penyari. Hasil penyarian akan semakin baik apabila ukuran serbuk semakin halus, karena permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan cairan penyari semakin luas. Pertimbangan ini tidak selalu dapat dilaksanakan karena dengan semakin halus serbuk simplisia juga akan mengganggu proses penyarian. Hal ini dikarenakan serbuk yang terlalu halus dapat membentuk suspensi yang sulit dipisahkan dari hasil penyarian (Anonim, 1986).

1. Ekstrak

  Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok (Anonim, 1979).

  Ekstrak kental adalah ekstrak yang liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang, dengan kandungan air mencapai 30% (Voigt, 1994).

  14

  2. Pemilihan pelarut

  Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi harus memenuhi syarat berikut : a. Memiliki selektivitas tinggi terhadap zat yang akan diekstraksi

  b. Tidak bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi dan dengan zat lain yang ada dalam tanaman c. Murah

  d. Tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan

  e. Mudah menguap antara alkohol dan air, merupakan pelarut yang sangat baik untuk proses ekstraksi semua kandungan kimia tanaman yang berbobot molekul rendah seperti alkaloid, saponin, dan flavonoid (Samuelsson, 1999).

  3. Maserasi

  Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari (Anonim, 1986).

  15 Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986).

  Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara : 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, sari diambil, ampas diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan (Anonim, 1986).

  Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Maserasi dapat dilakukan modifikasi, misalnya maserasi dengan mesin pengaduk. Pengunaan mesin pengaduk yang berputar terus- menerus, waktu proses maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam (Anonim, 1986).

  Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak

  16 diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti malam dan lain-lain (Anonim, 1986).

4. Penguapan Penguapan merupakan proses terbentuknya uap dari permukaan cairan.

  Kecepatan terbentuknya uap tergantung pada difusi uap melalui lapisan batas di atas cairan yang diuapkan. Kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas. Oleh karena itu luas permukaan penguapan harus seluas mungkin dan lapisan batas dikurangi (Anonim, 1986).

  Ekstrak cair dapat diubah menjadi ekstrak kental dengan cara menggunakan penguap rotasi-hampa udara (Vacuum Rotary Evaporator).

  Penguapan akan berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ketika luas permukaan penguapan semakin besar. Melalui pengaturan kedalaman pencelupan di dalam penangas air, suhu penangas, hampa udara dan suhu pendinginan, maka kondisi optimal dapat tercapai (Voigt, 1994).

E. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

  Kromatografi adalah cara pemisahan zat khasiat dan zat lain yang ada dalam sediaan dengan jalan penyarian berfraksi, penyerapan, atau penukaran ion pada zat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat, dengan menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dilapiskan rata pada lempeng kaca (Anonim, 1979).

  17 Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita. Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi fase gerak yang cocok, pemisahan terjadi selama pengembangan. Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus dideteksi (Stahl, 1985).

  Fase diam yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, dan lain-lain. Panjang lapisan fase diam kurang lebih 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Sebelum digunakan, fase diam disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap laboratorium (Stahl, 1985). pelarut. Fase gerak bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler. Sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).

  Bercak ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi bawah lapisan. Jarak suatu bercak awal, yang berukuran 3-5 mm, ke bercak awak lainnya dan jarak antara bercak paling pinggir dengan tepi samping sekurang-kurangnya 10 mm. Lapisan fase diam tidak boleh rusak selama penotolan cuplikan itu. Biasanya ditotolkan 1- 10 µl larutan cuplikan 0,1-1%. Untuk menotolkan disarankan agar menggunakan mikropipet berujung runcing, khusus berskala 1 µl dan bervolume 10 µl (Stahl, 1985).

  Di samping larutan cuplikan, selalu ada suatu campuran pembanding yang dikembangkan pada waktu bersamaan. Campuran ini terdiri atas 1-5

  18 senyawa yang diketahui, dengan konsentrasi yang telah diketahui pula. Bila mungkin, senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat dalam larutan cuplikan (Stahl, 1985).

  Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa tak berwarna pada kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV 254 nm atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV 365 nm. Selain itu, senyawa juga dapat dideteksi dengan pereaksi semprot dan pemanasan (Stahl, 1985).

  Identifikasi senyawa pada lempeng KLT dinyatakan dengan harga Rf. dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut. Keduanya diukur dari titik awal, dan harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Gritter, 1985). Penilaian visual kromatogram diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran yang hampir sama (Anonim, 1979). Selain itu, beberapa sifat, misalnya fluorosensi atau pemadaman flurosensi, dan terutama warna hasil reaksi warna juga dapat dijadikan penilaian visual. Informasi mengenai identitas seringkali dapat juga diperoleh dengan membandingkan perubahan warna pada pemanasan, dan selanjutnya pada penyimpanan pelat (Stahl, 1985).

  Dengan menggunakan KLT, pemisahan senyawa yang amat berbeda seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik, kompleks anorganik- organik, dan bahkan ion anorganik, dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian pelarut dan cuplikan yang jumlahnya sedikit (Gritter, 1985).

  19

F. Densitometri Densitometri merupakan salah satu metode analisa KLT kuantitatif.

  Metode ini dilakukan dengan cara mengukur kerapatan bercak senyawa uji yang dipisahkan, dibandingkan dengan kerapatan bercak senyawa standar yang dielusi bersama-sama. Syarat-syarat senyawa standar adalah murni, inert, dan stabil (Hardjono, 1983).

  Alat densitometri mempunyai sumber sinar yang bergerak di atas bercak pemisahan pada lempeng kromatografi yang akan ditetapkan kadar komponennya.

  Lazimnya lempeng itu digerakkan menyusuri berkas sinar tersebut. Bercak yang dan tajam, sebaliknya bercak yang lebar akan menghasilkan puncak kurva absorbsi yang melebar dan tumpul (Sudjadi, 1988).

  Banyaknya sinar yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang disebut reflection photomultiplier yang akan diteruskan ke pencatat atau rekorder untuk diubah menjadi suatu puncak atau kromatogram. Luas puncak atau tinggi puncak sesuai dengan konsentrasi senyawa pada noda yang diukur kerapatannya (Mintarsih, 1990).

  Penelusuran bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilakukan pada panjang gelombang maksimum, karena perubahan konsentrasi pada bercak sedikit saja sudah dapat terdeteksi. Pengukuran dilakukan dengan menelusuri bercak yang akan ditetapkan kadarnya pada kisaran panjang gelombang zat tersebut (Mintarsih, 1990).

  Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar

  20 yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau intensitas sinar yang diflurosensikan. Teknik pengukuran berdasarkan refleksi dimana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi dipantulkan.

  Ada dua cara penetapan kadar dengan alat densitometer. Pertama, setiap kali penetapan ditotolkan sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan dan dielusi bersama dalam satu lempeng, kemudian AUC (luas daerah di bawah kurva) sampel dibandingkan dengan harga AUC zat baku. Yang kedua, dengan membuat kurva baku hubungan antara jumlah zat baku dengan AUC. Kurva baku diperoleh dengan membuat totolan zat baku pada pelat KLT dengan bermacam- AUC nya dengan alat densitometer. Dari kurva baku diperoleh persamaan y = bx

  • a, dimana x adalah banyaknya zat yang ditotolkan dan y adalah AUC (Supardjan, 1987).

G. Keterangan Empiris

  Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh yang berasal dari daerah Boyolali dengan metode KLT-densitometri.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

  1. Jenis penelitian

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental karena tidak ada perlakuan terhadap subyek uji.

  2. Rancangan penelitian

  Penelitian dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :

  b. Determinasi tanaman

  c. Pembuatan simplisia daun teh

  d. Pembuatan serbuk daun teh

  e. Pembuatan ekstrak etanolik daun teh

  f. Identifikasi kafein secara kualitatif dengan KLT

  g. Identifikasi kafein secara kuantitatif dengan KLT-densitometri

B. Definisi Operasional

  1. Daun teh yang digunakan diambil pada pucuk daun nomor 1-4, berasal dari Kecamatan Selo, Boyolali, dan tidak mengalami proses fermentasi atau disebut juga teh hijau.

  2. Ekstrak etanolik daun teh adalah ekstrak yang dibuat dari daun tanaman teh, yang dihasilkan melalui proses maserasi dengan etanol 70% selama 6 jam, dan

  22 dikentalkan menggunakan Vaccum Rotary Evaporator yang dilanjutkan dengan oven hingga diperoleh ekstrak kental yang tidak dapat dituang.

  3. Identifikasi kandungan kafein dalam ekstrak etanolik daun teh dilakukan secara kualitatif dengan metode KLT dan dilanjutkan secara kuantitatif menggunakan metode KLT-densitometri.

C. Alat dan Bahan

  1. Alat penelitian

  Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven (Memmert), alat-alat gelas (Pyrex), shaker (Innova 2100), Vaccum Rotary Evaporator (Janke & Kunkel Kika-Labortechnik, RV 05-ST), TLC Densitometry scanner (Camag TLC Scanner 3, seri no.160602).

  2. Bahan penelitian

  Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun teh dari Kecamatan Selo, Boyolali. Bahan kimia yang digunakan meliputi etil asetat p.a (Merck), metanol p.a (Merck), plat fase diam silika gel GF p.a (Merck). Bahan

  254