Deteksi Mutasi Daerah RRDR Gen rpoB Pada Isolat DNA Sputum Pasien Multidrug Resistant Mycobacterium Tuberculosis (MDR-TB) Dengan Metode Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP).

(1)

DETEKSI MUT

ISOLAT DNA

RESISTANT

DENGAN

REACTION-POL

M

FAKULTAS MA

UTASI DAERAH RRDR GEN

rp

DNA SPUTUM PASIEN

MULTI

NT Mycobacterium tuberculosis

(M

AN METODE

POLYMERASE CH

ON-RESTRICTION FRAGMENT L

POLYMORPHISM

(PCR-RFLP)

Skripsi

MADE RAI DWITYA WIRADIPUTRA 1208505055

JURUSAN FARMASI

ATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHU UNIVERSITAS UDAYANA

2016

rpoB

PADA

TIDRUG

(MDR-TB)

CHAIN

LENGTH

)


(2)

DETEKSI MUT

ISOLAT DNA

RESISTANT

DENGAN

REACTION-POL

M

FAKULTAS MA

UTASI DAERAH RRDR GEN

rp

DNA SPUTUM PASIEN

MULTI

NT Mycobacterium tuberculosis

(M

AN METODE

POLYMERASE CH

ON-RESTRICTION FRAGMENT L

POLYMORPHISM

(PCR-RFLP)

Skripsi

MADE RAI DWITYA WIRADIPUTRA 1208505055

JURUSAN FARMASI

ATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHU UNIVERSITAS UDAYANA

2016

rpoB

PADA

TIDRUG

(MDR-TB)

CHAIN

LENGTH

)


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “DETEKSI MUTASI DAERAH RRDR GEN rpoB PADA ISOLAT DNA SPUTUM PASIEN MULTIDRUG RESISTANT Mycobacterium tuberculosis (MDR-TB) DENGAN METODEPOLYMERASE CHAIN REACTION-RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (PCR-RFLP)” tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

Penyusunan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan, bantuan, serta bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M. Si., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

2. Dr. rer. nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., Apt., selaku Ketua Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana.

3. Dr. Sagung Chandra Yowani, S.Si., Apt., M.Si., selaku dosen pembimbing I yang telah membantu dalam membimbing serta tak hentinya memberikan semangat dan dukungan hingga akhir penyusunan tugas akhir I ini.

4. Dr. I Nengah Wirajana, S.Si., M.Si., selaku dosen pembimbing II yang juga telah banyak membimbing demi kelancaran penyusunan tugas akhir I ini. 5. Seluruh teknisi di Laboratorium Biologi Molekular FK UNUD, khususnya

Mbok Nanik, Mok Echi, dan Bu Komang yang telah banyak memberi bantuan dan dukungan.

6. Bagian/SMF Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah membantu dalam pengadaan sampel pada penelitian ini.

7. Seluruh dosen beserta staf/pegawai di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana yang telah banyak


(5)

memberikan ilmu serta dukungan sejak awal penulis mengenyam pendidikan di jurusan ini.

8. Kedua orangtua penulis, I Gede Putu Wirajaya dan Ni Luh Made Adi Gunasih, yang tak pernah henti memberi dukungan, doa, dan semangat.

9. Keluarga besar penulis yang selalu memberi dukungan serta motivasi bagi penulis.

10. Tim Tugas Akhir TB Ratih, Linda, Dektri, Widya, dan Ebi yang telah menjadi teman diskusi dan berbagi suka duka selama pembuatan Tugas Akhir.

11. Teman-teman mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana, khususnyaDioscuri Hygeia yang telah berjuang bersama penulis. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bukit Jimbaran, Juni 2016


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR SINGKATAN ... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Keilmuan... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Mycobacterium tuberculosis ... 7


(7)

2.3 Resistensi RIF ... 9

2.4 Mutasi Gen ... 11

2.4.1Point mutation... 12

2.4.2Frameshift mutation... 14

2.5 Enzim Restriksi ... 15

2.6 Pemilihan Enzim Restriksi ... 19

2.7 PCR ... 20

2.8 PCR-RFLP ... 23

2.9 Elektroforesis ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 29

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 30

3.3 Bahan Penelitian... 30

3.4 Alat Penelitian... 31

3.5 Prosedur Penelitian... 31

3.5.1 Pemilihan Enzim Restriksi ... 31

3.5.2 Isolasi DNA dari Spesimen Sputum Pasien ... 32

3.5.3 Amplifikasi GenrpoBMDR-TB dengan PCR ... 33

3.5.4 Deteksi Produk PCR ... 33

3.5.5 Digesti Produk PCR dengan Enzim Restriksi PvuII .... 34

3.5.6 Deteksi Hasil Digesti Produk PCR ... 34


(8)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemilihan Enzim Restriksi secaraIn Silico... 36

4.2 Isolasi DNAM. tuberculosis... 42

4.3 Amplifikasi Fragmen 990-1496 pb GenrpoB M. tuberculosis dengan Teknik PCR dan Deteksi Produk PCR dengan Elektro-foresis Gel Agarosa ... 45

4.4 Optimasi Digesti Produk PCR dengan Enzim PvuII ... 50

4.5 Digesti Produk PCRrpoBdengan Enzim Restriksi PvuII .... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 61

5.2 Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(9)

DAFTAR SINGKATAN

A :Adenine

ACP :acyl carrier protein

BSA :bovine serum albumin

BSC :biological safety cabinet

BTA : Basil tahan asam

C :Cytosine

DNA :Deoxyribose nucleic acid

DST :Drug susceptibility testing

dATP : deoksiadenosin trifosfat dCTP : deoksisitidin trifosfat dGTP : deoksiguanosin trifosfat dNTPs :Deoxynucleotide triphospates

dTTP : deoksitimidin trifosfat

dsDNA :Double stranded deoxyribose nucleic acid

EDTA :Ethylene diamine tetraacetic acid

FI :Fidelity index

G :Guanine

INH : Isoniazid

kpb : kilo pasang basa

LJ :Lowenstein-Jensen


(10)

MDR-TB :Multidrug Resistant-Tuberculosis

MIC :Minimum inhibitory concentration

mRNA :Messenger ribonucleic acid Mtb :Mycobacterium tuberculosis

OAT : Obat antituberkulosis Pb : pasang basa

PCR :Polymerase Chain Reaction

PCR-SSCP :Polymerase Chain Reaction Single-Stranded Conformational Polymorphism

PCR-RFLP :Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism

RIF : Rifampisin

RNA :Ribonucleic acid

RRDR :Rifampicin Resistant Determinant Regio

RT-PCR :Real Time-Polymerase Chain Reaction

ssDNA :Single stranded deoxyribose nucleic acid

T :Thymine

TB : Tuberkulosis

TBE :Tris-Boric Acid-EDTA


(11)

DAFTAR ISTILAH

Amplifikasi DNA : perbanyakan DNA Amplikon : produk amplifikasi DNA

Building block : unit monomer penyusun komponen

Comb : alat menyerupai sisir yang digunakan untuk membentuk kolom (well) pada gel agarosa

Chamber : wadah untuk meletakkan gel agarosa

DNA polimerase : enzim yang diperlukan dalam proses sintesis DNA

DNA templat : DNA untai ganda yang membawa urutan basa fragmen atau gen yang akan digandakan

DNAladder : DNA dengan ukuran yang diketahui dan digunakan sebagai pembanding ukuran DNA lain dalam elektroforesis

Gen : urutan DNA yang menyandi suatu protein

GenBank : database utama dalam biologi molekuler yang dikelola oleh NCBI

Genom : keseluruhan materi genetik (DNA/RNA) pada makhluk hidup

In vitro : percobaan dilakukan menyerupai sistem in vivo agar dapat memberikan hasil yang sama dengan prosesin vivo In silico : dilakukan pada komputer


(12)

Kodon : deret nukleotida pada mRNA yang terdiri atas kombinasi tiga nukleotida berurutan yang menyandi suatu asam amino tertentu

Mutasi : terjadinya perubahan basa dari urutan nukleotida yang lazim dari suatu sekuen DNA organisme yang dapat menyebabkan perubahan sifat fenotip

Nukleotida : unit monomer pembentuk DNA

Open reading frame : segmen dari urutan nukleotida yang diawali dengan start

kodon dan diakhiri dengan stop kodon dan memiliki panjang yang cukup untuk mengkode protein

PCR : teknik perbanyakan urutan DNA dengan menggunakan reaksi enzimatis

Primer : oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat

Resistensi : kemampuan bakteri untuk bertahan terhadap adanya obat yang dengan konsentrasi normal dapat membunuh atau menghambat pertumbuhannya

Sekuen : urutan DNA

Sekuensing : proses penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA

Transkripsi : proses sintesis RNA dengan menggunakan DNA sebagai templat


(13)

Tray : alat yang digunakan sebagai cetakan gel agarosa

Wildtype : organisme yang memunculkan karakter dalam populasi aslinya


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Mutasi gen yang berperan terhadap resistensi OAT... 9

Tabel 2.2 Frekuensi mutasi pada kodon di daerah RRDR ... 10

Tabel 2.3 Perbedaan tipe enzim restriksi ... 17

Tabel 2.4 Rentang pemisahan pada gel agarosa ... 28

Tabel 4.1 Enzim restriksi dengan situs restriksi pada titik mutasi daerah RRDR ... 37


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Contohmissense mutation... 13

Gambar 2.2 Contohnonsense mutation ... 13

Gambar 2.3. Contohframeshift mutationakibat delesi dan insersi ... 14

Gambar 2.4 Mekanisme pemotongan DNA oleh enzim restriksi ... 16

Gambar 2.5 Pemotongan enzim restriksi tipe II pada untai DNA ... 18

Gambar 2.6 Tiga tahapan utama PCR... 22

Gambar 2.7 Mutasi gen yang menyebabkan inaktivasi situs pengenalan enzim restriksi... 25

Gambar 2.8 Contoh elektroforegram hasil pemotongan produk PCR dengan enzim restriksi spesifik (Fratamicoet al., 2005)... 25

Gambar 3.1 Skema rancangan penelitian... 29

Gambar 4.1 Peta restriksi enzim PvuII pada fragmenrpoB990-1496pb.. 40

Gambar 4.2 Elektroforegram produk PCR hasil optimasi suhuannealing primer... 46

Gambar 4.3 Elektroforegram produk PCR fragmen 990-1496pb DNA MtbIsolat H37Rv, 134, DNA sputum... 48

Gambar 4.4 Elektroforegram produk PCR fragmen 990-1496pb DNA MtbIsolat P10, P11, P16... 48

Gambar 4.5 Elektroforegram hasil optimasi digesti produk PCR ... 54

Gambar 4.6 Elektroforegram produk digesti isolatM. tuberculosis... 56


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Pembuatan Larutan ... 71 Lampiran 2. Skema Kerja Isolasi DNAM. tuberculosisH37Rv... 71 Lampiran 3. Sekuen Nukleotida GenrpoB M. tuberculosisH37Rv... 73 Lampiran 4. Daftar enzim restriksi yang memotong pada fragmen 990

-1496pb genrpoB MtbH37Rv (GenBankU12205.1) ... 75 Lampiran 5. Daftar ukuran fragmen restriksi dari hasil pemotongan

enzim restriksi pada fragmen 990-1496pb genrpoB Mtb

H37Rv ... 77 Lampiran 6. Formula amplifikasi fragmen 990-1496 pb genrpoB M.

tuberculosisdan formula optimasi digesti produk PCR ... 79 Lampiran 7. Surat keterangan kelaikan etik ... 80


(17)

ABSTRAK

Resistensi terhadap rifampisin diketahui sebagai surrogate marker

kejadian MDR-TB. Sebagian besar isolat M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin mengalami mutasi di daerah sepanjang 81 pb pada gen rpoB atau disebut dengan Rifampin Resistance Determining Region (RRDR). Berbagai metode molekuler telah dikembangkan untuk deteksi MDR-TB secara cepat berdasarkan kejadian mutasi pada daerah RRDR. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif laboratoris yang bertujuan untuk mendeteksi mutasi daerah RRDR dari isolat DNA sputum pasien MDR-TB dengan metode PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi yang sesuai. Sampel penelitian diperoleh dari koleksi kultur isolat Bagian Mikrobiologi Klnik RSUP Sanglah. Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi pemilihan enzim restriksi, isolasi DNA M. tuberculosis H37Rv, amplifikasi fragmen 990-1496 gen rpoB M. tuberculosis, deteksi produk PCR, digesti produk PCR dengan enzim restriksi PvuII, dan deteksi hasil digesti produk PCR. Amplifikasi fragmen 990-1496 pb gen rpoB M. tuberculosis dilakukan terhadap DNA isolat H37Rv, 134, P10, P11, P16, DNA sputum pasien A dan B.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa enzim PvuII dapat mendeteksi mutasi pada kodon 510 dan 511 daerah RRDR M. tuberculosis dengan teknik PCR-RFLP. Beradasarkan elektroforegram hasil digesti, mutasi pada kodon 510 ditemukan pada isolat 134, sedangkan pada isolat P10, P11, dan P16 tidak ditemukan adanya mutasi pada kodon 510 maupun 511. Namun, primer pada penelitian ini belum mampu mengamplifikasi fragmen 990-1496 pb gen rpoB M. tuberculosissecara spesifik dari isolat DNA sputum pasien MDR-TB.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa PCR-RFLP dengan enzim PvuII terbukti dapat digunakan untuk deteksi mutasi kodon 510 dan 511 daerah RRDRM. tuberculosis. Mutasi pada kodon 510 hanya ditemukan pada isolat 134. Kata kunci : MDR-TB, RRDR, mutasi, PCR-RFLP; DNA sputum


(18)

ABSTRACT

Resistance to rifampicin is known as surrogate marker of MDR-TB. Most of rifampicin resistant M. tuberculosis isolates have mutations in 81 bp of rpoB

gene called Rifampin Resistance Determining Region (RRDR). Various molecular techniques have been developed for rapid detection of MDR-TB based on evidence of mutations in RRDR. The aim of this laboratory explorative experiment is to detect mutation in the region of RRDR from DNA isolate of MDR-TB respiratory specimens using PCR-RFLP method with proper restriction enzyme. The samples were obtained from isolate culture collection in Clinical Microbiology Department of Sanglah Hospital. Several steps were conducted, which are: selection of restriction enzyme, DNA isolation of M. tuberculosis

H37Rv isolate, amplification of fragment 990-1496 bp of M. tuberculosis rpoB

gene, detection of PCR products, digestion of PCR products using a selected restriction enzyme (PvuII), and detection of restriction fragment as a result of PCR product digestion. In the amplification process, DNA isolates of M. tuberculosis H37Rv, P10, P11, P16, 134, DNA isolate of MDR-TB patient’s sputum A and B were used as DNA template.

The result of this experiment showed that PvuII enzyme could detect mutation of codon 510 and 511 in the region of RRDR using PCR-RFLP. Mutation at codon 510 has been detected in isolate 134 while there were no mutation of codon 510 and 511 detected in P10, P11, and P16 isolates. However, the primer used in this experiment was unable to amplify fragment 990-1496 bp ofM. tuberculosis rpoBgene specifically from DNA isolate of MDR-TB patient’s sputum.

In conclusion, this experiment has proved the ability of PCR-RFLP with PvuII enzyme to detect mutation in codon 510 and 511 of RRDR M. tuberculosis. Mutation at codon 510 was only found in isolate 134.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Multidrug resistant tuberculosis(MDR-TB) merupakan salah satu fenomena resistensi tuberkulosis (TB). MDR-TB didefinisikan sebagai keadaan resistensi terhadap setidaknya Isoniazid (INH) dan Rifampisin (RIF) yang merupakan obat antituberkulosis (OAT) lini pertama (WHO, 2012). World Health Organization

(WHO) memperkirakan terdapat 480.000 kasus baru MDR-TB dan 190.000 kematian akibat MDR-TB di seluruh dunia pada tahun 2014. Dari jumlah kasus MDR-TB di dunia, 3,3% diantaranya merupakan kasus baru dan sekitar 20% merupakan kasus MDR-TB yang telah diobati sebelumnya (WHO, 2015). Dari jumlah kasus baru MDR-TB, diperkirakan hanya 7% yang berhasil didiagnosis. Pada 27 negara dengan angka kejadian MDR-TB tertinggi diperkirakan hanya 1% dari kasus baru MDR-TB yang dapat dideteksi dengan drug susceptibility testing

(DST) karena keterbatasan kapasitas laboratorium. Akibatnya, pasien MDR-TB memperoleh terapi yang tidak tepat dan risiko transmisi strain MDR-TB meningkat(O’Gradyet al., 2011).

RIF merupakan salah satu OAT lini pertama yang poten dengan mekanisme kerja mengikat β-subunit RNA polimerase sehingga menghambat transkripsi dan elongasi RNA mikobakteri. Pada Mycobacterium tuberculosis (Mtb), monoresistensi terhadap RIF jarang ditemukan dan lebih dari 90% isolatMtbyang resisten RIF juga resisten terhadap INH. Oleh karena itu, resistensi terhadap RIF


(20)

2

dikatakan sebagai surrogate marker kejadian MDR-TB. Dari kejadian resistensi RIF, diketahui bahwa sebanyak 95-98% kasus disebabkan karena mutasi pada daerah Rifampicin Resistant Determinant Regio (RRDR) gen rpoB Mtb (Yam et al., 2004). RRDR merupakan fragmen 81 pb yang meliputi kodon 507-533 pada area inti genrpoB(Ramaswamy dan Musser, 1998).

Deteksi MDR-TB secara cepat dan akurat sangat penting untuk penentuan regimen antibiotik yang tepat dan pencegahan penyebaran epidemi MDR-TB (Leung et al., 2003). Selama ini, kultur bakteri dari spesimen biologis pasien masih menjadi pilihan utama untuk penegakan diagnosis MDR-TB. Metode tersebut memerlukan waktu hingga 6 minggu untuk mendapatkan hasil pengujian karena kemampuan tumbuhMtbyang bervariasi (Osorioet al.2011). Hal tersebut akan menjadi kendala penegakan diagnosis MDR-TB, sehingga metode deteksi MDR-TB yang lebih efektif dan efisien perlu dikembangkan untuk mempermudah dokter menentukan regimen terapi yang tepat.

Berbagai metode molekuler telah dikembangkan untuk deteksi resistensi OAT pada Mtb secara cepat dengan pendekatan adanya mutasi pada DNA Mtb

yang bertanggung jawab terhadap kejadian resistensi OAT (Mathuriaet al., 2009). Penggunaan metode molekuler dapat mempercepat penegakan diagnosis MDR-TB dan lebih spesifik dibandingkan metode konvensional dengan kultur bakteri. Beberapa metode telah dilaporkan dapat digunakan untuk deteksi mutasi pada daerah RRDR genrpoB Mtb, antara lain PCR-SSCP (del Valle et al., 2001), RT-PCR (Marin et al., 2004), PCR-DNASequencing (Yamet al., 2004), nestedPCR (Wijaya, 2013; Pradnyaniti, 2013) danmicroarray(Yaoet al., 2010).


(21)

3

Pemanfaatan metode molekuler untuk deteksi mutasi pada kasus resistensi OAT masih terkendala pada beberapa hal, seperti sensitivitas rendah pada PCR-SSCP (del Valle et al., 2001), penggunaan teknik serta alat yang khusus, dan diperlukannya personel yang terlatih pada RT-PCR, PCR-DNA Sequencing, dan

microarray(Marinet al., 2004; Yam et al., 2004; Yao et al., 2010). Pada metode

nested PCR juga memerlukan tahapan PCR sebanyak dua kali sehingga dapat mempengaruhi waktu dan biaya deteksi mutasi. Walaupun pemanfaatan metode molekuler mampu mempersingkat waktu deteksi mutasi, beberapa diantaranya masih belum mampu menghilangkan tahapan kultur Mtb karena sampel DNA yang digunakan berasal dari hasil subkultur isolat klinik Mtb. Hal tersebut mengakibatkan tetap diperlukannya fasilitas dan kapasitas laboratorium yang memadai untuk melakukan deteksi resistensi (Wilson, 2011).

Polymerase chain reaction restrictrion fragment length polymorphism

(PCR-RFLP) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk deteksi mutasi gen pada kasus resistensi antibiotik. PCR-RFLP adalah salah satu varian teknik analisis PCR yang didasarkan pada mekanisme pemotongan DNA secara spesifik oleh enzim restriksi endonuklease, sehingga dalam metode ini diperlukan enzim restriksi yang secara spesifik mengenali urutan nukleotida daerah mutasi (Leonard, 2007). PCR-RFLP memiliki beberapa keuntungan, antara lain relatif murah, mudah dalam hal pengerjaan dan interpretasi, serta hanya memerlukan peralatan dasar PCR (Caws et al., 2007). Penelitian mengenai penggunaan PCR-RFLP dalam deteksi mutasi gen dalam kasus resistensi telah dilakukan untuk


(22)

4

deteksi mutasi pada gen katG yang merupakan penyebab resistensi Mtb terhadap INH (Leunget al., 2003; Ahmad dan Mokaddas, 2003; Cawset al., 2007).

Penelitian yang dilakukan Cawset al.(2007) pada kultur isolat MDR-TB di Vietnam serta penelitian yang dilakukan Ahmad dan Mokaddas (2003) pada isolat MDR-TB di Kuwait menunjukan bahwa PCR-RFLP dengan enzim restriksi

MspA1I dapat digunakan untuk deteksi mutasi kodon 315 gen katG Mtb. Enzim restriksi MspA1I merupakan enzim yang memiliki situs restriksi pada urutan C(AC)G▼ C(GT)G. Dengan urutan situs restriksi tersebut, enzim MspA1I akan spesifik mendeteksi adanya mutasi karena mengenali urutan nukleotida pada daerah mutasi kodon 315 genkatG Mtb(Ahmad dan Mokaddas, 2003). Sementara itu, penelitian yang dilakukan Leung et al.(2003) menunjukan bahwa PCR-RFLP dengan enzim restriksi MspI (C▼ CGG) dapat digunakan untuk deteksi langsung mutasi Ser315Thr (AGC→ACC) pada gen katG dari isolat DNA sputum pasien. Penelitian tersebut menunjukan bahwa PCR-RFLP dapat digunakan untuk deteksi langsung dari spesimen biologis seperti sputum pasien tanpa proses kulturMtb.

Penggunaan PCR-RFLP untuk deteksi mutasi daerah RRDR gen rpoB Mtb

belum pernah dilaporkan, walaupun metode tersebut memiliki beberapa keuntungan dan telah diaplikasikan untuk deteksi mutasi gen katG Mtb. Amplifikasi daerah RRDR gen rpoB dengan teknik PCR juga telah banyak dilakukan, sehingga primer dan kondisi PCR dari penelitian yang telah dilakukan dapat digunakan dalam metode PCR-RFLP karena pada dasarnya sekuen target yang akan dipotong dengan enzim restriksi akan diamplifikasi terlebih dahulu dengan teknik PCR. Pada penelitian Wijaya (2013) dan Pradnyaniti (2013) telah


(23)

5

dilakukan amplifikasi daerah 990-1496 pb genrpoBdari kultur isolat MDR-TB di Bali. Sehingga, primer dan kondisi PCR pada penelitian tersebut dapat digunakan untuk proses PCR pada metode PCR-RFLP. Pemilihan enzim restriksi merupakan salah satu tahap yang penting untuk dapat melakukan deteksi mutasi dengan metode tersebut karena diperlukan enzim restriksi yang memiliki situs restriksi pada daerah DNA yang mengalami mutasi.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini dilakukan penentuan enzim restriksi yang sesuai untuk deteksi mutasi daerah RRDR gen

rpoB Mtb serta dilakukan deteksi mutasi pada daerah RRDR dari isolat DNA MDR-TB di Bali dengan metode PCR-RFLP pada kondisi PCR dan penggunaan primer yang telah dioptimasi dari penelitian sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Enzim restriksi apakah yang dapat digunakan untuk deteksi mutasi daerah RRDR genrpoB Mtbdengan metode PCR-RFLP?

2. Apakah terjadi mutasi pada daerah RRDR genrpoB Mtbdari isolat DNA MDR-TB yang diidentifikasi dengan metode PCR-RFLP?


(24)

6

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui enzim restriksi dapat digunakan pada deteksi mutasi daerah RRDR genrpoB Mtbdengan metode PCR-RFLP.

2. Untuk mengetahui ada tidaknya mutasi pada daerah RRDR gen rpoB Mtbdari isolat DNA MDR-TB yang diidentifikasi dengan metode PCR-RFLP.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Keilmuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai titik mutasi pada daerah RRDR gen rpoB Mtb yang dapat dideteksi dengan metode PCR-RFLP serta enzim restriksi yang sesuai untuk deteksi mutasi tersebut menggunakan spesimen sputum pasien MDR-TB.

1.4.2 Manfaat Praktis

Informasi mengenai kemampuan metode PCR-RFLP untuk deteksi mutasi pada daerah RRDR gen rpoB Mtb dapat dimanfaatkan dalam perancangan

diagnostic kit untuk deteksi MDR-TB dengan cepat dan mudah serta langsung menggunakan spesimen sputum pasien TB tanpa memerlukan tahapan kulturMtb.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mycobacterium tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis (Mtb) merupakan jenis bakteri yang menyebabkan penyakit TB. Mtb pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. BakteriMtb termasuk ke dalam genusMycobacteriumdengan bentuk sel basiler. Karakteristik dari bakteri dalam genus tersebut adalah struktur dinding sel yang kaya akan kandungan lipid sehingga membentuk barrieryang hidrofobik dan memiliki permeabilitas rendah serta menyediakan proteksi terhadap agen antimikroba (Chan et al., 2006). Struktur dinding sel tersebut menyebabkan sulitnya pewarnaan terhadap bakteri dalam genus tersebut. Namun ketika dapat terwarnai akan dapat mempertahankan hasil pewarnaan pada kondisi asam mineral encer sehingga pewarnaan Mycobacterium dikenal sebagai pewarnaan basil tahan asam (BTA). Kultur bakter Mtb biasanya dilakukan pada media Lowenstein-Jensen (LJ) dengan suhu optimum 37oC dan pH 6,8 selama masa inkubasi hingga 6 minggu. Waktu multiplikasi bakteri ini sangat lambat, yaitu berkisar 14-16 jam. Mtb akan mati pada pemanasan 60oC selama 15-20 menit (Vasanthakumari, 2007).

2.2 Multidrug Resistant Tuberculosis(MDR-TB)

MDR-TB adalah penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh strain


(26)

8

INH (WHO, 2012). Pada tahun 2012, WHO mencanangkan program post-2015

global TB strategy sebagai tinjak lanjut atas tercapainya program Millenium Development Goals (MDGs) 2015 dalam hal pengendalian Tuberkulosis (TB). Tujuan program tersebut adalah untuk menghentikan epidemi TB secara global pada tahun 2035. Peningkatan kasus resistensi obat antituberkulosis; OAT merupakan ancaman utama terhadap keberhasilan program pengendalian TB (WHO, 2015).

RIF dan INH termasuk ke dalam obat lini pertama atau primer pada infeksi

Mtb. Pengobatan MDR-TB dilakukan dengan OAT lini kedua. Pengobatan ini lebih lama, lebih mahal dan regimen terapinya lebih rumit. Pasien MDR-TB membutuhkan waktu beberapa bulan lebih lama, bahkan mungkin mencapai 2 hingga 3 tahun untuk menjadi kultur negatif dibandingkan dengan pasien TB tanpa MDR (Dipiro et al., 2008). Beberapa efek yang potensial terjadi pada pengobatan MDR TB yaitu pasien mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat dalam waktu lama, peningkatan resiko kegagalan pengobatan atau kematian, seleksi terhadap strain yang resisten terhadap OAT, pasien tetap terinfeksi, dan meningkatkan penyebaran penyakit (Tessema,et al., 2012).

Kejadian resistensi OAT dapat terjadi karena ketidaksesuaian regimen dosis terapi, ketidaktaatan pasien, dan ketersediaan OAT yang rendah sehingga pengobatan TB menjadi tidak adekuat. Secara molekuler, diketahui bahwa mekanisme resistensi terjadi karena adanya mutasi pada gen pengkode target OAT atau protein tertentu yang berperan dalam aktivasi OAT dalam tubuh. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mutasi pada gen-gen yang berperan


(27)

9

dalam mekanisme resistensi OAT terutama pada kasus MDR-TB. Beberapa mutasi gen yang berperan terhadap kejadian resistensi OAT pada MDR-TB ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Mutasi gen yang berperan terhadap resistensi OAT (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011)

OAT Mekanisme Kerja Obat

Gen yang Mengalami

Mutasi

Produk Gen Frekuensi Mutasi INH Inhibisi biosintesis asam mikolat katG inhA ahpC kasA ndh Katalase persksidase Anoyl-ACP reduktase Alkil hidroksi-peroksidase reduktase -50-95% 8-43% -RIF Inhibisi sintesis

RNA

rpoB Subunit β dari RNA polimerase

95%

2.3 Resistensi RIF

RIF merupakan agen bakterisidal yang bekerja dengan cara berinteraksi dengan RNA polimerase DNA-dependent untuk menghambat transkripsi dan pemanjangan rantai RNA. Dari empat subunit RNA polimerase, subunit yang mengkode gen rpoB merupakan yang paling penting karena dengan terjadinya mutasi genetik pada unit ini, RIF tidak dapat berikatan dengan enzim RNA polimerase dan menyebabkan resistensi bakteri M. tuberculosis terhadap RIF (Raoot dan Dev, 2012).

Daerah yang paling sering mengalami mutasi dan menyebabkan resistensi terhadap RIF disebut sebagai RRDR. Segmen tersebut mencakup kodon 507


(28)

10

hingga 533. Mutasi pada segmen ini didominasi oleh perubahan nukleotida tunggal yang menghasilkan substitusi asam amino tunggal, walaupun delesi dan insersi juga terjadi dalam frekuensi yang rendah (Raoot dan Dev, 2012). Frekuensi mutasi pada gen rpoB bervariasi pada berbagai daerah geografis. Selain itu, titik mutasi juga mempengaruhi tingkat resistensiMtbterhadap RIF ketika data mutasi dicocokan dengan hasil DST (Wang et al., 2013). Frekuensi mutasi beberapa kodon pada daerah RRDR dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2Frekuensi mutasi pada kodon di daerah RRDR

No. Kodon Frekuensi Mutasia

1 533 0 – 7,7 %

2 531 3,7 – 66,6 % 3 526 12,1 – 29,7%

4 522 0 – 5,3 %

5 516 3,1 – 18,2%

6 513 0 – 11,1%

7 511 0 – 9,4%

8 510 0 – 47,7%b

9 Lainnya 0 – 18,8% Keterangan :

a = Chenet al., 2010

b = Saeedet al., 2009;Bestanabadet al., 2011; Agdamaget al., 2003

Missense mutations pada kodon 526 hingga 531 telah dilaporkan memiliki peran krusial pada tingginya angka kejadian resistensi terhadap RIF. Mutasi pada kodon 513, 526, dan 531 berkaitan dengan tingkat resistensi yang tinggi pada RIF sedangkan mutasi pada kodon 516 dikaitkan dengan tingat resistensi yang rendah pada RIF. Hal tersebut dikarenakan isolat yang mengalami mutasi pada kodon 516 menunjukkan nilai MIC yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan isolat


(29)

11

yang mengalami mutasi pada kodon 513, 526, dan 531 (del-Valle et al., 2001). Hasil penelitian Bodmer et al. (1995) menunjukkan bahwa isolat M. tuberculosis yang mengalami mutasi pada kodon 513, 526, dan 531 memiliki nilai MIC rifampisin, rifabutin, dan rifapentin yang tinggi (> 8 mg/L) bila dibandingkan dengan isolatwildtype. Sementara itu, hasil penelitian Ma et al.(2006) dan Wang

et al. (2013) menunjukkan bahwa mutasi pada kodon 533 tidak menujukkan korelasi dengan kejadian resistensi RIF.

Penelitian yang dilakukan terhadap isolat MDR-TB di Bali menunjukan adanya mutasi gen rpoB pada kodon 418, 510, 516, 526, dan 531 (Pradnyaniti, 2013; Rusyanthini, 2013; Wijaya, 2013). Jenis mutasi yang ditemukan pada isolat MDR-TB tersebut adalah mutasi titik yang menyebabkan perubahan asam amino (missense mutation). Selain pada daerah RRDR, beberapa mutasi di luar daerah RRDR juga dikaitkan dengan kejadian resistensi RIF. Namun, frekuensi terjadinya mutasi sangat kecil. Siu et al.(2011) telah mengidentifikasi dua mutasi yang jarang terjadi di luar daerah RRDR yaitu pada kodon 146 (V146F) dan kodon 572 (I572F). Mutasi pada kodon 572 juga diidentifikasi oleh del-Valle et al.(2001).

2.4 Mutasi Gen

Mutasi didefinisikan sebagai perubahan urutan basa nukleotida pada untaian molekul DNA sebagai akibat dari penggantian, penambahan, atau pengurangan pasang basa pada molekul DNA. Mutasi dapat disebabkan oleh adanya paparan mutagen yang menyebabkan kerusakan pada molekul DNA atau kesalahan pada


(30)

12

saat proses replikasi DNA. Apabila mutasi terjadi pada untaian DNA yang berperan dalam proses sintesis protein maka mutasi tersebut dapat menyebabkan terbentuknya protein yang memiliki sekuen asam amino abnormal (Chatterjea dan Shinde, 2012; Lieberman dan Marks, 2013). Secara garis besar, mutasi dibedakan menjadi 2 jenis yaitu mutasi titik (point mutation) danframeshift mutation.

2.4.1 Point mutation

Mutasi titik (point mutation) melibatkan perubahan pada nukleotida tunggal sehingga sering disebut sebagai substitusi nukelotida. Mutasi titik dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan perubahan jenis basa nukelotida yang terjadi, yaitu transisi dan tranversi. Transisi merupakan subtitusi basa nukleotida purin menjadi purin (A→G atau G→A) atau pirimidin menjadi pirimidin (C→T

atau T→C). Sedangkan transversi adalah subtitusi basa nuklotida purin mennjadi primidin atau sebaliknya (Chatterjea dan Shinde, 2012; Young, 2010). Berdasarkan efeknya terhadap asam amino atau protein yang dihasilkan, subtitusi basa nukleotida tunggal dapat menyebabkan 3 jenis mutasi yaitu sebagai berikut. a. Silent mutation adalah adanya substitusi basa nukelotida dalam suatu kodon

pada jenis mutasi ini tidak menyebakan adanya perubahan asam amino yang dikode kodon tersebut. Misalnya pada asam amino valin yang dikode oleh empat kodon yang berbeda, yaitu GUU, GUA, GUC, dan GUG. Adanya substitusi pada basa nukleotida ketiga dari tiap kodon tersebut tidak akan menyebabkan perubahan asam amino (Young, 2012).

b. Missense mutation adalah adanya substitusi basa nukleotida yang menyebabkan perubahan sekuen asam amino sehingga dapat menyebabkan


(31)

13

perubahan struktur protein dan mungkin juga menyebabkan perubahan fungsi protein. Missense mutationyang menyebabkan perubahan sekuen asam amino tanpa merubah fungsi protein yang dihasilkan disebut missense mutation

konservatif. Sedangkan missense mutation non-konservatif menyebabkan terjadinya perubahan fungsi protein (Young, 2012; Richards dan Hawley, 2011). Contoh missense mutation adalah mutasi pada kodon CAC (histidin) menjadi CUC (leusin) yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1Contohmissense mutation(Richards dan Hawley, 2011)


(32)

14

c. Nonsense mutation adalah subtitusi pada basa nukleotida dalam suatu kodon yang menyebabkan terbentuknya kodon stop (UAG, UGA, atau UAA).

Nonsense mutation menyebabkan terjadinya terminasi lebih awal pada proses translasi sehingga protein yang dihasilkan terpotong dengan sekuen asam amino yang tidak lengkap (truncated protein) dan bersifat inaktif. Apabila

nonsense mutation terjadi pada daerah awal reading frame dari gen, maka protein mungkin sama sekali tidak dihasilkan (Richards dan Hawley, 2011). Contohnonsense mutationditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.3Contohframeshift mutationakibat (a) delesi dan (b) insersi (Chatterjea dan Shinde, 2012)

2.4.2 Frameshift mutation

Frameshfit mutation melibatkan adanya proses insersi (penambahan) atau (a)


(33)

15

reading frame. Perubahanreading frameakan menyebabkan terbentuknya sekuen asam amino yang berbeda dari sekuen asam amino yang seharusnya dihasilkan, sehingga terbentuk protein baru yang lebih panjang atau lebih pendek dari protein yang seharusnya dihasilkan (Chatterjea dan Shinde, 2012; Richards dan Hawley, 2011). Contoh perubahan reading frame pada frameshift mutation ditunjukkan pada Gambar 2.3.

2.5 Enzim Restriksi

Enzim restriksi merupakan enzim yang berperan dalam pemotongan untai

double helix DNA secara spesifik pada urutan basa nukleotida tertentu. Enzim restriksi yang tersedia saat ini umumnya diperoleh dari bakteri dan archae(Khan, 2012). Enzim restriksi akan berikatan pada urutan nukleotida spesifik atau yang dikenal dengan situs pemotongan spesifik (situs restriksi) pada DNA target yang selanjutnya akan memotong DNA pada daerah tersebut. Enzim restriksi berinteraksi dengan DNA melalui ikatan hidrogen multiple(umumnya 10-15) dan beberapa ikatan van der Waals. Situs pengenalan spesifik enzim restriksi umumnya terdiri dari empat hingga enam urutan basa nukleotida dan urutan tersebut dapat membentuk pola palindrom. Pola palindrom merupakan urutan basa nukleotida yang sama dari arah yang berlawanan (Clark dan Pazdernik, 2015; Walker dan Rapley, 2005).

Sebagian besar enzim restriksi bekerja optimum pada pH 7,4. Beberapa enzim memerlukan bufferdengan pH tertentu bergantung pada pH optimal enzim dan persyaratan kekuatan ionik yang dibutuhkan untuk restriksi. Komponen utama


(34)

buffer untuk reaksi enz (Mg2+). Magnesium da ion magnesium diper restriksi DNA substra yang akan menstabil digesti (Brown, 2016 menentukan kondisi dalam pembelian enz untuk aktivitas enzim disediakan. Larutan buf

kemudian dapat dienc digesti enzim restriksi

Gambar 2.4 Mekani

enzim restriksi adalah natrium klorida (NaCl) dalam bufferreaksi enzim restriksi mutlak di perlukan sebagai kofaktor enzim untuk dapat substrat. Pada beberapa enzim juga diperlukan dithi

bilkan enzim dan mencegah inaktivasi enzim 2016). Setiap produsen enzim restriksi um

si optimal digesti masing-masing enzim rest nzim restriksi akan disertai dengan larutan buf

im tersebut dan informasi aktivitas enzim pa

buffertersebut biasanya tersedia dalam konse diencerkan menjadi larutan buffer 1X untuk

ksi (Karcher, 1995).

kanisme pemotongan DNA oleh enzim restriksi

16

l) dan magnesium k diperlukan karena pat berfungsi saat

dithitheritol (DTT) im selama proses umumnya telah restriksi sehingga

buffer yang sesuai pada buffer yang konsentrasi 10X yang uk digunakan pada


(35)

17

Mekanisme pemotongan oleh enzim restriksi dapat dilihat pada Gambar 2.4. Secara umum, proses pemotongan DNA oleh enzim restriksi diawali dengan interaksi nonspesifik antara enzim restriksi dengan DNA khususnya pada gugus fosfat. Selanjutnya, enzim restriksi bergerak sepanjang untai DNA melalui difusi linier hingga situs pengenalan spesifik ditemukan. Pada saat enzim restriksi menemukan situs pengenalan spesifik, molekul air akan dilepas dan terbentuk ikatan hidrogen antara enzim restriksi dengan basa nukleotida pada situs pengenalan. Setelah kompleks spesifik DNA-enzim restriksi terbentuk, masing-masing DNA dan enzim restriksi akan mengalami perubahan konformasi untuk aktivasi reaksi katalisis. Kemudian, enzim restriksi dengan bantuan Mg2+ akan memotong ikatan fosfodiester (reaksi katalisis) pada tiap untai DNA. Pemotongan ikatan fosfodiester tersebut akan menyebabkan terpotongnya untai DNA sesuai dengan posisi pemotongan (Williams, 2003; Pingoud dan Jeltsch, 2001).

Tabel 2.3Perbedaan tipe enzim restriksi (Stenesh, 1998)

Enzim restriksi

Tipe I Tipe II Tipe III

Situs pemotongan 1-10 kpb dari situs pengenalan

Dalam situs pengenalan

24-26 pb dari situs pengenalan

Subunit Multisubunit Subunit tunggal Multisubunit Kebutuhan ATP Ya Tidak Tidak

Berdasarkan daerah pemotongan, jumlah subunit, dan kebutuhan ATP pada proses restriksi maka enzim restriksi dibagi menjadi tiga tipe yang ditnjukkan pada Tabel 2.3. Dari ketiga tipe tersebut, enzim restriksi tipe II merupakan enzim


(36)

18

restriksi yang paling sering dimanfaatkan dalam bidang biologi molekuler. Hal tersebut dikarenakan situs pemotongan enzim restriksi tipe II berada dalam situs pengenalannya, sehingga pemotongan DNA menjadi sangat spesifik pada sekuen tertentu (Stenesh, 1998). Selain itu, enzim restriksi tipe II umumnya memiliki situs pengenalan yang palindrom (Clark dan Pazdernik, 2015).

Gambar 2.5Pemotongan enzim restriksi tipe II pada untai DNA (Clark dan Pazdernik, 2015)

Enzim restriksi tipe II dapat memotong untai DNA dengan dengan menghasilkan dua tipe fragmen, yaitu blunt end dansticky end. Pada mekanisme pemotongan blunt end, enzim tersebut memotong DNA tepat pada posisi yang sama sehingga menghasilkan dua fragmen DNA dengan ujung untai ganda. Sedangkan pada mekanisme pemotongan sticky end, enzim tersebut memotong pada urutan yang sama dari situs pengenalan namun pada posisi yang tidak sama tepat sehingga akan menghasilkan dua fragmen DNA dengan ujung untai tunggal pendek (Clark dan Pazdernik, 2015). Mekanisme pemotongan tersebut dapat


(37)

19

2.6 Pemilihan Enzim Restriksi

Berbagai jenis enzim restriksi telah berhasil diidentifikasi dari organisme prokariot dan beberapa diantaranya telah dimanfaatkan dalam penelitian biologi molekuler. Setiap enzim restriksi memiliki karakterisitk tersendiri, sehingga dalam pemanfaatannya perlu diperhatikan berapa kriteria pemilihan enzim restriksi. Menurut Gerstein (2001), beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan enzim retriksi adalah titik pemotongan yang dikehendaki pada DNA, star activity, sensitivitas terhadap metilasi, dan kemampuan enzim restriksi memotong jenis sampel DNA yang digunakan.

Titik pemotongan yang dikehendaki pada DNA merupakan pertimbangan utama dalam pemilihan enzim restriksi karena setiap enzim restriksi memiliki situs restriksi yang spesifik. Jumlah situs restriksi pada sampel DNA juga perlu dipertimbangkan karena situs restriksi yang terlalu banyak dapat menyebaban proses restriksi berlangsung lebih lama dan terjadi partial digestion (Gerstein, 2001). Berdasarkan titik pemotongan yang dikehendaki, maka ukuran fragmen yang dihasilkan juga harus diperhatikan. Ukuran fragmen yang dihasilkan akan menjadi pertimbangan dalam pemilihan metode yang digunakan pada analisis fragmen restriksi. Umumnya, metode analisis fragmen yang digunakan adalah elektroforesis. Pada elektroforesis, konsentrasi dan jenis gel yang digunakan sangat menentukan resolusi pemisahan DNA untuk analisis fragmen restriksi (Brown, 2016).

Star activitymerupakan kemampuan enzim restriksi untuk dapat memotong urutan DNA yang mirip dengan situs restriksinya pada kondisi tertentu (kondisi


(38)

20

reaksi tidak optimal). Star activity dapat disebabkan oleh pH buffer yang tinggi, waktu inkubasi yang lama, konsentrasi enzim yang tinggi, konentrasi gliserol yang tinggi, dan adanya pelarut organik. Pada enzim EcoRI pada kondisi pH

buffer yang tinggi diketahui dapat memotong pada urutan N▼ AATTC, walaupun situs restriksinya pada kondisi spesifik adalah G▼ AATTC (Gerstein, 2001). Menurut Wei et al. (2008), star activity diinyatakan dengan nilai fidelity index

(FI) yaitu rasio jumlah tertinggi enzim yang tidak menimbulkan star activity

terhadap jumlah minimum enzim yang diperlukan untuk mendigesti DNA secara keseluruhan (complete digestion). Semakin tinggi nilai FI suatu enzim, maka potensi adanya star activity akan semakin besar. Untuk mencgeah terjadinya star activity, maka kondisi kondisi reaksi restriksi harus diatur dengan buffer yang sesuai agar tercapai kondisi optimal.

2.7 PCR

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik amplifikasi segmen nukleotida spesifik secara in vitro. Teknik PCR merupakan teknik yang sensitif, selektif, dan cepat dalam amplifikasi segmen nukleotida yang diinginkan. PCR didasarkan pada proses enzimatik oleh DNA polimerase pada replikasi DNA. Pada Replikasi DNA terjadi reaksi polimerisasi nukleotida menggunakan untaian DNA sebagai cetakan (template) dengan bantuan enzim DNA polimerase serta diperlukan suatu primer yang akan menginisiasi polimerisasi rantai nukleotida. PCR melibatkan siklus reaksi polimerisasi yang berulang untuk menghasilkan


(39)

21

salinan segmen nukleotida dengan kuantitas tinggi walaupun jumlah sampel nukleotida yang digunakan sangat kecil (Stephenson, 2010; Gupta, 2008).

PCR pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis dan koleganya pada tahun 1985. Pada awalnya amplifikasi sekuen DNA dengan PCR dilakukan menggunakan primer oligonukleotida spesifik dan enzim DNA polimerase bakteri. Pada perkembangannya, diketahui bahwa penggunaan DNA polimerase termostabil dapat meningkatkan efektivitas amplifikasi hingga mampu menghasilkan salinan DNA target lebih dari 107kali lipat walaupun sekuen target hanya tersedia satu dari 100.000 untai DNA pada reaksi. Dengan berbagai perbaikan teknik dan variasi penggunaan PCR, saat ini PCR telah dimanfaatkan dalam berbagai hal seperti deteksi penyakit infeksi, studi mekanisme inflamasi, analisis mutasi, dan deteksi tumor (Cagle dan Allen, 2009).

Proses PCR dibagi menjadi tiga tahap dasar, yaitu: (1) denaturasi; (2) penempelan primer oligonukleotida pada sekuen target (annealing); dan (3) pemanjangan primer-sekuen target dengan bantuan DNA polimerase (extension). Tahapan dasar PCR tersebut akan terulang sejalan dengan pengulangan siklus PCR. Ketiga tahapan dasar PCR tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Pada tahap denaturasi,double-strandedDNA (dsDNA) didenaturasi menjadi

single-stranded DNA (ssDNA). Faktor utama yang mempengaruhi tahapan ini adalah melting temperature atau suhu yang diperlukan dari untai double helix

DNA untuk dapat terdenaturasi menjadi ssDNA. Melting temperatureditentukan berdasakan komposisi nukleotida terutama komposisi guanin-sitosin (GC). Hal tersebut dikarenakan komposisi GC memiliki ikatan hidrogen yang lebih kuat


(40)

22

sehingga memerlukan energi yang lebih besar untuk terdisosiasi dibandingkan ikatan hidrogen pada adenin-timin. Denaturasi awal umumnya dilakukan pada suhu 94oC selama 6 hingga 8 menit. Pada siklus berikutnya umumnya proses denaturasi diperpendek menjadi 1 hingga 2 menit (Bartlettet al., 2015).

Gambar 2.6Tiga tahapan utama dalam PCR (Bartlettet al., 2015)

Ketika DNA sampel telah terdenaturasi menjadi ssDNA, akan proses

annealing terjadi yaitu primer oligonukleotida menempel pada sekuen target secara spesifik. Suhu annealing biasanya ditentukan melalui optimasi. Tahap

annealing biasanya berlangsung selama 1 hingga 2 menit. Setelah primer menempel pada sekuen target, maka akan terjadi polimerisasi (pemanjangan)


(41)

23

untai DNA komplementer sehingga dihasilkan salinan sekuen DNA target atau yang disebut sebagai amplikon. Proses polimerisasi tersebut merupakan tahapan ekstensi. Tahapan tersebut ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu suhu dan panjang ekstensi. Faktor suhu berkaitan dengan aktivitas optimum DNA polimerase dan panjang ekstensi ditentukan berdasarkan aktivitas DNA polimerase dan panjang sekuen target. Secara umum, tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72oC dengan waktu 1 menit per kilo pasang basa (kpb) nukleotida. Waktu ekstensi bersifat spesifik untuk tiap reaksi dan ditentukan melalui optimasi. Dengan adanya pengulangan siklus PCR, maka jumlah amplikon yang akan dihasilkan dari satu molekul DNA target dinyatakan dengan 2x, yang mana x menyatakan jumlah siklus PCR yang dilakukan (Bartlettet al., 2015).

Untuk melaksanakan proses PCR, diperlukan beberapa komponen reaksi. Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan

enzim DNA polimerase (Handoyo dan Rudiretna, 2001).

2.8 PCR-RFLP

PCR-RFLP merupakan salah satu varian teknik analisis PCR yang didasarkan pada mekanisme pemotongan DNA secara spesifik oleh enzim restriksi endonuklease. Suatu enzim restriksi endonuklease memiliki situs pemotongan yang spesifik. Adanya polimorfisme pada untaian DNA akan


(42)

24

menyebabkan perubahan pada situs pengenalan enzim restriksi, sehingga ketika DNA yang mengalami polimorfisme didigesti dengan enzim restriksi tertentu akan menghasilkan fragmen DNA yang berbeda dibandingkan fragmen DNA normal (Leonard, 2007). Analisis produk PCR dengan enzim restriksi dapat dilakukan untuk identifikasi adanya polimorfisme DNA antarindividu dan untuk deteksi mutasi pada amplikon (Walker dan Rapley, 2005).

Apabila terjadi mutasi pada DNA dan mutasi tersebut menyebabkan adanya perubahan situs pengenalan enzim restriksi, maka deteksi mutasi dapat dilakukan dengan metode ini menggunakan enzim restriksi yang sesuai. Perubahan situs pengenalan enzim restriksi karena adanya mutasi dapat berupa inaktivasi atau penambahan situs pengenalan, yang berpengaruh terhadap jumlah dan panjang fragmen DNA yang terbentuk ketika dilakukan digesti dengan enzim restriksi (Buckingham, 2012). Pada prinsipnya, sekuen target dalam analisis PCR-RFLP akan diamplifikasi terlebih dahulu dengan PCR. Produk PCR kemudian didigesti dengan enzim restriksi tertentu dan fragmen hasil digesti dipisahkan serta divisualisasikan dengan elektroforesis (Walker dan Rapley, 2005).

Analisis RFLP pada hasil PCR akan menghasilkan pola pita DNA tertentu ketika dilakukan pemisahan dengan elektroforesis (Filippis dan McKee, 2013). Pada Gambar 2.7, dapat dilihat bahwa dengan adanya mutasi akan menyebabkan inaktivasi situs restriksi karena terjadi perubahan urutan basa nukleotida. Gen normal yang dipotong oleh enzim restriksi akan menghasilkan dua buah fragmen yang pada elektroforesis akan terlihat adanya dua pita, sedangkan gen yang


(43)

mengalami mutasi tida akan terlihat hanya sa

Gambar 2.7Mutasi

Gambar 2.8Contoh e enzi

PCR-RFLP mem diperlukan sedikit, tida

Molecul weigh standar

tidak terpotong oleh enzim restriksi dan pada satu pita saja seperti yang terlihat pada Gambar

asi gen yang menyebabkan inaktivasi situs peng restriksi (Burnset al., 2007)

ontoh elektroforegram hasil pemotongan produk P nzim restriksi spesifik (Fratamicoet al., 2005)

emiliki beberapa kelebihan, yaitu jumlah sam tidak memerlukan peralatan khusus karena hasi

ular ht ard Molec weig stand Mutant gene Normal gene 25

pada elektroforesis bar 2.8.

us pengenalan enzim

oduk PCR dengan )

sampel DNA yang hasil analisis dapat

cular ight


(44)

26

divisualisasikan dengan gel agarosa, dan analisis dapat dilakukan secara cepat. Sehingga, metode tersebut dapat dilakukan dengan sederhana untuk analisis rutin di laboratorium tanpa memerlukan biaya yang tinggi (Leonard, 2007; Walker dan Rapley, 2005; Filippis dan McKee, 2013). Metode ini juga memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama, elektroforesis konvensional memiliki keterbatasan pada pemisahan fragmen DNA yang berukuran sekitar 0,2k pb hingga 20k pb. Sehingga, besar fragmen restriksi harus berada pada rentang tersebut untuk dapat teramati pada elektroforesis. Kedua, enzim restriksi yang digunakan umumnya memotong pada beberapa titik dari fragmen DNA yang dianalisis sehingga menghasilkan beberapa pita pada hasil elektroforesis. Hal tersebut akan menyulitkan interpretasi terutama bila hasil pemotongan oleh enzim restriksi menghasilkan fragmen restriksi dengan ukuran yang tidak mampu dipisahkan pada elektroforesis dan adanya perbedaan pola restriksi antar isolat (Filippis dan McKee, 2013).

2.9 Elektroforesis

Elektroforesis merupakan teknik pemisahan suatu molekul dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul terlarut dalam medan listrik bergerak atau bermigrasi dengan kecepatan yang ditentukan oleh rasio muatan dan massa. Sebagai contoh, jika dua molekul mempunyai massa dan bentuk yang sama, molekul dengan muatan lebih besar akan bergerak lebih cepat ke elektrode (Bhowmik dan Bose, 2011). Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan


(45)

27

negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarosa, kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif le kutub positif. Selain bergantung pada rasio muatan terhadap massa molekul, kecepatan gerak molekul tersebut juga dipengaruhi oleh bentuk molekul, tegangan listrik (voltase) yang digunakan dan sifat medium (Yuwono, 2010; Wink, 2006).

Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis DNA, RNA, dan protein. Elektroforesis DNA dilakukan misalnya untuk menganalisis fragmen DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi dan menganalisis produk PCR (Bhowmik dan Bose, 2011). Elektroforesis dengan medium gel agarosa atau poliakrilamid merupakan metode standar untuk pemisahan, identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA. Agarosa merupakan polisakarida yang diperoleh dari alga merah. Gel agarosa mempunyai daya pemisahan (resolusi) lebih rendah jika dibandingkan dengan gel poliakrilamid, tetapi mempunyai rentang pemisahan lebih besar. DNA dengan ukuran 100 pb hingga 10 kpb dapat dipisahkan dengan gel agarosa pada berbagai konsentrasi agarosa (Pelt-Verkuill et al., 2008). Molekul DNA untai ganda linier, yang diletakkan pada salah satu ujung gel, bergerak melalui matriks gel pada kecepatan yang berbanding terbalik terhadap log jumlah pasang basa. Molekul yang lebih besar bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena DNA harus melewati pori-pori gel, sehingga kurang efisien lajunya diaripada molekul yang lebih kecil (Sudjadi, 2008).


(46)

28

Fragmen DNA linier dengan panjang tertentu bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda pada gel yang mengandung konsentrasi agarosa berbeda pada gel yang mengandung konsentrasi agarosa berbeda (Sudjadi, 2008). Umumnya konsentrasi agarosa yang digunakan berkisar 0,7% hingga 2%. Semakin tinggi konsentrasi agarosa, resolusi pemisahan fragmen DNA dengan ukuran kecil akan semakin baik. Agarosa dengan konsentrasi 2% akan menunjukkan resolusi pemisahan yang baik terhadap DNA dengan ukuran 0,2 pb hingga 1 kpb (Bhowmik dan Bose, 2011). Dengan menggunakan konsentrasi gel agarosa yang bebeda, dimungkinkan untuk dapat memisahkan molekul DNA dengan berbagai ukuran. Rentang pemisahan beberapa konsentrasi gel agarosa dapat dilihat pada Tabel 2.4. Konsentrasi agarosa diatas 2% mungkin digunakan untuk pemisahan fragmen DNA dengan ukuran lebih kecil dari 100 pb, namun pada konsentrasi tersebut umumnya agarosa akan sulit untuk larut, dituang, serta memadat karena tingginya viskositas agarosa (Pelt-Verkuilet al., 2008; Bhowmik dan Bose, 2011).

Tabel 2.4Rentang pemisahan pada gel agarosa (Sudjadi, 2008)

% agarosa dalam gel Efisiensi pemisahan molekul DNA linier (kb)

0,3 5-60

0,6 1-20

0,7 0,8-10

0,9 0,5-7

1,2 0,4-6

1,5 0,2-3


(1)

untai DNA komplementer sehingga dihasilkan salinan sekuen DNA target atau yang disebut sebagai amplikon. Proses polimerisasi tersebut merupakan tahapan ekstensi. Tahapan tersebut ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu suhu dan panjang ekstensi. Faktor suhu berkaitan dengan aktivitas optimum DNA polimerase dan panjang ekstensi ditentukan berdasarkan aktivitas DNA polimerase dan panjang sekuen target. Secara umum, tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72oC dengan waktu 1 menit per kilo pasang basa (kpb) nukleotida. Waktu ekstensi bersifat spesifik untuk tiap reaksi dan ditentukan melalui optimasi. Dengan adanya pengulangan siklus PCR, maka jumlah amplikon yang akan dihasilkan dari satu molekul DNA target dinyatakan dengan 2x, yang mana x menyatakan jumlah siklus PCR yang dilakukan (Bartlettet al., 2015).

Untuk melaksanakan proses PCR, diperlukan beberapa komponen reaksi. Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim DNA polimerase (Handoyo dan Rudiretna, 2001).

2.8 PCR-RFLP

PCR-RFLP merupakan salah satu varian teknik analisis PCR yang didasarkan pada mekanisme pemotongan DNA secara spesifik oleh enzim restriksi endonuklease. Suatu enzim restriksi endonuklease memiliki situs pemotongan yang spesifik. Adanya polimorfisme pada untaian DNA akan


(2)

menyebabkan perubahan pada situs pengenalan enzim restriksi, sehingga ketika DNA yang mengalami polimorfisme didigesti dengan enzim restriksi tertentu akan menghasilkan fragmen DNA yang berbeda dibandingkan fragmen DNA normal (Leonard, 2007). Analisis produk PCR dengan enzim restriksi dapat dilakukan untuk identifikasi adanya polimorfisme DNA antarindividu dan untuk deteksi mutasi pada amplikon (Walker dan Rapley, 2005).

Apabila terjadi mutasi pada DNA dan mutasi tersebut menyebabkan adanya perubahan situs pengenalan enzim restriksi, maka deteksi mutasi dapat dilakukan dengan metode ini menggunakan enzim restriksi yang sesuai. Perubahan situs pengenalan enzim restriksi karena adanya mutasi dapat berupa inaktivasi atau penambahan situs pengenalan, yang berpengaruh terhadap jumlah dan panjang fragmen DNA yang terbentuk ketika dilakukan digesti dengan enzim restriksi (Buckingham, 2012). Pada prinsipnya, sekuen target dalam analisis PCR-RFLP akan diamplifikasi terlebih dahulu dengan PCR. Produk PCR kemudian didigesti dengan enzim restriksi tertentu dan fragmen hasil digesti dipisahkan serta divisualisasikan dengan elektroforesis (Walker dan Rapley, 2005).

Analisis RFLP pada hasil PCR akan menghasilkan pola pita DNA tertentu ketika dilakukan pemisahan dengan elektroforesis (Filippis dan McKee, 2013). Pada Gambar 2.7, dapat dilihat bahwa dengan adanya mutasi akan menyebabkan inaktivasi situs restriksi karena terjadi perubahan urutan basa nukleotida. Gen normal yang dipotong oleh enzim restriksi akan menghasilkan dua buah fragmen yang pada elektroforesis akan terlihat adanya dua pita, sedangkan gen yang


(3)

mengalami mutasi tida akan terlihat hanya sa

Gambar 2.7Mutasi

Gambar 2.8Contoh e enzi

PCR-RFLP mem diperlukan sedikit, tida

Molecul weigh standar

tidak terpotong oleh enzim restriksi dan pada satu pita saja seperti yang terlihat pada Gambar

asi gen yang menyebabkan inaktivasi situs peng restriksi (Burnset al., 2007)

ontoh elektroforegram hasil pemotongan produk P nzim restriksi spesifik (Fratamicoet al., 2005)

emiliki beberapa kelebihan, yaitu jumlah sam tidak memerlukan peralatan khusus karena hasi

ular ht ard Molec weig stand Mutant gene Normal gene

pada elektroforesis bar 2.8.

us pengenalan enzim

oduk PCR dengan )

sampel DNA yang hasil analisis dapat

cular ight


(4)

divisualisasikan dengan gel agarosa, dan analisis dapat dilakukan secara cepat. Sehingga, metode tersebut dapat dilakukan dengan sederhana untuk analisis rutin di laboratorium tanpa memerlukan biaya yang tinggi (Leonard, 2007; Walker dan Rapley, 2005; Filippis dan McKee, 2013). Metode ini juga memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama, elektroforesis konvensional memiliki keterbatasan pada pemisahan fragmen DNA yang berukuran sekitar 0,2k pb hingga 20k pb. Sehingga, besar fragmen restriksi harus berada pada rentang tersebut untuk dapat teramati pada elektroforesis. Kedua, enzim restriksi yang digunakan umumnya memotong pada beberapa titik dari fragmen DNA yang dianalisis sehingga menghasilkan beberapa pita pada hasil elektroforesis. Hal tersebut akan menyulitkan interpretasi terutama bila hasil pemotongan oleh enzim restriksi menghasilkan fragmen restriksi dengan ukuran yang tidak mampu dipisahkan pada elektroforesis dan adanya perbedaan pola restriksi antar isolat (Filippis dan McKee, 2013).

2.9 Elektroforesis

Elektroforesis merupakan teknik pemisahan suatu molekul dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul terlarut dalam medan listrik bergerak atau bermigrasi dengan kecepatan yang ditentukan oleh rasio muatan dan massa. Sebagai contoh, jika dua molekul mempunyai massa dan bentuk yang sama, molekul dengan muatan lebih besar akan bergerak lebih cepat ke elektrode (Bhowmik dan Bose, 2011). Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan


(5)

negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarosa, kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif le kutub positif. Selain bergantung pada rasio muatan terhadap massa molekul, kecepatan gerak molekul tersebut juga dipengaruhi oleh bentuk molekul, tegangan listrik (voltase) yang digunakan dan sifat medium (Yuwono, 2010; Wink, 2006).

Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis DNA, RNA, dan protein. Elektroforesis DNA dilakukan misalnya untuk menganalisis fragmen DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi dan menganalisis produk PCR (Bhowmik dan Bose, 2011). Elektroforesis dengan medium gel agarosa atau poliakrilamid merupakan metode standar untuk pemisahan, identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA. Agarosa merupakan polisakarida yang diperoleh dari alga merah. Gel agarosa mempunyai daya pemisahan (resolusi) lebih rendah jika dibandingkan dengan gel poliakrilamid, tetapi mempunyai rentang pemisahan lebih besar. DNA dengan ukuran 100 pb hingga 10 kpb dapat dipisahkan dengan gel agarosa pada berbagai konsentrasi agarosa (Pelt-Verkuill et al., 2008). Molekul DNA untai ganda linier, yang diletakkan pada salah satu ujung gel, bergerak melalui matriks gel pada kecepatan yang berbanding terbalik terhadap log jumlah pasang basa. Molekul yang lebih besar bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena DNA harus melewati pori-pori gel, sehingga kurang efisien lajunya diaripada molekul yang lebih kecil (Sudjadi, 2008).


(6)

Fragmen DNA linier dengan panjang tertentu bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda pada gel yang mengandung konsentrasi agarosa berbeda pada gel yang mengandung konsentrasi agarosa berbeda (Sudjadi, 2008). Umumnya konsentrasi agarosa yang digunakan berkisar 0,7% hingga 2%. Semakin tinggi konsentrasi agarosa, resolusi pemisahan fragmen DNA dengan ukuran kecil akan semakin baik. Agarosa dengan konsentrasi 2% akan menunjukkan resolusi pemisahan yang baik terhadap DNA dengan ukuran 0,2 pb hingga 1 kpb (Bhowmik dan Bose, 2011). Dengan menggunakan konsentrasi gel agarosa yang bebeda, dimungkinkan untuk dapat memisahkan molekul DNA dengan berbagai ukuran. Rentang pemisahan beberapa konsentrasi gel agarosa dapat dilihat pada Tabel 2.4. Konsentrasi agarosa diatas 2% mungkin digunakan untuk pemisahan fragmen DNA dengan ukuran lebih kecil dari 100 pb, namun pada konsentrasi tersebut umumnya agarosa akan sulit untuk larut, dituang, serta memadat karena tingginya viskositas agarosa (Pelt-Verkuilet al., 2008; Bhowmik dan Bose, 2011).

Tabel 2.4Rentang pemisahan pada gel agarosa (Sudjadi, 2008)

% agarosa dalam gel Efisiensi pemisahan molekul DNA linier (kb)

0,3 5-60

0,6 1-20

0,7 0,8-10

0,9 0,5-7

1,2 0,4-6

1,5 0,2-3