Ringkasan - Struktur Komunitas dan Peranan Ekologi Semut Sebagai Predator Serangga Hama pada Beberapa Tipe Lanskap Pertanian di Sumatra Barat.

Bidang Ilmu Biologi

RINGKASAN

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

Struktur Komunitas dan Peranan Ekologi Semut
Sebagai Predator Serangga Hama
pada Beberapa Tipe Lanskap Pertanian di Sumatra Barat

Oleh:
Dr. Henny Herwina, M.Si.
Dr. Ir. Yaherwandi, M.Si.
Prof. Dr. Siti Salmah

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ANDALAS
2008

RINGKASAN DAN SUMMARY

Penelitian mengenai struktur komunitas semut pada ekosistem pertanian dengan
tipe lanskap yang berbeda di Sumetera Barat, yang diharapkan dapat digunakan
sebagai landasan dalam memanfaatkan semut sebagai bioindikator pada lahan
pertanian dan memahami potensi ekologinya sebagai predator dari serangga hama
telah dilakukan sejak bulai Februari sampai oktober 2008. Penelitian dilakukan
pada tiga tipe ekosistem pertanian yang berbeda yang terletak pada tiga
Kabupaten di Sumatera tiga lokasi yaitu Aie Batumbuak (Kab. Solok) dan Sungai
Sariak (Kodya Padang) mewakili lanskap sederhana (pertanaman sayuran dan
padi monokultur), Batu Palano (Kab. Agam) mewakili lanskap yang kompleks
(pertanaman polikultur yaitu: sayuran, padi, dan palawija). Koleksi telah
dilakukan sebanyak 3 kali untuk tiap lokasi.
Telah ditemukan sebanyak 10102 individu semut yang tegabung kedalam
32 spesies, 6 sub famili, 12 tribe dan 18 genus pada tiga lanskap pertanian di
Sumatera Barat, yang meliputi; 1) Sebanyak 2265 individu, 27 spesies, 5
subfamili, 12 tribe dan 14 genus semut telah ditemukan pada area pertanaman
padi monokultur Sungai Sariak Kotamadya Padang; 2) Sebanyak 5596 individu,
26 spesies, 5 subfamili, 12 tribe dan 16 genus semut telah ditemukan pada area
pertanaman sayuran Aia Batumbuak Kabupaten Solok; dan 3) Sebanyak 2241
individu, 24 spesies, 4 subfamili, 10 tribe dan 13 genus semut telah ditemukan
pada area pertanaman campuran padi dan sayuran di Desa Batu Palano,

Kabupaten Agam. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah spesies terbanyak
ditemukan pada pertanaman padi monokultur Sungai Sariak (27 spesies), disusul
dengan semut yang ditemukan pada area pertanaman sayur Aia Batumbuak (26
spesies). Sedangkan pada pertanaman yang lebih kompleks, yaitu aneka sayuran
dan terkadang padi didaerah Batu Palano, hanya ditemukan 24 spesies. Duapuluh
satu spesies ditemukan pada ketiga lanskap, 5 spesies hanya ditemukan di Aia
Batumbuak, 6 spesies hanya ditemukan di Sungai Sariak, dan tidak ada spesies
yang hanya di temukan di Batu Palano. Myrmicinae adalah sub famili yang
paling dominan, sedangkan Pheidole and Paratrechina adalah gerena yang paling
banyak spesiesnya. Tiga spesies paling dominan di Aia Batumbuak adalah
Pheidole sp. 2, Odontoponera denticulata dan Pheidole sp. 1, di Sungai Sariak
adalah Selenopsis sp., Monomorium sp. 1 dan Odontoponera denticulata,
sedangkan di Batu Palano adalah O. denticulata, Pachycondyla sp and Pheidole
sp. 6. Spesies semut di bagian pinggir dan di area pertanamanpun bervariasi dalam
jumlah dan kepadatan individunya. Selama penelitian, ditemukan 6 spesies semut
yang berfungsi sebagai predator.
I. PENDAHULUAN
Semut merupakan salah satu model yang ideal untuk mengukur dan
memonitor keanekaragaman hayati karena beberapa alasan. Serangga yang


ii

tergolong ke dalam famili Formicidae dan ordo Hymenoptera ini sangat banyak
dan dominan di dalam ekosistim, baik sebagai predator atau bersimbiosis dengan
tumbuhan dan berbagai organisme lain, mudah dikoleksi dengan cara yang bisa
distandarisasi, cukup menyebar pada suatu lokasi, memungkinkan untuk
diidentifikasi, dan sebagainya (e.g., Wilson, 1976; Hölldobler & Wilson, 1990).
Sebagian besar semut mempunyai lokasi yang tertentu dan mempunyai sarang
perenial dengan wilayah untuk mencari makan yang terbatas, sehingga mereka
dapat pula digunakan sebagai indikator bagi kondisi lingkungan (Chung &
Mohamed, 1996; Peck et al., 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al., 2002;
Longino et al., 2002).
Pengetahuan mengenai keanekaragaman semut pada suatu area dapat
memberikan informasi yang sangat berguna bagi perencanaan konservasi, karena
inventarisasi spesies semut pada suatu area akan berhubungan dengan data tentang
distribusinya, mendokumentasikan apakah ada yang jarang, terganggu, atau
adanya spesies yang amat penting secara ekologi (adanya spesies baru atau
adanya spesies yang hanya dapat ditemukan pada habitat tertentu). Jumlah dan
komposisi semut pada suatu area mengindikasikan kesehatan suatu ekosistim dan
memberikan gambaran pada kehadiran organisme lain, karena banyaknya

interaksi semut dengan berbagai tumbuhan maupun hewan lain (Alonso dan
Agusti, 2000).
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati
yang sangat tinggi, akan tetapi masih sedikit sekali publikasi yang dapat
ditemukan mengenai hal itu. Khusus mengenai keanekaragaman semut di
Indonesia, baru pada tahun 2001, Ito et. al. melaporkan bahwa telah ditemukan
216 jenis semut di Kebun Raya Bogor. Pada tahun 2005, selama meneliti fluktuasi
semut pada sebuah area di dalam Kebun Raya Bogor, ditemukan pula 10 spesies
semut lainnya (Herwina dan Nakamura, 2008).
Keanekaragaman semut telah diteliti pada beberapa tipe habitat di negara
tropika lainnya, misalnya pada kanopi pohon-pohon di hutan hujan (Itino and
Yamane, 1995, Widodo et al. 2001), di lantai hutan (Yamane et al. 1996), di hutan
savanna (Andersen, 1991), pada lahan perkayuan semi arid tropika Australia

iii

(Andersen et al. 2002). Kebanyakan penelitian semut di negara Asia Tenggara
(termasuk India dan tropical Australia) dilakukan di daerah hutan (Khoo, 1990;
Chung dan Mohamed, 1996; Basu, 1997; Bruhl, et al. 1998) dan hanya sedikit
sekali penelitian pada daerah yang telah dijamah manusia (Sota, et al. 2001, Ito et

al. 2001, Andersen, 2002).
Potensi semut sebagai bioindikator telah banyak dikembangkan di
Australia (Andersen, 2002). Di North Carolina dan Virginia ditemukan bahwa
semut berpotensi sebagai bioindikator agroekosistem. Kehadiran spesies semut di
suatu area erat kaitannya dengan faktor manajemen, variasi tanah dan praktek
penanaman (Peck et al., 1998). Semut adalah predator yang penting, dan
diprediksikan dapat melindungi tanaman dari hama jika dapat dimengerti dan
diteliti dengan benar (Philpott dan Armbrecht, 2006). Di Indonesia, belum
ditemukan informasi mengenai keanekaragaman semut dan fungsinya di dalam
ekosistim pertanian, hutan maupun ekosistim lainnya. Oleh karena itu, dapat
dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah keanekaragaman spesies semut yang terdapat pada
beberapa tipe lanskap ekosistem pertanian di Sumatera Barat?
b. Bagaimanakah pengaruh praktek pertanian dengan intensitas pemakaian
insektisida yang berbeda terhadap struktur komunitas semut?
c. Apakah spesies semut yang berpotensi sebagai predator pada ekosistim
pertanian?
d. Bagaimanakah bioekologi semut yang berpotensi sebagai predator bagi
serangga hama di lahan pertanian?
II. TINJAUAN PUSTAKA

Data mengenai keanekaragaman dan komposisi spesies semut merupakan
dasar yang dibutuhkan dalam penggunaan semut untuk memonitor perubahan atau
perbaikan lingkungan. Walaupun banyak spesies semut yang mampu membuat
sarang dalam kondisi yang cukup variatif, namun banyak juga yang memerlukan
kriteria tertentu dan khusus sehingga dapat digunakan sebagai indikator
perubahan habitat atau keberhasilan restorasi. Ada beberapa spesies semut di

iv

seluruh dunia yang dapat beradaptasi untuk hidup pada area yang telah
“diganggu” dan mengembangkan koloni dengan cepat. Semut seperti ini dapat
menjadi indikator adanya perusakan habitat. Kebanyakan spesies semut hidup
pada koloni secara tetap dan tidak gampang berpindah habitat. Semut menjadi
ideal untuk program monitoring karena dapat di sampling secara berulang kali
dengan menggunakan metoda yang sama, dapat memberi informasi mengenai
bagaimana struktur vegetasi, kepadatan musuh alami, kualitas tanah dan
kepadatan predator berubah seiring dengan waktu (Alonso dan Agusti, 2000).
Penelitian mengenai spesies semut di hutan hujan tropika wilayah Asia
tenggara telah mulai berkembang dan telah dilaporkan adanya diversitas spesies
semut yang sangat luar biasa (e.g., Brühl et.al., 1998; Yamane, 1996). Akan tetapi,

di Indonesia, belum ada publikasi yang solid mengenai fauna semut, kecuali yang
dilaporkan oleh Ito et al. (2001) (tapi lihat juga Dammermann, 1948 untuk
wilayah Krakatau, disebutkan dalam Ito et.al., 2001). Ito et al. meneliti mengenai
fauna semut di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, dengan menggunakan 7 metode
sampling pada tahun 1985 dan antara tahun 1990 dan 1998. Secara keseluruhan,
mereka menemukan 216 spesies yang tergabung ke dalam 9 sub subfamily.
Melalui perbandingan hasil penelitian ini dengan berbagai laporan dari wilayah
hutan hujan tropika Asia, mereka menjelaskan bahwa komposisi spesies di Kebun
Raya Bogor sama dengan yang ditemukan di wilayah hutan hujan dataran rendah
lainnya di Jawa Barat, tetapi berbeda dengan yang ditemukan pada hutan hujan di
wilayah pegunungan. Jumlah spesies yang ditemukan di Kebun Raya Bogor lebih
rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan telah ditemukan pada hutan primer
dataran rendah di wilayah Asia lainnya (misalnya, Brühl et al., 1998 dan lihat Ito
et al., 2001 sebagai referensi selanjutnya). Walaupun demikian, Kebun Raya
Bogor, yang terisolasi di pusat sebuah daerah perkotaan, dengan banyak gangguan
dari manusia, menyimpan diversitas semut yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan yang di temukan di wilayah subtropika dan temperate (misalnya., 267 spp.
Untuk seluruh Jepang dan 138 pada “seasonal” hutan hujan sub tropika di bagian
barat Australia (Ito et al., 2001).
Pada penelitian tentang semut yang juga dilakukan selama 3.5 tahun di

dalam Kebun Raya Bogor (luas area 15 x 20 m2, yang ditanami dengan 30 Ipomea

v

carnea) dengan sampling yang dilakukan secara intensif (setiap satu atau dua
minggu sekali) menggunakan pitfall trap, didapatkan kurva akumulasi species
semut yang asimtot. Diperkirakan hampir semua jenis semut pada lokasi
penelitian telah terkoleksi, yaitu 55 spesies. Spesies semut yang dominan adalah
Pheidole plagiaria, Anoplolepis gracilipes dan Odontoponera denticulata
(Herwina dan Nakamura, 2008). Jumlah jenis yang ditemukan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah spesies semut yang ditemukan dengan menggunakan
metoda yang sama pada beberapa lokasi di daerah hutan di Western Gath India,
yaitu 36 spesies (Basu, 1997). Penemuan ini menunjukkan keanekaragaman semut
yang sangat tinggi di Indonesia, namun penelitian dan informasi yang ada masih
sangat terbatas.
Pada 3 lokasi yang berbeda (tanaman sayuran polikultur yang banyak
pestisida, padi polikultur dengan sayuran dan palawija yang sedikit pestisida, dan
padi monokulktur tanpa pestisida) dii Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur, Jawa
Barat, telah ditemukan pula dua genus Pheidole yang dominan, diikuti dengan A.
gracilipes dan O. denticulata. Dari pengamatan lapangan, beberapa semut

predator terlihat dominan disalah satu lokasi dibandingkan dengan lokasi lainnya
(Yuherwandi,

belum

dipublikasikan).

Kecendrungan

yang

tampak

ini

menimbulkan keingintahuan untuk melihat lebih jauh pengaruh habitat serta cara
pemanfaatan lahan yang berbeda terhadap keanekaragaman dan potensi semut
sebagai bioindikator lingkungan dan predator bagi serangga lainnya, khususnya
predator bagi serangga hama.


III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan dilaksanakannya penelitian mengenai struktur komunitas dan
peranan ekologi semut sebagai predator serangga hama pada beberapa lanskap
perta nian di Sumatra Barat ini adalah sebagai berikut:
e. Mengidentifikasi keanekaragaman spesies semut yang terdapat pada
beberapa tipe lanskap ekosistem pertanian di Sumatera Barat.

vi

f. Mempelajari pengaruh praktek pertanian dengan intensitas pemakaian
insektisida yang berbeda terhadap struktur komunitas semut.
g. Mengidentifikasi spesies semut yang berpotensi sebagai bioindikator bagi
kesehatan ekosistim pertanian
h. Mengidentifikasi dan mempelajari bioekologi semut yang berpotensi
sebagai predator bagi serangga hama di lahan pertanian.
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dimanfaatkan sebagai bagian
informasi awal mengenai komunitas semut di lanskap pertanian dan pada
gilirannya dapat digunakan dalam upaya pengendalian hama pertanian di
Indonesia.

IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai struktur komunitas dan melihat peran ekologi semut
predator ini semut ini telah dilakukan di laboratorium Taksonomi Hewan
Invertebrata Jurusan Biologi FMIPA Unand. Penelitian dilaksanakan antara bulan
Februari 2008 hingga Oktober 2008. Pengambilan sampel semut dilakukan pada
tiga lanskap pertanian yaitu berturut-turut di Batu Palano Kabupaten Agam, Aie
Batumbuak Kabupaten Solok, dan Sungai Sariak Kodya Padang, Sumatra Barat.
4.2. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan selama satu tahun yang difokuskan pada
aspek keanekaragaman semut pada tanaman padi dan Cruciferae serta habitat
tumbuhan liar yang terdapat di sekelilingnya pada berbagai tipe lanskap pertanian.

4.3. Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) pada beberapa tipe
lanskap pertanian di Sumatera Barat
4.3.1. Pengambilan sampel Semut
Pada masing-masing lanskap dibuat 2 jalur transek (satu transek di
perbatasan lahan pertanaman dengan vegetasi lain, sedangkan satu transek lagi
ditengah area pertanaman) dengan panjang lebih kurang 1000 m atau

vii

sepanjang pertanaman yang ada. Pada setiap jalur transek dipasang 50
perangkap. Pengambilan sampel pada pertanaman sayuran di Batu Palano dan
Aia Batumbuak

dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu musim dengan

interval pengambilan sampel sekitar 30 hari. Pengambilan sampel pada
pertanaman padi Sungai sariak juga dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu
musim. Waktu pengambilan sampel pada pertanaman sayuran dipilih
berdasarkan pertimbangan keadaan pertanaman di lapangan, karena tingkat
pertumbuhan tanaman sayuran di lapangan sangat beragam. Pada tanaman
padi sampel diambil saat tanaman padi berumur 20, 50, dan 80 hari setelah
tanam. Hal ini dapat dilakukan karena pertumbuhan pertanaman padi di
lapangan lebih seragam.
Pengambilan sampel semut di setiap titik sampel pada jalur transek
dilakukan dengan menggunakan perangkap jebak (pitfall trap). Perangkap
jebak terbuat dari gelas plastik dengan volume 220 ml, diameter mulut 7 cm
dan tinggi 10 cm. Gelas diisi 25 ml larutan air sabun secukupnya untuk
mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap
tenggelam dan mati. Perangkap jebak digunakan untuk memerangkap
serangga yang aktif di permukaan tanah, termasuk semut (Heong et al 1991;
Schonenly et al. 1998; Yaherwandi, et al. 2006). Pada saat menyusuri jalur
transek, species semut yang ditemukan dikoleksi pula dengan menggunakan
aspirator. Faktor lingkungan, seperti suhu, kelembaban, curah hujan dan
keadaan cuaca dicatat. Demikian pula halnya dengan kondisi vegetasi disetiap
titik sampel.
Semut yang tertangkap dengan perangkap jebak dibersihkan dari
kotoran. Selanjutnya disimpan dalam tabung film berisi alkohol 70% untuk
diidentifikasi

di

laboratorium.

Identifikasi

serangga

dilakukan

di

Laboratorium Taksonomi serangga Jurusan Biologi Fakultas MIPA dan
Laboratorium Ekologi Serangga Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. Semua semut yang diperoleh
identifikasi sampai tingkat spesies dan yang tidak diketahui diidentifikasi
berdasarkan morfospesies (hanya diberi kode). Identifikasi serangga di
laboratorium dilakukan dengan mengacu pada buku Bolton (1994) dan

viii

Shattuck (1999) dan dengan menggunakan koleksi spesimen yang ada pada
Laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan bilogi FMIPA dan Laboratorium
Ekologi Serangga Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Universitas
Andalas.
4.3.2. Analisis data
Analisis data Keanekaragaman dan kelimpahan spesies semut
dilakukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner,
indek kekayaan spesies dan indeks kemerataan Simpson. Untuk menghitung
kekayaan spesies, indeks Shannon-Wienner dan indeks kemerataan Simpson
digunakan program Ecological metodology for Windows. Untuk menentukan
perbedaan kekayaan, keanekaragaman dan kemerataan spesies semut digunakan
analisis ragam (One way ANOVA) dan uji jarak berganda Duncan (DNMRT)
95% menggunakan program Statistica 6.0 for Windows.
Analisis kemiripan komunitas semut pada ke tiga lokasi atau lanskap
mengunakan indeks kemiripan Jaccard. Untuk memperoleh nilai indeks
kemiripan Jaccard digunakan program biodiv97 yang diintegrasikan dalam
Microsoft Exel. Selanjutnya dilakukan analisis pengelompokkan komunitas
dengan Cluster analysis (UPGMA) dan Multi Dimesional Scaling (MDS)
menggunakan program Statistica 6 for Windows.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari pengambilan sampel, identifikasi spesies dan analisa data yang dilakukan,
telah ditemukan sebanyak 10102 individu semut yang tegabung kedalam 32
spesies, 6 sub famili, 12 tribe dan 18 genus pada tiga lanskap pertanian di
Sumatera Barat (Tabel 1, Lampiran 1). Pada area pertanaman padi monokultur
Sungai Sariak Kotamadya Padang ditemukan sebanyak 2265 individu yang
tergabung kedalam 27 spesies, 5 subfamili, 12 tribe dan 14 genus semut. Pada
area pertanaman sayuran Aia Batumbuak Kabupaten Solok ditemukan 5596
individu yang tergabung kedalam 26 spesies, 5 subfamili, 12 tribe dan 16 genus
semut. Sedangkan sebanyak 2241 individu yang tergabung kedalam 24 spesies, 4

ix

subfamili, 10 tribe dan 13 genus semut telah ditemukan pada area pertanaman
campuran padi dan sayuran di Desa Batu Palano, Kabupaten Agam.
5.1. Jumlah Individu dan spesies semut yang ditemukan pada tiga lanskap
pertanian di Sumatra Barat
Adalah hal yang tidak sederhana untuk menerangkan bagaimana terjadinya
perbedaan jumlah individu, spesies, genera dan tribe diantara pengambilan
sampel semut pada 3 lanskap yang berbeda. Untuk perbandingan jumlah
individu, Aia batumbuak menempati posisi pertama (53.9 %), sedangkan
Sungai Sariak dan Batu Palano memiliki jumlah individu yang tak jauh
berbeda (22.42 dan 22.18 %).
Untuk jumlah spesies, Sungai Sariak menempati posisi pertama
dengan 27 spesies (84.3 %). Kecendrungan ini menarik untuk dibahas,
karena lanskap Sungai Sariak merupakan pertanaman padi monokultur dan
hampir tanpa pemberian pestisida oleh petani, terletak pada ketinggian
sekitar 150 m dari permukaan laut. Kondisi lahan yang hampir tanpa
pemberian pestisida tampaknya baik pula bagi perkembangan jenis-jenis
semut tertentu. Ditambah lagi dengan kondisi vegetasi pinggir sawah yang
cukup bervariasi dari segi jenis tumbuhannya, dimana ditemukan semak,
rumput liar dan beberapa pohon seperti manggis dan durian. Kondisi
vegetasi ini sangat berbeda dengan lanskap Aia Batumbuak dan Batu Palano
yang pada masing-masingnya ditemukan 26 dan 24 spesies semut saja
(81.25 dan 75.00 %). Lanskap Aia Batumbuak adalah lokasi pertanaman sayuran
dataran tinggi (950 m dpl) yang didominasi oleh kubis. Pada saat pengambilan
sampel, petak pertanaman tertentu terdapat pula tanaman tomat dan cabe. Pada
pinggiran pertanaman vegetasinya didominansi ilalang dan paku resam. Tidak
terdapat pohon kecuali pada lokasi pemasangan 10 trap pada jalur transek
pinggiran pertanaman. Menurut keterangan petani, pemakaian pestisida cukup
tinggi di daerah ini dengan pemakaian 2 kali perminggu. Adapun lanskap Batu
Palano yang terdapat pada ketinggian 900 mdpl merupakan area pertanaman
sayuran kompleks, dengan jenis sayuran beraneka sepert i kubis, tomat, cabe,

bawang daun, kacang tanah, kacang buncis, seledri, letus, dan terkadang

x

juga padi. Aplikasi pestisida satu kali perminggu. Diperkirakan pergiliran
jenis tanaman juga berpengaruh terhadap jumlah dan jenis semut yang
ditemukan.
Tabel 1 . Jumlah total individu, species, subfamili, tribe dan genera semut
yang dikoleksi pada tiga lanskap pertanian di Sumatra Barat
(SS=Sungai Sariak, AB=Aia Batumbuak, BP=Batu Palano).

5.2. Jumlah jenis semut yang ditemukan per sub famili pada tiga lankap pertanian
di Sumatra Barat
Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa jumlah total spesies semut untuk
masing-masing sub famili yang ditemukan juga bervariasi. Jumlah jenis
terbesar ditemukan pada sub famili Myrmicinae, diikuti oleh Formicinae
dan Ponerinae. Kecendrungan ini sama dengan yang ditemukan pada
penelitian Herwina dan Nakamura (2008) yang telah menggunakan pitfall
trap untuk mengoleksi semut selama 3.5 tahun di Kebun Raya Bogor,
dimana Myrmicinae merupakan sub famili dengan jumlah jenis terbanyak.
Kecendrungan yang sama juga ditemukan pada penyebaran jenis semut di
berbagai negara (Agosti et al, 2000).

xi

Tabel 2. Jumlah total spesies semut pada tiap famili yang ditemukan pada
tiga lanskap pertanian di Sumatra Barat.

5.3. Genera semut dengan jumlah jenis terbanyak ditemukan pada tiga lanskap
pertanian di Sumatra Barat
Pada setiap lanskap pengambilan sampel semut, ditemukan dua genera
yang sama dan masing-masingnya memiliki jumlah jenis semut terbanyak
satu dan dua, yaitu Pheidole dan Parathrechina (Tabel 3). Kondisi ini
diperkirakan terkait erat dengan fungsi biologi dari kedua genera semut ini
(Lampiran 1), dimana Pheidole merupakan semut pemakan biji dan
omnivora, sedangkan Paratrechina adalah generalized forager, atau semut
yang dapat mencari makan kemana saja dalam jumlah yang besar, sehingga
dapat kita temukan dimana-mana (Hölldobler dan Wilson, 1990; Agosti et
al, 2000). Disamping itu, Pheidole dikenal sebagai semut yang selalu berada
pada level dominan diseluruh dunia (Generalized Myrmicinae) sedangkan
Paratrechina distribusinya sangat dipengaruhi oleh sifat kompetitif semut
lain. Paratrechina sering tersebar pada habitat yang luas, tapi tidak
mendominansi (Andersen, 2000)
5.4. Spesies semut dengan jumlah individu terbanyak ditemukan pada tiga
lanskap pertanian di Sumatra Barat.
Spesies semut yang dominant pada setiap lanskap pertanian bervariasi.
Tiga spesies paling dominan untuk setiap lokasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Pada lokasi pertanaman sayuran Aia Batumbuak Pheidole sp.2 adalah yang

xii

paling dominan, disusul oleh Odontoponera denticulata dan Pheidole sp.1,
ditempat kedua dan ketiga. Pada pertanaman padi Sungai Sariak, Selenopsis
geminuta adalah yang paling dominan, disusul oleh Monomorium sp.1 dan
Odontoponera denticulata. Pada lanskap Batu Palano, Odontoponera
denticulata meruapakan spesies yang paling dominan, diikuti oleh
Pachycondyla sp. dan Pheidole sp. 6. Secara keseluruhan, spesies semut
yang paling dominan ditemukan selama penelitian ini adalah Pheidole sp. 2,
Odontoponera denticulata dan Selenopsis geminuta. Genus Pheidole dan
Odontoponera juga umum ditemukan pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan di Kebun Raya Bogor (Herwina dan Nakamura, 2008, Ito et al,
2001).

Pheidole

merupakan

Generalized

Myrmicinae

berdasarkan

penggolongan semut dalam hubungannya dengan stress dan perusakan
habitat di Australia dan Dunia Baru. Pheidole memang sering merupakan
semut yang paling dominan dan mempunyai jumlah yang luar biasa besar
dalam komunitas semut diseluruh dunia (Andersen, 2000).
5.5. Indeks diversitas dan kemerataan
Indeks diversitas tertinggi ditemukan pada lanskap Sungai Sariak untuk
jalur pemasangan pitfall trap pada pinggir persawahan (2.05) dan indeks
kemerataan tertinggi juga ditemukan pada lanskap ini untuk pemasangan
pitfall trap

pada jalur yang sama (0.76). Indeks diversitas terendah

ditemukan pada lanskap Batu Palano pada jalur pemasangan pitfall trap
pada pinggir pertanaman sayuran (0.74) dan indeks kemerataan terendah
juga ditemukan pada lanskap Batu Palano pada jalur pemasangan pitfall trap
pada pinggir pertanaman sayuran (0.32) (Tabel 5).
Tabel 3. Genera semut yang mempunyai jumlah spesies terbanyak pada
setiap lokasi yang dikoleksi pada tiga lanskap pertanian di
Sumatra Barat (SS=Sungai Sariak, AB=Aia Batumbuak, BP=Batu
Palano).

xiii

Tabel 4. Spesies semut paling dominant pada tiga lanskap pertanian di
Sumatra Barat.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Tabel 5. Jumlah spesies, jumlah individu, indek Pielou dan indek Shanon
Wiener semut yang ditenukan pada setiap jalur transek
(GS=Gunuang Sariak, AB=Aia Batumbuak, BP=Batu Palano,
angka 1 dan 2 diakhir kode lanskap menunjukkan jalur
pemasangan pitfall trap dipinggir (1) dan diantara pertanaman
sayuran atau padi (2)).

5.6. Indeks Similaritas
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6 tentang matrik indeks similaritas
untuk setiap lanskap dan jalur peletakan pitfall trap, indek similaritas semut
yang ditemukan pada tiap jalur pemasangan pitfall trap menunjukkan angka

xiv

yang bervariasi. Pada Lansakap Batu Palano, pengambilan sampel ke dua di
area pertanaman sayuran danpengambilan sampel ketiga pada area yang
sama, menunjukkan nilai indeks tertinggi, yaitu mencapai nilai 1. Artinya
adalah jumlah jenis dan individuyang didapatkan pada waktu pengmbilan
Tabel 6. Matrix Index Similaritas semut yang ditemukan di setiap jalur transek
pada tiga lanskap pertanian yang berbeda di Sumatra Barat.

Table 7. Biology dari 6 species semut yang ditemukan pada tiga lanskap
pertanian berbeda di Sumatra Barat ( SP = Specialist Predator).

xv

sampel yang berbeda benar-benar sama. Beberapa indeks yang cukup tinggi
(diatas 0.5) ditemukan pada pengambilan sampel yang berbeda tapi pada
lanskap yang sama, kecuali pada beberapa jalur pengambilan sampel di Aia
Batumbuak dan Batu Palano. Selebihnya, indeks similaritas hanya dibawah
0.5, bahkan ada yang mencapai 0.2
5.7.

Biology semut yang ditemukan pada tiga lanskap pertanian di Sumatra
Barat
Dari 32 spesies semut yang ditemukan diseluruh lanskap yang diteliti,
tenyata hanya 6 spesies yang dikenal sebagai predator berdasarkan
pengelompokan distribusi, biologi dan ekologi genera semut di dunia yang
dilaporkan oleh Brown, 2000.
Odontomacus

similinus,

Keenam spesies tersebut adalah

Odontoponera

denticulata,

Odontoponera

transeversa, Leptogenys diminuta, Leptogenys peugety dan Pachycondyla
sinensis (Lampiran 1, Tabel 7). Diharapkan bahwa pada kesempatan
berikutnya, dapat dilakukan uji laboratorium mengenai keefektifan jenis
semut ini sebagai predator serangga hama.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Telah ditemukan sebanyak 10102 individu semut yang tegabung
kedalam 32 spesies, 6 sub famili, 12 tribe dan 18 genus pada tiga
lanskap pertanian di Sumatera Barat, yang meliputi; 1) Sebanyak 2265
individu, 27 spesies, 5 subfamili, 12 tribe dan 14 genus semut telah
ditemukan pada area pertanaman padi monokultur Sungai Sariak
Kotamadya Padang;

2) Sebanyak 5596 individu, 26 spesies, 5

subfamili, 12 tribe dan 16 genus semut telah ditemukan pada area
pertanaman sayuran Aia Batumbuak Kabupaten Solok; dan 3)

xvi

Sebanyak 2241 individu, 24 spesies, 4 subfamili, 10 tribe dan 13
genus semut telah ditemukan pada area pertanaman campuran padi
dan sayuran di Desa Batu Palano, Kabupaten Agam.
2. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah spesies terbanyak
ditemukan pada pertanaman padi monokultur Sungai Sariak (27
spesies), disusul dengan semut yang ditemukan pada area pertanaman
sayur Aia Batumbuak (26 spesies). Sedangkan pada pertanaman yang
lebih kompleks, yaitu aneka sayuran dan terkadang padi didaerah Batu
Palano, hanya ditemukan 24 spesies.
3. Duapuluh satu spesies ditemukan pada ketiga lanskap, 5 spesies hanya
ditemukan di Aia Batumbuak, 6 spesies hanya ditemukan di Sungai
Sariak, dan tidak ada spesies yang hanya di temukan di Batu Palano.
4.

Myrmicinae

adalah sub famili yang paling dominan, sedangkan

Pheidole and Paratrechina adalah gerena yang paling banyak
spesiesnya.
5. Tiga spesies paling dominan di Aia Batumbuak adalah Pheidole sp. 2,
Odontoponera denticulata dan Pheidole sp. 1,

di Sungai Sariak

adalah Selenopsis sp., Monomorium sp. 1 dan Odontoponera
denticulata, sedangkan di Batu Palano adalah O. denticulata,
Pachycondyla sp and Pheidole sp. 6. Spesies semut di bagian pinggir
dan di area pertanamanpun bervariasi dalam jumlah dan kepadatan
individunya.
6. Selama penelitian, ditemukan 6 spesies semut yang berfungsi sebagai
predator.
Disarankan utuk mempelajari lebih jauh tentang peranan ekologi semut
yang berfungsi sebagai predator sehingga dapat diketahui kemungkinan
penggunaannya dalam mengendalikan serangga hama.
DAFTAR PUSTAKA

xvii

Andersen, N. A. Hoffman, B. D. Muller, W. J. & Griffiths, A. 2002. using ants as
bioindicators in land management: simplifying assessment of ant
community responses. Journal of Applied Ecology 39: 8-17
Andersen, N. 1991. Responses of ground-foraging ant communities to three
experimental fire regime in Savanna forest of tropical Australia.
BIOTROPICA 23 (4b): 575-585
Andersen, N. 2000. Global Ecology of Rainforest Ants. In ANTS. Standard
Method for Measuring and Monitoring Biodiversity. Edited by Agosti, D.,
Majer, J. D, Alonso, L, E & Schultz, T. R. Smithsonian Institution.
Alonso. L. E & Agosti, D. 2000. Biodiversity Studies, Monitoring, and Ants: An
Overview. In ANTS. Standard Method for Measuring and Monitoring
Biodiversity. Edited by Agosti, D., Majer, J. D, Alonso, L, E & Schultz, T. R.
Smithsonian Institution.
Basu, P. 1997. Seasonal and spatial patterns in ground foraging ants in a rain
forest in the Western Ghats, India. Biotropica. 29 (4): 489-500
Brown Jr, W. L. 2000. Diversity of Ants. In ANTS. Standard Method for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Edited by Agosti, D., Majer, J. D,
Alonso, L, E & Schultz, T. R. Smithsonian Institution.
Bruhl, C.A., Gunsalam, G. & Linsemair, K. E. 1998. Stratification of ants
(Hymenoptera, Formicidae) in primary rain forest in Sabah, Borneo.
Journal of Tropical Ecology 14: 285-297.
Chung, A. Y. C & Mohamed, M. 1996. A comparative study of the ant fauna in a
primary and secondary forest in Sabah, Malaysia. In Edward, D. S., Booth,
W. E & Choy, S.C (eds). Tropical rainforest research-Current Issues, pp
357-366. Kluwer Academic Publisher, Dodrecht, Nederlands.
Ewuim, S. C., Badejo, M.A. & Ajayi, O.O. 1997. Ant of forest and fallow plots in
Nigeria. BIOTROPICA .29 (1): 93-99
Hashimoto, Y., Yamane, S. & Mohamed, M. 2001. How to design an inventory
method for ground-level ants in tropical forest. Nature and Human
Activities, 6: 25-30.
Heong KL, Aquino GB, Barrion AT. 1991. Arthropod community structure of rice
ecosystem in the Philippines. Bull. of Entomol. Research 81: 407-416.
Herwina, H & Nakamura, K. 2008. Ant species diversity studied using pitfall
traps in a small yard in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia .
TREUBIA, 35: 99-116
Holling, C.S. 1965. The functional response of predator to prey density and its

xviii

role in mimicry and population regulation. Mem. Entomol. Soc. Can. 45: 560
Hölldobler, B. & Wilson, E. O. 1990. The Ants.. Harvard University Press.
Cambridge, U. S. A.
Itino, T. & Yamane, S. 1995. The vertical distribution of ants on canopy trees in a
Bornean lowland rainforest forest. Tropics 4: 227-281.
Itioka, T. 1997. Ants as key stone species in structurin gcomminities in tropical
rain forest. In Inoue, T. & Hamid, A.A. (eds). General flowering of tropical
rainforest in Serawak. Canopy Biology Program in Serawak (CBPS): series
II. Center for Ecological Research , Kyoto University
Ito, F., Yamane, S., Eguchi, K., Noerdjito, W. A., Kahono, S., Tsuji, K., Ohkawara,
K., Yamauchi, K., Nishida, T & Nakamura, K. 2001. Ant Species Diversity
in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with Descriptions of Two
New Species of the Genus Laptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics
10 (3): 379-404
Khoo. Y. H. 1990. A note on the Formicidae (Hymenoptera) from Pitfall traps at
Ulu Kinchin, Pahang, Malaysia. Malayan Nature Journal 43: 290-293.
Longino, J. T., Coddington, J. & Colwell, R. K. 2002. The ant fauna of tropical
rain forest: estimating species richness three different ways. Ecology 83:
689-702.
Majer. J. D. 1997. The use of pitfall traps for sampling ants – a critique. Memoirs
of the Museum of Victoria 56(62): 323-329
Olson, D. M. 1991. A comparison of the efficacy of litter sifting and pitfall traps
for sampling leaf litter ants (Hymenoptera, Formicidae) in a tropical wet
forest. Biotropica. 23(2): 166-172
Peck, S. L, McQuaid, B. & Campbell, C. L. 1998. Using Ant species
(Hymenoptera: Formicidae) as biological indicator of agroecosystem
condition. Environmental Entomology 27: 1102-1110.
Philpott, S. M. &Armbrecht, I. 2006. Biodiversity in tropikal agroforest and
ecological role of ants and ant diversity in predatory function. Ecological
Entomology 31: 369-377
Romero, H. & Jaffe, K. 1989/ A comparison of methods of samplinf ants
(Hymenoptera, Formicidae) in Savvanas. BIOTROPICA 21(4):348-352
Schoenly K, Justo HD, Barrion AT, Harris MK, Bottrell DG. 1998. Analysis of
invertebrate biodiversity in a Phippine farmer’s irrigated rice fields.
Environ. Entomol. 21(5): 1125-1136.

xix

Sota, T., Nakano, S., Hasyim, A., Syafril & Nakamura, K. 2001. Fluctuation in
abundance of terresterial arthrophods at an arable field in West Sumatran
Highland. Tropics 10: 463-472.
Wilson, E. O. 1976. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard
University Press. Cambridge, U. S. A.
Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P dan Prasetyo L. 2006. Analisis
spasial lanskap pertanian dan keanekaragaman Hymenoptera di Daerah
Aliran Sungai Cianjur. Jurnal Hayati 13 (4): 137 – 144
Yamane, S. 1997. A list of Bornean ants. In Inoue, T. & Hamid, A.A. (eds).
General flowering of tropical rainforest in Serawak. Canopy Biology
Program in Serawak (CBPS): series II. Center for Ecological Research,
Kyoto University.

xx