Pra Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan - Repositori UIN Alauddin Makassar

  

PRA PENUNTUTAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM PADA TINDAK

PIDANA KORUPSI DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

  Pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

  Oleh:

  

AHMAD RAIS KARNAWAN

NIM : 10500113095

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

  

2017

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

  Mahasiswa yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Ahmad Rais Karnawan Nim : 10500113095 Tempat/Tgl. Lahir : Pandang-Pandang, 30 Oktober 1995 Jurusan : Ilmu Hukum Fakultas : Syariah dan Hukum Alamat : Jln. Mustafa Dg. Bunga No. 187 Kelurahan Paccinongang, Kecamatan Somba Opu, Kab. Gowa, Kota Makassar.

  Judul : Pra Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum Pada Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawes Selatan

  Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

  Makassar, 27 Agustus 2017 Penyusun,

  Ahmad Rais Karnawan NIM : 10500113041

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga proses penyusunan skripsi ini yang berjudul “Pra Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum Pada Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatandapat diselesaikan dengan baik.

  Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai rahmatan li al-'alaimin yang telah membawa umat manusia dari kesesatan kepada kehidupan yang selalu mendapat sinar ilahi.

  Saya sangat meyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan yang saya miliki, tapi karena dukungan dan bimbingan serta doa dari orang-orang sekeliling saya akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

  Rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya saya berikan kepada :

  1. Kedua orang tua tercinta, ayah dan ibu yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang yang luar biasa besarnya kepada penyusun.

  2. Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si selaku Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

  3. Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

  4. Ibu Istiqamah S.H., M.H selaku ketua Jurusan Ilmu Hukum dan Bapak Rahman Syamsuddin S.H., M.H selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Hukum.

  5. Ibu St. Nurjannah S.H., M.H dan Bapak Rahman Syamsuddin. S.H., M.H. selaku pembimbing yang senantiasa membimbing ananda dalam proses penulisan skripsi

  6. Bapak Ahkam Jayadi S.H., M.H dan Dr. Hamsir, S.H., M.Hum selaku penguji yang senantiasa memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

  7. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang telah memberikan kesempatan kepada penyusun untuk melakukan penelitian.

  8. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, terima kasih untuk seluruh didikan, bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

  9. Kepada Saudara-saudaraku Eny, Agung, Rahma, Raihan, serta si kembar Qabila dan Qayla, terima kasih atas do’a dan dukungannya.

  10. Kepada Ilham Suyuti Ikhsan, S.H, Mudhar Azir Manuruki S.H, Muh. Hasan S.H, Muh. Nur Khutbanullah Lissalam S.H, Kurnia Ds S.H, dan Sahabat-sahabat serta teman-teman Ilmu Hukum yang tidak sempat saya sebutkan namanya terima kasih atas bantuan, saran, pengalaman, dan waktu luang yang telah diberikan.

  11. Kepada Febri, Saddam, Firman, Wahyu, Hasan, Afandi, Anfit serta Kakanda, adinda, dan teman-teman di Independent Law Student tempat saya berorganisasi dan menimba ilmu lebih terima kasih atas kebersamaannya.

  12. Kepada para sahabatku Di Komunitas WargaNens tempat berbagi cerita terima kasih atas kebersamaan dan ketulusannya selama ini.

  13. Keluarga besar Ilmu Hukum Angkatan 2013, Saudara-saudara seperjuangan, Terima kasih untuk kalian semua, kalian saudara yang hebat dan luar biasa.

  14. Keluarga KKN-R Angkatan 53 se-kecamatan Tinggimoncong yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian Skripsi ini.

  15. Keluarga besar KKN-R Angkatan 53 Kelurahan Pattapang yang telah

  16. Kepada Irma Suriani, Muh. Tajuddin Nur, Eka Agustina, Nur Takwa dan Nurul serta keluarga besar Posko 1 KKN-R Angkatan 53 Keluarahan Pattapang terima kasih atas dukungan dan segala do’a yang diberikan.

  Untuk kesempurnaan skripsi ini, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, semoga skripsi ini kedepannya dapat bermanfaat untuk semua orang.

  Gowa, 7 September 2017 Penyusun, Ahmad Rais Karnawan

  

DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI............................................................ ii PENGESAHAN ...................................................................................................iii KATA PENGANTAR......................................................................................... iv DAFTAR ISI........................................................................................................vii ABSTRAK ...........................................................................................................x BAB

  I PENDAHULUAN..............................................................................1-9

  A. Latar Belakang ...................................................................................1

  B. Rumusan Masalah ..............................................................................4

  C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ...............................................5

  D. Kajian Pustaka....................................................................................7

  E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................ 8

  BAB

  II TINJAUAN TEORITIS ...................................................................10-50

  A. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana ..............................................10

  1. Pengertian Hukum Acara Pidana ...................................................10

  2. Fungsi & Tujuan Hukum Acara Pidana .........................................11

  3. Asas-Asas Hukum Acara Pidana....................................................13

  B. Tinjauan Umum Pidana & Pemidanaan .............................................14

  1. Pengertian Pidana & Pemidanaan ..................................................14

  2. Pengertian Tindak Pidana............................................................... 15

  4. Jenis-Jenis Tindak Pidana .............................................................. 22

  5. Teori Pemidanaan...........................................................................25

  C. Tinjauan Umum Korupsi....................................................................28

  1. Pengertian Korupsi .........................................................................28

  2. Jenis-Jenis Korupsi.........................................................................31

  4. Korupsi Menurut Islam ..................................................................33

  D. Tinjauan Umum Jaksa Penuntut Umum & Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ................................................................................................ 36

  1. Pengertian Jaksa .............................................................................36

  2. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum ............................... 37

  3. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ...............................................41

  E. Prapenuntutan.....................................................................................48

  

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 51-55

A. Jenis dan Lokasi Penelitian .................................................................51 B. Pendekatan Penelitian .........................................................................51 C. Sumber Data........................................................................................ 52 D. Metode Pengumpulan Data .................................................................53 E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................ 56-93

A. Faktor-faktor yang menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam

  melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan

  B. Langkah-langkah yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum dalam Melakukan Pra penuntutan tindak Pidana Korupsi ............................. 75

  

BAB V PENUTUP............................................................................................... 94-95

A. Kesimpulan ......................................................................................... 94 B. Saran....................................................................................................94

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 96-98

LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................99-115

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...........................................................................116

  

ABSTRAK

Nama : Ahmad Rais Karnawan Nim : 10500113095 Jurusan : Ilmu Hukum Judul Skripsi : Pra Penuntutan Oleh Jaksa Penuntut Umum Pada Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan

  Pokok masalah peneliti ini adalah Proses Pra Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pokok masalah tersebut dibagi ke dalam beberapa sub masalah atau pertanyaan penelitian, yaitu : 1) Faktor-faktor apakah yang menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan? 2). Langkah-langkah apakah yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan? Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian field research Kualitatif.

  Adapun sumber data penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini tergolong penelitian dengan jenis data kualitatif yaitu mengelola data primer yang bersumber dari Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1). Masih terdapat kendala yang dihadapi Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan baik itu dalam faktor Internal maupun Eksternal sehingga dapat memperlambat proses pra penuntutan tetapi dalam hal ini JPU masih mampu mengatasinya, 2). Proses Pra penuntutan yang dilakukan JPU mulai dari tahap awal Pra Penuntutan hingga Tahap Akhir Pra Penuntutan telah sesuai dengan prosedur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  Implikasi penelitian yaitu 1). Demi sukses dan tegaknya pelaksanaan hukum dalam masyarakat maka penyidik dan penuntut umum di dalam tugasnya sebagai penegak hukum hendaknya benar-benar melaksanakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 2). Di dalam tindakan Pra Penuntutan hendaknya selalu dilakukan konsultasi antara penyidik dengan penuntut umum, hal tersebut untuk mencegah dan menutup kemungkinan adanya pengembalian berkas perkara yang bolak-balik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, di Indonesia diatur hukum dan pemberian

  sanksi atas pelanggaran hukum tersebut. Agar pembangunan Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil dan makmur sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila UUD 1945. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara jelas menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat), sehingga Negara

  1 Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada kekuasaan belaka (Machstaat).

  Untuk dapat mewujudkan tertib dan damai berdasarkan Pancasila perlu ditingkatkan usaha-usaha dibidang hukum oleh segenap masyarakat juga pemerintah.

  Dalam rangka pembangunan bidang hukum maka pemantapan kedudukan serta peran badan-badan penegak hukum secara terarah dan terpadu sangat dibutuhkan untuk dapat menduduk pembangunan berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan serta kesadaran hukum dinamika perkembangan dalam masyarakat. Untuk dapat mewujudkannya maka dibutuhkan bantuan dari segala pihak. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam penegakan hukum ini antar lain jaksa, hakim, dan aparat keamanan. Jaksa sebagai salah satu bagian dari aparat hukum mempunyai tugas yang tidak kecil dalam menangkap dan memecahkan segala macam bentuk pidana oleh Karena jalinan kerja sama antara badan hukum yang satu dengan yang lain mutlak diperlukan.

  Jaksa Penuntut Umum memiliki tugas dan wewenang dibidang pidana untuk melakukan penuntutan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14 huruf (g) Jo pasal 137 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana Jaksa Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa haruslah membuat surat dakwaan yang isinya mengenai pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

  Dalam melakukan penuntutan ini Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan tindakan pra penunututan terhadap berkas perkara yang dinilai kurang lengkap. Pra penuntutan ini dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan dan menentukan keberhasilan dalam penuntutan, artinya tindakan pra penuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan. Definisi dari Prapenuntutan itu sendiri adalah pengembalian berkas perkara dari jaksa penuntut umum kepada penyidik karena jaksa penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya.

  Proses berlangsungnya pra penuntutan dilaksanakan baik oleh Penyidik ayat (1), (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jaksa penuntut umum setelah menerima pelimpahan dan melakukan penelitian terhadap berkas perkara wajib memberitahukan lengkap tidaknya berkas perkara tersebut kepada penyidik. Bila hasil penelitian terhadap berkas perkara hasil penyidikan tersebut belum lengkap, maka jaksa penuntut umum mengembalikan

  2 berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjukuntuk di lengkapi.

  Pra penuntutan ini dimaksudkan agar berkas perkara dapat dilengkapi, sehingga dapat menjelaskan dengan terang mengenai suatu perkara tindak pidana. Sebab berkas perkara tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar bagi jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan tindakan penuntutan di depan sidang pengadilan. Hal mana berarti pra penuntutan ini menentukan keberhasilan penuntutan, karena tindakan prap enuntutan ini mencari kebenaran materiil dari suatu perkara yang nantinya akan dijadikan dasar dalam proses penuntutan.

  Selain itu prapenuntutan juga dapat menghindarkan dari adanya rekayasa penyidikan dan mempercepat proses penyelesaian penyidikan serta menghindari terjadinya bolak-baliknya berkas perkara. Pra penuntutan juga dapat menghilangkan kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh jaksa penuntut umum dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, serta dalam melakukan pemeriksaan tambahan bilamana penyidik menyatakan telah melaksanakan petunjuk jaksa penuntut umum secara optimal dan menyeluruh, hal mana yang berarti bahwa jaksa penuntut umum hanya dapat melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi-saksi tanpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.

  Akan tetapi, pada prakteknya Jaksa Penuntut Umum tidak selalu lancar dalam melakukan pra penuntutan. Jaksa Penuntut Umum kadang mengalami kendala saat melakukan pra penuntutan terhadap kasus yang ditanganinya. Kendala tersebut akan menyebabkan bolak-baliknya berkas perkara dari penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum yang tidak kunjung selesai. Sehingga hal ini akan menghambat jalannya proses penuntutan dan penyelesaian dari perkara tersebut.

  Melihat dari penanganan tindak pidana khusus seperti korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan di lapangan yang kurang terekspos oleh media informasi. Sehingga masyarakat awam seringkali masih kurang paham dengan kendala-kendala yang dihadapi oleh jaksa penuntut umum dalam menyelesaikan tugas. Berbagai kenyataan berkembangnya tindak pidana khusus korupsi. Maka Penyusun tertarik dalam meneliti

  

  dan penyusun membahas permasalahan yang berjudul: PROSES PRA

  

PENUNTUTAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM PADA TINDAK PIDANA

KORUPSI DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN”

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi bahan permasalahan dalam skripsi ini.

  Adapun materi pokok permasalahannya adalah sebagai berikut :

  1. Faktor-faktor apakah yang menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan?

  2. Langkah-langkah apakah yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan?

C. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

  1. Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus pada penelitian mengenai kendala-kendala yang dihadapi Jaksa penuntut umum untuk melakukan Pra Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di Makassar.

  2. Deskripsi Fokus Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mendefesinikan dan memahami penelitian ini, maka penulis akan mendeskripsikan beberapa pengertian variabel yang dianggap penting yaitu:

  a. Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum atau JPU adalah seseorang yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan Penetapan Hakim.

  Berdasarkan pasal 33 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

  b. Penuntutan & Pra Penuntutan Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum (PU) untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN), yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan. Menurut pasal 137 KUHAP yang berwenang untuk melakukan penuntutan ialah penuntut umum (PU). Sedangkan Pra penuntutan itu sendiri adalah Pengembalian berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara c. Tindak Pidana Korupsi

  Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Korupsi Pasal 2 ayat (1) (2) dan Pasal 3 yang penulis simpulkan sebagai berikut:

  Tindak Pidana Korupsi adalah setiap perbuatan seseorang atau badan hukum yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara.

D. Kajian Pustaka

  Dalam penyusunan skripsi dibutuhkan berbagai dukungan teori dari berbagai sumber atau rujukan yang mempunyai relevansi dengan rencana penelitian. Sebelum melakukan penelitian penulis telah melakukan kajian terhadap karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan ini. Adapun penelitian yang memiliki relevansi dengan judul penulis, sebagai berikut:

  1. Dalam bukunya Lilik Mulyadi “Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

  (Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya)” , menjelaskan selengkap

  mungkin tentang tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa (Extra Ordinary Crimes) penanggulangannya harus dilakukan dengan aspek yuridis yang luar biasa (Extra ordinary Enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa (Extra Ordinary Measures). Dalam konteks ini, penanggulangan korupsi tersebut harus tetap sesuai dengan ketentuan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

  2. Dalam bukunya Evi Hartanti “Tindak Pidana Korupsi”, menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang manyangkut hak asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, di samping itu juga merupakan perilaku kejahatan yang sulit ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi ini terlihatdari banyaknya putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa kasus korupsi atau ringannya sanksi yang harus diterima oleh terdakwa yag tidak sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukannya.

  3. Dalam bukunya Bambang Waluyo “Pemberantas an Tindak Pidana Korupsi

  (Strategi dan Optimalisasi)”, berisi uraian tentang strategi dan upaya mengoptimalkan , upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

  4. Dalam bukunya Ikhwan Fahrojih “Hukum Acara Pidana Korupsi”, Menjelaskan bahwa sulitnya pemberantasan korupsi bukan hanya disebabkan pada persoalan politik, melainkan pada faktor penegakan hukum tindak pidana korupsi itu sendiri. Banyak sekali ketentuan dalam tindak pidana korupsi yang menjadi kendala sebagaimana banyak temuan dalam buku ini. Dengan alternative gagasan-gagasan yuridis yang progresif, buku ini berusaha memenuhi kebutuhan peningkatan efektivitas hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia pada berbagai tingkat, baik pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, tingkat penuntutan, tingkat persidangan serta pada tingkat eksekusi.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

  a. Mengetahui faktor-faktor apakah yang menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

  b. Mengetahui langkah-langkah apakah yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

  2. Kegunaan Penelitian

  a. Kegunaan teoritis Secara teoritis penulis skripsi ini di harapkan dapat menambah pengetahuan yang dapat dipergunakan dan dimanfaatkan di dalam penulisan bidang ilmu hukum pidana khususnya Penyebab kendala Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan dalam tindak pidana korupsi dan memberikan pemahaman bagi setiap orang, baik itu masyarakat awam ataupun Mahasiswa. Karena menurut penulis mengetahui kendala-kendala serta proses prapenuntutan yang dihadapi Jaksa Penuntut Umum dapat membuat kita lebih paham dengan apa yang dikerjakannya.

  b. Kegunaan praktis 1) Dapat memberikan informasi dan mengetahui tentang faktor-faktor yang menghambat Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Tindak Pidana Korupsi.

  2) Dapat memberikan sumbangan pemikiran pada pihak yang terkait dalam bentuk penyelesaian atau berupa langkah-langkah yang ditempuh Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan Pra Penuntutan Tindak Pidana Korupsi.

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Hukum Acara Pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

  Undang-undang tidak memberikan pengertian resmi mengenai hukum acara pidana, yang ada adalah berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum acara pidana itu, misalnya, penyidikan, penyelidikan, penangkapan, dan sebagainya. Untuk mengetahui pengertian hukum acara pidana dapat ditemukan dalam berbagai literatur yang dikemukakan oleh para pakar. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para pakar tersebut.

  Adapun Van Bemelen mengemukakan pengertian dengan menggunakan istilah ilmu hukum acara pidana yaitu mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu : 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.

  2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

  3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya.

  4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada

  penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.

  5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang

  dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.

  6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.

  1

  

7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib

  Wirjono Prodjodikoro, Mantan Ketua Mahkamah Agung RI mendefenisikan

  

Hukum Acara Pidana Sebagai “suatu rangkaian peraturan yang memuat cara

  bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan

  

hukum pidana.” Seluruh defenisi yang diberikan oleh para ahli hukum pidana seperti

  diuraikan di atas pada dasarnya adalah sama, yaitu mendefenisikan Hukum Acara Pidana merupakan: 1. Serangkaian peraturan.

  2. Dibuat oleh negara (Undang-undang) 3. Yang memberikan wewenang kepada apparat penegak hukum.

  4. Untuk melakukan penindakan penyidikan penuntutan dan menjatuhkan pidana.

  2 5. Terhadap pelaku tindak pidana.

2. Fungsi & Tujuan Hukum Acara Pidana

  Fungsi hukum acara pidana adalah melaksanakan dan menegakkan hukum pidana. Fungsi ini dapat dikatakan sebagai fungsi represif terhadap hukum pidana. Artinya, jika ada perbuatan yang tergolong sebagai perbuatan tersebut harus diproses agar ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum pidana itu dapat diterapkan kepada pelaku tindak pidana.

  Selain fungsi tersebut, hukum acara pidana juga dapat berfungsi untuk mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi ini dapat terlihat ketika hukum acara pidana telah dioperasikan dalam berbagai kegiatan penyelenggaraan peradilan melalui bekerjanya sistem peradilan pidana. Fungsi yang demikian ini merupakan fungsi preventif terhadap hukum pidana. Artinya, orang akan berhitung untuk melakukan atau mengulangi lagi perbuatannya sebagai perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana karena jika melanggar hukum pidana, berarti ia akan di proses dan dijatuhi pidana berdasarkan hukum acara pidana melalui bekerjanya sistem peradiian pidana.

  Adanya fungsi hukum acara pidana demikian menunjukkan bahwa antara hukum acara pidana dan hukum pidana adalah pasangan yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang sangat erat bagai dua sisi mata uang. Keduanya saling melengkapi sehingga jika salah satu tidak ada, lainnya tidak akan berarti. Apabila hukum acara pidana tidak ada, hukum pidana tidak dapat dilaksanakan dan akan menjadi hukum yang mati karena tidak ada pedoman dan perangkat lainnya yang dapat melaksanakannya. Demikian pula hukum acara pidana tidak dapat ber-buat banyak dan menjadi hukum yang tertidur. Jika tidak ada hukum pidana, berarti tidak ada orang yang melakukan perbuatan pidana, berarti tidak ada orang yang di proses oleh hukum

  3 acara pidana.

  Adapun fungsi hukum acara pidana menurut Andi Sofyan & Abd Asis yaitu: 1) Mencari dan menemukan kebenaran.

  2) Pengambilan putusan oleh hakim

  4 3 3) Pelaksanaan dari putusan yang telah diambil.

  Jhon Ilef Malamassam, “Optimalisasi Prapenuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Tesis (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), h. 31-32 Menurut pendapat Andi Hamzah, tujuan hukum acara pidana adalah mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, kesejahteraan dalam

  5 kehidupan bermasyarakat.

  Menurut pendapat Rusli Muhammad, jika memperhatikan rumusan tujuan hukum acara pidana yang termuat di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, maka tujuan KUHAP dapat dibagi menjadi empat hal, meliputi antara lain :

  1. Mencari dan mendapatkan kebenaran;

  2. Melakukan penuntutan;

  3. Melakukan pemeriksaan dan memberikan putusan;

  6

  4. Melaksanakan (eksekusi) putusan pengadilan;

3. Asas-asas Hukum Acara Pidana

  Adapun asas-asas hukum acara pidana semuanya tertulis didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didalam UU No. 4 Tahun 2004 dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20,

  Pasal 25, Pasal 37, dan Pasal 154 KUHAP. Selain asas-asas yang secara tersurat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdapat asas-asas yang secara tersirat dalam KUHAP, yaitu: a. Asas Oportunitas dalam penuntutan , artinya meskipun terdapat bukti cukup untuk mendakwa seorang melanggar suatu peraturan hukum pidana, namun 5 penuntut umum mempunyai kekuasaan untuk mengenyampingkan perkara

  Andi Sofyan & Abd Asis. Hukum Acara Pidana Suatu Penganta (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014). h. 11 yang sudah terang pembuktiannya dengan tujuan kepentingan negara atau umum (mendeponeer).

  b. Asas kejaksaan sebagai penuntut umum dan polisi sebagai penyidik, artinya dalam perkara pidana yang penuntutannua tidak tergantung pada/dari kehendak perseorangan, bahwa yang memajukan perkara ke muka hakim pidana adalah pejabat lain dari pejabat penyidik.

  c. Asa Pra-peradilan, artinya pemeriksaan dan putusan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang berperkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

  d. Asas pemeriksaan secara langsung, artinya dalam pemeriksaan perkara pidana, hakim pidana seberapa boleh harus boleh berhubungan langsung dengan terdakwa,yang berarti hakim harus mendengar sendiri terdakwa, tidak cukup dengan adanya surat-surat pencatatan yang memuat keterangan-keterangan terdakwa di muka penyidik.

  e. Asas ini berlaku bagi saksi-saksi dan saksi ahli dan dari siapa akan diperoleh keteranga-keterangan yang perlu yang memberikan gambaran apa yang benar- benar terjadi.

  f. Asas personalitas aktif dan asas persoalitas pasif, artinya dimungkinkan tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah republic Indonesia dapat diadili

  7 menurut hukum pidana republik Indonesia.

B. Tinjauan Umum Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

  Menurut Sudarto, pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum

  8 pidana), sengaja agar diberikan sebagai nestapa.

7 Andi Sofyan & Abd Asis. Hukum Acara Pidana Suatu Penganta (Jakarta: Prenadamedia

  Group, 2014). h. 16-18

  Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi juga hukum perdata. Karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman disini mempunyai makna sama dengan sentence atau vervoordeling .

  Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seseorang terdakwa sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarto yang menyebutkan bahwa:

  “ Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai

  menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berchten) menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga perdata. Kemudian istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yaitu kerap kali disinonimkan dengan pemidanaan atau pemberian atau

  9 penjatuhan pidana oleh hakim”.

2. Pengertian Tindak Pidana

  Pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

  

10

  barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu

  Menurut Rahman Syamsuddin dalam bukunya Merajut Hukum Di Indonesia mengatakan bahwa: 9 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia (Bandung: PT Refika

  “H ukum pidana adalah kumpulan peraturan yang mengatur perbuatan, baik

  menyeruh berbuat atau melakukan sesuatu, maupun melarang berbuat atau melakukan sesuatu yang diatur di dalam undang-undang dan peraturan daerah

  11 yang diancam dengan sanksi pidana ” .

  Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah

  ini, karena timbulnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undan gan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi

  

“tindak” tidak menunjukkan pada suatu yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya

  menyatakan perbuatan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang . Oleh karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.

  12 Contoh: U.U no. 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum (pasal 127, 129 dan lain-lain.

  Hukum pidana belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga

  

delict yang berasal dari Bahasa latin Delictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-

  Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Oleh Karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu

  13 strafbaat feit .

  Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Adami Chazawi menyatakan bahwa:

  “I stilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum

  pidana Belanda yaitu strafbaar feit, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha 11 Rahman Syamsuddin & Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia (Jakarta: Mitra Wacana

  Media, 2014), h. 192 12 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), h. 55.

  memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada

  14 keragaman pendapat ” .

  Sedangkan Rahman Syamsuddin & Ismail Aris menyimpulkan bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar perintah untuk melakukan sesuatu secara melawan hukum dengan kesalahan dan diberikan sanksi, baik di dalam

  15 undang-undang maupun di dalam peraturan daerah.

  Tetapi menurut Mahrus Ali dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana mengatakankan bahwa:

  “P erbuatan hukum pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

  pidana barangsiapa yang melakukannya. Menurutnya kesalahan tidak terkait dengan perbuatan pidana, tapi berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana. Ketika seseorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu dijatuhi pidana. Untuk menjatuhkan pidana kepada orang itu, harus terdapat kesalahan pada orang itu dan telah dibuktikan dalam proses peradilan,dan itu di luar perbincangan tentang perbuatan pidana. Dalam praktik peradilan yang pertama kali dilakukan hakim ketika memeriksa perkara pidana yang diajukan kepadanya adalah apakah orang yang dihadapkan kepadanya memang terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Setelah hal itu terbukti, hakim kemudian membuktikan ada

  16 tidaknya kesalahan pada diri orang itu ” .

3. Unsur-unsur Tindak Pidana

  Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya.

  17 Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Moeljatno menyebutkan

  bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan 14 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 67. 15 Rahman Syamsuddin & Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), h. 193 yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan

  18 hukum yang objektif.

  Menurut Mahrus Ali ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktifn maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun yang materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertantu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat

  19 tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.

  Lebih jelasnya Setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum pidana itu pada umumnya menurut doktrin, unsur-unsur delik atau perbuatan pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Terdapat unsur-unsur tersebut

  20

  dapat diutarakan sebagai berikut: 1) Unsur Subjektif

  Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or 18 19 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), h. 69.

  

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidan (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 100

  

actus non facit reum nisi mens sit rea (tidak ada hukuman, kalau tidak ada kesalahan).

  Kesalahan yang dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar

  telah menyetujui bahwa “kesengajaan” te rdiri atas tiga yakni:

  a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

  b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)

  c. Kesengajaan keinsafan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus

  evantualis )

  Sedangkan kealpaan terdiri dari dua, yakni:

  a. Tak berhati-hati; b. Dapat menduga akibat itu. 2) Unsur Objektif

  Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:

  a. Perbuatan manusia, berupa: 1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; 2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan b. Akibat (result) perbuatan manusia

  Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, kehormatan, dsb.

  c. Keadaan-keadaan (circumtances) Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:

  2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

  d. Sifat dapat dihukum atau sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah melakukan sesuatu.

  Menurut Satochid Kartanegara unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa suatu tindakan, suatu akibat dan keadaan (omstandigheid). Selanjutnya Satichid menyatakan kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang- undang. Sedangkan unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yakni kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid) dan kesalahan

  21 (schuld).

  Menurut Lamintang unsur delik terdiri atas dua macam, yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Selan jutnya Lamintang menyatakan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa)

  

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud

  di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP

  

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

  

4. Merencanakan terlebih dahulu atau woorbedachte raad seperti misalnya yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

  

5. Perasaan takut atau vrees seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak

pidana menurut pasal 308 KUHP.

  Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:

  1. Sifat melawan hukum atau wederechtelijk;

  2. Kualitas dari sipelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP;

  3. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

  Rahman Syamsuddin & Ismail Aris menyimpulkan bahwa seluruh unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur tidak terbukti dan unsur yang paling urgen untuk perbuatan pidana (ditilik dari sudut objektif) menurut Apeldoorn adalah sifat melawan hukumnya. Jika tidak terbukti maka taka da perbuatan pidana sehingga menyebabkan terdakwa harus dibebaskan. Selanjutnya menurut Rahman Syamsuddin pendapat dari Satochid dan Lamintang tentang unsur-unsur delik di atas, maka pendapat Satochid yang memasukkan toerekeningsvatbaarheid sebagai unsur subjektif kurang tepat. Hal ini Karena tidak semua toerekeningsvatbaarheid bersumber