PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN - Test Repository

  PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN (STUDI KASUS DI KUA KEC. BANJARSARI KOTA SURAKARTA) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : Adhika Rahman Nugroho 21110014 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI) FAKULTAS SYARIAH

  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA 2018

  PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN (STUDI KASUS DI KUA KEC. BANJARSARI KOTA SURAKARTA) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : Adhika Rahman Nugroho 21110014 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI) FAKULTAS SYARIAH

  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA 2018

  PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN (STUDI KASUS DI KUA KEC. BANJARSARI KOTA SURAKARTA) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : Adhika Rahman Nugroho 21110014 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI) FAKULTAS SYARIAH

  INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA 2018

  vii MOTTO

  H idup ini seperti sepeda. Agar tetap seimbang,kau harus

terus bergerak

  PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepad a:

  Ibuku (Suparti) dan Bapakku (Mudzakir) sebagai wujud baktiku padanya, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan doanya. Keluarga besarku yang selalu mendukung dan mendoakanku. Sahabat – sahabatku yang selalu mendukung

viii

  

KATA PENGANTAR

  Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun skripsi dengan judul “Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari Enam Bulan di KUA Kecamatan Banjarsari” ini dengan baik dan lancar.

  Shalawat dan Salam semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad Saw yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu pengetahuan yang dapat menjadi bekal hidup kita di dunia dan akhirat kelak.

  Suatu kebanggan tugas ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi ini merupakan tugas yang tidak ringan. Penulis sadar banyak hambatan yang menghadang dalam proses penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Kalaupun akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan, tentunya karena beberapa pihak yang membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ucapkan banyak terimakasih setulusnya kepada:

  1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

  2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan IAIN Salatiga Fakultas Syari’ah

  3. Sukron Ma’mun, S. HI, M.Si., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam IAIN Salatiga.

  4. Heni Satar Nurhaida, M. Si., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar dan telah memberikan pengarahan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini

  5. Segenap dosen Fakultas Syari’ah di IAIN Salatiga yang telah menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah.

  6. Drs. Basir, selaku kepala KUA Kecamatan Banjarsari beserta staf-stafnya yang sudah memberi izin dan membantu ketika melakukan penelitian di KUA Kecamatan Banjarsari.

  7. Orang tua tercinta Bapak Mudzakir dan Ibu Suparti yang dengan penuh kesabaran dalam memberikan dorongan sehingga dapat terselesaikan skripsi ini dengan sempurna.

  8. Saudara kandung penulis Alfi Fajri Kusumadani yang sudah memberi motivasi dalam penyusunan skripsi.

  9. Sahabat-sahabatku yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang telah membantu dan memotivasi demi terselesaikannya penelitian skripsi ini.

  Semoga amal kebaikan mereka telah di ridhoi oleh Allah SWT, Seiring do’a dan ucapan terimakasih penulis mengharapkan tegur sapa, kritik, dan saran yang membangu n demi kesempurnaan skripsi ini.

  Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.

  Boyolali, 14 Desember 2017 Penulis

  

ABSTRAK

  Nugroho, Adhika Rahman. Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan (Studi Kasus di KUA Kec.

  Banjarsari Kota Surakarta). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

  Pembimbing Heni Satar Nurhaida, M.Si. Kata Kunci: Penentuan Wali Nikah, Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam

  Bulan, KUA Kecamatan Banjarsari Perwalian dalam perkawinan merupakan merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena keberadaan seorang wali sangat menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Wali dalam perkawinan ini terbagi menjadi dua macam yaitu wali nasab dan wali hakim. Perwalian dalam perkawinan ini tidak dapat dipisahkan dengan masalah nasab atau keturunan, karena dengan perkawinan yang sah bertujuan untuk menjaga nasab yang baik, teratur dan tidak terputus.

  Masalah nasab ini berarti juga membicarakan mengenai anak sah dan anak tidak sah. Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia kehamilan adalah 6 bulan, dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan, ini terdapat beberapa hal yang tidak sejalan dengan ketentuan anak sah menurut Undang-undang Perkawinan maupun KHI, yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses penentuan status wali nikah bagi anak atau calon mempelai perempuan yang dimana pihak KUA memiliki wewenang terhadap permasalahan tersebut. Berlatarbelakang dari masalah tersebut penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh bagaimana pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Penulis memilih KUA Kecamatan Banjarsari sebagai tempat penelitian.

  Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penulis mengambil lokasi di KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta sebagai tempat penelitian. Dengan objek kajian adalah pada permasalahan bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA dan dasar hukum yang di gunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta. Analisis yang digunakan adalah deskriptif analisis. Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta.

  Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Banjarsari tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Karena sampai saat ini Kementerian Agama belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempuan sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahirannya dan juga memeriksa buku pernikahan orang tuanya untuk mengetahui asul usul anak tersebut, dan untuk menetukan wali. Karena status anak sudah diatur dalam UUP No 1 tahun 1974 pasal 42 dan KHI pasal 99 (a). Dan dasar huku m yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari tidak sesuai dengan Undang- undang yang berlaku, karena KUA Kecamatan Banjarsari dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan menggunakan dasar fiqih.

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………….. i LEMBAR BERLOGO ……………………………………………………………….. ii JUDUL ……………………………………………………………………………….. iii PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………………. iv PENGESAHAN KELULUSAN ……………………………………………………… v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………………………. vi MOTTO ……………………………………………………………………………….. vii PERSEMBAHAN …………………………………………………………………….. viii KATA PENGANTAR ………………………………………………………………… ix ABSTRAK ……………………………………………………………………………. xi DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. xii

  BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................

  1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................

  4 C. Tujuan Penelitian ...................................................................................

  4 D. Manfaat Penelitian .................................................................................

  5 E. Penegasan Istilah....................................................................................

  5 F. Tinjauan Pustaka ....................................................................................

  7 G. Metode Penelitian ..................................................................................

  9

  BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Perwalian ...............................................................................................

  14 B. Wali Nikah.............................................................................................

  35 C. Asal Usul Anak ......................................................................................

  47 D. Kedudukan Anak Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan.........................

  54 E. Kawin Hamil..........................................................................................

  60 BAB III : HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum KUA Kecamatan Banjarsari ......................................

  63 B. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Banjarsari ....................................

  68 C. Tugas Dan Fungsi Pokok KUA Kecamatan Banjarsari ...........................

  68 D. Tugas Kepala KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta .............................

  70 E. Program Kerja Dan Realisasi..................................................................

  70 F. Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan

  79 BAB IV : ANALISIS TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN

  YANG LAHIR KURANG DARI ENAM BULAN

  A. Analisis Terhadap Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan Di KUA Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta ....................................................................................... 89

  B. Analisis TerhadapDasar Hukum Yang Digunakan Oleh KUA Kecamatan Banjarsari Dalam Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan .................................................... 97

  BAB V : PENUTUP

  B. Saran...................................................................................................... 109

  C. Penutup .................................................................................................. 111

  DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS

  pada semua makhluk Allah. Semua yang diciptakan Allah adalah berpasang-pasangan, sebagaimana berlaku pada makhluk yang paling sempurna yaitu manusia. Dalam surat Al-Dzariat ayat 49, Allah berfirman:

  Artinya :” Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”

  Dalam undang-undang perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, melalui perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat. Tanpa perkawinan, manusia tidak dapat melanjutkan sejarah hidupnya, karena keturunan dan perkembangan manusia disebabkan oleh adanya perkawinan.

  Namun di era sekarang banyak peraturan yang dilanggar oleh manusia, tidak terkecuali dalam hal meneruskan keturunan yakni hubungan antara laki-laki dan perempuan diluar hubungan pernikahan hingga menyebabkan hamilnya sang perempuan dan sering mengakibatkan lahirnya seorang anak yakni anak diluar nikah.

  Menurut ajaran islam, bila terjadi hubungan antara laki-laki dan perempuan di luar nikah dan melahirkan seorang anak, maka anak tersebut bisa disebut sebagai anak zina, yaitu anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah.

  Di dalam hukum agama islam tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan, namun dari tujuan perkawinan dalam islam sudah dijelaskan bahwa tujuan dari adanya menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang/ jelas nasabnya hal ini berarti anak tersebut harus tahu siapa bapak dan ibunya. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah (Hadikusuma, 1990:137).

  Sementara disisi lain perkawinan yang menyimpang dari tujuan dan azas-azas ialah perkawinan yang semata-mata bertujuan untuk memuaskan hawa nafsu belaka, dan akibatnya adalah terjadinya kehamilan di luar nikah. Kebanyakan bila telah terjadi hal seperti ini pasangan tersebut akan segera dinikahkan sebagai jalan keluar agar keluarga tidak lebih dipermalukan karena sang wanita melahirkan anak tanpa seorang suami. Namun banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa hal ini akan menimbulkan masalah kembali, yakni menyebabkan kelahiran ana k dengan tenggang waktu kurang dari enam bulan terhitung dari pelaksanaan perkawinan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa masa kehamilan dibagi atas 3 fase ( trisemester) yaitu usia kehamilan 0-12 minggu disebut semester pertama, usia kehamilan 12-28 minggu, dan triwulan ke tiga adalah usia kehamilan 28-40 minggu. Menurut hukum islam kelahiran seorang anak perempuan yang tenggang waktunya kurang dari enam bulan akan menibulkan permasalahan yang berhubungan dengan anak tersebut antara lain bagaimana hubungan antara ayah dalam hal nasabnya, kepada siapa anak tersebut dinasabkan, siapa yang wajib memberi nafkah, dan dari mana anak tersebut akan menerima warisan. dari enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya ini juga akan berpengaruh ketika yang anak akan melangsungkan pencatatan pernikahan di KUA, sebagaimana kita ketahui, KUA (Kantor Urusan Agama) adalah instansi Kementrian Agama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, maka dalam hal penentuan aturan-aturan yang dijalankannya pun harus sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa menimbulkan konflik di masyarakat. Termasuk di dalamnya tentang penentuan wali nikah bagi anak(calon pengantin wanita) yang lahir kurang dari enam bulan masa perkawinan kedua orang tuanya. Terkhusus bagi KUA yang berada di kota kecamatan yang masyarakatnya tergolong sebagai masyarakat yang majemuk, seperti KUA Banjarsari Kota Surakarta.

  Untuk mengkaji lebih lanjut tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan, khususnya di KUA Kec. Banjarsari Kota Surakarta maka penulis akan paparkan ke dalam Skripsi yang berjudul: “Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan

  Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan (Studi Kasus di KUA Kec. Banjarsari Kota Surakarta)”.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan di atas, ada beberapa pokok masalah yang akan dikaji yaitu:

  1. Bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kec Banjarsari Kota

  2. Apakah dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec Banjarsari Kota Surakarta dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan?

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

  1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kec Banjarsari Kota Surakarta.

  2. Untuk menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec Banjarsari Kota Surakarta dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Secara teoritik Hasil pemelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian lebih lanjut mengenain penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan dari perkawainan kedua orang tuanya.

  2. Secara praktik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru lebih komprehensif mengenai penentuan wali nikah bagi perempuan tuanya.

  E. Penegasan Istilah

  Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilh yang ada. Istilah tersebut adalah:

  1. Pelaksanaan Cara, perbutaan melaksanakan pernikahan bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bu lan.

  2. Wali Nikah Dalam literatur fiqih klasik dan kontemporer, kata al-waliyah digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al- waliyah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana hak itu dipegang oleh wali nikah (Summa, 2004:35). Adapun yang dimaksud dengan perwalian di sini adalah perwalian terhadap jiwa seorang wanita dalam hal perwalian.

  3. Perempuan yang lahir kurang dari enam bulan

  Yang dimaksud dengan perempuan yang lahir kurang enam bulan di sini adalah bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa

  perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan kekerabatanya dengan bapaknya walaupun lahir dari perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.

  Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari system Departemen Agama, sedangkan Departemen Agama mempunyai tugas pokok yaitu : menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang agama.

  Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari unsure pelaksana sebagaian tugas pokok Departemen Agama, yang berhubungan langsung dengan masyarakat dalam suatu wila yah kecamatan. Sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 517 tahun 2001 bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota dibidang Urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan. Berasal dari penegasan judul diatas maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa maksud dari judul skripsi ini adalah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan.

  Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian ini yaitu wali nikah bagi anak kawin hamil,maksudnya saat orang tuanya menikah, sang pengantin perempuan telah hamil terlebih dahulu. Penelitian tersebut dilakukan oleh Imam Mahfud Fauji (2009).

  Ulya (2008), dalam skripsi yang berjudul Praktik Perwakila n Deak, menghasilkan kesimpulan bahwa praktik akad pernikahan yang terjadi diwilayah tersebut terdapat perbedaan dalam hal pelaksanaan prosesinya, yaitu wali dari pihak mempelai wanita melakukan ijab qobul dengan calon suami tidak secara langsung dalam arti mengunakan jasa wakil dalam akad nikah dengan mewakilkannya kepada orang yang dianggap lebih cakap untuk melakukan perbuatan hukum seperti Kyai/ulama, atau kepada petuga PPPN dari KUA. setelah mewakilka n perwaliannya, wali meninggalkan majelis akad nikah sehingga dia tidak dikatakan hadir dalam majelis akad nikah tersebut.

  Penelitian yang dilakukan oleh Fatachudin Latif (2010) dengan judul Analisis Hukum Islam Terhadap Wali Nikah Bagi Anak

  Perempuan Hasil Nikah Hamil (Studi Kasus Di KUA Kec.Semarang

  Dalam penelitiannya berisikan tentang TengahKota Semarang). bagaimana KUA Kec. Semarang menentukan wali nikah dan apa dasar hukumnya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan kasus penentuan wali nikah terhadap wanita yang lahir akibat nikah hamil, ada dua model/cara yang dikembangkan oleh KUA (penghulu) kota Semarang, yaitu: (1) Wali nikahnya adalah wali hakim; (2) Wali nikahnya adalah tetap bapaknya (wali nasab).

  Baroroh(2010) dalam skripsi yang berjudul Studi analisis terhadap pelaksanaan perkawinan dengan wali hakim, dikarenankan pengantin wanita lahir kurang dari 6 bulan setelah perkawinan orang tuanya studi bahwa pelaksanaan wali hakim di KUA tersebut sudah sesuai dengan syariat Islam dan sesuai dengan Undang-undang, penelitian ini hanya sampai pada pelaksanaan wali hakim secara umum, apa penyebab masyarakat mengajukan pernikahan dengan wali hakim, dan bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan ditinjau dari perspektif beberapa pendapat ulama, penelitian ini belum membahas penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA setempat dan menganalisisnya dari Undang-Undang Perkawinan dan KHI.

  Berdasarkan atas pustaka yang ada, penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan penelitian terdahulu di atas yang dipaparkan, maka dalam skripsi ini akan lebih difokuskan tentang pembahasan tentang penentuan wali nikah terhadap perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

  Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan(field research), yang dilakukan di KUA Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Dengan objek kajian adalah pada permasalahan pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan dari pernikahan kedua orang tuanya dan dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. sosiologis. Untuk itu diperlukan penelitian yang merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan yuridis empiris sosiologis yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis), dimaksud untuk mengetahui hukum yang tidak tertulis berdasarkan hukum yang berlaku dalam masyarakat ( Zainuddin Ali, 2009: 30).

  Dengan menggunakan pendekatan ini penulis akan mendeskripsikan tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kec Banjarsari dan praktiknya di dalam masyarakat, khususnya di Kecamata n Banjarsari, dan untuk mengetahui respon dari masyarakat dengan adanya ketentuan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan kemudian menganalisisnya.

  2. Sumber Data

  a. Sumber Data Primer Adalah data yang diperoleh langsung dari sub yek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.

  Adapun sumber data primernya adalah hasil wawancara tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Kecamatan Banjarsari dan

  b. Sumber Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya. Peneliti menggunakan data ini sebagai data pendukung yang berhubungan dengan pelaksanaan yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Banjarsari Terhadap penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, data ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku, artikel, pendapat para ahli, dan sumber lain yang dianggap relevan dan berhubungan dengan penelitian ini.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan metode sebagai berikut : a. Metode wawancara/ interview Wawancara adalah sebuah percakapan antara dua orang atau lebih yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subyek atau sekelompok subyek penelitian untuk dijawab. (Danim, 2002:130).

  Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi yang terkait dengan penelitian, wawancara antara lain dilakuakn dengan:

  1. Kepala KUA yang meliputi pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan, dan dasar

  2. Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) tentang proses pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan.

  3. Pengantin perempuan yang melaksanakan perkawinan dengan wali hakim dikarenakan ia lahir kurang dari enam bulan usia pernikahan kedua orang tuanya.

  4. Orang tua/ wali dari pengantin perempuan.

  5. Tokoh masyarakat.

  b. Dokumentasi Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, dan lain sebagainya. (Arikunto, 1999:206).

  Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh dokumen- dokumen yang terkait dengan pelaksanaan penentuan wali nika h bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan di KUA Banjarsari Surakarta.

  Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis data deskriptif kualitatif, yaitu memberikan predikat yang variable yang ditelit sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Predikat yang diberikan tersebut dalam bentuk peringkat yang sebanding dengan atau atas dasar kondisi

  Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan usia perkawinan kedua orang tuanya, dan menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjarsari Surakarta.

  Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dalam penulisan skripsi ini, maka disusun dalam lima bab. Antara bab satu dengan bab lainnya sangat berkaitan. Adapun rincian dari kelima bab tersebut adalah sebagai berikut : BAB I :Latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II :Konsep-konsep pernikahan dan perwalian, yang terdiri dari pengertian, dasar hukum wali, rukun dan syarat wali, asal-usul anak menurut perspektif fiqih.

  BAB III :Sekilas tentang KUA Kecamatan Banjarsari Surakarta, yang meliputi gambaran umum Kecamatan Banjarsari, Kedudukan, tugas dan fungsi KUA Kecamatan Banjarsari, Kegiatan KUA, sarana dan prasarana, struktur organsasi serta pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan dari usia pernikahan orang tuanya di KUA

  BAB IV :Analisis terhadap pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari enam bulan usia pernikaha n orang tuanya di KUA Kecamatan Banjarsari, dan analisis terhadap dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamata n Banjarsari.

  BAB V :Penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan serta saran.

  1. Pengertian Perwalian Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali , dan jamak awliya. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak, atau pelindung. Dalam literatur fiqih islam perwalian itu disebut dengan “Al-Walayah” (Orang yang mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan. (Summa, 2001: 134).

  Menurut Subekti bahwa perwalian adalah “pengawasan terhadap anak

  • – anak yang di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh Undang – Undang”. (Subekti, 1953: 35).

  Sedangkan menurut Ali Afandi, bahwa “perwalian atau voogdij adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.” (Afandi, 1997: 151).

  Menurut R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindunga n hukum yang diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia dewasa atau belum pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaannya”. (Sarjono, 1979: 36).

  Menurut Arif Masdoeki bahwa “perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang – undang. (Hamidjaja, 1963: 156).

  Wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau yang belum akil baliq dalam melakukan perbuatan hukum atau “orang yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap sianak”. (Lihat

  pasal 1 angka 5 Undang –Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan huku m yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa atau tidak pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.” (Sjarif, 2004: 147).

  Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun harta kekayaan anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. “Dalam hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan sebagai pemeliharaan, baik itu dalam pemberian pendidikan, nafkah terhadap anak yang masih di bawah umur, sehingga dengan demikian perwalian itu sendiri dapat juga diartikan sebagai suatu lembaga yang mengatur tentang hak dan kewajiban wali.” Apabila salah satu orang tua anak tersebut meninggal dunia maka anak tersebut menurut undang – undang, orang tua yang lain menjadi wali dari anak – anaknya.

  Sedangkan menurut Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 : bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.(Lihat Pasal 50 ayat

  1 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.(Lihat

  Pasal 50 ayat 2 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Ketentuan ini adalah bertujuan untuk menghindarkan adanya dua perwalian, yaitu : Perwalian mengenai pribadi si anak dan perwalian mengenai harta bendanya, yang mana hal itu ada dikenal dalam hukum islam.

  Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Manan Hasyim, yaitu perwalian terhadap anak menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberikan pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya, adalah dalam bentuk mengelola harta benda anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan – perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.

  Pada umumnya dalam tiap perwalian hanyalah ada seorang wali saja. Pengecualian terdapat apabila seorang wali (moedervoodges) berkawin

  Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali harus menerima pengangkatan itu, kecuali jikalau ia seorang istri yang berkawin atau jikalau ia mempunyai alasan – alasan menurut undang – undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan – alasan itu ialah diantaranya jikalau ia untuk kepentingan Negara harus berada di luar negeri, jikalau ia seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jikalau ia sudah berusia 60 tahun, jikalau ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain atau jikalau ia sendiri sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih.

  Ada golongan orang – orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang dibawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jikalau pengangkatan sebagai wali ini untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari pada itu juga Kepala dan anggota – anggota Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) tidak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak – anaknya sendiri. (Subekti, 1953: 35-36).

  Secara garis besar, menurut KUH Perdata perwalian itu dibagi atas 3 macam yaitu : a. Perwalian oleh orang tua yang hidup terlama.

  Terhadap anak sah ditentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan sendirinya di bawah menjadi wali. Jika pada waktu bapak Peninggalan (BHP) menjadi pengampu (kurator) atas anak yang berada dalam kandungan tersebut. Kurator yang demikian disebut “Curator Ventris”. Apabila bayi lahir, maka ibu demi hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengawas. Apabila ibu tersebut kawin lagi maka suaminya demi hukum menjadi wali peserta dan bersama istrinya bertanggung jawab tanggung renteng terhadap perbuatan – perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung. Bagi wali menurut undang – undang (Wetterlijk Voogdij) dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua. Bagi anak luar kawin yang diakui dengan sendirinya di bawah perwalian bapak/ibu yang mengakuinya, maka orang tua yang lebih dahulu mengakuinyalah yang menjadi wali (Pasal 352 ayat 3 KUH Perdata). Apabila pengakuan bapak dan ibu dilakukan bersama – sama maka bapaklah yang menjadi wali.

  b. Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan surat wasiat atau dengan akta autentik.

  Pasal 355 (1) KUH Perdata menentukan bahwa orang tua masing – masing yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau lebih berhak mengangkat seorang wali atas anak – anaknya itu bilamana sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak ada pada orang tua yang baik dengan sendirinya ataupun karena Bagi wali yang diangkat yang diangkat oleh orang tua (Terstamentaire Voogdij/wali wasiat) dimulai dari saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali menyatakan menerima pengangkatannya.

  c. Perwalian yang diangkat oleh hakim.

  Pasal 359 KUHPerdata menentukan bahwa semua orang yang di bawah yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah dan semenda (periparan). Bagi wali yang diangkat oleh hakim (datieve voogdij) dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir dalam pengangkatannya. Bila tidak hadir perwalian dimulai sejak diberitahukan kepadanya. (Komariah, 2001: 68-70).

  Sedangkan menurut Undang – Undang No.1 Tahun1974 tentang perkawinan perwalian itu hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi (Pasal 51 (1) UU No.1/74).

  2. Asas-asas Perwalian Asas – asas hukum itu merupakan jantungnya peraturan hukum. Hal ini dikarenakan ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan – peraturan hukum itu 2006: 45).

  Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas – asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa denga n sebaik – baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan hukumnya saja melainkan harus melihat sampai kepada asas – asas hukumnya. Asas – asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan – peraturan hukum serta tata hukum. (Rahardjo, 2006: 47).

  Dalam hal ini asas – asas perwalian terdapat pada sistem KUH Perdata, yakni:

  a. Asas tak dapat dibagi-bagi (Ondeelbaarheid)

  Pada tiap – tiap perwalian hanya ada satu wali (Pasal 331 KUHPerdata). Asas tak dapat dibagi – bagi (Ondeelbaarheid). Asas ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal yaitu : Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langslevende ouder) maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd (wali serta/ wali peserta) berdasarkan Pasal 351 KUHPerdata.

  Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang – barang minderjarige di luar Indonesia berdasarkan b. Asas Persetujuan dari Keluarga

  Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu. Sedang pihak keluarga, kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan, dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUHP. (Safioedin, 1972: 188).

  3. Dasar Hukum Perwalian

  a. Perwalian Menurut Kompilasi Hukum Islam Perwalian bagi orang – orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin.

  Perwalian menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.

  Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian lama dan penunjukan perwalian baru ini adalah atas permohonan kerabat tersebut. Untuk menjadi wali sedapat – dapatnya diambil dari harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

  Disamping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat menjadi wali. (Prinst, 2003: 122).

  Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengangkatan wali dapat juga terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak – anaknya sesudah ia meninggal dunia. (Lihat Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam)

  Selanjutnya pasal 109 menentukan, bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan Hukum dan memindahkannya kepada Pihak lain.(Lihat Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam) Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya, dengan alasan wali tersebut; pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan yang berada di bawah perwaliannya.

  Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, wali wajib memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya kepada anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.(Lihat Pasal terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

  Dalam menjalankan tugasnya wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda anak atau anak – anak itu.

  Apabila anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka wali berkewajiban menyerahka n seluruh hartanya kepadanya.(Lihat Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam) Dan setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir. (Lihat Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam )

  b. Perwalian Menurut Hukum Syariat Al – Quran dan Hadist dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh

  “ Dan berikanlah kepada anak – anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. (QS.An-Nisa; ayat 2)