2.1 Konsep Ideologi - Ideologi Upacara Melengkan Dalam Adat Perkawinan Masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI Kajian pustaka pada penelitian ini terdiri atas beberapa konsep dasar yaitu,

  tentang konsep ideologi, ideologi dan teks, ideologi dan konteks sosial, konsep

  

melengkan, dan juga kajian hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan tujuan

2.1 Konsep Ideologi

  Kress dan Hodge (dalam Sinar 2008 : 84) menyatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra, dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar. Fowler dan Kress (1979:185) menyebutkan bahwa semua teks mewujudkan ideologi. Penggunaan bahasa dipengaruhi oleh posisi ideologi, yaitu nilai yang dipertahankan (secara sadar maupun tidak), pandangan yang diperoleh melewati jalur khusus melalui budaya. Lemke (1990:435) juga sependapat bahwa bahasa di dalam penggunaanya tidak pernah berdiri sendiri di luar nilai atau ideologi. Ideologi adalah cara dalam merasakan dan menangkap sesuatu dan menginterpretasikan hal yang dilihat, didengar, atau dibaca.

  Konsep ideologi di atas merupakan acuan terhadap hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan dalam bentuk adanya pengaruh antara budaya sosial politik dan kemasyarakatan. Di samping itu ideologi mengacu kepada perwujudan terhadap teks sebagai nilai budaya dalam interaksi sosial dimana bahasa sebagai alat untuk menginterpretasikan ideasional, interpersonal dan tekstual.

2.1.1 Ideologi dan Teks

  Ideologi merupakan konstruksi atau konsep sosial yang menyatakan apa yang seharusnya dilakukan atau seharusnya tidak dilakukan seseorang sebagai anggota secara sadar atau tidak), sudut pandang, posisi atau perspektif yang dianut (Eggins, 1994 :10). Ideologi ditentukan oleh sejumlah faktor seperti kelas sosial, jenis kelamin, etnik, dan generasi (Martin, 1992 :581). Karena ideologi mempengaruhi seseorang dalam bertindak termasuk dalam berinteraksi atau memproduksi teks, teks tidak terlepas dari pertimbangan ideologi. Dengan kata lain, teks merupakan realisasi ideologi dan ideologi dapat dijajagi di dalam teks. Realisasi ideologi dalam teks dapat eksplisit atau implisit. Menurut Saragih (2003 :204) dalam klausa Dia melontarkan

  

pendapat di dalam rapat itu dan Dia menyampaikan pendapat di dalam rapat itu

  proses melontarkan mengisyaratkan bahwa pendapat itu dipandang sebagai sesuatu benda padat yang kokoh dan kuat seperti batu karena yang biasa dilontarkan adalah benda padat seperti batu. Proses menyampaikan menunjukkan bahwa pendapat itu sudah lama dipendam dan belum pernah diketahui orang, itulah sebabnya pendapat itu disampaikan di dalam rapat itu. Perbedaan makna seperti ini adalah perbedaan pandangan atau ideologi.

  Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa ideologi merupakan suatu pemahaman seseorang dalam bertindak atau berinteraksi dan memproduksi suatu teks. Dengan kata lain ideologi direalisasikan dalam teks secara eksplisit atau implisit baik dalam isu mengeluarkan pendapat seseorang berdasarkan ide yang bersifat ideologis dimana situasi merupakan faktor penentu teks. Halliday (1978 : 144) menjelaskan bahwa makna diciptakan oleh sistem sosial dan dipertukarkan oleh anggota-anggota masyarakat dalam bentuk teks. Darma (2009: 189) menyatakan teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh interaksi dan memberikan pilihan makna dalam konteks situasi.

  Dalam ihwal kajian pengertian teks Haliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah suatu pilihan semantis (semantic choice) data konteks sosial, yaitu suatu cara penggungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis. Dengan demikian, semua bahasa hidup yang menggambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat disebut teks. Selanjutnya Saragih (2003:204-205) menyatakan bahwa hubungan antara konteks sosial dan bahasa atau teks adalah hubungan konstrual semiotik dengan pengertian bahwa konteks sosial menentukan teks dan pada gilirannya teks juga menentukan konteks sosial. Secara rinci dapat dikatakan bahwa konteks situasi sebagai unsur yang langsung berhubungan dengan bahasa yang dimiliki hubungan sistematis dengan metafungsi bahasa dengan rincian unsur isi menentukan makna atau fungsi paparan atau fungsi ideational, pelibat menentukan makna atau fungsi

antarpesona atau interpersonal dan cara menentukan makna atau fungsi tekstual.

  Selanjutnya, pada tingkat tata bahasa makna paparan atau ideotional dikodekan oleh transitivitas yang terdiri atas barbagai aspek, seperti proses, partisipan,

  

sirkumstan, hubungan parataksis, dan hipotaksis. Makna antarpesona dikodekan

  oleh aksi, modus, modalitas, vokatif, orang (pronomina), dan makna tekstual direalisasikan oleh tema/rema, kohesi, kepadatan leksikal, kerumitan tata bahasa, dan nominalisasi.

2.1.2 Ideologi dan Konteks Sosial

  Ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam satu interaksi sosial. atau diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi (Saragih: 2003:5). Terkait dengan uraian diatas ideologi direalisasikan dalam konteks sosial, dimana dalam suatu komunitas atau masyarakat menetapkan apa yang sebenarnya boleh dilakukan dan seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang sesuai dengan konsep yang berlaku dalam masyarakat tertentu.

  Kress dan Hodge (1979) mengatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adannya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah politik sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar. Sinar (2008: 84) memberi contoh pandangan yang sudah menjadi “ilmu” atau “teori” yang dipercayai dunia Barat adalah “orang-orang Timur Tengah adalah teroris”, atau “orang Melayu malas”. Konsep ini dilahirkan oleh penguasa yang dominan yang dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu objek sehingga masyarakat tersebut secara wajar mempercayai pandangan atau “ilmu” tadi. Kewajiban ini selanjutnya merepresentasikan gambaran tersebut menjadi yang absah dan diyakini.

  Konteks sosial mengacu kepada segala sesuatu diluar yang tertulis atau terucap, yang mendampingi bahasa atau teks dalam pristiwa pemakaian bahasa atau interaksi sosial. Konteks seperti ini disebut juga konteks eksternal. Konteks sosial terbagi dalam tiga kategori yaitu konteks situasi, konteks budaya, (disebut juga

  

genre ) dan konteks ideologi (Martin, 1992). Ketiga konteks sosial ini membentuk

  strata yang lebih jauh dari bahasa. Berdasarkan strata kedekatan kepada bahasa, konteks sosial secara berurut mulai dari konteks situasi, budaya, dan ideologi (Saragih 2003: 5)

  Konteks situasi terdiri atas apa (field) yang dibicarakan, siapa (tenor) yang membicarakan sesuatu bahasa, dan bagaimana (mode) pembicaraan itu dilakukan.

  Secara rinci, field menunjuk peran bahasa atau topik yang dibicarakan dalam interaksi sosial, tenor menggambarkan status (sama atau stara, tidak sama atau berbeda), suka atau tidak suka (affect), hubungan (biasa atau baru pertama kali) antar pemakai bahasa (addresser dan addressee), dan mode mengurai modium atau saluran pemakaian bahasa yang dapat berupa lisan atau tulisan. Dalam interaksi bahasa, ketiga aspek konteks situasi itu dapat diidentifikasi. Namun, dalam beberapa situasi dapat terjadi satu aspek tidak jelas atau tidak teridentifikasi yang dalam keadaan demikian aspek situasi disebut netral.

  Konteks budaya dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Dengan pengertian ini, konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu (1) batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksis sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Pada dasarnya, setiap interaksi sosial mempunyai tujuan tertentu. Tujuan ini sering juga disebut fungsi teks tersebut.

  Terkait dengan ihwal konteks sosial dalam kajian bahasa, Saragih (2003:192) menyatakan bahwa pemakaian bahasa dibatasi sebagai segala sesuatu yang mendampingi pemakaian bahasa atau teks. Arti bentuk dalam konteks. Pada dasarnya, oleh bentuk bukan bahasa (non-verbal realization), seperti gerak tangan, ekspresi wajah, atau langkah. Kedua, arti direalisasikan oleh bahasa. Kedua realisasi arti itu dapat terjadi pada saat yang sama.

  Konteks merupakan wahana terbentuknya teks. Dalam pandangan LFS arti yang terealisasi dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan konteks. Dengan kata lain, teks wujud dalam konteks sosial tertentu dan tidak ada teks tanpa konteks. Hubungan antara teks dan konteks adalah hubungan konstrual semiotik artinya konteks dan teks saling menentukan : konteks menentukan teks dan teks pada gilirannya merujuk konteks.

2.1.3 Ideologi dan Agama

  Pengertian tentang “ideologi” dan “agama” dalam versi Islam, mengacu pada konsep dasar tentang keterkaitannya dengan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Menurut Pramutoko (2007) Ideologi dapat berarti suatu paham atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil kontemplasi (perenungan) manusia baik berdasarkan wahyu maupun hasil kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi ini biasanya merupakan hasil kerja filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk memikirkan tentang diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Sedangkan agama adalah peraturan dari Allah SWT untuk manusia yang berakal guna mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia dan akherat bersandar pada wahyu- wahyu Ilahi yang terhimpun dalam kitab suci AL-Qur’an.

  (http://mischanz.wordpress.com/2009/12/16/pengertian-agama-menurut-islam/) Aceh Tengah, diprediksi terdapat unsur konteks ideologi dan agama. Hal ini dapat dideskripsikan beberapa teks yang mengacu pada fungsi ujar (speech function) oleh pemakai bahasa Gayo (pemelengkan. Interpretasi ekspresi ideologi mengacu pada makna agama (keTuhanan). Dalam hal ini mengacu pada pernyataan Ma’rifatul

  

Mabda’ membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan Allah serta qadla’ dan

  qadar-Nya (Sudihawan, dkk. 2013). Dalam data terdapat beberapa teks yang menyatakan adanya unsur makna agama (keTuhanan) seperti berikut ini:

  Pertama kami tiro ampun ku Tuhen urum ku Nabi. (LII.80)

  “Pertama kami mohon ampun kepada tuhan dan kepada nabi”

  Alhamdulillah sene bubak sene bube (LII.138)

  “syukur Alhamdulillah senda gurau”

2.2 Konsep Melengkan (Perkawinan)

  Istilah melengkan dalam masyarakat Gayo dikenal dengan upacara pidato adat sebagai warisan budaya (cultural heritage), di temukan dalam berbagai upacara, seperti upacara melengkan dalam adat perkawinan. Badudu (1996) dalam Herlina

  (2007:24) menyatakan bahwa upacara yaitu aturan resmi, seremoni, rangkaian, tindakan yang terikat atau kebiasaan yang berlaku, sebagai sebagian dari perayaan.

  Menurut Ibrahim dan Pinan, (2003 :252) menyatakan bahwa melengkan yaitu pidato adat berbentuk kata-kata puitis yang disampaikan satu atau dua orang yang saling berhadapan dalam berbagai upacara adat antara lain menjelang akad nikah, menaiken berkunjung pertama kali ke Gayo dan upacara-upacara lainnya.

  Melalatoa dkk, (1985 :219) mengatakan bahwa melengkan adalah pidato secara adat dengan menggunakan kata pilihan dalam adat perkawinan. Konsep melengkan pada prinsipnya merupakan pidato adat yang disampaikan oleh seorang atau dua orang pelaku yang saling berhadapan dalam upacara tradisional Gayo seperti, acara perkawinan, menerima tamu terhormat, dan upacara adat lainnya. Pelaku seni melengkan biasanya mengungkapkan pidato adat dengan bahasa prosa liris.

2.3 Konsep Sarakopat

  Menurut Syukri (2006:6) sarakopat sebagai lembaga masyarakat dapat berfungsi sebagai alat control dalam bidang keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Sarak berarti badan atau wadah opat berarti kekuasaan yang empat terdiri dari raja, petue, imem, rayat Melalatoa, dkk (1985: 315). Berikut ini diberikan fungsi masing-masing dari keempat kekuasaan yakni raja, petue, imem dan

  

rayat. Raja berfungsi bertanggung jawab untuk melindungi rakyatnya. Imem

  berfungsi menyelidiki dengan baik sesuatu perkara apakah sesuai dengan hukum

  Islam atau tidak. Petue untuk meneliti, merencanakan, mengevaluasi dan mencari jalan pemecahan masalah yang dihadapi rakyat. Rayat menyalurkan aspirasi rakyat serta merumuskannya dalam penyelesaian masalah dan program pembangunan sesuai dengan kepentingan rakyat (Syukri, 2006:130-135).

  Kajian tentang ideologi berikut ini dilakukan oleh Sinulingga (2008) dengan fokus kajian “Ideologi Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo: Kajian Semiotika Sosial”. Kajian yang dilakukan oleh Sinulingga (2008) ada persamaan dengan kajian yang akan dilakukan oleh penulis yakni dari sudut pandang ideologi sebagai kerangka analisis data. Relevansi lain adalah sama-sama mengkaji ideologi dalam konteks perkawinan (Erdemubayu), dan sumber data yang sama dari suatu teks tertulis.

  Perbedaannya adalah Sinulingga menggunakan teori Deskriptif, sedangkan penulis sendiri akan menggunakan teori (LFS). Adapun hasil kajian sinulingga tersebut dimana makna ideologi bersifat atau mengacu pada kekuatan (power) yang terletak pada kelompok partisipan atau kalimbubu. Kajian Sinulingga tersebut memberikan kontribusi yang positif terhadap penelitian ini yakni dalam ikhwal penerapan ideologi sebagai kerangka berfikir analitis, serta dapat dijadikan sebagai data pembanding dalam ikhwal ideologi adat perkawinan Batak Karo dan ideologi upacara melengkan dalam adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon.

  Selanjutnya yang berkaitan dengan kepustakaan mengenai adat upacara perkawinan diantaranya adalah Makna Antar Persona Dalam Teks Upacara

  

Perkawinan Pada Masyarakat Karo (Tesis S2, 2007) oleh Herlina Sekolah

  Pascasarjana Linguistik USU. Kajian yang dilakukan oleh Herlina ada relevansinya dengan kajian yang dilakukan oleh penulis yakni dalam ikhwal upacara perkawinan pada masyarakat Karo dengan upacara melengkan pada adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon. Relevansi lainnya adalah tentang penggunaan kerangka teori yang sama, yaitu teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) yang dikembangkan oleh tidak menggunakan ideologi sebagai landasan analisis data., sedangkan penulis sendiri menggunakan ideologi sebagai kerangka analisis data. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herlina dalam teks upacara perkawinan pada masyarakat Karo yang dikaitkan dengan makna antar persona cenderung direalisasikan dalam modus

  deklaratif, introgatif, dan imperatif.

  Berikut ini juga berkenaan dengan kajian tentang adat perkawinan yang dikaji oleh Sianipar (2001). Dalam kajiannya Sianipar ada relevansinya dengan penelitian yang di lakukan oleh penulis yaitu dari sudut pandang adat perkawinan masyarakat Batak Toba dengan adat upacara melengkan perkawinan masyarakat Gayo Takengon.

  Relevansi lainnya adalah menggunakan teks tertulis sebagai sumber data. Adapun perbedaannya adalah Sianipar tidak menggunakan ideologi sebagai kerangka atau landasan analisis data, sedangkan penulis menggunakan ideologi sebagai kerangka analisis dalam kajian. Perbedaan lain ialah Sianipar menggunakan kerangka teori penelitian dalam perspektif sosiolinguistik, sedangkan penulis menggunakan kerangka teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sianipar menunjukkan ada keterkaitan yang signifikan antara ragam-ragam bahasa dengan peran penutur dalam acara adat perkawinan masyarakat Batak Toba di

  Medan. Peran penutur dalam arti hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Kajian yang di lakukan Sianipar tentang adat perkawinan masyarakat Batak Toba di Medan dapat dijadikan sebagai data pembanding dan konstribusi dalam ikhwal sistem adat perkawinan atau budaya yang berbeda.

  Kerangka teori yang diterapkan dalam analisis teks upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo, adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS), yang dipelopori oleh M.A.K Halliday dan yang dikembangkan Martin (1985). Relevansi teori LFS dengan penelitian ini adalah, secara fungsional keberpijakannya pada analisis teks dan konteks sosial dalam penganalisisan bahasa. Istilah fungsional dalam analisis teks atau wacana mengacu pada realisasi fungsional dari sistem arti dan ekspresi dalam bahasa. Istilah sistemik mengacu pada sistem makna secara interelasi dalam kaitannya dengan fenomena ekspresi.

  Ada dua konsep mendasar teori LFS membedakannya dengan teori linguistik lainnya, yaitu (1) Bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial, dan (2) Bahasa merupakan teks yang berkonstrual (saling menentukan dan merujuk pada konteks sosial.

  Sebagai semiotik secara mendasar bahasa terdiri dari dua unsur penting yaitu

  

arti dan ekspresi. Arti, direalisasikan oleh ekspresi dalam konteks sosial. Semiotik

  sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Hubungan ketiga unsur ini yaitu arti secara semantis direalisasikan bentuk (lexicogrammar) dan bentuk dikodekan oleh ekspresi (phonologi/grophology). Teori LFS memandang bahasa dari ketiga unsur tersebut yaitu sebagai unit semantik. Semantik direalisasikan tata bahasa dan tata bahasa diekspresikan phonology dalam bahasa lisan, dan grophology dalam bahasa tulis. Hubungan arti dan bentuk bersifat alamiah, yaitu berdasarkan konteks sosial sedangkan hubungan arti dan ekspresi bersifat arbitrer (tidak terprediksi).

2.5.1 Teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS)

  wacana dalam konteks sosial. Teks adalah bahasa yang berfungsi atau yang sedang melakukan tugas (Halliday 1992:13). Teori ini memandang bahasa adalah sistem arti dan sistem lain (yaitu sistem bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut (Saragih 2003:1). Teks dibatasi sebagai unit bahasa yang fungsional dalam konteks sosial (Halliday : 1994, dalam Saragih 2003:3). Bahasa yang fungsional akan memberi arti kepada pemakai bahasa, hal ini berarti teks merupakan suatu unit arti (semantic unit) bukan unit tata bahasa (gramatical unit), seperti kata, frase, klausa, paragraf, dan naskah. Hubungan bahasa atau teks dengan konteks sosial adalah hubungan konstrual dimana konteks sosial akan ditentukan oleh teks.

  Dalam teori LFS bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial. Sebagai semiotik secara umum bahasa terdiri dari dua unsur penting yakni arti dan ekspresi dimana arti direalisasikan oleh ekspresi. Semiotik sosial terdiri atas tiga unsur, yaitu arti, bentuk, dan ekspresi. Adapun hubungan ketiga unsur ini adalah hubungan arti (semantics) atau hubungan arti wacana (discourse semantics ).

  Dalam teori LFS dikenal istilah “metafungsi”. Metafungsi dalam kajian teks atau wacana disebut metafungsi bahasa. Metafungsi bahasa diartikan sebagai fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa oleh penutur bahasa. Dimana dalam setiap interaksi antar pemakai bahasa , penutur menggunakan bahasa untuk memaparkan (ideational

  

function), mempertukarkan (interpersonal function), dan merangkai (textual function)

  (Halliday, 1994:xiii; Eggins, 1994:3). Sejalan dengan ketiga metafungsi bahasa itu (Saragih 2003:6) menyatakan bahwa bahasa dikatakan membawa tiga arti yakni, (interpersonal meaning), dan makna perangkaian atau pengorganisasian (textual

  

meaning ). Dalam kajian ini analisis ideologi dalam teks upacara melengkan adat

  perkawinan masyarakat Gayo mengacu pada makna antarpersona atau makna pertukaran pengalaman (interpersoal meaning).

  Para pakar teori LSF seperti Kress, Halliday dan Stillar menyatakan bahwa wacana adalah ranah sosial dan teks adalah ranah linguistik. Martin dalam Saragih (1988 : 59) menyatakan bahwa konteks itu terdiri dari tiga unsur dan merupakan sistem semiotik diatas dan di luar bahasa. Bahasa adalah alat ekspresi register, bahasa dan register alat ekspresi genre. Bahasa, register dan genre alat ekspresi ideologi, ketiga unsur konteks itu ialah : (a) konteks situasi (register) (b) konteks budaya (genre) dan (c) ideologi. Ketiga konteks tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

  Ideologi Genre

  Register Teks

Gambar 2.1 Konteks Sosial dan Teks

  Konteks ideologi mengacu kepada nilai, sikap, pandangan hidup yang di anut dan di rundingkan oleh pembicara atau penulis dalam satu interaksi sosial, dan menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam satu interaksi sosial. Misalnya dalam upacara melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo dimana fungsi Reje diungkapkan dalam bahasa adat Reje musuket sipet, maksudnya Reje berkewajiban menimbang secara benar dan adil dalam interaksi sosial. Dalam hal ini konteks ideologi mempengaruhi seseorang dalam bertindak termasuk dalam interaksi sosial atau memproduksi teks karna teks tidak terlepas dari pertimbangan konteks ideologi.

  Konteks budaya (genre) adalah proses sosial yang bertahap dan berorientasi pada tujuan. Dalam setiap pembicaraan atau tulisan ada satu tujuan yang mau disampaikan. Tujuan itulah genre, yang terkait pada aturan budaya sesuatu bangsa. Tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial misalnya pada acara malam berguru. Maksudnya “malam pemberian nasihat” terhadap calon pengantin dari pihak keluarga, bertujuan agar pengantin dapat mengetahui aturan-aturan dalam melaksanakan bahtera rumah tangga.

  Konteks situasi (register) terdiri dari apa yang di bicarakan (field) siapa yang pembicaraan itu (mode). Dalam upacara melengkan misalnya konteks situasi (feld) objek yang dibicarakan adalah “calon pengantin”, siapa yang membicarakan (tenor) adalah sarakopat (reje, petue, imem, rayat). Materi yang dibicarakan mengenai pelaksanaan melengkan, Mode dalam hal ini merujuk kepada pembicaraan dengan pemakaian bahasa berupa lisan dalam interaksi sosial.

2.5.2 Teori Makna Antarpersona (Interpersonal Meaning)

  Dalam teori LFS makna antarpersona (Interpersonal meaning) mengacu pada fungsi ujar (speech function) yang dilakukan pemakai bahasa dalam interaksi bahasa (sosial). Martin, dkk (1995:62) mengidentifikasi empat fungsi ujar dasar dalam setiap interaksi yaitu, memberi informasi, meminta informasi, memberi barang & jasa, dan meminta barang & jasa yang masing fungsi itu disebut pernyataan (statement), pertanyaan (question), penawaran (offer), dan perintah (command).

  Keempat fungsi ujar tersebut dalam komunikasi direalisasikan oleh modus (mood) dengan kelaziman pernyataan direalisasikan oleh modus deklaratif, pertanyaan oleh modus introgatif, dan perintah oleh modus imperatif, sedangkan tawaran adalah non- modus.

  Peran makna antarpersona dalam perspektif LFS tergantung pada konteks sosial dalam hal ini konteks sosial mengacu pada keempat fungsi ujar (speech

  

function ) yang dilakukan oleh pemakai bahasa Gayo (pemelengkan) dalam upacara

melengkan adat perkawinan masyarakat Gayo Takengon Aceh Tengah, yang

  mencakup situasi (medan, pelibat, dan cara) dalam konteks budaya yang didalamnya Ada dua peran dasar yang dilakukan oleh penutur dalam menggunakan bahasa yaitu memberi dan meminta informasi. Dalam hal ini kedua peran tersebut membawakan dua jenis komoditas yaitu terkait dengan informasi dan barang dan jasa. Dalam hal ini secara semantis (makna) akan ditemukan pada empat jenis aksi (protoaksi) dalam speech function yaitu pernyataan (statement), pertanyaan (question), penawaran (offer), dan perintah (command). Keempat jenis protoaksi tersebut menjadi sumber dasar dari semua aksi yang dilakukan oleh pemakai bahasa yang direalisasikan oleh modus (tatabahasa) atau disebut lexicogrammar yang secara linguistik disebut mood atau modus yang terdiri dari modus deklaratif, introgatif, dan imperatif. Dengan kata lain keempat protoaksi yang ditemukan merupakan realisasi makna antarpersona pada tingkat semantik dimana protoaksi tersebut direalisasikan oleh tiga jenis modus yang terdiri dari modus deklaratif, introgatif, dan imperatif.

  Berikut ini dipresentasikan protoaksi yang menjadi sumber dari semua aksi yang dilakukan oleh pemakai bahasa Gayo (pemelengkan) dalam teks upacara

  melengkan.

Tabel 2.1 Protoaksi Ekspresi Bahasa Komoditas Peran Informasi Barang dan Jasa

  Pernyataan Tawaran

  Memberi Meminta Pertanyaan Perintah

  Secara spesifik tabel ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Memberi/informasi :Pernyataan (statement) Meminta/informasi :Pertanyaan (question) Memberi/barang dan jasa :Tawaran (offer) Meminta/barang dan jasa :Perintah (command)

  Keempat protoaksi diatas merupakan realisasi makna atau fungsi antarpersona pada tingkat semantik. Protoaksi tersebut direalisasikan oleh tiga jenis modus yakni modus deklaratif introgatif dan imperatif. Realisasi ini dapat di lihat pada table 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Realisasi Ekspresi Aksi (Modus) Semantik (makna) Modus (tatabahasa)

  Pernyataan Deklaratif Pertanyaan Introgatif Pernyataan Imperatif

  • Tawaran