Caleg perempuan dan Pembangunan Pertanian.

------

Pikiran Rakyat
o Selasa o Rabu o Kamis
4

5

6

7
22

21
.Mar

8
23

OMei


OApr

9
24

.

Jumat
10
11
25
26

OJul

OJlln

OAgs

o Sabtu o Mlnggu

12

14

13
27

OSep

28
OOkt

15
29
ONov

16
30

31


ODes

Caleg
Perempuan dan
;

- -.

- 0

~

--'--

_

Pelllbangunan
- --


_ _______

Pertanian

Oleh JOHAN ISKANDAR

K

INI calon anggota legislatif
(caleg) perempuan dari berbagai partai politik untuk
pemilu yang akan datang mendapat
perhatian cukup saksama, mengingat jumlah caleg legislatif tiap parpol dialokasikan 30 % terdiri dari
perempuan. Nantinya para anggota
legislatif perempuan yang dudukdi
badan legislatif pusat maupun daerah diharapkan dapat menyuarakan
berbagai kebijakan pembangunan
secara umum, termasuk program
yang tidak bias gender, yang merugikan kepentingan perempuan. Diharapkan para legislatif perempuan
tersebut dengan kepiawaiannya dalam berdiskusi, berargumentasi, m~
lobi, dan bernegoisasi akan mendapatkan dukungan rekan sekerjanya

para anggota legislatif pria untuk dapat menghasilkan berbagai kebijakan pembangunan yang memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Berdasarkan sejarah, keterlibatan
perempuan dalam usaha pertanian
di pedesaan Jawa Barat sangatlah
tinggi. Pada masa silam, dalam lingkungan masyarakat
tatar Sunda
biasanya terdapat pembagian kerja:
berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, pekerjaan yang membutuhkan
tenaga kerja berat dilakukan pria.

Semen tara itu, berbagai pekerjaan
yang membutuhkan tenaga tidak berat, tetapi perlu ketelatenan dikerjakan perempuan. Contohnya, pad a
usaha tani sawah (nyawah), mencangkul dan membajak dilakukan
oleh pria sementara memilih benih,
menabur benih (tebar) dan nyabut
benih (babut), serta tan am padi
(tandur) dilakukan perempuan.
Selain itu, pembagian kerja antara
perempuan dan pria dalam sistem
pertanian tradisional dipengaruhi

pula landasan budaya. Misalnya, karena padi dianggap memiliki kaitan
kuat dengan Dewi Padi, Nyi Pohaci,
tanam padi dianggap harus dilakukan kaum perempuan. Sebaliknya,
tanam padi oleh pria dianggap tidak
baik. Mengingat tangan pria dianggap "panas" dan mood Nyi Pohaci
merasa tidak nyaman (LocherScholten, 1987). Dengan demikian,
perempuan tani di perdesaan memiliki peranan penting dalam mengelola usaha tani sawah dan mengonservasi keanekaragaman hayati padi
dan perlindungan ekosistem sawah.
Berbagai perubahan
Sejalan dengan perkembangan zaman, keterlibatan perempuan dalam
usaha tani sawah di dalam keluarga

Kliping

Hum as

Un pod

_.....


2009

cenderung kian meningkat. Namun,
keterlibatan mereka lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi daripada
faktor budaya. Misalnya, mengingat
tuntutan ekonomi keluarga yang
mendesak; petani sawah pria di perdesaan seusai menyiapkan lahan,
mencangkul dan membajak, pada
banyak kasus, menyerahkan pengolahan sawahnya selanjutnya kepada istrinya. Kaum pria selama menunggu panen padi, biasanya merantau ke kota untuk mencari berbagai pekerjaan serabutan. Mereka
kembali ke desanya hanya sewaktuwaktu sambil membawa uang hasil
pendapatan dari kota. Pada masa
pan en, biasanya pria-pria tersebut
kembali ke desanya dan bergabung
kembali dengan istrinya untuk memanen padi di sawah. Dengan strategi tersebut, keluarga petani kurang
mampu di perdesaan dapat dibantu
sumber pendapatan ekonominya
oleh pendapatan para suaminya dari usaha off-farm di perkotaan.
J adi, keterlibatan para kaum perempuan dalam usaha tani sawah lebih tinggi. Mereka selain.menjalankan fungsi kodrati, seperti melahirkan anak, mengasuh dan membesarkan anak, serta menyediakan makanan bagi anggota keluarga. Para
kaum perempuan tersebut juga terlibat aktif dalam pengelolaan sistem
pertanian sawah, mulai dari pemilihan benih padi, mengolah hasil pa-


di, serta menanak nasi untuk kon. sumsi keluarga. Bahkan mereka pun
dapat terlibat dalam pemeliharaan
ternak, mengumpulkan kayu bakar,
merajut tenunan, dan kerajinan tangan lainnya untuk menghasilkan
produk yang dapat dijual bagi menambah pendapatan keluarga. Sehingga, total jam kerja kaum perempuan perdesaan pada umumnya lebih banyak daripada kaum pria.
Kendati demikian, kaum perempuan pada umumnya kurang mendapat perhatian oleh para pengambil kebijakan pembangunan pertanian. Misalnya, pada masa program
Revolusi Hijau di akhir 196o-an,
hampir segenap.program untuk meningkatkan produksi padi melalui
intensifikasi dan memodernisasi
usaha tani dengan berbagai asupan
dari luar lebih ditujukan bagi petani
pria. Berbagai kebijakan dalam
pemberian modal dan peralatan untuk sistem usaha tani sawah lebih
utama untuk kepentingan kaum tani pria.Berbagai pinjaman modal
usaha .tani dari pemerintah/bank,
pada umunya harus menggunakan
agunan pemilikan sawah. Padahal,
surat pemilikan atau penguasaan tanah sawah di perdesaan biasanya
menggunakan nama smimi. Akibanya, para janda yang memiliki tanah, tetapi surat-surat tanahnya

menggunakan nama suami, tidak
dapat
menerima
pinjaman modal
-

dan bantuan lain dari pemerintah.
Selain itu, bantiIan peralatan untuk
memodernisasikan sistem usaha tani sawah juga banyak yang hanya ditujukan untuk kepentingan pria.
Dampaknya, introduksi varietas
benih padi modern dari IRRI Filipina telah memusnahkan berbagai varietas padi lokal yang biasa dikelola
kaum perempuan; penggunaan sabit
(arit) menggusur ani-ani (etem)
yang biasa digunakan kaum perempuan; dan penggunaan mesin giling
padi (huller) menggunakan bahan
bakar minyak (BBM) menggesar lesung padi dan saunglisung yang
merupakan domain perempuan.
Konsekuensinya, berbagai program
pembangunan sistem pertanian sawah yang tidak partisipatif dan tidak
properempuan tersebut cenderung

tidak berhasil menyejahterakan masyarakat petani, bahkan menggiring
petani menjadi tergantung kepada
sistem ekonomi global kapitalis.
Oleh karena itu, kini dengan adanya perhatian kepada caleg perempuaI].dan nanti dari hasil pemilu dimungkinkan bakal lebih banyak
anggota legislatif perempuan, diharapkan mereka dapat memperjuangkan berbagai kebijakan pembangunan pertanian yang tidak bias gender.***
Penulis, dosen dan peneliti lingkungan
~--- PPSDAL LPPM UnJ2.ad.

..