Mahar dan PAENRE' Dalam Adat Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis Di Bulukumba Sulawesi Selatan)

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ANDI ASYRAF

NIM. 1111044100031

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (A H W A L A L – S Y A K H S I Y Y A H)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salatr Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Dibawatr Bimbingan

PROGRAM STUDI IIUKUM KELUARGA

(AH

WAL

AL-

S

YAKrr

S

IYYAH)

EAKULTAS SYARIAH DAII IIUKUM

UNIYERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF IIIDAYATULLAH

JAKARTA

2015M11437 H

1111044100031


(3)

LEMBAR PERNYATAAI\

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

L

Slaipsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata

I

di

Universitas Islam Negeri (UIIID Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

semua. sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini

telah saya canfumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri (Uh{) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti hhwa lrolrya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri

(ul$,Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta 12 Oktober 2015 28 Dzulhijjah 1436 H


(4)

Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis

Di Bulukumba

Sulawesi Selatan)" telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal al-Syakhshiyyah).

Jakarta, 1 9 Oktober 201 5 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

PANITIA UJIAN SKRIPSI

Ketua

Sekertaris

Pembimbing

Penguji I

Penguji II

Dr. H. Abdul HaliF. M.A.

NrP. 19670608 199403 1005 Arip Purkon, S.HI..M.A.

NrP. 1 9790 427 2003 121002

Dr. H. Yavan Eopyan. S.H., M.A. NIP: 1 968 1 0141996031002

NrP. 1954030319761 1 r001 Drs. Sirril Wafa. M.A..

NrP. 1 96003 1 8 199103 I 001

.1 . ..)

ilr

NIP. 1 969 1 2t6t996031001


(5)

Bugis (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan). Skripsi, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. (ix halaman, 86 halaman, dan 30 halaman lampiran).

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis landasan yang digunakan oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba dalam menetapkan mahar dan

paenre’, memahami sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan perspektif mengenai dunianya, yang berkaitan dengan mahar dan paenre’, serta menjelaskan dan mensinergikan serta mengetahui korelasi pandangan Islam tehadap mahar dan

paenre’ dalam pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research), dan merupakan jenis penelitian problem oriented etnography,penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi, adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan antropologis. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara secara mendalam, studi dokumentasi, dan studi pusataka.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahar dan paenre’ dalam

masyarakat Bugis di Bulukumba ditentukan berdasarkan strata sosial pengantin perempuan, namun strata sosial disini tidak hanya disebabkan oleh karena ia keturunan bangsawan, tetapi dapat juga disebabkan karena jabatan, pekerjaan ataupun jenjang pendidikan yang telah ditempuh. Dibalik hal itu terdapat makna filosofis yang terkandung di dalamnya berupa nilai-nilai kearifan lokal yang dapat harmonis dan terintegrasi ataupun bersinergi dengan ajaran Islam.

Kata Kunci : Mahar, Paenre’, Adat Bugis, Etnografi, Bulukumba. Pembimbing : Dr. Yayan Sopyan, S.H.,M.A.


(6)

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, serta para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.A. Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam beserta Arip Purkon, S.HI., M.A., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Islam, yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

3. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.A., Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum, sebagai dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.


(7)

5. Terimakasih kepada Prof. Dr. H.A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., dan Drs. Sirril Wafa, M.A., dosen penguji dalam munaqasyah, para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan pelayanan maksimal.

6. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-data terkait penelitian ini, Drs. M. Arskal Salim GP, M.A., Ph.D. (Ketua PPM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Drs. Abdul Hafid, MAP., (Kasi Bimas Islam Kemenag Bulukumba), Andi Jumliadi Adil (Tokoh adat Bulukumba), beserta beberapa elemen masyarakat, Andi Megawati Adil, BA., Andi Sriwati, M.M., M.Pd., Andi Asmawati Kr. Ade, S.Sos., M.M., dan Andi Indah Kumalasari.

7. Paling istimewa untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Andi Abdul Rahman, S.Sos. dan ibunda Andi Asliwati Adil, yang tak pernah jenuh dan tak menyerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, (you are my everything). Adikku tersayang Andi Hikman Rahman, saudara-saudaraku, serta seluruh Keluarga Besar Puang Kuntung di Bone dan Keluarga Besar Karaeng Ade’ di Bulukumba.

8. Sahabat terbaikku, Hendrawan, Rudi Niyarto, Ketum Irpan, Hira Hidayat, Lilis, Safira, Lian, Juni, Vemi, Nadia, Didah, Kamelia, Triana, Tiflen,


(8)

Islam (HMI) Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya kepada kawan-kawan kader di Program Studi Hukum Keluarga, Reza, Ricky, Habibi, Ipeh, Ais, Haji Alim, Jamil, Fachra, Eno, Mella, Neng ema, Ajeng, Saripeh, Sidiq, Angga, Ilham, Fitroh, Ody, Riyad, Ulhaq, terimakasih atas masa-masa indah yang kita lalui di HMPS Hukum Keluarga (sudah waktunya untuk mengambil kembali apa yang sudah sepantasnya kalian dapatkan), serta seluruh kader yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tetaplah semangat berproses.

10.Kawan-kawan Masyhar MQ (PP. Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang), H. Ismail, Azhar, Ivan, Ihfal, Rajab, Yunus, Anas, Salman. Semoga motto

haamil al-qur’aan lafdhan, wama’nan, waamalan tetap terjaga.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan perbaikan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah Swt., Amin.

Ciputat, 12 Oktober 2015 Ttd.

Andi Asyraf


(9)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 8

C. Batasan dan Rumusan Masalah... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10

E. Kerangka Teori... 11

F. Metode Penelitian... 13

G. Review Studi Terdahulu... 20

H. Sistematika Penulisan... 21

BAB II EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN... 23

A. Pengertian Mahar... 23

B. Dasar Hukum Mahar... 25

C. Syarat dan Jenis-Jenis Mahar... 27

D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar... 30

E. Tujuan dan Hikmah Mahar: Antara Akad Muamalah dan Nihlah... 34


(10)

B. Sistem Kemasyarakatan Dalam Masyarakat Bugis... 41

C. Prosesi Perkawinan Dalam Adat Istiadat Bugis... 44

D. Islam dan Budaya... 48

E. Masuknya Islam di Sulawesi Selatan... 53

F. Mahar Dalam Perspektif Budaya Bugis... 55

BAB IV MAHAR DAN PAENRE’: TINJAUAN ETNOGRAFIS HUKUM ISLAM ... 57

A. Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat Bugis di Bulukumba... 57

B. Makna Mahar dan Paenre’ Dalam Sudut Padang Masyarakat Bugis di Bulukumba... 65

C. Harmonisasi Mahar dan Paenre’ Dalam Perspektif Masyarakat Bugis di Bulukumba Dengan Islam: Sebuah Analisis... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 79

B. Saran-saran... 80

DAFTAR PUSTAKA... 82


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia lahir dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya. Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi masyarakat. Masyarakat muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam menjalani kehidupan sosialnya.1 Karena harus ada norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.2

Penegakan syariat Islam, secara substansial tentu saja bagus untuk mewarnai dan memberi kontribusi dalam membangun masyarakat yang sadar hukum dan berkeadaban. Namun kita juga sadar bahwa Islam hadir bukannya dalam wilayah kosong, melainkan sudah ada tradisi sebelumnya di samping ada agama lain yang tumbuh dan memiliki hak yang sama di depan hukum, sehingga diperlukan metodologi yang bijak dan tepat. Lebih mendasar dari itu, Indonesia ini bukannya negara agama melainkan negara yang mendasarkan ideologi dan semangat

1

Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11

2

Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron, (Bandung: Nusa Media, 2009), Cet. II, h. 214


(12)

kebangsaan, yang mayoritas warganya memang muslim. Penerapan syariat Islam mesti mengemban spirit “Islam rahmatan li al-‘aalamin”. Penataan sistem

hukum yang bertabrakan dengan watak pluralisme masyarakat akan bersifat kontra produktif sekaligus melelahkan.3

Walaupun pemikiran sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi agama juga dilihat sebagai pedoman bagi ketetapan dari kebudayaan: suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual.4 Usaha untuk mengaplikasikan Islam dalam tiap unsur kehidupan masyarakat tidak terlepas dari budaya, kebiasaaan, dan hukum adat yang masih sangat dipertahankan di sebagian daerah. Setiap suku (dalam konteks Indonesia) memiliki adat istiadat atau kebiasaan tersendiri yang berbeda-beda. Salah satu perbuatan dimana negara juga mewajibkan untuk melakukannya menurut agama dan kepercayaannya masing-masing ialah perkawinan.

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa’ (4): 3. Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja

dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab (33): 37. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad.

3

Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar pada buku Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, h. 12

4


(13)

Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut. Tetapi dalam Al-Qur’an terdapat pula kata nikah dengan arti akad, seperti tersebut dalam firman Allah surat an-Nisa’ (4): 22.5

Definisi lain tentang nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama. Ada juga yang mengartikan suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami isteri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat Islam.6

Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah tangga. Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tecipta keturunan yang baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.7 Pernikahan juga memiliki unsur-unsur ibadah. Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus dari hal-hal yang diharamkan.8 Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebagian dari agama.9

5

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 35-36

6Asrorun Ni’am Sholeh,

Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 3-4

7

Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), h. 134.

8

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), h. 6516

9

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974), h. 5


(14)

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 (tiga) dirumuskan bahwa perkwainan bertujuan untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang sakinah. Surat Ar-Rum (30): 4 menjelaskan bahwa keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan dan ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lembut dan berperasaan halus, putera-dan puteri yang taat patuh dan taat dan kerabat yang saling membina silaturrahim dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masang anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.10

Keluarga merupakan tempat fitrah yang sesuai dengan keinginan Allah Swt. bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah (QS. Ar-Ra’d (13): 38). Kehidupan manusia secara individu berada dalam perputaran kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasanya tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil.11

Perkawinan menurut ajaran Islam terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi diantaranya kewajiban memberikan mahar oleh suami kepada isteri (QS. An-Nisa’ (4): 3). Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapakan atas persetujuan kedua belah pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas pada dasarnya. Berdasarkan ayat itu

10

Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, h. 114.

11

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 23.


(15)

dapat kita pahami bahwa mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh pihak suami kepada isteri untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar merupakan bentuk award yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetiaan dan cintanya kepada sang isteri.

As-Sadlan sebagaimana dikutip oleh Abu Malik Kamal mengungkapkan, bahkan mahar boleh saja berupa sesuatu yang memiliki nilai material maupun immaterial, dan inilah yang disepakati oleh dalil-dalil yang ada sesuai dengan pengertian yang benar dari pensyariatan mahar. Sebab substansinya bukanlah sebagai kompensasi yang bersifat materi saja, akan tetapi ia lebih merupakan simbolisasi keinginan dan ketulusan niat untuk hidup bersama dalam biduk rumah tangga sehingga ia boleh diwujudkan dalam bentuk uang atau materi (yang sudah berlaku umum), dan dalam bentuk sesuatu yang memiliki nilai immaterial, selama mempelai wanita ridho atau rela menerima hal tersebut.12

Mengenai pernikahan, memang banyak adat yang mengatur di setiap daerah. Baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di daerah tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang mengikuti berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang teguh kepada hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan tersebut. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.13

12

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah. Penerjemah Khairul Amri Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 254.

13


(16)

Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dari masyarakat adat yang lain, antara suku bangsa yang satu berbeda dengan suku bangsa yang lain, antara yang beragama Islam berbeda dari yang beragama Kristen, Hindu, dan lain-lain. Begitu pula antara masyarakat desa dari masyarakat kota. Dikarenakan perbedaan tata tertib adat maka seringkali dalam menyelesaikan perkawinan antar adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadang-kadang tidak tercapai kesepakatan antar kedua pihak dan menimbulkan ketegangan.14

Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia cara yang digunakan dalam melakukan pelamaran atau peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaannya hanyalah (kira-kira) terdapat pada alat atau sarana pendukung proses peminangan tersebut.15

Di Indonesia, terdapat sebuah suku yang bernama Suku Bugis dimana dalam adat istiadatnya, secara garis besar upacara perkawainannya dimulai dengan

mappaenre’ balanca yaitu sebuah prosesi mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabatnya, pria dan wanita, tua maupun muda dengan membawa macam-macam makanan, seperangkat pakaian wanita, buah-buahan (seperti kelapa, pisang, dan lain-lin), dan maskawin. Sampai dirumah mempelai wanita,

14

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), h. 12

15


(17)

maka dilangsungkan upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan pesta perkawinan. Pada pesta ini para tamu dari luar diundang, memberi kado atau uang sebagai sumbangan (saloreng).16

Pada masyarakat Bugis, dalam menetukan mahar mereka mempunyai patokan tersendiri, adat Bugis di daerah Sulawesi Selatan dalam proses perkawinannya meskipun sudah menggunakan syariah Islam sebagai landasan dasar serta syarat-syarat perkawinan dalam kebiasaanya, tetapi pada tahap prosesi baik menjelang maupun dalam dan setelahnya masih menggunakan adat istiadat setempat sebagai salah satu syarat pelaksanaan perkawinan. Sebagai contoh, dalam Islam kita mengenal istilah mahar yang sudah sedikit disinggung sebelumnya, dalam adat Bugis dikenal dengan istilah sunrang atau sompa’.

Sompa atau sunrang itu besar kecilnya, sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang dipinang dan dihitung dalam nilai rella (real) alah nominal Rp. 2,-. Maskawin yang diberi nilai nominal menurut jumlah rella dapat saja terdiri dari sawah, kebun, keris pusaka, perahu dan sebagainya yang semuanya mempunyai makna penting dalam perkawinan.17

Di lain sisi, dalam adat istiadat Bugis sebelum acara pernikahan (dalam bahasa Bugis mappabotting) terdapat pula beberapa syarat harus dipenuhi oleh mempelai pria yang disebut paenre’. Ia adalah sejumlah uang yang ditetapkan

oleh pihak mempelai wanita kepada calon mempelai pria untuk mengetahui kerelaan atau kemampuan sang calon mempelai untuk menjadi bagian keluarga

16

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 235.

17 Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed.,

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979), h. 269


(18)

mereka. Uang belanja ini digunakan untuk membiayai pesta pernikahan yang digelar pihak wanita. Besaran paenre’ atau panai’ lagi-lagi sangat beragam dan sangat tergantung pada status sosial si calon mempelai wanita. Semakin tinggi status sosial calon mempelai wanita maka tentunya akan semakin tinggi.18

Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang hingga saat ini menggunakan adat istiadat Bugis tersebut adalah Kabupaten Bulukumba, yang dalam prosesi perkawinannya baik sebelum maupun di dalamnya masih mempertahankan adat istiadat tersebut. Dari sudut pandang etnografis, adat istiadat yang masih dipertahankan hingga kini tersebut tentunya mempunyai maksud dan tujuan tertentu, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang secara tersirat mempunyai makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Maka dari itu, atas pertimbangan tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul “MAHAR DAN

PAENRE’ DALAM ADAT BUGIS (Studi Etnografis Hukum Islam Dalam Perkawinan Adat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan)

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:

1. Bagaimana asal-muasal ditetapkannya mahar dan paenre’ dalam

masyarakat Bugis ?

2. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan mahar dan paenre’ oleh

masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba ?

18

Artikel dikutip pada 04 Mei 2014 pukul 15.29 WIB dari MksBolKm.com, disarikan dari buku Tata Cara Perkawinan Menurut Adat Bone: Lembaga Adat Saoraja Bone.


(19)

3. Bagaimana peran pemerintah setempat dalam menanggapi aturan adat tersebut ?

4. Adakah kontradiksi antara hukum postif yang berlaku di Indonesia dengan aturan adat tersebut ?

5. Bagaimana perspektif fiqh dalam memandang penetapan mahar dan

paenre’ dalam masyarakat Bugis ?

6. Apa makna filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat Bugis di Bulukumba mengenai mahar (sunrang) dan panai’ atau paenre’ ?

7. Bagaimana korelasi Islam dengan mahar dan paenre’ dalam Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba ?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar pembahasan pada penelitin ini tidak melebar, maka pembahasan mengenai mahar dan paenre’ (biaya perkawinan yang keseluruhannya ditanggung oleh pihak laki-laki), dibatasi pada mahar dan paenre’ dalam adat Bugis, adat Bugis dibatasi pada seputar pemahaman adat Bugis di Kabupaten Bulukumba (kecuali kecamatan Kajang),19 Sulawesi Selatan.

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Apa yang menjadi dasar dalam menetapkan mahar dan paenre’ oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba ?

19

Terdapat sepuluh 10 kecamatan di Bulukumba, diantaranya: Gantarang, Ujung Bulu, Ujung Loe, Bonto Bahari, Bonto Tiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Rilau Ale, Kindang. Sembilan kecamatan memiliki rumpun suku yang sama yaitu Bugis-Makassar, kecuali Kecamatan Kajang dihuni oleh suku Badui Kajang, yang memiliki adat istiadatnya tersendiri. (Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014. Bulukumba: BPS Bulukumba. 2014.)


(20)

2. Apa makna filosofis yang terkandung dalam pemahaman masyarakat Bugis di Bulukumba mengenai mahar (sunrang) dan panai’ atau paenre’ ?

3. Bagaimana korelasi Islam dengan mahar dan paenre’ dalam Adat Bugis di Kabupaten Bulukumba ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari sebuah penelitian ialah mengungkapkan secara jelas sesuatu yang hendak dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahaman tersebut, maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut ;

1. Untuk menganalisis landasan yang digunakan oleh masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba dalam menetapkan mahar dan paenre’.

2. Untuk memahami sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan perspektif mengenai dunianya, yang berkaitan dengan mahar dan paenre’.

3. Untuk menjelaskan dan mensinergikan serta mengetahui korelasi pandangan Islam tehadap mahar dan paenre’ dalam pemahaman masyarakat Bugis di Kabupaten Bulukumba.

Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut;

1. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum serta masyarakat luas pada umumnya.

2. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan Islam, khususnya dalam bidang studi Hukum Keluarga Islam (ahwal al-syakhshiyyah).


(21)

3. Secara akademis, agar dapat memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis lain untuk mengadakan penelitian yang bersifat etnografis. Sehingga dapat mengharmonisasikan dan mensinergikan kehidupan di Indonesia yang berbudaya dan memiliki adat istiadatnya masing-masing dengan Islam.

E. Kerangka Teori

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah, dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan itu harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.20

Dalam akad nikah tersebut disebutkan nilai, rupa, atau jumlah mahar yang akan diberikan pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan. Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.21 Menurut Peunoh Daly mahar adalah hak isteri yang diterima dari suaminya; pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya. Mahar bukanlah imbalan daripada budhu

20

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 206

21

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 696


(22)

(mempergauli) isteri karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan oleh kedua belah pihak.22

Dasar diwajibkannya meberikan mahar terkandung dalam QS. An-Nisa’ (4): 4 dan QS. An-Nisa’ (4): 24, dan aturan mengenai tata cara pemberiannya tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2): 237 dan QS. Al-Baqarah (2): 236, yang mengindikasikan tidak ada batasan maksimal dalam memberikan mahar, meskipun terapat khilafiyah ulama (perbedaan pendapat) dalam menentukan batasan minimal mahar. Namun dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Al-Baihaqi menyebutkan: dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.23

Dalam prosesi pernikahan adat istiadat Bugis-Makassar, mahar dikenal dengan istilah sunrang (Bugis) atau sompa (Makassar). Sunrang atau sompa sama halnya dengan mahar yang pada umumnya dimaksud, disebutkan dalam akad nikah, namun dalam ketentuan adat istiadat Bugis, termasuk di Bulukumba, nilai atau jumlahya harus disesuaikan berdasarkan strata sosial yang dimiliki oleh pihak mempelai perempuan yang dahulu dinilai dengan rella.24 Sebelum acara pernikahan (dalam bahasa Bugis mappabotting) terdapat pula beberapa syarat harus dipenuhi oleh mempelai pria yang disebut paenre’. Ia adalah sejumlah uang

22

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219

23

Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 13

24 Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makassar”, dalam Koentjaraningrat, ed.,

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 269


(23)

yang ditetapkan oleh pihak mempelai wanita kepada calon mempelai pria, digunakan untuk membiayai pesta pernikahan yang digelar pihak wanita. Jumlahnya pun tergantung pada status sosial calon mempelai wanita.

F. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-masalah dalam penelitian ini, diperlukan suatu metode untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas, tepat dan akurat. Terdapat beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain ;

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research) yang sumber datanya terutama diambil dari obyek penelitian (masyarakat atau komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.25 Penelitian ini merupakan penelitian etnografi. Tentu saja sebagai suatu rancagan penelitian, metode etnografi dengan sendirinya menyediakan perangkat-perangkat yang memungkinkan proses penelitian berlangsung secara lebih baik. Terdapat dua kelompok dalam memandang etnografi (etnografi sebagai paradigma filosofis dan etnografi sebagai sebuah metode dalam penelitian). Namun ada yang yang menganggap etnografi sebagai keduanya, artinya di satu sisi sebagai paradigma filosofis, sedangkan di lain sisi merupakan rancangan penelitian yang hendak dilakukan.26

25

Yayan Sopyan, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Buku Ajar, 2009), h. 28

26

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 59


(24)

Terdapat dua jenis penelitian etnografi, yaitu Tradisional Ethnography

dan Problem-Oriented Ethnography. Traditional ethnography mencoba untuk memberikan gambaran lengkap dari seluruh budaya berdasarkan pengalaman dari para etnografer yang hidup di tengah-tengah masyarakat paling tidak selama satu tahun. Di masa lampau inilah tujuan utama dari etnografi, pada masa kini, banyak etnografer menggunakan pendekatan melalui masalah-masalah yang berorientasi (issue-oriented approach) ke lapangan, yang berkonsentasi pada satu aspek dari sebuah budaya.27 Dan penelitian etnografi ini termasuk kedalam jenis problem-oriented etnography.

Jadi dapat dikatakan bahwa etnografi adalah suatu kebudayaan yang mempelajari kebudayaan lain. Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Etnografi berulang kali bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Etnografi didasarkan pada asumsi berikut: pengetahuan dari semua kebudayaan itu sangat tinggi nilainya.28

2. Metode Pendekatan

Saat ini banyak para etnografer mengambil sebuah pendekatan yang disebut etnografi refleksif. Kategori yang luas ini mengacu pada

27

Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, (New York: The McGraw-Hill Campanies, 2004), Lampiran A, h. 2.

28

James P. Spradley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 12.


(25)

bagian yang mencakup perspektif pribadi dan reaksi dari peneliti di lapangan ketika sedang tenggelam dalam hiruk pikuk situasi di lapangan. Data sering disajikan seolah-olah seperti sebuah dialog yang terjadi antara satu atau lebih informan dari masyarakat asli dengan etnografer tersebut, sehingga lebih menyerupai penulisan sastra daripada sebuah deskripsi ilmiah. Biasanya etnografi tidak memasukkan data pembanding atau kuantifikasi data. Etnografi merupakan cerminan dari pandangan humanistik dan posmedernis.29

Etnografer lainnya masih mencampurkan beberapa pendekatan, etnografer ini menunjukkan komitmennya pada metode ilmiah, dengan penekanan pada pengamatan yang objektif, metode komparatif, dan kuantifikasi data. Di saat yang sama para etnografer memasukkan beberapa elemen refleksif, seperti komentar mengenai perasaan mereka pada saat pengumpulan data, serta sudut pandang dan pendapat dari penduduk asli.30

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan antropologis, pendekatan antropologis lebih diarahkan pada penelusuran pola-pola yang dicita-citakan dalam masyarakat. Antropologi lebih memusatkan pada usaha-usaha untuk merekonstruksikan kebudayaan-kebudayaan didalam suatu keseluruhan atau kebulatan. Pendekatan antropologis akan menghasilkan pola-pola yang ideal dari hukum, yang didasarkan pada aspirasi-aspirasi para warga masyarakat. Bedanya

29

Roberts Edward Leinkeit, Introducing Cultural Anthropology, h. 54.

30


(26)

dengan pendekatan filosofis adalah bahwa antropologi memperoleh hasil-hasilnya dari kontak langsung dengan masyarakat (melalui penelitian di lapangan).31

3. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.32

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bulukumba, kabupaten yang terletak di ujung selatan dari provinsi Sulawesi Selatan. Alasan mengapa penulis memilih Bulukumba sebagai lokasi penelitian terbagi menjadi dua, yaitu alasan subyektif (subjective reason) dan alasan obyektif (objective reason). Subjective reason yang penulis gunakan, karena penulis merupakan bagian dari masyarakat Bugis yang berdomisili di Bulukumba, penelitian ini untuk menjelaskan mindset yang ada alam benak masyarakat Bugis pada umumnya, disamping itu karena jaminan akses atau pengumpulan data-data yang penulis butuhkan dapat terpenuhi dengan baik.

Meskipun begitu, penulis tidak akan menafikkan objective reason

dipilihnya Bulukumba sebagai lokasi penelitian. Pertama, Bulukumba merupakan titik temu (di ujung selatan) antara dua kerajaan besar di Sulawesi

31

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), h. 397-398

32


(27)

Selatan pada zaman dahulu kala, yaitu Kerajaan Gowa (meliputi Makassar, Gowa, Talakar, Jeneponto, Bantaeng), dan Kerajaan Bone (diantaranya Bone dan Sinjai), akulturasi kebudayaan Bugis-Makassar sangat kental, dibuktikan dengan kemampuan mayoritas masyarakat Bulukumba menggunakan dua bahasa daerah (yaitu Bahasa Konjo, dialek yang sama dengan Bahasa Makassar dan bahasa Bugis), sehingga budaya lokal masih dapat terjaga dengan baik, salah satu contoh dalam tradisi perkawinannya. Disamping itu, sebagaimana yang sudah diketahui bersama bahwa Bulukumba merupakan kabupaten pertama di Indonesia yang memberlakukan peraturan daerah (Perda) berbasis syariah, tertuang dalam Perda No. 3 Tahun 2002 tentang Pelarangan Penjualan Minuman Keras, Perda No. 4 Tahun 2003 tentang Berbusan Muslim dan Muslimah, dan Perda No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin di Kabupaten Bulukumba.

Kenyataan tesebut memunculkan anggapan bahwa antara budaya dan agama (Islam) di Bulukumba dapat berjalan beriringan, harmonis, tanpa ada konfrontasi berarti. Hal demikianlah yang mendorong penulis memiliki keinginan untuk menggali lebih dalam perihal adat istiadat dan keagamaan di Bulukumba dengan asumsi “pasti ada sesuatu (alasan) yang dipegang teguh oleh masyarakat Bulukumba di balik itu semua”.

5. Kriteria dan Sumber Data

a. Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara langsung dengan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ilmuwan Bugis. Termasuk keberadaan penulis yang juga


(28)

berasal dari masyarakat atau Suku Bugis yang berdomisili di Bulukumba, tempat dimana data-data dari penelitian ini diambil. b. Data sekunder, dalam penelitian ini data yang digunakan penulis

adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain, pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia.33 Selain itu data yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang didapatkan selain data primer. Data ini juga dikumpulkan melalui studi pustaka yang berkaitan diantaranya buku-buku fiqh, sejarah, dan data lain yang terkumpul yang mempunyai hubungan dengan tema ini.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Umumnya cara mengumpulkan data dapat menggunkan teknik: wawancara (interview), angket (questioner), pengamatan (observation), studi dokumentasi, dan Focus Group Discussion (FGD).34 Penulis menggunakan teknik sebegai berikut:

a. Tehnik observasi, yaitu dengan cara mengadakan analisa, pengamatan dan pencatatan secara terperinci serta sistematis tentang mahar dan

paenre’ di Kabupaten Bulukumba. Observasi dilaksanakan dalam kurun waktu satu bulan agar mendapatkan penjelasan lebih terperinci.

33

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 37

34

Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 138


(29)

b. Tehnik inteview (wawancara), selama ini metode wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang efektif dalam pengumpulan data primer dilapangan.35 Mengggunakan pedoman secara mendalam dengan pokok permasalahan guna menghidari penyimpangan dari masalah penelitian dan kevakuman selama wawancara.

c. Studi dokumentasi yaitu meliputi studi bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan hukum sekunder.36 Juga data yang diperoleh dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini. d. Studi pustaka yaitu pengindentifikasian secara sistematis dan

melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari dua langkah yaitu kepustakaan penelitian yang meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan, dan kepustakaan konseptual meliputi artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang apa yang baik dan buruk, hal-hal yang diinginkan dan tidak dalam bidang masalah.37

35

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 57.

36

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Peneiltian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 82.

37

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18.


(30)

G. Review Studi Terdahulu

Untuk menemukan pembahasan dan penulisan skripsi ini penulis menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis sampaikan dalam penulisan skripsi, diantaranya yaitu;

No JUDUL PEMBAHASAN PERBEDAAN

1 Konsep Mahar

Menurut Empat Imam Mazhab oleh Eva Fatimah pada Tahun 2004. Membahas tentang mahar menurut imam mazhab empat dalam hal syarat-syarat mahar, diwajibkannya mahar, macam-macam mahar, dan hikmah pemberian mahar.

Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis susun adalah skripsi tersebut lebih menekankan pada kajian mahar menurut empat mazhab sedangkan pembahasan yang disusun oleh penulis mengenai studi etnografis pada pemahaman masyarakat Bugis di Bulukumba perihal mahar dan paenre’ .

2 Konsep Mahar

Dalam Counter Legal Draft (CLD) Hukum Islam) oleh Azwar Anas

Membahas mengenai konsep mahar dalam CLD KHI yang berisi tentang syarat, bentuk, dan kadar

Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis susun ialah bahwa skripsi yang penulis susun lebih menekankan mahar dan


(31)

pada Tahun 2011,

mahar. masyarakat Bugis di

Kabupaten Bulukumba. 3 Impelementasi

Pemberian Mahar Pada Masyarakat Suku Bugis Dalam Perspektif Hukum Islam, Studi Kasus di Kelurahan Kalibaru Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara

oleh Nurul Hikmah pada Tahun 2011.

Membahas tentang bagaimana

perspektif hukum Islam mengenai mahar dalam suku Bugis di Kelurahan Kalibaru, Jakarta Utara.

Perbedaan dengan skripsi tersebut susun adalah bahwa skripsi ini fokus kepada pandangan hukum Islam terhadap mahar dalam suku Bugis yang berada di daerah Kalibaru, Jakarta Utara. sedangkan skripsi yang akan penulis susun adalah studi etnografis pada masyarakat Bugis di Bulukumba tentang mahar dan paenre

H. Sitematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun penulisan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut;


(32)

a. Bab Kesatu, merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, review studi terdahulu, dan kerangka teori, beserta sistematika penulisan.

b. Bab Kedua, membahas mengenai eksistensi mahar dalam perkawinan: meliputi pengertian mahar, dasar hukum mahar, syarat dan jenis-jenis mahar, ketentuan mengenai bentuk dan kadar mahar, tujuan dan hikmah mahar: antara akad muamalah atau nihlah serta halalnya istimta’’: sebab akad atau mahar.

c. Bab Ketiga, membahas mengenai budaya masyarakat Bugis di Bulukumba Sulawesi Selatan, yaitu potret kabupaten Bulukumba, sistem kemasyarakatan dalam adat Bugis, prosesi perkawinan dalam adat Bugis, Islam dan budaya, masuknya Islam di Sulawesi Selatan, mahar dalam perspektif budaya di Indonesia.

d. Bab Keempat, membahas mengenai mahar dan paenre’: tinjauan etnografis hukum Islam, meliputi mahar dan paenre’ dalam perspektif masyarakat Bugis di Bulukumba, makna mahar dan paenre’ dalam sudut pandang masyarakat Bugis di Bulukumba, serta harmonisasi mahar dan paenre’ dalam perspektif masyarakat Bugis di Bulukumba dengan Islam yang berupa sebuah analisis dari penulis.

e. Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran terkait kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir pembahasan beserta lampiran-lampiran terkait.


(33)

BAB II

EKSISTENSI MAHAR DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian Mahar

Secara etimologi mahar berasal dari bahasa Arab merupakan kata benda yang berbentuk mashdar (ًار م) yang berasal dari عف (kata kerja) ًار م -ر -ر م, sedangkan jika digunakan dalam sebuah kalimat seperti أر لا ر م(dia (laki-laki) memberikan mahar kepada perempuan) atau ًار م ا ل عج artinya (memberinya mahar).1 Adapun ر لا (jamak: ر م )bermakna ا ِصلا yang berarti maskawin.2

Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai bentuk ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya, atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon isterinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar dan sebagainya).3

Mahar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.4 Mahar juga disebut sebagai harta yang wajib dalam akad nikah atas isteri dalam menerima beberapa manfaat budhu

1

Ibrahim Madzkur, al-Mu’jam al-Wasiith, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid ke-2, h. 889. 2

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1363

3

Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h, 84.

4

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 696


(34)

(mempergauli). Mahar memiliki beberapa nama, yaitu; , ض ر لا , لحّلا , ا صلا

رقعلا ,

ر لا , رجأا .5 Makna dasar shadaq yaitu memberikan derma (dengan sesuatu),

nihlah artinya pemberian, fariidhah artinya memberikan.6

Namun menurut Peunoh Daly mahar adalah hak isteri yang diterima dari suaminya; pihak suami memberikannya dengan suka rela tanpa mengharap imbalan sebagai pernyataan kasih sayang dan tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya. Mahar bukanlah imbalan daripada budhu

(mempergauli) isteri karena kenikmatan dan kesenangan bergaul itu dirasakan oleh kedua belah pihak.7

Mahar atau shadaq dalam hukum perkawinan Islam merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan. 8 Mahar adalah satu diantara hak isteri yang didasarkan atas

Kitabullah, Sunnah Rasul, dan Ijma’ kaum muslimin.9 Mahar dalam bahasa Indonesia dikenal atau disebut juga dengan maskawin. Maskawin atau mahar menurut Abd. Shomad adalah: 10

5

Ibnu Humam, Syarah Fath al-Qadiir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 316

6

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 121

7

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219

8

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 68

9

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk., (Jakarta: Lentera, 1999), h. 364.

10

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,


(35)

a. Pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib.

b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam rangka akad perkawinan antara keduannya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon isteri serta kesediaan calon isteri untuk menjadi isterinya.

Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 huruf d

disebutkan; “Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,

baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

B. Dasar Hukum Mahar

Hukum pemberian mahar adalah wajib.11 Adapun dasar hukum kewajiban mengenai mahar terdapat pada QS. An-Nisa‟ (4): 4 ;

 

 

  

 

 



 

 

Artinya: ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”12

11

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam. h. 68

12

Menurut Abu Ja‟far bin Jarir At-Thabari makna ( لح ّن تاق ص ءاسّلا تا ) adalah bahwa Allah

Ta‟ala mengawali ayat ini dengan khitab yang ditujukan kepada orang-orang yang menikahi kaum perempuan, kemudian Allah melarang mereka berbuat zalim dan aniaya terhadap kaum perempuan, serta memberitahukan kepada mereka jalan yang dapat menyelamatkan mereka dari

kezaliman terhadap perempuan. Makna firman Allah ini adalah “berikanlah mahar kepada kaum


(36)

Dalam QS. An-Nisa‟ (4): 24 juga disebutkan ;                     ...

Artinya: “Dihalalkan bagimu (mengawini) perempuan-perempuan dengan hartamu (mahar), serta beristeri dengan dia, bukan berbuat jahat. Jika kamu telah menikmati (bersetubuh) dengan perempuan itu, hendaklah kamu memberikan kepadanya mas kawin (ujur, faridhah) yang telah kamu tetapkan.”

Berangkat dari ayat-ayat ini para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur‟an, sunnah dan ijma‟.13 Hadis Nabi Saw. ;

ع نم ءيش ؟ لاق : ها ا ا ل سر ها , لاقف : ب ا ىلا ل ا رظ اف جت ا يش . ب ف ّمث عجر لاقف : ا ها ام ج ا يش . لاقف ل سر ها : رظ ا ل ا تاخ م ن ح . ب ف ّمث عجر لاقف : ا ها ا ل سر ها ا ا تاخ نم ح ن ل ا را ا ا لف ص . لاقف ل سر ها : ام ع صت را اب ا تسبل مل ن ي ا يلع م ءيش ا تسبل مل ن ا يلع م ءيش . سلجف جرلا ىّتح ا ا لاط سلجم اق ارف ل سر ها ًايلا م رماف ب ف يع , اّ لف ءاج لاق : ا ام عم نم ارقلا ؟ لاق : يعم ر س ا ا – ا دّع - لاقف : ّن ؤرقت نع ر ظ بلق ؟ لاق : مع . ق : ب ا , قف ا ت لم ا ب عم نم ارقلا .

Artiya: “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar ? tidak, demi Allah wahai Rasulullah, jawabnya. “Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu” pinta Rasulullah. Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia pun kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun” ujarnya. Rasulullah bersabda: “Carilah walaupun hanya berupa cincin dari besi”. Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah wahai Rasulullah, saya tidak mendapatkan dalam ayat ini) merupakan perintah Allah yang ditujukan kepada para suami kaum perempuan yang telah menggauli mereka, sekaligus telah mennetukan mahar untuk mereka. Perintah ini adalah perintah untuk memberikan mahar kepada mereka, bukan karena wanita yang dicerai sebelum digauli dan sebelum ditentukan maharnya dalam akad nikah. Mengenai makna ayat ( اف

...م ل نبط.) Abu Ja‟far berkata: maknanya adalah “kemudian jika ister-isterimu menyerahkan kepadamu wahai kaum lelaki, sebagian dari mahar mereka, karena kebaikan hati mereka atas hal itu, maka makanlah (ambillah) pmberian itu (sebagai makanan) yang sedap dan baik akibatnya.

Lihat Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, penerjemah Akhmad Afandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 411-415.

13

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut, Dar al-Fikr, 1986), Juz VII, h. 252


(37)

walau cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini”. “Apa yang dapat kau perbuat dengan sarungmu ? jika kau memakainya maka wanita ini tidak mendapat sarung itu, dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.” Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut, ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah, beliau bertanya: “Apa yang kau hafal dari Al-Qur’an ?” “Saya hafal surat ini dan sura itu” jawabnya. “Benar-benar engkau menghafalnya dalam hatimu ?” tegas Rasulullah. “Iya” jawabnya. “Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanta ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur’an yang engkau hafal.” Kata Rasulullah. (HR. Al-Bukhari No. 5087).14

C. Syarat dan Jenis-jenis Mahar

Menurut M.A. Tihami dan Sohari Fahrani, mahar yang diberikan kepada calon isteri harus memenuhi syarat-syarat berikut: 15

1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tapi bernilai tetap sah disebut mahar.

2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat, tidak sah mahar dengan memberikan khamr, babi atau darah, karena semua itu haram.

3. Bukan barang ghasab, artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat mengembalikannya nanti. Jika memberikan mahar dengan barang hasil

ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah, dan bukan barang yang tidak jelas keadaanya, tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak

14

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah, 1998), Juz II, h. 251

15

M. A. Tihami dan Sohari Fahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 39-40


(38)

jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.

Kemudian berdasarkan jenisnya, mahar dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu;

a. Mahar musamma, adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perawan yang disebutkan dalam redaksi akad.16

b. Mahar mitsil, menurut Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi menurut Maliki, mahar diterapkan berdasarkan kedaan wanita

tersebut baik fisik maupun moralnya, sedangkan Syafi‟I

menganalogikannya dengan isteri dari anggota keluarga, yaitu isteri saudara dan paman, kemudian dengan saudara perempuan, dan seterusnya. Bagi Hambali, hakim harus menentukan mahar mitsil dengan menganalogikannya pada wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi. Sementara itu Imamiyah mengatakan bahwa, mahar mitsil tidak mempunyai ketentuan dalam syara‟. Untuk itu,

nilainya ditentukan oleh „urf yang paham ihwal wanita, baik dalam hal nasab maupun kedudukan, juga mengetahui keadaan yang dapat menambah atau berkurangnya mahar, dengan syarat tidak melebihi mahar yang berlaku menurut ketentuan sunnah, yaitu senilai 500 dirham.17

16

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff., h. 364

17

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 368.


(39)

Jenis barang yang dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat dijadikan mahar dapat berupa;18

a. Barang berharga baik berupa barang bergerak atau tetap; b. Pekerjaan yang dilakukan oleh calon suami untuk calon isteri; c. Manfaat yang dapat nilai dengan uang.

Mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan, atau benda-benda lainnya yang mempunyai harga. Disyaratkan bahwa mahar harus diketahui secara jelas dan detail, misalnya seratus lire, atau secara global semisal sepotong emas, atau sekarung gandum. Kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang memungkinkan diperoleh penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali Maliki, akad tetap sah, tetapi maharnya batal. Sedangkan Maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid (tidak sah) dan di-fasakh sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil.19

Syarat lain bagi mahar adalah hendaknya yang dijadikan mahar itu barang yang halal dan dinilai berharga dalam syariat Islam. Jadi, kalau mahar musamma

itu berupa khamr, babi atau bangkai dan benda-benda lain yang tidak bisa dimiliki secara sah, maka Maliki mengatakan bahwa bila belu terjadi percampuran, akadnya fasid. Tetapi bila telah terjadi percampuran, maka akad dinyatakan sah

18

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 299

19

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366


(40)

dan si isteri berhak atas mahar mitsil. Sementara itu, Syafi‟I, Hanafi, dan Hambali dan mayoritas ulama‟ mazhab Imamiyah berpendapat bahwa, akad tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama mazhab Imamiyah member batasan bagi hak isteri atas mahar mitsil denga adanya percampuran, sedangkan sebagian yang lain, sependapat dengan empat mazhab, memutakkannya (tidak memberi batasan).20

Jika mahar tersebut berupa barang rampasan, misalnya suami memberi mahar berupa perabot tumah tangga milik ayahnya atau milik orang lain, maka Maliki berpendapat bahwa, kalau perabot itu barang yang dikenal oleh mereka berdua, sedangkan kedua-duanya dewasa, maka akadnya dinyatakan fasid dan difasakh

sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila sudah dicampuri, akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil. Syafi‟I dan Hambali menyatakan bahwa akad

tetap sah dan isteri berhak atas mahar mitsil.21

D. Ketentuan Mengenai Bentuk dan Kadar Mahar

Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf. Besarnya mahar tidak dibatasi. Islam

memberikan prinsip pokok yaitu “secarama’ruf”. Artinya dalam batas yang wajar sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri.22

Syariat tidak menetapkan batasan minimal, tidak pula maksimal atas mahar

20

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366, h. 366

21

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muahammad, dan Idrus Al-Kaff, h. 366-367

22


(41)

(yang harus diberikan kepada pihak perempuan). Sebab, manusia memiliki keberagaman dalam tingkat kekayaan dan kemiskinan. Manusia pun berbeda-beda dari segi kondisi sulit dan lapang, serta masing-masing komunitas memiliki kebiasaan dan tradisi yang berbeda-beda. Dari itu, syariat tidak memberi batasan tertentu atas mahar, agar masing-masing memberi sesuai dengan kadar kemampuannya dan sesuai dengan kondisi serta kebiasaan komunitasnya. Dari semua teks syariat yang ada mensinyalir bahwasanya tidak ada syariat terkait jenis mahar selain berupa sesuatu yang memiliki nilai tanpa memandang sedikit maupun banyak. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi, atau berupa semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan atau semacamnya, jika kedua belah pihak yang melaksanakan akad nikah saling meridhainya.23

Adapun benda atau uang pemberian itu adalah milik perempuan. Jika dikehendaki olehnya atau atas inisiatif dari perempuan itu maka bolehlah suami sekedar ikut memakan dan ikut hidup dari mahar yang ia berikan, yang telah menjadi milik isteri.24 Mengenai ketentuan mahar, jumlahnya tergantung dari kemampuan calon suami atas persetujuan isteri, namun hendaklah tidak berlebihan.25

Jabir ra. menuturkan, Rasulullah bersabda; “Seandainya seorang pria memberi makanan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang wanita,

23

As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Dar al-Fath li I‟lam al-„Arabi, 1999), h. 101-102 24

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, h. 68

25


(42)

sesungguhnya wanita itu halal baginya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)26. Para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar tersebut karena adanya firman Allah QS. An-Nisa‟ (4): 20 yang berbunyi ;

 

 

 



 

 

 

Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”27

Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟I, Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy. Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar mahar sepuluh dirham. Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham. Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih antara tiga dirham (dengan melanjutkan

26

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu Dawud, Penerjemah Muhammad Ghazali dkk., (Jakarta: Almahira, 2013), Cet. I, h. 434

27

Dari ayat ini dipahami bahwa tidak ada batas maksimal dari maskawin. Umar ibn al-Khattab pernah mengumumkan pembatasan maskawin tidak boleh lebih dari empat puluh auqiyah

perak, tetapi seorang wanita menegurnya dengan berkata, “Engkau tidak boleh membatasinya, karena Allah berfirman: Kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka qinthar (harta yang banyak)”. Umar ra. membatalkan niatnyaa sambil berkata, “seseorang wanita berucap benar dan seorang pria keliru”. Lihat dalam M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. II, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 366-367


(43)

perkawinan) atau fasakh akad, lalu mebayar separuh mahar musamma.28

Dalam hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar tetapi didasarkan pada kemampuan masing-masing orang keadaan dan tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal namun hendaknya berdasarkan pada kesanggupan dan kemampuan suami. Islam tidak menyukai mahar yang berlebihan,29 Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

نع نبا ساّبع يضر ها ع لاق ل سر ها ىّلص ها يلع مّلس : ريخ ءاسّلا ّن سحا اً ج ّن صخرا اًر م ) ا ر يق يبلا ( 30

Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a., telah berkata Rasulullah Saw: sebaik-baiknya wanita (isteri) adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya.

(HR. Al-Baihaqi).

Berkaitan dengan pembayaran mahar terdapat beragam pendapat, Syafi‟I,

Malik, dan Dawud berpendapat suami tidak wajib memberikan mahar seluruhnya, kecuali jika telah diawali dengan persetubuhan, dan jika masih menyendiri (belum melakukan persetubuhan), maka hanya wajib membayar setengahnya.31 Dalam QS. Al-Baqarah (2): 237 disebutkan;

     28

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B. dkk., h. 364-365

29

Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h. 301

30

Ahmad Ibn Al-Hasan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz III, h. 13

31


(44)

                                 

Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.

Jika jumlah maharnya belum ditentukan dan isteri belum pernah dicampuri, maka isteri hanya berhak mendapatkan pemberian menurut keadaan suaminya. Pemberian ini sebagai ganti rugi dari apa yang diberikan oleh mantan isterinya, hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah (2): 236;32



                          

Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

E. Tujuan dan Hikmah Mahar: Antara Akad Muamalah dan Nihlah

Sehubungan dengan aspek sosial perkawinan, maka hal itu didasarkan pada anggapan bahwa orang yang melangsungkan perkawinan berarti telah dewasa dan

32


(45)

berani hidup mandiri, karena itu kedudukannya terhormat, kedudukannya dalam masyarakat dihargai sepenuhnya. Mahar merupakan lambang penghalalan hubungan suami isteri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian menjadi isterinya. Maka dari itu, tujuan dan hikmah mahar merupakan jalan yang menjdikan isteri berhati senang dan ridho menerima kekuasaan suaminya kepada isterinya, selain itu mahar juga bertujuan;33

a. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai.

b. Sebagai usaha memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya.

Salah satu usaha Islam ialah memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikannya hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak wanita itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dapat semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu Islam datang menghilangkan belenggu itu, kepadanya hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Mahar yang telah dibayarkan suami kepada isterinya menjadi hak milik isterinya, oleh karena itu isteri berhak membelanjakan, menghibahkan dan sebagainya tanpa harus izin dari suami atau walinya.34

Perihal jenis-jenis maskawin ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki, dan bisa

33

H.E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 299-301

34


(46)

dijadikan sebagai alat kompensasi atau nilai tukar. Perihal sifat-sifat maskawin, para ulama sepakat sah hukumnya pernikahan berdasarkan penukaran dengan suatu barang tertentu yang dikenal sifatnya, yakni yang tertentu jenis, besar, dan nilainya. Kemudian mereka berselisih pendapat tantang barang yang tidak diketahui cirinya dan tidak ditentukan jenisnya. Contohnya seperti seseorang

mengatakan, “Akan aku kawinkan kamu dengannya dengan maskawin seorang budak”, tanpa menjelaskan ciri-cirinya hingga dapat diketahui berapa harga atau nilainya.35

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, membolehkannya. Sementara Imam

Syafi‟i melarangnya. Jika terjadi pernikahan seperti itu, menurut Imam Malik,

mempelai wanita berhak memperolah maskawin seperti yang disebutkan untuknya. Tetapi menurut Imam Abu Hanifah, mempelai pria dipaksa untuk mengganti nilainya.36 Silang pendapat ini karena persoalan, apakah pernikahan seperti itu dapat disamakan dengan jual beli yang harus kikir, atau tidak sampai sejauh itu

35

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah Abdul Rasyid Shiddiq, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2013), h. 84-87

36Kata Imam Syafi‟i dan Ahmad, maskawin harus jelas. Abu Bakar, salah seorang ulama dari mazhab

Hanbali setuju pada pendapat ini. Sementara menurut al-Qadhi yang juga dari mazhab Hanbali, maskawin boleh tidak jelas asalkan tidak kurang dari yang standar atau mahar mitsil. Imam Abu Hanifah setuju pada pendapat ini. Lihat al-Mughni VI/261. Dan lihat ar-raudhah VII/268. Ad-Dardiri dalam kitabnya Syarah Aqrab al-Masalik menuturkan beberapa masalah terkait yang terkait dengan sesuatu yang mungkin ditentukan

dan yang tidak mungkin. Katanya, tidak sah maskawin dengan sesuatu yang mengandung unsur gharar atau

penipuan. Contohnya seperti maskawin dengan budaknya fulan atau dengan janin atau dengan buah yang belum tampak kepatutannya. Kalau buah tersebut langsung dipetik pada waktu itu juga, maka ditoleransi, meskipun akhirnya tidak sah dijual. Juga tidak boleh maskawin dengan sesuatu yang tidak jelas, seperti misalnya dengan baju atau barang apa saja yang tidak dijelaskan ciri-cirinya, atau dengan beberapa dirham yang tidak dijelaskan nominalnya, atau dengan salah seorang budak miliknya yang ia pilihkan sendiri, bukan dipilih oleh wanita yang hendak dinikahinya. Sebab mungkin yang di pilihkan ialah budak yang nilainya paling rendah atau paling tinggi. Tapi kalau memilih diantara budak itu adalah wanita yang hendak dinikahinya, hukumnya boleh. Lihat asy-Syarh ash-Shaghir II/420. Kata imam Abu Hanifah, begitu pula tidak boleh pernikahan dengan menggunakan maskawin sepotong baju atau sebuah rumah atau seekor ternak secara mutlak, karena tidak jelas. Jadi, wanita berhak mendapatkan mahar mitsil, berapapun nilai nominalnya. Atau dengan maskawin seorang budak laki-laki maupun perempuan, seekor kuda, atau seekor unta, atau seekor sapi, dan sebagainya dari jenis yang sudah jelas tetapi berbeda sifat dan nilainya. Maka sang suami boleh memilih; apakah ia akan memberikan dari yang tengah-tengah, atau ia memberikan nilainya. Dan isteri harus


(47)

namun memberi sesuatu yang lebih tinggi dari itu, sebagai realisasi kedermawanan ?. Ulama-ulama yang menyamakannya dengan jenis jual beli yang pertama, mereka mengatakan kalau jual beli suatu barang yang tidak diketahui ciri-cirinya dilarang, maka begitu pula dengan pernikahan seperti itu. Dan ulama-ulama yang menyamakannya dengan jenis yang kedua, mereka mengatakan bahwa pernikahan seperti itu boleh.37

Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama, ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang berlaku dalam akad jual beli, atau sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya, sehingga dengan begitu ini mirip dengan kompensasi. Dari dari aspek yang lain, adanya larangan mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin, sehingga dengan begitu ini mirip dengan ibadah.38

F. Kehalalan Istimta’: Sebab Akad atau Mahar

Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab utama dihalalkannya wath’ (dengan akad ataukah dengan mahar), maka dari itu perlu kita tinjau kembali definisi pernikahan menurut para mujtahid, sebagai berikut;

1. Nikah berarti mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang di dalam syariat dikenal dengan

37

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah AR. Shiddiq, h. 86

38


(48)

akad nikah. Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga. Bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki. Maksudnya, pengaruh akad ini bagi lelaki adalah memberi hak kepemilikan khusus, maka lelaki lain tidak boleh memilikinya. Sedangkan pengaruhnya terhadap perempuan adalah sekedar menghalalkan bukan memiliki hak secara khusus. Lebih gamblangnya, syariat melarang poliandri dan membolehkan poligami.39 2. Para ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad

yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Sebagian ulama hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari kemaluan.40 3. Adapun Muhammad Abu Zahrah berpendapat, bahwa sebagian ulama

mengartikan nikah dengan sebuah akad yang mengakibatkan

39

Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 29

40


(49)

dihalalkannya istimta‟.41

Jadi halalnya wath‟ disebabkan oleh telah terjadinya akad pernikahan, namun berbeda dengan Imam Abu Hanifah (dalam salah satu pendapatnya) berpendapat bahwa mahar adalah yang menjadikan halal menikmati kemaluan wanita.42

41

Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, (Kairo: Daar al-Fikr al-„Arabi, t.th.), h. 18

42


(50)

BAB III

BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DI BULUKUMBA SULAWESI SELATAN

A. Potret Kabupaten Bulukumba

Kabupaten Bulukumba terletak di bagian selatan jazirah Sulawesi dan berjarak kurang lebih 153 kilometer dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, terletak antara 05020‟ - 05040‟ lintang selatan dan 119058‟-120028‟ bujur timur. Berbatasan dengan Kabupaten Sinjai di sebelah utara, sebelah timur dengan Teluk Bone, sebelah selatan dengan Laut Flores, dan sebelah barat dengan Kabupaten Bantaeng. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba sekitar 1.154,7 km2 atau sekitar 2,5 persen dari luas wilayah Sulawesi Selatan yang meliputi sepuluh kecamatan yang terbagi kedalam 27 kelurahan dan 109 desa. Wilayah Kabupaten Bulukumba hampir 95,4 persen pada ketinggian 0 sampai dengan 1000 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan tingkat kemiringan tanah umumnya 0-400. Terdapat sekitar 32 aliran sungai yang dapat mengairi sawah seluas 23.365 hektar, sehingga merupakan daerah potensi pertanian. Curah hujannya rata-rata 152 mm perbulan dan rata-rata hari hujan 10 hari per bulan.1

Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah. Akhirnya setelah

1

Badan Pusat Statistik Bulukumba, Statistik Kabupaten Bulukumba 2014, (Bulukumba: BPS Bulukumba, 2014), h. 3


(1)

Nomor

Lampiran

Hal

:01

:

Surat Keter angan T elah Melakukaka n W atvanc ar a

Kepada

Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN

Syarif Hiday atullah J akarta

di

Jakarta'

Kami

sebagai narasumber/informan dengan

ini

menerangkan bahwa :

Nama

:

Andi

fuyraf

NIM

:1111044100031

Tempat/Tgl.I

ahir

:Makassar, 12 Oktober 1993

Semester

:

VItr

(Delapan)

Jurusan/tr(onsentrasi : Hukum Keluarga

IslamlPeradilan-Agama

a

Alamat

: Jln. Jend.

A.

Yani Komp. Lapas

No.

3 Taccorong gufukumba Benar-benar

telah'melakukan

wawancara

dan pencarian

data

dalam

rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul

Mahar

darn

Paenre'Dalam

Adat

Bugis:

Etnografi

Hukqm

Islam Dalam Perkawinan

Adat

Bugis

di Kabupaten

Bulukumba.

Demikian surat keterangan

ini

kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bulukumba,/9

Juli 2015 Narasumber


(2)

Nomor

Lampiran

HaI

:01

:

Surat Keterangan Telah Melakukaka nWawancara

Kepada

Yttq

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN

Syarif lFridayahtllah Jakarta di

Jakarta

Kami

sebagai narasumber/informan dengan

ini

menerangkan bahwa :

Nama

:

Andi Asyraf

NIM

: 1111044100031

Tempat/Tgl.

Lahir

:Makassar, 12

Oltober

1993

Semester

:

VItr

@elapan)

Jurusan/I(onsentrasi

: Hukum Keluarga Islam/Peradilan' Agama

Alamat

: Jln. Jend.

A.

Yani Komp. Lapas

No.

3 Taccorong Brrtirkumba

Benar-benar

telah

melakukan wawancara

dan

pencarian

data dalam

rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul

Mahar

dan

Paenre'I)alam Adat

Bugis:

Etnografi

Hukum

Islam Dalam Perkawinan

Adat

Bugis

di Kabupaten Bulukrrmba.

Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bulukumba,28

luli}A]S

Narasumber

&'k,9


(3)

Nomor

Lampiran

Hal

:0I

:-;

Surat Keter angan T elah Melakukaka n W aw anc ar a

Kepada Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta di

Jakarta

Nama

NIM

Kami

sebagai narasumber/informan dengan

ini

menerangkan bahwa :

:

Andi Asyraf

:1111044100031

Tempat/Tgl.

Lahir

:Makassar, 12 Oktober 1993

Semester

:

VIII

@elapan)

Jurusan/Konsentrasi

: Hukum Keluarga

Islam/peradilqn-Aga3

b

Alamat

: Jln. Jend.

A.

yani

Komp. Lapas

No.

3 Taccorong gurukumba

Benar-benar

telah'melakukan

wawancara

dan pencarian

data

dalam

rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul

Mahar

dan

Paenre'

Dalam

Adat

Bugis:

Etnografi

Hukum

rslam Dalam Perkawinan

Adat

Bugis

di Kabupaten Bulukumba.

Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bulukumb4e!Juli

2015 Narasumber


(4)

Hal

:

Surat Keter an gan T el ah Met ala*akan W ar,v anc ar a

Kepada

Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

LnN

Syarif lirday atullah J akarta di

Jakarta

Kami

sebagainarasumber/informan dengan

ini

menerangkan bahwa

:

Nama

:Andi

fuyraf

NIM

: llllO44l00031

TempaVTgl.

Lahir

:Makassar, 12 Oktober 1993

Semester

:

VItr

@elapan)

Jurusan/I(onsentrasi

: Hukum Keluarga Islam/peradilan,Agag

u

,.

.

Alamat

: Jln. Jend.

A,

yani

Komp. Lapas

No.

3 Taccorong Burukumba

Benar-benar

telah

melakukan wawancara

dan

pencari

an

datadalam

rangftatugas

peneliatian skripsi yang berjudul

Mahar

dan

Paenre'Dalam

Adat

Bugis:

Etnografi

Hukum

rslam Dalam Perkawinan Adat

Bugis

di Kabupaten Bulukumba.

Demikian surat keterangan ini kami buat, agar dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bulukumba,Ll

Juli2Ol5

Narasumber


(5)

Nomor

Lampiran

Hal

Kepada

Yth,

Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN

Syariftlidayatullah

I akana

di

Jakarta

Nama

NIM

Tempat/Tgl.

Lahir

Semester

JurusanlKonsentrasi Alamat

:01

:-;

Surat Keterangan Telah

MelakukakanWawancan

Kami

sebagai narasumber/informan dengan

ini

menerangkan bahwa :

:

Andi Asyraf

:1111044100031

:Makassar, 12 Oktober 1993 :

VItr

@elapan)

: Hukum Keluarga Islam/Peradilqn-Aga3 a

: Jln. Jend.

A.

Yani Komp. Lapas

No.

3 Taccorong Buldkumba Benar-benar

telah

melakukan wawancara

dan

pencarian data

dalam

rangka tugas peneliatian skripsi yang berjudul

Mahar

ilan

Paenre' I)alam

Adat

Bugis:

Etnografi

Hukum

Islem Dalam Perkawinan

AdetBrigir diKabupaten

Butukumba.

Demikian surat keterangan

ini

kami buat, agar dipergunakan sebagairnana mestinya.

Bulukumb4lr luti zots

Narasumber


(6)

PROSESI MAPPABOTTING (WALIMAH PERNIKAHAN)

DALAM ADAT ISTIADAT BUGIS DI BULUKUMBA