Makna Ungkapan Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyrakat Batak Toba
MAKNA UNGKAPAN DALAM UPACARA ADAT
PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA
SKRIPSI
Oleh
VERA NURCAHAYA HUTAPEA
NIM 060701039
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
MAKNA UNGKAPAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA
Oleh
VERA NURCAHAYA HUTAPEA NIM 060701039
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh
Pembibing I, Pembimbing II,
Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum. Drs. Asrul Siregar, M. Hum. NIP 19610721 198803 1 001 NIP. 19590502 198601 1 001
Departemen Sastra Indonesia
Ketua,
Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP 19620419 198703 2 001
(3)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat pada karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Juni 2010 Penulis,
(4)
MAKNA UNGKAPAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYRAKAT BATAK TOBA
Vera Nurcahaya Hutapea Fakultas Sastra USU
ABSTRAK
Salah satu hubungan hukum antara manusia itu adalah adanya perkawinan. Perkawinan manusia sangat penting dalam kehidupannya, sebagai pelanjut keturunan. “Perkawinan bagi masyarakat manusia bukan sekadar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda sebagaimana mahluk lainnya, tetapi perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, bahkan dalam pandangan masyarakat adat perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai”. Hukum adat Batak Toba, khususnya perkawinan sangat memperhatikan prinsip dasar yaitu dalihan na tolu (artinya tungku nan tiga), yang merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak, serta perkawinan berpegang teguh pada prinsip ini, karena Dalihan Na Tolu tidak dapat dipisahkan dari hukum adat Batak Toba, tetapi bagian dari adat isdiadat masyarakat adat Batak. Upacara adat Batak Toba sangat memerlukan ungkapan untuk menyampaikan dengan apa yang dimaksud penutur. Karena itulah penulis merasa tertarik untuk mengadakan suatu penelitian ataupun pengamatan secara ilmiah terhadap proses perkawinan adat yang penulis coba tuangkan dalam karya tulis ilmiah yaitu skripsi ini dengan judul “Makna Ungkapan dalam Perkawinan Batak Toba”. Ungkapan disini adalah ungkapan yang disampaikan untuk menyatakan makud dari apa yang di ungkapkan.
(5)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi yang berjudul “Makna Ungkapan dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba” ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Banyak pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Sastra USU. 2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum., sebagai Ketua Departemen dan Ibu
Dra. Mascahaya, M. Hum sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU yang telah memberikan dukungan kepada penulis mengikuti perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia.
3. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum., sebagai dosen pembimbing I yang telah banyak dan sabar memberikan ilmu serta dukungan selama penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Drs. Asrul Siregar, M. Hum., sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan ilmu dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum., sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.
7. Kedua orang tuaku yang tercinta, ayahanda C. H. Hutapea (Alm) dan Ibunda S. M. Sianturi yang sangat sabar, setia memberikan doa serta dukungan baik moral dan material kepada penulis sehingga penulis bisa
(6)
sampai seperti ini. Semua ini penulis persembahkan buat ayah dan bunda semoga ilmu yang telah penulis dapatkan bisa bermanfaat dan bisa membalas segala pengorbanan, kesabaran,kesetiaan yang telah ayah dan ibu berikan.
8. Kakanda Dede yang telah banyak memberikan bantuan dan kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan administrasi di Departemen Sastra Indonesia
9. Abang Karsi Sonatra, Martondi Huperi dan kakak Erna Friyanti penulis yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi untuk penyelesaian skripsi ini.
10.Kakak Junita yang telah memberikan doa dan semangat serta kakak dan abang senior lainnya yang walaupun sudah alumni tetapi tetap memberikan semangat dan motivasi.
11.Semua teman di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU stambuk ’06 dan khususnya Bambang, Nely, Saripah, Triana, Vero, Marlina, Leto, Monic, Juli, Dewi, Lely dan teman-teman yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih sudah menjadi sahabat baik buat penulis.
12.Semua teman SMA khususnya Riva, Sri, Dewi, Fauziah, Roben, Dego, Dedek, Seno dan sepupuku Fris yang memberikan doa dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
13.Adik-adik junior di Departemen Sastra Indonesia stambuk ’07 dan stambuk’08, yang juga selalu memberikan doa dan motivasi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perkembangan ilmu linguistik pada masa yang akan datang.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan pengetahuan pembaca.
Medan, Juni 2010 Penulis,
(7)
DAFTAR ISTILAH
1. Hula-hula : paman/adik laki-laki dari ibu 2. Dongan tubu : abang/adik yag satu marga
3. Boru : semua pihak keluarga menantu laki-laki kita/suami dari kakak/adik bapak kita
4. Dongan sahuta : kekerabatan akrab karena tinggal satu rumah 5. Boru : anak kandung kita(putri)
6. Hela : menantu (laki-laki) kita sendiri 7. Hela :suami anak abang/anak adik kita
8. Ito : kakak atau adik perempuan kita, serupa marga 9. Ito : panggilan kita kepada anak gadis dari
namboru 10.
(8)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
PRAKATA ... iii
DAFTAR ISTILAH ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……….. 1
1.2 Rumusan Masalah ………... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 5
1.3.1Tujuan Penelitian ……….. 5
1.3.2 Manfaat Penelitian ………...…… 5
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA.. 6
2.1 Konsep ………. 6
2.1.1 Makna ………..………. 6
2.1.2 Ungkapan ……….………… 6
2.1.3 Upacara Adat Perkawinan ……… 8
2.1.4 Masyarakat Batak Toba ………...…….……….. 9
2.2 Landasan Teori ……… 10
2.3 Tinjauan Pustaka ……….. 13
BAB III METODE PENELITIAN ……… 14
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 14
3.1 Populasi dan Sampel ………. 14
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ………...… 15
(9)
BAB IV PEMBAHASAN ... 21
4.1 Makna Ungkapan Pertama dan Fungsinya ... 21
4.1.1 Pelibat ... 21
4.1.2 Tindakan ... 22
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 23
4.1.4 Dampak-dampak ... 24
4.2 Makna Ungkapan Kedua dan fungsinya ... 26
4.2.1 Pelibat ... 27
4.2.2 Tindakan ... 28
4.2.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 28
4.2.4 Dampak-dampak ... 30
4.3 Makna Ungkapan Ketiga dan Fungsinya ... 31
4.3.1 Pelibat ... 32
4.3.2 Tindakan ... 32
4.3.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 33
4.3.4 Dampak-dampak ... 34
4.4 Makna Ungkapan Keempat dan Fungsinya ... 35
4.4.1 Pelibat ... 36
4.1.2 Tindakan ... 38
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 39
4.1.4 Dampak-dampak ... 40
4.1 Makna Ungkapan Kelima dan Fungsinya ... 41
4.1.1 Pelibat ... 42
4.1.2 Tindakan ... 43
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 43
4.1.4 Dampak-dampak ... 44
4.1 Makna Ungkapan Keenam dan Fungsinya ... 45
4.1.1 Pelibat ... 47
4.1.2 Tindakan ... 47
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 49
(10)
4.1 Makna Ungkapan Ketujuh dan Fungsinya ... 50
4.1.1 Pelibat ... 51
4.1.2 Tindakan ... 52
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 53
4.1.4 Dampak-dampak ... 53
4.1 Makna Ungkapan Kedelapan dan Fungsinya ... 54
4.1.1 Pelibat ... 55
4.1.2 Tindakan ... 56
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 56
4.1.4 Dampak-dampak ... 57
4.1 Makna Ungkapan Kesembilan dan Fungsinya ... 57
4.1.1 Pelibat ... 58
4.1.2 Tindakan ... 58
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainnya ... 59
4.1.4 Dampak-dampak ... 59
4.1 Makna Ungkapan Kesepuluh dan Fungsinya ... 60
4.1.1 Pelibat ... 60
4.1.2 Tindakan ... 61
4.1.3 Ciri-ciri Sesuatu yang Relevan Lainna ... 61
4.1.4 Dampak-dampak ... 62
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1 Simpulan ... 63
5.2 Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DATA
(11)
MAKNA UNGKAPAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYRAKAT BATAK TOBA
Vera Nurcahaya Hutapea Fakultas Sastra USU
ABSTRAK
Salah satu hubungan hukum antara manusia itu adalah adanya perkawinan. Perkawinan manusia sangat penting dalam kehidupannya, sebagai pelanjut keturunan. “Perkawinan bagi masyarakat manusia bukan sekadar persetubuhan antara jenis kelamin yang berbeda sebagaimana mahluk lainnya, tetapi perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, bahkan dalam pandangan masyarakat adat perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai”. Hukum adat Batak Toba, khususnya perkawinan sangat memperhatikan prinsip dasar yaitu dalihan na tolu (artinya tungku nan tiga), yang merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak, serta perkawinan berpegang teguh pada prinsip ini, karena Dalihan Na Tolu tidak dapat dipisahkan dari hukum adat Batak Toba, tetapi bagian dari adat isdiadat masyarakat adat Batak. Upacara adat Batak Toba sangat memerlukan ungkapan untuk menyampaikan dengan apa yang dimaksud penutur. Karena itulah penulis merasa tertarik untuk mengadakan suatu penelitian ataupun pengamatan secara ilmiah terhadap proses perkawinan adat yang penulis coba tuangkan dalam karya tulis ilmiah yaitu skripsi ini dengan judul “Makna Ungkapan dalam Perkawinan Batak Toba”. Ungkapan disini adalah ungkapan yang disampaikan untuk menyatakan makud dari apa yang di ungkapkan.
(12)
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah
Sejak tahun 1970-an, politik bahasa nasional telah menetapkan suatu
kebijakan tentang perlunya mengatur dan membina tiga bahasa yang hidup dan
berkembang di Indonesia, yaitu (1) bahasa Indonesia, (2) bahasa daerah, dan (3)
bahasa asing. Bahasa Indonesia merupakan bahasa negara dan bahasa nasional
yang harus digunakan dalam berbagai situasi resmi kenegaraan. Bahasa ini juga
merupakan alat komunikasi antarsuku bangsa yang ada di Indonesia. Bahasa
daerah digunakan dalam situasi-situasi tidak resmi atau upacara-upacara khusus
yang terbatas untuk lingkungan penuturnya. Bahasa asing digunakan dalam
rangka hubungan internasional dengan bangsa-bangsa lain, baik untuk tujuan
diplomatik maupun untuk pengembangan ilmu, teknologi, dan kebudayaan.
Ahimsa (dalam Sobur, 2001: 23), bahasa merupakan bagian dari budaya,
hubungan antara kebudayaan dan bahasa saling mempengaruhi, bahasa
mempengaruhi kebudayaan atau sebaliknya kebudayaan mempengaruhi bahasa.
Bahasa Batak Toba merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih
digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan berinteraksi
sehari-hari. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai bahasa pertama dalam komunikasi sosial
dari berbagai lapisan masyarakat Batak Toba. Komunikasi dengan menggunakan
bahasa merupakan pemahaman dan pemberian respon yang kita berikan dapat
berupa kalimat perintah, berita, pertanyaan, jawaban, dan lain-lain.
Konsep kebudayaan tradisional hanya dapat dimengerti melalui ungkapan
(13)
tetap dipelihara agar tetap mampu menjadi pengungkap budaya masyarakatnya
yang mendukung kebhinekaan budaya bangsa. Dalam KBBI (1995: 1105),
ungkapan adalah apa-apa yang diungkapkan. Apa yang kita ungkapkan itulah
bahasa, bahasa yang mengandung makna yang perlu kita ketahui.
Masyarakat Batak Toba mempergunakan ungkapan dalam setiap upacara
adatnya. Ungkapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah membahas tentang
umpama yang dipergunakan dalam setiap upacara adat masyarakat Batak Toba.
Ungkapan-ungkapan itu mempunyai makna yang berupa petuah atau nasihat,
pesan atau amanat. Makna dari setiap ungkapan-ungkapan itu mengandung unsur
mendidik.
Upacara adat adalah salah satu upacara yang penting bagi masyarakat
Batak Toba. Yang termasuk upacara adat bagi masyarakat Batak Toba adalah
upacara adat kematian, pembaptisan anak yang baru lahir, memasuki rumah baru,
dan perkawinan. Pada penelitian ini yang dibahas adalah upacara adat perkawinan
masyarakat Batak Toba.
Perkawinan adalah suatu upacara, dimana mempersatukan seorang
laki-laki dan perempuan atau dipersatukanya dua sifat keluarga yang berbeda melalui
hukum. Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba adalah mempertemukan Dalihan
Na Tolu dari orang tua pengantin laki-laki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua
perempuan ( dalam Nalom, 1982: 50). Artinya, karena perkawinan itulah maka
Dalihan Na Tolu dari orang tua penganten pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin wanita.
Dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu, Na artinya yang, Tol u
(14)
dipergunakan untuk memasak apa saja. Tungku yang baik atau sempurna apabila
terdiri dari tiga tiang, memang ada tungku yang terdiri dari dua tiang atau lebih
tetapi tidak sempurna, karena alat-alat masak di atasnya masih dapat goyah
(dalam Gultom, 1992: 52). Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada arti,
tetapi kalau ketiga unsur ini bekerja sama satu sama lain, barulah memiliki
manfaat. Unsur pertama Dalihan Na Tolu, adalah dongan tubu (teman/saudara
semarga), kedua boru (saudara perempuan kita dari pihak marga suaminya,
keluarga perempuan pihak ayah), ketiga hula-hula (paman/ orangtua wanita yang
dinikahi oleh seorang pria).
Dalihan Na Tolu dipergunakan dalam setiap upacara adat masyarakat
Batak Toba, tanpa Dalihan Na Tolu suatu upacara tidak bisa dikatakan upacara
adat (dalam Nalom, 1982: 45). Dalam KBBI (1995: 1108), upacara adalah
perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan
peristiwa penting, rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada
aturan-aturan menurut adat atau agama. Sejak dahulu masyarakat Batak Toba sangat setia
melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai bagian dari
kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara
tercinta ini. Adat dalam KBBI (1995: 6), adalah aturan yang lazim diurut atau
dilakukan sejak dahulu kala. Jadi, Makna Ungkapan dalam Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Toba, yang menjadi judul penelitian mengacu
pada kajian tentang makna ungkapan dalam setiap perayaan perkawinan
(15)
Acara adat dalam perkawinan masyarakat batak Batak Toba merupakan
bagian kedua dari keseluruhan acara pernikahan masyarakat Batak Toba, yang
sebelumnya acara yang disebut dengan acara pra nikah. Dalam acara adat ini
banyak ungkapan yang dipergunakan, acara adat ini mulai dari marsibuha-buhai
yaitu penjemputan mempelai wanita di rumah disertai dengan acara makan pagi
dan doa bersama untuk kelangsungan pesta pernikahan, prosesi masuk tempat
acara adat, menyerahkan tanda makanan adat, menyerahkan ikan oleh orangtua
wanita, makan bersama, membagi tanda makanan adat, dan nantinya sampai pada
kesimpulan upacara adat dimana ucapan terimakasih kepada para hula-hula
(paman), dongan tubu (kerabat atau saudara semarga), boru (saudara perempuan
dari pihak marga suami) dan kerabat yang sudah menghadiri upacara perkawinan
tersebut (dalam Sihombing, 1972: 6-12).
Adat Batak dewasa ini sudah banyak diabaikan oleh masyarakat Batak itu
sendiri, yang diakibatkan oleh pengaruh perkembangan zaman. Banyak acara adat
yang dihilangkan dengan alasan tidak modern, tidak perlu dipergunakan lagi. Oleh
sebab itu, kajian ini akan membahas tentang Makna Ungkapan dalam Acara Adat.
Perkawinan Masyarakat Batak Toba, diharapkan nantinya dapat melestarikan
setiap acara adat perkawinan yang seharusnya dipergunakan masyarakat Batak
(16)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas yang menjadi
masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana makna ungkapan dalam upacara adat perkawinan masyarakat
Batak Toba?
2. Bagaimana fungsi ungkapan dalam upacara adat perkawinan masyarakat
Batak Toba?
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui makna ungkapan dalam upacara adat perkawinan masyarakat
Batak Toba
2. Mengetahui fungsi ungkapan dalam upacara adat perkawinan masyarakat
Batak Toba
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan iventarisasi dalam usaha melestarikan kebudayaan daerah
khususnya kebudayaan Batak Toba.
2. Menjadikan bagian dari sumber wawasan pengetahuan kebudayaan Batak
Toba.
3. Menambah wawasan peneliti tentang Makna Ungkapan dalam Upacara
(17)
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental diri objek, proses, atau apa pun yang ada
di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain
(Alwi, 2003: 588).
2.1.1 Makna
Makna disebut juga arti. Makna adalah hubungan antara penanda-penanda
dan objeknya. Makna sangat penting berperan dalam suatu tanda karena suatu
tanda mengandung arti atau informasi (Sobur 2004)
2.1.2 Ungkapan
Dalam KBBI (1995: 1105), ungkapan adalah apa-apa yang diungkapkan.
Ungkapan juga bisa dikatakan dengan sebuah perasaan yang dituangkan lewat
lisan secara langsung ataupun melalui tulisan yang memiliki makna yang berbeda.
Entah itu marah, sedih, bahagia, benci, semuanya terikat dalam sebuah kata.
Ungkapan bagi orang Batak Toba dikenal dengan sebutan ‘umpama’.
Umpama sangat penting diingat dan diketahui maknanya bagi masyarakat
Batak Toba, karena umpama dipergunakan dalam setiap upacara adat yang
berlaku bagi masyarakat Batak Toba. Upacara adat yang mempergunakan
umpama antara lain, pada acara pembabtisan anak yang baru lahir atau penyucian
dan sekaligus pemberian nama bagi anak yang baru lahir, memasuki rumah baru,
(18)
yang masih memiliki anak yang belum berkeluarga, sampai pada acara
pernikahan.
Contoh umpama dalam upacara adat pernikahan Batak Toba:
Penutur :
Manghatai ma hita tutu! Ia nungga bosur(butong)
Berbicaralah lah kita benar! Kalau sudah kenyang
Mangan indahan na las jala sagat marlompan juhut, bagot
Makan nasi yang hangat dan puas lauk-pauk daging, pohon aren
na marhalto ma tutu tubu dirobean, horas
yang buah pohon enau lah benar tumbuh di lereng curam sehat
ma hami na mangan ton horas ma hamu na mangalehon,
lah kami yang makan sudah sehat lah kalian yang memberikan
Ba haroan ni I denggan ma dihataon suhut.
Ya acara oleh itu bagus lah dikatakan penyelengara pesta.
“berbicaralah kita dulu! Kalau sudah kenyang kita makan dan puas makan daging, pohon aren berbuah aren tumbuh di lereng curam, sehatlah kami yang makan dan diberkatilah kalian yang memberikan. Jadi beritahukanlah alasan pesta ini.”
Lawan tutur:
Alusan ma tutu hata muna i! taringot tu na nidok muna
Jawab lah benar perkataan kalian itu! teringat ke yang katakan kalian
i bosur mangan indahan na las jala mahap marlompan
itu kenyang makan nasi yang hangat dan kenyang lauk pauk
juhut, tung otik so sadia pe na hupatupa hami
daging, walaupun sedikit bukan berapa lah yang sajikan kami
I ba sai godang ma pinasuna. Ba sipanganan on parhorason
Itu ya semoga banyak lah berkat. Ya makanan ini pensyukuran
jala panggabean ma i. Songoni ma sahat ni hata nami.
(19)
“kami jawablah pertanyaannya!teringat sudah kenyang makan, puas makan
daging, walaupun sedikit kami sediakan semoga banyak berkatnya, makanan kesehatanlah itu. Begitulah ucapan kami.”
Sebagaimana yang kita ketahui setiap upacara adat diakhiri dengan
upacara ‘marhata’. Acara marhata ialah dialog secara resmi diantara dua pihak
dalam pesta pernikahan diantara pihak orangtua mempelai wanita dan pihak
orangtua pria, sedangkan upacara adat di rumah diantara pihak hula-hula dan
pihak tuan rumah.
Masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari upacara adatnya, oleh sebab itu
bukan hanya ketua adat yang wajib mengingat dan mengetahuinya tapi juga
seluruh masyarakat Batak Toba wajib mengetahuinya kalau tidak mau dikatakan
‘tidak tau adat’.
2.1.3 Upacara Adat Perkawinan
Dalam KBBI (1995: 1108), upacara adalah perbuatan atau perayaan yang
dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting, rangkaian
tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan menurut adat atau agama.
Perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga yang diikat dalam tali
pernikahan. Dalam KBBI (1995: 456), perkawinan adalah hal yang berurusan
dengan kawin (membentuk keluarga dengan lawan jenis).
Salah satu adat yang dimiliki oleh berbagai suku adalah adat perkawinan
yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk upacara. Anggota masyarakat merasa
hanya dapat melihat adat sebagai suatu yang kongkrit dalam bentuk upacara yang
harus diselenggarakan sebagai tradisi yang wajib dipatuhi (Ritonga, 1997: 5).
(20)
Perkawinan menandakan perpindahan hidup dari tanggung jawab orang lain
menjadi tanggung jawab sendiri. Saat perpindahan ini sangat penting. Oleh karena
itu, harus diadakan upacara khusus. Perkawinan dimaksudkan untuk mendapatkan
keturunan yang akan melanjutkan keluarga dan penerima warisan. Perkawinan
juga membentuk suatu hubungan khusus antarkeluarga bersangkutan. Hubungan
ini terjadi bukan karena hubungan darah, tetapi terjadi karena hubungan
perkawinan.
Upacara perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang
Batak, karena hanya orang yang sudah kawin yang berhak mengadakan upacara
adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti lahirnya seorang anak, pemberian
nama kepadanya, dan sebagainya adalah sesudah pesta kawin.
2.1.4 Masyarakat Batak Toba
Pada umumnya masyarakat Batak Toba yang tinggal di Provinsi Sumatera
Utara dan khususnya di daerah Toba, di mana di daerah Toba tersebut di bagi tiga
kabupaten yaitu: Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, dan
Kabupaten Humbang. Dengan letak geografis 1°30°-2°40 Lintang utara dan
98°-100° Bujur Timur.
Masyarakat Batak Toba sangat erat hubungannya antara satu dengan yang
lainnya, di mana masyarakat tersebut saling menghormati satu sama lain yang
diikat oleh Dalihan Na Tolu yaitu tiga tiang tungku. Yang termasuk Dalihan Na
Tolu antara lain: hula-hula, dongan tubu, dan boru.
Hulahula adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi
(21)
Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada
Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan tubu disebut juga dongan sabutuha adalah saudara laki-laki satu
marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang
pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena dekatnya
terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga
bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati
dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak
(berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga
(keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau
pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara
adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan
dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk,
diistilahkan elek marboru.
2.2 Landasan teori
Secara etimologis, semiotik berasal dari kata Yunani “semion” yang
berarti “tanda”. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili
sesuatu yang lain.
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.
Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus kita beri makna. De Saussure menggunakan istilah signifiant,
(22)
demikian, De Saussure dan para pengikutnya melihat tanda sebagai sesuatu yang
menstrukur dan terstruktur didalam kognisi manusia. Dalam teori De saussure,
signifian bukanlah bunyi bahasa secara konkrit, tetapi merupakan citra tentang
bunyi bahasa. Dengan demikian, apa yang ada dalam kehidupan kita dilihat
sebagai ” bentuk ” yang mempunyai ” makna ” tertentu. Masih dalam pengertian
de saussure, hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi
sosial, yakni didasari oleh ”kesepakatan ”sosial.
De Saussure lebih menekankan pada uraian tentang ”ilmu” yang mengkaji
bahasa secara mandiri, yang disebutnya ”linguistique”, ia mengemukakan bahwa
bahasa adalah sistem tanda – tanda.
Disamping itu, dia pun mengemukakan bahwa dimungkinkan adanya suatu ilmu
yang mengkaji kehidupan tanda- tanda dalam masyarakat. Ilmu semacam itu,
yang merupakan bagian dari psikologi sosial, akan dinamai ”semiologie ”, yang
akan memperlihatkan apa yang membentuk tanda dan kaidah apa yang berlaku
baginya, karena sifatnya yang mengaitkan dua segi, penanda dan petanda, teori
tanda de saussure juga disebut bersifat dikotomis dan struktural.
Tanda-tanda yang ada dalam kehidupan kita bukan hanya berupa simbol
tapi juga dapat berupa ungkapan-ungkapan. Itulah yang akan dibahas dalam
penelitian ini. Untuk mengkaji tanda dan ungkapan itu dipakailah teori pragmatik.
Pragmatik adalah merupakan cabang linguistik yang membahas tentang apa yang
termasuk struktur bahasa, sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar
dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang
(23)
mengkaji tanda dan ungkapan memakai teori Firth dalam Halliday tentang
konteks situasi.
Pragmatik adalah merupakan cabang linguistik yang membahas tentang
apa yang termasuk struktur bahasa, sebagai alat komunikasi antara penutur dan
pendengar dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingua l
yang dibicarakan (Verhaar, 2001: 15).
Morris 1938 (dalam Henry) pragmatik adalah hubungan tanda-tanda
dengan para penasir. Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para
pembicara dan para penyimak dalm menyusun korelasi dalam suatu konteks
sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi (rencana atau masalah).
Firth 1950 (dalam Halliday, 1992: 7) mengatakan ada pokok-pokok pandangan
antara lain:
1. Pelibat dalam situasi: ialah orang dan tokoh-tokoh, yang lebih kurang
sepadan dengan yang biasa disebut para sosiolog sebagai kedudukan dan
peran pelibat.
2. Tindakan pelibat: hal yang sedang mereka lakukan baik tindak tutur
maupun tindak yang bukan tutur.
3. Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan: benda-benda dan kejadian
sekitar, sepanjang hal itu mempunyai sangkut paut tertentu dengan hal
yang sedang berlangsung.
4. Dampak-dampak tindak tutur: bentuk perubahan yang ditimbulkan oleh
(24)
2.3 Tinjauan pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber
yang relevan untuk di kaji dalam penelitian ini, adapun sumber tersebut adalah :
Emsi Siagian (2007) mengkaji percakapan Bahasa Batak Toba dalam
upacara jou-jou tano Batak. Ia menganalisis percakapan baik lisan maupun
tulisan dengan hanya membahas bagaimna pengolahan data suatu percakapan agar
tecapai tujuan percakapan.
Kartika T. Sidabutar(2007) dalam skripsinya yang berjudul konsep warna
dalam Bata Toba menggunakan beberapa teori untuk mengkaji warna dalam
Batak Toba. Dari segi maknanya. Ia menganalisis makna dari semantik alam,
makna asal, polisemi, dan sintaksis makna universal.
Pemil B. Saragih (2006) menganalisis peristiwa tutur dengan membagi ke
dalam delapan komponen, yaitu setting (menunjuk kepada unsur-unsur material
yang ada di sekitar peristiwa interaksi, tempat, dan waktu terjadinya sebuah
tuturan), participants (pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan), ends (merujuk
pada maksud dan tujuan pertuturan), act sequences (mengacu pada bentuk, ujaran
atau pokok tuturan), key (mengacu pada nada dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan dengan berbagai cara) , instrumentalities, norm of interaction
(mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi), genres (jenis bentuk
penyampaian). Dengan judul Peristiwa Tutur pada Seminar Internasional Tradisi
(25)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah kota Medan. Peneliti mengamati pelaksanaan
acara adat pada perkawinan Batak Toba yang hanya pelaksanaan acara adat
pernikakahan Batak Toba yang berlangsung di kota Medan. Penelitian dilakukan
pada tanggal 12- 19 Febuari 2010.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan pemakai bahasa yang tidak diketahui
batas-batasnya akibat luasnya daerah dan banyaknya orang yang memakai bahasa
tersebut (Sudaryanto, 1990: 36). Populasi penelitian ini adalah ungkapan dalam
upacara pernikahan masyarakat Batak Toba.
Sampel adalah sebagian dari pemakai bahasa yang mewakili dari satu
populasi (Sudaryanto, 1990: 30). Oleh karena banyaknya Ungkapan yang
dipergunakan dalam upacara pernikahan masyarakat Batak Toba, dan karena
keterbatasan peneliti dalam mengumpulkan semua data, maka penelitian ini
penulis mengambil sampel sepuluh ungkapan. Dalam meneliti ungkapan yang
dipergunakan dalam perkawinan masyarakat Batak Toba, data penelitian yang
dipergunakan menggunakan dua data yaitu,
a.data Primer
Ialah data yang didapatkan dari transkripsi rekaman pada upacara adat
(26)
b.data Sekunder
Ialah data yang didapatkan dari referensi atau bacaan-bacaan yang
berhubungan dengan perkawinan masyarakat Batak Toba.
Dalam penelitian ini sampel yang diambil memiliki kritera-kriteria tertentu yaitu :
1.ungkapan yang lazim dan sering disebut dalam upacara adat pernikahan
masyarakat Batak toba
2.ungkapan yang dikatakan oleh orang menduduki posisi penting dalam
upacara pernikahan Batak Toba
3. ungkapan yang kami anggap sederhana atau paling dasar, yang tidak terlalu
sulit digunakan secara umum.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan sementara itu teknik adalah
cara melaksanakan metode. Metode dan teknik pengumpulan data yang sesuai
perlu diperhatikan agar penelitian terarah. Pengunaan metode dan teknik
pengumpulan data yang tepat dapat membantu pencapaian hasil data yang sahih
(valid).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan
sebagaimana yang dimaksud oleh Sudaryanto dalam “Metode dan Teknik Analisis
Bahasa” yang membedakan lima macam sub-jenis berdasarkan alat penentunya.
Sub-jenis yang pertama, alat penentunya ialah kenyataan yang ditunjuk oleh
bahasa atau referent bahasa, sub-jenis kedua, alat penentunya organ pembentuk
bahasa atau organ wicara, dan sub-jenis yang ketiga, keempat dan kelima
berturut-turut alat penentunya bahasa lain, perekam dan pengawet bahasa
(27)
Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Batak Toba ini adalah suatu kajian yang
sumber datanya dari lisan dan tulisan yang membutuhkan mitra wicara dan bahan
pustaka sebagai acuannya. Data lisan diperoleh dari dari rekaman dan penutur asli
yang yang terdapat di upacara adat pernikahan masyarakat Batak Toba. Sementara
data tulis bersumber dari buku-buku yang relevan dengan judul penelitian ini.
Buku-buku tersebut antara lain: ”Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak”
karangan Drs. DJ. Gultom Rajamarpodang, ”Adat Dalihan Na Tolu” karangan
Drs. Nalom Siahaan, dan Djambar Hata karangan T.M Sihombing dan data tulis
juga diperoleh dari internet yang berkaitan dengan pernikahan masyarakat Batak
Toba.
Metode padan dalam penelitian ini menggunakan teknik simak libat cakap
dan teknik simak bebas libat cakap dan dilanjutkan dengan teknik rekam. Ketiga
teknik ini menggunakan teknik yang berawal dari menyimak pembicaraan
informan mengenai budaya dan berdialog masalah kebudayaan yang menyangkut
objek penelitian ini dan merekamnya. Data yang diperoleh dari informan
dikumpulkan sebagai kajian. Sebagai tambahan digunakan data tulis, ialah data
yang dikumpulkan dari buku-buku yang berhubungan dengan perkawinan
masyarakat Batak Toba.
3.4 Teknik Analisis Data
Pengkajian data penelitian ini menggunakan padan Pragmatik yaitu metode
yang penentunya lawan bicara sehingga lawan bicara menimbulkan reaksi antara
lain berkata dengan komunikasi yang informatif, juga tergerak emosinya dan
(28)
absolut, konkret seperti yang diharapkan. Pengkajian data ini menggunakan teknik
pilah unsur penentu atau teknik yang disebut juga PUP.
Data yang sudah terkumpul dan terevaluasi, selanjutnya dengan
menggunakan metode padan pragmatik dan teknik PUP yaitu dengan menanyakan
kembali keberadaan kebuyaan masyarakat Batak Toba kemudian dengan memilah
data sehingga pada akhirnya tampak jelas ungkapan apa yang termasuk dalam
acara adat perkawinan masyarakat Batak Toba.
Contoh: Penutur :
Manghatai ma hita tutu! Ia nungga bosur(butong)
Berbicaralah lah kita benar! Kalau sudah kenyang
Mangan indahan na las jala sagat marlompan juhut, bagot
Makan nasi yang panas dan puas lauk-pauk daging, pohon aren
na marhalto ma tutu tubu dirobean, horas
yang buah pohon enau lah benar tumbuh di lereng curam sehat
ma hami na mangan ton horas ma hamu na mangalehon,
lah kami yang makan sudah sehat lah kalian yang memberikan
Ba haroan ni I denggan ma dihataon suhut.
Ya acara oleh itu bagus lah dikatakan penyelengara pesta.
“berbicaralah kita dulu! Kalau sudah kenyang kita makan dan puas makan daging, pohon aren berbuah aren tumbuh di lereng curam, sehatlah kami yang makan dan diberkatilah kalian yang memberikan. Jadi beritahukanlah alasan pesta ini.”
Lawan tutur:
Alusan ma tutu hata muna i! taringot tu na nidok muna
Jawab lah benar perkataan kalian itu! teringat ke yang katakan kalian
i bosur mangan indahan na las jala mahap marlompan
itu kenyang makan nasi yang hangat dan puas lauk pauk
juhut, tung otik so sadia pe na hupatupa hami
(29)
I ba sai godang ma pinasuna. Ba sipangan on parhorason
Itu ya semoga banyak lah berkat. Ya makanan ini pensyukuran
jala panggabean ma i. Songoni ma sahat ni hata nami.
dan pemberkatan lah itu. Begitu lah akhir dari perkataan kami.
“kami jawablah pertanyaannya!teringat sudah kenyang makan, puas makan
daging, walaupun sedikit kami sediakan semoga banyak berkatnya, makanan kesehatanlah itu. Begitulah ucapan kami.”
Contoh diatas merupakan salah satu peristiwa tutur dalam bentuk tanyak
jawab antara penutur dan lawan tutur. Komponen peristiwa tuturnya ialah:
1.Pelibat dalam situasi: ialah orang dan tokoh-tokoh, yang lebih kurang
sepadan dengan yang biasa disebut para sosiolog sebagai kedudukan dan peran
pelibat. Tanya jawab melibatkan dua pihak, yakni keseluruhan anggota keluarga
inti dari pihak istri, sebagai penaya; dan para anggota keluarga inti dari pihak
laki-laki. Tampak yang aktif dalam peristiwa tutur disini adalah satu orang dari pihak
wanita dan satu orang dari pihak laki-laki. Namun demikian, tidak berarti para
anggota keluarga yang hadir tidak terlibat di dalamnya, melainkan meraka
memperhatikan pertanyaan dari penutur dan jawaban dari lawan tutur.
2.Tindakan pelibat: hal yang sedang mereka lakukan baik tindak tutur
maupun tindak yang bukan tutur. Setiap tuturan pasti mempunyai tujuan tertentu.
Demikian juga tanya-jawab pada peristiwa tutur ini mempunyai tujuan tertentu.
Secara umum tanya-jawab ini bertujuan memberikan informasi kepada para
hadirin yang ada pada upacara pernikahan Batak Toba
3.Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan: ialah benda-benda dan kejadian
sekitar, sepanjang hal itu mempunyai sangkut paut tertentu dengan hal yang
sedang berlangsung. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tuturan itu
(30)
melaksanakan upacara adat pernikahan masyarakat Batak Toba. Jadi, jelas bagi
kita bahwa peristiwa tutur (tanya-jawab) tersebut dilaksanakan di tempat tertentu
di dalam gedung atau wisma yang sudah disewa oleh keluarga pengantin. Pada
tanya-jawab ini posisinya saling berhadapan dan dalam keadaan duduk sambil
memegang alat pengeras suara dan pandangannya tertuju pada lawan tuturnya. Di
depannya ada meja lengkap dengan minuman (kopi, teh manis) dan makanan
(kacang)nya dan piring yang bersikan uang, beberapa lembar daun sirih dan
sepotong daging. Suasana pada tanya-jawab diliputi situasi tidak begitu formal.
4.Dampak-dampak tindak tutur: bentuk perubahan yang ditimbulkan oleh
hal-hal yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi. Bentuk bahasa tanya-jawab di
atas memiliki makna tertentu, tidak sama seperti tuturan sehari-hari. Isi
tanya-jawab ini sangat sesuai dengan bentuk peistiwa tutur dalam suatu acara
pernikahan masyarakat Batak Toba.
Dilihat dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa reaksi dari pihak
pendengar hanya berupa reaksi menyimak dan berusaha mengerti apa yang
diucapkan oleh penutur. Reaksi dari pihak penutur, lawan tutur dan para keluarga
penyelengara pesta tidak ada yang berbeda. Reaksinya sama tidak ada yang
kurang jelas dari jawaban yang diberikan. Jadi dalam hal ini maksud dari
percakapan adalah merupakan awal dari pertanyaan yang bertujuan untuk
membayar sinamot (mahar) yang telah disepakati pada acara marhata sinamot
(membicarakan mahar). Terbukti dari ciri-ciri situasi lainnya yang relevan yang di
kemukakan oleh J. R. Firth di atas meja dari keluarga pihak laki-laki terdapat
piring yang berisikan sirih, uang, dan sepotong daging. Piring yang berisikan
(31)
keluarga pihak perempuan. Dilihat dari ciri-ciri situasi lainnya yang relevan itu,
disimpulkan bahwa ungkapan diatas merupakan awal dari pertanyaan yang
bertujuan membayar sinamot.
Fungsi dari ungkapan diatas adalah ungkapan ini adalah merupakan awal
dari perkataan antara keluarga pihak wanita dan pihak pria mengandung suatu
pernyataan yang dihanturkan kepada kedua belah pihak yang bertujuan untuk
membayar sinamot (mahar) yang telah disepakati sebelumnya dari kedua belah
pihak. Dilihat dari makna konteksnya sebagian orang tidak akan mengerti apa dari
maksud ungkapan tersebut. Tapi jika dilihat dari benda-benda yang diletakkan
diatas meja dari pihak pria, kita akan mengetahui apa fungsi dari ungkapan yang
(32)
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Makna Ungkapan Pertama dan Fungsinya Penutur (Paidua Suhut Ni Parboru)
”hita na mardongan tubu, pariban nami, dongan sahuta, ale-ale,
”kita yang berteman lahir, pariban kami, teman sekampung, teman
sude na hugokhon nami, boru nami di hambirang nami
kalian yang ku undang kami, anak(perempuan) kami di kiri kalian
ma hamu; marnatampak ma hita hundul manjangkon haroro ni
lah kalian; berkumpul lah kita duduk menerima kedatangan
pamoruonta. Hamu pamoruon nami, mangahatai
pihak anak perempuan. Kalian pihak anak perempuan kami, berbicara
ma hita, alai jolo marsirenggetan ma hami”. lah kita. Tapi duluan berdiskusi lah kami”.
”Kita sesama saudara yang satu marga, pariban, teman sekampung, para sahabat, semua undangan semua boru terutama hula-hula, kami persilahkan mengambil tempat duduk pada tempat yang sudah disediakan, hula-hula di sebelah kanan dan
boru di sebelah kiri tuan rumah. Anda boru pihak pengantin laki-laki marilah kita
mulai pembicaraan adat ini, setelah kami tentukan siapa yang menjadi pembawa acara dari pihak hula-hula atau juru bicara”.
Lawan Tutur (Paidua Suhut Ni Paranak)
”mauliate ma raja nami, na uli ma i tutu”. ” terima kasih lah raja kami, bagus lah itu benar”.
”terima kasih wahai hula-hula, silahkan dilanjutkan”.
4.1.1 Pelibat
Orang yang memulai acara, yang melibatkan para undangan yang hadir
pada saat upacara berlangsung. Oleh karena itu, pembukaan acara ini melibatkan
(33)
dan suhut ni paranak(perwakilan dari yang berpesta dari pihak laki-laki), pihak
pendengar, dan para undangan yang hadir dari berbagai latar belakang seperti
guru, petani, polisi, mahasiswa dan lain-lain.
Bentuk komunikasi ini merupakan komunikasi dua arah, karena dalam
komunikasi ini memerlukan respon dari lawan tuturnya. Komunikasi dua arah
yang dimaksud dapat dilihat dari contoh berikut.
Contoh:
Suhut ni Parboru
Hamu pamoruon nami, mangahatai ma hita, alai jolo
Kalian pihak anak perempuan kami, berbicara lah kita, tapi duluan
marsirenggetan ma hami”. berdiskusi lah kami”.
Suhut ni Paranak
”mauliate ma raja nami, na uli ma i tutu”. ” terima kasih lah raja kami, bagus lah itu benar”.
Pada peristiwa tuturan yang pertama ini yang merupakan komunikasi
verbal ini yang hanya aktif adalah hanya dua orang saja, yakni suhut ni parboru
dan suhut ni paranak. Namun demikian, tidak berarti para undangan yang
menghadiri pesta perkawinan tersebut tidak terlibat didalamnya. Mereka terlibat
secara mental dalam pembukaan acara adat perkawinan yang disampaikan, seperti
pada kata ”kita”. Yang dimaksud kita disini antara lain, pariban, teman
sekampung, saudara yang satu marga dan para sahabat ikut diajak untuk
mengikuti acara adat yang hendak dimulai oleh para penyelenggara pesta.
4.1.2 Tindakan
Komponen ini merujuk kepada maksud dan tujuan pada sebuah tuturan.
(34)
maksudnya memberitahukan posisi tempat duduk di dalam gedung atau wisma
yang sudah disediakan oleh para suhut ni parboru .
Contoh:
”hita na mardongan tubu, pariban nami, dongan sahuta, ale-ale,
”kita yang berteman lahir, pariban kami, teman sekampung, teman
sude na hugokhon nami, boru nami di hambirang nami
kalian yang ku undang kami, anak(perempuan) kami di kiri kalian
ma hamu; marnatampak ma hita hundul manjangkon haroro ni
lah kalian; berkumpul lah kita duduk menerima kedatangan
pamoruonta.
pihak anak perempuan.
”Kita sesama saudara yang satu marga, pariban, teman sekampung, para sahabat, semua undangan semua boru terutama hula-hula, kami persilahkan mengambil tempat duduk pada tempat yang sudah disediakan, hula-hula di sebelah kanan dan
boru di sebelah kiri tuan rumah.
Tujuan kedua ialah tujuan persuatif maksudnya berupa ajakan.
Contoh:
Hamu pamoruon nami, mangahatai
Kalian pihak anak perempuan kami, berbicara
ma hita, alai jolo marsirenggetan ma hami”. lah kita. Tapi duluan berdiskusi lah kami”.
Anda boru pihak pengantin laki-laki marilah kita mulai pembicaraan adat ini, setelah kami tentukan siapa yang menjadi pembawa acara dari pihak hula-hula atau juru bicara”.
4.1.3 Ciri-ciri Situasi Lainnya
Peristiwa tutur pertama ini dilaksanakan di gedung/wisma yang biasa
dipergunakan masyarakat Batak Toba. Mereka mempergunakan gedung/wisma ini
dengan cara sistem sewa. Masyarakat Batak Toba dulunya mengadakan pesta
perkawinan mereka cukup mempergunakan halaman rumah mereka. Tapi
sekarang ini masyarakat Batak Toba yang umumnya tinggal diperkotaan sudah
(35)
perkawinan. Mereka cukup menyewa gedung/wisma untuk berlangsung acara
tersebut, karena dengan cukup menyewa gedung/wisma mereka tidak perlu lagi
menyediakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pesta perkawinan, misalnya
bangkunya ataupun makananya.
Pada peristiwa tutur ini posisi suhut ni parboru dan suhut ni paranak
dalam keadaan berhadapan dan pandangan saling diarahkan ke lawan bicara dan
sambil memegang alat pengerasnya masing-masing. Suhut ni parboru dan suhut
ni paranak posisinya berubah-ubah, dikatakan berubah-ubah karena jika suhut ni parboru memulai pembicaraan dia akan berdiri, begitu juga sebaliknya jika suhut ni paranak menjawab pernyataan dari suhut parboru maka dia akan langsung
berdiri.
Posisi yang saling berhadapan bukan hanya pada suhut ni parboru dan
suhut ni paranak saja, melainkan keseluruhan para undangan yang hadir dalam
acara perkawinan tersebut. Para undangan yang termasuk dari keluarga dari pihak
perempuan, dia duduk dibelakang dari suhut ni parboru. Tapi jika para undangan
termasuk dari pihak keluarga paranak dia duduk di belakang pihak suhut ni
(36)
4.1.4 Dampak-dampak
Bentuk bahasa pada peristiwa tutur pertama ini sama dengan sehari-hari.
Iramanya datar sehingga tidak ada yang berbeda, seperti gaya bahasa, puitis
mungkin dikarenakan tuturan yang pertama ini masih dalam bentuk pembukaan.
Dalam pembukaan hanya masih berisikan tentang bagaimana posisi tempat duduk
bagi para penyelenggara pesta, kata-kata pembukaan ini saja.
Pihak Parboru (Pengantin Wanita)
Pihak Paranak (Pengantin Pria)
J
Posisi Tempat saat Upacara Perkawinan Masyrakat Batak Toba Parsinabung Suhut Paidua
Dongan Sabutuha Dongan
Sabutuha Suhut
Dongan Sabutuha
Boru
Dongan Tubu
Hula-hula Dongan
sabutuha Dongan sabuta
Suhut
Boru Dongan
sabutuha Hula
-hula
Suhut paidua
Dongan tubu Parsinabul
(37)
Dilihat dari ungkapan di atas dapat yang bersifat ajakan diketahui bahwa
reaksi dari pihak pendengar hanya berupa reaksi menyimak dan berusaha
mengerti apa yang diucapkan oleh penutur. Reaksi dari pihak penutur, lawan tutur
dan para keluarga penyelengara pesta tidak ada yang berbeda. Diketahui pula
dalam hal ini tujuan dari ungkapan ini bersifat naratif, yaitu ungkapan yang
bersifat memberitahukan.
Jadi dalam hal ini maksud dari percakapan adalah memberitahukan posisi
tempat duduk kepada para undangan yang hadir pada acara tersebut yang sudah
disediakan oleh keluarga dari kedua belah pihak pengantin. Terbukti dari tindakan
dan pelibat yang di kemukakan oleh J. R. Firth yang dalam tuturan itu terjadi
tuturan dengan dua arah yang mempunyai tujuan memberitahukan posisi tempat
duduk para undangan yang hadir pada acara itu dan yang menjadi simpulan dari
ungkapan yang dituturkan.
4.2 Makna Ungkapan Kedua dan Fungsinya Penutur (Raja Parsinabung)
Antong nunga uli jala denggan, tapungka ma kataion.
Kalau begitu sudah bagus supaya baik, dimulai lah pembicaraan.
Nunga nian dipasahat hamu nangkin tudu-tudu sipanganon
Sudah selesai disampaikan kalian tadi petunjuk makan ini
Na pinarade muna tu hami, asa dibege amanta raja
yang dipersiapkan kalian ke kami, supaya didengar kaum bapak
dohot inanta soripada, patangkas hamu ma muse pasahathon”.
Dengan kaum ibu , perjelas kalian lah lagi penyampain.”
”Anak perempuan kami, kami sambut dengan baik. Sudah nian disampaikan tadi
tudu-tudu sipanganon kepada kami, demikian lazimnya, agar sah didengar
raja-raja adat, baiklah diperjelas kembali penyerahannya.”
Lawan Tutur (Raja Parsaut)
”Na uli nami, patangkason nami ma pasahathon.
(38)
Boru nami, mangarade ma hamu maniop, asa
Anak(perempuan) kami menyiapkan lah kalian memegang agar
tahatahon tu Raja i. Raja nami, dison Tudu-tudu Ni Sipanganon
dibicarakan ke Raja itu. Raja kami, disini petunjuk di makanan
na huparade hami. Tudu-tudu ni adat nami ma i,
yang kupersiapkan kami. Petunjuk di adat kami lah itu,
hupasahat hami tu hula-hula dipamasumasuon ni Boru
kusampaikan kami ke tulang dipemberkatan di anak
ni raja i dohot anakhon nami. Nunga ojak Parsaripeon i
di raja itu dengan anakku kami. Sudah mapan pencaharian itu
marhite agama, hot ma antong sipanganon na
berlandaskan agama, teguh lah pula makanan yang
hupasahat hami, uli ma roha muna manjalo”.
kusampaikan kami baik lah perasaan kalian menerima”.
Raja Parsahut
”Kami penuhi dengan baik. Boru kami, harap bersedia dalam penyerahan ini. Raja ni hula-hula, kira baru saja selesai makan bersama dari makanan yang kami sajikan. Inilah tudu-tudu sipanganon sebagai tanda bukti sajian itu yang menjadi bukti adat, yang kami sampaikan kepada hula-hula dalam rangka pesta pemberkatan perkawinan yang sudah berlandaskan agama, hendaklah teguh pula dalam adat kita. Demikian adanya, agar hula-hula senang menerimanya
4.2.1 Pelibat
Partisipan ialah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima
pesan. Partisipan dalam tuturan yang kedua ini pembicara dan pendengar. Seorang
raja parsinabung dari pihak wanita dan raja parsinabung dari pihak wanita,
mereka saling bergantian dalam hal berbicara dan melibatkan keseluruhan para
keluarga yang hadir di upacara pernikahan itu sebagai partisipannya. Oleh karena
itu, penyampaian tuturan yang kedua ini melibatkan dua pihak, yaitu raja
(39)
pembicara yang dilakukan secara bergantian. Pihak pendengar adalah keseluruhan
keluarga yang hadir dari berbagai latar belakang seperti masyarakat umum,
guru/dosen, polisi dan lain-lain.
4.2.2 Tindakan Pelibat
Peristiwa tutur kedua ini mempunyai tujuan persuatif. Yang maksudnya
tuturan yang berupa ajakan. Dalam tuturan kedua ada ajakan untuk melanjutkan
pembicaraan yang disampaikan raja parsinabung dari pihak wanita.
Contoh:
Nunga nian dipasahat hamu nangkin tudu-tudu sipanganon
Sudah selesai disampaikan kalian tadi petunjuk makan ini
Na pinarade muna tu hami, asa dibege amanta raja
yang dipersiapkan kalian ke kami, supaya didengar kaum bapak
dohot inanta soripada, patangkas hamu ma muse pasahathon”.
Dengan kaum ibu, perjelas kalian lah lagi penyampain.”
” Sudah nian disampaikan tadi tudu-tudu sipanganon kepada kami, demikian lazimnya, agar sah didengar raja-raja adat, baiklah diperjelas kembali penyerahannya.”
4.2.3 Ciri-ciri situasi lainnya
Seperti yang kita ketahui pada bagian sebelumnya bahwa upacara adat
pernikahan masyarakat Batak Toba ini dilaksanakan di wisma atau gedung yang
sudah ditentukan oleh para penyelenggara pesta.
Pada peristiwa tutur kedua ini perwakilan dari pihak wanita dan
perwakilan dari pihak pria mengelilingi meja yang sudah disiapkan dan di
atasnya terdapat jambar(daging) yang disebut tudu-tudu sipanganon. Tudu-tudu
sipanganon dipegang oleh masing-masing pihak keluarga pengantin yang sudah
(40)
pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai tanda bukti sajian yang menjadi
bukti adat sudah berlangsung.
Raja parsinabung berada disudut dari keluarga inti dari pihak pria dan
sambil memegang alat pengeras suara, raja parsinabung menyampaikan
percakapanya. Posisi keluarga dalam menyampaikan makanan adat ini adalah
dalam keadaan berdiri.
Suasana saat menyampaikan tudu-tudu sipanganon(makanan adat)
diliputi suasana yang serius menyimak perkataan yang disampaikan raja
parsinabung. Tetapi para undangan yang datang untuk menghadiri pesta
perkawinan itu dalam keadaan santai, ada yang menyimak penyampaian tudu-tudu
sipanganon itu, dan ada juga yang saling bercerita dengan orang-orang
disebelahnya.
Gambar 1. Penyerahan Tanda Makanan Adat (Tudu-tudu Sipanganon)
Tanda makanan adat yang pokok adalah: kepala utuh, leher (tanggalan), rusuk
melingkar (somba-somba) , pangkal paha (soit), punggung dengan ekor (upasira),
(41)
4.2.4 Dampak-dampak
Bentuk bahasa dalam tuturan yang berupa mengajak di atas hanya biasa
saja, tidak ada yang berbeda seperti puitis dengan gaya bahasa. Jadi, bentuknya
biasa saja karena bentuk tutur orang yang memandu acara mengandung urutan
tutur yang biasa terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk tuturan
dalam peristiwa tutur itu sudah mapan dan orang tidak demikian mudah
mengganti dan mudah mengerti urutan bentuk tutur itu.
Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk dalam bentuk tuturan
mengandung satu pokok pikiran, yakni menghantarkan tuturan untuk
menyampaikan memberikan makanan adat yaitu tudu-tudu sipanganon
Dilihat dari ungkapan di atas dapat yang bersifat ajakan diketahui bahwa
reaksi dari pihak pendengar hanya berupa reaksi menyimak dan berusaha
mengerti apa yang diucapkan oleh penutur. Reaksi dari pihak penutur, lawan tutur
dan para keluarga penyelengara pesta tidak ada yang berbeda. Ungkapan yang
berupa ajakan yang kemudian diterima untuk dilakukan.
Jadi dalam hal ini maksud dari percakapan adalah menyampaikan tanda makanan
adat yaitu tudu-tudu sipanganon yang sudah dipersiapkan pihak paranak untuk
diserahkan kepada pihak parboru.
Terbukti dari ciri-ciri situasi lainnya yang relevan yang di kemukakan oleh
J. R. Firth yang dikatan terdapat benda-benda dikejadian sekitar. Dalam ungkapan
ini jelas terbukti ada benda pada tempat dimana ungkapan itu berlangsung yaitu
berupa tudu-tudu sipanganon yang disediakan pihak paranak kepada pihak
parboru yang isinya berupa daging kerbau yang diletakkan di tempat yang sudah
(42)
Dilihat dari ciri-ciri situasi lainnya ini, disimpulkan bahwa ungkapan diatas
merupakan tahap acara dalam pemberian makanan adat yaitu tudu-tudu
sipanganon.
4.3 Makna Ungkapan Ketiga dan Fungsinya Penutur (Raja Parsinabung)
”Nunga hujalo hami adat muna marhite-hite Tudu-tudu
”Sudah kuterima kami adat kalian melalui petunjuk
sipanganon hami pe pasahaton nami ma adat nami,
makanan kami pun sampaikan kami lah adat kami,
ima Ulu ni dengke sibalos na, sian panamboli,
itulah kepala ikan kembali nya, dari
satonga Ulu Parhambirang, Tanggalan Rungkung,
setengah kepala sebelah kiri, potongan leher,
dua soit. Sada rusuk ni dengke, padohot dua Pohu,
dua tulang pangkali paha. Satu rusuk ikan, serta dua bagian
nang ate-ate. Ulima roha ni Boru nami manjalo”
pun hati. Senanglah hati anak perempuan kami menerimanya”.
Raja Parsinabung
”Adat boru, sudah kami terima, bersimbolkan tudu-tudu ni sipanganon. Kami hula-hula akan membalas adat yang diberikan, dengan menyampaikan ulu ni
dengke yang terdiri dari : Panamboli, setengah dari kepala atau bagian kiri, Tanggalah rungkung; dua soit; satu rusuk; terikut pohu dan hati. Harap boru
senang menerimanya”.
Lawan Tutur (Raja Parsaut)
”Ruma ijuk na margorga, na bisuk ma tutu raja i na malo
Rumah ijuk yang berukiran, yang bijak lah benar raja itu pandai
Mandodo roha ni boruna, hujalo hami ma ulu ni dengke
Mengambil hati anak perempuannya, kuterima kami lah kepala ikan
Na pinasahat ni raja i.
Yang disampaikan raja itu
” Rumah ijuk, penuh dengan ukiran. Hula-hula yang penuh bijak, pandai mengajuk pikiran. Kepala ikan yang diberikan hula-hula, kami terima dengan senang hati.”
(43)
4.3.1 Pelibat
Orang yang mengambil bagian dalam suatu ungkapan disebut partisipan
atau pelibat. Orang yang berbicara pada acara ini adalah suhut dari pihak
parboru(penutur) yang melibatkan keluarga inti pihak paranak (keluarga inti)
yang mengambil peranan penting dalam acara ini, serta para undangan yang hadir
pada pesta ini adalah sebagai partisipannya. Jadi, ungkapan ketiga ini melibatkan
dua pihak, yaitu keluarga inti dari pihak paranak dan para undangan yang hadir
pada saat acara berlangsung dari berbagai latar belakang seperti guru, petani,
wiraswasta dan masyarakat umum serta suhut dari pihak parboru sebagai pihak
yang berbicara. Contohnya dapat dilihat dari tindakan tutur diatas.
4.3.2 Tindakan
Komponen ini merujuk kepada maksud dan tujuan pada sebuah tuturan.
Oleh karena itu, ungkapan ketiga mempunyai tujuan argumentasi. Argumentasi
yang dimaksud disini adalah tuturan yang mempunyai maksudnya dengan cara
memaparkan, memaparkan kepada pihak paranak.
Contoh:
”Nunga hujalo hami adat muna marhite-hite Tudu-tudu
”Sudah kuterima kami adat kalian melalui petunjuk
sipanganon hami pe pasahaton nami ma adat nami,
makanan kami pun sampaikan kami lah adat kami,
ima Ulu ni dengke sibalos na, sian panamboli,
itulah kepala ikan kembali nya, dari
satonga Ulu Parhambirang, Tanggala Rungkung,
setengah kepala sebelah kiri, sepotong leher
dua soit. Sada rusuk ni dengke, padohot dua Pohu,
dua tulang pangkali paha. Satu rusuk ikan, serta dua bagian
nang ate-ate.
(44)
”Adat boru, sudah kami terima, bersimbolkan tudu-tudu ni sipanganon. Kami hula-hula akan membalas adat yang diberikan, dengan menyampaikan ulu ni
dengke yang terdiri dari : Panamboli, setengah dari kepala atau bagian kiri, Tanggalah rungkung; dua soit; satu rusuk; terikut pohu dan hati.”
4.3.3 Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan
Pada ungkapan ini posisi pembawa acara sambil memegang alat pengeras
suara berada dalam keadaan berdiri bersamaan dengan keluarga inti dari kedua
belah pihak pengantin. Pembawa acara, para keluarga inti serta pengantin dalam
posisi melingkar dan sambil memegang dengke yang sudah dipersiapkan di dalam
wadah yang sudah dipersiapkan yang kemudian diletakan di atas meja.
Susunan pada ungkapan ketiga ini diliputi suasana formal dan serius.
Susunan para undangan yang berada dibelakang keluarga inti dari kedua belah
pihak pengantin dalam situasi santai. Beberapa dari undangan yang hadir pada
saat itu ada yang serius mendengarkan dan memperhatikan proses acara
penyerahan dengke, tapi sebagian lagi sibuk dengan pembicaraannya
masing-masing.
Gambar 2. Penyerahan Tanda Adat (Menyerahkan Ulu Ni Dengke)
(45)
4.3.4 Dampak-dampak
Bentuk bahasa pada ungkapan ketiga ini merupakan tuturan yang
memberikan penjelasan kepada pihak paranak serta kepada para undangan yang
hadir dalam acara tersebut tentang bagian-bagian dari dengke yang diberikan
pihak parboru.
Dari segi isi, peristiwa tutur dalam bentuk tuturan ini mengandung pokok
pikiran, yakni membalas pemberian yang sudah diberikan pihak paranak
sebelumya kepada pihak parboru dengan cara memberikan dengke serta
menjelaskan bagian-bagian dengke itu.
Dilihat dari ungkapan di atas dapat yang bersifat memberitahukan apa yang
hendak disampaikan kepada lawan tuturnya. Diketahui bahwa reaksi dari pihak
pendengar hanya berupa reaksi menyimak dan berusaha mengerti apa yang
diucapkan oleh penutur. Reaksi dari pihak penutur, lawan tutur dan para keluarga
penyelengara pesta tidak ada yang berbeda. Jadi Ungkapan ini berupa
pemberitahuan untuk menyampaikan makanan adat yaitu dengke yang disediakan
pihak parboru kepada pihak paranak.
Terbukti dari ciri-ciri situasi lainnya yang relevan yang di kemukakan oleh
J. R. Firth yang dikatan terdapat benda-benda dikejadian sekitar. Dalam ungkapan
ini jelas terbukti ada benda pada tempat dimana ungkapan itu berlangsung yaitu
berupa makanan adat yaitu dengke yang berupa ikan mas yang telah disediakan
pihak parboru.
Masyarakat Batak Toba memberikan ikan karena, ikan mempunyai sifat
hidup di air yang jernih (tio) dan kalau berenang/berjalan selalu beriringan
(46)
yang hidup jernih dan selalu beriringan/berjalan beriringan bersama dimanapun
mereka berada) (Rapolo, 2007).
Simbol inilah yang menjadi harapan kepada pengantin dan keluarganya
yaitu seia sekata beriringan dan murah rejeki (tio pancarian dohot pangomoan).
Dilihat dari ciri-ciri situasi lainnya ini, disimpulkan bahwa ungkapan diatas
merupakan tahap acara dalam pemberian makanan adat yaitu dengke.
4.4 Makna Ungkapan Keempat dan Fungsinya Penutur (Raja Parsaut)
”Raja nami hula-hula nami, hupasahat hami ma Pinggan
”Raja kami tulang(paman) kami, kusampaikan kami lah piring
Panungkunan, Pinggan na hot, pahot adat dohot uhum
Pertanyaan, Piring yang tegak, adat dengan hukum
ni adat tu hamu, uli ma roha muna manjalo”.
Adat ke kamu, baik lah hati kalian menerima”.
”Raja hula-hula, kini kami Boru akam menyampaikan Pinggan Panungkunan,pinggan Na Hot untuk memenuhi hukum adat kepada Hula-hula kiranya senang menerima”.
Lawan Tutur (Raja Parsinabung)
”Nunga hujalo hami Pinggan Panungkunan, pinggan na hot
”sudah kuterima kami piring pertanyaan, piring yang teguh
asa hot ma antong dibagasan adat dohot uhum
supaya teguh lah pula didalam adat dengan hukum
ni adat i di ulaonta sadarion. Marisi demban saur dohot
di adat ini di acara kita satu hari ini. Berisi sirih sampai dengan
pinang mardomu ate; mandok mauliate ma hita tu
pinang bersatu hati; mengucapkan terimakasih lah kita ke
amanta martua Debata, marsomba pasahaton
bapak bertuah Tuhan. Bersembah menyampaikan
pangidoan, asa saur gabe, saur horas hita na marulaon on.
(47)
Asa martantan ma Baringin, maruat jabi-jabi;
Supaya bergantung lah beringin, bergantung pohon beringin
horas ma tondi madingin, tumpahon ni Ompunta mulajadi.
damai sentosa, diturunkan ompu kita yang pertama
Huida hami muse, parbue siribur-ribur, Boras sipir ni tondi
Terlihat kami juga buah lebat, Beras mengeraskan roh
pir ma pokki, Bahul-bahul Passalongan, Pir Ma Tondi,
kuat lah ny, wadah-wadah kecil ,kuat lah roh
torop maribur ma hita, jala ma pangomoan.
Banyak, lebih banyak lah kita, supaya lah keuntungan
Ima Ringgit sitio sua dohot Tanggo-tanggo na
Itulah ringgit yang nyaring suara dengan potongan-potongan yang
Tabo na huida hami dison. Hata na mandok: Pinantikkon
Enak yang kulihat kami disini. Kata yang mengucapakan: Dicucukan
Hujur di julu ni Tapian, tu dia pe Boru mangalangka,
Tombak di hulu air, kemana pun anak perempuan melangkah
tontong ma dapotan parsaulian, ima Ringgit Sitio Soara, tetap lah pendapatan rezeki, itulah ringgit
asa adong bahenon ni Boru manuhor Tanggo-tanggo
supaya ada dibuatkan anak perempuan membeli potongan-potongan
Na Tabo, sipasahaton muna tu hula-hula, Patonggohon
Yang enak, penyampain kalian ke tulang(paman),
Partuturon”. Artia ma mula ni ari, Sipaha sada mula ni bulan;
silsilah . artinya lah mula nama hari, sapa satu mula bulan;
Sise mula hata, sungkun mula ni uhum. Ia manise ma hami
Sapa mula kata, tanya mula hukum. Kini, bertanya lah kami
nuaeng, nunga bosur na mangan, mahap na marlompan,
sekarang, sudah kenyang yang makan, enak dengan lauknya,
pinarade ni Boru. Aha ma hatana, tangkas ma dipaboa
diberitahukan anak perempuan. Apa lah katanya, jelaskan lah diberitahukan
Pamoruon.”
(48)
”Pinggan Panungkunan telah kami terima. Bagaikan Pinggan Panungkunan ini, yang mantap pada tempat duduknya, demikianlah hendaknya Pesta Adat Perkawinan ini, hendaklah tegak dalam adat, kukuh pula pada Hukum Adatnya. Yang berisi sirih seiring Pinang; Beras terikut Sepotong Daging beserta sejumlah daging beserta sejumlah uang, merupakan sarana budaya simbol pengharapan agar kita selalu bersembah dan berterima kasih kepada Tuhan, diberi keturunan, keselamatan dalam kekerabatan yang kukuh, serta mendapatkan kemudahan mencari rezeki”.
Artia mula nama hari, Sipaha sada mula nama bulan, sapa mula kata, tanya mula huku m. Kini, Hula-hula menyapa, sudahpun kita kenyang makan enak dengan lauknya, apa tutur kata makanan yang disajikan; hendaklah diberitahukan oleh
Pamoruan” 4.4.1 Pelibat
Partisipan ialah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa, dan pesapa atau pengirim atau penerima
pesan. Partisipan dalam hal ini adalah pembicara dan pendengar. Pembawa acara
dari pihak parboru melibatkan para undangan yang hadir dalam acara pernikahan
ini sebagai partisipannya. Jadi, peristiwa tutur keempat ini melibatkan dua pihak
yaitu raja parsaut secara bergantian dengan raja parsinabung sebagai pihak
pembicara dan keluarga yang berpesta serta para undagan yang hadir pada acara
perkawinan itu.
Bentuk ungkapan ini bersifat dua arah. Ada respon verbal secara
langsung yang diberikan lawan tutur setelah pelibat menyampaikan tuturannya.
Contoh: Penutur
”Raja nami hula-hula nami, hupasahat hami ma Pinggan
”Raja kami tulang(paman) kami, kusampaikan kami lah piring
Panungkunan, Pinggan na hot, pahot adat dohot uhum
Pertanyaan, Piring yang tegak, adat dengan hukum
ni adat tu hamu, uli ma roha muna manjalo”.
(49)
”Raja hula-hula, kini kami Boru akam menyampaikan Pinggan Panungkunan,pinggan Na Hot untuk memenuhi hukum adat kepada Hula-hula kiranya senang menerima”.
Lawan Tutur
”Nunga hujalo hami Pinggan Panungkunan, pinggan na hot
”sudah kuterima kami piring pertanyaan, piring yang teguh
asa hot ma antong dibagasan adat dohot uhum
supaya teguh lah pula didalam adat dengan hukum
ni adat i di ulaonta sadarion.
di adat ini di acara kita satu hari ini.
4.4.2 Tindakan
Komponen ini merujuk kepada maksud dan tujuan pada sebuah ungkapan.
Oleh karena itu, ungkapan keempat mempunyai tujuan untuk menyampaikan dan
bersifat argumentasi. Argumentasi yang dimaksud disini adalah tuturan yang
mempunyai maksudnya dengan cara memaparkan, memaparkan kepada pihak
paranak.
Ungkapan yang bersifat ingin menyampaikan apa yang hendak penutur
sampaikan.
Contoh: Penutur
”Raja nami hula-hula nami, hupasahat hami ma Pinggan
”Raja kami tulang(paman) kami, kusampaikan kami lah piring
Panungkunan, Pinggan na hot, pahot adat dohot uhum
Pertanyaan, Piring yang tegak, adat dengan hukum
ni adat tu hamu, uli ma roha muna manjalo”.
Adat ke kamu, baik lah hati kalian menerima”.
”Raja hula-hula, kini kami Boru akam menyampaikan Pinggan
Panungkunan,pinggan Na Hot untuk memenuhi hukum adat kepada Hula-hula
(50)
Ungkapan yang bersifat argumentasi maksudnya memaparkan apa-apa saja
yang termasuk di dalam pinggan panungkunan kepada para undangan yang hadir
dalam upacara perkawinan itu.
Contoh:
”Nunga hujalo hami Pinggan Panungkunan, pinggan na hot
”sudah kuterima kami piring pertanyaan, piring yang teguh
asa hot ma antong dibagasan adat dohot uhum
supaya teguh lah pula didalam adat dengan hukum
ni adat i di ulaonta sadarion. Marisi demban saur dohot
di adat ini di acara kita satu hari ini. Berisi sirih sampai dengan
pinang mardomu ate;
pinang bersatu hati;
”Pinggan Panungkunan telah kami terima. Bagaikan Pinggan Panungkunan ini, yang mantap pada tempat duduknya, demikianlah hendaknya Pesta Adat Perkawinan ini, hendaklah tegak dalam adat, kukuh pula pada Hukum Adatnya. Yang berisi sirih seiring Pinang; Beras terikut Sepotong Daging beserta sejumlah daging beserta sejumlah uang.
4.4.3 Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan
Pada peristiwa tutur ini posisi pembawa acara sambil memegang alat
pengeras suara berada dalam keadaan berdiri bersamaan dengan keluarga inti dari
kedua belah pihak pengantin. Pihak keluarga berdiri dalam posisi berhadapan.
Pinggan panungkunan ini dipegang oleh salah seorang pihak parboru, yang
kemudian berjalan menuju pihak paranak dan kemudian diserahkan.
Suasana pada ungkapan ketiga ini diliputi suasana formal dan serius.
Suasana para undangan yang berada dibelakang keluarga inti dari kedua belah
pihak pengantin dalam situasi santai. Beberapa dari undangan yang hadir pada
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineke Cipta. Djaja Sudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik(Ancangan Metode Penelitian
dan Kajian). Bandung: Eresco.
Gultom, Rajamarpodang. 1992. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. Medan: Armanda.
Halliday, M. A. K-Ruqaiy Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek- aspek dalam Pandangan Semiotik sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djamabatan.
Nalom, Siahaan. 1982. Adat Dalihan Na Tolu dan Prinsip Pelaksanaanya. Jakarta. Nawawi, Hasan dan Martini. 1993. Peneltian Terapan. Yogyakarta: UGM Press. Ohoiwutun, Paul. 1997. Sosiolinguistik (Memahami Bahasa dalam Masyarakat
dan Kebudayaan). Jakarta: Visipro.
Ritonga, Parlaungan. 1997. Makna Simbolik dalam Upacara Adat Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok di Tapanuli Selatan. Medan: USU Press.
Rapolo. 2007. Tata Cara dan Urutan Pernikahan Adat Na Gok.
Saragih, B. Pemil. 2006. ”Peristiwa Tutur pada Seminar Internasional Tradisi Lisan Indonesia Malaysia(Tinjauan Sosiolinguistik)”. (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.
(2)
Siagian, Emsi. 2007. ”Strategi Percakapan Bahasa Batak Toba dalam Acara Jou-jou Tano Batak”. (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.
Sidabutar. T. Kartika. 2007. ”Konsep Warna dalam Bahasa Batak Toba”. (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra USU.
Sihombing, T. M. dan B. A. S. Tobing S. H. Djambar Hata. Jakarta.
Sobur, Drs. Alex, Msi. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pragmatik. Bandung: Angkasa. Kamus
Departemen Pendidikan Nasional. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
(3)
Lampiran Data Ungkapan Pertama: Paidua ni suhut Parboru
Hita na mardongan tubu, pariban nami, dongan sabutuha, ale-ale, sude nahugokhon hami, boru nam di hambirang nami hamu, tarlumobi sude hula-hula nami, di siamun nami hamu, tarlumobi sude hula-hula nami, di siamun nami ma hamu; marnatampak ma hita hndul majangkon haroro ni pamoruonta. Hamu pamoruan nami, manghatai ma hita, alai jalo marsirenggetan ma hami.
Paidua Ni Suhut Paranak
Mauliate ma raja nami, na uli ma i tutu Paidua Ni Suhut Parboru
Hita na ardongan tubu. Na marhata maranggi; tangkas songon taboto, opat ma hita na marhaha-maranggi pinompar ni ompunta, ompu ni pagarbosi,ima ompu ni ronggurhuta ma sihahaan, ompu ni, mangalisik ma paidua, ompu ni mardupur ma paitolu, ompu ni pangoloi ma siampudan. Sahasuhuton do hita tutu; alai godang do hata na mandok : Martampuk bulung, marbona sangkalan, nata do na suhut, marnampuna ugasa. Di hami turunan ni ompu ni mangalisik ma nuaeng bona ni ulaon; mangarade ma hamu haha anggi nami marsada roha na gabe raja parsinabung di ulaonta sadarion; hupasahat hami ma tu hamu.
Ungkapan Kedua:
Turunan Ni Ompu Pangadean
Mauliate ma di hamu, nunga dipasahat hasuhuton nuaeng di dongan tubu, ise ma na gabe raja parsaut di ulaonta sadarion. On pe hami turunan ompu pangadean, tu hita na marhaha-maranggi-mardongan tubu, nunga dos roha nami asa anggi doli turunan ni ompunta ompu hasahatan ma na gabe raja parsaut Turunan Ni Ompu Hasahatan
Nunga denggan i haha doli, naung dos ma rohanta, sian haha dolima sian ompu pangadean ma na gabe raja prsaut. Jala i do suman na, haha doli ma na gabe raja parsaut di ulaonta sadarion.
Turunan Ni Ompu Pangadean
na uli jala na denggan. Mauliate ma di dos ni roha muna na pasahaton raja ni ompu nami turunan ni ompu barita, nunga rade hami turuna ni ompu pangadean dohot turunan ni ompu hasahatan na gabe raja parsaut di ulaonta sadarion. Onpe hamu hula-hula nami hasuhuton parboru. Nunga rade hami boru mangadopi raja i, tapungka ma manghatai.
Raja Parsinabung
Antong nunga uli jala denggan, tapungka ma pangkataion. Nunga nian dipasahat hamu nangkin tudu-tudu ni sapanganon na pinarade muna tu hami, asa dibege amanta raja dohot inanta soripada, patangkas hamu ma muse pasahathon.
(4)
Raja Parsaut
Na uli raja nami, patangkason nami ma pasahathon. Boru nami, mangarade ma hamu maniop, asa tahatahon tu tu Raja i.Raja nami, dison Tudu-tudu Ni Sipanganon na huparade hami. Tudu-tudu ni adat nam ma i, hupasahat hami tu hula-hula dipamasu,asuon ni boru ni raja i dohot anakhon nami. Nunga ojak parsaripeon i marhite agama, hot ma antong nang dibagasan adatta. Jadi songoni pe antong sipanganon na hupasahat hami, uli ma roha muna manjalo. Ungkapan Ketiga:
Raja Parsinabung
Nunga hujalo hami adat muna marhite-hite tudu-tudu sipanganon, hami pe pasahathon nami ma adat nami, ima ulu ni dengke sibalos na, sian panamboli, satonga ulu parhambiramg, tanggalan rungkung, dua soit, sada rusuk ni dengke, padohot dua pohu, nang ate-ate. Ulima roha ni boru nami manjalo.
Raja Parsaut
Ruma ijuk ma margorga, na bisk ma tutu raja i na malo mandodo roha ni boruna. Hujalo hami ma ulu ni dengke ma pinasahat ni raja i.
Ungkapan Keempat: Raja Parsaut
Raja nami, hula-hula nami, hupasahat hami a pinggan panungkunan, piggan na hot, pahot adat dohot uhum ni adat tu hamu, uli ma roha muna manjalo.
Raja Parsinabung
Nunga hujalo hami pinggan na hot, asa hot a antong dibagasan adat dohot uhum ni adat i ulaonta sadarion. Marisi demban saur dohot uhum ni adat i di ulaonta sadarion. Marisi demban saur dohot pinang mardomu ate; mandok mauliate ma hita tu amanta martua debata, mandok mauliate ma hita tu amanta martua debata, marsomba pasahaton pangidoan, asa saur gabe, saur horas hita na marulaon asa martantan ma baringin, marurat jabi-jabi; horas tondi madingin, tumpahon ni ompunta mulajadi. Huida hami muse, parbue siribur-ribur, boras sipir ni tondi; pir ma pokki, bahul-bahul passallongan, pir ma tondi, torop maribur ma hita, jala tubu ma pangomoan. Ima ringgit sitio suara dohot tanggo-tanggo na tabo na huida hami dison. Hata na mandok : pinantikkon hujur di julu ni tapian, tu dia pe boru mangalangka, tontong ma dapothon parsaulian, ima ringgit sitio soara, asa adong bahenon ni boru manuhor tanggo-tanggo na tabo, sipasahathon muna tu hula-hula, patonggohon partuturon. Artia ma mula ni ari, sipaha sada mula ni bulan; sise mula hata, sungkun mula ni uhum. Ia manise ma hami nuaeng, nunga bosur na mangan, mahap na marlompan, pinarade ni boru. Aha ma hatana, tangkas ma di paboa pamoruan.
(5)
Raja Parsaut
Artia ma tutu mula ni ari. Sipaha sada a mula ni bulan. Sise ni raja i tangkas ma i alusan. Adat do tu hula-hula boru paradehon sipanganon. Umpasa na mandok: Sititik ma siompa, golang golang pangarahut na. Tung songon ni pe sipanganon na hupatupa hami, godang ma pinasuna.Parsaulian parhorason do hatana raja nami. Botima.
Ungkapan Kelima: Paidua Ni Suhut Parboru
Nunga tung sonang roha nami, mambege las ni roha muna hamu hula-hula nami, dipanandaon na binahen ni pamoruan. Hamu pamoruan nami, nunga tung las roha ni hula-hula nami dibahen hamu,mauliate ma. Tauduti ma pangahataion, pasahat hamu ma sian i upa tulang ni hela nami, sabagian mai sian hamu, satonga bagian ma sian hami, pasadaon ma i gabe tintin marangkup, sipasahathon ni hasuhuton parboru tu tulang ni hela.
Paidua Ni Suhut Paranak
Na uli nami, nasaon ma hupasahat hami on. Hamu hasuhuton nami, jonjong ma hamu, asa taudurhon hula-hulanta, pasahat tintin marangkup.
Paidua Ni Suhut Parboru
Mauliate ma di pamooruon dinapasahathon upa tulang ni hela i, udur ma hita. Hamu hasuhuton nami, nunga tajalo upa tulang ni hela, nasaon godang na. Tambai hamuma satonganai, pasadaon mai gabe tintin marangkup. Jonjong ma hamu pasahathon, udur dohot suhut paranak rap jonjong dohot na tarpasupasu na niadathon.
Ungkapan Keenam: Raja Parsaut
Laos udut ma raja nami pasahat hamu ulos hela dohot hain hela, huhut mamasu-masu hela dohot boru muna.
Suhut Doli Parboru
”Hamu hela dohot borungku, di ari na uli bulan na denggan on, ulosan nami ma hamu dohot ulos hela. Pangidoan nami ma i, asa marsiamin-aminan ma hamusongon lampak ni gaol, marsitungkol-tungkolan songon suhatdi robean. Hupasu-pasu ma hamu songon hata ni umpasa:Bintang ma na rumiris, ombun na sumorop.Tubuan anak ma hamu riris dohot boru pe torop.Pos do roha nami natua-tua muna,hot ma hamu na dua Di bagasan dame songon padan muna i, dibagasan pasu-pasusian huria. Unang hamu holan manjujur ni tigorna, molo songoni do, tubu ma bada. Songon hata na mandok Pir Pangko ni Jior Hukkus do bulung ni Bane-bane. Tingkos do hata tigor, Alai dumenggan do na mardame.Sahat ma solu, sahat ma tu bottean,hu ulosi hami ma ho boru dohot hela, horas ma hamu jala gabean.
(6)
Ungkapan Ketujuh: Suhut Boru Parboru
Hamu na ma gabe ulu tu ibana. Aut beha ndang malo dope ibana marsinonduk, manganju ma hamu, ajari hamu ibana asa iboto marpanglaho adat. Dison hain hela, pasahatonku Tu hamu, pangidoan do i asa hubas hamu tu ulaon adatTu dongan tubu dohot tu boru, tarlumobi tu hami hula-hula. On ma pangidoan nami asa sude nasa parulaan muna hot dibagasan adat. Ho pe borungku, sinondukon ma na gabe ulu di ho. Ndang sai jonok be hami ma modai ho. Patuduhon ma tu, Sinondukmu, tu simatuam, tu dongan tubum, dohot boru muna tarlumobi Tu nasida amang, tulang ni hela on na boru ni raja do ho, na gok roha dohot poda. On pe helangku, sahat hain hela tu hamu, sahat hobas ma hamu tu adat sibaen las ni roha. Pir ma tondi ni hela dohot borungku, tumpakon ni ompunta martua debata.
Ungkapan Kedelapan Raja Parsaut
”Nunga dipasahat hamu ulos passamot dohot ulos hela, pasahat hamu ma muse ulos tu suhi ni ampang na opat. Parjolo ma tu pamarai-pangalap, paduahon tu sihunti ampangpatoluhon tu simandokkon, dungi tu boru iboto ni pengantin
Pamarai Si Jalo Bala
”Mangarade ma hamu lae dohot ibotongku, asa hupasahat hami ulos tu hamu. Balintang ma pagabe, tumunjangkon sitadaon. Ari ni hamu na marhaha maranggi ma gabe, asal ma marsipaolooloan. Sahat ulos nami on tu hamu, saur gabe, saur horas, saur tu panggabean.”
Ungkapan Kesembilan Tulang Sijalo Upa Tulang
”Hamu lae dohot ibotongku, nunga godang dipasahat hamu upa tulang, man sai las do roha nami.Di las ni roha nami ulosan nami ma hamu. Sinuan bulu si bahen na las. Sinuan partuturan sibahen na horas. Hupasahat hami ulos on tu hamu, horas ma hita tutu, horas ma hita luhut, saur ma hamu tu panggabean.”
Ungkapan Kesepuluh Simolohon
”Hamu lae dohot ibotongku, ulosan nami ma hamu tutu marsiamin-aminan ma hamu songon lampai ni gaol, marsitungkol-tungkolan songon suhat ni robean.Marsiurupurupan ma hamu na marhaha-maranggi, marsianju-anjuan jala marsiolooloan. Sahat hu ulosi ma hamu, horas ma di hamu jala gabean.”