NIKAH SIRRI DENGAN WALI KAKAK TIRI MENURUT PERSPEKTIF TOKOH AGAMA DAN TINJAUAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Grogol, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga) - Test Repository

  

NIKAH SIRRI DENGAN WALI KAKAK TIRI MENURUT

PERSPEKTIF TOKOH AGAMA DAN TINJAUAN

HUKUM ISLAM

(

  Studi Kasus di Desa Grogol, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh:

YUNI SETIYANINGSIH

  

211.12.027

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI‟AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2017

  

ABSTRAK

  Setiyaningsih, Yuni. 2017. Nikah Sirri Dengan Wali Kakak Tiri Menurut

  Perspektif Tokoh Agama dan Tinjauan Hukum Islam (Studi Kasus Desa Grogol, Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga) Tahun 2017. Skripsi. Fakultas

  Syari‟ah. Program Studi Ahwal al Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra.Siti Zumrotun, M.Ag.

  Kata Kunci : Pernikahan sirri, wali, Hukum Islam.

  Pernikahan adalah sunatullah yang merupakan salah satu perintah Allah kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, sebab dengan adanya pernikahan akan menghindarkan dari perbuatan zina. Dalam pernikahan menurut agama Islam ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi, diantara rukun pernikahan itu diantaranya adalah wali nikah. Pernikahan tanpa adanya wali nikah maka nikahnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam yang mebahas mengenai wali dalam pasal 19 yang berbunyi: “ wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk minikahkannya”. Kasus yang terjadi di Desa Grogol ada beberapa warg yang melakukan praktek nikah sirri dengan wali kakak tiri, dimana dalam hal tersebut diatas wali kakak tiri bukan termasuk kedalam wali nasab. Dari kasus tersebut peneliti tertarik untuk meneliti mengapa praktek nikah sirri bisa terjadi di Desa Grogol, bagaimana persepsi masyarakat dan tokoh agama mengenai nikah sirri dengan wali kakak tiri, bagaimana tinjauan hukum Islam tentang wali nikah kakak tiri.

  Jenis penelitian yang di gunakan peneliti adalah penelitian kualitatif, prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau pelaku yang di amati. Peneliti juga menggunakan pendekatan deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan segala aspek yang berhubungan dengan kasus yang akan di teliti, dalam penelitian ini kasusnya adalah nikah sirri dengan wali kakak tiri.

  Dalam kasus nikah sirri dengan wali kakak tiri menurut perspektif hukum Islam, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa faktor-faktor pernikahan sirri didasari adanya perzinaan, hamil diuar nikah, poligami, dan belum sah bercerai.

  Dan pandangan tokoh masyarakat hampir keseluruhan tidak setuju dengan pernikahan sirri, serta pernikahan sirri yang sah menurut hukum Islam adalah pernikahan yang mempunyai syarat dan rukun yang lengkap, serta wali kakak tiri bukan termasuk ke dalam wali nasab dan wali hakim. Jadi nikah sirri dengan wali kakak tiri menurut para tokoh agama dan tinjauan hukum islam tidak sah.

  

DAFTAR ISI

  Sampul Lembar Berlogo Judul .................................................................................................................... i Nota Pembimbing................................................................................................ ii Pengesahan Kelulusan ......................................................................................... iii Pernyataan Keaslian ............................................................................................ iv Motto ................................................................................................................... v Persembahan ....................................................................................................... vi Kata Pengantar .................................................................................................... vii Abstrak ................................................................................................................ x Daftar Isi.............................................................................................................. xi Daftar Tabel ........................................................................................................ xiv Daftar Lampiran .................................................................................................. xv

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7 D. Kegunaan Penelitian............................................................................... 8 E. Penegasan Istilah ..................................................................................... 8 F. TinjauanPustaka ...................................................................................... 9 G. Metodologi Penelitian ............................................................................. 11 H. Sistematika Penulisan.............................................................................. 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan ....................................................................... 15 2. Nikah Sirri ......................................................................................... 18 B. PENGERTIAN WALI DALAM PERNIKAHAN ............................... 19

  C. DASAR HUKUM 1.

  Al Qur‟an .......................................................................................... 22 2. Hadits ................................................................................................ 24 D. KEDUDUKAN WALI DALAM PERNIKAHAN ................................. 26 E. SYARAT-SYARAT WALI NIKAH ...................................................... 31 F. MACAM-MACAM WALI ..................................................................... 32 G.

  ORANG YANG BRHAK MENJADI WALI NIKAH ........................... 35 H. URUTAN HAK PERWALIAN .............................................................. 37 I. KONSEKUENSI HUKUM DI INDONESIA TERHADAP TIDAK TERPENUHINYA WALI DALAM PERNIKAHAN ............................ 39

  BAB III PRAKTEK NIKAH SIRRI DENGAN WALI KAKAK TIRI DAN PERSEPSI TOKOH AGAMA DI DESA GROGOL A. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DI DESA GROGOL KELURAHAN DUKUH 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 42 2. Hasil Wawancara Pelaku Pernikahan Sirri di Desa Grogol .............. 49 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nikah Sirri ............................... 54 4. Alasan Wali Nikah Kakak Tiri .......................................................... 56 5. Alasan Ustadz.................................................................................... 58 6. Persepsi Masyarakat dan Tokoh Agama tentang Pernikahan Sirri .................................................................................................... 60 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERSPKTIF TOKOH AGAMA DESA GROGOL TERHADAP KASUS NIKAH SIRRI TERHADAP WALI NIKAH KAKAK TIRI A. WALI NIKAH KAKAK TIRI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ................................................................................... 66 B. ANALISIS PENDAPAT TOKOH AGAMA TERHADAP PRAKTEK NIKAH SIRRI DENGAN KAKAK TIRI ........................... 71 BAB V PENUTUP

  A.

  Kesimpulan ............................................................................................. 76 B. Saran ....................................................................................................... 77

  DATAR PUSTAKA............................................................................................ 78

  LAMPIRAN-LAMPIRAN

  DAFTAR TABEL 1.

  Tabel I fasilitas pendidikan di Desa Grogol 2. Tabel II daftar mata pencaharian masyarakat Desa Grogol 3. Tabel III jumlah penduduk berdasarkan agama 4. Tabel IV fasilitas ibadah di desa grogol

  DAFTAR LAMPIRAN 1.

  Daftar riwayat hidup 2. Surat penunjukan pembimbing skripsi 3. Surat ijin penelitian 4. Surat rekomendasi penelitian dari KESBANGPOL 5. Daftar nilai SKK 6. Lembar konsultasi skripsi

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah sunatullah yang merupakan salah satu perintah Allah kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, sebab dengan adanya perkawinan akan menghindarkan dari perbuatan zina. (Ali,2006:7). Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya interaksi satu dengan yang lainnya yang terkumpul dalam suatu hubungan sosial atau masyarakat yang dimaksud disini adalah keluarga. Keberadaan keluarga sebagai inti dari masyarakat terbentuk dan diawali dengan adanya sebuah perkawinan atau pernikahan. Perkawinan merupakan muara atas rasa saling kasih dan mencintai antara lelaki dan perempuan yang diciptakan oleh Tuhannya. Sudah menjadi qadrat dan iradah Allah manusia diciptakan saling berjodoh-jodoh dan diciptakan oleh Allah mempunyai keinginan untuk berhubungan antara lelaki dan perempuan. (Ghazaly,2003:27).

  Tidak hanya itu, perkawinan merupakan salah satu perintah dalam agama, dimana sebagai umat Islam yang memiliki Al- qur‟an dan Al- hadist sebagai pedoman yang harus diikuti aturannya. Selain itu, perkawinan bertujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman, memenuhi kebutuhan biologis, dan berlatih bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan fiman Allah Swt bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan kehidupan rumah tangga yang tenang dan tentram, berikut firman Allah dalam Surat Ar-ruum ayat 21 yang berbunyi:

  

         

         

 

  “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-NYA ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-NYA diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda kaum yang berfikir” .( Q S. Al- Ruum:21 ).

  Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah menyebutkan bahwa” Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain itu juga dalam referensi yang berbeda, dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan tujuan pernikahan bahwa „perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah‟. Sehingga Allah Swt memberikan aturan berupa hak dan kewajiban dalam rumah tangga.

  Tujuan pernikahan dapat tercapai dengan baik apabila suami dan istri mau menjalankan kewajibannya, dan memperhatikan tanggung jawabnya, sehingga terwujudlah rumah tangga yang tenang dan tentram. Sehingga dapat tercapai atau sempurnanya kebahagiaan dalam rumah tangga. Kewajiban suami merupakan hak istri dan sebaliknya, kewajiban istri merupakan hak suami. (Amir, 2006:159)

  Untuk mencapai tujuan perkawinan syarat sah perkawinan harus diperhatikan baik menurut agama maupun hukum yang berlaku di daerah atau negara tersebut. Syarat perkawinan merupakan dasar dari sah nya perkawinan. Dalam fiqh sunnahnya, Sayyid Sabiq menyebutkan ada dua syarat sahnya perkawinan, pertama perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Kedua, akad nikahnya dihadiri para saksi. (Sabiq, 1990:12).

  Dalam pernikahan menurut agama islam ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi, diantara rukun perkawinan itu salah satunya adalah wali nikah. Wali nikah yaitu orang yang menikahkan seorang wanita dengan seorang pria. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Pernikahan tanpa adanya wali nikah maka pernikahaanya tidak sah. (Zainudin, 2012:54).

  Hal ini sesuai dengan KHI pasal 19 yang membahas tentang wali nikah yang berbunyi: “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

  Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita. Dalam keadaan tertentu wali nasab boleh digantikan oleh wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak mau ditemukan.

  Demikian pula, jika wali nasab tidak mau atau tidak bersedia menikahkan calon mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahkannya.(Saleh,2008:300)

  Status wali nikah dalam hukum perkawinan merupakan rukun yang menentukan sahnya akad nikah. Seseorang yang menjadi wali nikah harus memenuhi syarat wali nikah, yaitu laki-laki, dewasa (baligh), mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian. Seperti yang ada dalam KHI pasal 20 ayat 1 “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.

  Adapun yang berhak menjadi wali nikah menurut pandangan islam adalah ayah dari mempelai perempuan, dan apabila dalam keadaan tertentu wali mempelai perempuan tidak bisa menjadi wali nikah karena meninggal atau berada ditempat yang jauh atau bahkan ghaib maka yang berhak menjadi wali adalah kakek. Apabila kakeknya tidak ada juga maka berpindah kepada derajat yang lebih jauh yakni saudara laki-laki kandung dari calon mempelai perempuan dengan syarat beragama islam, adil, baligh dan jika saudaranya yang laki-laki tidak ada maka bisa beralih pada wali nasab yang lebih jauh yakni pamannya. Jika dari keempat laki-laki yang akan menjadi wali itu tidak ada juga maka saudara laki-laki dari ibu calon mempelai wanita dengan syarat mengerti tentang hukum munakahat atau yang disebut juga dengan hakam atau orang lain yang terpandang dan disegani, ilmu luas tentang munakahat, adil, islam, dan laki-laki yang disebut dengan wali muhakam. (Ramulyo,1996:216).

  Rukun dan syarat pernikahan yang tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak sah atau batal. Dalam pembahasan ini yang menjadi pembahasan adalah wali nikah yang tidak terpenuhi. Dalam pernikahan keberadaan wali nikah sangat penting karena menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan.

  Yang menjadi dasar hukum dalam masalah ini adalah hadist Nabi Muhammad SAW yaitu :

  يِلَوِب َّلاِإ َحاَكِن َلا : ِللها ُلْوُسَر َلاَق : َلاَق ِّيِرَعْشَلأا ىَسْوُم ِْبَِأ ْنَع

  Dari Abu Musa al- Asy‟ari berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (Hadist Abu Musa al Asy‟ari)

  (Ramulyo, 2000:3) Desa Grogol merupakan salah satu desa yang terdapat di Kota

  Salatiga yang tepatnya berada di kecamatan Sidomukti. Penduduk desa Grogol masyarakatnya mayoritas beragama islam. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah maraknnya pernikahan yang dilakukan dengan sirri atau dibawah tangan. Salah satunya adalah pernikahan siri yang dilakukan oleh salah satu warga desa tersebut yaitu pernikahan sirri yang berbeda dengan pernikahan siri yang lainnya yaitu pernikahan siri yang dilakukan dengan wali nikah kakak tiri. Dalam agama sudah diatur jelas tentang syarat dan rukun pernikahan, diantaranya dalam Kompilasi Hukum Islam sudah dijelaskan dalam pasal 22 tentang wali, disitu sudah dijelaskan siapa saja yang berhak menjadi seorang wali dalam pernikahan. Dalam hal itu wali yang bukan wali nasab tidak diperbolehkan menjadi wali dalam pernikahan tersebut sekalipun itu dengan menikah sirri, walaupun begitu menikah siri adalah sah menurut agama walaupun tidak dicatatkan dalam negara. Tetapi dalam kenyataannya di desa Grogol tersebut terjadi pernikahan siri yang dilakukan dengan wali nikah kakak tiri. Dan uniknya lagi kenapa naib tersebut mau menikahkan dengan wali yang bukan wali kandung. Dalam hal ini peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana praktek pernikahan tersebut dan bagaimana tinjauan hukum islam terhadap wali nikah kakak tiri. Skripsi ini sangat menarik karena pada faktanya menikah dengan wali yang bukan nasabnya tidak diperbolehkan akan tetapi itu dilakukan oleh keluarga tersebut, kemudian berangkat dari latar belakang masalah tersebut penulis tertarik untuk ,meneliti masalah tersebut ke dalam sebuah skripsi yang berjudul:

  

Nikah Sirri Dengan Wali Kakak Tiri Menurut Perspektif Tokoh

Agama dan Tinjauan Hukum Islam (Studi kasus di Desa Grogol

Kelurahan Dukuh Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga).

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut:

  1. Mengapa praktek nikah sirri dengan wali kakak tiri bisa terjadi di desa Grogol?

  2. Bagaimana persepsi masyarakat atau tokoh agama (ustaz) dengan pernikahan sirri dengan kakak tiri tersebut?

  3. Bagaimana tinjauan hukum islam tentang wali nikah kakak tiri? C.

   Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah:

  1. Untuk mengetahui bagaimana praktek nikah itu dilakukan.

  2. Untuk mengetahui alasan apa yang digunakan ustaz saat menikahkan pengantin tersebut.

  3. Untuk mengetahui pandangan tokoh agama Desa Grogol mengenai praktek nikah sirri dengan wali nikah kakak tiri.

  4. Untuk mengetahui hukum praktek nikah tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

  Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut:

  1. Penelitian ini sangat bermanfaat untuk memperkaya keilmuan khususnya dalam Hukum Islam.

  2. Sebagai wawasan kepada masyarakat yang lebih luas tentang kedudukan seorang wali dalam pernikahan.

  3. Sebagai wawasan kepada masyarakat untuk lebih mematuhi peraturan dalam agama maupun negara.

E. Penegasan Istilah 1.

  Wali Wali ialah suatu ketentuan hukum yanng dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya (Sabiq,1981:07) Wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki (Ghazaly,2006:15).

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:1007), wali diartikan sebagai pengasuh pengantin perempuan ketika menikah yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan lelaki.

  Dapat disimpulkan bahwa wali dalam pernikahan adalah seseorang yang mempunyai hak untuk menikahkan.

  2. Nikah sirri Nikah sirri merupakan suatu istilah yang terbentuk dari dua kata, yaitu nikah dan sirri. Kata nikah merupakan kata serapan dari bahasa

  Arab, yaitu nakaha, yankihu, nikahaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia nikah atau perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri. Dan kata sirri berasal dari bahasa Arab yaitu sirran dan sirriyyun. Secara etimologi kata sirran berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, atau di dalam hati.

  Sedangkan kata sirriyyun berarti secara rahasia,secara sembuny- sembunyi, atau misterius. Kata nikah sirri sebagai kesatuan dari dua kata (nikah dan sirri) yang dalam kalangan umat islam di Indonesia sudah populer (Nurhaedi,2003:5-6).

  3. Kakak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kakak berarti saudara tua atau panggilan kepada orang (laki-laki atau perempuan) yanng dianggap lebih tua.

F. Tinjauan Pustaka

  Ada beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki tema besar yang sama dengan penulis, namun yang menjadikan penelitian ini berbeda adalah fokus penelitian. Dalam penelitian sebelumnya seperti skripsi dari salah satu mahasiswaa IAIN Chusaeni Rafsanjani Assadami yang mengambil judul “Perwalian Anak Hasil Nikah Sirri”. Dalam skripsi tersebut beliau memfokuskan penetapan wali nikah hasil nikah sirri dan alasan PPN kecamatan Bandungan mencatatkan wali hakim.

  Penelitian yang lain adalah hasil skripsi mahasiswa IAIN juga yang bernama Alim Rois dengan judul “Perkara Perpindahan Perwalian Dari Wali Nasab Kepada Wali Hakim Karena Wali Adhol”. Beliau memfokuskan dasar yang digunakan majelis hakim untuk menetapkan adholnya wali adalah bukti-bukti serta fakta-fakta hukum yanng berkaitan dengan perkara tersebut. Dan analisis putusan Penngadilan Agama ditinjau dari hukum fiqh.

  Dan penelitian yang ke tiga juga dari mahasiswa IAIN juga yang bernama Muhammad Sulhi Mahbub dengan judul “Upaya Pembatalan Pernikahan Atas Kesalahan Penetapan Wali Hakim Oleh Wali Nasab” (Studi kasus pernikahan dengan akta 04/04/I/2012 di KUA Kecamatan Pabelan). Beliau memfokuskan penelitian pembatalan pernikahan karena penetapan wali hakim oleh wali nasab di KUA Kecamatan Pabelan. Dan upaya yang dilakukan wali nasab mengenai kesalahan kesalahan penetapan wali hakim.

  Sedangkan penulis mengambil judul “Nikah Sirri Dengan Wali Kakak Tiri Menurut Persektif Hukum Islam (Studi kasus Desa Grogol Kota Salatiga)”. Fokus penelitian adalah bagaimana menurut hukum islam tentang wali nikah kakak tiri. Sehingga walaupun memiliki tema besar yang sama yaitu menngenai wali tetapi memiliki fokus penelitian yang dituliskan dalam skripsi berbeda.

G. Metode Penelitian 1.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif guna memperoleh gambaran yang jelas dan dapat memberikan data yang detail tentang obyek yang diteliti.

  2. Kehadiran Peneliti Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data yang ada dilapangan.

  3. Lokasi Penelitian Dalam hal ini lokasi penelitian di lakukuan di desa Grogol kelurahan dukuh kota Salatiga.

4. Sumber Data

  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Sumber data primer yaitu sumber yang langsung memeberikan data kepada peneliti, sumber data ini meliputi para pihak yang terlibat dalam melakukan pernikahan ini yang terdiri dari mempelai pria,wanita,wali,dan juga naib yang menikahkan.

  b. Sumber data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen hasil penelitian.

  5. Teknik pengumpulan data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses penngadaan data primer untuk keperluan penelitian (Nazir, 1988:21).

  Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan beberapa metode, yaitu: a.

  Interview (wawancara) yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan diantara 2 orang atau lebih betatap muka, mendengarkan secara langsung informasi atau keterangan.

  Adapun wawancara ini dilakukan terkait dengan penelitian adalah pihak-pihak yang melakukan pernikahan pernikahan tersebut yaitu naib pengantin laki-laki dan perempuan serta wali.

  b.

  Dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data dari para pihak yang bersangkutan.

  6. Analisis Data Seluruh data penelitian yang telah dikumpulkan ataupun diperoleh, dianalisa secara kualitatif dengan cara mengambarkan masalah secara jelas dan mendalam. Jenis analisis yang akan peneliti gunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi sekarang. Metode diskripsi kualitatif dalam penelitian ini yaitu dengan mengambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi dilapangan untuk mengemukakan fakta-fakta atau kennyataan dari hasil penelitian di desa grogol kota Salatiga, kemudian diteliti sehingga ditemukan pemahaman yang terkait dengan adanya pernikahan yang dilakukan dengan wali yang bukan wali yang seharusnya menikahkan.

H. Sistematika Penulisan

  Dalam penalitian ini penulis mencoba menguraikan secara sistematis yang terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang terperinci sebagai berikut:

  BAB I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjaun pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

  BAB II : Kajian pustaka dalam bab ini akan menguraikan tentang pengertian nikah pernikahan, pengertian nikah sirri, pengertian wali, dasar hukum, kedudukan wali dalam perkawinan,syarat-syarat wali, macam- macam wali, orang yang berhak menjadi wali, urutan hak Perwalian, konsekuensi hukum di Indonesia terhadap tidak terpenuhinya wali dalam pernikahan

  BAB III: Berisi tentang gambaran umum Desa Grogol dan hasil penelitian yang mengambarkan tentang praktik pernikahan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan yang mencakup tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya nikah sirri, kenapa menggunakan wali kakak tiri, alasan ustaz menikahkan pasangan tersebut, alasan wali kakak tiri, dan persepsi masyarakat mengenai pernikahan sirri.

  BAB IV: Pertama berisi tentang analisis terhadap faktor pendorong pernikahan sirri di Desa Grogol, kedua analisis mengenai pendapat masyarakat dan tokoh agama di desa grogol, tinjauan hukum Islam tentang nikah sirri dengan wali kakak tiri.

  BAB V: Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.

  BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan 1. Pengertian Penikahan a. Pengertian Pernikahan Dalam Islam perknikahan atau perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi ‟ dan al-dammu wa al-

  jam’u yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad. Akad yang

  d itetapkan oleh syar‟i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan

  istimta’ dengan seorang wanita atau seballiknya.

  Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 yang termuat dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 2 dikatakan pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. (nurrudin, 2004:42)

  Menurut mahzab Hanafiah nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan menurut mahzab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata- mata. Mahzab Syafi‟iyah berpendapat bahwa nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan lafa l “inkah atau tazwij” atau makna dari keduanya. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah dengan akad yang dilakukan dengan menggunakan kata inkah dan tajwiz guna mendapatkan kesenangan(bersenang-senang). (Summa, 2004:45) b. Tujuan pernikahan

  Menurut Islam tujuan pernikahan atau perkawinan di jelaskan dalam surat ar-ruum ayat 21 yang berbunyi:

                       

  “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir

  ”. (QS.Ar-ruum: 21) Jika dilihat dari Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 tujuan pernikahan dijelaskan pada pasal 1 yang berbunyi membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tujuan pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 3 adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. (Hussein, 2007:101) c. Rukun dan Syarat Pernikahan

  Dalam Islam menjelaskan bahwa dalam pernikahan harus ada:  Calon suami  Calon istri  Wali nikah  Saksi nikah  Ijab qabul

  Sedangkan dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menjelaskan tentang syarat perkawinan adalah sebagai berikut:  Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan).

   Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing- masing calon belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan).

   Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahu, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (pasal 7 ayat 1 dan 2 UU Perkawinan).

   Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 UU Perkawinan).

   Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya (pasal 10 dan 11 UU Perkawinan).

  d.

  Pencatatan Pernikahan Keabsahan suatu pernikahan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat pernikahan, baik yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta. Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang pernikahan telah merumuskan kriteria keabsahan suatu pernikahan yang dijelaskan dalam pasal 2 ayat 2 yang b erbunyi “bahwa suatu pernikahan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam

  Kompilasi Hukum Islam pencatatan pernikahan diatur dalam pasal 5 dan 6.(Anshary, 2010:14)

2. Nikah sirri

  Nikah sirri adalah nikah rahasia, lazim juga disebut dengan nikah nikah di bawah tangan atau nikah liar. (Anshory, 2010:25) Istilah pernikahan di bawah tangan atau yang sering disebut nikah sirri muncul setelah diberlakukannya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pernikahan sirri pada prinsipnya adalah pernikahan yang menyalahi hukum, yakni pernikahan yang dilakukan diluar ketentuan hukum pernikahan yang berlaku secara positif di Indonesia.

  Pernikahan yang dilakukan secara sirri tidak selalu merupakan perkawinan yang tidak sah baik dilihat dari aspek hukum islam maupun hukum positif. Hal itu karena pasal 2 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tetang Perkawinan menyatakan bahwa keabsahan suatu pernikahan apabila dilakukan sesuai dengan ajaran agama orang yang melakukan pernikahan tersebut. Karena itu, pernikahan sirri tersebut apabila telah memenuhi syarat dan rukun nikah menurut hukum islam adalah sah secara hukum islam maupun hukum positif. Hanya saja pernikahan tersebut tidak dicatatkan, sehingga bisa dikatakan pernikahan tersebut adalah nikah di bawah tangan. B.

  Pengertian Wali dalam Pernikahan Secara bahasa wali bisa berarti bisa rasa cinta (mahabah) dan pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Ini berarti seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedangkan secara istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa dan sebagai pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria.

  Sayyid sabiq(1998:11) mendefinisikan wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan hukumnya. Maksudnya wali dalam pernikahan termasuk rukun yang harus dipenuhi sebagai sahnya suatu pernikahan.

  Perwalian dalam istilah fiqh disebut wilayah yang berarti penguasaan atau perlindungan. Yang dimaksud perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh oleh agama kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali. Adanya penguasaan dan perlindungan dikarenakan adanya beberapa hal seperti berikut:

  1. Pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang dimiliki atau barang yang dimiliki.

  2. Hubungan kekerabatan atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas salah satu kerabatnya atau anak-anaknya.

3. Karena memerdekakan seorang budak, seperti perwalian seseorang atas budak-budak yang telah memerdekakannya.

  4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atau perwalian seseorang pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya. (Mukhtar, 1974:9)

  Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan perwalian dapat ditinjau sebagai berikut:

  1. Perwalian terhadap orang.

  2. Perwalian terhadap barang.

  3. Perwalian atas orang dalam perkawinan.

  Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak dan atas nama orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri dalam hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Oleh karena itu, yang dimaksud wali dalam pernikahan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak laki-laki itu sendiri dan pihak peremuan yang dilakukan oleh walinya. (Syarifudin, 2006: 69)

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wali diartikan sebagai pengasuh pengantin perempuan ketika nikah, yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki.

  Adapun KHI dengan tegas memasukan wali nikah sebagai salah satu rukun nikah yang dijelaskan dalam pasal 14.

  Untuk mencapai perkawinan harus ada :  Calon suami  Calon istri  Wali nikah  Dua orang saksi  Ijab dan qabul

  Selanjutnya dalam pasal 19 disebutkan “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. (DEPAG RI,2000:69)

  Dari beberapa penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita. Karena wali merupakan syarat sah suatu pernikahan.

  C.

  Dasar Hukum Memang dalam Al-quran dan hadist yang secara ibarat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan tidak ada, namun dalam Al-Quran terdapat petunjuk nash yang ibaratnya tidak menunjuk kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara isyarhal-

  nash , dapat dipahami menghendaki adanya wali dalam pernikahan.

  Diantara ayat Al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai berikut:

1. Al-Quran

                                          

      

  “ Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang- orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka meng ambil pelajaran”. (Al-

  Baqarah:221) Ayat ini mengandung pengertian bahwa para wali dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang muyrik. Paling tidak ada dua hal yang bisa digaris bawahi:

  Pertama, penggalan ayat tersebut ditunjukan kepada para wali, bahwa wali mempunyai peranan yang penting dalam pernikahan putrinya atau wanita yang ada dalam perwaliaannya. Pernikahan yang yang dikehendaki Islam adalah pernikahan yang harmonis antara suami istri serta kedua orang tuanya. Oleh karena itu peranan seorang wali sangatlah penting.

  Kedua, larangan menikahkan wanita-wanita dengan orang-orang musyrik. Larangan tersebut menurut ayat diatas para wali dilarang menikahkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang yang musyrik dan juga para ahli kitab.

  

        

          

 

         

      

  ‟‟ apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Al-Baqarah: 232) ayat disini mengandung arti bahwa para wali dilarang menghalangi para wanita yang sehabis cerai untuk menikah lagi dengan calon suaminya.

                     

  “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui

  ”. (An-Nuur: 32) Ayat ini mengandung arti bahwa hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu (wali) agar mereka dapat kawin.

2. Hadist-hadist yang menunjukkan perwalian

  نن ا يِلَوننِب َّلاِا َحاننَكِن َلا :َلاننَق : َِِّننَّ ِّا ِنننَع َر ىننَسْوُم ِىَا ْننَع ىئا ِّا لاا

  Dari Abu Musa RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali”. [HR. Khamsah kecuali Nasai] (Ramulyo, 2000:3)

  Maksud dari hadist tersebut pada kata “la nikaaha illa bi waliyyin” adalah diarahkan atau dimaksudkan kepada sah,sehingga nikah tanpa wali menjadi tidak sah (batil).

  

ََِّنَّ ِّا َّنَا َ نََِئاَع ْننَع َةَو ْرُع ْنَع ِيِرْهُّزِّا ِنَع ىَسْوُم ِنْب َناَ ْيَلُس ْنَع

ننننِ اَب اننننَطُ اَكِ َ اننننَطِّنيَِِّو ِنْكِا ِْاننننَِِب ِْننننَ َكَن ِةَأَرننننْما اننننَُّ َا :َلاننننَق :

اننَِ ُرننْطَ ْا اننَطَلَن اننََِ َ ننَ َا ْنِاننَ ننِ اَب اننَطُ اَكِ َ ننِ اَب اننَطُ اَكِ َ

ُ ننَِّ َِّلَو َلا ْنننَم ُِّلَو ُناَاْلننُّ ِّاَ اْو ُرَ َحننْشا ِنِاننَ اننَطِاْرَن ْنننِم َّ َ َحننْسا

  ىئا ِّا لاا ا

  Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari „Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Kemudian jika (suaminya) telah mencampurinya, maka bagi wanita itu berhak memperoleh mahar sebab apa yang telah ia anggap halal dari mencampurinya. Kemudian jika mereka (wali- walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi wa linya”. [HR. Khamsah kecuali Nasai].

  (Ramulyo, 2000:3) Menurut hadist diatas sudah jelas bahwasanya wali dalam pernikahan itu harus terpenuhi karena hadist tersebut menyatakan bahwa menikah tanpa izin dari wali maka nikahnya batal. Dan dapat diambil kesimpulan dari kedua hadist diatas bahwa wali sangat berperan penting dalam sebuah pernikahan, dan nikah tanpa adanya seorang wali maka nikah nya itu batal atau tidak sah. D.

  Kedudukan Wali Dalam Pernikahan Seorang wali bisa dikatakan kunci dalam sebuah pernikahan. Jika pernikahan tidak terdapat wali yang memenuhi syarat maka bisa jadi pernikahan itu bisa jadi tidak sah atau bahkan bisa batal. Keberadaan seorang wali dalam suatu akad pernikahan adalah suatu hal yang sangat penting. Sudah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum islam bahwa wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan. Dalam akad pernikahan wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat juga sebagai sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. (Syarifudin, 2006: 69-70)

  Hal-hal yang berkenaan dengan pernikahan Allah SWT mengalamtkan titahnya kepada wali, karena dalam kehidupannya bermasyarakat terutama masyarakat Arab waktu turun ayat-ayat tentang pernikahan itu berada ditangan wali.

  Diantara ayat Al quran yang mengisyaratkan adanya wali wali tersebut antara lain sebagai berikut: