RESPON FISIOLOGI KAMBING BOERAWA JANTANDI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

(1)

RESPON FISIOLOGI KAMBING BOERAWA JANTAN

DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

Oleh :

ANDES FERNANDA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Peternakan

pada

Jurursan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRAK

RESPON FISIOLOGI KAMBING BOERAWA JANTAN DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI

Oleh

ANDES FERNANDA

Respon fisiologis ternak adalah usaha ternak dalam rangka merespon kondisi tubuhnya dari lingkungan berupa cekaman panas atau cekaman dingin. Performan ternak dipengaruhi oleh lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan respon fisiologi kambing Boerawa jantan terbaik di dataran rendah dan dataran tinggi.

Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober - Desember 2012, di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus dan di Negerisakti, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei untuk mendapatkan data penelitian yang meliputi 30 ekor Kambing Boerawa jantan. Peubah yang diukur meliputi suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan respirasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji-t.

Hasil penelitian menunjukkan suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan respirasi kambing Boerawa pada dataran rendah (P1) dan dataran tinggi (P2) berbeda sangat

nyata (P<0,01). Kambing Boerawa di dataran tinggi memiliki respon fisiologis yang lebih baik dibandingkan Kambing Boerawa di dataran rendah. Rata-rata suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan respirasi ternak kambing Boerawa jantan yaitu masing-masing sebesar 39,25 0,0540C dan 39,06 0,078 0C; 77 0,847 kali/menit dan 72

0,563 kali/menit; 31 0,407 kali/menit dan 25 0,877 kali/menit.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C.Kegunaan Penelitian ... 3

D.Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A.Kambing Boerawa ... 7

B. Dataran Tinggi dan Dataran Rendah ... 8

C.Temperatur Lingkungan ... 9

1. Udara ... 10

2. Kelembaban lingkungan... 11

3. Radiasi matahari... ... 12

4. Angin... ... 13

D.Fisiologis Ternak... 13

1. Frekuensi denyut jantung ... 15

2. Respirasi... ... 16


(6)

A.Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 18

1. Alat penelitian ... 18

2. Bahan penelitian ... 18

C.Metode Penelitian ... 19

1. Rancangan penelitian... .. 19

2. Analisis data... ... 19

D.Peubah yang Diamati ... 19

1. Frekuensi denyut jantung ... 19

2. Respirasi... ... 20

3. Suhu rektal... ... 20

E. Pelaksanaan Penelitian ... 20

1. Penentuan umur... .... 20

2. Penimbangan bobot badan... .... 20

3. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dan lingkungan .... 20

4. Pengukuran fisiologis... .... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

A. Keadaan Iklim di Lokasi Penelitian ... 22

B. Pengaruh Dataran Terhadap Suhu Rektal Frekuensi Denyut Jantung dan Respirasi Kambing Boerawa Jantan ... 24

1. Pengaruh dataran terhadap frekuensi denyut jantung kambing boerawa jantan ... 25

2. Pengaruh dataran terhadap respirasi kambing boerawa jantan ... 27

3. Pengaruh dataran terhadap suhu rektal kambing boerawa jantan ... 28

V. KESIMPULAN ... 31 DAFTAR PUSTAKA


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011, populasi kambing di Provinsi Lampung mencapai 997.412 ekor hingga 1.090.647 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2011). Kambing berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai ternak piaraan untuk tabungan hidup, usaha sampingan bahkan usaha berskala besar. Kambing memiliki hasil produksi seperti susu dan daging yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

Tahun 2011, produksi daging di Provinsi Lampung hanya 2.912 ton/tahun sedangkan kebutuhannya sebanyak 4.334 ton/tahun (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2011). Hal ini berarti kebutuhan daging tersebut belum terpenuhi dengan produksi kambing sebagai ternak penghasil daging yang cukup sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan

produktivitasnya.

Genetik dan lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak. Kemampuan berproduksi pada ternak ditentukan oleh faktor genetik,


(8)

sedangkan faktor pendukung agar ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya merupakan fungsi dari faktor lingkungan. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap penampilan produksi seekor ternak. Hal ini dibuktikan bahwa keunggulan genetik suatu bangsa ternak tidak akan ditampilkan optimal apabila faktor lingkungannya tidak sesuai

(Rumetor, 2003). Faktor lingkungan tersebut antara lain pakan, pengelolaan, perkandangan, pemberantasan dan pencegahan penyakit serta faktor iklim, baik iklim mikro maupun iklim makro.

Iklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor lingkungan yang lain. Iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia sehingga untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus menyesuaikan dengan iklim setempat.

Iklim mikro dan makro dapat berpengaruh langsung dan tidak langsung tehadap penampilan produktivitas ternak. Pengaruh langsungnya adalah suhu panas, sedangkan pengaruh tidak langsungnya adalah kesediaan hijauan pakan ternak yang cepat tua dan menyebabkan tingginya serat kasar, sehingga ternak menderita stress atau ternak merasa tidak nyaman yang berakibat terhadap penurunan

produksi dan reproduksi ternak (Payne, 1970).

Iklim merupakan bagian terpenting dari penentuan kerja status faali yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak. Penentuan status faali dari ternak sangat penting untuk diketahui karena dengan mengetahui status faali pada ternak, para peternak dapat menentukan dan menemukan pengaruh lingkungan


(9)

3 yang baik dan buruk terhadap ternak serta mengetahui temperatur dan kelembaban yang cocok untuk ternak agar dapat berproduksi dengan baik dan efisien.

Daerah dengan ketinggian rendah (100--450 mdpl) memiliki suhu yang relatif normal dengan kelembaban yang stabil, sedangkan pada daerah tinggi (>450 mdpl) memiliki suhu yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi (Liem, 2004). Kelembaban udara yang tinggi akan mempengaruhi produktivitas ternak khususnya pada suhu lingkungan yang tinggi karena akan menghambat proses pembuangan panas melalui penguapan dari permukaan tubuh (Esmay, 1978).

Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai respon fisiologi ternak kambing Boerawa jantan di dataran rendah dan dataran tinggi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan respon fisiologi kambing Boerawa jantan di dataran rendah dan dataran tinggi.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting kepada masyarakat dan para peternak khususnya tentang respon fisiologi kambing

Boerawa jantan di dataran rendah dan dataran tinggi sehingga produktivitas ternak menjadi optimal dan dapat membantu pengembangan populasi kambing di


(10)

D. Kerangka Pemikiran

Lampung merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan ternak kambing salah satunya adalah kambing Boerawa. Kambing Boerawa adalah hasil

persilangan antara kambing Boer dan Peranakan Ettawah (PE). Kambing Boerawa merupakan jenis ternak ruminansia yang memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap berbagai keadaan lingkungan, laju pertumbuhan yang cepat, dan mampu memanfaatkan berbagai jenis hijauan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia lain seperti domba dan sapi sehingga kambing dapat hidup dan berkembang biak sepanjang tahun.

Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus dan Negerisakti Kecamatan Gedongtataan Kabupaten Pesawaran memiliki potensi alam yang cukup besar untuk mengembangkan ternak kambing termasuk kambing Boerawa. Kecamatan Gisting terletak di dataran tinggi yaitu pada 650 m di atas permukaan air laut, memiliki rata-rata suhu udara 180--32 0C, kelembaban udara 65--100%, dan curah hujan 3.500 mm/tahun (Monografi Kecamatan Gisting, 2005). Negerisakti

Kecamatan Gedongtataan terletak di dataran rendah yaitu pada 300 m di atas permukaan laut, memiliki rata-rata suhu udara 240--30 0C, kelembaban udara 50--85% (Monografi Negeri Sakti Kecamatan Gedongtataan, 2007). Menurut Smith dan Mangkuwidjojo (1988), daerah nyaman bagi kambing berkisar antara 18 0C sampai 300C.

Daerah dengan ketinggian rendah (6--100 mdpl) memiliki suhu yang relatif tinggi dengan kelembaban rendah, daerah dengan ketinggian sedang (100--450 mdpl) memiliki suhu yang relatif normal dengan kelembaban yang stabil, sedangkan


(11)

5 pada daerah tinggi (>450 mdpl) memiliki suhu relatif rendah dengan kelembaban yang tinggi (Liem, 2004).

Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ternak ialah iklim.

Perubahan iklim seperti suhu dan kelembaban udara akan nyata mempengaruhi respons fisiologi ternak, seperti suhu rektal, frekuensi pernapasan dan denyut jantung (Purwanto, et al., 1991). Suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat menghambat proses pembuangan panas melalui penguapan dari permukaan tubuh (Esmay, 1978).

Menurut Esmay (1978), bila terjadi cekaman panas akibat temperatur lingkungan yang cukup tinggi maka akan menyebabkan frekuensi pulsus ternak akan

meningkat, hal ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh.

Suhu rektal, denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan jumlah sel darah dalam tubuh merupakan petunjuk praktis yang erat kaitannya dengan respon fisiologis ternak terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, kambing harus dipelihara pada ketinggian tempat yang sesuai sehingga proses fisiologis dalam tubuh dapat berjalan secara normal dan produktivitas yang optimum dapat tercapai.


(12)

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kambing Boerawa jantan yang berada di dataran tinggi memiliki respon fisiologi yang lebih baik


(13)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kambing Boerawa

Kambing Boerawa merupakan jenis kambing persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing merupakan hewan yang dijinakkan oleh manusia. Kambing yang dikenal sekarang diperkirakan dari keturunan kambing liar yang hidup di lereng-lereng pegunungan. Kambing memiliki kebiasaan makan dengan cara berdiri, mencari daun-daunan yang berada di atas, dan tidak senang mengelompok (Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian, 1986).

Kambing Boerawa saat ini telah berkembang biak dan menjadi salah satu komoditi ternak unggulan Propinsi Lampung. Perkembangan kambing Boerawa yang pesat tersebut berkaitan erat dengan potensi Propinsi Lampung yang besar dalam penyediaan pakan ternak, baik hijauan maupun limbah pertanian,

perkebunan, dan agroindustri (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2004).

Kambing tersebut dipelihara oleh masyarakat sebagai penghasil daging karena laju pertumbuhannya yang tinggi dengan postur tubuh yang kuat dan tegap sehinga harga jualnya juga tinggi dan permintaan pasar terhadap kambing Boerawa tingi (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2011).


(14)

Kambing dapat diklasifikasikan berdasarkan asal-usul, kegunaan, besar tubuh, dan bentuk serta panjang telinganya (Williamson dan Payne, 1993). Kambing

Boerawa memiliki ciri - ciri diantara kambing Boer dengan kambing PE sebagai tetuanya. Kambing Boerawa memiliki telinga yang agak panjang dan terkulai ke bawah sesuai dengan ciri - ciri kambing PE, namun memiliki bobot tubuh yang lebih berat daripada kambing PE, yang diwariskan dari kambing Boer dengan profil muka yang sedikit cembung dan pertambahan bobot tubuh 0,17 kg/hari (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2011). Selain itu, kambing Boerawa juga memiliki badan yang lebih besar dan padat yaitu dapat mencapai 40 kg pada umur 8 bulan dibandingkan dengan kambing PE yang beratnya hanya mencapai 28 kg, sehinggga jumlah daging yang dihasilkan lebih banyak (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2004).

B. Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Ketinggian dataran dapat dibagi menjadi 3 wilayah yaitu wilayah rendah atau dataran rendah, wilayah pertengahan atau dataran sedang, dan wilayah dataran tinggi. Wilayah rendah atau dataran rendah yang merupakan bagian dari muka bumi yang letaknya antara 6--100 m dari permukaan laut sampai wilayah endapan. Istilah ini diterapkan pada kawasan manapun dengan hamparan yang luas dan relatif datar yang berlawanan dengan dataran tinggi.

Suhu udara di dataran rendah, khususnya untuk wilayah Indonesia berkisar antara 23°C sampai dengan 28°C sepanjang tahun. Pada wilayah dataran tinggi, suhu


(15)

9 udara jauh lebih dingin dibandingkan dengan dataran rendah. Tingkat kelembaban udara dan curah hujan yang berlangsung juga cukup tinggi.

Kriteria dataran rendah ditandai dengan suhu udara yang tinggi dan tekanan udara maupun oksigen yang tinggi (Hafez, 1968).

Wilayah pertengahan atau dataran sedang adalah bagian wilayah yang terletak antara 100--450 m dari permukaan laut, permukaan buminya sudah tidak lagi datar dan mulai terasa segar dan memiliki suhu berkisar antara 22°C--17,1°C; Sedangkan wilayah pegunungan atau dataran tinggi adalah wilayah dengan ketinggian di atas 450 m dari permukaan laut dan sudah berbeda gambaran umum daerah tropis (panas, lembap, pengab), udara terasa sejuk sampai dingin dan banyak turun hujan, suhunya berkisar antara 17,1°C--11,1°C (Liem, 2004).

Wilayah dataran tinggi adalah daerah berbentuk datar di permukaan bumi yang mempunyai ketinggian lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Dataran tinggi biasanya memiliki suhu udara yang sejuk sehingga dapat digunakan untuk

pengembangan daerah peternakan. Tidak semua dataran tinggi di atasnya sempit, melainkan terdapat pula dataran tinggi yang puncaknya datar dan cukup luas, dataran tinggi semacam ini biasa disebut plato. Dataran tinggi terbentuk sebagai hasil erosi dan sedimensi (Liem, 2004).

C. Temperatur Lingkungan

Temperatur lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan biasanya diekspresikan dalam skala derajat celsius. Secara umum, temperatur lingkungan adalah faktor bioklimat tunggal yang penting bagi ternak agar dapat


(16)

hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal. Temperatur

lingkungan yang sesuai untuk ternak kambing adalah 13--18 oC atau Temperature Humidity Index (THI) < 72. Setiap hewan mempunyai kisaran temperatur

lingkungan yang paling sesuai yang disebut Comfort Zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10°C--27°C (50°F--80°F). (Sientje, 2003).

Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu : 1. Abiotik : semua faktor fisik dan kimia

2. Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan seksual.

Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam

menyebabkan stres fisiologis. Komponen lingkungan abiotik yang berpengaruh nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban, curah hujan, angin dan radiasi matahari (Sientje, 2003).

Faktor lingkungan fisik yang mempunyai peranan penting dalam produksi ternak yaitu udara, kelembaban lingkungan, radiasi matahari, dan kecepatan angin.

1. Udara

Suhu lingkungan merupakan sebuah ukuran dari intensitas panas dalam artian sebuah unit standar dan biasanya ditunjukkan dalam satuan derajat Celcius (°C). Dalam kaitan dengan istilah umum untuk panas dalam arti fisiologis, suhu udara merupakan rataan suhu dari lingkungan baik yang berupa udara maupun air di


(17)

11 sekitar tubuh ternak (Bligh dan Johnson, 1973). Suhu lingkungan nyaman untuk ternak bekisar 18--30°C. (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

2. Kelembaban Lingkungan

Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran

pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada

temperatur dan tekanan yang sama. Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Sientje, 2003).

Iklim di Indonesia adalah Super Humid atau panas basah yaitu klimat yang ditandai dengan panas yang konstan, hujan dan kelembaban yang terus menerus. Temperatur udara berkisar antara 21.11°C--37.77°C dengan kelembaban relatir 55--100 persen (Umar, 1991). Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan stres pada ternak sehingga suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung meningkat, serta konsumsi pakan menurun, akhirnya menyebabkan produktivitas ternak rendah.

Iklim berpengaruh langsung dan tidak langsung tehadap penampilan produktivitas ternak. Pengaruh langsungnya adalah suhu lingkungan tinggi, sedangkan


(18)

yang menyebabkan tingginya serat kasar, sehingga ternak menderita stress atau ternak merasa tidak nyaman yang berakibat terhadap penurunan produksi dan reproduksi ternak (Payne, 1970).

Rosenberg (1983) mendefinisikan iklim mikro sebagai keadaan iklim daerah yang terlindungi, sedangkan Gebremedhin (1985) dan Payne (1970) mendifinisikan iklim mikro sebagai interaksi beberapa faktor iklim di lokasi yang spesifik atau keadaan iklm disekitar ternak berada.

Iklim makro merupakan iklim suatu negara, benua, atau daerah tertentu. Iklim tersebut menurut sifat pokoknya (letak geografis, tinggi diatas permukaan laut, pesisir laut, arah angin, berhubungan dengan pegunungan) berhubungan dengan suhu rata-rata, kelembaban udara serta kemusiman yang menciptakan ciri khas tertentu yang digolongkan sebagai daerah tropis lembab (daerah hutan hujan tropis, daerah musim, dan savana lembab), daerah tropis kering (daerah padang pasir dan daerah savana kering), daerah pegunungan (Lippsmeter, 1994).

3. Radiasi Matahari

Menurut Sientje (2003), radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua sumber utama yaitutemperatur matahari yang tinggi dan. radiasi termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir. Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari, penting untuk mendesain perkandangan ternak, karena dapat mempengaruhi proses fisiologi ternak.

Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak.. Mamalia dapat bertahan hidup dan berkembang pada suatu lingkungan termal


(19)

13 yang tidak disukai, tergantung pada kemampuan ternak itu sendiri dalam

menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah laku secara efisien untuk mempertahankan keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan (Sientje, 2003).

4. Angin

Angin diturunkan oleh pola tekanan yang luas dalam atmosfir yang berhubungan dengan sumber panas atau daerah panas dan dingin pada atmosfir. Kecepatan angin selalu diukur pada ketinggian tempat ternak berada. Hal ini penting karena transfer panas melalui konveksi dan evaporasi di antara ternak dan lingkungannya dipengaruhi oleh kecepatan angin (Sientje, 2003).

D. Fisiologis Ternak

Respon fisiologis ternak adalah usaha ternak dalam rangka merespon kondisi tubuhnya dari lingkungan berupa cekaman panas atau cekaman dingin. Performan ternak dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan yang buruk, peralatan dan fasilitas penangan ternak mengakibatkan perubahan fisiologis dan tingkah laku ternak (Brody, 1948).

Ketinggian tempat erat hubungannya dengan suhu dan kelembaban lingkungan tempat ternak dipelihara yang secara nyata mempengaruhi respon fisiologis ternak, seperti suhu rektal, frekuensi pernapasan, denyut jantung, dan jumlah sel darah dalam tubuh (Purwanto, etal., 1991).


(20)

Termoregulasi atau pengaturan keseimbangan panas merupakan upaya ternak atau hewan untuk mempertahankan suhu tubuh agar relatif konstan terhadap

perubahan-perubahan lingkungan yang berlebihan (Robertshaw, 1985).

Pengaturan suhu tubuh mamalia terdapat dua jenis sensor pengatur suhu, yaitu sensor panas dan sensor dingin yang berbeda tempat pada jaringan sekeliling (penerima di luar) dan jaringan inti (penerima di dalam) dari tubuh. Dari kedua jenis sensor ini, isyarat yang diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan kemudian dikirim ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan produksi panas untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh. Setelah itu terjadi umpan balik, dimana isyarat, diterima kembali oleh sensor panas dan sensor dingin melalui peredaran darah (Bligh dan Johnson, 1985).

Cekaman panas pada ternak akan menyebabkan terjadinya penurunan kondisi pakan, produksi susu, dan bobot badan. Penurunan tersebut dikarenakan ternak berusaha menurunkan produksi panas yang berasal dari tambahan panas (heat gain) dari luar tubuh, dengan cara mengeluarkan beban panas yang diterimanya dengan evaporasi melalui saluran pernapasan. Menurut Morrison (1972), cekaman panas selain disebabkan oleh temperatur yang tinggi, dapat juga disebabkan oleh kelembaban udara yang tinggi, radiasi, suhu, dan aliran udara yang lamban

Bligh dan Johnson (1985) mengatakan jika suhu lingkungan panas maka terjadi peningkatan denyut jantung dan frekuensi pemapasan sehingga panas tubuh langsung diedarkan oleh darah kepermukaan kulit untuk dikeluarkan secara radiasi, konveksi, konduksi, maupun evaporasi (penguapan). Sebaliknya jika suhu


(21)

15 lingkungan dingin maka produksi panas akan digunakan untuk menjaga

keseimbangan panas tubuh agar suhu tubuh tidak turun

Peningkatan suhu tubuh yang merupakan fungsi dari suhu rektal dan suhu kulit, akibat kenaikan suhu udara, akan meningkatkan aktivitas penguapan melalui keringat dan peningkatan jumlah panas yang dilepas paersatuan luas permukaan tubuh. Demikian juga dengan naiknya frekuensi nafas akan meningkatkan jumlah panas persatuan waktu yang dilepaskan melalui saluran pernapasan (Mc Lean dan Calvert, 1972), oleh sebab itu ternak harus mengadakan penyesuaian secara fisiologis agar suhu tubuhnya tetap konstan (38,5--40°C). Untuk mempertahankan kisaran suhu tubuhnya, ternak memerlukan keseimbangan antara produksi panas dengan panas yang dilepaskan tubuhnya (Yusuf, 2007).

1. Frekuensi Denyut Jantung

Frekuensi denyut jantung dapat dideteksi melalui denyut jantung yang

dirambatakan pada dinding rongga dada atau pada pembuluh nadinya. Frekuensi denyut jantung bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu lingkungan. Disebutkan pula bahwa hewan muda mempunyai denyut nadi yang lebih frekuen daripada hewan tua. Frekuensi denyut nadi kambing normal berkisar antara 70--80 kali per menit (Duke’s 1995).

Pada suhu lingkungan tinggi, denyut jantung meningkat. Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk mensuplai O2 dan nutrien melalui peningkatan aliran darah dengan jalan


(22)

peningkatan denyut jantung. Bila terjadi cekaman panas akibat temperatur

lingkungan yang tinggi maka frekuensi denyut jantung ternak akan meningkat, hal ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh.

2. Respirasi

Respirasi adalah semua proses kimia maupun fisika berupa pertukaran udara dengan lingkungannya yang dilakukan oleh organisme. Respirasi menyangkut dua proses, yaitu respirasi eksteral dan respirasi internal. Terjadinya pergerakan karbon dioksida ke dalam udara alveolar ini disebut respirasi eksternal. Respirasi internal dapat terjadi apabila oksigen berdifusi ke dalam darah. Respirasi eksternal tergantung pada pergerakan udara kedalam paru-paru (Frandson, 1992).

Respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui fungsi organ-organ tubuh bekerja secara normal. Pengukuran terhadap parameter terhadap fisiologis yang biasa dilakukan di lapangan tanpa alat-alat laboratorium adalah pengukuran respirasi, detak jantung dan temperatur tubuh (Kasip, 1995). Respirasi kambing normal berkisar antara 25-54 kali/menit (Frandson, 1992).

3. Suhu Rektal

Suhu rektal digunakan sebagai ukuran temperatur suhu tubuh karena pada suhu rektum merupakan suhu yang optimal. Suhu rektal kambing normal berkisar antara 38,7- 40,7 0C (Williamson dan Payne, 1993). Untuk mempertahankan agar


(23)

17 suhu tubuhnya tetap berada pada kondisi normal adalah dengan cara melepaskan panas melalui saluran pernapasan. Esmay (1978) menyatakan bahwa, untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh agar mencapai suhu tubuh normal dengan melakukan pembuangan panas dari tubuh dilakukan dengan peningkatan frekuensi pernapasan.

Hewan homeoterm sudah mempunyai pengatur panas tubuh yang telah berkembang biak. Temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan pencernaan.

Produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung bergantung pada makanan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dan saluran pencernaan


(24)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2012 – Desember 2012. Pengambilan data dilakukan di dataran rendah (Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran) dan dataran tinggi (Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus).

B. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : thermohigrometer, timbangan dengan kapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg untuk mengukur berat sampel, alat tulis, alat hitung, dan kamera.

2. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah ternak kambing Boerawa yang ada di dataran rendah (Desa Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran) dan dataran tinggi (Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus) masing-masing sebanyak 30 ekor dengan umur satu tahun.


(25)

19 C. Metode Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode

Survei Purposive Random Sampling di Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten

Tanggamus, Provinsi Lampung dan di Negerisakti, Kecamatan Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Kambing sampel diambil dari beberapa desa di Campang dan Negerisakti yang memiliki populasi kambing Boerawa dengan presentase pengambilan sampel sama besar (proposional). Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer. Data primer diperoleh dari penentuan umur kambing sampel, pengukuran fisiologi ternak kambing Boerawa yaitu penimbangan bobot tubuh, pengukuran suhu rektal, frekuensi denyut jantung dan respirasi kambing sampel, pengukuran suhu dan kelembapan kandang serta lingkungan melalui pengamatan langsung ke lapangan.

2. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji-t.

D. Peubah yang Diamati

1. Frekuensi Denyut Jantung

Frekuensi denyut jantung dapat dihitung dengan menempelkan telapak tangan atau stetoskop pada dinding rongga dada atau pada pembuluh nadinya. Frekuensi denyut jantung bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu lingkungan (Hartono, et al, 2002).


(26)

2. Respirasi

Pengukuran respirasi dilakukan dengan menghitung pergerakan kembang kempisnya perut selama 1 menit (Hartono, et al, 2002).

3. Suhu Rektal.

Suhu rektal diukur dengan menggunakan thermometer yang dimasukkan ke dalam rektal kambing selama 5 menit (Hartono, et al, 2002).

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan Umur

Umur kambing yang dipakai seragam. Umur kambing adalah 1 tahun. Penentuan umur kambing berdasarkan atas susunan gigi dan informasi langsung dari pemilik kambing tersebut.

2. Penimbangan Berat Badan.

Berat badan kambing Boerawa jantan yang dipakai seragam yaitu 25kg. Penimbangan kambing dilakukan satu kali pada awal penelitian dengan menggunakan timbangan berkapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg.

3. Pengukuran Suhu dan Kelembapan Kandang dan Lingkungan.

Pengukuran suhu kandang dan lingkungan ternak dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu yaitu pagi pada pukul 07.00 WIB, siang pada pukul 13.00 WIB, dan sore pada pukul 17.00 WIB dengan menggunakan thermohigrometer.


(27)

21 4. Pengukuran Fisiologis Ternak

Pengukuran suhu rektal, frekuensi pernapasan (respirasi), dan frekuensi denyut jantung dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 07.00 WIB, siang pada pukul 13.00 WIB, dan sore pada pukul 17.00 WIB. Masing-masing tempat dilakukan pengukuran respon fisiologis ternak setiap 3 hari sekali selama 1 bulan dengan jumlah kambing 30 ekor di setiap tempat.


(28)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan dataran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap respon fisiologis kambing Boerawa Jantan yang dipelihara di dataran rendah (P1) dan dataran tinggi (P2). Kambing Boerawa Jantan yang berada di dataran tinggi

(P2) memiliki respon fisiologis yang lebih baik dibandingkan Kambing Boerawa

Jantan yang berada di dataran rendah (P1). Rata-rata suhu rektal, frekuensi denyut

jantung, dan respirasi ternak kambing Boerawa jantan di dataran rendah (P1) sebesar

39,25 0C; 77 kali/menit; 31 kali/menit; sedangkan yang dipelihara di dataran tinggi (P2) sebesar 39,057 0C; 72 kali/menit; 25 kali/menit.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dan simpulan yang telah dikemukakan dapat disampaikan saran yaitu

1. Bagi pemerintah atau peternak, disarankan agar lebih mengembangkan peternakan kambing Boerawa pada dataran tinggi karena memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang baik untuk ternak kambing;

2. Masyarakat khususnya peternak yang berada di dataran rendah (P1) jika

memelihara kambing Boerawa sebaiknya memodifikasi kandang agar suhu dan kelembaban kandang menjadi seperti di daerah dataran tinggi (P2).


(29)

DAFTAR PUSTAKA

Adisuwryo, D, Soetrisno, dan S.J.A. Setyawatl. 2001. Dasar Fisiologi Ternak. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto

Anonimus. 2010. Monografi Kecamatan Gisting dan Kecamatan Negerisakti. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pesawaran. Provinsi Lampung

Badan Pusat Statistik. 1992. “Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung”. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 13 Januari 2012

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 1986. Beternak Kambing. Departemen Pertanian. Nusa Tenggara Barat

Barry, D. M. dan R. A. Godke. 2005. The Boer Goat the Potential for Cross Breeding Department of Animal Scien. LSU. Agricultural Center Lousiana State

University. Baton Rouse. Lousiana

Bligh, J. and K. G. Johnson. 1973. Glosary of terms for thermal physiology. J. appl. Physiology., 35:941

Brody, S. 1948. “Environmental physiology with special reference to animal: J.

Physiological Backgrounds”. Miss. Agr. Exp. Sta. Res. Bull. No 423

Cahyono, B. 1999. Beternak Kambing dan Domba. Kanisius. Yogyakarta Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Institut

Teknologi Bandung. Bandung

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2011. Peternakan Lampung Produk Unggulan Peluang Investasi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Lampung

Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 15 April 2012

Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing : New York


(30)

Esmay, M. L. 1978. Principle of Animal environmental. AVI Publishing Company, Inc. Wespost, Connecticut

Fitra, A. P., Simon, E., dan Fera, M. 2005. Respon Fisiologi Kambing Boer Pada Kondisi Iklim Tropis Basah. Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Sumatra Utara

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Gebremedhin. 1985. The Goats of Indonesia. FAO Regional Office. Bangkok Ginting, S. P. 2009. Pedoman Teknis Pemeliharaan Induk dan Anak Kambing Masa

Pra-sapih. Loka Penelitian Kambing Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Medan

Hafez, E. S. E. 1968. Adaptasion of Domestic Animal. Lea and Fabinge. Philadelpia Hardjosubroto, W. dan J. V. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia

Widiasarana Indonesia. Jakarta

Hartono, M., S. Suharyati, dan P. E. Santoso. 2002. “Dasar Fisiologi Ternak”. Penuntun Praktikum. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Kasip. 1995. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya, Jakarta. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta

Liem. 2004. “Pengelolaan Berbasis Birogion”.

http://www.walhi.or.id/bioregion/nas/peng_basis_bioreg/. Diakses pada 27 Februari 2012 pukul 21.19 WIB

Lippsmeter, G. 1994. Bangunan Tropis. Erlangga. Jakarta

Mc Dowell, R. E. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. W.H. Freeman and Company, San Fransisco

Mc Lean and Calvert. 1972. “Production of Boer Goat in Germany”. Boer Goat News. 4:25—26. http://boergoat.com/clean/articles

Morrison. 1972. ”A World Dictionary of Livestock, Breeds, Types, and Varieties”. Fourth Ed. The English Language Book Soc. CAB International, Wallingford. Oxon


(31)

34 Purwanto., W. Hardjosubroto, Kustono, dan Ngadiyono. 1991 “Performan produksi

dan reproduksi kambing Peranakan Etawah dan Bligon”. Prosiding Seminar

Nasional Peternakan. 104—108. Yogyakarta

Robertshaw, D. 1985. “Heat Lost of Cattle”. In: M. K. Yousef. Stress Physiology of

Livestock. Vol. 1. RCR Press, Inc. Boca Raton, Florida. P. 55 Rosenberg. 1983. “Goat Production in The Tropic”.

http://boergoat.com/clean/articles. Diakses pada 1 April 2010

Rumetor. 2003. Responses of lactacing Holstein cows to chilled drinking water in high ambient temperatures. J.Dairy Sci. 73:1091 -1099

Sarwono, B. 1994. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta

Sientje. 2003. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Fisiologi Ternak Kambing. Makalah Falsafah Sains (PPs 702)Program Pasca Sarjana /S3Institut Pertanian Bogor Mei 2003

Smith dan Mangkuwidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Sosroamidjojo. 1990. Peternakan Umum. CV. Yasaguna. Jakarta

Steel, C. J. dan J. H. Torrie.1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia. Jakarta

Sulastri. 2007. ”Estimasi Parameter Genetik Sifat-Sifat Pertumbuhan Kambing

Boerawa di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus”.

Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Umar, Ar. 1991. Pengaruh frekuensi penyiraman/memandikan terhadap status faali Sapi Perah yang dipelihara di Bertais Kabupaten Lombok Barat. Prosiding Fisiologi Ternak Tracback. University Press, Mataram

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija, D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Yusuf, M. K. 2007. Physiology Stress in Livestock. CRC Press, Inc. Boca Raton.

Florida


(1)

20 2. Respirasi

Pengukuran respirasi dilakukan dengan menghitung pergerakan kembang kempisnya perut selama 1 menit (Hartono, et al, 2002).

3. Suhu Rektal.

Suhu rektal diukur dengan menggunakan thermometer yang dimasukkan ke dalam rektal kambing selama 5 menit (Hartono, et al, 2002).

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Penentuan Umur

Umur kambing yang dipakai seragam. Umur kambing adalah 1 tahun. Penentuan umur kambing berdasarkan atas susunan gigi dan informasi langsung dari pemilik kambing tersebut.

2. Penimbangan Berat Badan.

Berat badan kambing Boerawa jantan yang dipakai seragam yaitu 25 kg. Penimbangan kambing dilakukan satu kali pada awal penelitian dengan menggunakan timbangan berkapasitas 50 kg yang berskala 0,5 kg.

3. Pengukuran Suhu dan Kelembapan Kandang dan Lingkungan.

Pengukuran suhu kandang dan lingkungan ternak dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu yaitu pagi pada pukul 07.00 WIB, siang pada pukul 13.00 WIB, dan sore pada pukul 17.00 WIB dengan menggunakan thermohigrometer.


(2)

4. Pengukuran Fisiologis Ternak

Pengukuran suhu rektal, frekuensi pernapasan (respirasi), dan frekuensi denyut jantung dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pagi pada pukul 07.00 WIB, siang pada pukul 13.00 WIB, dan sore pada pukul 17.00 WIB. Masing-masing tempat dilakukan pengukuran respon fisiologis ternak setiap 3 hari sekali selama 1 bulan dengan jumlah kambing 30 ekor di setiap tempat.


(3)

31

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan dataran berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap respon fisiologis kambing Boerawa Jantan yang dipelihara di dataran rendah (P1) dan dataran tinggi (P2). Kambing Boerawa Jantan yang berada di dataran tinggi (P2) memiliki respon fisiologis yang lebih baik dibandingkan Kambing Boerawa Jantan yang berada di dataran rendah (P1). Rata-rata suhu rektal, frekuensi denyut jantung, dan respirasi ternak kambing Boerawa jantan di dataran rendah (P1) sebesar 39,25 0C; 77 kali/menit; 31 kali/menit; sedangkan yang dipelihara di dataran tinggi (P2) sebesar 39,057 0C; 72 kali/menit; 25 kali/menit.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dan simpulan yang telah dikemukakan dapat disampaikan saran yaitu

1. Bagi pemerintah atau peternak, disarankan agar lebih mengembangkan peternakan kambing Boerawa pada dataran tinggi karena memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang baik untuk ternak kambing;

2. Masyarakat khususnya peternak yang berada di dataran rendah (P1) jika

memelihara kambing Boerawa sebaiknya memodifikasi kandang agar suhu dan kelembaban kandang menjadi seperti di daerah dataran tinggi (P2).


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adisuwryo, D, Soetrisno, dan S.J.A. Setyawatl. 2001. Dasar Fisiologi Ternak. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto

Anonimus. 2010. Monografi Kecamatan Gisting dan Kecamatan Negerisakti. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pesawaran. Provinsi Lampung

Badan Pusat Statistik. 1992. “Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung”. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 13 Januari 2012

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 1986. Beternak Kambing. Departemen Pertanian. Nusa Tenggara Barat

Barry, D. M. dan R. A. Godke. 2005. The Boer Goat the Potential for Cross Breeding Department of Animal Scien. LSU. Agricultural Center Lousiana State

University. Baton Rouse. Lousiana

Bligh, J. and K. G. Johnson. 1973. Glosary of terms for thermal physiology. J. appl. Physiology., 35:941

Brody, S. 1948. “Environmental physiology with special reference to animal: J.

Physiological Backgrounds”. Miss. Agr. Exp. Sta. Res. Bull. No 423 Cahyono, B. 1999. Beternak Kambing dan Domba. Kanisius. Yogyakarta Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Institut

Teknologi Bandung. Bandung

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2011. Peternakan Lampung Produk Unggulan Peluang Investasi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Lampung

Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung. http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 15 April 2012

Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing : New York


(5)

33 Esmay, M. L. 1978. Principle of Animal environmental. AVI Publishing Company,

Inc. Wespost, Connecticut

Fitra, A. P., Simon, E., dan Fera, M. 2005. Respon Fisiologi Kambing Boer Pada Kondisi Iklim Tropis Basah. Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Sumatra Utara

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Gebremedhin. 1985. The Goats of Indonesia. FAO Regional Office. Bangkok Ginting, S. P. 2009. Pedoman Teknis Pemeliharaan Induk dan Anak Kambing Masa

Pra-sapih. Loka Penelitian Kambing Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Medan

Hafez, E. S. E. 1968. Adaptasion of Domestic Animal. Lea and Fabinge. Philadelpia Hardjosubroto, W. dan J. V. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia

Widiasarana Indonesia. Jakarta

Hartono, M., S. Suharyati, dan P. E. Santoso. 2002. “Dasar Fisiologi Ternak”. Penuntun Praktikum. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Kasip. 1995. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Penebar Swadaya, Jakarta. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta Liem. 2004. “Pengelolaan Berbasis Birogion”.

http://www.walhi.or.id/bioregion/nas/peng_basis_bioreg/. Diakses pada 27 Februari 2012 pukul 21.19 WIB

Lippsmeter, G. 1994. Bangunan Tropis. Erlangga. Jakarta

Mc Dowell, R. E. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. W.H. Freeman and Company, San Fransisco

Mc Lean and Calvert. 1972. “Production of Boer Goat in Germany”. Boer Goat News. 4:25—26. http://boergoat.com/clean/articles

Morrison. 1972. ”A World Dictionary of Livestock, Breeds, Types, and Varieties”. Fourth Ed. The English Language Book Soc. CAB International, Wallingford. Oxon


(6)

Purwanto., W. Hardjosubroto, Kustono, dan Ngadiyono. 1991 “Performan produksi

dan reproduksi kambing Peranakan Etawah dan Bligon”. Prosiding Seminar

Nasional Peternakan. 104—108. Yogyakarta

Robertshaw, D. 1985. “Heat Lost of Cattle”. In: M. K. Yousef. Stress Physiology of

Livestock. Vol. 1. RCR Press, Inc. Boca Raton, Florida. P. 55 Rosenberg. 1983. “Goat Production in The Tropic”.

http://boergoat.com/clean/articles. Diakses pada 1 April 2010

Rumetor. 2003. Responses of lactacing Holstein cows to chilled drinking water in high ambient temperatures. J.Dairy Sci. 73:1091 -1099

Sarwono, B. 1994. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta

Sientje. 2003. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Fisiologi Ternak Kambing. Makalah Falsafah Sains (PPs 702)Program Pasca Sarjana /S3Institut Pertanian Bogor Mei 2003

Smith dan Mangkuwidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Sosroamidjojo. 1990. Peternakan Umum. CV. Yasaguna. Jakarta

Steel, C. J. dan J. H. Torrie.1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia. Jakarta

Sulastri. 2007. ”Estimasi Parameter Genetik Sifat-Sifat Pertumbuhan Kambing

Boerawa di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus”. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Umar, Ar. 1991. Pengaruh frekuensi penyiraman/memandikan terhadap status faali Sapi Perah yang dipelihara di Bertais Kabupaten Lombok Barat. Prosiding Fisiologi Ternak Tracback. University Press, Mataram

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija, D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Yusuf, M. K. 2007. Physiology Stress in Livestock. CRC Press, Inc. Boca Raton.

Florida