PERANAN KETERANGAN SAKSI A CHARGE SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI DALAM PERADILAN PIDANA.

(1)

PERANAN KETERANGAN SAKSI A CHARGE SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI DALAM PERADILAN PIDANA

SKRIPSI

Oleh: YOHENDA TRI A.

NPM.0671010082

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA 2011


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala KaruniaNya. sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peranan Keterangan Saksi A Charge Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Peradilan Pidana”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, M.P. selaku Rektor Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;

2. Bapak Hariyo Sulistyantoro, S.H., M.M. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;

3. Bapak Sutrisno S.H., M.Hum. selaku Pudek I dan Dosen Wali yang telah

memberikan bekal ilmu kepada penulis selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;

4. Bapak Subani, S.H., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur;

5. Bapak Hariyo Sulistyantoro, S.H., M.M. selaku Dosen Pembimbing Skripsi

yang selalu memberikan pengarahan dan dukungan selama Penyusunan skripsi;

6. Ibu Mas Anienda TF., SH., MH. selaku Dosen Pendamping yang selalu

memberikan bimbingan dan nasehatnya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;


(3)

7. Kedua orang tua yang selalu memberi semangat tanpa henti dan telah mendukung secara moril maupun materiil;

8. Teman-teman seperjuangan, Muhammad Rois, H. Misbahul Munir, Yudi

Prasetiyo, Aseptya Nur Achmad, Sigit Priyambodo, serta segenap dosen, staff juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur yang tidak kami sebutkan satu persatu. 

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan penuh keterbatasan. Dengan harapan bahwa skripsi ini akan berguna bagi rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum, maka saran serta kritik yang membangun sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki kekurangan yang ada.

     

Surabaya, 6 Mei 2011

Penulis

Yohenda Tri. A NPM. 0671010082


(4)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS KUKUM

Nama Mahasiswa : Yohenda Tri A.

NPM : 0671010082

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya/ 2 Februari 1988

Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

PERANAN KETERANGAN SAKSI A CHARGE SEBAGAI SALAH SATU

ALAT BUKTI DALAM PERADILAN PIDANA

ABSTRAKSI

Saksi A Charge merupakan salah satu alat bukti yang utama di dalam

pembuktian peradilan pidana. Dalam proses pemeriksaan perkara tindak pidana

alat bukti yang pertama kali di periksa adalah saksi A Charge. Mengingat peranan

dan Fungsinya yang sangat penting maka pemerintah menjamin hak dan

kewajiban seorang saksi A Charge dan memberikan perlindungan yang

sebagaimana telah di atur di dalam Undang-Undang Perlindungan saksi dan Korban. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kewajiban dan hak-hak saksi A Charge dalam peradilan pidana menjadikan sejumlah rumusan masalah yakni

pertama, bagaimanakah peranan saksi A Charge dalam proses peradilan pidana,

dan yang kedua adalah bagaimanakah perlindungan hukum saksi A Charge dalam

proses peradilan pidana. Pada penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa

peranan saksi A Charge dalam proses pembuktian sangat penting, Boleh

dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti

keterangan saksi A Charge. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu di

dasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi A Charge sekurang-kurangnya di

samping pembuktian yang lain, masih selalu di perlukan pembuktian dengan alat

bukti dengan keterangan saksi A Charge. Seyogyanya perlindungan-perlindungan

hukum bagi saksi A Charge di perlukan untuk melindungi hak-hak individunya.

Tetapi dalam Penegakan hukum dalam perlindungan saksi A Charge, seringkali

tidak mendapat perlindungan hukum dan bahkan malah dijadikan tersangka.

Dengan demikian perlunya kebijakan hukum tetang perlindungan saksi A Charge

dimasa yang akan datang diperlukan harmonisasi hukum baik itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang-undang Hukum Acara Pidana yang dibentuk dalam satu sistem hukum, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan hukum dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan pedoman

dalam menjalankan perlindungan saksi A Charge.

Kata Kunci: Saksi A Charge, Pemeriksaan Saksi A Charge, Perlindungan Saksi A


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………. vi

ABSTRAKSI ………... viii

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR LAMPIRAN ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2 Perumusan Masalah ………. 4

1.3 Tujuan Penelitian ………. 4

1.4 Manfaat Penelitian ……… 5

1.4.1 Manfaat Teoritis ………. 5

1.4.2 Manfaat Praktis ……….. 5

1.5 Kajian Pustaka ……….. 5

1.5.1 Alat Bukti ……….. 5

1.5.2 Definisi Saksi ………. 6

1.5.3 Sistem Pembuktian ………. 8

1.5.4 Proses Pemeriksaan Saksi Dalam Persidangan ………….. 12

1.6 Metode Penelitian ………. 17

1.6.1 Jenis Penelitian ………... 17

1.6.2 Sumber Data ………... 17

1.6.3 Metode Pengumpulan Data ……… 19

1.6.4 Metode Analisa Data ……….. 19


(6)

BAB II PERANAN SAKSI A CHARGE DALAM PERADILAN

PIDANA……….. 22

2.1 Keterangan Saksi A Charge yang Bernilai Alat Bukti …………. 22

2.2 Kedudukan Saksi A Charge Dalam Proses Peradilan Pidana ….. 28

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI A CHARGE DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ………... 36

3.1 Pelaksanaan Perlindungan Saksi A Charge ... 36

3.2 Lembaga Perlindungan Saksi ………... 46

BAB IV PENUTUP ... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 52


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadual Penelitian

Lampiran 2 Daftar Biaya Penelitian

Lampiran 3 Perlindungan Saksi dan Korban

Lampiran 4 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Lampiran 5 Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan dan


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Hukum diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dan melindungi segenap komponen dalam masyarakat. Dalam konsideran Undang-Undang Republik Indonesia No.8 tahun 1981 butir C tentang hukum acara pidana, disebutkan bahwa Pembangunan Nasional di bidang hukum acara pidana dimaksudkan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para penegak hukum keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi

terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.1

Salah satu hak yang paling mendasar bagi manusia adalah hak atas rasa aman dari bahaya yang mengancam keselamatan dirinya. Hak tersebut merupakan hak yang paling asasi yang harus dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang. Dengan demikian, mereka merasa aman melaksanakan kewajiban tanpa diliputi rasa takut. Apabila hak tersebut telah diperoleh maka masyarakat akan merasa harkat dan martabatnya sebagai manusia dihormati, mereka akan lebih leluasa melaksanakan kewajibannya sebagai Warga Negara terutama demi tegaknya hukum. Keberhasilan penegakan hukum dalam suatu negara akan ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat itu sendiri, dalam arti masyarakat secara suka rela

mematuhi hukum.2

       1

Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2006, Hlm. 227

2


(9)

Perlu dipahami bersama bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan

adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.3

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Menjadi saksi dalam persidangan merupakan suatu kewajiban bagi setiap warga negara. Kesadaran orang menjadi saksi merupakan tanda bahwa orang tersebut telah taat dan sadar hukum. Sebaliknya, orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak kewajiban itu, maka ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Ketentuan undang-undang-undang-undang yang mengancam dengan pidana terhadap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya untuk datang

       3

Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro Semarang. 2008. hlm. 12


(10)

sebagai saksi sedangkan ia telah dipanggil secara sah menurut Undang-Undang itu

adalah Pasal 224 KUHP.4 adapun perumusannya adalah sebagai berikut:

Barangsiapa dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa menurut Undang-Undang dengan sengaja tidak memenuhi atau kewajiban yang menurut Undang-Undang selaku demikian harus dipenuhinya, diancam:

1. Dalam perkara pidana dengan pidana penjara paling lama Sembilan

bulan.

2. Dalam perkara lain dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Saksi merupakan kunci dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan, hal ini tergambar jelas dalam pasal 184-185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menempatkan keterangan saksi diurutan pertama di atas alat bukti lainya, urutan ini merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di persidangan. Mengingat peran dan fungsinya yang sangat penting maka Pemerintah menjamin hak dan kewajiban seorang saksi dan memberikan perlindungan khusus terhadap saksi tersebut yang diatur, dijamin dan dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dalam lapangan hukum pidana terutama untuk penegakannya tidak semudah yang dibayangkan masyarakat, terlebih dalam mendapatkan keterangan saksi. Hal ini terbukti bahwa masih banyak korban kejahatan, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan terhadap anak, kejahatan terhadap perempuan dan kejahatan kejahatan lain dimana saksi enggan dan bahkan takut untuk melaporkan

kejahatan yang dilakukan terhadap diri korban itu sendiri.5

       4


(11)

Hal-hal yang esensial terhadap perlindungan hukum terhadap saksi adalah agar mereka bebas dari tekanan pihak luar yang mencoba mengintimidasi berkenaan dengan kesaksiannya dalam suatu perkara pidana. Dengan demikian mereka telah secara sadar dan suka rela bersedia menjadi seorang saksi dalam suatu perkara sekaligus berani mengatakan yang sebenarnya tanpa diliputi rasa takut, maka mereka telah mematuhi dan melaksanakan kewajibannya sebagai

warga Negara yang baik dan taat hukum. 6

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka didapatlah rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peranan saksi A Charge dalam proses peradilan pidana ?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum saksi A Charge dalam proses

peradilan pidana ?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian penelitian :

1. Untuk mengetahui peranan saksi A Charge dalam proses peradilan

Pidana.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi mereka yang memberikan

keterangan saksi.

       6


(12)

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembangunan Hukum, Khususnya dalam peranan dan kewajiban serta hak-hak saksi dalam Peradilan pidana.

1.4.2Manfaat Praktis

Sebagai sarana pengetahuan umum kepada masyarakat yang di panggil sebagai saksi di pengadilan, sehingga dapat membantu dan memberikan masukan serta tambahan pengetahuan tentang peranan keterangan saksi dalam pembuktian tindak pidana.

1.5Kajian Pustaka 1.5.1Alat bukti

Menurut Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, dan di dalam Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya atau biasanya di sebutkan satu saksi

bukan saksi (Unus testis nulis testis). Dengan demikian fungsi alat bukti dalam

pembuktian dalam sidang pengadilan sangat penting sekali sehingga sering kita dengar bahwa suatu tindak pidana yang tidak cukup bukti tidak dapat dijatuhi


(13)

pidana baik denda maupun penjara.7 Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana membatasi bahwa alat bukti yang sah diantaranya ialah:

1. keterangan saksi.

2. keterangan ahli.

3. Surat.

4. Petunjuk.

5. keterangan terdakwa.

Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Memahami saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri, maka keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan

pengetahuannya itu.8

1.5.2Definisi Saksi

Saksi menurut Undang – Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,

dan/atau ia alami sendiri.9 Dalam hal ini yang dapat memberikan keterangan di

dalam Peradilan Pidana yaitu :

       7

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta : Ghalia Indonesia, hlm. 19

8

Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro Semarang. 2008. Hlm. 12

9

 Andi Hamzah. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm.162. 


(14)

1. Saksi A De Charge adalah saksi yang diajukan Terdakwa, dengan harapan dapat memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri.

2. Saksi A Charge adalah saksi yang memberatkan Terdakwa, biasanya

saksi ini merupakan korban dari tindak Pidana yang dilakukan oleh Terdakwa atau yang diajukan Penuntut Umum.

3. Saksi De Auditu adalah saksi yang bukan menyaksikan dan mengalami

sendiri tapi hanya mendengar dari orang lain. Saksi ini hanya untuk memperkuat keterangan dari saksi korban.

4. Saksi Ahli adalah Saksi ini tidak memihak kepada siapapun karena

tugasnya hanya memberi keterangan sesuai dengan profesi yang menjadi bidang tugasnya, Kehadiran saksi ini biasanya atas permintaan hakim dan jaksa penuntut umum kepada seorang ahli untuk mengungkap kebenaran sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing.

Syarat yang harus dipenuhi agar keterangan saksi A Charge dapat dikatakan

sah adalah :

1. Syarat formil :

a. Seorang saksi harus mengucapkan sumpah dan janji baik

sebelum maupun setelah memberikan keterangan (Pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP)

b. Seorang saksi telah mencapai usia dewasa yang telah mencapai

usia 15 tahun atau lebih atau sedah menikah. Sedangakan orang yang belum mencapai usia 15 tahun atau belum menikah


(15)

dapat memberikan keterangan tanpa disumpah dan di anggap sebagai keterangan biasa (pasal 171 butir a KUHAP).

2. Syarat materil

a. Melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa

pidana (pasal 1 butir 26 atau 27 KUHAP).

b. Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari

kesaksiannya itu (pasal 1 butir 27 KUHAP).

c. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan

kesalahan terdakwa/ asas ini terkenal dengan sebutan unus

testis nullus tertis (pasal 185 ayat (2) KUHAP)10

1.5.3Sistem Pembuktian

Hukum pidana menganut sistem pembuktian Negative wettelijk ada dua

hal yang merupakan syarat :

a. Wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Negatif, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah

diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.11

Dengan demikian antara alat-alat bukti dengan keyakinan hakim

diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Pasal 183 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya di sebut KUHAP) mensyaratkan       

10

 Ibit, hlm. 297-301 

11


(16)

adanya dua alat bukti yang sah dan yang ditetapkan Undang-Undang dan keyakinan hakim, bahwa tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Sehingga meskipun terdapat empat, lima atau enam saksi yang diajukan Penuntut Umum, akan tetapi hakim pidana tidak meyakini bahwa tindakan pidana itu telah terjadi dan dilakukan oleh terdakwa, maka hakim pidana akan membebaskan terdakwa atau akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu, sistem KUHAP

menganut sistem Negative wettelijk, tidak mengizinkan hakim pidana untuk

menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti lain yang tidak ditetapkan oleh

Undang-Undang, dalam hal ini yang ditetapkan oleh pasal 184 KUHAP.12 Alat

bukti berupa pengetahuan hakim atau keyakinan hakim tidak merupakan alat bukti yang di tetapkan oleh Undang-Undang, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 184 yang menyatakan Alat bukti yang sah Yaitu :

a. Keterangan saksi.

b. Keterangan ahli.

c. Surat.

d. Petunjuk.

e. Keteranganterdakwa.

Asas Negatif Wettelijk tercermin pula secara nyata pada Pasal 189 ayat

(4) KUHAP, bahwa berdasarkan “pengakuan salah yang diucapkan terdakwa”, hakim tidak boleh menghukum terdakwa. “pengakuan salah yang di ucapkan terdakwa” tanpa alat bukti lain, merupakan alat pembuktian yang tidak lengkap


(17)

(onvoldoendebewijs).13 Untuk lebih jelasnya pasal 189 ayat (4), dikutip sebagai berikut :

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Walaupun hakim yakin, bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum, akan tetapi keyakinan hakim ini hanya dilandaskan oleh satu alat bukti yang berupa keterangan terdakwa, maka putusan demikian merupakan tindakan yang melanggar asas dari pada bukti

minimum yang di minta oleh Undang-Undang (de leer van het minimum bewjis)

sebagaimana termuat di dalam 183 KUHAP.14

Adalah lain halnya ajaran pembuktian yang dikenal dengan Conviction

Intime. Ajaran ini disandarkan semata-mata atas keyakinan belaka, dan tidak terikat kepada aturan-aturan, hingga keyakinan menurut aliran ini sangat subjektif (perseorangan) dalam menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. System ini tidak dianut dalam peradilan umum atau tidak dianut dalam KUHAP. Contoh dari sestem ini dipergunakan dalam peradilan yuri.

Lain lagi ajaran pembuktian yang dikenal dengan Positif Wettelijk. Ajaran

ini didasarkan semata-mata kepada alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang dalam menentukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tanpa adanya keyakinan hakim.

       13

 Ibit, hlm. 15 

14


(18)

Dengan demikian misalnya jika peraturan menetapkan, bahwa dalam pembuktian dipergunakan dua alat bukti saja, sudah cukup untuk menentukan apakah kesalahan terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, maka hakim harus menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa, tanpa adanya unsure keyakinan hakim. Contoh: dalam suatu kasus perkara pidana telah diperiksa dua orang saksi yang mengatakan bahwa terdakwa telah melakukan tindakan pidana, maka hakim mesti menghukum terdakwa, meskipun ia tidak yakin. Ajaran ini hanya dipergunakan dalam hokum acara perdata

Ada ajaran yang hampir-hampir mirip dengan ajaran Negatif Wittelijk,

yaitu yang dikenal dengan Conviction Raisonee. Ajaran ini disandarkan

semata-mata atas keyakinan atas dasar pertimbangan akal (pikiran) dan hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Dengan demikian hakim dapat mempergunakan alat-alat bukti lain yang diluar ketentuan perUndang-Undangan.

Hakekat pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-peristiwa dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi hakim akan kebenaran peristiwa tersebut. Sengketa perdata dibawa kepersidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang seadil-adilnya, sedangkan perkara pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan terdakwa. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara pembuktian dalam perkara perdata dan dalam perkara pidana, di mana unsur keyakinan


(19)

hakim dipersyaratkan bagi perkara pidana dan dalam perkara perdata tidak disebut sebagai syarat akan adanya keyakinan hakim itu.

1.5.4Proses Pemeriksaan Saksi Dalam Persidangan

Tata cara pemeriksaan saksi menurut KUHAP :

1. Penuntut umum menyebutkan nama saksi yang akan diperiksa.

2. Petugas membawa saksi masuk keruang sidang dan mempersilakan

saksi duduk di kursi pemeriksaan.

3. Hakim ketua bertanya pada saksi tentang:

a. Identitas saksi seperti; nama, umur, alamat, pekerjaan, agama,

dan lain-lain.

b. Apakah saksi kenal dengan terdakwa; apabila perlu hakim

dapat meminta saksi untuk mengamati wajah terdakwa dengan seksama guna memastikan jawabannya.

c. Apakah saksi memiliki hubungan darah; sampai derajat berapa

dengan terdakwa, apakah saksi memiliki hubungan suami/istri dengan terdakwa, atau apakah saksi terikat hubungan kerja dengan terdakwa.

4. Apabila perlu hakim dapat pula bertanya apakah saksi sekarang

dalam keadaan sehat walafiat dan siap diperiksa sebagai saksi.

5. Hakim ketua meminta saksi untuk bersedia mengucapkan sumpah


(20)

6. Saksi mengucapkan sumpah menurut agama/keyakinannya. Lafal sumpah dipandu oleh hakim dan pelaksanaan sumpah dibantu oleh petugas juru sumpah.

7. Tata cara pelaksanaan sumpah yang lazim dipergunakan Pengadilan

Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Agama,Pengadilan Militer adalah:

a. Saksi dipersilakan berdiri agak tegak ke depan.

b. Untuk saksi yang beragama Islam, cukup berdiri tegak. Pada

saat melafalkan sumpah; petugas berdiri dibelakang saksi dan mengangkat Alquran diatas kepala saksi. Untuk saksi yang beragama Kristen/Katolik petugas membawakan Injil (Alkitab) disebelah kiri saksi. Pada saat saksi melafalkan sumpah/janji, tangan kiri saksi diletakkan di atas Alkitab dan tangan kanan saksi diangkat dan jari tengah jari telunjuk membentuk huruf ”V” (victoria) untuk yang bergama kristen atau mengacungkan jari telunjuk, jari tengah dan jari manis untuk yang bergama Katolik. Sedangkan untuk agama lainnya lagi, menyesuaikan.

c. Hakim meminta agar saksi mengikuti kata-kata (lafal sumpah)

yang diucapkan oleh hakim.

d. Lafal sumpah saksi adalah sebagai berikut: ”saya bersumpah

(berjanji) bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari yang sebenarnya”.


(21)

e. Untuk saksi yang beragama Islam, lafal sumpah tersebut

diawali dengan ucapan/kata: ”Wallahi...” atau ”Demi Allah...”,

untuk saksi yang beragama Katholik/Kristen Protestan lafal sumpah (janji) tersebut diakhiri dengan ucapan/kata, ”...Semoga Tuhan menolong saya”. Untuk saksi yang beragama

Hindu lafal sumpah diawali dengan ucapan/kata, ”Om atah

Parama Wisesa ...”, untuk saksi yang bergama Budha lafal

sumpah diawali dengan ucapan/kata ”Demi sang Hyang Adi

Budha...

8. Hakim ketua mempersilakan duduk kembali dan mengingatkan

bahwa saksi harus memberi keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya atau apa yang didengarnya sendiri. Jika perlu hakim juga dapat mengingatkan bahwa apabila saksi tidak mengatakan yang sesungguhnya, ia dapat dituntut karena sumpah palsu. Hakim ketua mulai memeriksa saksi dengan mengajukkan pertanyaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa.

9. Setelah hakim ketua selesai mengajukan pertanyaan pada saksi,

hakim anggota, penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum juga diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan pada saksi. Adapun urutan kesempatan tersebut adalah: pertama hakim ketua memberi kesempatan pada hakim anggota I untuk bertanya pada`saksi. Setelah itu, kesempatan diberikan pada hakim anggota II. Selanjutnya, pada


(22)

penuntut umum, dan yang terakhir kesempatan diberikan pada terdakwa atau penasihat hukum.

10. Pertanyaan yang diajukkan pada saksi diarahkan untuk mengungkap fakta yang sebenarnya, sehingga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Materi pertanyaan diarahkan pada pembuktian unsur-unsur

perbuatan yang didakwakan.

b. Pertanyaan harus relevan dan tidak berbelit-belit bahasa dan

penyampainnya harus dipahami oleh saksi.

c. Pertanyaan tidak boleh bersifat menjerat atau menjebak saksi.

d. Pertanyaan tidak boleh besifat pengkualifikasian delik.

e. Hindari pertanyaan yang bersifat pengulangan dari pertanyaan

yang sudah pernah ditanyakan dalam rangka memberi penekanan terhadap suatu fakta tertentu atau penegasan terhadap keterangan yang bersifat ragu-ragu. Hal-hal tersebut diatas pada dasarnya bersifat sangat merugikan terdakwa atau pemeriksaan itu sendiri, sehingga apabila dalam pemeriksaan saksi, hal tersebut terjadi maka pihak yang mengetahui dan merasa dirugikan atau merasa keberatan dapat mengajukkan ”keberatan/interupsi” pada hakim ketua dengan menyebutkan alasannya. Sebagai contoh pertanyaan penuntut umum bersifat menjerat terdakwa maka penasihat hukum dapat protes,


(23)

pertanyaan penuntut umum menjerat saksi”. Satu contoh lagi, jika pertanyaan penasihat hukum berbelit-belit maka penuntut umum dapat mengajukan protes, misalnya dengan katakata: ”keberatan ketua majelis... pertanyaan penasihat hukum membingungkan saksi”. Atas keberatan atau interupsi tersebut hakim ketua langsung menanggapi dengan menetapkan bahwa interupsi/keberatan ditolak atau diterima. Apabila interupsi/keberatan ditolak maka pihak yang sedang mengajukkan pertanyaan dipersilahkan untuk melanjutkan pertanyaannya, sebaliknya apabila interupsi/keberatan diterima, maka pihak yang mengajukkan pertanyaan diminta untuk mengajukan pertanyaan yang lain.

11. Selama memeriksa saksi hakim dapat menunjukkan barang bukti pada saksi guna memastikan kebenaran yang berkaitan dengan barang bukti tersebut.

12. Setiap saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua menanyakan kepada terdakwa, bagaimana pendapatnya tentang

keterangan tersebut.15

       15


(24)

1.6Metodologi Penelitian 1.6.1Jenis Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan bagaimana peranan serta kewajiban dan hak-hak saksi dalam peradilan pidana. Bertalian dengan rumusan masalah yang dikaji, dan hukum sebagai kaidah atau norma, maka tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang fokusnya adalah hukum positif. Dalam pengertian lain

sering disebut dengan penelitian kepustakaan (leberary research) dengan

pustaka utamanya adalah peraturan perUndang-Undangan.16

1.6.2Sumber Data

Penelitian ini adalah Penelitian Hukum Normatif. Penelitian pada pokok intinya dilakukan dengan melalui studi kepustakaan. Sumber data penelitian ini di dapat dari :

a. Data Sekunder : yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

b. Data Primer : data yang diambil langsung dari lapangan yakni

mengamati proses persidangan pidana yang menghadirkan saksi A

Charge.

Bahan Hukum Primer adalah Bahan Hukum yang diperoleh Dari Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Peraturan Perundang-Undangan yang di pakai dalam sripsi ini terdiri dari :

       16


(25)

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003

Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor Dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang

3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

4. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No. 2 Tahun

2010 Tentang Standar Oprasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Bahan Hukum Sekunder adalah Bahan Hukum yang diperoleh dari literatur, jurnal, makalah, dan hasil seminar-seminar hukum. Literatur yang dipakai dalam skripsi ini terdiri dari :

1. Pengantar Hukum Acara Pidana.

2. Pengatar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.

3. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.

4. Penyelidikan dan Penyidikan.

5. Pidana dan Pemidanaan.

6. Hukum Acara Pidana Indonesia.


(26)

Bahan Hukum Tersier adalah Bahan Hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Adapun petunjuk yang dipakai dalam skripsi ini terdiri dari :

1. Kamus Bahasa Indonesia.

2. Kamus Hukum.

1.6.3Metode Pengumpulan Data

Data sekunder adalah : Bahan-bahan hukum (legal material) yang diperoleh dari Perundang-Undangan, putusan Hakim ataupun Ensiklopedi selanjutnya dengan melakukan kategorisasi sebagai langkah pengklasifikasian bahan hukum secara selektif. Keseluruhan bahan hukum dikelompokkan berdasarkan kriteria yang ditentukan secara universal, cermat, tepat dan ketat sesuai dengan pokok masalah. Langkah selanjutnya adalah menganalisis bahan hukum tersebut yang hasilnya lalu ditulis dengan menggunakan sistem kartu (card system).

Data Primer : Bahan-bahan Hukum yang diperoleh dari lapangan melalu Observasi/melihat langsung proses persidangan pidana di Pengadilan Negeri

Surabaya Pada Tanggal 19 Januari 2011 yang menghadirkan saksi A Charge.

1.6.4Metode Analisis Data

Bahan-bahan hukum yang telah ditulis dengan menggunakan sistem kartu dilakukan pengolahan dengan menyusun dan mengklasifikasikan secara sistematis dan kuantitatif sesuai dengan pokok bahasannya dan selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis.


(27)

Analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan

manggunakan metode pengkajian deduksi deskriptif. Metode berpikir deduksi

adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Pengkajian deskriptif analitik adalah untuk menelaah konsep-konsep yang mencakup pengertian-pengertian hukum, norma-norma hukum dan sistem hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Hal ini sangat berkaitan dengan tugas ilmu hukum normatif (dogmatik) yaitu untuk menelaah, mensistemasi, menginterpretasikan dan mengevaluasi hukum positif yang berlaku bagi pengkajian tentang pokok masalah.

1.7Sistematika Penulisan

Skripsi ini nantinya disusun dalam empat bab. Tiap-tiap bab dibagi menjadi beberapa subbab yang saling mendukung. Bab-bab yang tersusun tersebut nantinya merupakan suatu kesatuan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.

Bab I, Pendahuluan. Di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah, kemudian berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat penelitian sebagai harapan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada bagian Kajian Pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi, kemudian diuraikan beberapa konsep definisi yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya diuraikan tentang metode penelitian yang merupakan salah satu syarat dalam setiap penelitian. Intinya mengemukakan tentang tipe penelitian dan pendekatan


(28)

masalah, sumber bahan hukum, langkah penelitian, dan bab ini diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab II, menguraikan tentang peranan saksi A Charge dalam Peradilan

pidana. Secara umum dalam bab ini terdapat Dua subbab, yakni yang pertama

mengenai Keterangan Saksi A Charge Yang Bernilai Alat Bukti dan subbab yang

kedua adalah mengenai Kedudukan Saksi A Charge Dalam Proses Peradilan

Pidana.

Bab III, menguraikan tentang Perlindungan Hukum Saksi A Charge Dalam

Proses Pradilan Pidana. Bab ini terdiri dari Dua subbab, yang pertama adalah

Pelaksanaan Perlindungan Saksi A Charge, dan subbab yang kedua adalah

Lembaga Perlindungan Saksi.

Bab IV, Berdasarkan uraian-uraian dalam bab II dan bab III diatas tentang jawaban dari rumusan masalah yang dijadikan obyek penulisan, selanjutnya ditarik Kesimpulan dan Saran dalam bab IV sebagai penutup.

                 


(29)

BAB II

PERANAN SAKSI A CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

2.1 Keterangan Saksi A Charge Yang Bernilai Alat Bukti

Dari tata urutan alat-alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat (1). Maka akan didengar atau menjadi saksi

utama (Kroon Getudie) ialah saksi A Charge. Saksi A Charge ialah orang yang

dirugikan akibat terjadi kejahatan atau pelanggaran tersebut atau saksi pelapor. Oleh karena itu, adalah wajar jika ia di dengar sebagai saksi yang pertama-tama

dan ia merupakan saksi utama atau kroon getuige.17 Akan tetapi, dalam

prakteknya tidak menutup kemungkinan saksi lain didengar keterangannya terlebih dahulu, misalnya terjadi tindak pidana pencurian di sebuah rumah yang di tinggal oleh pemiliknya, sedangkan tetangga di sebelah rumah itu mengetahui kejadian tindak pidana tersebut. Maka tetangga itu bisa melaporkan dan menjadi saksi yang di dengar pertamakali dan mendapatkan perlindungan hukum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pasal 108 ditentukan bahwa :

1. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi

korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tulisan.

2. Setiap orang yang mengetahui permufkatan jahat untuk melakukan

tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.

3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang

mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau peyidik.

4. Laporan atau pengaduan yang diajukan tertulis harus ditandatangani

oleh pelapor atau pengaduan.

      

17 


(30)

5. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus di catat oleh peyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.

6. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyidik atau penyelidik

harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Pemeriksaan keterangan saksi A Charge harus didasarkan luas dan mutu

keterangan saksi yang harus di peroleh atau di gali oleh penyidik dan penuntut umum dalam pemeriksaan. Untuk mengetahui mutu dan luas keterangan saksi yang diperlukan, harus di ujikan cara pemeriksaan kepada landasan hukum. Keterangan saksi yang bernilai yudisial atau landasan hukum, berpatokan kepada penjelasan pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, di hubungkan dengan pasal 116 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana:

1. Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak

pidana yang di periksa.

2. Keterangan saksi yang relevan untuk kepentingan yudisial. Patokan

menentukannya merujuk pada pasal 1 butir 27, sebagai berikut :

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai satu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu.

Dari rujukan pasal 1 butir 27 di tegaskan lagi pada pasal 185 ayat (1), sebagai berikut :

keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di siding pengadilan.


(31)

Dalam penegasan di atas penyidik dapat mengarahkan pemeriksaan saksi A Charge ke arah yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 27 :

a. “yang Ia dengar”, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran orang lain.

b. “yang ia lihat sendiri”, berarti pada saat kejadian ataupun rentetan

kejadian peristiwa pidana yang terjadi, sunggu-sungguh disaksikan oleh mata kepala sendiri.

c. “Di alami sendiri oleh saksi”, saksi ini adalah yang menjadi korban

peristiwa pidana tersebut.18

Sejumlah penelitian yang di lakukan oleh Komisi Nasional Perempuan mengingatkan bahwa dalam pemberian keterangan sebagai saksi perlu di perhatikan, hal-hal yang penting misalnya :

c. Unreliable witness.

Penelitian yang dilakukan oleh Maguire dan Norris menunjukan bahwa

adanya saat-saat dimana saksi di persuasi untuk menyampaikan keterangan untu memperkuat posisi jaksa, terutama jika saksi menghadapi ancaman pidana juga.

d. Witness as product of bullying and harassment

Kemungkinan adanya metode tertentu oleh penyidik dalam meminta keterangan, misalnya pertanyaan yang berulang-ulang dan tidak relevan, yang diajukan dalam yang waktu yang panjang tanpa jeda yang layak.

      

18 

M. Yahya Harahap, pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,sinar Grafika, Jakarta, 1986, hlm 144


(32)

e. Lying witness

Tidak menutup kemungkinan adanya saksi yang mengatakan bukan hal yang sebenarnya, walaupun ia ada di bawah sumpah, baik karena ia telah disuap ataupun karena ia diintimidasi pihak tertentu.

f. Silent witness

Saksi yang khawatir akan menyudutkan dirinya sendiri dan menolak

memberikan jawaban yang sesungguhnya (asas Non-self incrimination),

baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain dalam kasus peyertaan yang melibatkan dirinya.

g. Incompetent witness

Saksi dalam kategori ini tentunya keterangannya tidak layak menjadi alat

bukti yang sah di pengadilan karena saksi tersebut Infant, mental diseas

atau mental defect.

h. Turn-coat witness

Saksi yang semula diduga akan membela terdakwa kemudian ternyata ia melakukan yang sebaliknya, sesuatu yang diluar dugaan penasehat hukum. Di beberapa negara seorang penasehat hukum tidak dapat

menarik kembali saksi a de charge yang diajukannya sendiri, karena

dengan mengajukan sang saksi berarti ia telah memastikan akan

kreadibilitas saksi.19

Pada prinsipnya menjadi seorang saksi merupakan suatu kewajiban hukum (legal obligation) bagi setiap orang. Akan tetapidi dalam Pasal 168 Kitab


(33)

Undang Hukum Acara Pidana memberikan pengecualian di bebaskan kewajiban menjadi saksi misalnya seorang yang masih dibawah umur (belum berumur 15 yahun) dan seorang yang hilang ingatan atau mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Mereka yang wajib menjadi saksi atau boleh memberikan keterangan tidak dibawah sumpah. Disamping itu seseorang yang dapat dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi karena adanya hubungan darah (keluarga) atau perkawinan (semenda) dengan

terdakwa.20 Orang-orang ini tidak dapat didengar keterangannya atau dapat

mengundurkan diri sebagai saksi. Orang-orang tersebut adalah :

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah

sampai derajat ketiga dengan terdakwa atau yang bersama-sama sebagi terdakwa.

2. Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagi terdakwa, saudara ibu

atau saudara bapak (bibi atau paman dari terdakwa), juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara (keponakan) terdakwa sampi derajat ketiga.

3. Suami atau istri terdakawa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagi terdakwa.

Dalam penilaian seorang saksi hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan :

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lain.

2. Persesuaian atara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

      

20


(34)

3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu.

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu diberikan. (pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undang Acara Pidana)

Menilai keterangan saksi dengan menghubungkan dengan keterangan saksi lain, yang mungkin saling bertentangan, kemudian menghubungkan dengan alat bukti lain, serta keterangan kausal (hubungan sebab akibat) saksi dengan alat bukti lain, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Keterangan saksi yang tidak disumpah bersesuaian satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti menurut

pasal 185 ayat (7) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.21

Satu hal yang harus diperhatikan bahwa keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan, jika terdakwa mungkir atas dakwaan yang di dakwakannya, maka hakim tidak boleh memberikan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan kepada

keterangan seorang saksi A Charge. Keterangan saksi A Charge harus dikuatkan

dengan satu alat bukti yang lain, misalnya dengan keterangan terdakwa atau keterangan saksi ahli atau alat bukti yang sah menurut Undang-Undang hal ini

sesuai dengan asas unus testis nulus testis.22

Untuk keterangan saksi yang bernilai alat bukti yang berdiri sendiri- sendiri tetapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga dapat di simpulkan bahwa terjadi suatu tindak pidana maka keterangan ini dapat di sebut keterangan       

21


(35)

saksi berantai. Jadi tidak setiap kejadian tindak pidana atau keadaan dapat di saksikan oleh seorang saksi secara lengkap, akan tetapi keterangan seorang saksi A Charge yang berdiri sendiri-sendiri, dapat di gunakan sebagai alat bukti yang

sah, jika keterangan Saksi A Charge tersebut ada hubungannya satu dengan yang

lain atau saling berhubungan, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian

tindak pidana.23

2.2Kedudukan Saksi A Charge Dalam Proses Peradilan Pidana

Saksi dalam peradilan pidana menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam penempatannya dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus di akui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, di tingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan

hukum dan keadilan.24

Dalam sudut pandang penyidikan kedudukan saksi A Charge dalam proses

peradilan pidana dapat di lihat dari bukti permulaan, yang mana bukti permulaan tersebut ada di dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggaal 18 Februari

       23

Ibid, hlm. 22

24

Surastini Fitriasih, Perlindungan saksi dan Korban Sebagai Sarana Munuju Proses Peradilan(Pidana) Yang Jujur dan adil, MaPPI, h. 2


(36)

1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara :

1. Laporan Polisi;

2. Berita acara pemeriksaan polisi;

3. Laporan hasil penyidikan;

4. Keterangan saksi/saksi ahli;

5. Barang bukti.

Tujuan dari bukti permulaan ini untuk menjamin hak asasi seorang yang akan di periksa karena diduga melakukan tindak pidana. Dari dugaan tersebut yang merupakan unsur dari bukti permulaan maka penyidik akan mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, untuk kepentingan penyidikan maka penyidik dapat melakukan penangkapan atas kecurigaan terhadap seseorang untuk di periksa. Apabila di dapati tertangkap tangan tanpa harus menunggu perintah dari penyidik, penyelidik dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, pengeledahan dan penyitaan. Selain itu penyelidik juga dapat melakukan pemeriksaan surat dan penyitaan surat serta mengambil sidik jari dan memotret atau mengambil gambar orang atau kelompok yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Selain itu penyelidik dapat membawa dan menghadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik. Dalam hal ini pasal 105 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa dalam melaksanakan penyidikan, penyelidik


(37)

dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. Dalam hal penyidikan akan di temukan Bukti-bukti permulaan dan harus di dasarkan pada asas praduga tak bersalah.

Dalam hal kegiatan penyelidikan untuk mengumpulkan bukti-bukti permulaan tersebut, seorang penyidik diberikan kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan tertentu kepada saksi A Charge, sehingga memungkinkan untuk mnyelesaikan penyelidikan itu dan siap untuk diserahkan kepada penuntut

umum.25 Penyidik berwenang memanggil kepada saksi-saksi yang dianggap perlu

untuk diperiksa dan pemanggilan itu harus dilakukan :

1. Dengan surat panggilan yang sah dan di tandatangani oleh penyidik yang

berwenang dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas.

2. Memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya

panggilan dan hari pemeriksaan (Pasal 112 ayat (1)).

Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilan maupun mengenai cara pemeriksaan, sama-sama dilandasi oleh peraturan dan prinsip yang serupa dan pengatiannya di dalam KUHAP hampir seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang

bersamaan.26 berikut ini uraian tata cara pemeriksaan saksi :

1. Dalam memberikan keterangan harus terlepas dari segala macam

tekanan baik berbentuk apapun dan dari siapa pun. Hal ini serupa dengan

      

25 

Resti Siti Aningsih, Fungsi Dan Kedudukan Saksi dalam Peradilan Pidana,Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008,hlm. 9 

26 

M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Hukum Pidana, edisi II, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 144-146 


(38)

pemeriksaan tersangka dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) KUHAP, yang bunyinya :

Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tantapa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

2. Pemeriksaana saksi dapat dilakukan pada tempat kediaman saksi. Karena

saksi yang tidak memenuhi pemanggilan penyidik di sebabkan alasan yang patut dan wajar.

3. Seorang saksi yang hendak di periksa, tetapi bertempat tinggal di luar

jangkauan hukum peyidik, pemeriksaan saksi yang bersangkutan dapat di delegasikan pada pejabat penyidik di wilayah hukum tempat tinggal saksi. Hal ini terdapat pada Pasal 119 KUHAP, sebagai berikut :

Dalam hal tersangka atau saksi yang harus di dengan keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.

4. Saksi diperiksa tanpa sumpah, pemeriksaan saksi ditingkat penyidikan,

saksi diperiksa tanpa disumpah. Lain halnya pemeriksaan saksi di muka persidangan pengadilan. Sebelum di periksa atau di dengar keterangannya, saksi bersumpah atau berjanji lebih dahulu.

5. Saksi diperiksa sendiri-sendiri, Undang-undang tidak melarang untuk

mempertemukan saksi. Namun, prinsip cara pemeriksaan mereka harus sendiri-sendiri dengan bergiliran satu-persatu, demi kemurnian keterangan saksi.


(39)

6. Keterangan yang dikemukakan saksi pemeriksaan penyidik, dicatat dengan teliti oleh penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan. Prinsip ini di dasarkan pada Pasal 117 ayat (2), sebagai berikut :

Dalam hal tersangka memberikan keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.

Dalam pasal 117 ayat (2) tidak di sebutkan saksi tetapi di dalam pemeriksaan tersangka dan saksi tidak ada perbedaan dalam perncatatannya.

7. Berita acara yang berisi keterangan saksi ditandatangani oleh penyidik

dan saksi. Dalam penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan, harus di perhatikan dua hal :

a. Saksi menandatangani Berita Acara Pemeriksaan setelah terlebih

dahulu isi dari Berita Acara Pemeriksaan tersebut di setujuinya. Hal ini terdapat di dalam Pasal 118 ayat (1), sebagai berikut :

Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberikan keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.

b. Undang-undang memberikan kemungkinan kepada saksi tidak

menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Hal ini terdapat pada pasal 118 ayat (2), sebagai berikut :

Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya. Penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.


(40)

Setelah penyidik mendapatkan dan menyakini bukti-bukti bahwa terjadi tindak pidana maka penyidik wajib segera menyerahan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum. Dan dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan, dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas, maka penyidikan dianggap telah selesai. Dalam hal penyidikan dan penulisan Berkas Acara Perkara atau BAP kedudukan saksi A Charge yang merupakan sumber dari informasi terjadinya tindak pidana akan di lindungi menurut undang-undang.

Jika dilihat dari penuntut umum kedudukan saksi A Charge dalam proses peradilan dapat dilihat dari pembuatan surat dakwaan. Surat dakwaan tersebut di dasarkan pada Berita Acara Penyidikan yang diberikan oleh penyidik. surat dakwaan tersebut berisikan identitas tersangka dan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam hal proses pembuatan surat dakwaan penuntut umum telah menyakini bukti-bukti dan saksi telah ada dan merupakan suatu tindakan tindak pidana maka penuntut umum harus segera melimpahkan surat dakwaan kepada pengadilan untuk secepatnya memeriksa terdakwa, di adili dan di putus oleh majelis hakim yang berjumlah 3 orang. Setelah majelis hakim di tetapkan maka selanjutnya di tetapkan hari sidang. Pemberitahuan hari sidang disampaikan oleh penuntut umum kepada terdakwa di


(41)

alamatkan tempat tinggalnya atau disampaikan di tempat kediaman terahir apabila tempat tinggalnya tidak diketahui.

Hakim di dalam memutuskan terdakwa bersalah atau tidak didasarkan pada

keterangan saksi A Charge dan alat bukti yang sah sebagaimana di atur di dalam

undang-undang dan di dasarkan pada keyakinan hakim itu sendiri, hal ini sesuai

dengan system pembuktian yang ada di Indonesia yaitu Sistem Negatif Wetteljk.

Dengan demikian keyakinan hakim dan alat bukti yang sah menurut

undang-undang harus ada hubungan sebab akibat (Causal). Pasal 183 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana mensyaratkan adanya dua alat bukti yang sah dan yang ditetapkan Undang-Undang dan keyakinan hakim, bahwa tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Hal ini juga di atur di dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman pasal 6 ayat (2) yang mana bunnyinya :

Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbutan yang didakwakan atas dirinya.

Oleh karena itu, sistem KUHAP menganut sistem Negative wettelijk, tidak

mengizinkan hakim pidana untuk menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti lain yang tidak ditetapkan oleh Undang-Undang, dalam hal ini yang ditetapkan oleh pasal 184 KUHAP.

Apabila hakim sudah menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa

maka hakim telah menyakini berdasarkan keterangan saksi A Charge atau

fakta-fakta di dalam persidangan dan alat bukti yang sah menurut undang-undang bahwa terdakwa melakukan perbutan yang telah didakwakan kepada dirinya dan


(42)

putusan majelis hakim diambil dalam suatu musyawarah majelis hakim yang merupakan permufakatan bulat yang berhasil dicapai. Apabila kebulatan tidak dapat diperoleh maka didasarkan dengan suara terbanyak, apabila mekanisme tersebut masih belum dapat mencapai suara bulat, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang menguntungkan terdakwa.


(43)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM SAKSI A CHARGE DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA 3.1 Pelaksanaan Perlindungan Saksi A Charge

Pelaksanaan perlindungan saksi A Charge tidak terlepas dengan beberapa

persoalan yakni; penegakkan hukum perlindungan saksi A Charge, kapan

dilakukan perlindungan saksi A Charge, bentuk-bentuk perlindungan saksi A

Charge dan tata cara perlindungan saksi A Charge dalam proses peradilan pidana. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah

keterangan saksi A Charge yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri

terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat

menghadirkan saksi A Charge disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun

psikis dari pihak tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan

perlindungan bagi saksi A Charge yang sangat penting keberadaannya dalam

proses peradilan pidana.27

Kesaksian memang dibutuhkan dalam setiap pengadilan pidana, termasuk

pengadilan militer. Saksi A Charge yang dimintai keterangan dalam penyidikan

maupun persidangan, pada dasarnya sangat membantu berjalannya rangkaian

       27

Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro Semarang. 2008. hlm. 72


(44)

proses peradilan. Apalagi hasil yang diharapkan dari proses pengumpulan

keterangan saksi A Charge untuk memastikan peradilan yang jujur.

Dalam penegakan perlindungan saksi A Charge khususnya perlindungan

hukum bagi saksi A Charge itu sendiri saat ini telah diatur oleh Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebuah Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran hak asasi manusia, adalah satu kesatuan integral dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang disahkan pada tanggal 11 Agustus 2006, diharapkan akan menolong negara ini keluar dari persoalan-persoalan hukum yang berkepanjangan, seperti sulitnya memberantas korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan belum lagi tentang perlindungan hukum yang hanya mampu menyentuh bagi kalangan konglomerat, pejabat, dan lain sebagainya. Sehingga

diperlukan perlindungan hukum sebagai payung hukum bagi para saksi A Charge

dan korban di masa mendatang. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,

merupakan salah satu jawaban dari persoalan di atas.28

Perlindungan terhadap saksi A Charge harus diberikan bila menginginkan

proses hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Hal ini dapat diperhatikan bahwa adanya fakta menunjukkan, banyak kasus-kasus pidana maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan adanya ancaman baik fisik atau psikis maupun upaya kriminalisasi


(45)

terhadap saksi A Charge ataupun keluarganya yang membuat masyarakat takut memberi kesaksian kepada penegak hukum.

Dalam bentuk perlindungan saksi A Charge ada dua bentuk model

perlindungan yang bisa diberikan kepada saksi A Charge yaitu Pertama

procedural rights model dan Kedua the service model. 1) Procedural rights model

Model ini memungkinkan saksi A Charge berperan aktif dalam

proses peradilan tindak pidana. “saksi A Charge diberikan akses yang

luas untuk meminta segera dilakukan penuntutan, saksi A Charge juga

berhak meminta dihadirkan atau didengarkan keterangannya dalam

setiap persidangan dimana kepentingan saksi A Charge terkait di

dalamnya. Hal tersebut termasuk pemberitahuan saat pelaku tindak pidana dibebaskan. Model ini memerlukan biaya yang cukup besar

dengan besarnya keterlibatan saksi A Charge dalam proses peradilan,

sehingga biaya administrasi peradilanpun makin besar karena proses persidangan bisa lama dan tidak sederhana.

2) The service model.

Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap

saksi A Charge yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Misalnya

pelayanan kesehatan, pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi. Banyaknya pelayanan yang harus diberikan kepada

saksi A Charge menyebabkan efisiensi pekerjaan dari penegak hukum


(46)

benar-benar diterima saksi A Charge. Model yang bisa diterapkan di Indonesia adalah kombinasi keduanya, karena di Negara Indonesia paling susah adalah dalam hal koordinasi. Oleh karena itu, kedua model itu harus disesuaikan dengan keadaan Indonesia, harus diukur sejauh

mana saksi A Charge bisa terlibat dalam proses peradilan.29

Begitu pula tentang pemenuhan hak yang dapat diberikan kepada saksi A

Charge. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah memuat perlindungan yang harus diberikan kepada saksi dan korban. Namun dalam hal ini harus ada ketentuan yang lebih rinci, seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, misalnya tentang penanganan secara khusus berkaitan dengan

kerahasiaan korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lex

specialis hendaknya ditentukan tentang bentuk dan cakupan kasus yang

dilindungi.30

KUHAP Memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus, rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi – termasuk saksi A Charge – dalam proses peradilan pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam hukum yang ada di Indonesia tidak ada ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan saksi. Adapun beberapa pasal dalam KUHAP yang dianggap memberikan perlindungan pada saksi A Charge yang terdapat di dalam Pasal :

      

29 

Andi Hamzah. 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 68-78


(47)

1. Pasal 117 ayat (1) : Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanta tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.

2. Pasal 118 : keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita

acara yang di tandatangani oleh penyidik, dan oleh yang member keterangan itu setelah mereka menyetujuinya.

3. Pasal 166: Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan

kepada terdakwa maupun kepada saksi.

4. Pasal 177 : jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia,

hakim ketua siding menunjukan seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.

5. Pasal 178 : jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat

membaca dan menulis, hakim ketua siding mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.

6. Pasal 229 : saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam

rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Pasal 98 : korban suatu tindak pidana dapat mengajukan genti kerugian

pada terdakwa yang terbukti bersalah menyebabkan kerugian baginya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan perdata.


(48)

Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bentuk perlindungan saksi adalah sebagai berikut :

1) Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta

bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan.

2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

serta dukungan keamanan.

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4) Mendapat penerjemah.

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasusnya.

7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

8) Diberitahu ketika terpidana dibebaskan.

9) Mendapatkan identitas baru.

10) Mendapatkan tempat kediaman baru.

11) Penggantian biaya transportasi.

12) Mendapatkan penasihat hukum.

13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir.

Dalam pelaksanaannya di dalam lapangan atau di dalam perlindungan saksi A Charge tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, karena saksi A Charge merupakan unsur dari

Saksi dan Korban.

Dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dan di dalam pasal 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2004 Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, juga berhak untuk mendapatkan:

1) Bantuan medis;


(49)

Dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tetang Perlindungan Saksi dan Korban, Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

1) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi

manusia yang berat;

2) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana.

Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan, dan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir.

Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir

langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Saksi A Charge

dan/atau korban dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada

berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. Saksi A Charge dan/atau

korban dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana

elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.31

Saksi A Charge, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik

pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah

diberikannya. Seorang saksi A Charge yang juga tersangka dalam kasus yang

sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan       

31


(50)

pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan

tersebut tidak berlaku terhadap saksi A Charge, korban, dan pelapor yang

memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

Menurut Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa perjanjian perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi A Charge dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

1) Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;

2) Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;

3) Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban; 4) Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau

korban.

Pasal 29 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:

1) Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri

maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;

2) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan

pemeriksaan terhadap permohonan;

3) Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diberikan secara

tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.

Bagi saksi A Charge dan/atau korban yang menghendaki perlindungan dari

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, saksi A Charge dan/atau korban baik

atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.


(51)

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban lebih kongkrit menegaskan bahwa dalam hal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menerima

permohonan saksi A Charge dan/atau korban, saksi A Charge dan/atau korban

menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan

perlindungan saksi A Charge dan korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat

dan ketentuan perlindungan saksi A Charge dan korban memuat:

1) Kesediaan saksi A Charge dan/atau korban untuk memberikan

kesaksian dalam proses peradilan;

2) Kesediaan saksi A Charge dan/atau korban untuk menaati aturan yang

berkenaan dengan keselamatannya;

3) Kesediaan saksi A Charge dan/atau korban untuk tidak berhubungan

dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, selama ia berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ;

4) Kewajiban saksi A Charge dan/atau korban untuk tidak

memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ;

5) Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewajiban

memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi A Charge dan/atau korban,

termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan mengikuti persyaratan tersebut dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 tentang


(52)

Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan atas keamanan saksi A Charge dan/atau korban hanya dapat diberhentikan berdasarkan alasan-alasan seperti yang tercantum dalam Pasal 32 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu:

1) Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya

dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

2) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan

perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;

3) Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam

perjanjian; atau

4) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berpendapat bahwa saksi

dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.

Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban juga mengatur mengenai bantuan bagi saksi atau korban sebagaimana diatur dalam

Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 dalam penjelasan sebagai berikut ini.32

Bantuan diberikan kepada seorang saksi dan/atau korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan menentukan kelayakan diberikannya bantuan

kepada saksi A Charge dan/atau korban. Dalam hal saksi A Charge dan/atau

korban layak diberi bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan serta jangka waktu dan besaran biaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.


(53)

Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengenai pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut. Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dan melaksanakan perlindungan dan bantuan, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3.2Lembaga Perlindungan Saksi

Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ini juga melahirkan lembaga baru sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan lembaga yang mandiri dalam arti lembaga yang independent, tanpa campur tangan dari pihak manapun. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga berkedudukan di Ibu kota Negara Republik Indonesia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggung jawab untuk

menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi A Charge dan korban

berdasarkan tugas dan kewenangannya, dan bertanggung jawab kepada Presiden. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban membuat laporan secara berkala tentang


(54)

pelaksanaan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun.

Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. Masa jabatan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah 5 (lima) tahun. Setelah berakhir masa jabatan, anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas Pimpinan dan Anggota, Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota. Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dipilih dari dan oleh anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sekretariat Lembaga Perlindungan


(55)

Saksi dan Korban dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terbentuk.

Sehubungan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini belum ada komponen hukum yang mendukung untuk dilaksanakan, untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dilakukan oleh Presiden, dan dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan Presiden membentuk panitia seleksi. Panitia seleksi terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut:

1) 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan

2) 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.

Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan Peraturan Presiden. Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan. Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang.


(56)

Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diterima. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan, dan Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui. Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima.

Presiden menetapkan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden. Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban harus memenuhi syarat yang terdapat di dalam pasal 23 ayat 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang berbunyi sebagai berikut:

1) Warga negara Indonesia;

2) Sehat jasmani dan rohani;

3) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan


(1)

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan Peraturan LPSK.

Pasal 17

Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 18

(1) Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK.

(2) Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil.

(3) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas,

dan tanggung jawab secretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

(5) Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak LPSK terbentuk.

Pasal 19

(1) Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden.

(2) Dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk panitia seleksi.

(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut:

a. 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan b. 3(tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.

(4) Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara

pelaksanaan scleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK, diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 20

(1) Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan.

(2) Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dari sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


(2)

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima.

(2) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan.

(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui.

(4) Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima.

Pasal 22

Presiden menetapkan anggota LPSK yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden.

Bagian Ketiga

Pengangkatan dan Pemberhentian Pasal 23

(1)Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2)Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat: a. warga negara Indonesia;

b. sehat jasmani dan rohani;

c. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun;

d. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;

e. berpendidikan paling rendah S 1 (strata satu);

f. berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun;

g. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan h. memiliki nomor pokok wajib pajak.

Pasal 24

Anggota LPSK diberhentikan karena: a. meninggal dunia;

b. masa tugasnya telah berakhir; c. atas permintaan sendiri;


(3)

d. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus;

e. melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK; atau

f. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.

Pasal 25

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Keempat

Pengambilan Keputusan dan Pembiayaan Pasal 26

(1)Keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

(2)Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Pasal 27

Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

                     


(4)

BAB IV

SYARAT DAN TATA CARA

PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN BANTUAN Bagian Kesatu

Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Pasal 28

Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

a. sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;

b. tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;

c. basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.

Bagian Kedua

Tata Cara Pemberian Perlindungan Pasal 29

Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut:

a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.

Pasal 30

(1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. (2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan

Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;

d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.


(5)

Pasal 31

LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

Pasal 32

(1) Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan:

a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

b. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan

perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;

c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau

d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.

(2) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus dilakukan secara tertulis.

Bagian Ketiga

Tata Cara Pemberian Bantuan Pasal 33

Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK.

Pasal 34

(1) LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.

(2) Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.


(6)

Pasal 36

(1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yangberwenang.

(2) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini.