BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pemahaman Tentang Pajak 2.1.1.1 Definisi Pajak - SISKA DHANY ANGGIA KUSUMA, BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pemahaman Tentang Pajak

2.1.1.1 Definisi Pajak

  Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara sebagai pembangunan dalam mensejahterakan masyarakat yang bersifat memaksa dengan peraturan-peraturannya tetapi manfaatnya bagi masyarakat tidak dapat dinikmati secara langsung. Pajak menurut Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengartikan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau pun badan yang bersifat memaksa menurut undang-undang, dengan tidak dapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  Menurut peneliti Salim dan Syafitri (2010), pajak adalah salah satu penerimaan negara yang berpotensi besar dalam membiayai pengeluaran serta biaya negara yang dibebankan kepada masyarakat. Dari beberapa uraian tersebut pengertian pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang- undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.Pajak adalah sumbangan/donasi yang diberikan kepada negara oleh warga negaranya, yang dipungut berdasarkan undang-undang perpajakan yang diberlakukan dan disahkan oleh negara, yang dapat dipaksakan dengan tanpa kontraprestasi secara langsung yang digunakan untuk keperluan- keperluan negara untuk mensejahterakan masyarakat.

  Penerimaan pajak penghasilan didapat dari pembayaran pajak di kantor pelayanan pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak sebagai beban tiap periode yang telah ditentukan. Penerimaan pajak penghasilan banyak terdapat pada pajak pribadi serta badan, maka dari itu peraturan menyangkut hajat keduanya harus dipertimbangkan secara matang.

  Realisasi penerimaan pajak adalah penerimaan pajak yang berasal dari Wajib Pajak yang berhasil dihimpun oleh KPP.

  Menurut Widjaya (2011), pengukuran keberhasilan penerimaan pajak dan efektifitas administrasi perpajakan yang lebih akurat adalah dengan mengukur berapa besarnya jurang kepatuhan (tax

  gap ), yaitu selisih antara penerimaan yang sesungguhnya dengan

  pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan. Peningkatan penerimaan pajak merupakan kenaikan jumlah penerimaan negara yang berasal dari sektor pajak dengan membandingkan jumlah penerimaan pajak selama dan sebelum reformasi perpajakan 2008 yaitu 1 tahun sebelum tahun 2008 dan 3 tahun sesudah tahun 2008.

2.1.1.2 Fungsi Pajak

  Pajak menurut Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengartikan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau pun badan yang bersifat memaksa menurut undang-undang, dengan tidak dapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  Menurut Mardiasmo (2011), fungsi pajak ada 2 (dua), antara lain:

  1. Fungsi Budgetair, pajak sebagai sumber dana untuk digunakan belanja negara.

  2. Fungsi Mengatur (Regulerend), pajak sebagai alat untuk mengatur dalam bidang social dan ekonomi.

  Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, fungsi pajak menurut Cahya (2013) pajak memiliki fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata, dia juga menegaskan ada 2 (dua) fungsi pajak, yaitu sumber dana dan sebagai alat mengatur.Pajak sendiri mempunyai fungsi sumber pendanaan negara dan alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan ekonomi dan sosial (Azizah, 2012).Dari uraian tersebut dapat disimpulkan pajak berfungsi untuk pemasukan negara yang berguna untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam upaya mensejahterakan masyarakat.

  Pada dasarnya perubahan PPh 21 yang diikuti oleh meningkatnya PTKP (Pengahasilan Tidak Kena Pajak) ini akan meringankan wajib pajak pribadi dalam membayar pajak penghasilan maka secara logika penerimaan di KPP akan menurun. Perubahan ini dimaksudkan untuk meringankan wajib pajak orang pribadi dan sebagai fasilitas yang menarik sehingga diikuti banyaknya wajib pajak orang pribadi dengan suka rela membayar pajak yang sesuai sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak penghasilan di KPP.

  Adanya perubahan peningkatan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) ini akan mempengaruhi penerimaan di KPP.

  Penelitian Erawati (201 2) yang berjudul “Analisis Penerimaan

  Pajak Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar Setelah Pemberlakuan Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak” menyatakan PTKP mempengaruhi penerimaan pajak yang pada tahun 2009 meningkat seiring diikuti peningkatan PTKP Tahun 2008 yang direalisasi pada tahun 2009.

  PTKP dari UU Nomor 17 Tahun 2000 senilai Rp13.200.000,00 menjadi UU Nomor 36 Tahun 2008 senilai Rp15.840.000,00 selama setahun pada dasarnya akan mempengaruhi penurunan pada penerimaan pajak penghasilan karena bantuan yang diberi untuk wajib pajak meningkat.

  Pengurangan tarif dimaksudkan untuk mendukung program Pemerintah dalam pemberdayaan Wajib Pajak badan dalam skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Ketentuan ini juga bertujuan untuk mengurangi beban pajak bagi Wajib Pajak badan tersebut akibat penerapan tarif tunggal sejak tahun 2009.Padahal, pada tahun sebelumnya, tarif pajak bagi Wajib Pajak UMKM ini mungkin hanya 10% atau 15% saja (Puspitasari, 2011).

2.1.1.3 Pajak Penghasilan

  Penerimaan pajak lebih banyak berasal dari pajak penghasilan. Pada penelitian Salim dan Safitri (2010) dengan judul penelitian

  “Analisis Pengaruh Kenaikan PTKP Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palembang Ilir Barat

  ” mengemukakan sumber penerimaan pajaknya dalam laporan penerimaan pajak untuk pajak penghasilan yang tercatat atau terdata pada KPP Pratama Palembang Ilir Barat adalah pajak penghasilan PPh migas dan PPh non migas. PPh non migas menyumbangkan penerimaan lebih banyak dari PPh Migas dengan persentasi 90% dari peneriamaan pajak penghasilan setiap tahunnya. Dibanding juga penerimaan pajak pertambahan nilai dan lain sebagainya.

  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang pajak penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang tentang pajak penghasilan telah mengalami banyak perubahan, perubahan yag terakhir ialah UU Nomor 36 Tahun 2008.

  Undang-undang pajak penghasilan (PPh) mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak pengenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.Subjek dikenakan pajak penghasilan apabila memperoleh penghasilan.Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak (Mardiasmo, 2011).

  Undang-undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak. Pajak penghasilan adalah salah satu pajak yang memberi kontribusi terbesar dalam penerimaan pajak dibanding dengan pajak jenis lainnya.Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk apapun, baik diperoleh dari Indonesia maupun luar negeri, digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak (Azizah, 2012).

  Menurut Erawati (2012) pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada subjek pajak atas penghasilan yang diterima ataupun diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektif dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

2.1.2 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

2.1.2.1 Pemahaman tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

  Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 UU Nomor 17 Tahun 2000 ialah seorang pegawai dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak.PTKP adalah faktor pengurangan terhadap penghasilan neto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar objek pajak di Indonesia (Salim dan Syafitri, 2010).

  Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menurut jurnal Salim dan Syafitri (2010) adalah faktor pengurangan terhadap penghasilan neto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia. Untuk mengetahui besarnya penghasilan kena pajak, maka besarnya tarif PPh dikalikan penghasilan neto dikurangi dengan :

  1. Untuk Wajib pajak itu sendiri dikenakan Rp 15.840.000

  2. Atas status kawin dikenai tambahan Rp 1.320.000

  3. Atas jumlah tanggungan dikenakan tambahan Rp 1.320.000 setiap tanggungan, maksimal 3 orang.

  Keterangan : Perhitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak (Mardiasmo, 2011). Perbedaan besarnya penghasilan tidak kena pajak setahun yang berlaku untuk tahun 2006 sesuai dengan Peraturan Menteri

  Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 dan tahun 2009 sesuai UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan, adalah

Tabel 2.4 Perbedaan PTKP Sebelum dan Setelah Penerapan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 No Keterangan PMK No. 137/PMK.03/2005 UU No. 36 Tahun 2008

  1 Wajib Pajak Pribadi Rp 13.200.000 Rp 15.840.000

  2 Tambahan untuk WP Kawin Rp 1.200.000 Rp 1.320.000

  3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami Rp 13.200.000 Rp 15.840.000

  4 Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 anak) Rp 1.200.000 Rp 1.320.000

  Sumber : Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

2.1.2.2 Tujuan Perubahan Jumlah PTKP

  Kenaikan PTKP ini menjadi salah satu strategi makro ekonomi pemerintah untuk menekan tingkat inflasi yang terus merangkak naik dan untuk memberikan stimulus konsumsi domestik sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

  Kenaikan PTKP dari Rp 15.840.000,- menjadi Rp 24.300.000,- pertahunnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi 2012 yang sebelumnya pada kuartal I/2012 sebesar 6.3 persen ke level 6.5 persen. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Tebet, merupakan salah satu dari 13 kantor pajak pratama yang ada di wilayah Jakarta Selatan, yang melayani 7 kelurahan di wilayah Tebet, yaitu Kelurahan Tebet Barat, Tebet Timur, Kebon Baru, Menteng Dalam, Bukit Duri, Manggarai, dan Manggarai Selatan.

  Pertumbuhan kelas menengah Indonesia adalah yang terbesar di dunia setelah China dan India. Menurut Bank Dunia, kelompok ini adalah mereka yang pengeluaran per kapita US$ 2- 20 per harinya, maka terdapat sekurang-kurangnya 130 juta orang. Angka itu 56,5 persen dari total penduduk Indonesia. Pertumbuhan kelas menengah ini merupakan sasaran empuk para pembuat produk.Rata-rata mereka adalah orang muda yang berpenghasilan tinggi (US$3000-US$3500 per tahun) yang sebagian besar konsumtif.

  Kenaikan PTKP ini sepertinya diharapkan untuk menciptakan multiflyer effect dibidang perpajakan. Semakin banyak orang yang berbelanja akan membuat korporasi penghasil produk, berlomba-lomba menghasilkan produk barang dan jasa untuk dikonsumsi. Sehingga omsetnya bertambah demikian juga dengan labanya yang kemudian nantinya akan dipajaki. Pajak yang terkumpul dalam pundi-pundi APBN pun akan meningkat dan harapannya mampu mencapai target sebagaimana yang dibebankan tersebut.

2.1.3 Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21)

  Menurut Mardiasmo (2011), PPh 21 adalah pajak berupa gaji, upah, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Sedangkan menurut Azizah (2012), PPh pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima dari pemberi kerja. Objek pajak penghasilan, yaitu:

  1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;

  2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;

  3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;

  4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

  5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;

  6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.

  Menurut Erawati (2012), PPh Pasal 21 adalah pajak penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja atau penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan pekerjaan atau jabatan jasa dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan aturan terakhir UU Nomor 36 Tahun 2008, termasuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final dan setoran akhir tahun. Wajib pajak PPh 21, antara lain:

  1.Pegawai;

  2.Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;

  3.Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa atau kegiatan;

  4.Peserta kegiatan yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan.

  Tarif PPh 21 yang berubah pada dasarnya tujuannya sama dengan perubahan lainnya dalam perubahan undang-undang. Perubahan PPh 21 yang awal bertarif 5%, 10%, 15%, 25% serta 35% menjadi 5%, 15%, 25% serta 30% dalam aturan UU Nomor 36 Tahun 2008. Seperti diuraikan oleh tabel sebagai berikut :

Tabel 2.5 Perbedaan Tarif UU PPh Tahun 2000 dengan Tahun 2008 untuk WP Pribadi Ket. Tarif sesuai dengan UU PPh No. 17 Tarif sesuai dengan UU PPh No. 36 Th 2000 Th 2008

  Lapisan PKP Tarif Lapisan PKP Tarif No.

  1. Sampai dengan Rp25.000.000 5% Sampai dengan Rp50.000.000 5%

  2. Diatas Rp25.000.000 sampai 10% Diatas Rp50.000.000 sampai 15% Rp50.000.000 Rp250.000.000

  3. Diatas Rp50.000.000 sampai 15% Diatas Rp250.000.000 sampai 25% Rp100.000.000 Rp500.000.000

  4. Diatas Rp100.000.000 sampai 25% Diatas Rp500.000.000 30% Rp200.000.000

  5. Diatas Rp200.000.000 35% Sumber : Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000,Nomor 36 Tahun 2008.

2.1.4 Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan)

  Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Menurut Aisyah (2013), Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 dan perubahannya (UU Nomor 42 Tahun 2009 berlaku April 2010).

  Pada perubahan tarif PPh Badan dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 yang menjadi tarif tunggal 28% dari tarif progresif 10%, 15%, serta 25%. Tarif tunggal 28% ini berlaku di tahun 2009, serta 25% untuk tahun 2010 dan seterusnya. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 ini juga memberikan fasilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan Pasal 17 ayat (2b) berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal.

  Menurut Pasal 31E ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 Milyar. Bagi wajib pajak tersebut diberikan fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) dan sebaliknya.

  Pasal 31E ayat (1), penerapan pengurangan tarif sebesar 50% inipun dibatasi yaitu hanya atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Milyar. Bagi wajib pajak dengan peredaran bruto di atas Rp4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar, dikenakan tarif PPh Badanterutang adalah 50% x 25% x PKP, artinya bahwa tarif PPh Badan adalah 12,5% pada bagian Penghasilan Kena Pajak ini. Hal ini berarti bahwa untuk Penghasilan Kena Pajak atas bagian peredaran bruto di atas Rp 4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar, tetap dikenakan tarif normal. Tabel ibawah ini akan menggambarkan beda tarif UU PPh tahun 2000 dengan tahun 2008, sebagai berikut :

Tabel 2.6 Perbedaan Tarif UU PPh Tahun 2000 dengan Tahun 2008 untuk WP Badan

  

Ket. Tarif sesuai dengan UU PPh No. Tarif sesuai dengan UU PPh No. 36

17 Th 2000 Th 2008

  

Lapisan PKP Tarif Lapisan PKP dan Tarif

No.

  1. Sampai dengan 10% Tarif Tunggal 30% Rp50.000.000 Diturunkan menjadi 28% pada

  2. Diatas Rp50.000.000 15% tahun 2009 dan menjadi 25% pada sampai Rp100.000.000 tahun 2010

  3. Diatas Rp100.000.000 30% Dan seterusnya

  Sumber : Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 serta Nomor 36 Tahun 2008.

2.1.5 Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008

2.1.5.1Pokok-pokok Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008

  Pemerintah Indonesia telah melakukan perubahan perundang-undangan di bidang perpajakan pada tahun 2008 dengan mengeluarkan beberapa Undang-undang pajak baru mulai 1 Januari 2009, berlaku dua undang-undang pajak yang baru antaralain, yaitu: UU No 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta UU No 36/2008 tentang Pajak Penghasilan. Perubahan Pajak 2008 yaitu dengan mengenakan tarif berbeda pada wajib pajak pribadi dan wajib pajak badan.

  Perubahan pajak yang dimulai dari tahun 1983, dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 diikuti dengan empat kali perubahan, perubahan pertama UU Nomor 7 Tahun 1991, perubahan kedua UU Nomor 10 Tahun 1994, perubahan ketiga UU Nomor 17 Tahun 2000 serta yang trakhir UU Nomor 36 Tahun 2008. Pokok perubahan UU Nomor 36 Tahun 2008, antara lain :

  1.Adanya penegasan terhadap Objek Pajak (Pasal 4 Ayat 1). Surplus Bank Indonesia adalah Objek Pajak.

  2.Adanya perluasan terhadap Objek PPh Final (Pasal 4 Ayat 2): 1) Transaksi Derivatif yang diperdagangan di Bursa.

  2) Transaksi penjualan saham atau pengalihan modal saham pada pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura. 3) Usaha jasa kontruksi. 4) Usaha jasa estate.

  3.Adanya penegasan terhadap Non Objek PPh (Pasal 4 Ayat 3):

  1) Deviden yang diterima koperasi tidak dibatasi pada persentasi kepemilikan saham.

  2) Bagian laba yang diterima pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

  3) Beasiswa yang memenuhi syarat tertentu. 4) Sisa Lebih yang diterima Nirlaba dibidang pendidikan atau penelitian dan pengembangan (Litbang).

  5) Bantuan atau santunan yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak Tertentu.

  4.Penghapusan Non Objek Pajak PPh (Pasal 4 Ayat 3 Huruf J).Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan resakdana sejak awal pendirian adalah Objek Pajak.

  5.Adanya penambahan yang diperbolehkan oleh pajak sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih serta mendapatkan pada pasal 6 Ayat 1 UU Nomor 36 tahun 2008: 1) Biaya sumbangan bencana nasional 2) Sumbangan penelitian dan pengembangan (Litbang) yang dilakukan di Indonesia.

  3) Biaya pembangunan infrastruktur sosial.

  4) Sumbangan fasilitas pendidikan dan sumbangan pembinaan olahraga.

  6.Adanya penambahan yang diperbolehkan oleh pajak sebagai biaya untuk mendapatkan serta menagih sesuai pada pasal 9 Ayat 1 UU Nomor 36 tahun 2008: 1) Cadangan piutang yang tak tertagih untuk badan usaha yang menyalurkan kredit.

  2) Perusahaan pembiayaan konsumen dan anjak piutang. 3) Cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial.

  4) Cadangan penjamin untuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

  5) Cadangan biaya penambahan kembali untuk usaha kehutanan.

  6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk pengolahan limbah industri.

  7.Adanya perubahan besar Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Tabel 2.7 PTKP pada peraturan UU No. 36 Th. 2008 No Keterangan PTKP

  1. Wajib Pajak Pribadi Rp 15.840.000

  2. Tambahan untuk WP Kawin Rp 1.320.000

  3. Tambahan untuk seorang istri yang Rp 15.840.000 penghasilannya digabung dengan suami Lanjutan dari Tabel 2.7,

  4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga Rp 1.320.000 sedarah dan keluarga semenda yang menjadi tanggungan sepenuhnya (maksimal 3 anak) Sumber : Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

  8.Adanya penjelasan mengenai pemisahan pengenaan pajak suami istri (Pasal 8 Ayat 2 Huruf C). Apabila dikehendaki oleh istri, maka istri dapat memilih menjalankan hak dan kewaiban perpajakannya sendiri.

  9.Norma penghitungan penghasilan neto (Pasal 14). Batas peredaran usaha dalam setahun untuk dapat menggunakan norma penghitungan penghasilan orang pribadi dengan neto penghasilan wajib pajak Rp 4,8 M.

  10. Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi.

Tabel 2.8 Tarif PPh Pribadi pada peraturan UU No 36 Th 2008

  

Ket. Tarif sesuai dengan UU PPh No. 36 Th 2008

No. Lapisan PKP Tarif

  1. Sampai dengan Rp50.000.000 5%

  2. Diatas Rp50.000.000 sampai Rp250.000.000 15%

  3. Diatas Rp250.000.000 sampai Rp500.000.000 25%

  4. Diatas Rp500.000.000 30% Sumber : Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

  11. Tarif Wajib Pajak Badan.

  1) Tarif Tunggal 30%. 2) Diturunkan menjadi 28% pada tahun 2009 dan menjadi 25% pada tahun 2010.

  3) Dan WP masuk bursa tarif 5%.

  12. Adanya penjelasan tentang perbedaan tarif pemotongan atau pemungutan untuk wajib pajak yang tidak memiliki NPWP dibandingkan dengan Wajib Pajak yang memiliki NPWP.

  1) Untuk PPh 21 tanpa NPWP tarif 20% lebih tinggi. 2) Untuk PPh 22 tanpa NPWP tarif 100% lebih tinggi. 3) Untuk PPh 23 tanpa NPWP tarif 100% lebih tinggi.

  13. Mengenai Deviden yang diterima Orang Pribadi. Tarif untuk penerimaan Deviden bagi Wajib Pajak Orang Pribadi setinggi-tingginya 10%.

  14. Adanya objek tambahan pemungutan PPh 22.

  Pemungutan PPh oleh Wajib Pajak tertentu dari pembelian atas barang yang tergolong sangat mewah.

  15. Adanya perubahan PPh 23 Ayat 1 Huruf c. Penghasilan yang untuk dibayarkan dalam bentuk apapun atau disediakan untuk dibayarkan atau jatuh tempo pembayaran oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan lainnya kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan harta lain, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenakan pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 (PPh Final) yaitu sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan dan jasa selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan yang dimaksudkan pajak Pasal 21.

  16. Fiskal Luar Negeri (PPh Pasal 25 Ayat 8). Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki NPWP tidak perlu membayar fiskal luar negeri. Sedangkan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki NPWP yang telah berumur dan bertolak ke luar negeri harus membayar fiskal luar negeri yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

  17. Usah Mikro, Kecil, dan Menengah (Pasal 31E).

  Menurut Pasal 31E ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp

  50 Milyar. Bagi wajib pajak tersebut diberikan fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) dan sebaliknya. Pasal 31E ayat (1), penerapan pengurangan tarif sebesar 50% inipun dibatasi yaitu hanya atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 Milyar. Bagi wajib pajak dengan peredaran bruto di atas Rp4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar, dikenakan tarif PPh Badanterutang adalah 50% x 25% x PKP, artinya bahwa tarif PPh Badan adalah 12,5% pada bagian Penghasilan Kena Pajak ini. Hal ini berarti bahwa untuk Penghasilan Kena Pajak atas bagian peredaran bruto di atas Rp 4,8 Milyar sampai dengan Rp50 Milyar, tetap dikenakan tarif normal.

2.1.5.2 Simulasi Perhitungan Pengenaan Pajak Penghasilan.

2.1.5.2.1 Perhitungan Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pribadi.

  Pak Yani pegawai tetap mempunyai Gaji Pokok sebulan Rp14.000.000,00. Tunjangan transport 5%. Premi asuransi kecelakaan kerja 0,24%. Premi asuransi kematian 0,3%. Ber- NPWP.Masih belum berkeluarga. Maka besarnya PPh 21 Pak Yani sebagai berikut :

Tabel 2.9 Perhitungan dengan UU No 17 Tahun 2000

  Gaji Pokok Rp 14,000,000.00 Tunjangan Transport Rp 700,000.00 Premi Asuransi Kecelakaan Kerja Rp 35,000.00 Premi Asuransi Kematian Rp 42,000.00 Jumlah Penghasilan Bruto Rp 14,777,000.00 Lanjutan dari Tabel 2.9,

  Pengurang: Iuran Pensiun (Rp 738,850.00) Biaya Jabatan yang diperkenankan (Rp 500,000.00) Iuran Pensiun (Rp 560,000.00) Iuran JHT (Rp 280,000.00 ) Jumlah Pengurang : (Rp 2,078,850.00) Jumlah Penghasilan Neto Sebulan Rp 12,698,150.00 Jumlah Penghasilan Neto Setahun Rp 152,377,800.00 PTKP : Diri WP Sendiri (Rp 13,200,000.00) Penghasilan Kena Pajak Rp 139,177,800.00 PPh 21 Terutang : 5% x Rp25.000.000 Rp 1,250,000.00 Iuran Pensiun (Rp 738,850.00) Biaya Jabatan yang diperkenankan (Rp 500,000.00) Iuran Pensiun (Rp 560,000.00) Iuran JHT (Rp 280,000.00 ) Jumlah Pengurang : (Rp 2,078,850.00) Jumlah Penghasilan Neto Sebulan Rp 12,698,150.00 Rp 152,377,800.00 Jumlah Penghasilan Neto Setahun PTKP : Diri WP Sendiri (Rp 13,200,000.00) Penghasilan Kena Pajak

   Rp 139,177,800.00 PPh 21 Terutang : 5% x Rp25.000.000 Rp 1,250,000.00 10% x Rp25.000.000 Rp 2,500,000.00 15% x Rp50.000.000 Rp 7,500,000.00 25% x Rp39.177.800 Rp 9,794,450.00 PPh 21 Terutang Pertahun Rp 21,044,450.00 PPh 21 Terutang Perbulan Rp 1,730,704.17 Sumber : Data yang diolah secara manual sebagai simulasi.

  Tabel2.10 Perhitungan dengan UU No 36 Tahun 2008 Gaji Pokok Rp 14,000,000.00 Tunjangan Transport Rp 700,000.00 Lanjutan dari Tabel 2.10,

   Rp Premi Asuransi Kecelakaan Kerja

  35,000.00 Rp Premi Asuransi Kematian 42,000.00 Jumlah Penghasilan Bruto Rp 14,777,000.00 Pengurang:

  

(Rp

Iuran Pensiun 738,850.00) Biaya Jabatan yang (Rp diperkenankan

  

500,000.00)

(Rp

Iuran Pensiun 560,000.00)

  

(Rp

Iuran JHT

  

280,000.00)

Jumlah Pengurang : (Rp 2,078,850.00) Jumlah Penghasilan Neto Sebulan Rp 12,698,150.00 Jumlah Penghasilan Neto Setahun Rp 152,377,800.00 PTKP : Diri WP Sendiri (Rp 15,840,000.00) Penghasilan Kena Pajak Rp 136,537,800.00 PPh 21 Terutang : 5% x Rp50.000.000

   Rp 2,500,000.00 15% x Rp50.000.000

   Rp 7,500,000.00 25% x Rp36.537.800 Rp 9,134,450.00 PPh 21 Terutang Pertahun

   Rp 19,134,450.00 PPh 21 Terutang Perbulan

   Rp 1,594,537.50 Sumber : Data yang diolah secara manual sebagai simulasi.

2.1.5.2.2 Perhitungan Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

Tabel 2.11 Perhitungan dengan UU No 17 Tahun 2000

  PPh Badan : 5% x Rp50.000.000 Rp 25,000,000.00 15% x Rp50.000.000 Rp 75,000,000.00 25% x Rp36.537.800 Rp 50,000,000.00 PPh Terutang Badan Rp 150,000,000.00 Sumber : Data yang diolah secara manual sebagai simulasi.

Tabel 2.12 Perhitungan dengan UU No 36 Tahun 2008

  PPh Badan untuk tahun 2009: 28% x Rp500.000.000 Rp 140,000,000.00 PPh Badan untuk tahun 2010: 25% x Rp500.000.000 Rp 125,000,000.00

  Sumber : Data yang diolah secara manual sebagai simulasi.

2.2 Penelitian Terdahulu

  Penelitian terdahulu yang serupa dengan penelitian ini yaitu Analisis Pengaruh UU Nomor 36 Tahun 2008 Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Di Kantor Pelayanan Pajak, serupa dengan penelitian Azizah (2012) yang berjudul “Analisis Pengaruh Perubahan Tarif PPh Orang Pribadi Terhadap Tingkat Pertumbuhan Wajib Pajak Dan Penerimaan Pajak Penghasilan Di Kota/Kabupaten Malang” dengan variabel Tarif PPh Orang Pribadi (x), Tingkat Pertumbuhan Wajib Pajak (y ), Penerimaan Pajak Penghasilan (y ),

  

1

  2

  menggunakan metode penelitian diskritif kuantitatif menyimpulkan dari hasil risetnya bahwa hasilnya yang signifikan, penerimaan pajak penghasilan meningkat setiap tahunnya dan tahun terbesar penerimaan meningkat pada tahun 2009 setelah adanya perubahan UU Nomor 36 Tahun 2008 tersebut.

  Hasil yang sama dengan penelitian Azizah antara lain Wijdaya (2011), Salim dan Syafitri (2010) serta Farnika (2012) yang menyebutkan penerimaan meningkat pada tahun 2009 yang paling besar sesudah adanya perubahan UU Nomor 36 Tahun 2008. Penelitian Puspitasari (2011), menyebutkan peningkatan penerimaan pajak penghasilan terjadi di tahun 2008, serta adanya peningkatan yang signifikan sesudah dan sebelum penerapan UU Nomor 36 Tahun 2008. Pada penelitian yang dilakukan Mariwan dan Arifin (2005) menyatakan perubahan UU Nomor 36 Tahun 2008 mempengaruhi secara signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan. Sedangkan penelitian Ramli (2006) yang menganalisis perubahan PTKP akibat kebijakan pada peraturan perundang-undangan Tahun 2000 menyatakan penerimaan pajak menurun signifikan sebesar 38,39%.

  Aisyah (2013) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa jumlah wajib pajak badan tidak mempengaruhi secara signifikan dibanding dengan wajib pajak efektif pribadi yang mempengaruhi perubahan penerimaan pajak penghasilan.Sedangkan penelitian Widyatmini dan Putra (2009) menyatakan perubahan tarif pajak badan mempengaruhi PPh Badan secara signifikan mengalami peningkatan. Pada penelitian Cahya (2013) menyatakan berbagai faktor yang mempengaruhi wajib pajak orang pribadi di kota Bandung, dari penelitianya menyimpulkan seperti tingkat kepatuhan wajib pajak, dan tingkat pencaharian mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan secara signifikan, walau persentasinya kecil hanya 30%.

2.3Kerangka Pemikiran

  Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21) adalah pajak berupa gaji, upah, honorium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Menurut Azizah (2012) Pajak penghasilan PPh pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima dari pemberi kerja. Perubahan tarif UU dalam peraturan UU Nomor 36 Tahun 2008 mempengaruhi dalam penerimaan pajak penghasilan dan mengemukakan hasil yang signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian Widjaya (2011) ini serta didukung oleh peneliti lainnya yang menyebutkan tarif pajak penghasilan orang pribadi mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan. Seperti Penelitian Puspitasari (2011), menyebutkan peningkatan penerimaan pajak penghasilan terjadi di tahun 2008, serta adanya peningkatan yang signifikan sesudah dan sebelum penerapan UU Nomor 36 Tahun 2008.

  Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah faktor pengurang dalam perhitungan PPh 21. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menurut penelitian Salim dan Syafitri (2010) adalah faktor pengurangan terhadap penghasilan neto orang pribadi atau perseorangan sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak di Indonesia. Penelitian Ramli (2006) yang menganalisis perubahan PTKP akibat kebijakan pada peraturan perundang-undangan Tahun 2000 menyatakan penerimaan pajak menurun signifikan sebesar 38,39%. Penelitian terhadap pengaruh perubahan PTKP terhadap penerimaan berpengaruhi signifikan yang dilakukan oleh Salim dan Syafitri (2010) serta Farnika (2012).

  Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dikenakan terhadap badan yang sesuai dengan peraturan perpajakan. Menurut Aisyah (2013), Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 dan perubahannya (UU Nomor 42 Tahun 2009 berlaku April 2010). Sedangkan penelitian Widyatmini dan Putra (2009) menyatakan perubahan tarif pajak badan mempengaruhi PPh Badan secara signifikan mengalami peningkatan. Dari penelitian yang serupa, penelitian Mariwan dan Arifin (2005) menyatakan perubahan UU Nomor 36 Tahun 2008 mempengaruhi secara signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan, khususnya pada perubahan tarif Pajak Badan.