Penggunaan Resolusi oleh Dewan Keamanan PBB untuk Memaksa Iran Menyetujui Inspeksi IAEA terhadap Fasilitas Pengembangan Nuklir di Parchin Tahun 2012.

(1)

i

PENGGUNAAN RESOLUSI OLEH DEWAN KEAMANAN PBB

UNTUK MEMAKSA IRAN MENYETUJUI INSPEKSI IAEA

TERHADAP FASILITAS PENGEMBANGAN NUKLIR

DI PARCHIN TAHUN 2012

SKRIPSI

Disusun oleh: I Gusti Agung Rahadyan Bhimantra NIM. 1121105007

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Politik pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

ii 2016


(3)

(4)

iv DAFTAR ISI

JUDUL ... …….i

HALAMAN PENGESAHAN ... …....ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... ….. iii

DAFTAR ISI ... …...iv

DAFTAR GAMBAR ... …...vi

DAFTAR GRAFIK ... ...vii

DAFTAR SINGKATAN...viii

KATA PENGANTAR ... …....x

ABSTRAK... .... xiii

ABSTRACT... ...xiv

BAB I Pendahuluan ... ...1

1.1 Latar Belakang ... ...1

1.2 Rumusan Masalah ... ……6

1.3 Batasan Masalah ... ……6

1.4 Tujuan Penelitian ... ……7

1.5 Manfaat Penelitian ... ...7

1.5.1 Manfaat Akademis ... ...7

1.5.2 Manfaat Praktis ... ...7

1.6 Sistematika Penulisan ... ... ...7

BAB II Tinjauan Pustaka ... ...9


(5)

v

2.2 Kerangka Pemikiran ... …..13

2.2.1 Teori Arsitektur Organisasi ... ...13

2.2.2 Konsep Legal Rational Organization...15

2.2.3 Konsep The Power of IOs...17

BAB III Metodologi Penelitian ... ...21

3.1 Jenis Penelitian ... ...21

3.2 Sumber Data ... …..21

3.3 Tingkat Analisis ... …..22

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... …..23

3.5 Teknik Analisa Data ... ...23

3.6 Teknik Penyajian Data ... ...23

BAB IV Pembahasan ... ...25

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... ...25

4.1.1 Gambaran Umum Teknologi Nuklir...25

4.1.2 Gambaran Umum International Atomic Energy Agency (IAEA) .. ...30

4.1.3 Sejarah dan Kronologis Polemik Nuklir Iran...35

4.2 Penggunaan Resolusi Dewan Keamanan PBB Untuk Memaksa Iran Menyetujui Inspeksi IAEA pada Fasilitas Pengembangan Nuklir di Parchin tahun 2012 ... ...45

BAB V Penutup ... ...66

5.1 Simpulan ... ...66


(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Pencitraan Satelit di atas Situs Parchin...29

Gambar 4.2 Letak Geografis Iran... …..35

Gambar 4.3 Peta Situs-situs Pengembangan Nuklir Iran ... …..39

Gambar 4.4 Struktur PBB ... ...47

Gambar 4.5 Sekretariat Jenderal PBB (Ban Ki-moon) dan Presiden Iran (Mahmoud Ahmadinejad) ... …..64


(7)

vii

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Peningkatan Jumlah Fasilitas Pengayaan di Situs Natanz ... ...28 Grafik 4.2 Perbandingan Kurs Rial dengan Dolar AS tahun 2010-2011 ... …..43 Grafik 4.3 Perbandingan Laju Investasi Iran dengan Negara Afrika dan


(8)

viii

DAFTAR SINGKATAN

AEOI : Atomic Energy Organization of Iran

AS : Amerika Serikat

FEP : Fuel Enrichment Plant HEU : Highly Enriched Uranium HWR : Heavy Water Reactor

IAEA : International Atomic Energy Agency ICJ : International Court of Justice

IMF : International Monetary Fund

IMO : International Maritime Organization

INFCIRC : International Atomic Energy Agency Information Circular IOs : International Organizations

KW : Kilowatt

KWU : Kraftwerk Union LEU : Low Enriched Uranium

MINUSMA : The United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in Mali

MONUSCO : United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo

MWe : Megawatt Electric

NCRI : National Council of Resistance on Iran NIC : National Intelligence Council


(9)

ix

NPT : Nuclear Non-Proliferation Treaty

P5+1 : Amerika Serikat, Cina, Inggris, Rusia, Perancis + Jerman PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PLTN : Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir SQP : Small Quantities Protocol

UF6 : Uranium Hexaflouride

UN : United Nations

UNIFILL : United Nations Interim Force in Lebanon


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sukses. Skripsi yang berjudul “Penggunaan Resolusi Oleh Dewan Keamanan PBB Untuk Memaksa Iran Menyetujui Inspeksi IAEA Terhadap Fasilitas Pengembangan Nuklir di Parchin tahun 2012” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik dari Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini dikarenakan terbatasnya pengalaman serta kemampuan yang dimiliki penulis. Namun, penulis telah membuat skripsi ini semaksimal mungkin dengan usaha dan kerja keras serta berbagai pihak yang telah memberikan dukungan di dalam pelaksanaannya. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika SpPD KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, serta Bapak Tedi Ervianto, S.IP, M.Si., selaku Pembantu Dekan I, Ibu Ni Nyoman Pascarani, SS., M.Si., selaku Pembantu Dekan II Bapak Dr. Piers Andreas Noak, SH., M.Si., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.

3. Bapak Idin Fasisaka, S.IP., M.A., selaku Ketua Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.


(11)

xi

4. Bapak Idin Fasisaka, S.IP., M.A., dan A.A. Agung Ayu Intan Parameswari, S.IP., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menyediakan tenaga, waktu dan pikiran untuk penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Para dewan penguji yaitu Ibu D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP.,M.A., Ibu Putu Titah Kawitri Resen, S.IP., M.A., dan Ibu Putu Ratih Kumala Dewi, S.H., M. Hub. Int. yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan saran dalam skripsi ini.

6. Seluruh dosen pengajar program studi hubungan internasional, pegawai Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana atas bimbingan dan kerjasamanya mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini.

7. Keluarga yang selalu mendukung penulis selama proses penyusunan skripsi. Terima kasih Ajik, Mama, dan Bligung De, mohon maaf karena penulis harus kuliah sedikit lebih lama.

8. Kepada Anak Agung Ari Novia atau Gek Ari yang selalu sabar mendukung dan memotivasi dengan ancaman-ancaman yang terkadang sinis, tapi jelas demi kebaikan penulis. Terima kasih untuk doanya. 9. Sahabat-sahabat To The Max or Nothing yang selalu memberikan

semangat baru dan refreshment dengan agenda-agenda MAX-nya ketika penulis sedang suntuk. Salam MAX!! #ketojemaloe

10. Sahabat-sahabat Abnormal Alliance Yudha, Yefta, Arya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis, meskipun terkadang berwujud


(12)

xii

ejekan dan umpatan. Semoga kalian bisa segera menyesal,.. maksudnya menyusul. Khusus untuk Prema Vipassani (GekMa, Emma Rose,

whatever…) terima kasih telah menjadi pembimbing dibalik layar yang bersedia diganggu sewaktu-waktu.

11. Kawan seperjuangan di HI 2011. Surya, Fredy, Ananta, Gandhi, Sukma, Christopher, Anggita, Gung Angga, Agus Suryadi, Mandala, dan teman-teman lainnya. Terima kasih atas pengalaman yang luar biasa selama masa kuliah, dan semua akan lulus pada waktunya!

12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu yang telah mendukung, membantu serta mendoakan terselesaikannya skripsi ini.

Penulis sangat berharap penelitian ini dapat bermanfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi terkait topik penelitian dan demi terciptanya karya tulis yang lebih baik untuk kedepannya, penulis mengharapkan kritik dan masukan yang tentunya bersifat membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang berkenan membaca skripsi ini.

Denpasar, 26 April 2016


(13)

xiii ABSTRAK

Pelaksanaan suatu program pengembangan nuklir memiliki sifat ganda. Dampak yang dihasilkan dapat bermanfaat tetapi juga dapat menimbulkan bencana. Program pengembangan nuklir yang dilakukan Iran mendapat perhatian serius dari IAEA karena adanya kejanggalan-kejanggalan dalam melakukan pengayaan Uranium dan keterlibatan pihak militer pada situs Parchin. Akibat ketidakpatuhan Iran terhadap IAEA, Dewan Keamanan PBB memberikan kebijakan berupa resolusi-resolusi kepada Iran. Resolusi-resolusi tersebut berisi sanksi-sanksi dan ketentuan-ketentuan agar Iran patuh dan memberikan akses kepada IAEA dalam melakukan inspeksi di situs Parchin. Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan merupakan salah satu manifestasi dari kekuatan yang dimiliki suatu organisasi internasional. Sanksi Dewan Keamanan telah memberikan dampak yang signifikan kepada Iran. Pemerintah Iran mengkaji kembali kebijakan bekerja sama dan pemberian akses inspeksi kepada IAEA terhadap situs Parchin. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kekuatan Dewan Keamanan PBB yang termanifestasi ke dalam resolusi untuk memaksa Iran menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan teori arsitektur organisasi beserta dua konsep, yakni

legal rational organization dan the power of IOs. Lokus waktu penelitian adalah dari tahun 2006 hingga 2012.

Kata Kunci: program nuklir Iran, Resolusi Dewan Kemanan PBB, arsitektur organisasi, organisasi legal rasional, kekuatan organisasi internasional


(14)

xiv ABSTRACT

The implementation of a nuclear development program has a dual-use nature. The impact can be beneficial or can lead to a disaster. The Iran’s nuclear development program got a serious attention from the IAEA for their improprieties in the conduct of Uranium enrichment and the involvement of the Iranian military at the Parchin site. As a result of Iran’s non-compliance to the IAEA, the UN Security Council had given some resolutions to Iran. These resolutions containing sanctions and provisions for Iran to obey and to give access to IAEA for an inspections at the Parchin site. The Security Council resolutions were a manifestation of the strength of an international organization. The Security Council sanctions have made significant impacts on Iran. The Iranian government reviewed their policy to cooperate and grant an access for IAEA to inspect the Parchin site. This study aims to describe the power of the UN Security Council as manifested in their resolutions to force Iran to give an access for IAEA inspections on Iran’s nuclear development facility in Parchin in 2012. This study assessed by using the theory of organizational architecture and two concepts; legal rational organization and the power of IOs. The locus of this study is from 2006 to 2012.

Key Words: Iran's nuclear program, the UN Security Council Resolutions, organizational architecture, legal rational organization, power of IOs


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal abad ke-20, perkembangan teknologi telah mendatangkan beragam inovasi baru. Salah satunya adalah pengolahan beberapa unsur kimia menjadi senyawa radioaktif yang dapat digunakan sebagai tenaga pembangkit listrik dalam wujud reaktor nuklir. Pengembangan teknologi nuklir tidak hanya memberikan manfaat positif dari sisi sumber energi, tetapi program ini juga dapat memberikan dampak yang sangat mengerikan apabila terjadi kecelakaan di dalam proses pengelolaannya maupun ditujukan untuk pembuatan senjata nuklir.

Meskipun pada saat Perang Dunia ke-2 teknologi nuklir memang dikembangkan untuk pembuatan senjata militer, namun dampak radiasi nuklir akibat peristiwa yang terjadi di kota Hiroshima dan Nagasaki sangatlah mengancam peradaban umat manusia. Maka dari itu, dibutuhkanlah suatu institusi internasional seperti PBB untuk melakukan pembatasan terhadap program pengembangan nuklir. Melalui organisasi Dewan Keamanan yang bertugas menjaga keamanan internasional dan International Atomic Energy Agency

(IAEA), PBB berhasil membuat sebuah aturan, yakni Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tahun 1968, yang menegaskan bahwa pengembangan teknologi nuklir hanya boleh diperuntukkan untuk tujuan damai dan tidak lagi untuk pembuatan senjata militer.


(16)

2

Namun, meskipun pengembangan nuklir kini hanya ditujukan untuk pembuatan sumber energi yang baru, rupanya bencana yang terjadi akibat peristiwa Three Miles Island dan meledaknya reaktor nuklir pembangkit listrik di Kota Chernobyl tahun 1986, cukup mengagetkan dunia bahwa program pengembangan nuklir ini masih sangat berbahaya. Oleh karena itu, IAEA membentuk standar-standar keselamatan yang tercantum di dalam IAEA

safeguards agreement dan additional protocols. Seluruh negara yang melakukan program pengembangan nuklir diwajibkan untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan yanga ada di dalam standar-standar tersebut.

Selain membuat aturan keselamatan dalam menjalankan program pengembangan nuklir, IAEA juga memiliki tugas pengawasan dengan cara melakukan inspeksi berkala terhadap fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh negara-negara pengembang nuklir. Pengawasan yang dilakukan oleh IAEA diperlukan untuk mencegah adanya manipulasi terhadap standar-standar NPT. Hal ini dikarenakan adanya dual-use nature dari program tersebut. Dual-use nature yang dimaksud adalah berkaitan dengan dua senyawa yang dihasilkan dari pengayaan logam Uranium (U).

Pengayaan logam Uranium akan menghasilkan dua jenis senyawa olahan, yaitu Low Enriched Uranium (LEU) dan Highly Enriched Uranium (HEU). LEU merupakan senyawa yang digunakan sebagai bahan bakar reaktor nuklir penghasil listrik, sedangkan HEU adalah salah satu bahan fisil utama untuk pembuatan senjata nuklir (Kerr, 2009). Akibat dari dual-use nature inilah selain pengawasan, IAEA juga perlu melakukan inspeksi langsung secara rutin terhadap


(17)

negara-3

negara yang melakukan program pengembangan nuklir, salah satunya adalah Iran. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa program nuklir Iran tidak akan mengancam keamanan internasional, seperti halnya pembuatan senjata nuklir.

Iran telah melakukan program pengembangan nuklir sejak tahun 1950-an dan menjadi anggota dari NPT pada tahun 1968, tetapi Iran baru meratifikasinya pada tahun 1970 (NTI, 2015). Program pengembangan nuklir Iran sempat terhenti ketika adanya Revolusi Islam tahun 1979 dan kembali dilanjutkan pada tahun 1982 (Sahimi, 2003). Namun, ketika program tersebut dilanjutkan, IAEA mendapatkan laporan dari National Intelligence Council (NIC) Amerika Serikat tahun 1985 yang mengatakan bahwa adanya potensi manipulasi data dari pengayaan Uranium yang dilakukan oleh Iran (Kerr, 2009). Maka dari itu, IAEA membutuhkan keterbukaan dan kerjasama dari pemerintah Iran mengenai laporan aktivitas pengembangan nuklirnya beserta seluruh dokumen-dokumen terkait (Thielmann, 2009).

Berdasarkan data yang berhasil dihimpun hingga tahun 2002, IAEA mendapat informasi bahwa adanya kejanggalan dari aktivitas pengayaan yang dilakukan Iran serta adanya sebuah situs pengembangan nuklir, yakni Parchin yang belum teridentifikasi statusnya. Hal ini dikarenakan situs tersebut berada dalam penjagaan ketat oleh pihak militer Iran sehingga IAEA tidak mendapatkan izin melakukan inspeksi ke dalamnya. Permasalahan tidak diizinkannya IAEA melakukan inspeksi ke situs Parchin menjadi semakin kompleks ketika Mahmoud Ahmadinejad, yang menjadi presiden Iran pada tahun 2005, memutuskan untuk berhenti mengadopsi IAEA safeguard agreement (Bahri, 2012).


(18)

4

Hal ini tentu menyita perhatian yang besar dari IAEA, dan juga kekhawatiran jika program pengembangan nuklir tersebut disalahgunakan untuk kepentingan militer. Untuk itu, IAEA memberikan resolusi kepada Iran agar Iran bekerja sama di dalam proses inspeksi IAEA, khususnya memberikan akses penuh untuk masuk ke situs Parchin, menghentikan pengayaan Uranium yang berlebihan, serta mengadopsi protokol tambahan yang ada di dalam IAEA

safeguards agreement, dengan pertimbangan bahwa IAEA tidak akan merujuk permasalahan tersebut kepada Dewan Keamanan PBB.

Namun, pemerintah Iran ketika itu tetap dengan tegas menyatakan akan berhenti untuk mengadopsi IAEA safeguards agreement maupun additional protocols. Meskipun demikian, IAEA tetap diberikan akses untuk melakukan inspeksi ke fasilitas-fasilitas nuklir Iran lainnya. Tetapi, khusus untuk situs Parchin yang dijaga oleh pihak militer Iran, akses inspeksi yang diberikan hanya sebatas pemantauan dari luar saja. Hal tersebut semakin meyakinkan IAEA bahwa terdapat campur tangan pihak militer Iran dalam aktivitas pengembangan nuklir yang tidak sesuai dengan ketentuan NPT.

IAEA kemudian merujuk permasalahan tersebut kepada Dewan Keamanan PBB. Keabsahan perujukan IAEA kepada Dewan Keamanan merupakan aturan tertulis yang ada pada statuta IAEA. Di dalam statuta tersebut dijelaskan bahwa apabila ada negara anggota NPT yang tidak mematuhi aturan, wajib untuk mengadopsi protokol tambahan di dalam IAEA safeguards agreement dan apabila tidak juga bersedia menaati protokol tambahan tersebut,


(19)

5

maka IAEA memiliki wewenang untuk merujukkan permasalahan kepada Dewan Keamanan PBB (Kerr, 2009).

Menurut Toukan dkk. (2010), untuk menyelesaikan permasalahan IAEA dengan Iran, Dewan Keamanan PBB menawarkan perjanjian jangka panjang. Namun, usulan tersebut ditolak dan pemerintah Iran tetap tidak memberikan akses secara penuh bagi IAEA untuk melakukan inspeksi ke situs Parchin. Hal ini membuat Dewan Keamanan PBB mengeluarkan enam buah resolusi sebagai suatu alternatif penyelesaian terhadap masalah ketidakpatuhan Iran dalam menjalankan program pengembangan nuklir. Resolusi-resolusi tersebut antara lain: Resolusi 1696 (Juli 2006), 1737 (Desember 2006), 1747 (Maret 2007), 1803 (Maret 2008), 1835 (September 2008), dan 1929 (Juni 2010).

Sejak resolusi pertama dikeluarkan tahun 2006, pemerintah Iran tetap tidak memberikan izin bagi IAEA untuk melakukan inspeksi ke situs Parchin. Hal tersebut membuat Dewan Keamanan mengkaji ulang ketentuan yang tercantum di dalam resolusinya dan memberikan sanksi kepada Iran (Christy dan Zarate, 2014). Pengkajian ketentuan beserta perluasan sanksi terus dilakukan oleh Dewan Keamanan hingga pada resolusi ke-6 di tahun 2010. Sanksi yang berupa embargo perdagangan dan pelayanan finansial telah memberikan dampak yang masif bagi Iran. Keadaan yang sulit ini membuat Iran harus mengubah sikapnya dengan cara bernegosiasi kembali dengan IAEA terkait pengadopsian IAEA safeguards agreement dan memberikan akses bagi IAEA untuk melakukan inspeksi ke situs Parchin. Tahun 2012 IAEA secara resmi dapat melakukan inspeksi secara total terhadap situs tersebut (Tempo, 2012). Fenomena ini membuat penulis tertarik


(20)

6

untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB memaksa Iran untuk menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir di Parchin tahun 2012.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang sudah diuraikan dalam latar belakang, penulis mengangkat sebuah rumusan masalah, yaitu “Bagaimana Resolusi Dewan Keamanan PBB memaksa Iran menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir di Parchin tahun 2012?”

1.3 Batasan Masalah

Penulis memfokuskan bahasan penelitian ini pada bagaimana kekuatan dari Dewan Keamanan PBB termanifestasi ke dalam resolusi yang dikeluarkan sehingga mampu memaksa Iran untuk menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir di Parchin. Pengambilan fokus tersebut dikarenakan sebelumnya Iran tidak memberikan izin kepada IAEA untuk melakukan inspeksi ke situs Parchin yang dijaga ketat oleh pihak militer Iran. Namun, setelah dikeluarkannya beragam resolusi Dewan Keamanan PBB hingga tahun 2010, Iran baru mau bernegosiasi kembali dengan IAEA untuk bekerja sama dan memberikan akses inspeksi ke situs tersebut. Adapun lokus tahun yang diambil dalam penelitian ini adalah tahun 2006-2012. Hal ini dikarenakan tahun 2006 adalah resolusi pertama yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB kepada Iran. Kemudian, akses tersebut baru direalisasikan pada tahun 2012.


(21)

7

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kekuatan Dewan Keamanan PBB yang termanifestasi ke dalam resolusi untuk memaksa Iran menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1.5.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan referensi bagi mahasiswa program studi Hubungan Internasional maupun akademisi jurusan lainnya yang ingin mengkaji isu serupa terkait kekuatan (power) yang dimiliki suatu organisasi internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan di suatu negara.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai media informasi bagi masyarakat umum mengenai bagaimana suatu organisasi internasional dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara, salah satunya dalam menangani isu pengembangan program nuklir.

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan, penelitian ini akan diuraikan menjadi lima bab, yaitu:


(22)

8

BAB I: Bab ini akan menguraikan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Bab ini akan menguraikan mengenai kajian pustaka dan kerangka pemikiran yang terdiri atas teori beserta konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB III: Bab ini akan menguraikan mengenai metodologi penelitian yang terdiri atas jenis penelitian, jenis data, unit analisis, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penyajian data. BAB IV: Bab ini akan membagi pembahasan menjadi beberapa sub bab. Sub bab pertama akan memaparkan mengenai gambaran umum dari objek penelitian yang mencakup gambaran umum teknologi nuklir, gambaran umum IAEA, serta sejarah dan kronologis polemik nuklir Iran. Sub bab kedua akan memaparkan mengenai analisis hasil temuan dengan menggunakan teori arsitektur organisasi dan konsep legal rational organization serta konsep the power of IOs.

BAB V: Bab ini akan menguraikan mengenai kesimpulan dan saran yang dapat ditarik dari hasil bahasan penelitian. Kesimpulan dan saran akan ditulis dalam bentuk rangkuman secara singkat berdasarkan fakta dan data seperti yang telah dipaparkan dalam bab empat sebelumnya.


(23)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Kajian kepustakaan yang digunakan penulis sebagai referensi sekaligus pembanding dalam penelitian ini ada dua. Kajian pustaka pertama yang digunakan diambil dari jurnal karya Amelia Yuli Pratiwi tahun 2013 dengan judul Peran IAEA (International Atomic Energy Agency) dalam Menyikapi Tindak Korea Utara dalam Pengembangan Tenaga Nuklir untuk Tujuan Tidak Damai. Jurnal tersebut dipilih sebagai kajian pustaka karena sama-sama mengkaji persoalan program pengembangan nuklir yang tidak sesuai dengan ketentuan badan IAEA. Meskipun yang menjadi perbedaan ada pada negara yang menjadi fokus permasalahan, yakni Korea Utara, namun kerangka pembahasan dari tulisan Pratiwi hampir mirip dengan penelitian ini.

Menurut Pratiwi (2013), tugas IAEA sebagai suatu organisasi internasional dalam mengontrol negara-negara yang menjalankan program nuklir tidaklah mudah, sebab hampir semua negara yang mampu mengembangkan nuklir, tentu tergiur dengan adanya potensi mengembangkan senjata nuklir. Maka dari itu, dalam menjalankan visi dan misinya, IAEA memiliki rencana strategis yang tertulis di dalam statutanya yang meliputi: keselamatan dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perlindungan dan verifikasi. IAEA telah menetapkan standar-standar internasional tertentu terkait dengan permasalahan pengembangan nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara. Meskipun Korea Utara telah menandatangi


(24)

10

perjanjian Nuclear Non-Proliferation Treaty pada tahun 1985, peran yang dilakukan oleh IAEA tidak dapat hanya berpedoman pada aturan NPT. IAEA juga memiliki kekuatan (power) tersendiri untuk melakukan pendekatan ataupun intervensi terhadap program nuklir Korea Utara apabila tidak berpedoman pada aturan yang telah ditentukan. Oleh karena itu, jurnal Pratiwi dan penelitian ini memiliki kesamaan dalam mengkaji bagaimana kemampuan suatu organisasi internasional mempengaruhi kebijakan suatu negara terkait dengan pelaksanaan program pengembangan nuklir.

Tulisan Pratiwi (2013) dapat memberikan kontribusi terhadap penelitian ini untuk melihat bagaimana masalah program pengembangan nuklir menjadi fokus perhatian suatu organisasi internasional yang memiliki visi dan misi menjaga perdamaian dunia. Seperti halnya yang dilakukan oleh Korea Utara dan Iran. Meskipun banyak negara yang mengakui melakukan program pengembangan nuklir untuk tujuan damai, tetap saja harus dilakukan pengawasan dan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap fasilitas-fasilitas yang dimiliki. Menurut Pratiwi, setiap negara berhak untuk menggunakan teknologi nuklir selama pelaksanaannya untuk tujuan damai dan berpedoman pada aturan-aturan yang tertulis di dalam NPT maupun IAEA safeguards agreement. Pratiwi (2013) juga memiliki pandangan yang relevan dengan penelitian ini bahwasanya power dari organisasi internasional sangat dibutuhkan untuk membuat negara-negara tersebut patuh dan taat terhadap aturan yang telah ditetapkan.

Pratiwi (2013) di dalam tulisannya memang menjelaskan bahwa peran suatu organisasi internasional seperti IAEA ataupun Dewan Keamanan PBB sangat


(25)

11

diperlukan dalam menyelesaikan permasalahan nuklir dengan Korea Utara yang dapat mengancam perdamaian dunia. Meskipun demikian, konsep peran dalam hal ini cenderung masih bersifat luas untuk menggambarkan hal-hal atau upaya-upaya yang telah dilakukan IAEA dan Dewan Keamanan PBB untuk memberhentikan program pengembangan nuklir di Korea Utara yang dinilai tidak sesuai dengan standar keamanan. Pada penelitian ini, konsep peran tersebutlah yang akan lebih difokuskan, yaitu dikeluarkannya resolusi oleh Dewan Keamanan PBB, sebagai suatu bentuk konkrit kekuatan (power) yang dimiliki organisasi internasional untuk memaksa Iran menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012.

Kajian pustaka kedua dalam penelitian ini diambil dari jurnal karya Marko Divac Oberg tahun 2006 dengan judul The Legal Effects of Resolutions of the UN Security Council and General Assembly in the Jurisprudence of the ICJ. Menurut Oberg (2006), istilah resolusi yang digunakan oleh PBB tidak hanya mencakup sebuah rekomendasi, tetapi juga mencakup adanya keputusan. Resolusi yang dilahirkan dari Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB memiliki efek legal. Kemudian, efek legal itu ada yang bersifat mengikat secara intern bagi negara anggota dari organisasi tersebut, dan ada juga yang mengikat bagi negara-negara bukan anggota. Biasanya, resolusi yang mencakup keputusan bersifat mengikat, sedangkan resolusi yang hanya berbasis rekomendasi bersifat tidak mengikat. Resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional memiliki fungsi antara lain: fungsi substantif yang artinya menciptakan kewajiban, hak dan batas-batas kekuasaan atau wewenang; kemudian fungsi untuk menentukan


(26)

12

fakta atau situasi hukum yang berguna untuk membantu menentukan fungsi substantif tersebut; dan untuk menentukan kapan dan bagaimana fungsi substantif tersebut dapat diberlakukan.

Oberg (2006) menjelaskan bahwa resolusi (decisions) yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB memiliki kekuatan normatif dan hukum yang lebih besar dibandingkan resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum PBB. Bahkan dapat bertentangan dengan prinsip hukum internasional (treaties). Maka dari itu, efek legal yang dimiliki tidak hanya mengikat negara-negara anggota, tetapi juga mengikat negara-negara bukan anggota PBB. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pada Piagam PBB, Dewan Keamanan di dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan perdamaian internasional, telah mendapat persetujuan untuk bertindak mengatasnamakan seluruh anggota PBB. Selain itu, di dalam piagam PBB juga disebutkan bahwa negara-negara anggota setuju untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan. Hal tersebutlah yang kemudian membuat resolusi-resolusi dari Dewan Keamanan PBB memiliki aturan hukum yang mengikat (legal binding).

Meskipun Dewan Keamanan PBB memiliki kekuatan yang begitu besar dalam menjaga perdamaian dunia, namun tetap ada pasal-pasal di dalam Piagam PBB yang mengatur pembatasan-pembatasan Dewan Keamanan secara hukum. Selain itu, terdapat pula aturan di dalam Piagam PBB yang menyebutkan bahwa negara-negara baik yang menjadi anggota ataupun bukan anggota terikat oleh keputusan Dewan Keamanan apabila keputusan tersebut berkaitan dengan perdamaian dan keamanan internasional. Jika ada negara yang didapati melanggar


(27)

13

keputusan-keputusan Dewan Keamanan, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Piagam PBB. Oleh karena itu, pemaparan Oberg mengenai legal effects dari Resolusi Dewan Keamanan PBB akan membantu penelitian ini dalam memetakan fokus bahasan penelitian mengenai kekuatan (power) suatu organisasi internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan suatu negara.

2.2 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan teori arsitektur organisasi (organizational architecture theory) beserta dua konsep yang akan digunakan untuk menganalisis bagaimana suatu organisasi internasional PBB menggunakan resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan untuk membuat Iran menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012. Dua konsep tersebut adalah legal rational organization dan the power of IOs.

2.2.1. Teori Arsitektur Organisasi

Sebelum membahas mengenai arsitektur organisasi dari suatu institusi internasional, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu perbedaan yang mendasar antara institusi internasional dan organisasi. Institusi merupakan kumpulan dari badan yang terdiri atas norma-norma, nilai, beserta standar-standar yang menegakkan dan mengabsahkan aktor-aktor politik, dan menyediakan mereka seperangkat aturan maupun ikatan dengan kapasitas penuh untuk menjalankan suatu aksi. Sedangkan organisasi adalah mekanisme-mekanisme yang digunakan untuk menyusun struktur atau aturan-aturan di dalam sebuah institusi. Hal ini dikarenakan struktur organisasi memberikan dampak yang signifikan terhadap


(28)

14

bagaimana institusi tersebut berperan (DeCanio, et al dalam Balding & Wehrenfennig, 2011).

Keberadaan organisasi di dalam suatu institusi akan memunculkan beberapa hal, antara lain: hirarki, status, spesialisasi, rasionalisasi, efisiensi, dan kooptasi. Hirarki akan menggambarkan bagaimana struktur atau garis instruksi dan koordinasi yang berlaku dari tingkatan paling atas hingga bawah; status berfungsi untuk melihat bagaimana tingkat kehormatan, hak, dan tanggung jawab dari hirarki tersebut; spesialisasi berarti adanya pengelompokkan sesuai bidang-bidang tertentu; rasionalisasi berarti penentuan kebijakan yang didasarkan atas pertimbangan dari faktor-faktor terkait; efisiensi adalah bagaimana membuat kebijakan yang dikeluarkan dapat berjalan semaksimal mungkin; dan kooptasi dalam hal ini berarti pemilihan pemimpin baik untuk institusi maupun organisasi sesuai dengan kesepakatan seluruh anggota (Presthus dalam Martindale, 1966).

Dengan adanya hirarki, status, spesialisasi, dan sebagainya, maka jelas bahwa desain arsitektur organisasi merupakan organisasi-organisasi yang dibentuk dan dirancang secara rasional dan sadar untuk bertugas di dalam bidang-bidang tertentu. Dengan kata lain, organisasi-organisasi yang ada pada arsitektur sebuah institusi akan menyediakan mekanisme-mekanisme khusus atau menjadi variabel penentu bagi institusi tersebut untuk meraih tujuan yang ingin dicapai maupun menjalankan misi-misinya. Variabel yang dimaksud dapat berupa penghalang maupun katalis atau pendorong dari institusi internasional dalam menyebarkan norma-norma dan menuntut ketaatan dari anggotanya. Secara sederhana dapat


(29)

15

digambarkan jika institusi internasional adalah sebuah permainan, maka organisasi adalah aturan-aturanya, dan negara atau aktor adalah pemainnya.

Desain arsitektur organisasi akan memunculkan dorongan yang berupa aturan-aturan dalam berinteraksi, proses pendisiplinan, maupun penghargaan atas perilaku bagi institusi dan aktor-aktor terkait. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Frey dan Gygi (1991) bahwasanya:

“An international organization’s performance or output cannot be

prescribed by outside intervention (by a planner); the only way to influence performance is to set the rules under which the interaction take place. . . . Particular outcomes are connected with particular rules by the behavior of the decision makers. Provided an adequate theory of behavior is used, rules maybe suggested in order to determine the resulting

outcome.”(Balding & Wehrenfennig, 2011).

Dengan kata lain, desain arsitektur organisasi yang baik diperlukan agar aktor-aktor patuh terhadap mekanisme organisasi demi meraih tujuan yang ingin dicapainya dari institusi internasionalnya. Perbedaan desain arsitektur organisasi di suatu institusi internasional juga akan mempengaruhi strategi aktor-aktor tersebut terhadap tujuan-tujuan spesifik lainnya. Desain arsitektur organisasi ini juga memberikan pengaruh terhadap beberapa institusi internasional yang dianggap memiliki kesuksesan lebih tinggi di dalam menuntut ketaatan atas kewajiban formal, norma-norma informal ataupun nilai dari institusi tersebut. Hal tersebut akan dijelaskan menggunakan konsep legal rational organization.

2.2.2. Konsep Legal Rational Organization

Konsep ini pertama kali diungkapkan oleh Weber pada tahun 1947 dan dilengkapi oleh Spencer pada tahun 1971 (Balding & Wehrenfennig, 2011). Mereka menjelaskan bahwa ada beberapa hal penting yang menjadi kunci dari konsep ini.


(30)

16

Pertama, legal rational organization bergantung pada struktur atau hirarki dari suatu organisasi sehingga baik negara anggota maupun non-anggota harus dapat mengakui dan memahami keberadaan dari suatu organisasi internaisonal. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Tunkin dalam Enkhee (n.d) yang menyatakan bahwa konstitusi yang dimiliki oleh organisasi internasional secara tegas menyatakan bahwa organisasi tersebut akan memiliki sifat legal atau legal personality. Ketentuan yang ada di dalam konstitusi tersebut mewajibkan seluruh negara untuk menerima keberadaan suatu organisasi internasional sebagai salah satu aktor yang berkompeten dalam hukum internasional dan setara dengan negara-negara.

Kedua, konsep ini meminta seluruh negara baik anggota maupun non-anggota untuk memahami otoritas dan mengikuti serta menerapkan anjuran-anjuran hukum dari organisasi yang bersangkutan. Hal tersebut akan membuat organisasi internasional memiliki kewenangan menuntut persetujuan negara-negara atas norma-norma yang diberlakukan institusi internasional, baik secara langsung maupun melalui pihak penengah (adjudicator). Proses ajudikasi yang dimaksud dapat berupa penilaian terhadap suatu kasus apakah adanya pelanggaran hukum yang terjadi pada kasus tersebut, apakah diperlukan pemberian sanksi, atau sejauh mana tingkat sanksi yang harus diberikan. Ketentuan mengenai status legal di dalam konstitusi yang dimiliki merupakan prasyarat terpenting bagi suatu organisasi internasional untuk memetakan kekuatan dan kewenangannya lebih lanjut (Schermers & Blokker dalam Enkhee, n.d).


(31)

17

Ketiga, konsep ini juga menjelaskan tentang pembatasan organisasi internasional dengan negara-negara pendirinya untuk mewujudkan karakter (personality) organisasi yang legal dan objektif. Dengan kata lain, suatu organisasi internasional dapat bekerja tanpa terpengaruh oleh kepentingan negara-negara anggotanya. Hal ini bertujuan untuk membentuk organisasi yang independen dengan hak dan kewajiban yang setara terhadap seluruh negara anggota.

Dari ketiga pernyataan di atas, suatu organisasi internasional akan dapat meningkatkan angka ketaatan negara anggota terhadap norma-norma yang diberlakukan. Hal ini dikarenakan legal rational organization membuat organisasi internasional dapat memberikan keuntungan terhadap negara yang mampu bekerjasama dengan baik, dan memberikan kerugian apabila tidak sejalan dengan aturan yang telah ditetapkan. Seperti halnya kemampuan untuk membagi atau memberikan pengecualian profit pada mereka. Pembagian tersebut dapat berdampak pada berkali-lipatnya profit yang didapat negara anggota terhadap sektor-sektor tertentu. Sedangkan pengecualian membuat organisasi memiliki kemampuan untuk mengurangi maupun menutup arus profit negara anggota tanpa harus mengganggu anggota lainnya. Bentuk nyata dari pengecualian tersebut salah satunya dapat tersirat di dalam sanksi-sanksi yang dijatuhkan organisasi kepada negara anggota.

2.2.3. Konsep The Power of IOs

Meskipun suatu organisasi internasional dibentuk dan didanai oleh negara-negara, bukan berarti organisasi tersebut bergantung secara mutlak terhadap kekuatan (power) dari negara-negara pendirinya. Hal ini dikarenakan organisasi


(32)

18

internasional juga memiliki kekuatan tersendiri ketika sudah terbentuk secara resmi. Adapun beberapa organisasi internasional yang memiliki kekuatan tersendiri, yakni International Court of Justice (ICJ) dalam hal peradilan internasional dan UN Security Council untuk menjaga kemanan dan perdamaian dunia. Mereka bertugas untuk mengawasi dan memberikan pemahaman apabila ada aktor negara maupun non-negara yang mempermasalahkan aturan dalam sistem internasional (Moore & Pubantz, 2006).

Menurut Barkin (2006), suatu organisasi internasional memiliki dua sumber utama yang menjadi kunci kekuatannya, yakni otoritas moral dan informasi. Otoritas moral adalah sumber kekuatan yang dimiliki suatu organisasi internasional untuk berperan sebagai pejabat dalam sistem internasional yang terlegitimasi dalam bidang-bidang tertentu agar masyarakat dan negara mau menghormati serta memperhatikan keberadaannya. Untuk menjalankan kekuatan otoritas moral, ada dua strategi turunan yang dapat diterapkan. Strategi yang pertama adalah kemampuan untuk mempermalukan (ability to shame). Strategi ini muncul sebagai bentuk reaksi atas keberadaan asas multilateralisme yang diterima oleh negara-negara di dunia. Oleh karena itu, organisasi internasional hadir dengan seperangkat aturan beserta prosedur yang telah disetujui oleh negara-negara anggotanya. Strategi tersebut menyebabkan negara-negara tidak akan ada yang mau untuk melawan ataupun terlihat sebagai pembangkang oleh negara lain, atau sebagai pihak yang merusak aturan dari organisasi internasionalnya sendiri. Apabila suatu negara didapati telah melakukan perusakan maupun pelanggaran dari aturan-aturan


(33)

19

tersebut, maka akan menjadi aib bagi dirinya di antara sesama negara anggota maupun di lingkungan internasional.

Strategi kedua yang dapat diterapkan dari kekuatan otoritas moral adalah

political entrepreneurship. Strategi political entrepreneurship ini merupakan penggunaan otoritas oleh suatu organisasi internasional untuk meningkatkan posisi politik tertentu atau untuk menempatkan isu-isu tertentu dalam agenda politik. Seorang pemimpin organisasi internasional, di dalam kapabilitasnya akan menggunakan hak otoritas yang dimiliki untuk memasukan atau menempatkan beragam hal dan isu-isu ke dalam agenda internasional, meskipun hal dan isu-isu tersebut pada awalnya tidak termasuk atau belum tentu ada di dalam agenda.

Sumber kekuatan yang dimiliki organisasi internasional selain otoritas moral adalah informasi. Kemampuan untuk membuat dan mengontrol informasi juga merupakan poin penting di dalam politik internasional. Salah satu bentuk pengontrolan informasi dalam hal ini adalah dengan membuat suatu komunitas. Haas dalam Barkin (2006) dikatakan pernah mengemukakan teori yang menganggap bahwa organisasi internasional dapat berfungsi sebagai suatu

epistemic communities,yang artinya jaringan dari para profesional dengan keahlian yang diakui, dan memiliki kompetensi dalam bidang tertentu serta memiliki klaim otoritatif untuk membuat kebijakan yang tepat di dalam suatu permasalahan yang menjadi bidangnya. Dengan kata lain, apabila para ahli telah menyepakati sebuah kebijakan terkait dengan isu yang menjadi bidangnya, hal itu dapat dikatakan sebagai suatu komunitas epistemik. Seperti halnya ketika International Maritime Organization (IMO) dan seluruh ahli terkait telah menyepakati sebuah kerangka


(34)

20

kerja untuk mengatasi masalah polusi yang ada di Laut Mediterania, maka akan sangat sulit bagi negara-negara yang ada di sepanjang Teluk Mediterania untuk tidak setuju dengan kerangka kerja yang telah ditentukan. Selain itu, komunitas epistemik ini juga dapat membantu organisasi internasional dalam menciptakan suatu standar yang akan mempengaruhi cara, baik pemerintah maupun negara dalam menjalankan bisnis.

Seperti yang dikatakan Moore dan Pubantz (2006), dapat dilihat bahwa lahirnya Dewan Keamanan PBB tentu akan disertai dengan legal personality

sehingga organisasi ini akan memiliki sumber-sumber kekuatan dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Kemudian, kekuatan tersebut akan termanifestasi ke dalam segala bentuk tindakan dan aktivitas yang dilakukan oleh Dewan Keamanan, salah satunya dalam memberikan resolusi terhadap suatu kasus. Manifestasi kekuatan yang dimiliki oleh Dewan Keaman ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam bab pembahasan dalam proses bagaimana resolusi tersebut memaksa Iran untuk menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012.


(1)

digambarkan jika institusi internasional adalah sebuah permainan, maka organisasi adalah aturan-aturanya, dan negara atau aktor adalah pemainnya.

Desain arsitektur organisasi akan memunculkan dorongan yang berupa aturan-aturan dalam berinteraksi, proses pendisiplinan, maupun penghargaan atas perilaku bagi institusi dan aktor-aktor terkait. Hal ini juga sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Frey dan Gygi (1991) bahwasanya:

“An international organization’s performance or output cannot be prescribed by outside intervention (by a planner); the only way to influence performance is to set the rules under which the interaction take place. . . . Particular outcomes are connected with particular rules by the behavior of the decision makers. Provided an adequate theory of behavior is used, rules maybe suggested in order to determine the resulting outcome.” (Balding & Wehrenfennig, 2011).

Dengan kata lain, desain arsitektur organisasi yang baik diperlukan agar aktor-aktor patuh terhadap mekanisme organisasi demi meraih tujuan yang ingin dicapainya dari institusi internasionalnya. Perbedaan desain arsitektur organisasi di suatu institusi internasional juga akan mempengaruhi strategi aktor-aktor tersebut terhadap tujuan-tujuan spesifik lainnya. Desain arsitektur organisasi ini juga memberikan pengaruh terhadap beberapa institusi internasional yang dianggap memiliki kesuksesan lebih tinggi di dalam menuntut ketaatan atas kewajiban formal, norma-norma informal ataupun nilai dari institusi tersebut. Hal tersebut akan dijelaskan menggunakan konsep legal rational organization.

2.2.2. Konsep Legal Rational Organization

Konsep ini pertama kali diungkapkan oleh Weber pada tahun 1947 dan dilengkapi oleh Spencer pada tahun 1971 (Balding & Wehrenfennig, 2011). Mereka menjelaskan bahwa ada beberapa hal penting yang menjadi kunci dari konsep ini.


(2)

Pertama, legal rational organization bergantung pada struktur atau hirarki dari suatu organisasi sehingga baik negara anggota maupun non-anggota harus dapat mengakui dan memahami keberadaan dari suatu organisasi internaisonal. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Tunkin dalam Enkhee (n.d) yang menyatakan bahwa konstitusi yang dimiliki oleh organisasi internasional secara tegas menyatakan bahwa organisasi tersebut akan memiliki sifat legal atau legal personality. Ketentuan yang ada di dalam konstitusi tersebut mewajibkan seluruh negara untuk menerima keberadaan suatu organisasi internasional sebagai salah satu aktor yang berkompeten dalam hukum internasional dan setara dengan negara-negara.

Kedua, konsep ini meminta seluruh negara baik anggota maupun non-anggota untuk memahami otoritas dan mengikuti serta menerapkan anjuran-anjuran hukum dari organisasi yang bersangkutan. Hal tersebut akan membuat organisasi internasional memiliki kewenangan menuntut persetujuan negara-negara atas norma-norma yang diberlakukan institusi internasional, baik secara langsung maupun melalui pihak penengah (adjudicator). Proses ajudikasi yang dimaksud dapat berupa penilaian terhadap suatu kasus apakah adanya pelanggaran hukum yang terjadi pada kasus tersebut, apakah diperlukan pemberian sanksi, atau sejauh mana tingkat sanksi yang harus diberikan. Ketentuan mengenai status legal di dalam konstitusi yang dimiliki merupakan prasyarat terpenting bagi suatu organisasi internasional untuk memetakan kekuatan dan kewenangannya lebih lanjut (Schermers & Blokker dalam Enkhee, n.d).


(3)

Ketiga, konsep ini juga menjelaskan tentang pembatasan organisasi internasional dengan negara-negara pendirinya untuk mewujudkan karakter (personality) organisasi yang legal dan objektif. Dengan kata lain, suatu organisasi internasional dapat bekerja tanpa terpengaruh oleh kepentingan negara-negara anggotanya. Hal ini bertujuan untuk membentuk organisasi yang independen dengan hak dan kewajiban yang setara terhadap seluruh negara anggota.

Dari ketiga pernyataan di atas, suatu organisasi internasional akan dapat meningkatkan angka ketaatan negara anggota terhadap norma-norma yang diberlakukan. Hal ini dikarenakan legal rational organization membuat organisasi internasional dapat memberikan keuntungan terhadap negara yang mampu bekerjasama dengan baik, dan memberikan kerugian apabila tidak sejalan dengan aturan yang telah ditetapkan. Seperti halnya kemampuan untuk membagi atau memberikan pengecualian profit pada mereka. Pembagian tersebut dapat berdampak pada berkali-lipatnya profit yang didapat negara anggota terhadap sektor-sektor tertentu. Sedangkan pengecualian membuat organisasi memiliki kemampuan untuk mengurangi maupun menutup arus profit negara anggota tanpa harus mengganggu anggota lainnya. Bentuk nyata dari pengecualian tersebut salah satunya dapat tersirat di dalam sanksi-sanksi yang dijatuhkan organisasi kepada negara anggota.

2.2.3. Konsep The Power of IOs

Meskipun suatu organisasi internasional dibentuk dan didanai oleh negara-negara, bukan berarti organisasi tersebut bergantung secara mutlak terhadap kekuatan (power) dari negara-negara pendirinya. Hal ini dikarenakan organisasi


(4)

internasional juga memiliki kekuatan tersendiri ketika sudah terbentuk secara resmi. Adapun beberapa organisasi internasional yang memiliki kekuatan tersendiri, yakni International Court of Justice (ICJ) dalam hal peradilan internasional dan UN Security Council untuk menjaga kemanan dan perdamaian dunia. Mereka bertugas untuk mengawasi dan memberikan pemahaman apabila ada aktor negara maupun non-negara yang mempermasalahkan aturan dalam sistem internasional (Moore & Pubantz, 2006).

Menurut Barkin (2006), suatu organisasi internasional memiliki dua sumber utama yang menjadi kunci kekuatannya, yakni otoritas moral dan informasi. Otoritas moral adalah sumber kekuatan yang dimiliki suatu organisasi internasional untuk berperan sebagai pejabat dalam sistem internasional yang terlegitimasi dalam bidang-bidang tertentu agar masyarakat dan negara mau menghormati serta memperhatikan keberadaannya. Untuk menjalankan kekuatan otoritas moral, ada dua strategi turunan yang dapat diterapkan. Strategi yang pertama adalah kemampuan untuk mempermalukan (ability to shame). Strategi ini muncul sebagai bentuk reaksi atas keberadaan asas multilateralisme yang diterima oleh negara-negara di dunia. Oleh karena itu, organisasi internasional hadir dengan seperangkat aturan beserta prosedur yang telah disetujui oleh negara-negara anggotanya. Strategi tersebut menyebabkan negara-negara tidak akan ada yang mau untuk melawan ataupun terlihat sebagai pembangkang oleh negara lain, atau sebagai pihak yang merusak aturan dari organisasi internasionalnya sendiri. Apabila suatu negara didapati telah melakukan perusakan maupun pelanggaran dari aturan-aturan


(5)

tersebut, maka akan menjadi aib bagi dirinya di antara sesama negara anggota maupun di lingkungan internasional.

Strategi kedua yang dapat diterapkan dari kekuatan otoritas moral adalah political entrepreneurship. Strategi political entrepreneurship ini merupakan penggunaan otoritas oleh suatu organisasi internasional untuk meningkatkan posisi politik tertentu atau untuk menempatkan isu-isu tertentu dalam agenda politik. Seorang pemimpin organisasi internasional, di dalam kapabilitasnya akan menggunakan hak otoritas yang dimiliki untuk memasukan atau menempatkan beragam hal dan isu-isu ke dalam agenda internasional, meskipun hal dan isu-isu tersebut pada awalnya tidak termasuk atau belum tentu ada di dalam agenda.

Sumber kekuatan yang dimiliki organisasi internasional selain otoritas moral adalah informasi. Kemampuan untuk membuat dan mengontrol informasi juga merupakan poin penting di dalam politik internasional. Salah satu bentuk pengontrolan informasi dalam hal ini adalah dengan membuat suatu komunitas. Haas dalam Barkin (2006) dikatakan pernah mengemukakan teori yang menganggap bahwa organisasi internasional dapat berfungsi sebagai suatu epistemic communities, yang artinya jaringan dari para profesional dengan keahlian yang diakui, dan memiliki kompetensi dalam bidang tertentu serta memiliki klaim otoritatif untuk membuat kebijakan yang tepat di dalam suatu permasalahan yang menjadi bidangnya. Dengan kata lain, apabila para ahli telah menyepakati sebuah kebijakan terkait dengan isu yang menjadi bidangnya, hal itu dapat dikatakan sebagai suatu komunitas epistemik. Seperti halnya ketika International Maritime Organization (IMO) dan seluruh ahli terkait telah menyepakati sebuah kerangka


(6)

kerja untuk mengatasi masalah polusi yang ada di Laut Mediterania, maka akan sangat sulit bagi negara-negara yang ada di sepanjang Teluk Mediterania untuk tidak setuju dengan kerangka kerja yang telah ditentukan. Selain itu, komunitas epistemik ini juga dapat membantu organisasi internasional dalam menciptakan suatu standar yang akan mempengaruhi cara, baik pemerintah maupun negara dalam menjalankan bisnis.

Seperti yang dikatakan Moore dan Pubantz (2006), dapat dilihat bahwa lahirnya Dewan Keamanan PBB tentu akan disertai dengan legal personality sehingga organisasi ini akan memiliki sumber-sumber kekuatan dalam menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Kemudian, kekuatan tersebut akan termanifestasi ke dalam segala bentuk tindakan dan aktivitas yang dilakukan oleh Dewan Keamanan, salah satunya dalam memberikan resolusi terhadap suatu kasus. Manifestasi kekuatan yang dimiliki oleh Dewan Keaman ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam bab pembahasan dalam proses bagaimana resolusi tersebut memaksa Iran untuk menyetujui inspeksi IAEA terhadap fasilitas pengembangan nuklir Iran di Parchin tahun 2012.