Berebut makna lewat Dui` Menre` : analisis mengenai ideologi dalam perkawinan Bugis.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRAK

Ritus pe eria dui’ e re’ dala perka i a Bugis e e patka pere pua se agai o jek
pertukaran. Di samping itu, ritus ini juga melahirkan efek yang kontradiktif. Di satu sisi, ritus ini dirasa
memberatkan karena pihak laki-laki harus mengeluarkan sejumlah uang untuk diserahkan pada keluarga
alo
e pelai pere pua . Di sisi lai , ritus i i tetap dijala ka
eski e eratka . Ritus dui’ e re’,
dengan demikian, bukan sekadar ritual serah terima uang, melainkan juga bersifat ideologis. Ada
sesuatu yang memaksa orang untuk tetap mejalankan ritus tersebut secara takzim.
Persoalan-persoalan itulah yang menjadi kegelisahan dalam penelitian ini. Secara umum, ada
dua pokok persoalan yang ingin dibahas dalam penelitian ini. Pertama, mencari bentuk ideologi dan
fa tasi a g e opa g ritus pe eria dui’ e re’ dala perka i a Bugis. Kedua, elihat posisi
su jek Bugis di hadapa ritus pe eria dui’ e re’. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pinrang,
Sulawesi Selatan.

Untuk membahas persoalan tersebut maka digunakan Kritik Ideologi dan Sexuation yang
dikembangkan oleh Slavoj Zizek dari konsep-konsep Lacanian. Kritik ideologi Slavoj Zizek digunakan
untuk membongkar fantasi yang menopang sebuah ideologi. Adapun Sexuation digunakan untuk
e u jukka ke ustahila relasi seksual a g o a didefi isika oleh as arakat Bugis le at ritus dui’
e re’.
Dui’ ere’ uka sekadar ahasa tradisi seperti saat otoritas tradisional masih berkuasa, tetapi
juga ahasa eko o i a g e jadika pere pua se agai o jek pertukara . Dui’ e re’ adalah
tantangan yang harus dijinakkan laki-laki agar bisa mendapatkan perempuan. Di masa sekarang,
berbagai kekuatan saling bertarung. Feodalisme Bugis, Islam, dan ideologi kapitalisme saling berkelindan
dala satu pusara isu a g sa a. Di dala ritus dui’ e re’, pere pua direduksi e jadi o jek
hasrat laki-laki. Dalam semesta simbolik seperti itulah subjek Bugis hadir dan mengambil posisi. Secara
u u , e erapa e tuk posisi su jek Bugis dala
erespo ritus dui’ e re’, ak i psikotik, per ersi,
neurotik obsesional, dan histeria.

Kata Ku i: Dui’

e re’, Bugis, Kritik Ideologi, Se uatio .

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI
ABSTRACT
The rite of dui’ menre’ bestowal in Bugis marriage positions women as object of exchange.
However, this rite generates contradictory effect. On one hand, it is perceived as burdensome
because the broom parties have to give a relatively big amount of money to the bride parties. On the
other hand, the Bugenese keep running the rite. Hence, the rite of dui’ menre’ is not only a ritual of
giving-and-taking money, but also an ideological conduct. There is something powerful that forces
people to keep doing the rite solemnly.
Those problems are the trigger of this research. Generally, there are two subject matters
discussed in this research. First, it tries to find the form of ideology and fantasy which support the
rite of dui’ menre’ bestowal; second, it wants to expose the Bugenese subject position in the face of
dui’ menre’ bestowal. This research was conducted in Pinrang disterict, South Celebes.
To discuss the matter, this research utilizes Ideological Criticism and Sexuation developed
by Slavoj Zizek from Lacanian concepts. Slavoj Zizek’s Ideological Criticism is used to find out the
fantasy which supports an ideology. Meanwhile, sexuation is utilized to show the impossibility of
sexual relation defined by Bugenese through dui’ menre’ rite.

Dui’ menre’ is not only a language of tradition as it were in the era of traditional authority,
but also a language of economy which makes woman an object of exchange. Dui’ menre’ is a
challenge that must be conquered by a man to get a woman. In the contemporary era, several forces
collide. Bugis feudalism, Islam, and capitalism interweave in the same issue. In the rite of dui’
menre’, woman is reduced to be object cause of desire for man. In this symbolic realm the Bugenese
subjects present and take position. Generally, there are several Bugis subject positions in
responding dui’ menre’, namely psychosis, perverse, obsessive neurotic, and histeria.

Key Words: Dui’ menre’, Bugis, Ideological Criticism, Sexuation.

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BEREBUT MAKNA LEWAT DUI’ MENRE’:
ANALISIS MENGENAI IDEOLOGI DALAM PERKAWINAN BUGIS


Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta





Oleh:

Arham Rahman
116322015


Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2015

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Halaman Judul


BEREBUT MAKNA LEWAT DUI’ MENRE’:
ANALISIS MENGENAI IDEOLOGI DALAM PERKAWINAN BUGIS
Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta






Oleh:
Arham Rahman
116322015

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2015

i

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN

MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PLAGIAT

PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

PERSEMBAHAN









Untuk (alm) bapak saya


vi


PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

KATA PENGANTAR


Tesis ini berangkat dari sebuah kegelisahan sederhana tetapi ditulis dan

diselesaikan dengan susah payah. Tentu selalu ada harapan agar karya yang telah

dikerjakan punya faedah untuk orang lain, terutama sekali masyarakat yang dibicarakan

di dalamnya. Meskipun secara akademik karya ini telah dipertanggungjawabkan dan

dinyatakan selesai, saya merasa masih terlalu banyak hal yang saya lewatkan. Pertanyaan-


pertanyaan yang lebih pelik justru muncul sesaat setelah saya selesai mengerjakannya.

Namun di saat bersamaan, saya juga merasa setidaknya telah punya pegangan dan

pemaknaan yang lebih baik dari sebelumnya. Sekeping persoalan yang diuraikan dalam

tesis ini hanya mungkin saya lakukan dengan bantuan banyak pihak, entah dari dalam

maupun di luar IRB. Karena itu, lewat kesempatan ini saya bermaksud mengucapkan
terima kasih kepada orang-orang tersebut.

Pertama-tama saya menghaturkan terima kasih kepada pembimbing tesis saya, Dr.

St. Sunardi yang tidak pernah bosan memberi pencerahan dan bacaan-bacaan baru untuk

kepentingan tesis ini. Berkat Pak Nardi saya berkesempatan untuk berkenalan dengan

teori-teori Lacan dan Zizek yang sungguh menantang. Terima kasih juga untuk seluruh
staf pengajar Program Magister Ilmu Religi dan Budaya yang tidak hanya mengajarkan


aneka ilmu, tetapi juga mengajarkan saya bagaimana “menjadi manusia”. Sampai sejauh

ini, baru di IRB saya merasa benar-benar belajar dan merasakan iklim akademik yang

menyenangkan. Untuk staf administrasi IRB, Mba Desy, terima kasih atas semua

keramahan dan pelayanan primanya. Maaf kalau saya terlalu merepotkan, mba. Ucapan

terima kasih juga saya haturkan kepada Romo Banar selaku Ketua Prodi IRB yang selalu
membantu proses belajar saya.

Rasa terima kasih tak terkira juga saya haturkan kepada semua kawan-kawan

seperjuangan di IRB. Di ruang kelas atau di bawah beringin Soekarno, kalian sama

asyiknya. Begitu juga kawan-kawan di Wisma Merapi 4, Erupsi, kawan-kawan

sekontrakan, Colliq Pujie Art Movement, Yayasan Biennale Yogyakarta, dan Ace House
Collective. Terima kasih atas motivasi dan ilmu tak terbilang yang kalian bagikan.

Terakhir, saya menghaturkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, mamak

dan (alm) bapak atas segala kepercayaan dan kesabarannya, saudara-saudari tersayang
(ammi, ampang, nanang, kate’) penyemangat hidup saya, dan kepada Vini yang selalu
sabar mendampingi meski kerap saya buat marah.


vii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRAK

Ritus pemberian dui’ menre’ dalam perkawinan Bugis menempatkan perempuan sebagai
objek pertukaran. Di samping itu, ritus ini juga melahirkan efek yang kontradiktif. Di satu
sisi, ritus ini dirasa memberatkan karena pihak laki-laki harus mengeluarkan sejumlah
uang untuk diserahkan pada keluarga calon mempelai perempuan. Di sisi lain, ritus ini
tetap dijalankan meski memberatkan. Ritus dui’ menre’, dengan demikian, bukan sekadar
ritual serah terima uang, melainkan juga bersifat ideologis. Ada sesuatu yang memaksa
orang untuk tetap mejalankan ritus tersebut secara takzim.
Persoalan-persoalan itulah yang menjadi kegelisahan dalam penelitian ini. Secara
umum, ada dua pokok persoalan yang ingin dibahas dalam penelitian ini. Pertama,
mencari bentuk ideologi dan fantasi yang menopang ritus pemberian dui’ menre’ dalam
perkawinan Bugis. Kedua, melihat posisi subjek Bugis di hadapan ritus pemberian dui’
menre’. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
Untuk membahas persoalan tersebut maka digunakan Kritik Ideologi dan
Sexuation yang dikembangkan oleh Slavoj Zizek dari konsep-konsep Lacanian. Kritik
ideologi Slavoj Zizek digunakan untuk membongkar fantasi yang menopang sebuah
ideologi. Adapun Sexuation digunakan untuk menunjukkan kemustahilan relasi seksual
yang coba didefinisikan oleh masyarakat Bugis lewat ritus dui’ menre’.
Dui’ mere’ bukan sekadar bahasa tradisi seperti saat otoritas tradisional masih
berkuasa, tetapi juga bahasa ekonomi yang menjadikan perempuan sebagai objek
pertukaran. Dui’ menre’ adalah tantangan yang harus dijinakkan laki-laki agar bisa
mendapatkan perempuan. Di masa sekarang, berbagai kekuatan saling bertarung.
Feodalisme Bugis, Islam, dan ideologi kapitalisme saling berkelindan dalam satu pusaran
isu yang sama. Di dalam ritus dui’ menre’, perempuan direduksi menjadi objek hasrat lakilaki. Dalam semesta simbolik seperti itulah subjek Bugis hadir dan mengambil posisi.
Secara umum, beberapa bentuk posisi subjek Bugis dalam merespon ritus dui’ menre’,
yakni psikotik, perversi, neurotik obsesional, dan histeria.

Kata Kunci: Dui’ menre’, Bugis, Kritik Ideologi, Sexuation.






viii

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ABSTRACT

The rite of dui’ menre’ bestowal in Bugis marriage positions women as object of exchange.
However, this rite generates contradictory effect. On one hand, it is perceived as
burdensome because the broom parties have to give a relatively big amount of money to
the bride parties. On the other hand, the Bugenese keep running the rite. Hence, the rite of
dui’ menre’ is not only a ritual of giving-and-taking money, but also an ideological conduct.
There is something powerful that forces people to keep doing the rite solemnly.

Those problems are the trigger of this research. Generally, there are two subject
matters discussed in this research. First, it tries to find the form of ideology and fantasy
which support the rite of dui’ menre’ bestowal; second, it wants to expose the Bugenese
subject position in the face of dui’ menre’ bestowal. This research was conducted in
Pinrang disterict, South Celebes.

To discuss the matter, this research utilizes Ideological Criticism and Sexuation
developed by Slavoj Zizek from Lacanian concepts. Slavoj Zizek’s Ideological Criticism is
used to find out the fantasy which supports an ideology. Meanwhile, sexuation is utilized
to show the impossibility of sexual relation defined by Bugenese through dui’ menre’ rite.

Dui’ menre’ is not only a language of tradition as it were in the era of traditional
authority, but also a language of economy which makes woman an object of exchange. Dui’
menre’ is a challenge that must be conquered by a man to get a woman. In the
contemporary era, several forces collide. Bugis feudalism, Islam, and capitalism
interweave in the same issue. In the rite of dui’ menre’, woman is reduced to be object
cause of desire for man. In this symbolic realm the Bugenese subjects present and take
position. Generally, there are several Bugis subject positions in responding dui’ menre’,
namely psychosis, perverse, obsessive neurotic, and histeria.



Key Words: Dui’ menre’, Bugis, Ideological Criticism, Sexuation.




ix

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Daftar Isi


Halaman Judul ................................................................................................................................ i

PERSETUJUAN................................................................................................................................ ii
PENGESAHAN ............................................................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.......................................................................................................iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ....... v
PERSEMBAHAN..............................................................................................................................vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................vii
ABSTRAK ...................................................................................................................................... viii
ABSTRACT ......................................................................................................................................ix
Daftar Isi ........................................................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A.

Latar Belakang ................................................................................................................... 1

B.

Rumusan Masalah ............................................................................................................. 6

C.

Tujuan Penelitian............................................................................................................... 7

D.

Manfaat Penelitian ............................................................................................................ 7

E. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoretis .............................................................................. 7
E.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................................................ 7
E. 2. Kerangka Teoretis ........................................................................................................ 13
F.

G.

Metode Penelitian ........................................................................................................... 29
1.

Lokasi penelitian.......................................................................................................... 29

2.

Data dan Sumber Data ................................................................................................ 30

3.

Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 30
Sistematika Penulisan...................................................................................................... 30

BAB II POLITIK PERKAWINAN BUGIS ........................................................................................... 32
A.

Mewariskan “Darah,” Mewariskan Legitimasi ................................................................ 32

B.

Hilangnya Otoritas Formal Kaum Bangsawan dan Lahirnya Elit Baru ............................. 41

C.

Kontestasi Status Sosial dalam Tradisi Perkawinan Bugis ............................................... 52

BAB III DUI’ MENRE’, PESTA, DAN PENGAKUAN ......................................................................... 56
Pengantar ................................................................................................................................ 56

x

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

A.

Pesta Perkawinan Sebagai Tontonan .............................................................................. 57
A.1. Andi Wawan dan Hj. Rini: Gambaran “Ideal” sebuah Pesta Perkawinan .................... 62
A.2. Mappattuada dan Cerita tentang sebuah Perkawinan “Kembar” ............................... 71
A.3. Itaisai Botting Ramba’e (Tataplah Pengantin yang Megah)! ....................................... 77

B.

Dui’ Menre’ Nasabari (Semua Karena Dui’ Menre’)........................................................ 82
B.1. Carita Monrie Natauri (Takut pada Gosip); .................................................................. 84
B.2. Mau Ramai-Ramai ....................................................................................................... 98
B.3. Bagamana Saya Hidup Nanti? .................................................................................... 107

BAB IV DUI’ MENRE’; SUBJEK PERKAWINAN BUGIS DI HADAPAN LIYAN YANG TIRANIS ......... 117
A.

Ideologi dalam Ritus Dui’ Menre’ .................................................................................. 120
a.

Ritual Perkawinan dalam Bahasa Kekuasaan ............................................................ 120

b.

Dui’ Menre’ dan Kekuatan Ekonomi Baru ................................................................. 128

c.

Histeria Kaum Puritan ............................................................................................... 131

d.

Tradisi, bukan Transaksi: Dui’ Menre’ dalam Rezim Pengetahuan Falus .................. 135

e.

Kesimpulan ................................................................................................................ 138

B.

Posisi Subjek Bugis di dalam Ritus Dui’ Menre’ ............................................................. 139
a.

Kasus Psikotik ............................................................................................................ 140

b.

Subjek-Subjek Cynical................................................................................................ 141

c.

Neurosis Maskulin dan Feminin ................................................................................ 144

d.

Kesimpulan ................................................................................................................ 152

BAB V PENUTUP ........................................................................................................................ 154
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 159


xi

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

BAB I
PENDAHULUAN





A. Latar Belakang
Risna, nama yang mendadak populer di penghujung tahun 2014. Mulai dari media

sosial (facebook atau twitter), media infotaiment maupun tayangan-tayangan lain

semacam “Bukan Empat Mata” dan “Indonesia Lawak Club” ramai-ramai mengulas kisah

cinta Risna yang tidak kesampaian. Bak artis sungguhan, kisahnya dikomentari dan

diperdebatkan bergam pihak; psikolog, sosiolog, hingga anak muda tanggung. Semuanya

bermula dari kedatangan Risna di pesta perkawinan mantan kekasihnya, Rais. Barangkali,

Risna melangkah ke pelaminan untuk memberi selamat pada Rais dengan menahan sesak

di dada. Tak ayal, air matanya tumpah tepat di hadapan kedua mempelai. Rais pun

memeluk Risna, juga dengan mata yang sembap. Pesta yang semestinya dirayakan dengan

gembira justru jadi mengharukan. Tidak sedikit pengunjung yang ikut terharu, lalu
menangis. Melankolia yang mirip sineteron keluarga memang, tapi begitulah adanya.

Setelah tujuh tahun pacaran, Risna mesti menerima kenyataan pahit tidak bisa

bersanding dengan Rais. Bukan karena Rais sengaja selingkuh, melainkan karena tidak

sanggup memenuhi permintaan dui’ menre’ (uang belanja) pihak keluarga Risna yang

terlampau tinggi. Rais yang sudah “kebelet kawin” akhirnya memilih bersanding dengan

perempuan lain. Masalah ini tidak begitu dicermati media sehingga semua mata hanya

tertuju pada kemalangan Risna yang seolah-olah ditinggal kawin oleh Rais. Padahal,

keduanya adalah korban pewajiban dui’ menre’ dalam adat perkawinan masyarakat

Sulawesi Selatan. Balada Risna dan Rais muncul jauh setelah saya melakukan penelitian

untuk tesis ini. Nukilan kisah itu hanya untuk menegaskan betapa kuatnya kuasa dui’

menre’ dalam menentukan nasib hubungan dua orang yang terlanjur saling mencinta dan
betapa isu itu masih sangat relevan untuk saat ini.

Sebagai orang Bugis, saya tahu persis bahwa tradisi pemberian dui’ menre’ sudah

“memakan” banyak korban. Berapa banyak kisah cinta yang berakhir tragis akibat tradisi

ini? Sejauh pengamatan saya, cinta yang kandas akibat dui’ menre’ sudah menjadi kisah
usang–terlalu biasa. Dui’ menre’ juga seolah-olah menjadi kegelisahan bersama laki-laki

Bugis berekonomi lemah atau menengah yang sudah memasuki usia wedding ni botting
1

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

(layak nikah). Salah “memilih” pasangan bisa berakibat fatal, bangkarro’ (bangkrut) atau

bahkan gagal bahagia (patah hati). Mengenai hal tersebut, setidaknya di lingkungan saya,

laki-laki seringkali mengeluarkan pernyataan hiberbolis setengah bercanda; “kurang

silampa’ gai’ dui’ menre’e” (jangan sampai dui’ menre’ kurang selembar). Di sisi berbeda,

dui’ menre’ juga digelisahkan perempuan. Perempuan Bugis memang tidak mengeluarkan

uang untuk dui’ menre’. Hanya saja perempuan seringkali harus menahan hasratnya untuk

melanjutkan sekolah. Sebab, sekolah terlalu tinggi sama artinya dengan “menaikkan harga

jualnya”.

Dui’ menre’ merupakan satu dari dua jenis seserahan di luar mahar. Jenis

seserahan lainnya disebut lise’kawing (secara harafiah berarti hadiah perkawinan).1

Adapun mahar dibedakan lagi menjadi tiga jenis; sompa, sompa sara’, dan sunrang. Secara

harafiah, sompa berarti “persembahan” yang disimbolkan dengan sejumlah uang rella

(atau rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlaku). Sompa jenis itu dibedakan

dengan sompa sara’ yang berarti mahar dalam Islam dan sunrang atau mahar tanah

(seserahan berupa sebidang tanah). Berbeda dengan dui’menre’, sompa bergantung status

kebangsawanan perempuan.2 Sedang dui’ menre’ tidak lebih dari “uang belanja” yang

nominalnya ditentukan oleh pihak keluarga perempuan. Dalam perkembangannya,

terutama setelah otoritas formal kaum bangsawan meredup, posisi sompa sebagai

seserahan yang menunjuk pada status seseorang digantikan oleh dui’ menre’.3

Dui’ menre’ sangat berkaitan dengan bagaimana orang Bugis membentuk

hubungan sosialnya. Lewat dui’menre’, kerabat mempelai laki-laki bisa menunjukkan

kepantasannya untuk dihargai karena mampu memenuhi nominal seserahan yang diminta

kerabat mempelai perempuan. Sebaliknya, kerabat mempelai perempuan bisa merasa
bangga karena anak gadisnya dihargai secara pantas. Artinya, jumlah dui’menre’ yang

diberikan akan menentukan “kualitas” seseorang dalam masyarakat. Pada titik ini, dui’

menre’ nampak sebagai beban yang mesti ditanggung baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Sebagai individu, tiap subjek dibentuk oleh norma sosial yang berlaku dalam

1

Pelras, “Manusia Bugis”, 2006:180.
Milliar, “Perkawinan Bugis”, 2009:37.
3
Sebagai catatan, di beberapa kabupaten masih ada satu tambahan seserahan lagi yang disebut
sunrang, berupa tanah/lahan yang mesti di serahkan pada keluarga mempelai perempuan. Tapi, ini tidak
berlaku umum. Adapun sompa, saat ini lebih simbolis dan biasa disebut passio’ pattenre’. Di masa lalu,
sompa dan sunrang diatur dalam panngadereng, sistem nilai normatif atau hukum positif adat Bugis.
Soal panngadereng dibahas secara lengkap oleh Mattulada lewat kompilasi hukum dan adat tradisional
Bugis, La Toa (1995) dan Hamid Abdullah “Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis terhadap
Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar” (1985:15).
2

2

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

konteks dimana ia berada, meski norma hadir karena konsensus antar-individu. Apa yang

ditawarkan masing-masing individu melahirkan satu konsesi kolektif yang kemudian

membatu, menjadi sesuatu yang mesti dipatuhi atau diakui secara bersama-sama. Dui’
menre’ dalam tradisi perkawinan Bugis adalah hasil konsesi sosial yang diakui sebagai
keharusan–sifatnya memaksa, ideologis.

Dui’ menre’ sebagai simbol status tidak lepas dari cara masyarakat Bugis

memandang perkawinan. Perkawinan bukan sekadar penyatuan dua insan lewat satu

ikatan (sikalabbaine), melainkan juga penyatuan dua jaringan kekerabatan.4 Karena itu,

perkawinan menjadi wadah untuk unjuk gigi, menegaskan posisi di masyarakat dengan

ragam simbol yang digunakan, serta (boleh disebut) pamer kekayaan. Kasus-kasus yang

diurai Millar dalam penelitiannya tentang perkawinan Bugis di Soppeng di tahun 1970-an

menegaskan hal itu. Ia menunjukkan tegangan-tegangan yang muncul di dalam pesta

perkawinan. Pesta perkawinan menjadi cermin kerabat penyelenggara pestanya atau

menjadi siri’ dan passe keluarga besarnya. Siri’ dan passe diyakini menjadi habitus orang

Bugis–rasa malu dan rasa solidaritas yang telah membatin. Kegagalan atau kesalahan

dalam penyelenggaraan ritus perkawinan akan menimbulkan siri’, bukan hanya bagi orang

tua si pengantin, melainkan juga kerabat-kerabatnya. Karena terkait dengan siri’ na passe,
perkawinan masyarakat Bugis mengandung beban sosial sekaligus menuntut biaya besar.

Simbol-simbol dalam setiap rangkaian acara perkawinan sangat diperhitungkan

untuk menegaskan status sosial seseorang. Di masa lalu, hanya kalangan bangsawan yang

berhak menggunakan simbol-simbol kebesaran dan memberi atau menerima dui’ menre’

yang besar. Namun, seiring perubahan peta ekonomi-politik lokal yang punya pengaruh

pada tradisi, kalangan non-bangsawan bisa menggelar pesta besar-besaran dengan

memberi atau menerima dui’menre’ yang bahkan melampaui kalangan bangsawan. Saat ini

pemberian dui’ menre’ turut mengikuti status lain yang melekat pada perempuan seperti

tingkat pendidikan dan status ekonominya. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan

atau status ekonomi yang dimiliki seorang perempuan maka semakin tinggi pula dui’

menre’ yang mesti diberikan.
4

Pelras melihat hal yang serupa, seperti yang ia tuliskan: “...perkawinan bukan sekadar penyatuan dua
mempelai semata, akan tetapi suatu upaya penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya
telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya (ma’pasideppe’ mabela-e’
atau ‘mendekatkan yang sudah jauh’),” dalam Pelras, 2006:178. Lihat juga penelitian Millar (2009) dan
Pelras, dalam Roger Tol dkk, (2000).

3

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Pewajiban dui’ menre’ dalam adat perkawinan bukan berarti tanpa perlawanan.

Ada juga pihak-pihak yang berani menentang adat, melakukan perkawinan di luar dari

sistem nilai yang diakui masyarakat. Banyak cara yang bisa dilakukan, baik dengan

silariang (kawin lari) maupun nikah siri. Hanya saja resikonya besar. Orang yang silariang
misalnya, akan dikucilkan dari kampung. Umumnya orang yang silariang berpindah ke

daerah lain dan lokasinya tidak diketahui pihak keluarga, terutama pihak perempuan.

Sebab, bila ditemukan maka konsekuensinya nyawa. Selain kedua cara pernikahan yang

“ilegal” itu, tidak sedikit laki-laki Bugis yang keluar dari Sulawesi Selatan demi mencari
pasangan dari suku lain dengan harapan tidak akan mengeluarkan uang banyak hanya
untuk sebuah pesta perkawinan. Namun, model perkawinan tersebut tidak dianggap ideal

dalam konteks adat Bugis.5

Persoalan menjadi pelik karena ritus dui’ menre’ terlanjur diyakini sebagai sesuatu

yang terberi dan sebuah kemestian meski diakui memberatkan bagi pihak laki-laki. Ada

paradoks di dalamnya; menyenangkan sekaligus menyakitkan saat dikerjakan. Tradisi dui’

menre’ masih tetap eksis dengan alasan mencegah perceraian dan menghargai
perempuan.6 Dalih “mencegah perceraian” digunakan karena saat itu terjadi, pihak laki-

laki bisa meminta dui’ menre’ yang diserahkan saat menikah dikembalikan.7 Di sisi

berbeda, disebut “mencegah perceraian” juga karena laki-laki diandaikan akan berpikir

dua kali untuk menggugat cerai istrinya.8 Masalahnya, dalih itu sekaligus menyiratkan

bahwa ritus pemberian dui’ menre’ mengandung persoalan yang bisa muncul kembali saat

sebuah hubungan perkawinan gagal. Adapun dalih “menghargai perempuan”, lebih terkait
5

Orang Bugis mengidealkan konsep pernikahan pertalian keluarga (assijingeng) atau setidaknya sesama
orang Bugis.
6
Dalih itu digambarkan dalam penelitian Juhansar Andi Latief (2009) tentang perkawinan masyarakat
Bugis Bone Sulawesi Selatan.
7
Dalam sebuah hasil putusan sidang perceraian, kesepakatan pengembalian itu biasa turut dituliskan.
Hasil putusan yang sempat saya lacak adalah putusan persidangan sebuah kasus perceraian di
Kabupaten Sidrap dan Kota Makassar. Pada kasus di Sidrap, pihak laki-laki yang mengajukan cerai
meminta semua dui’ menre’nya dikembalikan, sedang di Kota Makassar meminta sebagian dari dui’
menre’-nya (Putusan Nomor 82/Pdt. G/2011/PA Sidrap dan Putusan Nomor: 42/Pdt. G/2009/PTA Mks).
Namun, tidak semua kesepakatan pengembalian dui’ menre’ disertakan sebagai bagian dari gugatan
perceraian. Tuntutan pengembalian dui’ menre’ juga tidak berlaku general, terutama yang sudah
menikah bertahun-tahun dan lalu bercerai. Di Kabupaten Pinrang, kasus perceraian cukup tinggi, seperti
misalnya pada tahun 2012 saja ada lebih dari 700 kasus. Dari kasus-kasus itu, kesepakatan
pengembalian jarang disebutkan atau disertakan sebagai tuntutan (berdasarkan hasil obrolan dengan
pegawai Pengadilan Agama Pinrang).
8
Anggapan seperti ini nampaknya sudah menjadi dalil umum dalam masyarakat. Bentuk pernyataan
“supaya mappikkiri’ tau’e yako melo massarang” (agar orang berpikir kalau mau berpisah), nampaknya
sudah menjadi dalih umum.

4

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

dengan doktrin adat yang menempatkan perempuan sebagai siri’ bagi kerabat-kerabatnya.

Kedua dalih tersebut seolah-olah mengandaikan stabilitas perkawinan dan penghargaan
terhadap perempuan selalu diukur dengan uang. Ini perkara yang sangat disadari tetapi

ditekan terus-menerus, atau masalah yang ditimbulkan nampak tetapi tetap dilakukan.

Boleh dikata, masyarakat Bugis mengharapkan sesuatu dari dui’ menre’ sehingga tetap
bersedia menjalankannya.

Persoalan inilah yang dieksplorasi lebih lanjut di dalam tesis ini, yaitu mencari

motif terdalam dari ritus pemberian dui’ menre’. Saya yakin ada sesuatu yang
menyenangkan di dalam ritus itu sehingga memaksa orang untuk menjalankannya
meski memberatkan. Di samping itu, saya juga bermaksud melihat sisi lain dari ritus
dui’ menre’ yang belum banyak dikaji, yakni relasi seksual dalam perkawinan Bugis.
Ritus pemberian dui’ menre’ bisa disebut sebagai usaha untuk memberi definisi bagi
sebuah relasi seksual, dimana penyatuan (sikalabbaine) antara laki-laki dan perempuan
dimediasi oleh dui’ menre’.
Penelitian tentang dui’ menre’ cukup banyak dilakukan dan umumnya hanya
dimasukkan sebagai bagian dari kajian tentang perkawinan Bugis. Penelitian yang
cukup spesifik tentang dui’ menre’ dilakukan oleh Juhansar Andi Latif pada tahun 2009
dalam tesisnya di Program Studi CRCS (Cross Religion and Cultural Studies) UGM
dengan judul: “Dui Menre dalam Pernikahan Bugis Bone di Sulawesi Selatan”. Metode
yang digunakan kualitatif dengan pendekatan sosio-antropologis. Penelitian ini secara
spesifik menunjukkan pergeseran dalam budaya dui’ menre’ karena perubahan
kebutuhan dan kepentingan untuk mendapatkan legitimasi baru.9
Penelitian lain yang sangat komprehensif mengurai tradisi perkawinan Bugis
dilakukan oleh Nurul Ilmi Idris. Penelitian yang dilakukan tidak secara menyeluruh
mengkaji aspek dui’ menre’ dalam tradisi perkawinan Bugis. Namun, ada beberapa
temuan yang mengarah pada tema dui’ menre’. Nurul Ilmi menulis “To Take Each
Other: Bugis Practices of Gender, Sexuality and Mariage”. Penelitian itu dilakukan
untuk kepentingan penyelesaian studi doktoralnya di Universitas Nasional Australia
9

Penelitian tentang dui’ menre’ juga banyak dilakukan pada tingkat strata satu di kampus-kampus yang
ada di Makassar. Hanya saja, sejauh pengamatan saya, penelitian-penelitian tersebut tidak membantu
saya untuk mendalami persoalan yang saya teliti. Lagipula, penelitian-penelitian tersebut lebih banyak
dikerjakan dengan metode kuantitatif.

5

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pada tahun 2003. Penelitian tersebut dilakukan dengan pendekatan etnografi. Penelitian
yang paling awal tentang perkawinan Bugis dan sempat menyentil masalah dui’menre’
dilakukan oleh Susan Bolyard Millar di tahun 1975 hingga 1976. Susan menulis “Bugis
Weddings: Ritual of Social Location in Modern Indonesia” dan diterbitkan dalam versi
Indonesia dengan judul “Perkawinan Bugis”. Hasil penelitiannya menjadi rujukan
utama oleh peneliti lain yang mengangkat masalah perkawinan. Susan adalah peneliti
pertama yang mengkaji seluruh tahap dan simbol dalam perkawinan Bugis.
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya secara umum bertujuan
menjabarkan proses perkawinan dan arus pergeseran maknanya akibat negosiasi
kebudayaan. Hasil-hasil penelitian tersebut tidak seturut dengan fokus yang dibahas
dalam tesis ini. Meski demikian, hasil penelitian tersebut tetap penting sebagai
informasi yang memberi pemahaman awal tentang praktik pelaksanaan ritus dui’
menre’. Ritus dui’ menre’ diterapkan di hampir semua wilayah Sulawesi Selatan,
kecuali di Toraja. Untuk tesis ini, wilayah yang diteliti adalah Kabupaten Pinrang.
Selain kemudahan akses serta mencermati situasi sosial yang tidak berbeda dengan
masyarakat Bugis di daerah lain, Pinrang juga menjadi daerah yang menerapkan ritus
dui’ menre’ secara ketat.
Lewat tesis ini saya ingin menunjukkan berbagai informasi dan data analitik
tentang mengapa ritus pemberian dui’ menre’ tetap dilakukan sementara masyarakat
tahu kalau itu memberatkan. Maksudnya, penelitian ini akan sampai pada pemaparan
tentang fantasi penopang ideologi dalam ritus dui’ menre’. Untuk mengurai persoalan
tersebut maka digunakan teori yang dikembangkan oleh Slavoj Zizek dari pemikiran
Lacan. Hasil pembacaan di dalam tesis ini diharapkan dapat menajamkan berbagai
temuan peneliti-peneliti sebelumnya.


B. Rumusan Masalah
Ada dua rumusan masalah yang akan dijawab dalam tesis ini:

1. Bagaimana bentuk ideologi dalam ritus pemberian dui’ menre’?

2. Bagaimana posisi subjek (subject position) dalam ritus pemberian dui’ menre’?

6

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

C. Tujuan Penelitian
Merujuk pada rumusan masalah di atas maka adapun tujuan dari penelitian adalah

membongkar jenis ideologi dalam ritus pemberian dui’menre’. Wacana dari ideologi

dominan merupakan aspek penting yang akan dibahas. Setiap ideologi dominan selalu

didasari oleh mekanisme fantasi sebagai penopang utamanya. Setelah itu, akan diungkap

posisi subjek (subject position) dalam ritus pemberian dui’menre’. Setiap subjek yang ada
di dalam medan ideologis tertentu selalu punya posisi khas.
D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Ilmu pengetahuan humaniora khususnya Kajian Budaya. Dalam hal ini diharapkan

akan memperkaya eksplorasi terhadap budaya lokal dengan menggunakan
pendekatan penelitian dengan perspektif kajian Budaya di Indonesia.

2. Masyarakat pada umumnya, lebih khusus lagi masyarakat Bugis agar tidak

memandang adat sebagai sesuatu yang terberi, melainkan secara kritis memahami
kediriannya sebagai manusia aktif yang turut membentuk kebudayaan.

3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang ingin mengangkat

topik serupa terutama untuk hal-hal yang tidak mampu diakomodasi dalam



penelitian ini.

E. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoretis
E.1. Tinjauan Pustaka
Di bagian latar belakang telah sedikit disinggung beberapa penelitian yang pernah

dilakukan. Bagian ini berkepentingan untuk menunjukkan kelemahan dan kelebihan
beberapa penelitian sebelumnya, perbedaannya dengan penelitian ini, dan bagaimana

posisi penelitian ini di antara penelitian-penelitian tersebut.

Pertama, penelitian yang dilakukan Juhansar Andi Latif dalam tesisnya di Program

Studi CRCS (Cross Religion and Cultural Studies) UGM dengan judul: “Dui Menre dalam

Pernikahan Bugis Bone di Sulawesi Selatan”. Tujuan penelitiannya adalah menemukan

aksiologi dalam budaya dui menre pada pernikahan Bugis Bone di Sulawesi Selatan

sehingga masih tetap eksis di tengah modernisasi serta untuk mengidentifikasi dan

menggambarkan peran tradisi kecil dan tradisi besar di dalamnya. Metode yang digunakan

kualitatif dengan pendekatan sosio-antropologis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
7

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

pergeseran dengan pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan masyarakat Bugis Bone
terhadap tradisi dui’ menre’ karena perubahan kebutuhan (harkat, martabat,

mempertahankan prestise, dan pengakuan masyarakat), memudarnya kekuatan politik

tradisional, dan kepentingan untuk mendapatkan legitimasi baru. Untuk mencapai tujuan

penelitiannya, Juhansar melakukan analisis terhadap bentuk, dasar pertimbangan,

prinsip-prinsip yang diberlakukan, dan akibat-akibat sosial budaya dalam tatanan
kehidupan masyarakat serta pemecahannya.

Juhansar tampak sangat optimistik dengan ritus dui’ menre’. Baginya, lewat ritus

itu keseriusan laki-laki terhadap perempuan diuji. Dia berangkat dari petuah Bugis

tentang apa yang harus dilakukan laki-laki sebelum memutuskan untuk menikahi seorang

perempuan, yakni mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali yang berarti kesiapan laki-laki

secara materil untuk menafkahi isterinya kelak. Di samping itu, dia juga menyesalkan

hilangnya perangkat-perangkat adat yang mengatur ritus dui’ menre’. Tanpa perangkat

adat, nominal dui’ menre’ ditentukan sesuai dengan keinginan keluarga kerabat

perempuan, bukan berdasarkan aturan-aturan adat.

Masalah pokok dalam penelitian tersebut adalah peneliti tidak menyelami lebih

dalam bagaimana wujud harkat, martabat, dan prestise yang diimajikan orang Bugis.

Juhansar tidak menunjukkan posisi subjek (pelaku) dalam mengafirmasi perubahan dan

terlalu sibuk untuk menunjukkan eksistensi dui menre meski telah bergeser. Penelitian

Juhansar secara prinsipil berbeda dengan penelitian ini. Pendekatan yang digunakan

Juhansar adalah sosio-antropologis, sementara penelitian ini lived experience and discourse

yang mengurai pengalaman subjek berhadapan dengan ideologi dominan dalam semesta

simboliknya. Penelitian ini berkepentingan menemukan penjelasan tentang bagaimana

fantasi dalam medan ideologis dui’ menre’ sehingga selalu menimbulkan ketaatan subjek.

Pendekatan sosio-antropologis yang dilakukan Juhansar tidak mampu menjelaskan aspek

fantasi, sementara pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini akan membantu

menjabarkan aspek fantasi dalam medan ideologis dui’ menre’. Meski demikian, penelitian

Juhansar juga tetap akan dimanfaatkan untuk memberikan memahaman awal terutama

informasi-informasi permukaan yang menunjang pelaksanaan penelitian ini.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nurul Ilmi Idris. Nurul Ilmi meneliti dengan

mengangkat judul “To Take Each Other: Bugis Practices of Gender, Sexuality and Mariage”.
Penelitian itu dilakukan untuk kepentingan penyelesaian studi doktoralnya di Universitas

Nasional Australia pada tahun 2003 untuk konsentrasi Antropologi. Penelitian tersebut
8

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

ingin melihat bagaimana siri’ dalam hubungannya dengan gender, lamaran, pentingnya

hubungan kekerabatan dan status dalam perkawinan, seksualitas dalam perkawinan, dan

dinamika perkawinan, perceraian, serta rekonsiliasi. Ia juga melihat bagaimana Islam

dikombinasikan dengan adat dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana budaya Bugis

secara khusus berpengaruh dalam ideologi kontemporer Indonesia. Pendekatan yang

digunakan adalah etnografi dengan rangkaian metode pengambilan data yang rigid:
mengombinasikan wawancara informal, observasi partisipan dan Diskusi Kelompok

Terarah beserta analisis tekstual pada manuskrip lama maupun tradisi oral dalam

Masyarakat Bugis. Dimensi penelitian ini sangat luas, tetapi mampu disajikan dengan

sangat mendalam di masing-masing elemen yang hendak ditelusuri peneliti. Penelitian

Nurul Ilmi dipilih untuk dicantumkan di tinjauan pustaka karena ada satu bagian yang

sangat relevan dengan penelitian ini, yakni pada bagian ketiga pembahasan dalam

disertasinya; “Asseajingeng: Marriage, Family and Social Relation”. Di Bagian tersebut
Nurul Ilmi memaparkan kompleksitas dalam tradisi pernikahan orang Bugis yang

menekankan hubungan kekerabatan dan status sosial. Adapun dui’ menre’ tidak menjadi
bahan utama, tetapi tetap disinggung.

Di bagian ketiga penelitian tersebut digambarkan standar untuk menyeleksi

pasangan yang akan dinikahi yang mencakup agama, hubungan kekerabatan, status dan

kualitas personal. Terutama untuk status sosial, penelitian tersebut menunjukkan bahwa

masyarakat Bugis (kasus yang diangkat Nurul Ilmi di Kabupaten Pinrang) sangat

menekankan status sosial dalam menentukan pasangan. Kasus yang diangkat adalah
pernikahan antara anak pak Bakrie, Aco dan Hajji Karim, Mina.10 Hajji Karim adalah

seorang saudagar ikan, sementara pak Bakrie adalah guru di sekolah dasar. Pak Bakrie

rela mengeluarkan uang banyak untuk dui’ menre’ (10 juta rupiah, nominal yang masih

sangat tinggi di tahun 2000-an) demi menikahkan anaknya dengan anak Hajji Karim.
Ekspektasi pak Bakrie adalah status sosialnya bisa mengikut dengan status sosial besan-

nya –saudagar ikan dan haji.11 Gambaran dalam penelitian Nurul Ilmi tersebut punya

persinggungan yang kuat dengan penelitian ini. Hanya saja, Nurul Ilmi lebih menekankan

pada aspek status sosialnya, sementara penelitian ini ingin mendalami bagimana status

sosial dari dui’ menre’ tersebut dimaknai oleh subjek Bugis.
10

Nurul Ilmi. 2003. “To Take Each Other: Bugis Practices of Gender, Sexuality and Mariage”, hal.69.
Orang yang sudah menyandang gelar “Haji” punya status sosial yang dianggap tinggi dalam
masyarakat Bugis.
11

9

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Susan Bolyard Milliar di tahun 1975-1976

di Kabupaten Soppeng yang berjudul: “Bugis Weddings: Ritual of Social Location in Modern

Indonesia” yang telah dibukukan dan di-indonesiakan menjadi “Perkawinan Bugis” (2009).
Susan adalah seorang Indonesianis berkebangsaan Amerika Serikat. Penelitiannya

menggunakan pendekatan antropologi yang bertujuan mengeksplorasi seluruh tata cara,

simbol, prasyarat, serta status sosial dalam adat perkawinan Bugis. Penelitian tersebut

dilakukan dengan sangat komprehensif dan menghasilkan gambaran tentang bagaimana
tradisi perkawinan dalam masyarakat Bugis.

Penelitian Susan paling banyak dijadikan rujukan oleh peneliti lain, termasuk

peneliti-peneliti yang telah disebutkan sebelumnya. Secara gamblang, Susan membongkar

semua hal yang terkait dengan adat perkawinan Bugis, tetapi masih berada pada taraf

eksplorasi sehingga hasil yang disuguhkan lebih banyak bersifat informatif. Meski
demikian, harus diakui bahwa penelitian Susan sangat membantu setiap peneliti yang

ingin meneliti perkawinan Bugis.

Penelitian tentang dui’ menre’ dalam perkawinan Bugis memang tidak sedikit.

Namun secara umum, belum ada yang menjawab permasalahan yang dikemukakan

penelitian ini. Begitupun kecenderungan dari peneliti-peneliti sebelumnya yang sekadar
menyajikan data-data permukaan. Faktor pendekatan metodologis dan teoretis yang

digunakan turut menjadi penghalang untuk menggeledah masalah secara mendalam. Di
samping itu, masalah masalah kesejarahan, termasuk perkembangan ritus dui’ menre’

belum pernah disinggung dalam berbagai penelitian. Karena itu, penelitian ini menjadi

penting untuk dilakukan.

Topik pembicaraan tentang dui’menre’ kiranya perlu ditinjau secara hati-hati agar

penelitian ini tidak jatuh pada kesimpulan serupa seperti yang telah ditemukan peneliti-

peneliti sebelumnya. Beberapa peneliti punya kecenderungan dan alur logika yang sama

dalam membangun kesimpulannya. Ada dua penelitian yang menjadi titik tekan, yakni “To

Take Each Other” karya Nurul Ilmi Idrus dan “Perkawinan Bugis” karya Susan Bolyard

Millar. Keduanya menjadi penting karena menjadi penelitian yang paling komprehensif

tentang gender dan perkawinan Bugis.

Penelitian Susan dan Ilmi Idrus memiliki kesimpulan yang sama: “status dalam

masyarakat sangat menentukan kualitas sebuah pesta perkawinan.” Dalam penelitian

Susan, hal tersebut dikaitkan dengan upaya masyarakat Bugis, khususnya Tau Matoa
(pemimpin terkenal, biasanya dari kalangan bangsawan, memiliki pengikut dan punya
10

PLAGIAT
PLAGIATMERUPAKAN
MERUPAKANTINDAKAN
TINDAKANTIDAK
TIDAKTERPUJI
TERPUJI

otoritas) untuk menegaskan dominasi atau pengaruhnya lewat pesta pernikahan yang

disponsori. Pesta pernikahan menjadi wadah bagi tau matoa untuk melebarkan

jaringannya. Secara khusus, Susan menulis, “eksistensi jaringan tau matoa akan tampak
dengan jelas pada acara-acara perkawinan. Acara perkawinan adalah tempat

mempertegas apa pun yang ingin dikuasai tau matoa (baik aspek-aspek budaya maupun

politis).12”

Melalui nukilan itu, Susan ingin menunjukkan betapa penegasan status sosial

sangat penting bagi masyarakat Bugis. Status sosial menentukan jenis dan tata cara pesta
yang akan digelar. Persoalan status juga akan menentukan besaran mahar (mesti

diperhatikan konteks penelitian Susan, dimana m