Aplikasi Metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism (PCR-RFLP) Untuk Deteksi Mutasi Promoter inhA Pada Pasien Multidrug Resistant Mycobacterium Tuberculosis (MDR-TB).

(1)

APLIKASI METODE

POLYMERASE CHAIN

REACTION

-

RESTRICTION FRAGMENT LENGTH

POLYMORPHISM

(PCR-RFLP) UNTUK

DETEKSI MUTASI PROMOTER

inhA

PADA PASIEN

MULTIDRUG RESISTANT Mycobacterium tuberculosis

(MDR-TB)

Skripsi

IDA AYU RATIH DWI NUGRAHA PUTRI 1208505001

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

i

APLIKASI METODE

POLYMERASE CHAIN

REACTION

-

RESTRICTION FRAGMENT LENGTH

POLYMORPHISM

(PCR-RFLP) UNTUK

DETEKSI MUTASI PROMOTER

inhA

PADA PASIEN

MULTIDRUG RESISTANT Mycobacterium tuberculosis

(MDR-TB)

Skripsi

IDA AYU RATIH DWI NUGRAHA PUTRI 1208505001

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

ii

Lembar Pengesahan

APLIKASI METODE

POLYMERASE CHAIN

REACTION

-

RESTRICTION FRAGMENT LENGTH

POLYMORPHISM

(PCR-RFLP) UNTUK DETEKSI

MUTASI PROMOTER

inhA

PADA PASIEN

MULTIDRUG RESISTANT Mycobacterium tuberculosis

(MDR-TB)

Tugas Akhir II

Tugas Akhir II (Skripsi) ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Jurusan Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana Oleh

IDA AYU RATIH DWI NUGRAHA PUTRI 1208505001

Menyetujui:

Mengesahkan:

KATA PENGANTAR Pembimbing I

Dr. Sagung Chandra Yowani, S.Si., Apt., M.Si. NIP. 197102101997022001

Pembimbing II

Dr. I Nengah Wirajana, S.Si., M.Si. NIP. 197102191997021001

Ketua Jurusan Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. rer. nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., Apt. NIP. 196804201994021001


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir II (Skripsi) yang

berjudul “APLIKASI METODE POLYMERASE CHAIN REACTION-RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (PCR-RFLP) UNTUK DETEKSI MUTASI PROMOTER inhA PADA PASIEN MULTIDRUG RESISTANT Mycobacterium tuberculosis (MDR-TB)” tepat

pada waktunya. Tugas Akhir II ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana.

Penulisan Tugas Akhir II ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M.Si., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

2. Dr. rer. nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., Apt, selaku Ketua Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

3. Dr. Sagung Chandra Yowani, S.Si., Apt., M.Si., selaku dosen pembimbing I yang banyak mengarahkan serta memberi semangat dan dukungan yang tak henti demi kelancaran penyusunan Tugas Akhir II ini.

4. Dr. I Nengah Wirajana, S.Si., M.Si., selaku dosen pembimbing II yang banyak mengarahkan serta memberi semangat dan dukungan demi kelancaran penyusunan Tugas Akhir II ini.

5. Seluruh teknisi di Laboratorium Biologi Molekular FK, khususnya Mbok Nanik, Kak Echi, dan Bu Komang yang telah banyak memberi bantuan dan dukungan.

6. Seluruh dosen pengajar beserta pegawai di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana yang telah


(5)

iv

banyak memberikan ilmu serta dukungan sejak awal penulis mengenyam pendidikan di Jurusan Farmasi.

7. Kedua orang tua penulis, Ida Bagus Ngurah Sucarma dan I Gusti Ayu Ketut Rasminiati yang tak henti memberi doa. Kedua saudari penulis, Mbk Ewik dan Gek Agung yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis sehingga Tugas Akhir II ini dapat diselesaikan.

8. Sahabat tersayang penulis, Eni, Claudia, Sonia yang selalu memberikan motivasi, dukungan, menjadi teman berbagi suka dan duka sejak awal perkuliahan, serta Nia, Desak, Risma, Wiwik, Diah yang juga selalu memberikan motivasi dan dukungan.

9. TB Team Linda, Widya, Dek Tri, Ebi yang selalu memberikan motivasi selama penyusunan skripsi serta Rai yang menjadi teman diskusi sejak awal penyusunan skripsi dan berbagi suka duka selama penelitian berlangsung.. 10.Seluruh mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana,

khususnya teman-teman Dioscuri Hygeia yang telah berjuang bersama sejak awal.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir II (Skripsi) ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Denpasar, Juni 2016


(6)

v

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR SINGKATAN ... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Keilmuan ... 5

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7


(7)

vi

2.2 Multidrug Resistant Tuberculosis ... 8

2.3 Isoniazid ... 10

2.4 Gen resisten Isoniazid (inhA) ... 12

2.5 Mutasi Gen ... 13

2.5.1 Insersi ... 14

2.5.2 Delesi ... 14

2.5.3 Substitusi ... 15

2.6 DNA Metagenomik ... 15

2.7 Enzim restriksi ... 17

2.7.1 Enzim Restriksi Endonuklease Tipe II ... 19

2.7.2 Interaksi Enzim Restriksi Endonuklease Tipe II dengan DNA ... 21

2.7.3 Penempelan pada DNA dan Lokasi Situs Target ... 22

2.8 PCR ... 23

2.8.1 Tahapan Siklus PCR ... 24

2.8.2 Komponen dalam melakukan proses PCR ... 25

2.9 RFLP ... 27

2.10 Elektroforesis ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Rancangan Penelitian ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3 Bahan Penelitian ... 31


(8)

vii

3.5 Prosedur Penelitian ... 32

3.5.1 Pemilihan Enzim Restriksi ... 32

3.5.2 Isolasi DNA M. tuberculosis H37Rv ... 33

3.5.3 Amplifikasi DNA dengan PCR ... 34

3.5.4 Deteksi Produk PCR dengan Elektroforesis... 34

3.5.5 Digesti dengan menggunakan enzim restriksi ... 35

3.5.6 Deteksi Hasil Digesti Enzim Restriksi dengan elektroforesis ... 35

3.5.7 Interpretasi Hasil ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 37

4.1 Pemilihan Enzim Restriksi ... 37

4.2 Isolasi DNA Mycobacterium tuberculosis H37Rv ... 41

4.3 Optimasi dan Amplifikasi Daerah Promoter inhA ... 44

4.4 Optimasi Formulasi dan Waktu Digesti Daerah Promoter inhA dengan Enzim Restriksi SacII ... 49

4.5 Digesti Daerah Promoter inhA ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(9)

viii

DAFTAR SINGKATAN

A : Adenin

ACP : acyl carrier protein

BSC : biological safety cabinet

bp : base pairs

C : Sitosin

DNA : Deoxyribonucleic acid

dATP : deoksiadenosin trifosfat dCTP : deoksisitidin trifosfat dGTP : deoksiguanosin trifosfat dTTP : deoksitimidin trifosfat

dNTPs : Deoxynucleotide triphosphates

EDTA : Ethylene diamine tetraacetic acid

ETH : etionamid

FAS-I : Fatty Acid Synthetase tipe I FAS-II : Fatty Acid Synthetase tipe II G : Guanin

HIV : Human Immunodeficiency Virus

INH : isoniazid (isonicotinic acid hydrazide)

INHr : isoniazid resistant

LAM : Lipoarabinomannan

LM : Lipomannan

ManLAM : Mannose Lipoarabinomannan

MDR : Multi-drug resistant

MTb : Mycobacterium tuberculosis

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

ORF : Open Reading Frame

pb : pasang basa

PCR : Polymerase Chain Reaction

PCR-RFLP : Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism


(10)

ix

PILAM : Phosphoinositol Lipoarabinomannan

PIM : Phosphatidylnositol mannosides

T : Timin TB : tuberkulosis

TBE : Tris-Boric Acid-EDTA WHO : World HealthOrganization


(11)

x

DAFTAR ISTILAH

Amplifikasi DNA : perbanyakan DNA Amplikon : produk PCR

Asam amino : unit monomer penyusun protein yang dihubungkan melalui ikatan peptida

Building block : unit monomer penyusun komponen

Comb : alat menyerupai sisir yang digunakan untuk membentuk kolom (well) pada gel agarosa

Chamber : wadah untuk meletakkan gel agarosa

DNA polimerase : enzim yang diperlukan sebagai katalis dalam proses polimerisasi DNA

DNA templat : DNA untai ganda yang membawa urutan basa fragmen atau gen yang akan digandakan

Frameshift mutation : mutasi titik yang menunjukkan terjadinya penghapusan atau penyisipan nukleotida (bukan kelipatan tiga)

Gen : urutan DNA yang menyandi suatu protein

GenBank : database utama dalam biologi molekuler yang dikelola oleh NCBI

Genom : keseluruhan materi genetik (DNA/RNA) pada makhluk hidup

Hairpins : struktur primer yang terbentuk oleh DNA tunggal dimana terdapat suatu bagian tertentu dari DNA tersebut terhibridisasi pada bagian komplemen di dalam untai DNA yang sama, membentuk struktur menyerupai

hairpin

H37Rv : galur standar yang dijadikan wild type

In vitro : percobaan dilakukan dalam tabung yang menyerupai sistem in vivo agar dapat memberikan hasil yang sama dengan proses in vivo


(12)

xi

Kodon : deret nukleotida pada mRNA yang terdiri atas kombinasi tiga nukleotida berurutan yang menyandi suatu asam amino tertentu

Lokus : letak suatu gen pada suatu kromosom

Mutasi : terjadinya perubahan basa dari urutan nukleotida yang lazim dari suatu sekuen DNA organisme yang dapat menyebabkan perubahan sifat fenotip

Nukleotida : unit monomer pembentuk DNA

Nonsense mutation : mutasi akibat perubahan kodon sehingga kodon stop terbentuk prematur

ORF : segmen dari urutan nukleotida yang diawali dengan start

kodon dan diakhiri dengan stop kodon dan memiliki panjang yang cukup untuk mengkode protein

PCR : teknik perbanyakan urutan DNA dengan menggunakan reaksi enzimatis

Primer : oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat

Polimerisasi : reaksi pembentukan polimer

Prodrug : senyawa yang tidak aktif dan bersifat labil, di dalam tubuh akan mengalami perubahan melalui proses kimia atau enzimatik menjadi senyawa induk aktif dan kemudian berinteraksi dengan reseptor untuk menghasilkan efek farmakologis

Promoter : suatu sekuen DNA spesifik yang berperan dalam mengendalikan transkripsi gen struktural

Resistensi : kemampuan bakteri untuk bertahan terhadap adanya obat yang dengan konsentrasi normal dapat membunuh atau menghambat pertumbuhannya

Runs : pengulangan basa tunggal pada sekuen primer


(13)

xii

Sekuensing : proses penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA

Silent mutation : mutasi yang menunjukkan perubahan nukleotida dapat mengakibatkan perubahan kodon tetapi tidak ada perubahan fenotipik yang diamati pada individu

Transkripsi : proses sintesis RNA dengan menggunakan DNA sebagai templat

Tray : alat yang digunakan sebagai cetakan gel agarosa

Well : kolom-kolom tempat diletakkannya zat yang akan dielektroforesis

Wild Type : organisme yang memunculkan karakter dalam populasi aslinya


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Rentang Pemisahan pada Gel Agarosa ... 30

Tabel 4.1 Hasil enzim restriksi yang spesifik mengenal daerah promoter InhA ... 38

Tabel 7.1 Formulasi Digesti I ... 76

Tabel 7.2 Formulasi Digesti II ... 76


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Isoniazid ... 10

Gambar 2.2 Mutasi pada lokus inhA... 12

Gambar 2.3 Contoh insersi ... 14

Gambar 2.4 Contoh delesi ... 14

Gambar 2.5 Contoh transisi dan transversi ... 15

Gambar 2.6 Pemotongan molekul DNA dengan enzim restriksi tipe I, II, dan III ... 18

Gambar 2.7 Ujung blunt dan ujung sticky... 19

Gambar 2.8 Skema Ilustrasi Proses Pengikatan DNA dan Pemotongan dengan Enzim Restriksi Endonuklease ... 22

Gambar 4.1 Hasil pemotongan enzim restriksi SacII menghasilkan ujung asimetris (sticky end) ... 40

Gambar 4.2 Peta restriksi enzim restriksi SacII ... 41

Gambar 4.3 Elektroforegram produk PCR hasil optimasi suhu isolat M. tuberculosis H37Rv... 45

Gambar 4.4 Elektroforegram hasil amplifikasi fragmen region promoter inhA M. tuberculosis pada suhu annealing 54oC ... 47

Gambar 4.5 Elektroforegram hasil amplifikasi fragmen region promoter inhA M. tuberculosis pada suhu annealing 54oC ... 47

Gambar 4.6 Elektroforegram hasil optimasi digesti daerah promoter inhA 50 Gambar 4.7 Elektroforegram hasil digesti daerah promoter inhA ... 55


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur penelitian... 67 Lampiran 2. Pemilihan Enzim Restriksi ... 68 Lampiran 3. Tahapan Isolasi DNA M. tuberculosis H37Rv ... 69 Lampiran 4. Sekuen Nukleotida M.tuberculosis H37Rv Promoter inhA ... 70 Lampiran 5. Pembuatan Larutan ... 71 Lampiran 6. Hasil Enzim Restriksi dengan aplikasi Clone Manager Suite 6 73 Lampiran 7. Formulasi Digesti Enzim Restriksi SacII ... 76 Lampiran 8. EthicalClearance ... 77


(17)

xvi

ABSTRAK

Mutasi pada promoter inhA tidak hanya mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap isoniazid (obat anti tuberkulosis lini pertama), tetapi juga bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi silang pada etionamid (obat anti tuberkulosis lini kedua).Mutasi yang pernah dilaporkan terjadi adalah pada nukleotida -15 dan -24 dari promoter inhA. Deteksi mutasi secara molekuler dapat dilakukan dengan cara Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism

(PCR-RFLP), yang menggunakan enzim restriksi spesifik untuk mengenal urutan nukleotida tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui enzim restriksi yang dapat secara spesifik mengenal mutasi pada -24 dari daerah promoter inhA

dan mendeteksi adanya mutasi tersebut dengan menggunakan teknik PCR-RFLP. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksploratif laboratoris, dengan tahapan sebagai berikut: pemilihan enzim restriksi, isolasi DNA M. tuberculosis

H37Rv, amplifikasi daerah promoter inhA, deteksi produk PCR, optimasi dan digesti dengan menggunakan enzim restriksi, deteksi hasil digesti, dan interpretasi hasil.

Hasil analisis dengan menggunakan aplikasi Clone Manager Suite 6 memperlihatkan bahwa enzim restriksi SacII mampu mengenal secara spesifik urutan nukleotida -24 dari promoter inhA. Hasil optimasi digesti menunjukkan bahwa enzim SacII bekerja secara optimal pada suhu 37oC dengan waktu inkubasi 3 jam. Inaktivasi enzim dilakukan pada suhu 65oC selama 20 menit. Hasil digesti memperlihatkan bahwa enzim restriksi SacII memotong daerah promoter inhA

pada isolat P10, P11, P16, 86, dan 134 menghasilkan 2 pita, yang menunjukkan bahwa tidak terjadi mutasi pada isolat-isolat tersebut.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa enzim restriksi yang digunakan untuk mendeteksi mutasi pada nukleotida -24 dari promoter inhA adalah enzim restriksi SacII. Pada keseluruhan isolat yang diteliti, yaitu P10, P11, P16, 86, dan 134 tidak ditemukan adanya mutasi pada titik -24 dari promoter inhA.


(18)

xvii

ABSTRACT

The mutation of inhA promoter is not only result in isoniazid resistance (first line antituberculosis drugs), but also have responsible for cross resistance in ethionamide (second line antituberculosis drug). The mutations that have been reported was at -15 and -24 in promoter region of inhA. Molecular detection of mutations could be done by Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP), which uses specific restriction enzymes to recognize specific nucleotide sequences. Changes in the nucleotide sequence due to mutation, will be quickly recognized by this method. This study aims to determine the restriction enzyme which can specifically recognize the mutation at promoter region of inhAand detect the mutation using PCR-RFLP technique. This research were conducted in several steps which are: selection of restriction enzyme, DNA isolation of H37Rv Mycobacterium tuberculosis, amplification promoter region of inhA, detection of PCR product, optimization and digestion using restriction enzyme, detection of digestion product, and interpretation of result.

The analysis result using Clone Manager Suite 6 showed that SacII restriction enzyme could recognize specifically at -24 promoter region of inhA. The result of digestion optimization showed that SacII restriction enzyme have optimal work at 37oC for 3 hours incubation time, heat inactivation at 65oC for 20 minutes. Digestion result showed that SacII restriction enzyme cleave inhA

promoter region of P10, P11, P16, 86, and 134 isolates into 2 bands, that showed there was no mutation in all isolates.

In conclusion, the enzyme that could detect the mutation at -24 in promoter region of inhA is SacII. There were no mutation found at all isolates at -24 promoter region of inhA.


(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data Global tahun 2014, sekitar 9,6 juta orang diperkirakan telah terkena penyakit tuberkulosis (TB). Sekitar 63% (6 juta) kasus baru dari 9,6 juta orang yang mengidap penyakit TB dilaporkan pada WHO. Hal ini berarti sekitar 37% kasus baru TB tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan pada WHO. Dari sekitar 480.000 kasus penyakit TB yang telah berkembang menjadi MDR-TB, hanya sekitar seperempat dari ini (123.000 kasus) yang baru terdeteksi dan dilaporkan (World Health Organization, 2015).

MDR-TB merupakan penyakit TB yang disebabkan oleh strain

Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama, sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin (World Health Organization, 2014). Dengan terjadinya resistensi pada OAT lini pertama maka dibutuhkan deteksi dini MDR-TB untuk penanganan awal dan tepat untuk pasien.

Penggunaan Isoniazid (INH) sebagai antituberkulosis lini pertama menyebabkan resistensi terhadap INH menjadi lebih sering terjadi (Karakousis, 2009). Resistensi terhadap INH dapat disebabkan oleh mutasi pada gen katG, gen

inhA, promoter inhA, dan daerah intergenik oxyR-ahpC. Mutasi pada isolat klinik yang resisten terhadap INH dideteksi terjadi paling banyak pada gen katG

sebanyak 50-80% kasus, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan katalase peroksidase untuk mengaktifkan prodrug INH (Marttila, et al., 1998; Abate and Hoffner, 2001).


(20)

2

Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (2005), pada isolat

Mycobacterium tuberculosis yang dikumpulkan dari 5 provinsi di Cina, menemukan adanya mutasi pada gen katG yang resisten terhadap INH sebesar 94,3%, daerah promoter inhA sebesar 14,9%, gen inhA sebesar 4,6%, dan 11,5% pada daerah intergen oxyR-ahpC. Muller et al. (2011) menyatakan bahwa persentase isolat dengan mutasi pada promoter inhA meningkat secara signifikan dari 30,1% (pada non MDR-TB yang resisten INH) menjadi sebesar 48,4% (pada kasus MDR-TB). Mutasi pada daerah promoter inhA menyebabkan peningkatan ekspresi inhA yang menyebabkan terjadinya resistensi INH tingkat rendah (Machado et al., 2013). Mutasi pada inhA tidak hanya mengakibatkan resistensi terhadap INH tetapi juga bertanggung jawab terhadap terjadinya resistensi silang terhadap etionamid (ETH), yang merupakan OAT lini kedua (Morlock et al., 2003). Adanya fenomena resistensi silang pada OAT lini kedua menyebabkan deteksi mutasi pada promoter inhA penting dilakukan untuk ketepatan penanganan pasien.

Pada isolat strain Brazil yang resistensi INH, mutasi pada daerah promoter yang paling banyak ditemukan adalah pada posisi -15 dengan mutasi sitosin menjadi timin (CT) yang memiliki persentase 66% (Khadka et al., 2007). Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Ramaswamy dan Musswer (1998), ditemukan juga mutasi guanin menjadi timin (GT) pada posisi -24. Sedangkan penelitian pada daerah promoter inhA di Bali yang sebelumnya dilakukan oleh Kusdianingrum (2014) pada isolat 134 dan Septiari (2014) pada isolat 86 dengan


(21)

3

menggunakan metode PCR-based sequencing, menemukan adanya mutasi pada posisi yang sama, yaitu posisi -15 dengan mutasi (CT).

Beberapa metode untuk deteksi adanya mutasi pada kasus MDR-TB dilakukan dengan Polymerase Chain Reaction-Based Sequencing (PCR-based sequencing), PCR-Single Strand Conformation Polymorphism (PCR-SSCP), dot blots, dan Microarray. PCR-based sequencing tidak mudah diterapkan untuk identifikasi resistensi obat yang disebabkan oleh mutasi pada beberapa gen/segmen yang panjang atau mutasi yang tersebar pada beberapa titik sehingga harus dilakukan beberapa kali sekuensing (Chaoui et al., 2012). Hasil elektroforesis dengan menggunakan PCR-SSCP biasanya tidak dapat diprediksi karena metode ini sangat tergantung pada temperatur, kondisi selama elektroforesis berlangsung, dan fragmen dengan berat molekul besar (>200 pasang basa). Selain itu, beberapa mutasi mungkin ada yang tidak dapat terdeteksi (Tagu and Moussard, 2006). Metode dot blots merupakan metode yang akurat, cepat, dan sederhana, namun merupakan metode yang cukup mahal dan panjang dalam proses pengerjaannya (Chaoui et al., 2012). Microarray merupakan metode yang baik digunakan untuk deteksi resistensi terhadap Rifampisin, namun metode ini masih sangat mahal (Chaoui et al., 2012). Metode Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) merupakan metode dengan menggunakan enzim restriksi yang spesifik mengenal urutan nukleotida tertentu (Rasmussen, 2012). Oleh karenanya, apabila terjadi perubahan urutan nukleotida karena adanya mutasi, akan cepat dikenali secara spesifik oleh enzim restriksi sehingga perlu dilakukan pemilihan enzim restriksi yang tepat.


(22)

4

Keuntungan PCR-RFLP adalah murah, sederhana, mudah dalam penafsiran hasil, tidak memerlukan instrumen mahal, dan tidak memerlukan pelatihan khusus bagi staf laboran (Rasmussen, 2012). Pada dasarnya metode PCR-RFLP melalui proses amplifikasi sekuen target sebelum dilakukan pemotongan dengan enzim restriksi. Untuk memperoleh sekuen target dengan proses PCR maka diperlukan primer yang sesuai dan terbukti mampu untuk mengamplifikasi sekuen target. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Kusdianingrum (2014) dan Septiari (2014) dengan menggunakan metode PCR-based sequencing telah melakukan pemilihan primer dan optimasi pada kondisi PCR. Penggunaan primer dan kondisi PCR yang didapat dari penelitian sebelumnya dapat digunakan pada metode PCR-RFLP apabila sekuen target yang digunakan adalah sama dengan penelitian sebelumnya. DNA sebagai cetakan yang digunakan untuk diagnosis laboratorium umumnya berasal dari pengkulturan. Proses pengkulturan memerlukan waktu yang lama (kurang lebih 3 minggu), sehingga menyebabkan proses identifikasi menjadi lebih lama dan akan memperlambat proses penanganan pasien (Pfyffer et al., 1997). Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, diperlukan metode deteksi M. tuberculosis yang cepat, sensitif, dan spesifik.

Saat ini dikenal adanya isolasi metagenomik MDR-TB yang merupakan proses isolasi secara langsung dari sputum pasien. Isolasi metagenomik memiliki keuntungan, yaitu tidak melalui proses pengkulturan sehingga waktu yang dibutuhkan untuk deteksi MDR-TB menjadi lebih cepat (Riesenfeld et al., 2004). Kombinasi PCR-RFLP dan isolasi metagenomik akan memberikan waktu yang lebih cepat untuk penentuan terapi, maka dilakukan penelitian terhadap aplikasi


(23)

5

metode PCR-RFLP dengan kondisi PCR dan penggunaan primer berdasarkan penelitian sebelumnya untuk deteksi adanya mutasi pada promoter inhA. Sehingga, diharapkan terapi MDR-TB menjadi lebih efektif dan penyebaran MDR-TB dapat dihambat

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut.

1.2.1 Enzim restriksi apakah yang digunakan untuk memotong daerah yang mengalami mutasi pada daerah promoter inhA secara spesifik?

1.2.2 Apakah terjadi mutasi pada daerah promoter inhA isolat DNA MDR-TB yang diidentifikasi dengan metode PCR-RFLP?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengetahui enzim restriksi yang digunakan untuk memotong daerah yang mengalami mutasi pada daerah promoter inhA secara spesifik. 1.3.2 Mengetahui ada tidaknya mutasi pada daerah promoter inhA isolat

DNA MDR-TB yang diidentifikasi dengan metode PCR-RFLP.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Keilmuan

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam pengembangan metode isolasi DNA metagenomik dari sputum pasien MDR-TB dengan


(24)

6

menggunakan metode PCR-RFLP untuk deteksi adanya mutasi pada daerah promoter inhA serta menambah wawasan keilmuan mengenai ada atau tidaknya mutasi yang terjadi pada daerah promoter inhA.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat diaplikasikan pada penegakan diagnosis pasien MDR-TB dengan waktu yang lebih singkat dan lebih efektif.


(25)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) merupakan bakteri intraseluler sebagai agen penyebab penyakit tuberkulosis pada manusia. Bakteri ini berbentuk batang dan memiliki laju pertumbuhan yang lambat, yaitu sekitar 24 jam untuk replikasinya (Eklund, 2013). M. tuberculosis membutuhkan waktu 3-4 minggu untuk membentuk koloni secara in vitro. Pada manusia, M. tuberculosis

memiliki siklus hidup yang kompleks yang dapat melibatkan fase dorman atau fase laten di mana proses metabolisme bakteri ini di dalam tubuh dapat berkurang karena bakteri tersebut terdapat dalam granuloma, yang terorganisasi pada sel-sel kekebalan. Bakteri yang dorman dapat aktif kembali dan menyebabkan penyakit sesak napas bertahun-tahun kemudian. Waktu replikasi yang lambat dan kemampuan bertahan dalam keadaan latennya menyebabkan penyakit tuberkulosis bersifat kronis. M. tuberculosis dengan genus Mycobacterium

tergolong ke dalam ordo Actinomycetales yang terdiri dari sejumlah besar spesies yang berhubungan terhadap penyebab penyakit pada manusia dan hewan (Uplekar, 2012).

Dinding sel mikobakteri terdiri atas bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar terutama mengandung bagian yang bebas lipid, sementara bagian dalam mengandung peptidoglikan yang secara kovalen berikatan dengan arabinogalaktan yang melekat dengan asam mikolat. Bagian dalam dinding sel atau dinding sel inti ini disebut sebagai kompleks mycolyl-arabinogalactan-peptidoglycan. Sepanjang


(26)

8

dinding sel, baik protein maupun lipoglikan dapat ditemukan. Lipoglikan-lipoglikan tersebut termasuk phosphatidylinositol mannosides (PIMs) yang pada tahap additional glycosylation dapat membentuk Lipomannan (LM) dan

Lipoarabinomannan (LAM). PIM, LM, dan terutama LAM memiliki kemampuan untuk memodulasi respon imun host. LAM dapat dimodifikasi lebih lanjut dengan penambahan Mannose (ManLAM) atau phosphoinositol (PILAM) yang banyak ditemukan pada bakteri patogen, seperti M. tuberculosis. PILAM dapat menginduksi produksi sitokin (IL-12, IL-18, dan TNF) sehingga dapat menginduksi terjadinya apoptosis makrofaga. Sedangkan ManLAM dapat secara aktif menghambat mekanisme antimikroba yang penting pada makrofaga (Eklund, 2013).

2.2 Multidrug Resistant Mycobacterium tuberculosis

Multidrug Resistant Mycobacterium tuberculosis (MDR-TB) merupakan penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap setidaknya isoniazid (INH) dan rifampisin (RIF), yang merupakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama yang paling efektif (WHO, 2014). MDR-TB dapat disebabkan oleh terjadinya infeksi primer oleh bakteri yang resisten ataupun terjadi selama masa pengobatan pasien (World Health Organization, 2014).

Resistensi Tuberkulosis dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu


(27)

9

resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Mc Donald, et al., 2003).

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR-TB akibat mutasi dari gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain di mana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat, dan terlambatnya penegakkan diagnostik (Leitch, 2000).

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu (Aditama, 2006):

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dikonsumsi dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.


(28)

10

4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam

suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka

“penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.

2.3 Isoniazid

Isoniazid (INH: isonicotinic acid hydrazide) merupakan obat anti tuberkulosis yang paling utama digunakan sejak pengenalan aktivitas kliniknya tahun 1952. INH merupakan analog nicotinamide yang terdiri atas cincin piridin dan gugus hidrazid, yang ditunjukkan pada gambar 2.1. INH digunakan sebagai obat anti tuberkulosis lini pertama karena aktivitas bakterinya yang signifikan, walaupun dalam 2 dekade terakhir resistensi INH dilaporkan terjadi peningkatan frekuensi (Kolyva and Petros, 2012).


(29)

11

INH mudah berpenetrasi menembus dinding sel host dan berdifusi melintasi membran M. tuberculosis. INH merupakan prodrug yang memerlukan aktivasi katG (enzim katalase peroksidase) pada M. tuberculosis (Zhang and Heym., 1992). Meskipun metabolit aktif INH dilaporkan dapat menghambat beberapa jalur seluler penting, termasuk sintesis asam nukleat, jalur utama yang bertanggung jawab dalam aktivitas anti tuberkulosis ini adalah dengan menghambat sintesis asam mikolik (Winder and Collins, 1970; Takayama and Wang, 1972; Takayama, Schnoes et al., 1975). INH akan membentuk radikal asil isonikotinat yang bersifat aktif. Selanjutnya akan terbentuk kompleks kovalen INH-NAD setelah bentuk aktif radikal asil isonikotinat memecah gugus nikotinamid pada NAD+. Terbentuknya kompleks INH-NAD menyebabkan terhambatnya produksi inhA dan menghalangi aktivitas Fatty Acid Synthetase tipe II (FAS–II). Terhalangnya FAS-II mengakibatkan terjadinya akumulasi produk akhir Fatty Acid Synthetase tipe I (FAS-I), sehingga tidak dapat menghasilkan asam mikolat yang dibutuhkan dalam proses sintesis dinding sel dan mengakibatkan terjadinya lisis sel (Cole et al., 2005).

Resistensi terhadap Isoniazid (INH) dapat disebabkan oleh mutasi pada gen

katG, gen inhA, promoter inhA, dan daerah intergen oxyR-ahpC. Mutasi pada isolat klinik yang resisten terhadap INH dideteksi terjadi paling banyak pada gen

katG sebanyak 50-80% kasus sehingga menyebabkan penurunan kemampuan katalase peroksidase untuk mengaktifkan prodrug INH (Marttila, et al., 1998; Abate, et al., 2001). Sedangkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al., (2005), pada isolat Mycobacterium tuberculosis yang dikumpulkan dari 5


(30)

12

provinsi di Cina, ditemukan adanya mutasi pada gen katG yang resisten terhadap INH sebesar 94,3%, daerah promoter inhA sebesar 14,9%, gen inhA sebesar 4,6%, dan 11,5% pada daerah intergen oxyR-ahpC.

2.4 Gen Resisten Isoniazid (inhA)

inhA merupakan gen pengkode enzim Enoil-ACP reduktase yang merupakan target kerja dari INH (Rozwarski et al., 1999). Enoil-ACP reduktase berperan dalam biosintesis asam mikolat (asam lemak rantai panjang pada

Mycobacterium) dengan memanfaatkan NADH untuk mengurangi ikatan rangkap trans antara posisi C2 dan C3 dari rantai asil lemak yang berhubungan dengan protein pembawa asil (Rozwarski et al., 1999). ETH sebagai OAT lini kedua memiliki struktur yang analog dengan INH diduga memiliki kemampuan dalam menghambat biosintesis asam mikolat dan beberapa studi menunjukkan bahwa resistensi yang rendah pada INH berkorelasi dengan resistensi pada ETH (Ramaswamy and Musser, 1998).

Lokus inhA terdiri dari dua Open Reading Frame (ORF), yaitu inhA dan

mabA (Mycolic acid biosynthesis) yang terlibat dalam biosintesis asam mikolat (Musser et al., 1996).


(31)

13

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ramaswamy and Musser (1998), mutasi pada daerah promoter inhA yang sering terlihat adalah pada posisi -24(G-T), -16(A-G), -8(T-G/A) dan -15(C--24(G-T), seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2. Mutasi pada promoter ini menyebabkan terjadinya overekspresi inhA yang menyebabkan terjadinya resistensi INH. Sampai saat ini sekitar 70-80% resistensi INH pada isolat klinis M. tuberculosis dapat dikaitkan dengan mutasi pada gen

katG dan gen inhA, sebanyak 20-42% strain M. tuberculosis mengalami mutasi pada daerah promoter inhA (Ramaswamy and Musser, 1998),

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Guo et al., (2006) dengan isolat klinik dari USA, ditemukan terjadinya mutasi pada promoter inhA sebanyak 51%. Mutasi yang paling banyak terjadi pada posisi -15 (C→T) sebesar 76%. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mai et al., (2013), sebanyak 28,2% ditemukan terjadi mutasi pada promoter inhA dengan mutasi terbesar pada posisi -15 (C→T) sebesar 95,3%. Mutasi pada daerah promoter inhA juga ditemukan terjadi pada posisi -24 sebesar 2,2% (1 dari 45 isolat) pada isolat MDR-TB di Itali (Rindi et al., 2005).

2.5 Mutasi Gen

Mutasi merupakan istilah yang diberikan untuk perubahan, atau kesalahan dalam urutan DNA dari gen yang mengarah pada perubahan jumlah atau struktur dari produk protein yang dibuat oleh gen. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam prosen menyalin akibat adanya paparan agen mutagenik seperti radiasi atau bahan kimia tertentu (Progress Educational Trust, 2006).


(32)

14

Struktur DNA memungkinkan hanya terjadi 3 jenis dasar perubahan atau mutasi, yaitu substitusi satu nukleotida dengan nukleotida lain (mutasi titik), penghapusan satu atau lebih nukleotida, dan penyisipan satu atau lebih nukleotida (Schleif, 1993).

2.5.1 Insersi

Insersi merupakan mutasi yang mengakibatkan terjadinya penyisipan nukleotida ke dalam sekuen DNA seperti pada gambar 2.3 (Bergeron, 2004).

Gambar 2.3. Contoh insersi (Bergeron, 2004)

2.5.2 Delesi

Delesi adalah penghapusan satu atau lebih nukleotida dalam sekuen DNA seperti pada gambar 2.4 (Bergeron, 2004).


(33)

15

2.5.3 Subsitusi

Substitusi adalah penggantian satu nukleotida dan pasangannya dengan sepasang nukleotida lain. Substitusi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Transisi, yaitu ketika basa pirimidin diganti dengan pirimidin lain (T digantikan oleh C atau sebaliknya) atau basa purin diganti dengan purin lain (A digantikan oleh G atau sebaliknya). Contoh transisi seperti yang terlihat pada gambar 2.5.

b. Transversi, yaitu ketika basa purin digantikan dengan basa pirimidin atau sebaliknya. Contoh transversi seperti yang terlihat pada gambar 2.5.

(Elrod and William, 2002)

Gambar 2.5. Contoh transisi (kiri) dan transversi (kanan) (Woodbury, 2012)

2.6 DNA Metagenomik

Metagenomik adalah langkah baru dalam analisis genom dengan cara mengisolasi DNA genom secara langsung dari lingkungan (Handelsman, 2004). DNA genom dari lingkungan yang diperoleh kemudian diklon, dikonstruksi peta


(34)

16

genomnya, lalu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari enzim baru (Lorenz and Schleper, 2002). Teknik tersebut merupakan sebuah teknik yang mengkombinasikan beberapa metode dan bidang ilmu, seperti genetika, mikrobiologi, dan bioinformatika. Berbeda dengan teknik analisis genom bakteri pada umumnya, teknik metagenom dilakukan dengan langsung mengekstraksi DNA genom dari lingkungan dan tidak memerlukan proses pengkulturan bakteri pada medium buatan (Handelsman, 2007).

Teknik metagenomik dapat digunakan untuk mempelajari bakteri yang tidak dapat dikultur yang diperkirakan terdapat lebih dari 99% dari populasi bakteri di seluruh lingkungan. Metagenomik memberikan peluang besar dalam penemuan diversitas enzim yang baru yang memiliki fungsi spesifik (Uchiyama & Mizaki, 2009).

Metagenomik memiliki dua pendekatan tergantung dari tujuan yang diinginkan, yaitu function-based dan sequence-based. Analisis metagenomik secara function-based dilakukan dengan cara mengkonstruksi klon yang berisi DNA genom, selanjutnya dilakukan penapisan dari klon tersebut untuk ekspresi dari fenotip yang diinginkan. Klon DNA metagenomik langsung diberi perlakuan kimiawi untuk melihat ada tidaknya aktivitas enzim tertentu. Keunggulan dari analisis tersebut adalah akan diperoleh keseluruhan gen fungsional yang mengkode ekspresi dari suatu fungsi yang diinginkan (Yun and Ryu, 2005). Pendekatan ini telah berhasil mengidentifikasi antibiotik baru, enzim protease, dan lipase (Culligan et al., 2009).


(35)

17

Analisis metagenomik dengan pendekatan sequence-based merupakan metode metagenomik yang digunakan untuk melihat kekerabatan mikroorganisme yang dianalisis melalui pendekatan bioinformatika. Klon DNA metagenomik dilihat urutan basanya, kemudian disusul menjadi pohon filogeni. Pendekatan tersebut melibatkan penggunaan mesin PCR dan primer-primer spesifik untuk mengisolasi dan memperbanyak suatu daerah target pada DNA genom. Produk-produk PCR inilah yang digunakan untuk konstruksi pustaka genom (Uria et al., 2005).

2.7 Enzim Restriksi

Enzim restriksi merupakan protein yang sebagian besar berasal dari bakteri. Enzim ini memotong DNA pada sisi yang spesifik. Enzim restriksi pada bakteri berfungsi sebagai sistem imun dalam skala kecil untuk melindungi dirinya dari infeksi DNA asing, dengan mencegah DNA virus bereplikasi. Pencegahan tersebut dilakukan dengan cara memotong DNA virus/DNA asing menjadi beberapa potongan (Schleif, 1993). Untuk organisme yang lebih kompleks, dalam proses identifikasi dan inaktivasi parasit, bakteri, atau virus, bakteri melindungi dirinya hanya ketika DNA asing memasuki sitoplasma. Proses perlindungan diri ini dengan cara bakteri secara spesifik menandai DNA-nya dengan melakukan metilasi basa pada sekuen tertentu dengan menggunakan enzim yang telah dimodifikasi. DNA yang dikenali sebagai DNA asing yang kekurangan gugus metil pada sekuen yang sama dipotong oleh enzim restriksi dan kemudian didegradasi oleh enzim eksonuklease (Schleif, 1993).


(36)

18

Enzim restriksi dibagi menjadi 3 kelas. Enzim restriksi kelas I mengandung subunit pemotong, subunit metilasi, subunit pengenalan sekuens. Enzim ini memotong pada sisi yang jauh dari sekuen pengenalannya. Enzim restriksi kelas II memiliki sekuen pengenalan dan aktivitas pemotong. Enzim ini memotong DNA pada sisi yang dekat atau berada di antara sekuen pengenalan dan paling banyak digunakan dalam analisis DNA. Enzim restriksi kelas III memiliki subunit pemotongan yang berasosiasi dengan subunit pengenalan dan subunit metilasi. Enzim ini memotong DNA di luar sekuen yang dikenal dan memerlukan 2 sekuens yang sama pada orientasi yang berlawanan pada untai DNA yang sama untuk dapat memotong. Enzim-enzim ini jarang menghasilkan potongan yang sempurna (Schleif, 1993). Pada gambar 2.6 dapat dilihat bahwa enzim restriksi tipe I dan tipe III memotong pada daerah yang jauh dan bervariasi dari titik pemotong yang dikenali oleh enzim restriksi, sedangkan enzim restriksi tipe II memotong pada daerah yang dekat dengan titik pengenalan enzim restriksi.

Gambar 2.6 Pemotongan molekul DNA dengan enzim restriksi tipe I, II, dan III (Brown, 2002)

Enzim restriksi menghasilkan dua macam hasil pemotongan, yaitu ujung


(37)

19

menghasilkan fragmen yang double stranded, sedangkan ujung sticky atau

cohesive akan menghasilkan potongan dengan ujung 5’ atau ujung 3’ yang

menggantung, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.7.

Gambar 2.7 Ujung blunt (sebelah kiri) dan ujung sticky (sebelah kanan) 2.7.1 Enzim Restriksi Endonuklease Tipe II

Enzim restriksi endonuklease tipe II merupakan enzim restriksi yang mengenal urutan sekuens nukleotida secara spesifik, melakukan pemotongan pada untai ganda DNA, dan menghasilkan fragmen-fragmen DNA. Enzim restriksi ini dapat dengan mudah dikontrol, mudah diprediksi hasil pemotongannya, dan memotong DNA pada situs yang spesifik, sehingga enzim restriksi endonuklease tipe II banyak digunakan dalam aplikasi molekuler (Mulhardt, 2007).

Kriteria utama untuk mengklasifikasikan restriksi endonuklease sebagai enzim restriksi endonuklease tipe II adalah spesifisitasnya dalam melakukan pemotongan pada tempat yang dekat dengan situs pengenalannya dan tidak membutuhkan hidrolisis ATP untuk aktivitas nukleolitiknya. Enzim restriksi endonuklease tipe II orthodox merupakan homodimer dengan massa molekul ±2 x 30 kDA yang mengenal sekuens palindromik berukuran 4-8 pasang basa, dan


(38)

20

dengan adanya Mg2+ akan memotong kedua untai DNA pada situs pengenalan sehingga menghasilkan ujung 5’-fosfat dan ujung 3’-OH (Pingoud and Albert, 2001).

Enzim ini harus disimpan pada suhu -20oC. Jika enzim tersebut dikeluarkan dari freezer, enzim restriksi harus diletakkan pada es atau diletakkan pada cooler, yang tetap menjaga enzim pada suhu -20oC (Mulhardt, 2007). Sebagian besar enzim restriksi tipe II disediakan dengan buffer yang tepat untuk menjaga enzim tetap stabil selama penyimpanannya, tetapi buffer ini mengandung 25-50% gliserol untuk mencegah enzim membeku selama penyimpanan pada suhu -20oC. Konsentrasi gliserol di atas 5% (v/v) pada saat proses digesti dapat menghambat aktivitas sebagian besar enzim restriksi. Hal ini dikarenakan konsentrasi gliserol yang tinggi selama proses digesti menyebabkan spesifisitas sekuen beberapa enzim restriksi menjadi berkurang, sehingga menghasilkan kesalahan pemotongan. Penurunan aktivitas enzim restriksi karena adanya kondisi tertentu disebut dengan star activity. Faktor-faktor lain, seperti pH, etanol, kandungan garam yang tidak tepat juga dapat menyebabkan star activity atau penurunan aktivitas, sehingga pemilihan kondisi yang tepat sangat penting untuk dilakukan (Davis et al., 1986).

Sebagian besar enzim restriksi tipe II berfungsi secara adekuat pada pH 7,4 meskipun pada beberapa enzim yang berbeda memerlukan kekuatan ion tertentu, yang biasanya berasal dari konsentrasi NaCl dan Mg2+ (semua enzim restriksi tipe II membutuhkan Mg2+ untuk menjalankan fungsinya). Penambahan agen pereduksi seperti dithiothreitol (DTT) akan membantu dalam menstabilkan


(39)

21

enzim dan mencegah inaktivasi enzim tersebut. Kesalahan konsentrasi NaCl atau Mg2+, tidak hanya menurunkan aktivitas dari enzim restriksi, tetapi juga menyebabkan perubahan pada spesifisitas enzim, sehingga menyebabkan kesalahan pengenalan sekuens (Brown, 2016).

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah suhu inkubasi. Sebagian besar enzim restriksi memiliki aktivitas yang paling baik pada suhu 37oC, meskipun beberapa enzim lainnya memiliki suhu inkubasi yang berbeda. Pada suhu inkubasi optimalnya, suatu enzim restriksi melakukan proses digesti dengan aktivitas yang paling optimum. Setelah proses digesti dilakukan, aktivitas enzim restriksi dihentikan. Penghentian aktivitas enzim restriksi dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti penambahan SDS atau EDTA. Selain itu aktivitas enzim restriksi dapat dihentikan dengan melakukan pemanasan pada suhu tinggi (Wu et al., 1989).

2.7.2 Interaksi Enzim Restriksi Endonuklease Tipe II dengan DNA

Enzim restriksi endonuklease berinteraksi dengan DNA melalui cara yang kompleks. Interaksi tersebut tidak bisa secara mudah dilakukan 2 atau 3 tahap seperti pada proses sekuensing karena ukuran DNA yang besar. Siklus reaksi dimulai dengan pengikatan secara non spesifik dengan DNA makromolekular, yang diikuti dengan perjalanan difusi acak suatu enzim restriksi menuju DNA. Jika situs pengenalan tidak terlalu jauh dari situs awal kontak, kemungkinan besar enzim restriksi tersebut dapat langsung melakukan proses pengikatan. Pada situs pengenalan, terjadi perubahan konformasi yang menyebabkan terjadinya proses pengenalan dan menyebabkan aktivasi pusat katalitik. Setelah itu terjadi proses


(40)

22

pemotongan ikatan fosfodiester pada untai DNA dan menghasilkan dua untai produk. Proses interaksi tersebut seperti yang terlihat pada gambar 2.8 (Pingoud and Albert, 2001).

Gambar 2.8 Skema ilustrasi proses pengikatan DNA dan pemotongan dengan enzim restriksi endonuklease

2.7.3 Penempelan pada DNA dan Lokasi Situs Target

Semua enzim restriksi endonuklease menempel pada DNA tidak selalu secara spesifik, tetapi ada juga dengan afinitas yang lebih lemah, dan non spesifik, sama dengan protein lain yang mengenal sekuen DNA spesifik. Pada formasi kompleks non spesifik, counterions dan molekul air dilepaskan dari permukaan protein-DNA. Pada penempelan DNA non spesifik, perubahan konformasi terjadi, terutama pada protein, yang menyebabkan adaptasi pada kedua permukaan makromolekul.

Penempelan DNA non spesifik merupakan prasyarat suatu enzim dalam melakukan difusi dimensi pertama menuju ke DNA. Struktur non spesifik ini membantu dalam melakukan difusi linear, sehingga enzim dapat melakukan


(41)

23

pengikatan antara DNA dengan pusat katalitiknya pada jarak yang aman dari ikatan fosfodiester. Difusi dimensi pertama menggambarkan translokasi sepanjang molekul DNA yang tidak hanya melibatkan protein yang bebas, tetapi juga melibatkan proses sliding (pergerakan helical melewati galur DNA), hopping

(pergerakan paralel menuju DNA, selama protein tidak meninggalkan DNA domain), dan transfer intersegmen. Pada kondisi optimum, enzim restriksi endonuklease dapat membaca dengan cepat ±106 pasang basa (pb) pada satu kali proses penempelan. Pada pengamatan ini apabila terjadi pergerakan yang acak, proses pembacaan ukuran menjadi lebih kecil yaitu ±1000 pb. Pergerakan acak terjadi ketika enzim restriksi melakukan pencarian terhadap DNA target (Pingoud and Albert, 2001)

2.8 PCR

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik sintesis dan amplifikasi DNA yang dilakukan secara in vitro, pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Melalui teknik ini sejumlah kecil segmen DNA dapat dikalikan jumlahnya hingga lebih dari satu juta kali lipat hanya dalam beberapa jam. PCR memiliki sensitivitas yang sangat tinggi sehingga diaplikasikan pada banyak hal (Handoyo dan Ari, 2001; Stephenson dan Maria, 2012).

Jumlah DNA yang dihasilkan pada proses PCR meningkat secara geometris. Dimulai dengan 1 molekul DNA, 1 siklus PCR akan menghasilkan 2 molekul DNA hasil amplifikasi (amplikon), 2 siklus akan menghasilkan 4


(42)

24

molekul DNA, dan begitu seterusnya. Jumlah kopi fragmen DNA target (amplikon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR dapat dihitung secara teoritis menurut rumus: Y= (2n – 2n)X, di mana Y merupakan jumlah amplikon, n merupakan jumlah siklus, dan X merupakan jumlah molekul DNA templat semula (Handoyo dan Ari, 2001). Sensitifitas metode ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk mengamplifikasi DNA dalam jumlah kecil dan berasal dari sumber DNA yang tidak berkualitas (Erlich, 1989; Crocker and Paul, 2003).

2.8.1 Tahapan Siklus PCR

Proses PCR melibatkan beberapa tahap, yaitu: pradenaturasi, denaturasi, penempelan primer pada templat (annealing), pemanjangan primer (extension) dan pemantapan (post-extension). Tahap denaturasi hingga ekstensi merupakan suatu siklus.

a. Tahap Denaturasi

Pada tahap ini fragmen DNA dipanaskan pada suhu tinggi (95°C) selama ±1 menit untuk memutus ikatan double helix DNA menjadi untai tunggalnya. Kondisi denaturasi yang optimal dapat dilakukan pada suhu 95°C selama 30 detik atau 97°C selama 15 detik. Suhu yang lebih tinggi dapat diterapkan pada target templat dengan konsentrasi G+C (G=Guanin; C=Sitosin) yang tinggi. Proses denaturasi yang terlalu lama akan mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim (Erlich, 1989; Innis and Gelfand, 1990).

b. Penempelan (annealing)

Tahap ini dikenal dengan hibridisasi. Untuk memperoleh produk optimal, maka pada tahap ini suhu diturunkan hingga berada di kisaran 55-72°C.


(43)

25

Kisaran suhu tersebut akan membantu dalam proses penempelan salah satu primer pada untai templat (5-3’) sedangkan primer yang lain akan menempel pada untai komplemennya (3-5’). Suhu dan lama waktu yang diperlukan untuk penempelan primer tergantung dari komposisi basa, panjang primer, dan konsentrasi primer. Suhu annealing yang diaplikasikan selama proses PCR adalah ±5°C daripada Tm primer (Innis and Gelfand, 1990).

c. Pemanjangan (extension)

Pada tahap ini suhu kembali dinaikkan pada kisaran 72-78 °C. Pada tahap ini memungkinkan Taq DNA polimerase mampu bekerja secara optimal dalam proses ekstensi DNA. Umumnya suhu yang digunakan pada proses ekstensi primer adalah 72°C. Waktu ekstensi tergantung pada panjang dan konsentrasi sekuen target serta suhunya. Kecepatan penggabungan nukleotida pada suhu 72°C bervariasi tergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam, dan sifat templat DNA (Innis and Gelfand, 1990; Sambrook and Russel, 2001).

2.8.2 Komponen dalam melakukan proses PCR

Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen sebagai berikut:

1. DNA Templat

DNA untai ganda merupakan templat yang mengandung sekuen yang akan diamplifikasi (Winter et al., 1998; Handoyo dan Ari, 2000). DNA templat berfungsi sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Penyiapan tempat DNA pada proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel berdasarkan prinsip perusakan dinding sel tanpa merusaki DNA. Cara lainnya


(44)

26

adalah dengan melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada (Winter et al., 1998; dan Handoyo dan Ari, 2000).

2. Primer

Primer merupakan potongan untai tunggal DNA yang menempel ke sekuen komplementernya pada templat. Pada proses PCR, sepasang primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ untuk proses ekstensi DNA.

Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Ukuran primer yang optimal adalah 18-28 nukleotida dengan presentase GC sebesar 50-60% dan dibuat secara sintesis, sehingga beberapa informasi mengenai sekuen yang diinginkan/diamplifikasi harus tersedia (Innis andGelfand, 1990; Handoyo dan Ari, 2000; Crocker and Paul, 2003)

3. dNTP (deoxynucleotide triphosphates)

Pada PCR dNTPs bertindak sebagai building block dalam proses ekstensi DNA. dNTP terdiri dari 4 komponen yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. dNTP akan menempel pada gugus –OH ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat (Winter et al., 1998; Handoyo dan Ari, 2000).

4. Buffer PCR dan MgCl2

Buffer merupakan larutan yang tahan terhadap perubahan pH. Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer adalah untuk menjamin pH medium. Ion Mg2+ dari MgCl2 berfungsi sebagai kofaktor untuk


(45)

27

menstimulasi aktivitas DNA polimerase, sehingga dapat meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan senyawa dNTP (Handoyo dan Ari, 2001; Stephenson dan Maria, 2012)

5. DNA Polimerase

DNA polimerase berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim DNA polimerase yang digunakan pada proses PCR bersifat termostabil sampai 950C yang dikenal dengan

Taq polymerase (Innis and Gelfand; 1990; Crocker and Paul, 2003; Sulistyaningsih, 2007).

2.9 RFLP

Metode RFLP adalah metode analisis dengan menggunakan suatu enzim restriksi yang secara spesifik mengenal urutan nukleotida tertentu yang dikenal

sebagai “situs restriksi”. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pemotongan situs restriksi oleh enzim restriksi dan menghasilkan fragmen yang panjangnya berbeda-beda (Torroni et al., 1992). Apabila situs restriksi genom suatu kelompok organisme berubah karena terjadinya mutasi atau berpindah karena genetic arrangement, maka menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim restriksi atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukuran dari sekuen normal yang seharusnya terbentuk (Desiliyarni et al., 1999). Fragmen restriksi yang dihasilkan dideteksi dengan menggunakan gel elektroforesis (Torroni et al., 1992).


(46)

28

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Caws et al (2007), metode PCR-RFLP memiliki beberapa keuntungan, yaitu murah, mudah untuk dilakukan, dan mudah dalam menafsirkan hasil. Spesifisitas yang dihasilkan dengan metode ini adalah 100% berdasarkan uji prospektif pada 100 kultur M. tuberculosis yang dikumpulkan dari pasien di rumah sakit Ngoc Thach untuk Penyakit Tuberkulosis dan Paru, kota Ho Chi Minh (Caws et al., 2007).

2.10 Elektroforesis

Elektroforesis gel merupakan suatu teknik untuk memisahkan dan memurnikan sebagian molekul berdasarkan karakteristik fisik molekul tersebut seperti ukuran, bentuk maupun titik isoelektrik. Dengan menempatkan molekul dalam sumur (well) pada gel dan menerapkan tegangan listrik pada gel, molekul akan bergerak melalui matriks dengan kecepatan yang berbeda (Helms, 2008).

Prinsip kerja dari elektroforesis adalah berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion), dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif, yaitu katode, sedangkan partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif, yaitu anode (Klug and Cummings, 1994). Elektroforesis biasanya memerlukan media penyangga sebagai tempat bermigrasinya molekul-molekul biologi. Media penyangganya bermacam-macam tergantung pada tujuan dan bahan yang akan dianalisa. Gel poliakrilamid dan agarosa merupakan matriks penyangga yang banyak dipakai untuk separasi protein dan asam nukleat (Watson, 2007).


(47)

29

Metode standar yang digunakan untuk memisahkan, mengidentifikasi, dan memurnikan fragmen DNA adalah elektroforesis gel agarosa. Teknik ini sederhana, cepat terbentuk, dan mampu memisahkan campuran potongan DNA sesuai dengan ukurannya secara akurat dibanding dengan densitas gradien sentrifugasi. DNA dari 200 basa sampai 50 kilo basa dapat dipisah dengan gel agarosa dengan berbagai konsentrasi agarosa. Gel agarosa biasanya dilakukan dalam konfigurasi horizontal dalam kekuatan medan listrik dan arah tetap (Watson, 2007).

Kecepatan migrasi dalam elektroforesis ditentukan oleh ukuran (panjang) DNA, konformasi DNA, konsentrasi agarosa, dan besaran tegangan yang digunakan. Fragmen DNA yang berukuran pendek bergerak lebih cepat daripada yang lebih panjang. Fragmen DNA yang lebih panjang bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih besar. Hal ini disebabkan DNA yang berukuran lebih panjang harus melewati pori-pori gel sehingga lajunya kurang efisien dibandingkan fragmen DNA yang lebih kecil (Sudjadi, 2012).

Konsentrasi agarosa yang digunakan akan mempengaruhi pemisahan molekul DNA pada berbagai ukuran. Dengan menggunakan konsentrasi agarosa berbeda-beda, dimungkinkan memisahkan molekul DNA dengan berbagai ukuran sehingga akan menghasilkan pemisahan yang baik. Pada tabel 2.1 dapat dilihat berbagai konsentrasi agarosa yang sesuai untuk digunakan pada pemisahan molekul DNA dengan berbagai ukuran.


(48)

30

Tabel 2.1. Rentang Pemisahan pada Gel Agarosa (Sudjadi, 2012)

DNA yang berbentuk sirkuler superkoil (I), sirkuler bernoktah (II), dan linier (III) dari DNA yang berukuran sama akan bermigrasi melalui gel dengan kecepatan berbeda. Mobilitas relatif dari ketiga bentuk itu tergantung dari banyak faktor. Pada umumnya bentuk I yang berbentuk kompak akan bermigrasi lebih cepat dari bentuk III (Sudjadi, 2012).

Pada tegangan rendah, kecepatan migrasi fragmen DNA sebanding dengan tegangan yang digunakan. Jika tegangan dinaikkan, mobilitas fragmen DNA dengan ukuran besar naik secara deferensial. Oleh karenanya efisiensi pemisahan dalam gel agarosa akan menurun dengan kenaikan tegangan (Sudjadi, 2012),


(1)

Kisaran suhu tersebut akan membantu dalam proses penempelan salah satu primer pada untai templat (5-3’) sedangkan primer yang lain akan menempel pada untai komplemennya (3-5’). Suhu dan lama waktu yang diperlukan untuk penempelan primer tergantung dari komposisi basa, panjang primer, dan konsentrasi primer. Suhu annealing yang diaplikasikan selama proses PCR adalah ±5°C daripada Tm primer (Innis and Gelfand, 1990).

c. Pemanjangan (extension)

Pada tahap ini suhu kembali dinaikkan pada kisaran 72-78 °C. Pada tahap ini memungkinkan Taq DNA polimerase mampu bekerja secara optimal dalam proses ekstensi DNA. Umumnya suhu yang digunakan pada proses ekstensi primer adalah 72°C. Waktu ekstensi tergantung pada panjang dan konsentrasi sekuen target serta suhunya. Kecepatan penggabungan nukleotida pada suhu 72°C bervariasi tergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam, dan sifat templat DNA (Innis and Gelfand, 1990; Sambrook and Russel, 2001).

2.8.2 Komponen dalam melakukan proses PCR

Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen sebagai berikut:

1. DNA Templat

DNA untai ganda merupakan templat yang mengandung sekuen yang akan diamplifikasi (Winter et al., 1998; Handoyo dan Ari, 2000). DNA templat berfungsi sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Penyiapan tempat DNA pada proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel berdasarkan prinsip perusakan dinding sel tanpa merusaki DNA. Cara lainnya


(2)

adalah dengan melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada (Winter et al., 1998; dan Handoyo dan Ari, 2000).

2. Primer

Primer merupakan potongan untai tunggal DNA yang menempel ke sekuen komplementernya pada templat. Pada proses PCR, sepasang primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ untuk proses ekstensi DNA.

Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Ukuran primer yang optimal adalah 18-28 nukleotida dengan presentase GC sebesar 50-60% dan dibuat secara sintesis, sehingga beberapa informasi mengenai sekuen yang diinginkan/diamplifikasi harus tersedia (Innis andGelfand, 1990; Handoyo dan Ari, 2000; Crocker and Paul, 2003)

3. dNTP (deoxynucleotide triphosphates)

Pada PCR dNTPs bertindak sebagai building block dalam proses ekstensi DNA. dNTP terdiri dari 4 komponen yaitu dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. dNTP akan menempel pada gugus –OH ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat (Winter et al., 1998; Handoyo dan Ari, 2000).

4. Buffer PCR dan MgCl2

Buffer merupakan larutan yang tahan terhadap perubahan pH. Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer adalah untuk menjamin pH medium. Ion Mg2+ dari MgCl2 berfungsi sebagai kofaktor untuk


(3)

menstimulasi aktivitas DNA polimerase, sehingga dapat meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan senyawa dNTP (Handoyo dan Ari, 2001; Stephenson dan Maria, 2012)

5. DNA Polimerase

DNA polimerase berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim DNA polimerase yang digunakan pada proses PCR bersifat termostabil sampai 950C yang dikenal dengan Taq polymerase (Innis and Gelfand; 1990; Crocker and Paul, 2003; Sulistyaningsih, 2007).

2.9 RFLP

Metode RFLP adalah metode analisis dengan menggunakan suatu enzim restriksi yang secara spesifik mengenal urutan nukleotida tertentu yang dikenal sebagai “situs restriksi”. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya pemotongan situs restriksi oleh enzim restriksi dan menghasilkan fragmen yang panjangnya berbeda-beda (Torroni et al., 1992). Apabila situs restriksi genom suatu kelompok organisme berubah karena terjadinya mutasi atau berpindah karena genetic arrangement, maka menyebabkan situs tersebut tidak lagi dikenali oleh enzim restriksi atau enzim restriksi akan memotong daerah lain yang berbeda. Proses ini menyebabkan terbentuknya fragmen-fragmen DNA yang berbeda ukuran dari sekuen normal yang seharusnya terbentuk (Desiliyarni et al., 1999). Fragmen restriksi yang dihasilkan dideteksi dengan menggunakan gel elektroforesis (Torroni et al., 1992).


(4)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Caws et al (2007), metode PCR-RFLP memiliki beberapa keuntungan, yaitu murah, mudah untuk dilakukan, dan mudah dalam menafsirkan hasil. Spesifisitas yang dihasilkan dengan metode ini adalah 100% berdasarkan uji prospektif pada 100 kultur M. tuberculosis yang dikumpulkan dari pasien di rumah sakit Ngoc Thach untuk Penyakit Tuberkulosis dan Paru, kota Ho Chi Minh (Caws et al., 2007).

2.10 Elektroforesis

Elektroforesis gel merupakan suatu teknik untuk memisahkan dan memurnikan sebagian molekul berdasarkan karakteristik fisik molekul tersebut seperti ukuran, bentuk maupun titik isoelektrik. Dengan menempatkan molekul dalam sumur (well) pada gel dan menerapkan tegangan listrik pada gel, molekul akan bergerak melalui matriks dengan kecepatan yang berbeda (Helms, 2008).

Prinsip kerja dari elektroforesis adalah berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion), dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif, yaitu katode, sedangkan partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif, yaitu anode (Klug and Cummings, 1994). Elektroforesis biasanya memerlukan media penyangga sebagai tempat bermigrasinya molekul-molekul biologi. Media penyangganya bermacam-macam tergantung pada tujuan dan bahan yang akan dianalisa. Gel poliakrilamid dan agarosa merupakan matriks penyangga yang banyak dipakai untuk separasi protein dan asam nukleat (Watson, 2007).


(5)

Metode standar yang digunakan untuk memisahkan, mengidentifikasi, dan memurnikan fragmen DNA adalah elektroforesis gel agarosa. Teknik ini sederhana, cepat terbentuk, dan mampu memisahkan campuran potongan DNA sesuai dengan ukurannya secara akurat dibanding dengan densitas gradien sentrifugasi. DNA dari 200 basa sampai 50 kilo basa dapat dipisah dengan gel agarosa dengan berbagai konsentrasi agarosa. Gel agarosa biasanya dilakukan dalam konfigurasi horizontal dalam kekuatan medan listrik dan arah tetap (Watson, 2007).

Kecepatan migrasi dalam elektroforesis ditentukan oleh ukuran (panjang) DNA, konformasi DNA, konsentrasi agarosa, dan besaran tegangan yang digunakan. Fragmen DNA yang berukuran pendek bergerak lebih cepat daripada yang lebih panjang. Fragmen DNA yang lebih panjang bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih besar. Hal ini disebabkan DNA yang berukuran lebih panjang harus melewati pori-pori gel sehingga lajunya kurang efisien dibandingkan fragmen DNA yang lebih kecil (Sudjadi, 2012).

Konsentrasi agarosa yang digunakan akan mempengaruhi pemisahan molekul DNA pada berbagai ukuran. Dengan menggunakan konsentrasi agarosa berbeda-beda, dimungkinkan memisahkan molekul DNA dengan berbagai ukuran sehingga akan menghasilkan pemisahan yang baik. Pada tabel 2.1 dapat dilihat berbagai konsentrasi agarosa yang sesuai untuk digunakan pada pemisahan molekul DNA dengan berbagai ukuran.


(6)

Tabel 2.1. Rentang Pemisahan pada Gel Agarosa (Sudjadi, 2012)

DNA yang berbentuk sirkuler superkoil (I), sirkuler bernoktah (II), dan linier (III) dari DNA yang berukuran sama akan bermigrasi melalui gel dengan kecepatan berbeda. Mobilitas relatif dari ketiga bentuk itu tergantung dari banyak faktor. Pada umumnya bentuk I yang berbentuk kompak akan bermigrasi lebih cepat dari bentuk III (Sudjadi, 2012).

Pada tegangan rendah, kecepatan migrasi fragmen DNA sebanding dengan tegangan yang digunakan. Jika tegangan dinaikkan, mobilitas fragmen DNA dengan ukuran besar naik secara deferensial. Oleh karenanya efisiensi pemisahan dalam gel agarosa akan menurun dengan kenaikan tegangan (Sudjadi, 2012),