Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika
PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN
PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
TESIS
OLEH
CARDIANA HARAHAP 077005115 / HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN
PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
CARDIANA HARAHAP 077005115 / HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL TESIS : PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN
PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA
NAMA : CARDIANA HARAHAP
N.I.M. : 077005115 PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Ketua
Prof. Chainur Arrasyid, SH
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM Anggota Anggota
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
(4)
Telah diuji pada
Tanggal, 13 Februari 2013
PANITIA PENGUJI
Ketua :
1. Prof. Chainur Arrasyid, SH
Anggota:
2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
3.
Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
4.
Dr. Madiasa Ablisar, SH, MH
(5)
ABSTRAK
Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan wewenang sebagai Penuntut Umum. Bidang tugas Kejaksaan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan terhadap perkara pidana khususnya tindak pidana Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana.
Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika? dan kedua, apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). selain dilakukan studi pustaka juga dilakukan studi dokumen di Kantor Kejaksaan dan wawancara kepada beberapa informan.
Seimpulan pertama, peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika bertindak sebagai penuntut umum melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam SPP khususnya dengan penyidik BNN, Kepolisian, dan PPNS. Aturan dalam UU Narkotika, Kejaksaan tidak dapat bertindak sebagai penyidik terhadap kasus-kasus Narkotika melainkan hanya bertindak sebagai pihak yang menyetujui dimulainya penyidikan dan menerima berita acara penyidikan. Kedua, kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan yang paling dominan adalah masalah pengetahuan tentang fakta di lapangan sebab penuntut umum tidak bisa secara langsung melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus Narkotika di lapangan.
Saran pertama, agar Kejaksaan dalam melakukan perannya harus berani melakukan diskresi sesuai dengan aturan yang berlaku, menerobos aturan dengan mengedepankan nalar, menjunjung tinggi HAM, kepentingan umum, dan keadilan dalam hal melakukan penuntutan kasus-kasus Narkotika sebab persoalan Narkotika menyangkut kepentingan publik. Kedua, agar UU Narkotika memberikan wewenang kepada pihak Kejaksaan juga bisa bertindak sebagai penyidik sebagaimana hal ini ada diatur dalam undang-undang khusus seperti UU Anti Korupsi.
(6)
ABSTRACT
One of the pillars of government functioning to materialize the national goal is the Indonesian Attorney that is given duty, function and authority as Public Prosecutor. According to Article 30 paragraph (1) b of Law No. 16/2004 on Prosecution, the duty of prosecutor is to prosecute criminal cases especially the criminal act related to narcotics. Law No. 35/2009 on Narcotics underlays the legal basis for the prosecution to play its role in conducting its duty in the field of prosecution which cannot be separated from the Criminal Justice System.
The problems discussed were, first, what was the role of Attorney in prosecuting the narcotics criminal act?, and, second, what constraints faced by the Attorney during the prosecution process and what did they do in facing the constratints?
The data for this analytical descriptive study with normative juridical approach were obtained from the primary legal materials in the forms of the Indonesian Criminal Codes, Law No. 16/2004 on the Indonesian Attorney, and Law No. 35/2009 on Narcotics, and through the documentation study condiucted in the Attorney’s Office and interviews with several informants.
The first conclusion is that in prosecuting narcotics criminal act, the Attorney plays a role as a public prosecutor coordinating with the other law enforcers under a warrant especially with the BNN (National Narcotics Bureau) investigators, Police, and Civil Servant Official. The regulation in Law on Narcotics says that the Attorney are not allowed to investigate the narcotics cases but as the party that approves the commencement of investigation and receives the official report of investigation done. Second, the most dominant constratint faced in the process of prosecution is related to problem about knowing about the fact in the field because a public prosecutor cannot directly investigate the narcotics cases in the field.
In play its role, the Attorney must be barve enough to conduct discretion in accordance with the existing regulations, to break through the rules through reasoning, to uphold human rights, public interest, and justice in prosecuting the narcotics cases because the problem of narcotics involves public interest. Second, the Law on Narcotics should authorize the Attorney to act as investigator for this issue is regulated in the special laws such as anti-corruption laws.
(7)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian tentang, ”Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika”.
Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) atas kesempatan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.H., telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan selalu mengingatkan tesis sampai pada akhirnya meja hijau.
4. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Chainnur Arrasyid, SH selaku Ketua Komisi Pembimbing, Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH. DFM dan Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide serta saran yang konsruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini.
5. Penghormatan saya atas apresiasi yang sangat luar biasa dari Dr. Madiasa Ablisar, SH, MH, dan Dr. Hamdan, SH, M.Hum selaku penguji tesis penulis.
(8)
6. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh teman-teman Mahasiswa yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya.
7. Terimakasih juga kepada kedua Orang Tua dan Mertua saya yang telah memberi dukungan dalam setiap waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan do’a agar penulis dapat mencapai cita-citanya dengan sukses.
8. Terimakasih kepada Suami dan Anak anak saya yang menjadi dorongan memunculkan semangat dan motivasi untuk maju dalam penyelesaian study ini.
Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dan menambah serta memperkaya wawasan ilmu pengetahuan. Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan substansi dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang. Amin ya rabbal’alamin.
Medan, 28 Januari 2013 Penulis
(9)
CURRICULUM VITAE
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
N a m a : CARDIANA HARAHAP, SH.
Tempat/Tgl Lahir : Pontianak, 22 Desember 1983
Alamat Rumah : Jl.H.Buang No.17 Rt04/Rw 07 Ulujami Pesanggrahan Jakarta Selatan.
Pekerjaan : Jaksa Fungsional Pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Alamat Kantor : Jl.Jend A.H Nasution No.1c , Telp. (061) 41034
Agama : Islam Jenis kelamin : Perempuan
Hobby : Bermain Piano dan menyanyi. Status Kawin : Menikah
suami : Akhmad E.P. Hasibuan, SH. MH.
Anak-anak : Anggreny salsabilla Hasibuan dan Muhammad Andromeda Hasibuan
No
PENDIDIKAN FORMAL
Jenjang Pendidikan/Jurusan Tahun Selesai
1. SD Hang Tuah IV Jakarta 1995
2. SMP Negeri XI Jakarta 1998
3. SMA Negeri 82 Jakarta 2001
4. Universitas Trisakti Jakarta/Hukum 2005 5. Program Studi Magister Ilmu Hukum USU Medan 2013
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Bendahara Palang Merah Remaja tingkat SMP sekecamatan Tahun 1997-1998. 2. Bendahara Paduan Suara Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta 2003-2004. 3. Ketua Sosial Budaya Ikatan Adhyaksa Dharma Karini Tanjung Balai 2011-
(10)
PENGALAMAN KERJA
1. Pegawai Tata Usaha Kejaksaan pada Kejaksaan Negeri Binjai Tahun 2006-2007. 2. Pegawai Tata Usaha Kejaksaan pada Kejaksaan Negeri Medan 2007-2009.
3. Jaksa Fungsional Bidang Pidana khusus pada Kejaksaan Negeri Belawan 2009-2010. 4. Jaksa Fungsional Bidang Pidana umum pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara
2010-2012.
5. Jaksa Fungsional Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara 2012 sampai dengan saat ini
PENGALAMAN PELATIHAN/KURSUS
No Pelatihan/Kursus Tempat Tahun Pelaksana
1. Piano Jakarta 1995-2000 Yamaha Jakarta
2. Bahasa Belanda Jakarta 2001-2004 Erasmus Huis Jakarta
3. Bahasa Inggris Jakarta 1998-2002 EEP Jakarta 4. Peradilan Semu Jakarta 2003 Trisakti Jakarta
5. Pendidikan Pelatihan Pengembangan dan Pembentukkan Jaksa
Jakarta 2009 Kejaksaan Republik Indonesia
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 14
1. Kerangka Teori... 14
2. Landasan Konsepsional ... 19
G. Metode Penelitian ... 20
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 21
2. Sumber Data ... 21
3. Teknik Pengumpulan Data ... 22
(12)
BAB II : PERANAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENUNTUAN
TINDAK PIDANA NARKOTIKA ... 24
A. Tugas Pokok Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Narkotika ... 24
B. Penuntutan Tindak Pidana Narkotika oleh Kejaksaan Negeri Medan ... 44
1. Kasus Rudy Sukiman ... 44
2. Kasus Dedi Setiawan ... 48
3. Kasus Basirun ... 51
4. Kasus Jhon Ferdinand ... 56
5. Kasus M. Syafii ... 60
BAB III : KENDALA-KENDALA DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN DAN UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH KEJAKSAAN ... 67
A. Pengendalian Kebijakan Penuntutan ... 67
B. Kendala yang Dihadapi Kejaksaan dari Sisi Undang-Undang ... 82
1. Tahap Pembuatan Berkas Perkara ... 85
2. Tahap Penuntutan ... 95
3. Tahap Setelah Tuntutan ... 102
C. Kendala dari Sisi Aparat Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana 106 D. Kendala Berdasarkan Sisi Budaya ... 112
(13)
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 120
(14)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Ganja ... 67
Tabel 2 : Tolok Ukur Tuntutan Pidana Untuk Barang Bukti Shabu-Shabu /
Heroin ... 70
(15)
ABSTRAK
Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan wewenang sebagai Penuntut Umum. Bidang tugas Kejaksaan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan terhadap perkara pidana khususnya tindak pidana Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana.
Permasalahan yang diteliti adalah: pertama, bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika? dan kedua, apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). selain dilakukan studi pustaka juga dilakukan studi dokumen di Kantor Kejaksaan dan wawancara kepada beberapa informan.
Seimpulan pertama, peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana Narkotika bertindak sebagai penuntut umum melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam SPP khususnya dengan penyidik BNN, Kepolisian, dan PPNS. Aturan dalam UU Narkotika, Kejaksaan tidak dapat bertindak sebagai penyidik terhadap kasus-kasus Narkotika melainkan hanya bertindak sebagai pihak yang menyetujui dimulainya penyidikan dan menerima berita acara penyidikan. Kedua, kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan yang paling dominan adalah masalah pengetahuan tentang fakta di lapangan sebab penuntut umum tidak bisa secara langsung melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus Narkotika di lapangan.
Saran pertama, agar Kejaksaan dalam melakukan perannya harus berani melakukan diskresi sesuai dengan aturan yang berlaku, menerobos aturan dengan mengedepankan nalar, menjunjung tinggi HAM, kepentingan umum, dan keadilan dalam hal melakukan penuntutan kasus-kasus Narkotika sebab persoalan Narkotika menyangkut kepentingan publik. Kedua, agar UU Narkotika memberikan wewenang kepada pihak Kejaksaan juga bisa bertindak sebagai penyidik sebagaimana hal ini ada diatur dalam undang-undang khusus seperti UU Anti Korupsi.
(16)
ABSTRACT
One of the pillars of government functioning to materialize the national goal is the Indonesian Attorney that is given duty, function and authority as Public Prosecutor. According to Article 30 paragraph (1) b of Law No. 16/2004 on Prosecution, the duty of prosecutor is to prosecute criminal cases especially the criminal act related to narcotics. Law No. 35/2009 on Narcotics underlays the legal basis for the prosecution to play its role in conducting its duty in the field of prosecution which cannot be separated from the Criminal Justice System.
The problems discussed were, first, what was the role of Attorney in prosecuting the narcotics criminal act?, and, second, what constraints faced by the Attorney during the prosecution process and what did they do in facing the constratints?
The data for this analytical descriptive study with normative juridical approach were obtained from the primary legal materials in the forms of the Indonesian Criminal Codes, Law No. 16/2004 on the Indonesian Attorney, and Law No. 35/2009 on Narcotics, and through the documentation study condiucted in the Attorney’s Office and interviews with several informants.
The first conclusion is that in prosecuting narcotics criminal act, the Attorney plays a role as a public prosecutor coordinating with the other law enforcers under a warrant especially with the BNN (National Narcotics Bureau) investigators, Police, and Civil Servant Official. The regulation in Law on Narcotics says that the Attorney are not allowed to investigate the narcotics cases but as the party that approves the commencement of investigation and receives the official report of investigation done. Second, the most dominant constratint faced in the process of prosecution is related to problem about knowing about the fact in the field because a public prosecutor cannot directly investigate the narcotics cases in the field.
In play its role, the Attorney must be barve enough to conduct discretion in accordance with the existing regulations, to break through the rules through reasoning, to uphold human rights, public interest, and justice in prosecuting the narcotics cases because the problem of narcotics involves public interest. Second, the Law on Narcotics should authorize the Attorney to act as investigator for this issue is regulated in the special laws such as anti-corruption laws.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejaksaan sebagai salah satu pilar penegak hukum memiliki tugas yang
sangat berat dalam menegakkan supremasi hukum di Indonesia secara komprehensif.
Hal demikian merupakan salah satu alasan Pemerintah Republik Indonesia yang
semakin mempertegas dasar hukum kejaksaan di bidang penuntutan dengan
diundangkannya UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang
menggantikan UU No.5 Tahun 1991. Dalam satu diktum pertimbangan UU No.16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan dinyatakan bahwa menimbang Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 maka
penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai
tujuan nasional.1
Salah satu pilar Pemerintah yang berfungsi dalam mewujudkan tujuan
nasional adalah Kejaksaan Republik Indonesia yang diberi tugas, fungsi, dan
wewenang sebagai Penuntut Umum. Sebagaimana penegasannya ditentukan dalam
Pasal 1 angka 1 UU No.16 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
1
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 128.
(18)
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. UU No.16
Tahun 2004 diundangkan pada tanggal 26 Juli 2004 untuk lebih memantapkan
kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari segala
pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam upaya penegakan hukum
tidak bisa diabaikan. Sebab, di samping secara normatif ada yang mengaturnya, juga
dalam tataran faktual, masyarakat menghendaki lembaga atau aparat penegak hukum
di bidang penuntutan benar-benar berperan sehingga terwujud rasa keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.2 Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagaian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.3 Kedudukan kejaksaan bukan sebagai pelaksana kekuasaan dalam penanganan perkara-perkara
yang dituntutnya, keadaan demikian dinilai bernuansa politis.4
Sejalan dengan peranan Kejaksaan dalam bidang penuntutan, salah satu
prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang
di hadapan hukum (equality before the law) sehingga karenanya, setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta
2
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hal. 189.
3
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 5.
4
(19)
perlakuan yang sama di hadapan hukum. Badan-badan lain yang berperan
melaksanakan prinsip equality before the law sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38
ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain
kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan.
Penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, dan penegakan HAM.5
Menjadi pengalaman yang berharga pada kasus yang melibatkan dua orang
Jaksa (Esther Tanak dan Dara Veranita) terlibat menggelapkan 343 butir ekstasi yang
dibebaskan dari penahanan Polda Metro Jakarta, menjadi sorotan publik dan preseden
buruk terhadap citra Kejaksaan Republik Indonesia serta berbagai kasus-kasus lain
yang melibatkan Jaksa hendaknya tidak terulang kembali dalam proses penegakan
hukum.
Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dan wewenang lain berdasarkan undang-undang, terbebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun.
6
Salah satu bidang hukum dalam pelaksanaan tugas Kejaksaan menurut Pasal
30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, melakukan penuntutan
dan pelaksana (eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
5
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 32.
6
(20)
terkait dengan tindak pidana Narkotika. UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika7
Sebelum dilakukan penuntutan terhadap perkara dimaksud, untuk dapat
kepentingan pembuktiannya, pihak-pihak terkait terlebih dahulu melakukan penyitaan
terhadap barang-barang bukti yang dapat dijadikan dasar penuntutan di sidang
pengadilan. Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 88 ayat (1) UU No.35 Tahun
2009 diketahui bahwa penyidik dalam perkara narkotika adalah penyidik Kepolisian
dan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) yang berwenang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. meletakkan dasar bagi Kejaksaan untuk berperan dalam melaksanakan tugasnya di
bidang penuntutan yang tidak terlepas dari Sistim Peradilan Pidana atau Criminal
Justice System.
8
Tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik tersebut, wajib diberitahukan
kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali
dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan.9
7
UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan dua undang-undang sebelumnya yakni UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Kedua undang-undang tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi atau sudah dicabut melalui Pasal 153 dan 155 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika tertanggal 12 Oktober 2009.
Pasal ini menegaskan kepada institusi Kejaksaan berperan dalam
melakukan penyitaan terhadap barang bukti Narkotika. Jadi, pihak Kejaksaan
8
Pasal 1 angka 2 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.
9
(21)
menurut pasal ini hanya bersifat mengetahui telah dilakukannya penyitaan oleh
penyidik.
Penyidikan terhadap kasus Narkotika hanya dapat dilakukan oleh kepolisian,
BNN, dan PPNS kecuali ditentukan lain sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal
73 UU No.35 Tahun 2009 penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap penyalahgunaan Narkotika, peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam UU No.35 Tahun 2009.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sangat merugikan dan
membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan
Narkotika tersebut karena di satu sisi Narkotika merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan sedangkan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan saksama. 10
Mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,
mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan
yang ketat dan seksama adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
merupakan tindak pidana Narkotika.11
10
M. Arief Hakim, Narkoba: Bahaya dan Penanggulangannya, (Bandung: Jember, 2007), hal. 25.
UU No.35 Tahun 2009 jelas melarang pelaku
yang menyalahgunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
11
(22)
dan seksama oleh karena peruntukannya hanya diperbolehkan untuk keperluan di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Sanksi pidana terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
menurut UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih berat dibandingkan dengan
undang-undang sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal
ini dimaksud untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan
sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua
puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana
tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah
Narkotika.12
Sehubungan dengan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika
tersebut, salah satu wujud dari pelaksanaan tugas Kejaksaan dalam melakukan
penuntutan perkara tindak pidana Narkotika adalah melakukan penuntutan terhadap
terdakwa atas nama M. Syafii, tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara
dalam jual beli Narkotika golongan I. Menurut Laporan Jaksa Penuntut Umum bahwa
Putusan Nomor 1474/Pid.B/2011/PN-Mdn, atas nama terdakwa M. Syafii dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak
atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli Narkotika golongan I” dan
menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda
12
(23)
sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupisah).13
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Perbuatan
terdakwa melanggar Pasal 114 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang ditegaskan sebagai berikut:
Barang bukti dalam perkara Narkotika ini adalah golongan I yakni 1 (satu)
bungkus plastik klip tembus pandang berisikan Narkotika jenis shabu-shabu berat
bruto 15 (lima belas) gram dan 1 (satu) unit Handphone merek Soni Ericson berwarna
hitam nomor kartu 181375704805.14 JPU mengenakan Pasal 114 ayat (2) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana bahwa pasal tersebut merupakan
penambahan 1/3 (sepertiga) dari jumlah sanksi. Pertimbangan memberatkan yang
diajukan JPU dalam tuntutannya bahwa perbuatan terdakwa telah meresahkan
masyarakat dan tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas
penyalahgunaan Narkotika.15
Kejaksaan berperan penting dalam melakukan penuntutan di sidang
pengadilan dalam kasus Narkotika untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam
13
Laporan Jaksa Penuntut Umum (P-44) Kejaksaan Negeri Medan pada bulan Agustus 2011. Lihat juga: Kutipan Putusan Daftar Pidana Pengadilan Negeri Medan.
14
Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDM-847/N.2.10.3/EP.2/mdn/05/2011 tertanggal 22 Agustus 2011, hal. 2.
15
(24)
persidangan. Apabila terjadi kesalahan dalam menentukan bukti-bukti yang tidak
cukup, dapat mangakibatkan bebasnya terdakwa dari segala tuntutan. Dalam hal
bukti-bukti yang tidak mencakupi menurut Pasal 183 KUHAP, hakim tidak
dibenarkan menjatuhkan putusan terhadap seseorang kecuali dengan
sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan hakim bahwa
suatu tindak pidana itu benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Apabila tidak memenuhi unsur yang disebutkan dalam Pasal 183
KUHAP maka pengambilan pengambilan keputusan hakim dalam persidangan
mengakibatkan kekaburan (obscuur) bahan atau barang bukti sehingga dapat
berdampak terhadap penghukuman terdakwa atau bahkan terdakwa dapat dibebaskan
oleh hakim karena tidak terbukti kesalahannya. Keadaan demikian dapat diakibatkan
apabila penuntutan tidak dilaksanakan dengan memenuhi bukti-bukti yang cukup.
Penyidik tindak pidana Narkotika adalah Badan Narkotika Nasional (BNN)
dan pihak Kepolisian yang menurut ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.35 Tahun
2009 wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala Kejaksaan
Negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada ketua pengadilan
negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap
Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan
menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN
(25)
puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya
disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, ketua pengadilan negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Apabila berpedoman pada Pasal 1 angka 16 KUHAP, maka setelah dilakukan
penyitaan oleh penyidik tindak pidana Narkotika, maka berkas perkaranya
dilimpahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk kepentingan
pembuktian dalam sidang pengadilan.16
Sebagai penegak hukum dalam Sistim Peradilan Pidana (SPP), Kejaksaan
merupakan salah satu unsur penting dalam penegakan hukum secara litigasi yang
berarti penegakan hukum dimulai dari proses penangkapan, penahanan, penuntutan, Kepala Kejaksaan Negeri setempat
berkewajiban menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika
untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
dimusnahkan. Apabila Kepala kejaksaan negeri secara melawan hukum tidak
melaksanakan kewajibannya menetapkan status barang sitaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika, menurut Pasal 141 UU No.35 Tahun 2009 dapat dipidana baik
pidana penjara maupun denda.
16
Pasal 1 angka 16 KUHAP menegaskan bahwa penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan.
(26)
dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di
Lembaga Pemasyarakatan.17
SPP telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam
penegakan hukum dengan menggunakan dasar pendekatan sistim.
18
Peradilan pidana
yang baik memiliki ciri-ciri:19
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana;
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana;
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi
penyelesaian perkara; dan
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi
peradilan pidana.
Dalam proses peradilan pidana berdasarkan UU No.16 Tahun 2004 tugas
pokok Kejaksaan menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke sidang pengadilan;
mempersiapkan berkas penuntutan; melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan
pengadilan. Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana dalam Pasal 30 ayat
(1) UU No.16 Tahun 2004 meliputi:
1. Melakukan penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
17
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Putra Bardin, 1996), hal. 33. Lihat juga: Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 70.
18
Ibid, hal. 14.
19
(27)
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Peranan Jaksa dalam menyita dan menuntut barang bukti perkara tindak
pidana Narkotika dalam rangka pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang
Narkotika pada hakikatnya melaksanakan tujuan UU No.35 Tahun 2009 sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 4 sebagai berikut:
1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
Peranan Kejaksaan sebagai salah satu unsur penting dalam SPP menempati
peran yang sangat penting dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam
rangka melaksanakan penuntutan dalam perkara tindak pidana Narkotika di sidang
pengadilan, maka dirasa penting untuk dilakukan penelitian tentang: Peranan
Kejaksaan Dalam Melakukan Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam
Rangka Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai judul dalam
(28)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ditemukan ada 2
(dua) pokok permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntuan tindak pidana
Narkotika?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penuntutan dan apa
upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi kendala tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian terhadap Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan
dan Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka
Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini adalah:
1. Untuk mengkaji peranan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan tindak
pidana Narkotika.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan
penuntutan dan apa upaya yang dilakukan Kejaksaan untuk menghadapi
kendala tersebut?
D. Manfaat Penelitian
Manfaat suatu penelitian yang penting adalah memberikan kontribusi terhadap
(29)
1. Secara teoritis dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir bagi kalangan
akademisi terhadap permasalahan hukum terkait dengan peranan kejaksaan
dalam melakukan penyitaan dan penuntutan barang bukti perkara tindak
pidana Narkotika.
2. Secara praktis bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum: Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Badan Narkotika Nasional (BNN), Polisi,
Jaksa, dan Hakim sebagai institusi yang berperan penting dan berkoordinasi
secara terpadu dalam menangani kasus-kasus tindak pidana pada umumnya
dan tindak pidana Narkotika pada khususnya.
E. Keaslian Penulisan
Sebelum melakukan penelitian ini, terlebih dahulu telah dilakukan
penelusuran terhadap judul dan permasalahan di perpustakaan Universitas Sumatera
Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari
penelusuran tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian
ini. Permasalahan dan judul tentang Peranan Kejaksaan Dalam Penyitaan dan
Penuntutan Barang Bukti Perkara Tindak Pidana Narkotika Dalam Rangka
Pelaksanaan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, baru pertama kali dilakukan
penelitian dimaksud. Sehingga dengan demikian, judul dan permasalahan di dalam
penelitian ini adalah asli dan tidak mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis
(30)
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Kerangka teori sangat penting digunakan dalam setiap penelitian berfungsi
sebagai pisau analisis dalam mengupas dan menganalisa permasalahan. Kerangka
teori tersusun dari berbagai teori-teori dan doktrin berkaitan dengan permasalahan.
Untuk menganalisis peranan Kejaksaan dalam penyitaan dan penuntutan barang bukti
perkara tindak pidana Narkotika diambil dari teori sistim hukum (legal system theory)
dikaitkan dengan Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
Legal system theory membedakan dua sistim hukum yaitu: civil law
(Continental Europe Legal System) yang didominasi hukum perundang-undangan,
dan common law (Anglo-American Legal System) yang didominasi hukum tidak
tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent). Dapat dipahami
definisi sistim hukum menurut para pakar berikut ini:
a. H. Ridwan Syahrani, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu susunan atau
tatanan yang teratur dari keseluruhan elemen yang terdiri atas bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil
dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan”.20
b. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, mengatakan sistim hukum adalah ”Suatu
kesatuan sistim besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub
20
H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.
(31)
sistim pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain,
yang hakekatnya merupakan sistim tersendiri”.21
Definisi di atas menunjukkan sistim hukum sebagai suatu kompleksitas sistem
yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.
Tiga komponen dalam sistim hukum yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan
kultur hukum.22
Unsur-unsur tersebut menurut Lawrence M. Friedman sebagai faktor penentu
apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.
Ketiga komponen tersebut merupakan elemen penting dalam
penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan
baik, dapat mengganggu sistim hukum, hingga pada gilirannya akan terjadi
kepincangan hukum.
23
Soerjono
Soekanto, mengatakan ketiga komponen ini merupakan bagian faktor-faktor
penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.24 Hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan.
25
21
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.
Hukum akan mampu
dipakai di tengah masyarakat, jika lembaga pelaksananya dilengkapi dengan tugas
dan kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Pasal 30 ayat (1) UU No.16 Tahun
22
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.
23
Lawrence M. Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
24
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor…….Op. cit, hal. 5.
25
(32)
2004 tentang Kejaksaan ditegaskan tugas dan wewenang Jaksa di bidang pidana,
yaitu:
a. Melakukan penuntutan;26
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;27
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat;28
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Kejaksaan dalam menjalankan tugas atas dasar hukum yang baik dan adil
karena hukum menjadi landasan segenap tindakan lembag-lembaga negara melalui
26
Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) Huruf a UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterimanya dari penyidik serta memberikan petunjuk guna melengkapi untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke penuntutan.
27
Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual atau dilelang.
28
Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaskaan, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan lepas bersyarat adalah putusan yang dikeluarkan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.
(33)
koordinasi antar instansi terkait dan hukum itu sendiri harus benar dan adil. 29 Koordinasi antara Kejaksaan dengan penegak hukum lainnya dalam Pasal 33 UU
No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menegaskan Kejaksaan membina hubungan
kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau
instansi lainnya.30 Tugas dan wewenang tersebut dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.31 Kejaksaan dalam menjalankan tugas nya tunduk dan patuh pada sumpah atau janji,
serta kode etik jaksa sebagai pedoman atau petunjuk dalam menjalankan tugas
sehari-hari yang lazim disebut ”Tri Krama Adhyaksa”.32
a. Stya artinya kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama
manusia;
Tri Krama Adhyaksa menurut
Liliana Tedjosaputro landasan jiwa dari setiap warga Jaksa dalam meraih cita-cita
luhurnya, terpatri dalam ”trapsila” meliputi tiga krama yaitu:
b. Adhy, artinya kesempurnaan dalam bertugas yang berunsur utama pada
kepemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga
dan sesama manusia; dan
29
Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, tanpa tahun), hal. 295.
30
Penjelasan Pasal 33 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menjelaskan bahwa menjadi setiap kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan terpadu.
31
Supriadi, Op. cit, hal. 127.
32
(34)
c. Wicaksana, artinya bijaksana dalam tutur kata dan perilaku khususnya dalam
penerapan kekuasaan dan kewenangan.33
Dalam melaksanakan tugas, Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib
menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
34
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan
antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan
pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera adil dan
makmur (walfare state) berdasarkan Pancasila, melindungi kepentingan masyarakat,
dan berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah
dalam mendukung tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance).
35
Teori legal system dalam kaitannya dengan tugas Kejaksaan dalam proses
peradilan pidana tidak terlepas dari teori peranan (role theory) yang mengatakan
peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku atau tata kerja yang berbeda
33
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 103.
34
RM. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 35.
35
Sofyan Nasution, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip Good Governance”, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Diseminasi Policy Paper, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal 1.
(35)
pula.36 Setiap orang, lembaga, institusi dan lain-lain mempunyai peran yang berbeda pada masing-masing kedudukan, lembaga, atau institusinya dalam menciptakan
kondisi negara dalam keadaan tidak kacau sehingga tujuan pembangunan nasional
dapat berjalan dengan baik.37
1. Landasan Konsepsional
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan
konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi
atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berkut:
a) Peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu
posisi tertentu dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang.
b) Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
c) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.
d) Tindak pidana adalah segala perbuatan yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
36
Indria Samego, Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006), hal. 1.
37
(36)
e) Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No.35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
f) Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa
hak atau melawan hukum disebut pula dalam penelitian ini sebagai tindak
pidana Narkotika.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan
masalah berdasarkan metode tertentu. Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk
dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang
bersangkutan.38 Penelitian atau kegiatan ilmiah bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.39
38
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
Penelitian hukum adalah
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.
(37)
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari gejala-gejala hukum dengan cara
menganalisisnya.40
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga
sebagai penelitian doktrinal. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu
menggambarkan fakta tentang peranan Kejaksaan dalam penuntutan perkara
Narkotika dan menjelaskan hubungan antara fakta tersebut dengan peraturan
perundang-undangan seperti UU UU Kejaksaan dan UU Narkotika serta peraturan
lainnya yang menyangkut dengan penelitian ini. Selain digunakan yuridis normatif,
dalam penelitian ini juga digunakan penelitian hukum empiris melalui wawancara
mendalam terhadap pihak-pihak terkait gunanya untuk memperkuat
argumentasi-argumentasi yuridis dalam penelitian ini.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam terhadap:
Jaksa Penuntut, pelaku tindak pidana Narkotika, dan masyarakat sedangkan
data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer atau pokok: KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), dan UU No.35 Tahun 2009
40
(38)
tentang Narkotika (UU Narkotika).
b. Bahan hukum sekunder atau bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer: makalah-makalah seminar, majalah,
jurnal ilmiah, artikel, internet, dan surat kabar yang relevan dengan objek
penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
Besar Bahasa Indonesia (Ensiklopedia) dan Bahasa Inggris yang memiliki
relevansi dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi terhadap
dokumen-dokumen yang relevan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan dengan
mengidentifikasi data yang yang berhubungan dengan peranan Kejaksaan dalam
melakukan penuntutan perkara tindak pidana Narkotika. Selain itu, pengumpulan data
dilakukan penelitian lapangan dengan memanfaatkan beberapa pihak sebagai
responden. Wawancara dilakukan untuk mendukung dan memperkuat
argumentasi-argumentasi dalam penelitian ini.
Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan dipilah-pilah
guna memperoleh pasal-pasal dalam UU Narkotika dan UU Kejaksaan yang
mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma yang relevan dengan permasalahan
yang sedang diteliti. Kemudian dilakukan sistematisasi untuk mendapatkan
(39)
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu analisis yang bertolak dari data
yang dikumpulkan dengan memanfaatkan teori yang ada sebagai penjelas dan
berakhir dengan suatu teori. Data yang dianalisis secara kualitatif tersebut kemudian
disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan
permasalahan. Data yang dianalisis tersebut akan dikemukakan dalam bentuk uraian
secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data,
selanjutnya dinyatakan secara deduktif sehingga selain menggambarkan secara
umum dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap
permasalahan yang dalam melakukan penuntutan oleh Kejaksaan.
BAB II
(40)
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Tugas Pokok Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Narkotika
Tugas adalah amanat yang wajib dilakukan dalam kedudukan atau posisi
tertentu. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan
kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak.
Wewenang adalah hak dan kuasa untuk melakukan sesuatu dalam posisi tertentu.
Tanpa tugas dan wewenang maka segala sesuatu yang dilakukan Kejaksaan
khususnya penuntut umum tidak memiliki landasan yang kuat.41
Penetapan tugas dan wewenang oleh undang-undang terhadap suatu institusi
atau lembaga tertentu menjadi hak yang sah yang wajib dilaksanakan khususnya
bagi lembaga Kejaksaan. Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa, ”Suatu hak yang
telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan
kebijakan-kebijakan, menentukan keputusan-keputusan mengenai persoalan-persoalan yang
penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan”.
42
Dengan tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh UU No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, maka dapat difungsikan sesuai dengan maksud dan tujuan badan
tersebut.43
1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
Antara tugas dan wewenang merupakan selalu berkaitan satu sama lain.
Tugas dan wewenang Jaksa menurut Pasal 30 UU Kejaksaan:
a. Melakukan penuntutan;
41
Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit, hal. 205.
42
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal. 121.
43
(41)
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;44
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;45
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;46
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.47
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
44
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b dijelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.
45
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan.
46
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
47
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan terhadap tersangka;
b. Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;
c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
(42)
Salah satu tugas pokok Kejaksaan yaitu melakukan penuntutan yakni tindakan
penuntut umum (jaksa) untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.48 Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.49
Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana dengan menyerahkan
perkara pidana tersebut beserta berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan
supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap
terdakwa.
Posisi seseorang ketika
pada proses penuntutan perkara berstatus sebagai terdakwa, dimana penuntut umum
bertindak sebagai penuntut atau mendakwa si terdakwa sesuai dengan ketentuan
hukum pidana yang dilanggarnya.
50
Seorang jaksa memiliki daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah
hukum Kejaksaan Negeri dimana jaksa tersebut ditugaskan. Seorang jaksa di Pasal 137 KUHAP menentukan penuntut umum berwenang melakukan
penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu delik dalam daerah
hukumnya dengan melimpahkan perkara tersebut ke hakim pengadilan yang
berwenang mengadili.
48
Pasal 1 angka 7 KUHAP. Lihat juga: Pasal 1 angka 3 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan).
49
Pasal 13 KUHAP.
50
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1967), hal. 34.
(43)
Kejaksaan Tinggi atau di Kejaksaan Agung dapat menuntut seseorang jika ia terlebih
dahulu diangkat untuk Kejaksaan Negeri yang daerah hukumnya dilakukan delik
itu.51 Kejaksaan Negeri menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap atau tidak untuk dilimpahkan dan diadili di Pengadilan Negeri.52
Apabila suatu berkas perkara penyidikan menurut pertimbangan penuntut
umum tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke Pengadilan Negeri atau karena
perkara tersebut bukan merupakan delik, maka penuntut umum membuat suatu
ketetapan mengenai hal itu.
53
Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada
tersangka dan jika seseorang itu ditahan maka wajib dibebaskan.54 Surat penetapan demikian sering disebut dengan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3) oleh
Kejaksaan dan wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya atau penasihat
hukumnya, pejabat Rumah Tahanan Negara (Rutan), penyidik, dan hakim.55
Perkara ditutup demi hukum adalah hak tersangka yang wajib diberikan oleh
penuntut umum kepada tersangka sesuai dengan Bab VIII Buku I KUH Pidana
tentang hapusnya hak menuntut (asas non bis in idem).56
51
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indoneisa, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 165.
Akan tetapi berdasarkan
asas nebis in idem, jika di kemudian hari penyidik ternyata menemukan alasan atau
bukti-bukti baru untuk menuntut perkara yang telah dikesampingkan karena
kurangnya bukti-bukti sebelumnya, maka penuntut umum dapat menuntut
52
Pasal 139 KUHAP.
53
Pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP.
54
Pasal 140 ayat (2) butir b KUHAP.
55
Pasal 140 ayat (2) butir c KUHAP.
56
(44)
tersangka.57 Dengan adanya asas nebis in idem ini dapat mengecualikan asas non bis in idem jika perkara yang dikesampingkan itu tidak mengandung asas oportunitas.58 Hal lain yang termasuk bidang tugas pokok Kejaksaan adalah pembuatan surat
dakwaan dan tuntutan (requisitoir).59
Dalam melakukan penuntutan, jaksa sebelumnya melakukan prapenuntutan
yaitu tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik dan dapat memberi petunjuk
guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat
dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Dalam KUHAP ditegaskan beberapa ketentuan tentang wewenang penuntut
umum yaitu:60
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan
oleh penyidik;
57
Pasal 140 ayat (2) butir d KUHAP.
58
Andi Hamzah, Op. cit, hal. 168.
59
Ibid, hal. 169 dan hal. 170-188.
60
(45)
4. Membuat surat dakwaan;
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada
terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
7. Melakukan penuntutan;
8. Menutup perkara demi kepentingan umum;
9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
10.Melaksanakan penetapan hakim.
Penuntut umum melaksanakan tugas dan wewenangnya terhadap perkara
tindak pidana yang terjadi di daerah hukumnya.61
61
Pasal 15 KUHAP.
Fungsi Kejaksaan menurut UU
No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mencakup aspek preventif dan refresif. Aspek
preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan
penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran
kepercayaa, pencegahaan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, penelitian dan
pengembangan hukum serta statistik kriminal. Aspek refresif mencakup tindakan
Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan
(46)
pelaksanaan keputusan pelepasan bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang
berasal dari penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Menurut Soerjono Soekanto, ”Hukum dan penegakan hukum merupakan
sebagaian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan
akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan”.62
Kedudukan Kejaksaan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dinyatakan dalam Pasal 1
angka 1 UU Kejaksaan bahwa, ”Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Penuntut umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh KUHAP dan UU Kejaksaan untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim. Sehingga dapat dikatakan jabatan fungsional jaksa
adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang karena
fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.
Keberadaan Kejaksaan sebagai penegak hukum memiliki kedudukan yang sentral dan
memiliki peran yang strategis sehubungan dengan fungsinya sebagai filter dalam
penegakan hukum antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan,
sehingga keberadaannya dalam kehiduoan masyarakat harus mampu mengemban
tugas pokok (tupoksi) sebagai penegak hukum.
62
(47)
Penegasan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas, menentukan Kejaksaan merupakan
suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dan kewenangan lain. Selain tugasnya di bidang penuntutan,
juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang seperti membuat dakwaan,
melaksanakan putusan pengadilan, sebagai Jaksa Pengacara Negara, dan lain-lain.
Dalam kerangka Negara Indonesia sebagai negara hukum, salah satu prinsip
penting negara hukum, menjamin kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum
(equality before the law). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.63 Dengan demikian, dalam menjalankan Tupoksinya, Kejaksaan sebagai penuntut
umum harus memperhatikan dan mempertimbangkan kesetaraan derajat setiap
orang dengan memperlakukan sama di hadapan hukum. Sejalan dengan amandemen
UUD 1945, UU No.48 Tahun 2009 tentang Kehakiman, dan UU No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan semakin mempertegas badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman, termasuk Kejaksaan.64
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang (Pasal 30 ayat (1) huruf d UU
Kejaksaan) seperti penyidikan tindak pidana dalam UU No.36 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun
63
Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 127.
64
(48)
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU No.30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.65
Kejaksaan dengan kuasa khusus di bidang perdata dan tata usaha negara,
dapat bertindak sebagai pengacara (JPN) baik di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara dan atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan
ketenteraman umum, Kejaksaan turut serta menyelenggarakan kegiatan peningkatan
kesadaran hukum masyarakat, penanganan kebijakan penegakan hukum, pengamanan
peredaran barang cetakan, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama,
penelitian dan pengambangan hukum serta statistik kriminal.
Selanjutnya Pasal 31 UU Kejaksaan, dapat meminta kepada hakim untuk
menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau di temapt perawatan jiwa, atau di
tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau
dirinya sendiri. Selanjutnya Pasal 33 diatur bahwa dalam melakukan tugas dan
wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya.66
65
Yesmi Anwar dan Adang, Op. cit, hal. 206. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana tertentu.
Kemudian Pasal 34
66
Menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.
(49)
menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum
kepada instansi pemerintah lainnya.
Mencermati ketentuan-ketentuan dari beberapa pasal di atas, Tupoksi
Kejaksaan mencakup:67
1. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas: (a) melakukan penututan; (b)
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
putusan lepas bersyarat; (d) melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang; (e) melengkapi berkas perkara tertentu
dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dnegan penyidik;
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dapat bertindak sebagai
Jaksa Pengacara Negara;
3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan: (a) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
(b) pengamanan kebijakan penegakan hukum; (c) pengamanan peredaran
barang cetakan; (d) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara; (e) pencegahan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama; (f) penelitian dan pengembangan hukum serta
statistik kriminal;
67
(50)
4. Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang
terdakwa di rumah sakit atau di tempat perawatan jiwa, atau di tempat lain
yang layak;
5. Kejaksaan wajib membina hubungan kerjasama dengan badan penegak
hukum dan badan-badan negara lainnya; dan
6. Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada
instansi pemerintah lainnya.
Jaksa Agung sebagai lembaga tinggi dalam bidang penuntutan memiliki tugas
dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 UU Kejaksaan, yaitu:
1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan
dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan;
2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang;
3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.68
4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum pada Mahkamah Ahgung dalam
perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;69
5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung
dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
68
Dalam penjelasan Pasal 35 huruf c, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
69
Dalam penjelasan Pasal 35 huruf d, dijelaskan bahwa pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(51)
6. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jaksa Agung diberikan tugas dan wewenang khusus sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 35 UU Kejaksaan, mempunyai tugas dan wewenang:
1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan
dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang;
3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
4. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam
perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung
dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
6. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jaksa Agung diberikan tugas dan wewenang khusus dalam hal pemberian izin
kepada tersangka atau terdakwa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36 UU
(52)
1. Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat
atau menjalani perawatan dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan
tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.70
2. Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri
diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung,
sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar
negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
3. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas
dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar
negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan kebutuhan untuk itu
yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam
negeri.
Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa berobat atau
menjalani perawatan di dalam dan luar negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat
dilakukan perawatan di luar negeri. Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani
perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas
nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah
sakit luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung. Izin dimasud hanya diberikan
70
Dalam penjelasan Pasal 36 ayat (1), dijelaskan bahwa untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung. Diperlukannya izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan penangkalan. Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab kejaksaan. Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tetentu” adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada.
(53)
atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di laur negeri
rekomendasi tersebut dengan jelas menyebutkan kebutuhan untuk itu, yang dikaitkan
dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.71
Tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan keputusan
Mahkamah Agung. Izin seperti itu diperlukan karena status tersangka atau terdakwa
yang sedang dikenakan tindakan hukum, seperti berupa penahanan, kewajiban lapor,
dan atau pencegahan dan penangkalan. Yang dimaksud dengan tersangka atau
terdakwa adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab
Kejaksaan. Dalam keadaan tertentu, dimaknai apabila fasilitas pengobatan atau
menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada. Jaksa Agung bertanggung jawab atas
penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum
dan hati nurani, dan akuntabilitas yang ditegaskan dalam Pasal 37 UU Kejaksaan.
Dalam menjalankan Tupoksinya, Kejaksaan harus terpisah dari lembaga
eksekutif, Kejaksaan bertanggung jawab kepada publik secara transparan dan
konsekuensinya harus melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara
bebas dan lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan
apapun, walaupun perlu juga dibentuk Komisi Kejaksaan yang mengawasi untuk
menghindari penyalahgunaan kewenangannya. Namun, Komisi ini bertugas untuk
membantu Presiden memberdayakan Kejaksaan dan memberikan pertimbangan
71
(1)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009.
Anwar, Yesmi dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Atmasasmita, Romli, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982.
______Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Putra Bardin, 1996.
______Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Binacipta, 1996.
______Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Basuki, Wishnu, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1977.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
______Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Effendy, Marwan, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Fuady, Munir, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
Grende, James L. Le, The Basic Process of Criminal Justice, New York: Glencoe Press, 1973.
(2)
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996. Hakim, M. Arief, Narkoba: Bahaya dan Penanggulangannya, Bandung; Jember
2007.
Harahap, Chairuman, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum, Pengantar: Romli Atmasasmita, Bandung: Citapustaka Media, 2003.
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, Jakarta: Storia Grafika, 2002.
Kejaksaan Agung RI, Lima Windu Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia/1945-1985, Jakarta: Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985.
Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Cetakan IV, Bandung: Putra A. Bardin, 2000.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984.
Prakoso, Djoko, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1967.
Rasjidi, Lili, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia”,Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, Vol. 1 No. 1, Tahun 2005, hal. 8.
_____dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003.
Samego, Indria, Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006.
Sitorius, E.P.H., Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983.
(3)
______Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1997.
______dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.
______Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.
Sosrodanukusumo, E. Bonn, Tintutan Pidana, Jakarta: Siliwangi, tanpa tahun.
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip, 1990.
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Surachman, RM., dan Andi Hamzah, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukannya, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Syahrani, H. Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975. Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru
Utama, 2005.
Wilcox, A.F., The Decision to Prosecute, London: Butterworths, 1972.
Zehr, Howard, The Little Book of Restorative Justice, Pennsylvania: Intercourse, 2002.
(4)
B. Perundang-Undangan
UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3095/Pid.B/2011/PN-Mdn tertanggal 01 Februari 2012.
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3159/Pid.B/2011/PN-Mdn tertanggal 20 Desember 2011.
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2555/Pid.B/2011/PN-Mdn tertanggal 07 Desember 2011.
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2032/Pid.B/2011/PN-Mdn tertanggal 10 Oktober 2012.
Putusan Nomor 1474/Pid.B/2011/PN-Mdn, atas nama terdakwa M. Syafii.
Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri Cabang Medan dalam Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Nomor: Lab. 2694/KNF/V/2011 tertanggal 31 Mei 2011.
Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri Cabang Medan dalam Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Nomor: Lab. 3422/KNF/VII/2011 tertanggal 31 Mei 2011.
Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri Cabang Medan dalam Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Nomor: Lab. 4245/KNF/VIII/2011 tertanggal 22 Agustus 2011.
Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Bareskrim Polri Cabang Medan dalam Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Nomor: Lab. 1460/KNF/III/2011 tertanggal 01 April 2011.
Laporan Jaksa Penuntut Umum (P-44) Kejaksaan Negeri Medan pada bulan Agustus 2011. Lihat juga: Kutipan Putusan Daftar Pidana Pengadilan Negeri Medan.
(5)
Laporan Jaksa Penuntut Umum (P-44) Kejaksaan Negeri Medan pada bulan Agustus 2011. Lihat juga: Kutipan Putusan Daftar Pidana Pengadilan Negeri Medan. Berita Acara Analisa Laboratorium Barang Bukti Narkotika dengan Nomor Lab:
4572/KNF/IX/2010 tertanggal 16 September 2011.
Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor Register Perkara: PDM-847/N.2.10.3/EP.2/mdn/05/2011 tertanggal 22 Agustus 2011, hal. 2.
Surat Dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-847/N.2.10.3/Ep.2/MDN/05/11/2011. Surat Dakwaan No. Reg. Perk.: Pdm-490/Ep.2/TPL/11/2011.
Surat Dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-67/Ep.2/TPL/11/2011. Surat Dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-230/Ep.2/TPL/11/2011. Surat Dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-483/Ep.2/TPL/11/2011.
C. Makalah, Jurnal, dan Artikel
Atmasasmita, Romli, “Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-asas Hukum Pidana Nasional”, Makalah yang disampaikan pada Seminar, Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Kerjasama UNDIP dan BPHN DEPKEH HAM RI, padaa tanggal 26 April 2006.
Mere, Gories, “Press Release Akhir Tahun”, Pidato Kepala Badan Narkotika Nasional, Jakarta, tanggal 27 Desember 2011.
Hardjasoemantri, Koesnadi, “Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, di Bali, tanggal 15 Juli 2003.
Nasution, Sofyan, “Upaya Mendorong Birokrasi Pemerintah Berlandaskan Prinsip-Prinsip Good Governance”, Makalah disampaikan pada Seminar tentang
Diseminasi Policy Paper, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.
D. Surat Kabar
Kompas, Kamis, tanggal 24 Februari 2000.
(6)
E. Internet
http://indonesia.heartnsouls.com/cerita/d/c370.shtml, diakses tanggal 17 Nopember 2011.
http://international.okezone.com/read/2009/09/14/1/257157/banyak-kelemahan-tunda-pengesahan-ruu-narkotika, diakses tanggal 1 Juni 2011. Asmin Fransiska, Koordinator Indonesia Coalition for Drug Policy Reform (ICDPR). http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/01/1250.html, diakses tanggal 4 Juni
2012. Indonesia News, “Forum Mahkejapol Sebaiknya Dibubarkan”.
http://devamelodica.com/mengenal-chatinone-narkoba-jenis-baru-yang-dikonsumsi-rafi-ahmad/, judul: “Mengenal Ichatinone, Narkoba Jenis Baru yang Dikonsumsi Rafi Ahmad”, diakses tanggal 29 Januari 2009.