Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Negara-Negara Berkonflik (Kasus Invasi Irak Ke Kuwait 1990 Dan Perang Korea 1958 Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional)

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RAJA KARSITO PURBA 090200198

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKONFLIK (KASUS INVASI IRAK

KE KUWAIT 1990 DAN PERANG KOREA 1958 DITINJAU DARI SEGI HUKUM INTERNASIONAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

RAJA KARSITO PURBA 090200198

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Internasional

ARIF, SH., MH NIP. 196002141987032002

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum

NIP. 195612101986012001 NIP. 195610101986031003 Sutiarno, SH., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKONFLIK DALAM CONTOH

KASUS INVASI IRAK KE KUWAIT 1990 DAN PERANG KOREA 1958 DITINJAU DARI SEGI HUKUM

INTERNASIONAL

Resolusi adalah suatu hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan yang bersangkutan. Resolusi pada umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu paragraf yang bersifat mukadimah (preambule paragraph), dan paragraf yang bersifat operasional (operative paragraph).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Kedudukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Hukum Internasional.Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi oleh dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa. Bagaimanakah Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Negara-Negara Berkonflik. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis.

Kedudukan DK PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional dilakukan dengan dua cara, yaitu usaha penyelesaian sengketa secara damai (Bab VI Piagam) dan penyelesaian sengketa secara paksa berupa tindakan terhadap adanya ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi. (Bab VII Piagam). Pada hakikatnya wewenang Dewan Keamanan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab utama Dewan Keamanan. Mekanisme penjatuhan sanksi oleh dewan keamanan PBB adalah melalui Pengembilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB dapat dilakukan melalui pemunguan suara ataupun tidak. Keputusan yang diambil tanpa pemungutan suara dapat melalui consensus atau aklamasi, baik yang dilakukan atas saran ketua sidang yang bersifat “ruling” maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak. Dalam prakteknya masalah hak veto telah diperlunak. Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB secara gramatika bahwa semua anggota tetap DK PBB harus memberikan suaranya agar suatu draf resolusi DK PBB dapat diputuskan, abstain dianggap suatu veto. Dampak dari ketidakhadiran anggota tetap DK PBB dalam pemungutan suara terjadi tahun 1950 ketika Uni Soviet memboikot DK PBB, ketika DK PBB akan mengambil keputusan tentang masalah Korea Utara, ketika DK PBB akan mengambil keputusan tentang masalah Korea. Korea Utara mengadakan invasi ke Korea Selatan


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas Kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Negara-Negara Berkonflik Dalam Contoh Kasus Invasi Irak Ke Kuwait 1990 Dan Perang Korea 1958 Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional. Guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif, SH., M.H selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Dr. Hj. Chairul Bariah, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Bapak Sutiarno, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu dalam membimbing penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada kedua orang tua ayahanda Ir. Brata Ling Purba dan ibunda M. Karina Tarigan, yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

10.Buat Erika terima kasih yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta kasih sayang kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

11.Kepada rekan-rekan Geng ”RRK” Iqbal, Kebo, Wahyu, Dirgan, Alfi, Mulkan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

12.Kepada adik-adik Arif, Yusrin, Didi, Daniel, Roby dan Nazhifi didalam UKM Futsal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terima kasih atas dukungannya kepada penulis.


(6)

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, April 2014 Penulis

090200198 Raja Karsito Purba


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Pustaka ... 6

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II KEDUDUKAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 23

A. Sejarah Terbentuknya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ... 23

B. Struktur Organisasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa ... 28

C. Kedudukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ... 33

BAB III MEKANISME PENJATUHAN SANKSI OLEH DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ... 40

A. Mekanisme Penjatuhan Sanksi ... 40

B. Jenis-jenis Sanksi yang Bisa dijatuhkan ... 44 C. Negara-negara Berkonflik yang Dijatuhkan Sanksi oleh


(8)

Contoh Kasus Invasi Irak ke Kuwait 1990 dan

Korea 1958 ... 52

BAB IV PENERAPAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP NEGARA- NEGARA BERKONFLIK ... 71

A. Advisory Opinion oleh Mahkamah Internasional ... 71

B. Penggunaan Hak Veto dalam Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa ... 73

C. Pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- Bangsa Terhadap Negara-Negara Berkonflik Niaga dan Mahkamah Agung ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKONFLIK DALAM CONTOH

KASUS INVASI IRAK KE KUWAIT 1990 DAN PERANG KOREA 1958 DITINJAU DARI SEGI HUKUM

INTERNASIONAL

Resolusi adalah suatu hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan yang bersangkutan. Resolusi pada umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu paragraf yang bersifat mukadimah (preambule paragraph), dan paragraf yang bersifat operasional (operative paragraph).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Kedudukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Hukum Internasional.Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi oleh dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa. Bagaimanakah Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Negara-Negara Berkonflik. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis.

Kedudukan DK PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional dilakukan dengan dua cara, yaitu usaha penyelesaian sengketa secara damai (Bab VI Piagam) dan penyelesaian sengketa secara paksa berupa tindakan terhadap adanya ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi. (Bab VII Piagam). Pada hakikatnya wewenang Dewan Keamanan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab utama Dewan Keamanan. Mekanisme penjatuhan sanksi oleh dewan keamanan PBB adalah melalui Pengembilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB dapat dilakukan melalui pemunguan suara ataupun tidak. Keputusan yang diambil tanpa pemungutan suara dapat melalui consensus atau aklamasi, baik yang dilakukan atas saran ketua sidang yang bersifat “ruling” maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak. Dalam prakteknya masalah hak veto telah diperlunak. Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB secara gramatika bahwa semua anggota tetap DK PBB harus memberikan suaranya agar suatu draf resolusi DK PBB dapat diputuskan, abstain dianggap suatu veto. Dampak dari ketidakhadiran anggota tetap DK PBB dalam pemungutan suara terjadi tahun 1950 ketika Uni Soviet memboikot DK PBB, ketika DK PBB akan mengambil keputusan tentang masalah Korea Utara, ketika DK PBB akan mengambil keputusan tentang masalah Korea. Korea Utara mengadakan invasi ke Korea Selatan


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan hukum internasional melahirkan suatu tatanan sumber hukum baru yaitu resolusi atau keputusan suatu organisasi internasional yang menurut kebiasaan internasional diakui oleh negara-negara di dunia saat ini. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan dapat berasal dari organ eksekutif, legislatif maupun yudikatif suatu organisasi internasional. Resolusi adalah suatu hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan yang bersangkutan.

Sejak lama masyarakat internasional ingin mewujudkan suatu organisasi internasional yang bersifat universal yang memiliki visi dan misi untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Hal ini disebabkan sebagai reaksi terhadap banyaknya sengketa maupun konflik yang terjadi antar negara di dunia ini. Masyarakat internasional memerlukan sebuah wadah yang mampu menghimpun semua negara ke dalam suatu badan yang terorganisir untuk mencegah atau mengatasi masalah-masalah internasional tersebut.

Resolusi pada umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu paragraf yang bersifat mukadimah (preambule paragraph), dan paragraf yang bersifat operasional (operative paragraph). Langkah awal terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB). PBB adalah organisasi internasional


(11)

yang lahir pada 24 Oktober 1945. PBB dapat dikategorikan sebagai organisasi internasional terluas dan terlengkap, tetapi juga amat kompleks. Dikatakan demikian, karena ruang lingkup PBB adalah meliputi semua negara di dunia, baik anggota maupun bukan. Hingga saat ini, sebagai organisasi besar atau organisasi internasional par excellence yang dikenal dunia dan masyarakat internasional, PBB memiliki pengaruh dan peranan dalam mempertahankan kelangsungan hidup umat manusia di dunia, khususnya di bidang perdamaian dan keamanan internasional (international peace and security) ataupun di bidang ekonomi sosial.

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut DK PBB) adalah keputusan DK PBB dalam pemeliharaan dan atau pemulihan perdamaian dan keamanan internasional yang mempunyai kekuatan mengikat yang pada hakikatnya merupakan pencerminan suatu legitimasi internasional yang dikehendaki oleh prinsip dan tujuan PBB sesuai dengan piagam PBB tersebut. Tapi faktanya ada negara-negara yang sedang bersengketa yang tidak mengindahkan resolusi DK PBB tersebut walaupun dalam Piagam PBB sudah tercantum dengan jelas tentang kekuatan mengikat dari resolusi tersebut terhadap negara-negara yang terlibat dalam sengketa internasional dan juga sanksi-sanksi bagi negara yang tidak mentaati resolusi tersebut. Sanksi tersebut bisa berupa tindakan yang menggunakan kekerasan tanpa kekuatan militer (Pasal 41 Piagam PBB) dan tindakan yang menggunakan kekuatan militer.1

1

Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006) hlm 137


(12)

Wewenang DK PBB dalam mencapai tujuan utama, khususnya dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional dilakukan dengan dua cara, yaitu usaha penyelesaian sengketa secara damai (Bab VI Piagam) dan penyelesaian sengketa secara paksa berupa tindakan terhadap adanya ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi. (Bab VII Piagam). Pada hakikatnya wewenang DK PBB tersebut merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab utama DK PBB.

Hal yang perlu diperhatikan adalah wewenang untuk meminta pihak-pihak yang terlibat agar menyelesaian sengketa dengan cara damai atau merekomendasi prosedur-prosedur atau metode-metode penyelesaian, serta merekomendasikan syarat-syarat penyelesaian sengketa pada hal-hal yang bersifat menganjurkan

(recommendatory) dan terbatas pada sengketa yang kemungkinan membahayakan perdamaian dan keamanan.2

Sebagai organisasi internasional yang bersifat universal, PBB diharapkan mampu memelihara perdamaian dan keamanan internasional agar tidak terjadi lagi perang terbuka antara Negara dan mampu menciptakan kerjasama internasional di bidang ekonomi, social, kebudayaan, kemanusiaan dan lain sebagainya. Dalam Mukadimah Piagam PBB ditegaskan bahwa PBB bertekad untuk menyelamatkan generasi yang akan datang dari kesengsaraan yang disebabkan perang PBB juga Walau demikian, Dewan Keamanan tidak memiliki wewenang berkenaan dengan segala macam sengketa. Tetapi, Dewan Keamanan juga dapat menyelidiki suatu sengketa untuk mengetahui sampai sejauh mana hal tersebut membahayakan perdamaian dan keamanan.

2

Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global (Bandung: Alumni, 2000) hlm 1986


(13)

memperteguh kepercayaan pada hak-hak asasi manusia, pada harkat dan martabat manusia, persamaan hak bagi pria maupun wanita dan bagi segala bangsa besar maupun kecil. PBB juga bertekad menegakkan keadaan dimana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian dan lain-lain sumber hukum internasional dapat terpelihara. Tidak lupa pula PBB bertekad meningkatkan kemajuan sosial dan memperbaiki tingkat kehidupan dalam kebebasan yang lebih luas.3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka penulis memilih judul Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Negara-Negara Berkonflik dalam Kasus Invasi Irak ke Kuwait 1990 dan Perang Korea 1958 ditinjau dari segi Hukum Internasional

1. Bagaimanakah Kedudukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Hukum Internasional?

2. Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi oleh dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa?

3. Bagaimanakah Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Negara-Negara Berkonflik

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah

3


(14)

a. Untuk mengetahui Kedudukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Hukum Internasional

b. Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi oleh dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa?

c. Bagaimanakah Penerapan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Negara-Negara Berkonflik

2. Manfaat Penulisan a. Secara teoritis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya Hukum Internasional dalam bidang Humaniter.

b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada PBB melalui pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan resolusi yang berkaitan dengan Hukum Internasional, khususnya Hukum Humaniter Internasional

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Negara-Negara Berkonflik dalam contoh kasus Invasi Irak Ke Kuwait 1990 dan Perang Korea 1958 Ditinjau dari Segi Hukum Internasional,


(15)

belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Pustaka

1. Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa

Resolusi adalah suatu hasil keputusan dari suatu masalah yang telah disetujui melalui konsensus maupun pemungutan suara menurut aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional atau badan yang bersangkutan. Resolusi pada umumnya terdiri dari dua bagian, yaitu paragraf yang bersifat mukadimah (preambule paragraph), dan paragraf yang bersifat operasional (operative paragraph).

Menurut Black’s Law Dictionary, Keputusan (decision): “a determination arrived at after consideration of facts, and in legal context law”. Disebutkan bahwa keputusan itu adalah suatu ketentuan yang telah dicapai setelah mempertimbangkan fakta-fakta, dan dalam konteks hukum. Sedangkan Resolution “ a formal expression of the opinion or will of an official body or apublic assembly, adopted by vote; as a legislative resolution.4

4

Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary. hlm. 457

Hal ini berarti bahwa suatu resolusi merupakan suatu bentuk pertnyataan yang resmi mengenai suatu pendapat atau kehendak dari suatu badan yang resmi atau suatu majelis yang bersifat umum serta disahkan melalui pemungutan suara serta dinyatakan bahwa suatu resolusi intu merupakan sebagai suatu bentuk penyelesaian secara legislatif.


(16)

Pada umumnya resolusi merupakan suatu pernyataan tercatat yang berisi kesepakatan oleh negara-negara anggota.5 Secara umum, organisasi internasional merupakan suatu betuk kerjasama atau koordinasi antar negara dalam suatu wadah yang telah mereka sepakati.6

Keputusan-keputusan atau resolusi yang dilahirkan oleh suatu organisasi internasional ada yang mengikat pada ruang lingkup intern organisasinya saja. Namun ada juga organisasi interanasional yang mana keputusan yang dikeluarkannya tidak hanya berlaku dan mengikat bagi negara-negara anggotanya saja melainkan juga mengikat bagi negara-negara non anggota. Oleh karena itu pengaruh dan ruang lingkup berlakunya keputusan tersebut sangat besar dan luas. Hal ini dapat dilihat pada keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum maupun Dewan Keamanan PBB dimana ruang lingkup resolusi yang dikeluarkannya juga berlaku bagi negara non anggota PBB.

Kesepakatan-kesepakatan antar negara tersebut mereka tuangkan dalam bentuk suatu perjanjian yang mengikat antar negara tersebut.

7

Dalam praktiknya, adapaun fungsi-fungsi suatu resolusi yang dikeluarkan oleh suatu organisasi internasional adalah : 8

1. Menciptakan kewajiban, hak dan tau kekuatan mapupun wewenang (fungsi subtantif)

5

Richard K.Gardiner, International Law, (England : Pearson Education Limited,2003), hlm. 254.

6

Ibid

7

Boer, Mauna Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung : Alumni, 2005), hlm 89

8

Marko Divac Oberg, The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ, (16 Eur.J.Int’l.L.2006) hlm. 881


(17)

2. Menentukan fakta atau keadaan hukum yang dapat menentukan fungsi subtantif tersebut.

3. Menentukan bagaimana dan kapan suatu fungsi subtantif tersebut dapat berlaku.

2. Pengertian Hukum Internasional

Charles Cheney Hyde dalam J.G Starke menyatakan bahwa hukum internasional dapat didefenisikan sebagai keseluruhan hukum-hukum yang untuk sebahagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka secara umum.9

Definisi ini tidak dapat digunakan sebagai gambaran yang memadai dan lengkap dari maksud, tujuan dan lingkup hukum internasional, juga kesannya tidak dapat diterima karena hukum internasional tidak hanya berkaitan dengan negara. Starke mengembangkan definisi dengan menyatakan bahwa hukum internasional juga meliputi kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu serta kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan

9

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 3


(18)

kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.10

Peraturan-peraturan hukum internasional tertentu diperluas kepada orang-perorangan dan satuan-satuan bukan negara sepanjang hak dan kewajiban mereka berkaitan dengan masyarakat internasional dari negara-negara. Hukum internasional antara lain menetapkan aturan-aturan tentang hak-hak wilayah dari negara (berkaitan dengan darat, laut, dan ruang angkasa), perlindungan lingkungan internasional, perdagangan dann hubungan komersial internasional, penggunaan kekerasan oleh negara, dan hukum hak asasi manusia serta hukum humaniter.11

Para sarjana banyak membahas tentang kedudukan hukum internasional sebagai bagian dari ilmu hukum. Para sarjana tersebut ada yang berpendapat bahwa hukum internasional tidak dapat digolongkan kedalam kelompok ilmu hukum tetapi hanya sekedar moral internasional yang tidak mengikat secara positif, dan ada sarjana yang menyatakan bahwa hukum internasional merupakan hukum positif yang sudah terbukti menyelesaikan atau mengatur persoalan-persoalan dunia bahkan ada pendapat yang menyatakan hukum internasional sebagai “world law” atau hukum dunia yang didalamnya ada jaringan, sistem serta mekanisme dari suatu pemerintahan dunia yang mengatur pemerintah-pemerintah dunia.12

10

Ibid

11

C. de Rover, To Serve & To Protect – Acuan Universal Penegakan HAM, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 4

12

A.Masyhur Effendi, Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum


(19)

Perbedaaan pendapat para sarjana ini disebabkan oleh cara pandang yang berbeda dalam melihat kedudukan hukum internasional. Hukum internasional selalu diasosiasikan dengan pemerintahan dalam arti nasional, sehingga ketiadaan alat-alat atau sistem yang sama seperti negara akan menyebabkan hukum internasional selalu dipandang tidak mempunyai dasar serta selalu diperdebatkan.13

Hukum internasional mengikat secara hukum. Kekuatan mengikat hukum internasional ditegaskan dalam dalam Piagam Pembentukan Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa, yang dirumuskan di San Fransisco tahun 1945. Piagam ini baik secara tegas maupun implisit didasarkan atas legalitas yang sebenarnya dari hukum internasional. Hal ini juga secara tegas dinyatakan dalam ketentuan-ketentuan Statuta Mahkamah Internasional yang dilampirkan pada piagam, dimana fungsi Mahkamah dalam Pasal 38 dinyatakan “untuk memutuskan sesuai dengan hukum internasional sengketa-sengketa demikian yang diajukan kepadanya.” Salah satu manifestasi multipartit yang paling akhir yang mendukung legalitas hukum internasional adalah Deklarasi Helsinki pada 1 Agustus 1975.14

Meskipun hukum internasional mengikat secara hukum, namun pada faktanya hukum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Dalam sistem hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislatif internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung

13

Ibid., hlm 2 14


(20)

negara-negara anggota disamping tidak adanya angkatan bersenjata untuk melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum serta keberadaan Mahkamah Internasional yang belum mempunyai yurisdiksi wajib universal untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hukum antar negara-negara. 15

Meskipun hukum internasional merupakan hukum yang lemah, namun negara-negara tetap percaya bahwa hukum internasional itu ada. Sebagai negara yang berdaulat serta menjunjung tinggi martabatnya terdapat kewajiban moral bagi suatu negara untuk menghormati hukum internasional dan secara umum mematuhinya. Negara-negara mematuhi hukum internasional karena kepatuhan tersebut diperlukan untuk mengatur hubungannya antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentingannya sendiri.

16

Hukum internasional tidak memiliki badan legislatif internasional untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur secara langsung kehidupan masyarakat internasional. Satu-satunya organisasi internasional yang kira-kira melakukan fungsi legislatif adalah Majelis Umum PBB. Tetapi resolusi yang dikeluarkannya tidak mengikat kecuali yang menyangkut kehidupan organisasi internasional itu sendiri. 17 Memang ada konferensi-konferensi internasional yang diselenggarakan dalam kerangka PBB untuk membahas masalah-masalah tertentu, tetapi tidak selalu merumuskan law-making treaties.18

Law making treaties adalah perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota

15

Ibid., hlm 23 16

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 2-3

17

Ibid., hlm 8 18


(21)

masyarakat bangsa-bangsa; Law making treaties juga dikategorikan sebagai perjanjian-perjanjian internasional yang yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional.

3. Sumber-sumber Hukum Internasional

Sumber hukum dipakai pertama sekali pada arti dasar berlakunya hukum. Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah apa sebabnya suatu hukum mengikat, yakni sebagai sumber hukum material yang menerangkan apa yang menjadi hakikat dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional.19

1. Dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional; Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:

2. Metode penciptaan hukum internasional;

3. Tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit.20

Sumber hukum ada 2 (dua) jenis yakni:

a. Sumber hukum materil: dapat didifenisikan sebagai bahan-bahan aktual yang dipergunakan oleh seorang ahli hukum internasional untuk menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap suatu peristiwa atau situasi tertentu. 21

b. Sumber hukum Formal: merujuk kepada bukti-bukti baik secara umum maupun khusus yang menunjukkan bahwa hukum tertentu telah diterapkan

19

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung, Alumni, 2003) hlm. 113

20

Yordan gunawan, “Pengantar Hukum Internasional”, http: // telagahati .wordpress. com. diakses, 29 Maret 2014

21


(22)

dalam suatu kasus tertentu. Dari sebuah hukum materiil inilah isi dari sebuah hukum bisa ditemukan.22

Dalam hukum tertulis, ada dua tempat yang mencantumkan secara tertulis sumber hukum internasional dalam arti formal yakni Pasal 7 Konvensi Den Haag XII 1907 tentang pembentukan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tahun 1920 yang kini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tahun 1945. Namun keberadaan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut tidak pernah terbentuk dikarenakan jumlah ratifikasi yang diperlukan tidak tercapai, sehingga sumber hukum internasional yang dipakai pada masa sekarang hanya Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional.23

Pasal 38 ayat (1) dari Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) menyatakan bahwa Mahkamah yang memiliki fungsi untuk memutus sesuai dengan hukum internasional yang diajukan kepadanya, akan memberlakukan sumber-sumber hukum sebagai berikut: 24

a. Konvensi internasional, baik umum maupun khusus, yang membentuk aturan-aturan yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;

b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti praktek umum yang diterima sebagai hukum;

c. Asas-asas hukum umum yang diterima oleh bangsa-bangsa yang beradab;

22

Benny setianto, “Sumber hukum internasional”, http://bennysetianto.blogspot.com. Diakses, 29 Maret 2014

23

Mochtar Kusuma Atmadja, Op. Cit. hlm. 114 24


(23)

d. Tunduk kepada ketentuan Pasal 59, putusan pengadilan dan ajaran para ahli yang sangat memenuhi syarat dari berbagai negara sebagai sarana pelengkap bagi penentuan aturan hukum

Urutan penyebutan sumber hukum dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional tidak menunjukkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal, karena hal ini sama sekali tidak diatur oleh Pasal 38.25 Pasal 38 mengklasifikasikan sumber hukum internassional formal kedalam 2 bagian yaitu sumber hukum pokok bagi pembentukan hukum internasional dibagian a sampai dengan bagian c, dan sumber hukum tambahan atau pelengkap pada bagian d. Hal ini berarti bahwa sarana-sarana utama (a-c) diperlukan, dan bahwa sarana pelengkap (d) hanya memiliki efek yang memenuhi kualifikasi dan atau efek penjelasan.26

a. Konvensi Internasional / Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 27

Perjanjian internasional sebagai sumber hukum dibagi atas dua golongan yakni dalam bentuk treaty contract dan law making treaties. Apabila dilihat dari segi fungsinya sebagai sumber hukum, sumber hukum formal merupakan law making yang artinya menimbulkan hukum. Treaty contract dimaksudkan sebagai suatu bentuk perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang mengadakan perjanjian itu dan pihak ketiga

25

Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit. hlm. 115 26

C. de Rover, Op. Cit. hlm 6 27


(24)

umumnya tidak dapat ikut serta dalam perjanjian ini. Seperti perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan dan perjanjian pemberantasan penyelundupan.

Law making treaties diartikan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Seperti Konvensi Perlindungan Korban Perang, Konvensi Hukum Laut dan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Perjanjian law making treaties selalu terbuka bagi pihak lain yang sebelumnya tidak turut serta karena yang diatur dalam perjanjian ini adalah suatu hal yang umum mengenai semua anggota masyarakat internasional.28

Konvensi internasional sebagai sumber hukum internasional menurut Boer Mauna adalah konvensi yang berbentuk law making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku secara umum.29

Treaty Contract menurut J. G. Starke tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Namun demikian, treaty contract ini diantara peserta atau penandatangan dapat menjadi hukum yang khusus. Perjanjian-perjanjian demikian dapat memberi arahan kepada perumusan ketentuan hukum internasional melalui pemberlakuan prinsip-prinsip yang mengatur kaidah

Dalam law making treaties ini negara-negara bersepakat merumuskan secara komprehensif prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang akan merupakan pegangan bagi negara-negara tersebut dalam melaksanakan kegiatan dan hukumnya satu sama lain.

28

Ibid. hlm 122-124 29


(25)

kebiasaan. Pemberlakuan treaty contract sebagai sumber hukum internasional harus memperhatikan 3 ketentuan yakni:30

1. Treaty contract tersebut merupakan serangkaian perjanjian yang menetapkan aturan yang sama secara berulang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasional yang maksudnya sama.

2. Perjanjian tersebut pada mulanya dibentuk hanya diantara sejumlah peserta terbatas kemudian kaidah yang dimuat dalam perjanjian tersebut digeneralisasikan dengan adanya penerimaan

3. Suatu perjanjian dapat dianggap mempunyai nilai pembukti mengenai adanya suatu kaidah yang dikristalisasikan menjadi hukum melalui proses perkembangan yang berdiri sendiri

b. Kebiasaan internasional

Viner’s Abrigent menyatakan kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.31 Dalam Pasal 38 ayat (1) Mahkamah Internasional, kebiasaan internasional dirumuskan sebagai “bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum”. Hal ini berarti bahwa persyaratan utama bagi pembentukan “kebiasaan” adalah adanya “praktik umum” dalam hubungan antar negara.32

Kebiasaan internasional yang menjadi sumber hukum internasional harus memenuhi unsur material dan unsur psikologis, yakni kenyataan adanya kebiasaan yang bersifat umum dan diterimanya hukum internasional tersebut sebagai hukum. Kebiasaan internasional sebagai suatu kebiasaan umum memerlukan

30

J. G. Starke, Op. Cit. hlm 55-56 31

Ibid., hlm 45 32


(26)

adanya suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa serta bersifat umumdan bertalian dengan hubungan internasional. Kebiasaan internasional ini juga harus memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum.33

c. Asas-asas Hukum Umum

Asas hukum umum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern yakni sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi.34

Keberadaan asas hukum umum sebagai sumber hukum internasional mempunyai arti penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Sumber hukum ini berperan dalam hal mahkamah tidak dapat menyatakan non liquest yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan. Dengan demikian kedudukan mahkamah internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hukum baru diperkuat oleh sumber hukum ini.

Prinsip-prinsip umum hukum yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara-negara yang menjadi salah satu sumber hukum internasional menunjukkan bahwa hukum internasional sebagai suatu sistem hukum merupakan sebagian dari suatu sistem hukum keseluruhan yang lebih besar.

35

33

Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm. 143-145 34

Ibid., hlm 148 35


(27)

d. Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan dan pendapat para ahli seperti yang telah dikemukakan sebelumnya merupakan suatu sumber hukum tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber primer, namun tidak dapat mengikat atau menimbulkan kaidah hukum. Hal dikarenakan oleh sistem peradilan menurut Piagam Mahkamah Internasional yang tidak mengenal asas keputusan pengadilan yang mengikat (rule of binding precedent).36

Putusan peradilan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional. Sehubungan dengan sumber hukum ini, Mahkamah juga diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara secara ex aequo et bono yaitu keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasar prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. 37

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hokum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang

36

Ibid., hlm 152 37


(28)

dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta menganggap norma-norma lain bukan sebagai hukum.38

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian yang akan menggambarkan objek atau masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimplan yang berlaku umum. Penelitian menggambarkan peristiwa in concreto yang dikonsultasikan pada seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan ada kaitannya dengan masalah yang menjadi objek penelitian.39

3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data sekunder membangun penelitian ini dan untuk mendapatkan hasil yang obyektif dari penelitian ini. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam tiga bagian yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku antara lain Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi, Konvensi Jenewa keempat 1949 mengenai Perlindungan bagi Orang Sipil pada Waktu Perang, Konvensi 1933 mengenai Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban Negara sebagai Subjek Hukum Internasional, Konvensi 1954 sehubungan dengan Orang- Orang Tanpa Kewarganegaraan, Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan Orang Tanpa Kewarganegaraan,

38

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri, (Jakarta:Ghlmia Indonesia 1990) hlm. 13.

39


(29)

Deklarasi PBB 1967 tentang Wilayah Suaka, Protokol Tambahan 1977, Piagam PBB dan instrument hukum yang lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain pustaka di bidang ilmu hukum, hasil penelitian di bidang hukum, jurnal hokum internasional,

The Annual Report, artikel-arikel ilmiah, baik dari Koran maupun internet, yearbook, circular, leaflet, journal, dan lain sebagainya.

c. Bahan hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum akan dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan menginventarisir peraturan Per-Undang- Undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil penelitian, makalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan materi yang menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. Data yang merupakan bahan-bahan hukum yang diperoleh kemudian akan disajikan dalam bentuk display secara sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

5. Analisis Data

Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, akan dipergunakan metode analisis normatife kualitatif . Normatif


(30)

karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang telah ada sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkananalisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi maupun fakta-fakta hukum yang bersifat ungkapan monografis dan responden.40

G. Sistematika Penulisan

Dalam menyusun skripsi ini, menguraikan bab demi bab sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II KEDUDUKAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN

BANGSA-BANGSA DALM HUKUM INTERNASIONAL

Bab ini akan membahas tentang sejarah terbentuknya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Struktur Organisasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Kedudukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

BAB III MEKANISME PENJATUHAN SANKSI OLEH DEWAN

KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA.

Bab ini akan membahas tentang Mekanisme Penjatuhan Sanksi, Jenis-jenis Sanksi yang bisa dijatuhkan serta Negara-negara berkonflik yang dibutuhkan sanksi oleh Dewan Keamanan Perserikatan

40


(31)

Bangsa dalam contoh Kasus Invasi Irak ke Kuwait 1990 dan Perang Korea 1958.

BAB IV PENERAPAN RESOLUSI DEWAN KEAMANAN

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP NEGARA-NEGARA BERKONFLIK

Bab ini akan membahas Advisory Opinion oleh Mahkamah Internasional, Penggunaan hak veto dalam penerapan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Negara-negara berkonflik.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian penelitian, kemudian dilengkapi dengan saran


(32)

A. Sejarah terbentuknya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Munculnya keinginan bersama untuk membentuk suatu organisasi internasional sebagai jawaban atas kekhawatiran akan terjadi perang setelah berakhirnya perang dunia ke-2 PBB merupakan salah satu kepanjangan tangan dari dari Liga Bangsa-Bangsa yang bubar setelah Perang Dunia I. Keseriusan negara-negara untuk membahas masalah tersebut ditunjukan dengan sering diadakanya perundingan-perundingan antar negara untuk membahas perlunya suatu organisasi internasional yang dapat menjamin stabilitas keamanan dunia. Dalam setiap pertemuan yang diadakan, juga dibahas mengenai keinginan untuk hidup bersama secara damai dalam masyarakat internaslonal.

Hingga pada akhirnya diadakan pertemuan antar negara-negara sekutu pada tanggal 12 Jum 1941 St James's palace, Ingggris. Petemuaan itu dihadiri oleh wakil-wakil negara seperti Australia, New Zeland, Kanada, Uill Afrika Selatan, Inggris, serta wakil-wakil dan pemerintahan Belgia, Cekoslovakia, Yunani, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Polandia dan Yugoslavia serta turut pula jenderal De Gaulle dari Perancis. Dalam pertemuan ini, yang selanjutnya dikenal sebagai pertemuan London, berhasil disepakati dan ditandatanggani deklarasi London. Deklarasi ini antara lain menyatakan bahwa satu-satunya dasar yang sejati bagi pemeliharaan perdamalan adalah kehendak kerjasama antara bangsa


(33)

Perserikatan Bangsa-Bangsa terbentuk pada tanggal 24 oktober 1945. ditandai dengan adanya deklarasi London pada tanggal 12 Juni 1941 yang dilanjutkan oleh Piagam Atlantik antara Amerika Serikat dan Inggris. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disusun menjelang berakhirnya Perang Dunia II oleh wakil-wakil dari 50 Pemerintah yang mengadakan pertemuan dan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Organisasi Internasional di San Fransisco dari 25 April sampai 26 Juni 1945.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sekarang ini merupakan satu organisasi dari 184 negara, hampir semua negara yang berada di atas planet Bumi ini, yang secara hukum terikat pada kerjasama dalam mendukung prinsip-prinsip dan tujuan yang tercantum di dalam Piagamnya. Keterikatan ini termasuk keterikatan untuk elenyapkan peperangan, menggalakan hak-hak asasi manusia, mempertahankan penghormatan terhadap keadilan dan hukum internasional, meningkatkan kemajuan sosial dan hubungan bersahabat di antara bangsa-bangsa, dan memanfaatkan organisasi dunia tersebut sebagai pusat untuk menyelaraskan langkah-langkah mereka untuk mencapai tujuan tersebut41

1. Memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Sedangkan Tujuan dari PBB sendiri secara rinci tercantum dalam Pasal 1 piagam PBB adalah sebagai berikut :

2. Memajukan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan penghargaan atas persamaan hak dan penentuan nasib sendiri.

41

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pengetahuan Dasar Mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa,Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1990, hlm 18


(34)

3. Menciptakan kerjasama internasional dalam menyelesaikan persoalanpersoalan internasional di lapangan ekonomi, social dan kebudayaan.

4. Menjadikan PBB sebagai pusat bagi penyelarasan segala tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan.

Dewan keamanan PBB adalah badan terkuat di PBB. Tugasnnya adalah menjaga perdamaian dan keamanan antar negara. Sedangkan badan PBB lainnya hanya dapat memberikan rekomondasi kepada para anggota dewan keamanan. Dewan keamanan mempunyai untuk mengambil keputusan yang harus dilaksanakan para anggota dibawah program PBB.

Dewan Keamanan mengadakan pertemuan pertamanya pada 17 Januari 1946 di Chara House, London dan keputusan yang mereka tetapkan disebut Resolusi Dewan Keamanan PBB. Hak Veto adalah untuk membatalkan keputusan atau Resolusi yang di ajukan oleh PBB atau Dewan keamanan PBB. Hak Veto sampai dengan sekarang, hanya dimiliki negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB.42

Dewan Keamanan diberi Hak dan wewenang untuk menentukan suatu Hal atau masalah yang di anggap mengganggu perdamaian, mengancam perdamaian atau tindakan agresif. Selanjutnya, sebagai tambahan ada suatu komite staf militer dari negara anggota tetap dan di maksudkan agar dapat mempersiapkan tindakan segera apabila terdapat ancaman perdamaian. Dewan Keamanan di berikan


(35)

wewenang untuk melakukan tindakan segera guna mejaga ketertiban dan keamanan dunia

Dewan Keamanan mempunyai lima anggota tetap. Mereka aslinya adalah kekuatan yang menjadi pemenang perang dunia ke 2. Republik Cina di keluarkan pada tahun 1971 dan di gantikan oleh Republik rakyat Cina atau RRC. Setelah yunisoviet pecah Rusia masuk menggantikannya. Sehingga lengkap menjadi anggota tetap :Republik Rakyat Tiongkok, Prancis, Rusia, Inggris, Amerika Serikat. Ke 5 anggota tersebut adalah negara-negara yang boleh mempunyai senjata nuklir di bawah perjanjian non proliferasi nuklir.

Adapun Hak dan Tugas Dewan Keamanan antara lain:43

1. Menyelidiki perselisihan atau ketegangan yang terjadi antara 2 atau lebih negara.

2. Dewan Keamanan adalah satu-satunya unit PBB yang mempunyai kekuasaan membuat keputusan-keputusan. Keputusan-keputusan ini sesuai dengan Piagam PBB dan harus dipatuhi oleh para anggota.

3. Mengupayakan penyelesaian perselisihan-perselisihan dengan cara-cara damai.

a. Perundingan : dalam hal ini biasanya dilakukan diplomasi.

b. Panitia penyelidikan : untuk menetapkan kemungkinan menghilangkan pertikaian.


(36)

c. Panitia perdamaian : dibentuk panitita internasional yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk menghasilkan persetujuan yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa

d. Perantara atau jasa-jasa baik : suatu negara, komisi atau tokoh ditunjuk dan disetujui oleh kedua belah pihak untuk mempercepat tercapainya perdamaian.

4. Penyelesaian perselisihan dengan cara paksaanhukum atas persetujuan yang tercapai.

5. Mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak bila sengketa sudah menjurus kepada peperangan, guna mencegah kemingkinan meluasnya pertikaian ke daerah lain.

6. Melakukan langkah-langkah pemaksaan, tindakan militer, melaksanakan sanksi ekonomi (misalnya embargo).

7. Mengirimkan pasukan-pasukan pemeliharaan perdamaian daerah-daerah sengketa (misalnya pernah mengirim kontingen UNIIMOG (United Nations Iraq-Iran Military Observer Group), yang bertugas mengawasi pelaksanaan gencatan senjata antara Irak dan Iran yang bertikai selama 8 tahun).

Dalam tugasnya, Dewan Keamanan PBB dibantu oleh : 1. Panitia Staf Militer

2. Panitia Pelucutan Senjata 3. Pasukan PBB


(37)

Dalam Dewan Keamanan dikenal hak veto, yaitu : hak untuk menolak atau membatalkan keputusan yang dibuat oleh Dewan Keamanan. Hak veto hanya dimiliki anggota tetap Dewan Keamanan. Setiap anggota Dewan Keamanan hanya mempunyai satu suara. Masalah-masalah penting yang menjadi keputusan Dewan Keamanan harus disetujui oleh sedikitnya 9 negara anggota, termasuk suara setuju kelima anggota tetap.

B. Struktur Organisasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Berdasarkan Piagam PBB terdapat lima badan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu :

1. Majelis Umum

Merupakan badan permusyawaratan utama, yang terdiri dari wakil-wakil Negara-Negara Anggota, yang masing-masing memiliki satu suara. Keputusan mengenai masalah-masalah penting, seperti perdamaian dan keamanan, anggota baru, dan masalah anggaran, membutuhkan mayoritas dua pertiga. Keputusan-keputusan yang menyangkut masalah lain-lain dicapai melalui mayoritas sederhana. Dasar hukum keberadaan lembaga ini tertuang dalam Bab IV Pasal 9 samapi Pasal 22 Piagam PBB.

2. Dewan Keamanan

Berdasarkan Piagam, tanggung jawab utama Dewan Keamanan adalah perdamaian dan keamanan internasional. Dewan memiliki 15 anggota: lima anggota tetap Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Prancis dan Cina dan 10 anggota tidak tetap yang dipilih oleh Majelis Umum untuk masa dua tahun. Ke-5 negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB mempunyai hak Veto yaitu hak yang


(38)

dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk membatalkan keputusan yang telah diambil. Pada tahun 1965, keanggotaan Dewan Keamanan telah bertambah dari 11 menjadi 15 (Pasal 23) dan jumlah suara yang mendukung yang diperlukan untuk masalah-masalah prosedural bertambah dari tujuh menjadi sembilan, sedangkan mengenai masalah-masalah lain juga bertambah menjadi sembilan, termasuk suara mendukung dari kelima anggota tetap (Pasal 27).44

Mahkamah Internasional merupakan badan hukum utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Statuta Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mahkamah terbuka untuk yang menjadi pihak dari Statutanya. Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa secara otomatis menjadi pihak dari Statuta. Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan, yang memberikan suara secara independen.

Dasar hukum keberadaan lembaga ini tertuang dalam Bab V Pasal 23 sampai Pasal 32 Piagam PBB .

3. Mahkamah Internasional

45

a. Ketentuan-ketentuan dari konvensi-konvensi internasional yang sudah ada yang diakui Negara-Negara yang bertikai;

Dasar hukum keberadaan lembaga ini tertuang dalam Bab XIV Pasal 92 sampai Pasal 96 Piagam PBB. Yuridiksi Mahkamah Internasional dijelaskan dalam Pasal 38 Statuta yang menerapkan :

b. Kebiasaan internasional yang telah diterima dalam praktek umum sebagai hukum;

44

Ibid., hlm 9 45


(39)

c. Prinsip-prinsip umum dari hukum yang diakui oleh bangsabangsa; dan d. Ketentuan-ketentuan hukum dan pandangan-pandangan para ahli hukum

internasional yang berkualifikasi tinggi dari berbagai negara, sebagai bahan tambahan dalam menegakan hokum

4. Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa

Sekretariat, dikepalai Sekertaris Jenderal dan terdiri dari staf internasional yang bertugas di Markas Besar. bertugas melayani badan-badan lain Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mengelola program dan kebijaksanaan yang telah mereka tentukan. Sekertariat dikepalai oleh Sekretaris Jenderal yang diangkat oleh Majelis Umum berdasarkan rekomendasi Dewan Keamanan dengan masa jabatan lima tahun. Dasar hukum keberadaan lembaga ini tertuang dalam Bab XV Pasal 97 sampai Pasal 101 Piagam PBB

Selain itu Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mempunyai badan-badanlain yang mendukung berjalannya tujuan PBB seperti yang tercantum dalam Piagam PBB, yaitu:46

1. Badan Subsider, adalah organ PBB yang bilamana perlu dapat dibentuk sesuai dengan ketentuan Piagam. Menurut Piagam PBB, Dewan Keamanan dapat membentuk organ subsider bila dipandang perlu, diantaranya: United Nations Interim Force in Libanon (UNIFIL) Pasukan sementara PBB di Libanon, United Nations Iran Iraq Military Observer Group (UNIIMOG), United Nations Transitional Authority in Cambodia

46

F.Sugeng Istanto, Hukum Internasional, (Yogjakarta: Universitas Atmajaya, 1998, hlm. 138.


(40)

(UNTAC), United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA).

2. Badan Khusus, adalah organisasi internasional publik di bidang ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, dan yang berkaitan dengan bidang tersebut yang ditempatkan dalam suatu hubungan dengan PBB. Badan khusus tersebut antara lain : International Labour Organizations (ILO), Food and Agricultural Organizations (FAO), World Health Organization (WHO), International Monetary Fund (IMF), International Bank For Reconstruction and Development (IBRD), International Telecommunication Union (ITU) United Nations Educational Scientific and Cultura Organization (UNESCO), United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF), Universal Postal Union (UPU),

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). 5. Dewan Ekonomi dan Sosial

Dewan Ekonomi dan Sosial dibentuk oleh Piagam sebagai organ utama untuk mengkoordinasikan kerja di bidang ekonomi dan social dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan serta lembaga-lembaga khususnya – yang dikenal sebagai organisasi “Keluarga Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Dewan memiliki 54 anggota yang bertugas untuk masa tiga tahun. Sebanyak 18 anggota dipilih setiap tahun untuk masa tugas tiga tahun guna menggantikan 18 anggota yang masa tugasnya selama tiga tahun telah habis. Pada tahun 1965, keanggotaan Dewan Ekonomi dan Sosial bertambah dari 18 menjadi 27 dan, pada tahun 1973,


(41)

meningkat lagi menjadi 54 (Pasal 61).47

Tugas dan wewenang yang dibebankan pada anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB adalah sebagai berikut :

Dasar hukum keberadaan lembaga ini tertuang dalam Bab X Pasal 61 sampai Pasal 72 Piagam PBB.

Dewan Ekonomi dan Sosial bekerja di bawah wewenang Majelis Umum, berkepentingan memajukan ekonomi dan sosial bagi kemakmuran masyarakat internasional. Dalam bidang hak asasi manusia, Dewan ini bertugas membuat rekomendasi dalam rangka menggalakkan penghormatan dan ketaatan terhadap HAM dan kebebasan asasi, di samping juga bertanggung jawab menerima laporan dan mengkoordinasikan kegiatan serta menandatangani persetujuan-persetujuan dengan badan-badan khusus hak asasi manusia seperti UNESCO, WHO dan LSM-LSM. Berdasarkan Pasal 68 Deklarasi, Badan ini berkewajiban membentuk komisi-komisi untuk membantu menjalankan tugas-tugasnya. Otoritas kewenangannya berhubungan dengan hak asasi manusia ditangani oleh Komisi Hak Asasi Manusia (CHR), Subkomisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas serta Komisi mengenai Status Kaum Wanita

48

1) Membahas dan mencoba mencari penyelesaian dari masalah-masalah ekonomi, sosial budaya dan kesehatan yang terjadi pada anggota khususnya dan dunia umumnya

2) Memberikan nasehat dalam rangka menjunjung tinggi hak-hak yang harus dimiliki oleh setiap warga dunia

47

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Op. Cit., hlm. 10. 48


(42)

3) Menyelenggarakan konfrensi tingkat internasional serta menyusun naskah-naskah yang dibutuhkan dalam konfrensi tersebut untuk diserahkan pada majelis umum

4) Menyelenggarakan konsultasi dengan organisasi non pemerintah yang telah diatur oleh ECOSOC

5) mengkoordinasi fungsi-fungsi badan anak pbb yang sering kali tumpang tindih

6) Membuat perjanjian atau kebijakan yang dibutuhkan guna Menjalankan tugas dan wewenangnya

C. Kedudukan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tujuan utama pembentukan PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, PBB mengambil langkah-langkah bersama secara efektif dalam mencegah dan menghindari ancaman agresi atau pelanggaran lain terhadap perdamaian dan mengusahakan penyelesaian melalui cara-cara damai, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional Pasal 1 ayat (1) piagam PBB. Dalam kaitan dengan usaha-usaha pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, PBB telah meletakkan lima prinsip dasar dalam piagamnya, yaitu49

1. Prinsip untuk menyelesaikan perselisihan internasional secara damai (Pasal 2 ayat 3 jo. Bab VI dan VII Piagam).

:

49

Suryokusumo, Sumaryo. Organisasi Internasional. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997) hlm, 8


(43)

2. Prinsip untuk tidak menggunakan ancaman atau kekerasan (Pasal 2 ayat 4 Piagam).

3. Prinsip mengenai tanggung jawab untuk menentukan adanya ancaman (Pasal 39).

4. Prinsip mengenai pengaturan persenjataan (Pasal 26 Piagam).

5. Prinsip umum mengenai kerjasama di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 11 ayat 1 Piagam).

Dalam hal ini, jika terjadi sengketa yang mengancam perdamaian dunia, maka, badan-badan PBB yang terlibat dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional turut serta dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Dewan Keamanan mempunyai tanggung jawab utama (Primary responsibility)

dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional Pasal 24 ayat (1) Piagam PBB. Wewenang Dewan Keamanan berdasarkan piagam dianggap cukup

ekstensif memberi peluang bagi organisasi tersebut. Lebih jauh lagi, hal ini berguna untuk merumuskan dan membedakan kewenangannya dengan wewenang Majelis Umum yang lebih umum dan kurang bersifat paksaan

Wewenang Dewan Keamanan dalam mencapai tujuan utama, khususnya dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional dilakukan dengan dua cara, yaitu usaha penyelesaian sengketa secara damai (Bab VI Piagam) dan penyelesaian sengketa secara paksa berupa tindakan terhadap adanya ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi. (Bab VII Piagam). Pada hakikatnya wewenang Dewan Keamanan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab utama Dewan Keamanan.


(44)

Bab VI Piagam, mengatur penyelesaian sengketa secara damai, memberi wewenang Dewan Keamanan untuk membuat rekomendasi prosedur dan syarat-syarat penyelesaian sengketa50

1. Melakukan penyelidikan terhadap sengketa atau situasi untuk menentukan apakah perdamaian dan keamanan internasional berbahaya.

. Langkah-langkah yang dapat diambil Dewan Keamanan adalah sebagai berikut:

2. Dapat meminta semua pihak untuk menggunakan cara-cara damai jika situasi membahayakan perdamaian internasional.

3. Merekomendasikan prosedur-prosedur atau metode-metode yang layak untuk penyelesaian, contohnya menyerahkan sengketa hukum ke ICJ. 4. Merekomendasikan syarat-syarat penyelesaian sengketa

Hal yang perlu diperhatikan adalah wewenang untuk meminta pihak-pihak yang terlibat agar menyelesaian sengketa dengan cara damai atau merekomendasi prosedur-prosedur atau metode-metode penyelesaian, serta merekomendasikan syarat-syarat penyelesaian sengketa pada hal-hal yang bersifat menganjurkan

(recommendatory) dan terbatas pada sengketa yang kemungkinan membahayakan perdamaian dan keamanan51

Walau demikian, Dewan Keamanan tidak memiliki wewenang berkenaan dengan segala macam sengketa. Tetapi, Dewan Keamanan juga dapat menyelidiki suatu sengketa untuk mengetahui sampai sejauh mana hal tersebut membahayakan perdamaian dan keamanan. Negara-negara PBB telah melimpahkan tanggung

.

50

Baros, James. The United Nations, Past, Present and Future. New York: The Free Press, 1972). hlm 22

51

Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global (Bandung: Alumni, 2000) hlm 186


(45)

jawab utama kepada Dewan Keamanan dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.

Tanggung jawab Dewan Keamanan tercermin dalam beberapa hal antara lain: 52

a. Meski Dewan Keamanan hanya terdiri dari anggota PBB yang jumlahnya terbatas, tindakan-tindakan yang dilakukan adalah atas nama seluruh anggota PBB.

b. Dewan Keamanan mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan yang mengikat tidak saja pada anggotanya tetapi juga mengikat semua negara anggota PBB dan negara bukan anggota (Pasal 2 ayat 6).

c. Hak untuk memutuskan itu dibatasi oleh aturan untuk kebulatan suara

(rule of unanimity) atau yang lazim disebut “veto”, sehingga kelima anggota DK mempunyai hak untuk memblokir usul-usul yang bersifat non prosedural yang diajukan di Dewan Keamanan termasuk amandemen terhadap piagam.

d. Dewan Keamanan harus dapat berfungsi setiap waktu.

e. Piagam juga memberikan hak kepada Dewan Keamanan untuk menentukan sendiri aturan tata caranya.

Badan-badan PBB lain yang berhubungan dengan masalah perdamaian dan keamanan internasional adalah Majelis Umum dan Sekertaris Jenderal. Peranan Majelis Umum menurut Pasal 10 Piagam PBB: “Majelis umum dapat membahas semua persoalan atau hal-hal yang termasuk dalam kerangka piagam

52


(46)

atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan fungsi salah satu organ yang tercantum dalam piagam ...dan membuat rekomendasi-rekomendasi kepada anggota-anggota PBB atau ke Dewan Keamanan

Peranan Majelis dalam pemeliharaan perdamaian terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) yang menyatakan bahwa. “Majelis dapat membahas dan membuat rekomendasi-rekomendasi mengenai semua persoalan yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan internasional yang diajukan oleh salah satu anggota PBB atau Dewan Keamanan atau oleh satu negara bukan anggota PBB”.

Berdasarkan Pasal di atas, Majelis Umum berwenang atas berbagai persoalan baik terhadap negara anggotanya maupun bukan. Majelis Umum juga mempunyai kekuasaan untuk intervensi langsung dalam dua hal yakni; Pertama, menurut Pasal 11 ayat (3), Majelis dapat menarik perhatian Dewan Keamanan terhadap semua keadaan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Selanjutnya, menurut Pasal 14; “Majelis dapat mengusulkan tindakan-tindakan untuk penyelesaian secara damai semua keadaan, tanpa memandang asal-usul yang mengganggu kesejahteraan umum atau membahayakan hubungan baik antar bangsa”. Kekuasaan Majelis ini pun memiliki batas. Pembatasan Majelis Umum terdapat dalam Pasal 2 ayat (7), yang melarang semua organ PBB untuk membahas dan membuat rekomendasi-rekomendasi mengenai masalah-masalah yang berada dalam wewenang nasional negara-negara anggota, kecuali dalam melaksanakan tindakan kekerasan yang diambil oleh Dewan Keamanan. Pembatasan khusus diatur dalam Pasal 12 Piagam dan 11 ayat (2). Dalam Pasal 12, Majelis Umum tidak boleh membuat


(47)

rekomendasi-rekomendasi terhadap persoalan-persoalan atau keadaan-keadaan yang sedang dibahas Dewan Keamanan. Atas dasar tanggung jawab Dewan Keamanan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan perdamaian.

Seandainya, Dewan Keamanan gagal mengambil langkah-langkah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional karena veto dari negara anggota tetapnya, maka, Dewan Keamanan dapat melimpahkan kepada Majelis Umum atas tanggung jawab residual (residual responsibility). Akan tetapi, hal ini dianggap kurang efektif karena keputusan yang diambil hanya bersifat rekomendatif.

Harapan agar Dewan Keamanan mengambil keputusan dengan cepat dalam menghadapi masalah genting sering tidak dapat dipenuhi. Dewan sering kali tidak dapat mengambil keputusan karena diveto oleh salah satu anggota tetapnya. Dengan memperhatikan kenyataan itu, maka, Majelis Umum berkali-kali mengajukan appeal kepada Dewan Keamanan agar melaksanakan kewajibannya dengan lebih baik.

Salah satu appeal yang terpenting adalah resolusi Majelis Umum pada 13 November 1950, kemudian dikenal dengan sebutan Uniting for peace Resolution.

Resolusi ini menyatakan, berhubung Dewan Keamanan tidak dapat mencapai suatu kesepakatan di antara negara-negara anggota tetapnya dan gagal dalam menunaikan tugas sebagai penanggungjawab utama dalam perdamaian dunia, maka, Majelis Umum akan segera membicarakan masalah tersebut agar dapat memberikan rekomendasi kepada semua anggota untuk mengambil tindakan kolektif. Termasuk penggunaan kekerasan senjata jika dianggap perlu. Meski


(48)

sebagian besar keputusan Majelis Umum hanya bersifat rekomendatif, tetapi karena mayoritas anggota PBB hadir dalam sidang majelis, maka, kecenderungan negara anggota PBB seolah-olah menghormati keputusan itu mengikat secara hukum.

Sekretaris Jenderal juga mempunyai hak untuk meminta perhatian Dewan Keamanan yang menurutnya dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 99 Piagam PBB). Ketentuan ini adalah hal baru bagi para pendiri PBB dan tidak ingin mengulangi kesalahan PBB yang tidak memberikan wewenang kepada Sekretaris Jenderalnya untuk mengambil prakarsa atas keadaan yang dapat mengancam perdamaian.

Sekretaris Jenderal dalam sistem PBB dapat melancarkan tanda bahaya dan memainkan peranan penting dalam masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat dunia pada umumnya. Dalam beberapa hal, Dewan Keamanan juga meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk memberikan jasa-jasa baiknya dalam mencari penyelesaian sengketa secara damai.

Dalam kaitannya dengan Pasal 99 Piagam, pada 1960 Sekretaris Jenderal pernah meminta perhatian Dewan Keamanan mengenai krisis Kongo, dan pada 1961 untuk melaporkan situasi di Tunisia atas tuduhannya terhadap Prancis. Pada 1979, Sekretaris Jenderal meminta Dewan Keamanan untuk bersidang membicarakan penahanan staf diplomatik Amerika Serikat di Teheran. Hal ini menunjukkan Sekjen turut mengambil inisiatif terhadap masalah-masalah yang mengganggu perdamaian dan keamanan internasional.


(49)

A. Mekanisme Penjatuhan Sanksi

Pengembilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB dapat dilakukan melalui pemunguan suara ataupun tidak. Keputusan yang diambil tanpa pemungutan suara dapat melalui consensus atau aklamasi, baik yang dilakukan atas saran ketua sidang yang bersifat “ruling” maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak.53

Kadang-kadang penerimaan konsensus diartikan bagi sesuatu Negara atau beberapa Negara tidak ingin menghambat jalannya keputusan, walaupun tidak menyetujui usul yang diajukan. Dalam hal demikian Negara-negara tersebut dapat menyatakan keberatan-keberatannya untuk tidak merasa terikat oleh keputusan yang diambil secara consensus tersebut

Hal ini dapat dimungkinkan jika memang benar-benar dapat memberikan sumbangan bagi penyelesaian yang efektif dan kekal bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian dapat memperkokoh wewenang PBB. Beberapa aturan tata cara (rules of procedural) bahkan memungkinkan Ketua Sidang untuk mengupayakan consensus bagi usul-usul.

54

Sistem dasar di dalam PBB mengenai persuaraan (pemungutan suara) tercermin dalam Pasal-Pasal 18, 19, 20 dan 27 Piagam PBB dua system

53

Sunaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, (Bandung: Alumni,1997) hlm 151-152

54


(50)

diantaranya telah digunakan secara umum. Di satu pihak didasarkan atas prinsip

“one nation”dan dilain pihak didasarkan atas nilai-nilai ekonomi, geografis dan lain-lain yang disebut “weighted”. Sistem ini memberikan kepada Negara-negaa besar yaitu lima anggota anggota tetap DK PBB suatu hak veto secara ekslusif di DK.

Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara di DK PBB terhadap semua masalah kecuali yang bersifat procedural memerlukan dukungan suara bulat dari kelima anggota tetap DK PBB sebagai syarat utama sebagaimana tersirat dalam Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Sedangkan badan-badan PBB lainnya mengambil keputusan, baik melalui mayoritas sederhana maupun mayoritas mutlak.

Putusan melalui mayoritas mutlak atau mayoritas dua pertiga adalah menyangkut masalah penting seperti : 55

1. Rekomendasi mengenai pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional

2. Pemilihan keanggotaan tidak tetap DK PBB, anggota ECOSOC dan anggot Dewan Perwalian Menurut Pasal 86 ayat (ie)

3. Masuknya Negara baru anggota PBB

4. Penanggulangan hak-hak dan keistimewaan keanggotaan 5. Pegeluaran anggota dengan paksa

55


(51)

6. Masalah-masalah yang berkaitan dengan beroperasinya system perwalian dan

7. Masalah-masalah anggaran

Sedangkan masalah-masalah lain diluar ketentuan di atas akan diputuskan dengan suara mayoritas dari Negara-negara anggota yang memberikan suara, baik secara alternatif (mendukung) maupun secara negatif (menolak). Namun negara yang menyatakan abstain tidak dihitung dalam pemungutan suara.56 Ini diartikan sebagai mayoritas sederhana yaitu mayoritas sekecil mungkin yang lebih dari setengah suara yang dihitung.57

Ada pula yang disebut mayoritas bersyarat (qualified majority) dimana keputusan ditetapkan atas dasar persentase suara yang biasanya lebih besar dari mayoritas sederhana. Mayoritas bersyarat yang paling umum adalah dua pertiga tetapi mayoritas bersyarat lainnya, seperti tiga perempat atau tiga perlima juga digunakan.

58

56

Pasal 118 ayat (3) Piagam PBB dan Rule 83 dari Rule of Procedural Majelis Umum

57

Henry G. Schermers, International Institution Law, Sifhoft & Noordhohf, (Maryiand USA) hlm 406

58

Ibid.

Sementara itu, terhadap masalah-masalah non procedural, pengambilan keputusan yang dianut di DK PBB adalah berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB. Dalam Pasal tersebut diatur bahwa dari 15 anggota DK PBB diperlukan 9 suara alternatif (dukungan), termasuk suara dari 5 anggota tetap DK PBB, inilah yang sering disebut sebagai hak veto anggota tetap DK PBB, sebab jika satu saja anggota tetap tidak menyetujui, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.


(52)

Dalam pengambilan keputusan diluar masalah-masalah procedural (non presedural) di DK PBB dijumpai beberapa permasalahan, antara lain:59

1. Jika lima Negara anggota tetap seluruhnya memberikan suara alternatif sedangkan tidak mencapai Sembilan suara alternatif karena sebuah atau lebih Negara anggota tidak tetap memberikan suara negatif (menolak), maka satu suara menolak, maka keputusan tidak dapat diambil.

2. Jika tercapai Sembilan suara alternatif tetapi ada sebuah Negara anggota tetap DK PBB yanh menyatakan menolak, maka satu suara menolak ini membuat batalnya keputusan karena hakekatnya veto telah dijatuhkan. 3. Lain halnya dengan suara abstain yang diberikan oleh sebuah atau lebih

Negara anggota tetap DK PBB yang tidak diperhitungkan dalam rangka Pasal 27 ayat (3) Piagam, sehingga dalam pengambilan keputusan haruslah dicari tambahan paling sedikit suara dari anggota tidak tetap sejumlah suara negra anggota tetap DK PBB yang menyatakan abstain.

4. Jika salah satu anggota DK PBB baik anggota tetap maupun tidak tetap terlihat dalam pertikaian menurut Bab IV Pasal 52 ayat (3) Piagam PBB, maka para pihak tersebut haruslah abstain dan dengan sendirinya memerlukan pergantian suara alternatif dari suatu Negara anggota lainnya untuk mencapai Sembilan suara alternatif.

Pasal 37 mensyaratkan para pihak yang bersengketa untuk menyerahkan sengketanya kepada Dewan Keamanan manakala penyelesaian melalui cara-cara yang terdapat dalam Pasal 33 ternyata tidak mungkin terwujud.

59


(53)

Dewan dapat pula menjatuhkan sanksi kepada suatu Negara dengan tujuan agar Negara tersebut menghentikan perbuatannya (yang diduga keras melanggar hukum internasional). Salah satu contoh adalah invasi Irak atas Kuwait pada tahun 1990. Pada tanggal 2 Agustus 1990, Irak menginvasi dan menjadikan Kuwait sebagai propinsinya yang ke 17. Dewan Keamanan segera mengecam aksi tersebut sebagai suatu tindakan pelanggaran perdamaian dan keamanan internasional.

Dewan Keamanan mensyaratkan Irak untuk menarik diri sesegera mungkin dan tanpa syarat dari wilayah Kuwait. Irak tidak mau menaati persyaratan tersebut. Dewan Keamanan kemudian mengeluarkan lebih dari 30 resolusi. Salah satunya adalah Dewan Keamanan menjatuhkan sanksi berupa embargo perdagangan dan senjata atas Irak. Untuk itu Dewan membentuk suatu komisi guna mengawasi pelaksanaan sanksi.

B. Jenis-jenis Sanksi yang bisa dijatuhkan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki 6 badan-badan utama. Salah satunya adalah Dewan Keamanan. Dewan Keamanan memiliki wewenang yang diberikan oleh anggota-anggota PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Dan selaku penerima mandat, Dewan Keamanan PBB harus mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional seperti yang tertuang dalam Pasal 24 ayat 1 Piagam. Hal ini menunjukkan walaupun Dewan Keamanan hanya beranggotakan 15 negara, tetapi setiap tindakan yang dilakukannya adalah atas nama seluruh anggota PBB.


(54)

Demi terciptanya perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan PBB menempuh dua pendekatan, yakni penyelesaian sengketa internasional secara damai dan penyelesaian sengketa secara paksa. Caracara penyelesaian sengketa secara damai meliputi: perundingan (negotiation), arbitrase

(arbitration), penyelesaian yudisial (judicial settlement), penyelidikan (inquiry),

dan penyelesaian di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pasal 33 Piagam). Sementara, penyelesaian sengketa secara paksa meliputi: perang, retorsi

(retorsion), tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blockade secara damai

(pacific blockade), dan intervensi (intervention)60

Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai yang bersifat tradisional seperti disusun dalam Pasal 33 Piagam, merupakan upaya dasar bagi proses penyelesaian. eberapa ragam dan penyempurnaan cara-cara tradisional telah dikembangkan oleh PBB, antara lain

61

a. Perundingan, merupakan cara yang paling umum untuk menyelesaikan sengketa. Cara ini melibatkan pada pembicaraan secara langsung di antara pihak-pihak yang bersengketa dengan tujuan untuk mencapai suatu persetujuan.

:.

b. Jasa-jasa baik, merupakan satu-satunya upaya penyelesaian sengketa yang tidak termuat dalam Pasal 33 Piagam, tetapi sering digunakan oleh badan-badan PBB. Jasa-jasa baik melibatkan bantuan dari pihak ketiga atau negara yang bukan menjadi pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dalam memberikan jasa baiknya hanya dapat menawarkan suatu saluran

60

Starke. Introduction to International Law, Eigth Edition. (London: Butterwarth & Co, 1977) hlm 690

61


(55)

komunikasi atau kemudahan bagi pihak-pihak yang bersangkutan tetapi tidak menawarkan saran apapun bagi bagi syarat-syarat penyelesaian.

c. Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga yang bisa berupa negara, organisasi internasional atau individu. Pihak ketiga ikut pula dalam negosiasi yang dilangsungkan para pihak yang bersengketa.

d. Konsiliasi yaitu cara penyelesaian sengketa secara damai oleh suatu organ yang telah dibentuk sebelumnya atau kemudian atas kesepakatan pihak yang bersengketa.

e. Penyelidikan adalah suatu proses pembentukan misi perdamaian yang terdiri dari kelompok penyelidik yang netra

f. Arbitrase adalah penyerahan sukarela kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan sifatnya final dan mengikat.

g. Penyelesaian sengketa di bawah pengawasan PBB ditentukan oleh tujuan dasar dari PBB dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya. Salah satu tujuan dasar pembentukan PBB adalah penyelesaian sengketasecara damai atas sengketa antar negara. Adapun salah satu kewajiban anggota PBB adalah mereka harus menahan diri untuk mengancam perang atau menggunakan kekerasan. Peranan PBB dalam penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan melalui penyelesaian secara politik dan hukum. Penyelesaian sengketa secara politik dilakukan oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan sedang penyelesaian sengketa secara hukum dilakukan oleh Mahkamah Internasional.


(56)

h. Penyelesaian Hukum merupakan proses untuk menyampaikan perselisihan kepada Mahkamah Internasional untuk memperoleh keputusan.

Apabila negara-negara yang bersengketa tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa secara damai, mungkin, cara pemecahannya dengan melalui cara-cara kekerasan. Masing-masing sarana kekerasan itu adalah sebagai berikut.

a. Perang dan tindakan bersenjata non perang. Perang dan tindakan non perang bertujuan untuk menaklukan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dan negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif selain mematuhinya. Tidak setiap pertikaian bersenjata disebut sebagai perang. Suatu sengketa dianggap sebagai perang dan dapat diterapkan hukum perang ditentukan oleh hal sebagai berikut: 1) besarnya konflik, 2) tujuan para pihak yang bersengketa, 3) sikap dan reaksi pihak ketiga. Jadi, perang adalah pertikaian senjata yang memenuhi persyaratan tertentu, yakni pihak yang bersengketa adalah negara dan disertai dengan pernyataan perang. Sedang pertikaian bersenjata bukan perang adalah pertikaian bersenjata yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan bagi perang.

b. Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan-tindakan yang tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakantindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi kehormatan negara yang


(57)

kehormatannya dihina, misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan previlege-previlege diplomatik.

c. Tindakan-tindakan pembalasan adalah metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari Negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal, sedang retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dibenarkan oleh hukum.

d. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, pada umumnya tindakan itu ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.

e. Intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negara tersebut 62

Dalam dokumen-dokumen internasional, kata intervensi terdapat dalam Pasal 2 ayat (7) dan Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Pasal ini mensyaratkan bahwa organisasi (PBB) dilarang untuk ikut campur tangan dalam urusan domestik suatu negara, kecuali dalam rangka memelihara perdamaian menurut Bab VII Piagam.

.

62

Lauterpacht-Oppenheim. International Law: (A Treaties Vol I: Paece, edisi ke-8, Longmas, 1967) hlm 305


(58)

Kata intervensi dalam Pasal 2 ayat (7) ini mengandung dua pandangan yang berbeda. Pandangan yang pertama berpendapat bahwa kata intervensi harus diintepretasikan dalam arti teknis hukum internasional yang berarti suatu penggerogotan kedaulatan atau “intervensi diktator”. Pandangan yang kedua berpendapat bahwa kata intervensi dalam Pasal tersebut hanya merupakan pengertian “kamus” saja. Yaitu intervensi biasa. Untuk mendukung pendapatnya, pandangan ini mengemukakan bahwa hanya Dewan Keamanan saja yang mempunyai kemampuan untuk bertindak sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.

Menurut Starke hanya ada empat macam jenis intervensi yang diperkenankan, yaitu:63

a. Kolektif intervensi menurut piagam PBB. Dalam kaitan ini intervensi yang dimaksud adalah tindakan penegakan yang dilaksanakan menurut keputusan Dewan Keamanan PBB sesuai dengan Bab VII atau setiap tindakan yang disetujui oleh Majelis Umum berdasarkan Uniting For Peace Resolution.

b. Dalam rangka melindungi hak-hak, kepentingan dan keselamatan warga negaranya di luar negeri.

c. Dalam rangka melindungi negara protektorat.

d. Jika negara yang melakukan intervensi itu disalahkan karena melanggar hukum internasional.

63


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kedudukan DK PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional dilakukan dengan dua cara, yaitu usaha penyelesaian sengketa secara damai (Bab VI Piagam) dan penyelesaian sengketa secara paksa berupa tindakan terhadap adanya ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian dan tindakan agresi. (Bab VII Piagam). Pada hakikatnya wewenang Dewan Keamanan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab utama Dewan Keamanan

2. Mekanisme penjatuhan sanksi oleh dewan keamanan PBB adalah melalui Pengembilan keputusan dalam organisasi internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB dapat dilakukan melalui pemunguan suara ataupun tidak. Keputusan yang diambil tanpa pemungutan suara dapat melalui consensus atau aklamasi, baik yang dilakukan atas saran ketua sidang yang bersifat “ruling” maupun usul anggota tanpa ada pihak yang menolak

3. Dalam prakteknya masalah hak veto telah diperlunak. Pasal 27 ayat (3) Piagam PBB secara gramatika bahwa semua anggota tetap DK PBB harus memberikan suaranya agar suatu draf resolusi DK PBB dapat diputuskan, abstain dianggap suatu veto. Dampak dari ketidakhadiran anggota tetap DK PBB dalam pemungutan suara terjadi tahun 1950 ketika Uni Soviet memboikot DK PBB, ketika DK PBB akan mengambil keputusan tentang


(2)

masalah Korea Utara, ketika DK PBB akan mengambil keputusan tentang masalah Korea. Korea Utara mengadakan invasi ke Korea Selatan

B. Saran

1. Diharapkan dengan kewenangan dan kedudukan DK PBB dalam memelihara perdamaian dapat tercapai sehingga dapat menghindari perang terbuka. Dengan adanya Resolusi DK PBB No. 1973, NATO sebagai Organisasi Internasional yang diberikan mandat oleh DK PBB dalam penyelesian konflik yang terjadi seharusnya hanya sebatas memulihkan kondisi kemana tidak memihak kepada salah satu pihak yang berkonflik 2. Masyarakat internasional harus terus menerus mengupayakan

dilakukannya reformasi terhadap PBB khususnya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menata kembali kewenangan-kewenangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang selama ini dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip hukum internasional

3. Hadirnya lembaga-lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yakni memberi cara mengenai bagaimana seyogyanya senqketa internasional diselesaikan secara damai. Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa ini cukup penting. Hukum internasional tidak semata-mata mewajibkan penyelesaian secara damai, hukum internasional ternyata pula memberi kebebasan seluas-luasnya kepada negara-negara untuk menerapkan atau memanfaatkan


(3)

mekanisme penyelesaian sengketa yang ada baik yang terdapat dalam Piagam PBB, perjanjian atau konvensi internasional yang negara-negara yang bersengketa telah mengikatkan dirinya. .


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

A.Masyhur Effendi, Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional/Nasional, Bandung: Alumni, 1980

Boer, Mauna Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2005.

Baros, James. The United Nations, Past, Present and Future. New York: The Free Press, 1972

C. de Rover, To Serve & To Protect – Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

F.Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogjakarta: Universitas Atmajaya, 1998.

Henry G. Schermers, International Institution Law, Sifhoft & Noordhohf, Maryiand USA, 2000.

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1 (Introduction to international Law, alih bahasa: Bambang Iriana Djajaatmadja), Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

James barros,PBB Dulu Kini dan Esok, Penerbit Bumi Aksara, 1999

Lauterpacht-Oppenheim. International Law: A Treaties Vol I: Paece, edisi ke-8, Longmas, 1967

Marko Divac Oberg, The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ, 16 Eur.J.Int’l.L.2006.

Merrils.J,G. Penyelesaian Sengketa internasional. Bandung: Tarsito,1986

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Alumni, 2003.

Richard K.Gardiner, International Law, England: Pearson Education Limited,2003.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta:Ghlmia Indonesia.1990


(5)

Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006.

Suryokusumo, Sumaryo. Organisasi Internasional. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1997.

Sunaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Bandung: Alumni,1997

Starke. Introduction to International Law, Eigth Edition. London: Butterwarth & Co, 1977.

Suraputra, D. Sidik. Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya. Lembaga Kajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Peraturan Perundang-Undangan

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Piagam PBB dan Rule 83 dari Rule of Procedural Majelis Umum Mukadimah Perserikatan Bangsa-Bangsa

Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary.

Internet

Yordan gunawan, “Pengantar Hukum Internasional”, http: // telagahati .wordpress. com. diakses, 29 Maret 2014

Benny setianto, “Sumber hukum internasional”, http://bennysetianto.blogspot.com. Diakses, 29 Maret 2014


(6)

tanggal 31 Maret 2014

diakses tanggal 21 April 2014

San Fransisco pada 26 Juni 1945 dan mulai berlaku 24 Oktober 1945 setelah diratifikasi oleh lima anggota pendirinya, yaitu Republik Cina, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat

Hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB: Amerika Serikat, Rusia, RRC, Inggris dan Perancis. Sumber dari www. id.shvoong.com diakses tanggal 13 Maret 2014