Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Perilaku Asertif Remaja Awal Ditinjau dari Jenis Kelamin T1 802009141 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi
dengan
manusia
lainnya.
Masing-masing
individu
yang
berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas
peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Ketika saling berhubungan
satu sama lain dalam lingkup interaksi sosial adakalanya
seseorang mengalami kesulitan seperti perselisihan yang berawal
dari perbedaan pendapat, respon kurang menyenangkan dari
orang
lain,
atau
masalah
lain
yang
berkaitan
dengan
ketidakmampuan mengatakan dengan jelas keinginan yang
dimiliki. Dalam permasalahan remaja terkait dengan kesulitankesulitan tersebut dapat menjadi hambatan bagi remaja dalam
menjalankan tugas perkembangannya yang berhubungan dengan
penyesuaian diri dalam lingkungan sosial (Mayasari, 2007).
Santrock
(2003)
mengartikan
remaja
sebagai
masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa
yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Monks, Knoers & Haditono (1999) menyatakan bahwa batasan
usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga
fase, yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/
madya (usia 15 hingga 18 tahun), dan remaja akhir (usia 18
hingga 21 tahun). Sementara itu Hurlock (1980) mengutarakan
bahwa masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 13 tahun
sampai dengan 16 tahun atau 17 tahun, usia ini dikenal dengan
usia tidak menyenangkan karena banyaknya perubahan baik fisik
1
2
maupun psikologis, sehingga memerlukan penyesuaian mental
dan sikap, nilai dan minat yang baru.
Selanjutnya Erikson (dalam Hurlock, 1980) mengutarakan
bahwa tahun awal masa remaja (13-17 tahun). Pada masa remaja
ini terdapat perubahan dan perilaku yang mulai muncul. Dalam
perubahannya diantaranya perubahan emosi, perubahan tubuh,
minat dan peran. Salah satu perilaku yang muncul pada masa
perkembangan remaja adalah pola komunikasi yang berbeda dari
masa perkembangan sebelumnya (Hidayanti, 1983).
Menurut
Trisnaningtyas
(2013)
mengatakan
bahwa
komunikasi melibatkan dua unsur pribadi secara penuh dimana
keterbukaan dan kejujuran sangat dibutuhkan. Dalam bimbingan
dan konseling sikap tersebut disebut sikap asertif. Sikap asertif
ialah sikap yang digunakan untuk mengekspresikan dirinya secara
terbuka tanpa menyakiti perasaan orang lain, sehingga dibutuhkan
sikap asertif yang tinggi agar komunikasi tersebut dapat terbina
dengan baik. Pada hakekatnya manusia merupakan makhluk
sosial yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
Oleh karena itu kemampuan komunikasi yang baik sangat
ditekankan untuk menciptakan hubungan baik dengan lingkungan
sekitarnya.
Melalui hasil dari wawancara dengan dengan 4 remaja SMP
terdiri dari dua anak perempuan dan dua anak laki-laki berkaitan
dengan perilaku asertif. Hasilnya dari dua anak perempuan dan
satu laki-laki menyebutkan bahwa mereka terkadang merasa takut
untuk menyampaikan keinginannya pada orang lain. Salah satu
contoh yang digambarkan adalah ketika berada dalam kelas dan
mereka tidak mengerti apa yang dijelaskan guru, mereka merasa
takut dan tidak mampu untuk mengajukan pertanyaan. Hal
3
tersebut diakui sangat berpengaruh dalam pemahaman materi
pelajaran di kelas. Para remaja ini mengakui bahwa ketika mereka
ingin bertanya atau menyampaikan pendapat di kelas, mereka
takut dan malu diejek teman-temannya. Namun, hasil wawancara
dari satu anak laki-laki yang lain menyebutkan bahwa dia berani
bertanya karena ingin mengerti apa yang disampaikan gurunya di
kelas. Fenomena yang ada tersebut selaras dengan pendapat
Windarti (2007) yang menyatakan setiap siswa memiliki tingkat
asertif yang berbeda-beda. Ada siswa yang asertif dan ada siswa
yang tidak asertif. Siswa yang asertif mudah menanyakan sesuatu
yang tidak ia pahami terhadap materi pelajaran yang disampaikan
guru. Sedangkan siswa yang tertutup cenderung sulit untuk
mengungkapkan kebutuhan, ide dan gagasannya.
Menurut Novianti & Tjala (2008) mengatakan bahwa perilaku
asertif sangat penting bagi remaja awal, karena apabila seorang
remaja tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku asertif atau
bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak.
Remaja awal ini akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu
dan cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan
selalu berada di bawah kekuasaan orang lain. Alasan seorang
remaja awal tidak dapat berperilaku asertif adalah karena mereka
belum menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku
asertif. Menurut Sundari (2012) mengatakan bahwa seseorang
yang bersikap asertif akan mudah dalam melakukan hubungan
sosial dengan orang lain, dan lingkungannya, sehingga perilaku
asertif dapat dikembangkan pada diri sendiri dan lingkungan
masyarakat.
Howard dan Stein (dalam Sundari, 2012) menjelaskan
bahwa sikap asertif merupakan bagian dari ketegasan, keberanian
4
dalam menyatakan pendapat yang didalamnya mencakup tiga
komponen dasar yaitu kemampuan mengungkapkan perasaan,
kemampuan
mengungkapkan
pikiran
dan
pendapat,
dan
kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi. Alberti dan
Emmons (dalam Abidin, 2011) menyatakan bahwa perilaku asertif
dapat mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia,
memungkinkan individu untuk bertindak menurut kepentingannya
sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak
semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan
nyaman serta untuk menerapkan hak-hak pribadi individu tanpa
menyangkali hak-hak orang lain. Adapun faktor yang dinilai
memiliki peranan terhadap perilaku asertif adalah jenis kelamin
(Rakos, 1991).
Lioyd (dalam Novalia & Dayakisni, 2013) mengatakan
perilaku asertif dipengaruhi oleh jenis kelamin karena semenjak
kanak-kanak, peran dan pendidikan laki-laki dan perempuan telah
dibedakan oleh masyarakat, sejak kecil telah dibiasakan bahwa
anak laki-laki harus tegas dan kompetitif dan anak perempuan
harus pasif menerima perintah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan
dengan perilaku asertif, ditemukan hasil penelitian yang berbeda.
Menurut Rathus dan Nevid (dalam Novianti & Tjala, 2008)
mengemukakan wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif.
Hasil penelitian tersebut juga dikuatkan dari Rosita (2007) yang
menunjukkan subjek yang berjenis kelamin laki-laki cenderung
lebih asertif dibandingkan dengan subjek perempuan. Namun,
menurut Bosman (dalam Ariyanto, 2005) menyatakan bahwa
wanita lebih kohesif, lebih terbuka dan tanpa malu-malu
berhubungan dengan sesama anggota dibandingkan pria.
5
Namun,
hasil
penelitian
lain
dari Nipsaniasri (2004)
menunjukkan tidak ada perbedaan perilaku asertif antara perawat
pria dengan perawat wanita. Selaras dengan pendapat tersebut,
Elyana (1997) juga menunjukkan tidak ada perbedaan perilaku
asertif antara karyawan pria dan karyawan wanita. Menurut
Ariyanto (2005) juga menunjukkan tidak ada perbedaan perilaku
asertif siswa laki-laki dengan siswa perempuan.
Berdasarkan wawancara, perbedaan hasil penelitian dan
uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang perbedaan perilaku asertif remaja awal ditinjau dari jenis
kelamin.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan dan fenomena yang ada, maka
dari itu penulis tertarik untuk meneliti apakah terdapat perbedaan
perilaku asertif remaja awal ditinjau dari jenis kelamin?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan perilaku asertif remaja awal ditinjau dari jenis kelamin.
D. Manfaat Penelitian
1.
Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi perkembangan dan khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya bidang psikologi pendidikan, psikologi sosial dan
perkembangan.
6
2.
Secara Praktis
a.
Bagi remaja, diharapkan dapat memberikan informasi
dan pengetahuan tentang sejauh mana perilaku asertif
mereka sehingga lebih lanjut menjadi alat evaluasi dan
pengembangan diri.
b.
Bagi orangtua, diharapkan dapat memahami pentingnya
pendidikan bagi perkembangan anak-anaknya sehingga
dapat membantu remaja dalam berperilaku asertif.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi
dengan
manusia
lainnya.
Masing-masing
individu
yang
berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas
peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Ketika saling berhubungan
satu sama lain dalam lingkup interaksi sosial adakalanya
seseorang mengalami kesulitan seperti perselisihan yang berawal
dari perbedaan pendapat, respon kurang menyenangkan dari
orang
lain,
atau
masalah
lain
yang
berkaitan
dengan
ketidakmampuan mengatakan dengan jelas keinginan yang
dimiliki. Dalam permasalahan remaja terkait dengan kesulitankesulitan tersebut dapat menjadi hambatan bagi remaja dalam
menjalankan tugas perkembangannya yang berhubungan dengan
penyesuaian diri dalam lingkungan sosial (Mayasari, 2007).
Santrock
(2003)
mengartikan
remaja
sebagai
masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa
yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Monks, Knoers & Haditono (1999) menyatakan bahwa batasan
usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga
fase, yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/
madya (usia 15 hingga 18 tahun), dan remaja akhir (usia 18
hingga 21 tahun). Sementara itu Hurlock (1980) mengutarakan
bahwa masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 13 tahun
sampai dengan 16 tahun atau 17 tahun, usia ini dikenal dengan
usia tidak menyenangkan karena banyaknya perubahan baik fisik
1
2
maupun psikologis, sehingga memerlukan penyesuaian mental
dan sikap, nilai dan minat yang baru.
Selanjutnya Erikson (dalam Hurlock, 1980) mengutarakan
bahwa tahun awal masa remaja (13-17 tahun). Pada masa remaja
ini terdapat perubahan dan perilaku yang mulai muncul. Dalam
perubahannya diantaranya perubahan emosi, perubahan tubuh,
minat dan peran. Salah satu perilaku yang muncul pada masa
perkembangan remaja adalah pola komunikasi yang berbeda dari
masa perkembangan sebelumnya (Hidayanti, 1983).
Menurut
Trisnaningtyas
(2013)
mengatakan
bahwa
komunikasi melibatkan dua unsur pribadi secara penuh dimana
keterbukaan dan kejujuran sangat dibutuhkan. Dalam bimbingan
dan konseling sikap tersebut disebut sikap asertif. Sikap asertif
ialah sikap yang digunakan untuk mengekspresikan dirinya secara
terbuka tanpa menyakiti perasaan orang lain, sehingga dibutuhkan
sikap asertif yang tinggi agar komunikasi tersebut dapat terbina
dengan baik. Pada hakekatnya manusia merupakan makhluk
sosial yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya
Oleh karena itu kemampuan komunikasi yang baik sangat
ditekankan untuk menciptakan hubungan baik dengan lingkungan
sekitarnya.
Melalui hasil dari wawancara dengan dengan 4 remaja SMP
terdiri dari dua anak perempuan dan dua anak laki-laki berkaitan
dengan perilaku asertif. Hasilnya dari dua anak perempuan dan
satu laki-laki menyebutkan bahwa mereka terkadang merasa takut
untuk menyampaikan keinginannya pada orang lain. Salah satu
contoh yang digambarkan adalah ketika berada dalam kelas dan
mereka tidak mengerti apa yang dijelaskan guru, mereka merasa
takut dan tidak mampu untuk mengajukan pertanyaan. Hal
3
tersebut diakui sangat berpengaruh dalam pemahaman materi
pelajaran di kelas. Para remaja ini mengakui bahwa ketika mereka
ingin bertanya atau menyampaikan pendapat di kelas, mereka
takut dan malu diejek teman-temannya. Namun, hasil wawancara
dari satu anak laki-laki yang lain menyebutkan bahwa dia berani
bertanya karena ingin mengerti apa yang disampaikan gurunya di
kelas. Fenomena yang ada tersebut selaras dengan pendapat
Windarti (2007) yang menyatakan setiap siswa memiliki tingkat
asertif yang berbeda-beda. Ada siswa yang asertif dan ada siswa
yang tidak asertif. Siswa yang asertif mudah menanyakan sesuatu
yang tidak ia pahami terhadap materi pelajaran yang disampaikan
guru. Sedangkan siswa yang tertutup cenderung sulit untuk
mengungkapkan kebutuhan, ide dan gagasannya.
Menurut Novianti & Tjala (2008) mengatakan bahwa perilaku
asertif sangat penting bagi remaja awal, karena apabila seorang
remaja tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku asertif atau
bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak.
Remaja awal ini akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu
dan cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan
selalu berada di bawah kekuasaan orang lain. Alasan seorang
remaja awal tidak dapat berperilaku asertif adalah karena mereka
belum menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku
asertif. Menurut Sundari (2012) mengatakan bahwa seseorang
yang bersikap asertif akan mudah dalam melakukan hubungan
sosial dengan orang lain, dan lingkungannya, sehingga perilaku
asertif dapat dikembangkan pada diri sendiri dan lingkungan
masyarakat.
Howard dan Stein (dalam Sundari, 2012) menjelaskan
bahwa sikap asertif merupakan bagian dari ketegasan, keberanian
4
dalam menyatakan pendapat yang didalamnya mencakup tiga
komponen dasar yaitu kemampuan mengungkapkan perasaan,
kemampuan
mengungkapkan
pikiran
dan
pendapat,
dan
kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi. Alberti dan
Emmons (dalam Abidin, 2011) menyatakan bahwa perilaku asertif
dapat mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia,
memungkinkan individu untuk bertindak menurut kepentingannya
sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak
semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan
nyaman serta untuk menerapkan hak-hak pribadi individu tanpa
menyangkali hak-hak orang lain. Adapun faktor yang dinilai
memiliki peranan terhadap perilaku asertif adalah jenis kelamin
(Rakos, 1991).
Lioyd (dalam Novalia & Dayakisni, 2013) mengatakan
perilaku asertif dipengaruhi oleh jenis kelamin karena semenjak
kanak-kanak, peran dan pendidikan laki-laki dan perempuan telah
dibedakan oleh masyarakat, sejak kecil telah dibiasakan bahwa
anak laki-laki harus tegas dan kompetitif dan anak perempuan
harus pasif menerima perintah.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan
dengan perilaku asertif, ditemukan hasil penelitian yang berbeda.
Menurut Rathus dan Nevid (dalam Novianti & Tjala, 2008)
mengemukakan wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif.
Hasil penelitian tersebut juga dikuatkan dari Rosita (2007) yang
menunjukkan subjek yang berjenis kelamin laki-laki cenderung
lebih asertif dibandingkan dengan subjek perempuan. Namun,
menurut Bosman (dalam Ariyanto, 2005) menyatakan bahwa
wanita lebih kohesif, lebih terbuka dan tanpa malu-malu
berhubungan dengan sesama anggota dibandingkan pria.
5
Namun,
hasil
penelitian
lain
dari Nipsaniasri (2004)
menunjukkan tidak ada perbedaan perilaku asertif antara perawat
pria dengan perawat wanita. Selaras dengan pendapat tersebut,
Elyana (1997) juga menunjukkan tidak ada perbedaan perilaku
asertif antara karyawan pria dan karyawan wanita. Menurut
Ariyanto (2005) juga menunjukkan tidak ada perbedaan perilaku
asertif siswa laki-laki dengan siswa perempuan.
Berdasarkan wawancara, perbedaan hasil penelitian dan
uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang perbedaan perilaku asertif remaja awal ditinjau dari jenis
kelamin.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pengamatan dan fenomena yang ada, maka
dari itu penulis tertarik untuk meneliti apakah terdapat perbedaan
perilaku asertif remaja awal ditinjau dari jenis kelamin?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan perilaku asertif remaja awal ditinjau dari jenis kelamin.
D. Manfaat Penelitian
1.
Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
ilmiah bagi perkembangan dan khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya bidang psikologi pendidikan, psikologi sosial dan
perkembangan.
6
2.
Secara Praktis
a.
Bagi remaja, diharapkan dapat memberikan informasi
dan pengetahuan tentang sejauh mana perilaku asertif
mereka sehingga lebih lanjut menjadi alat evaluasi dan
pengembangan diri.
b.
Bagi orangtua, diharapkan dapat memahami pentingnya
pendidikan bagi perkembangan anak-anaknya sehingga
dapat membantu remaja dalam berperilaku asertif.