EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PERKARA PIDANA
Oleh:
SETIYONO
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
Ketua Divisi Non-Litigasi LKBH FH USAKTI
Jl. Kiai Tapa Grogol, Jakarta Barat
setiyono@plasa.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memberikan sebuah tinjauan hukum mengenai eksistensi saksi
mahkota. Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung
pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil maka KUHAP telah memiliki
rumusan sistem pembuktian tersendiri. Dalam perkembangannya, maka penggunaan saksi
mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana tidak dibolehkan dengan pertimbangan
karena bertentangan dengan hak asasi terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan
KUHAP sebagai instrumen hukum nasional dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) sebagai instrumen hak asasi manusia internasional termasuk
sebagai instrumen penilaian terhadap implementasi prinsip-prinsip fair trial. Metode yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal

dengan metode penelitian hukum normatif. Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa
penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang
kembali karena bertentangan dan melanggar kaidah hak asasi manusia sebagaimana diatur
dalam KUHAP sebagai instrumen hukum nasional maupun ICCPR sebagai isntrumen hak
asasi manusia internasional yang juga merupakan sumber acuan terhadap implementasi
prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial).
Kata Kunci : Saksi Mahkota, Alat Bukti, Perkara Pidana.

dan kesejahteraan dalam masyarakat (Andi Hamzah,

Pendahuluan
Dalam kedudukannya sebagai instrumen

2001).

hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan

Selain itu, untuk mendukung implementasi

penerapan ketentuan hukum pidana materil maka


rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya harus

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

berpedoman pada asas-asas yang berlaku dalam

Kitab

Pidana

proses peradilan pidana, seperti asas praduga tidak

(KUHAP) telah memiliki rumusan sistem pembuk-

bersalah (presumption of innocence), asas persa-

tian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian

maan dihadapan hukum (equality before the law)


tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari

dan asas pemeriksaan akusator (Syamsul Bahri

hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan mem-

Radjam, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah

peroleh kebenaran materiil (Departemen Keha-

satu bentuk dari adanya asas praduga tidak bersalah

kiman RI: Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-

maka terdakwa sebagai subjek dalam setiap ting-

Undang Hukum Acara Pidana, 1982). Dengan

katan pemeriksaan tidak dibebani dengan kewajiban


tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai

pembuktian (M. Yahya Harahap, 2003). Hal tersebut

pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk

merupakan bentuk hak asasi terdakwa sebagai

mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan

konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan aku-

Undang-Undang

Hukum Acara

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

29


Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

sator dalam KUHAP. Oleh karena itu, sebagai

sah dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan

subjek dalam pemeriksaan maka tersangka atau

pada alat bukti yang sah tersebut (Martiman

terdakwa diberikan kebebasan untuk melakukan

Prodjohamidjojo, 1990). Oleh karena itu, apabila

pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan

ditinjau dari perspektif yuridis maka dalam perihal

yang ditujukan kepada dirinya (Darwan Prinst,


pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan

1998).

tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan

cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan

pidana maka perihal pembuktian merupakan hal

tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang

yang sangat determinan bagi setiap pihak yang

dengan melanggar hak asasi terdakwa (M. Yahya

terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan


Harahap, 2003).

perkara pidana, khususnya dalam hal menilai ter-

Seringkali dalam berbagai sidang pem-

bukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didak-

buktian perkara pidana, muncul alat bukti yang

wakan kepada terdakwa (Lilik Mulyadi, 2007). Bagi

disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasar-

penuntut umum, maka pembuktian merupakan

nya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara

faktor yang sangat determinan dalam rangka men-


tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi

dukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki

mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana

beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal

yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara

tersebut sesuai dengan prinsip dasar pembuktian

pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (split-

sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 66

sing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di

KUHAP yang menyatakan bahwa pihak yang men-


tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan

dakwakan

harus

digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana

membuktikan dakwaannya (Adami Chazawi, 2006).

yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada

Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya

alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diaju-

sebagai penasihat hukum, maka pembuktian meru-

kan oleh penuntut umum.


maka

pihak

tersebut

yang

pakan faktor yang determinan dalam rangka mela-

Dalam perkembangannya, ternyata muncul

kukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa

berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi

selaku kliennya.

maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi


Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang

mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan

memiliki kewenangan untuk melakukan pemerik-

perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa

saan pada tingkatan pengadilan maka perihal

penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertu-

pembuktian merupakan faktor yang juga sangat

juan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun

menentukan bagi hakim dalam mendukung pemben-

sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi

tukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut sebagai-

mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan

mana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183

dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bah-

KUHAP yang pada pokoknya menjelaskan bahwa

kan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi

hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa

mahkota ini juga muncul dalam berbagai yuris-

harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang
30

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

prudensi putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.

Adapun sifat penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif artinya adalah penelitian mengenai pengeta-

Permasalahan

huan atau teori tentang obyek yang sudah ada

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka
dalam tulisan ini penulis mencoba untuk membahas
mengenai permasalahan tentang eksistensi saksi
mahkota sebagai alat bukti dalam pekara pidana.
Pokok pembahasan yang dilakukan oleh
penulis bersifat terbatas, yaitu menganalisis hanya

dan ingin memberikan gambaran serta analisis
tentang obyek penelitian.
Dalam uraian penulisan ini dapat dikatakan bahwa data yang digunakan adalah data
sekunder. Data sekunder ialah data yang diper-

terhadap pokok permasalahan tentang dibolehkan

oleh dari suatu sumber yang sudah dikumpul-

atau tidaknya pengunaan saksi mahkota menurut

kan oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum

ketentuan perundang-undangan yang berlaku khu-

primer seperti peraturan perundang-undangan,

susnya yang mengatur tentang perlindungan hak

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

asasi terhadap terdakwa.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dan bahan hukum sekunder seperti

Tujuan Penelitian

literatur-literatur yang berkaitan dengan tulisan

Tulisan ini hanya bertujuan untuk memperlengkap literatur keilmuan dan pengetahuan
bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi yang jelas
mengenai eksistensi saksi mahkota sebagai alat

ini. Data sekunder ini merupakan data utama
dalam suatu penelitian hukum karena kecenderungan adanya sifat penelitian hukum yang
bersifat deskriptif.

bukti dalam pekara pidana.

Tipe penelitian yang penulis gunakan
dalam penulisan ini adalah tipe penelitian normatif. Dimana seperti telah kita ketahui bersama bahwa tipe penelitian normatif adalah
bentuk penelitian yang bertujuan untuk menelaah dan mengkaji asas-asas hukum positif yang

Sistem Pembuktian dan Alat Bukti Menurut
KUHAP
Secara teoritis, dikenal empat macam sistem
pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai
berikut (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003):
1. Conviction in time, adalah sistem pembuktian
yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich

berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam

dalam memberikan putusan tentang terbukti

hal ini adalah yurisprudensi-yurisprudensi yang

atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwa-

berkenaan dengan saksi mahkota. Misalnya,

kan kepada terdakwa.

Yurisprudensi

Mahkamah

Agung

Republik

2. Conviction in Raisonee, adalah sistem pembuk-

Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21

tian yang berpedoman pada keyakinan hakim

Maret 1990 tentang saksi mahkota sebagai alat bukti

dalam memberikan putusan tentang terbukti

dalam perkara pidana.

atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwaLex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

31

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

kan kepada terdakwa. Faktor keyakinan hakim

Konsep keyakinan hakim tersebut baru

dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan

dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat

pada alasan-alasan yang logis (reasonable). Hal

bukti yang sah menurut KUHAP. Berpedoman pada

ini yang membedakan dengan sistem pembuk-

konsep keyakinan hakim tersebut maka penulis

tian yang pertama.

berpendapat bahwa apabila hakim bersikap aktif

3. Positief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal

dalam sidang pembuktian maka hal tersebut harus

dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem

dilihat dari perspektif kepentingan tugasnya, yaitu

pembuktian yang berpedoman pada alat bukti

dalam rangka membentuk suatu keyakinan dan

yang telah ditentukan oleh undang-undang

bukan didasarkan pada perspektif kepentingan untuk

dalam memberikan putusan tentang terbukti

membuktikan kesalahan terdakwa. Adapun keya-

atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwa-

kinan hakim yang akan terbentuk pada akhirnya

kan kepada terdakwa.

nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan

4. Negatief wetelijk stelsel atau yang lebih dikenal

bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah atau

dengan sistem pembuktian negatif, adalah sis-

sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti

tem pembuktian yang berpedoman pada alat

bersalah.

bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang

Aktualisasi dari kombinasi kedua konsep

dan keyakinan hakim dalam memberikan putu-

dalam ketentuan pasal 183 KUHAP tersebut dapat

san tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesa-

dilihat dalam rumusan kalimat baku setiap diktum

lahan yang didakwakan kepada terdakwa.

putusan perkara pidana yang menyatakan “secara

Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal

sah dan meyakinkan”. Kata “sah” dalam hal ini

183 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa

berarti bahwa hakim dalam memberikan putusan

KUHAP menganut sistem pembuktian yang negatif.

tersebut didasarkan pada alat bukti yang sah

Terdapat dua konsep penting dalam ketentuan Pasal

sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan

183 KUHAP tersebut, yaitu konsep tentang prinsip

perundang-undangan

minimum pembuktian dan konsep keyakinan hakim.

“meyakinkan” dalam hal ini berarti bahwa dari alat

Prinsip minimum pembuktian menjelaskan bahwa

bukti yang sah tersebut maka terbentuk keyakinan

untuk dapat membuktikan adanya kesalahan ter-

hakim.

lainnya.

Sedangkan

kata

dakwa sehingga dapat dijatuhkan putusan pidananya

Perihal alat bukti yang sah, ternyata dalam

maka harus dibuktikan minimal dengan dua alat

ketentuan Pasal 184 KUHAP telah diatur lima jenis

bukti yang sah. Ketiadaan dua alat bukti yang sah

alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,

tersebut maka akan mengakibatkan terdakwa bebas.

surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Secara

Bahkan, apabila suatu perkara pidana tidak memi-

gradasi, maka eksistensi keterangan saksi merupa-

liki minimal dua alat bukti sejak dilakukannya

kan alat bukti yang sangat penting. Alat bukti

penyidikan dan penuntutan maka akan mengakibat-

keterangan terdakwa merupakan konsep alat bukti

kan dihentikannnya proses penyidikan oleh dan juga

baru

dihentikannya proses penuntutan oleh penuntut

konservatif berupa pengakuan terdakwa sebagai-

umum (Kepolisian Republik Indonesia, 2000).

mana yang diatur dalam ketentuan Pasal 295 Het

32

yang

menggantikan

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

konsep

alat

bukti

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Selain itu,

Dalam

yurisprudensi

nomor

1986

alat bukti keterangan terdakwa merupakan konse-

K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut dijelas-

kuensi dari dianutnya asas pemeriksaan akusator

kan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang

oleh KUHAP (Hari Sasangka dan Lily Rosita,

apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi

2003).

mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi
ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak ter-

Definisi dan Pengaturan Saksi Mahkota

masuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa

Walaupun tidak diberikan suatu definisi

yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yuris-

otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota

prudensi tersebut juga telah diberikan suatu definisi

(kroon getuide), namun berdasarkan perspektif em-

tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang

pirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai

melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan

saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang

sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut

tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama

umum, yang perkara diantaranya dipisah

melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana

kurangnya alat bukti.

karena

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan

kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun
yang ber-

saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara

status terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditia-

pidana didasarkan pada kondisi-kondisi tertentu,

dakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberi-

yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam

kannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila

bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana

perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaaf-

bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan meka-

kan atas kesalahan yang pernah dilakukan (Lilik

nisme pemisahan (splitsing), serta apabila dalam

Mulyadi,

perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih

mahkota yang diberikan kepada saksi

2007).

Menurut

Loebby

Loqman,

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi

terdapat

mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang

keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar

biasanya

terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawa-

terjadi

dalam

peristiwa

penyertaan

kekurangan

alat

bukti,

khususnya

bannya sebagai pelaku perbuatan pidana.

(Loebby Loqman, 1995).
Pada awalnya, pengaturan mengenai saksi
mahkota hanya diatur dalam ketentuan Pasal 168

Analisis Terhadap Penggunaan Saksi Mah-

huruf

kota Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara

(c)

KUHAP,

yang

pada

pokoknya

menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama seba-

Pidana

gai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya

Adanya penggunaan saksi mahkota seba-

dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Selan-

gai alat bukti dalam perkara pidana maka tentunya

jutnya, dalam perkembangannya, maka rekognisi

akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridis.

tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam per-

Munculnya alasan untuk memenuhi dan mencapai

kara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah

rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi

Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989

diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal

tanggal 21 Maret 1990 (Varia Peradilan, 1990).

yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

33

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

sebagai alat bukti dalam setiap pemeriksaan perkara

secara bebas karena terikat dengan kewajiban

pidana.

untuk bersumpah. Konsekuensi dari adanya
Secara normatif, pengajuan dan penggunaan

pelanggaran terhadap sumpah tersebut maka

saksi mahkota merupakan hal yang sangat berten-

terdakwa akan dikenakan atau diancam dengan

tangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil

dakwaan baru berupa tindak pidana kesaksian

dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan

palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 224

pelanggaran terhadap kaidah hak asasi manusia

KUH Pidana. Adanya keterikatan dengan

sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagai

sumpah tersebut maka tentunya akan menimbul-

instrumen

International

kan tekanan psikologis bagi terdakwa karena

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

terdakwa tidak dapat lagi menggunakan hak

tahun 1996 sebagai instrumen hak asasi manusia

ingkarnya untuk berbohong. Oleh karena itu,

internasional. Dalam kaitannya dengan penilaian

pada hakikatnya kesaksian yang diberikan oleh

implementasi prinsip-prinsip fair trial maka ICCPR

saksi mahkota tersebut disamakan dengan

digunakan sebagai instrumen acuan.

pengakuan yang didapat dengan menggunakan

hukum

nasional

dan

Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut
adalah sebagai berikut :

kekerasan (Loebby Loqman, 1995) in casu
kekerasan psikis ;

1. Bahwa saksi mahkota, secara esensinya adalah

3. Bahwa sebagai pihak yang berstatus terdakwa

berstatus terdakwa. Oleh karena itu, sebagai

walaupun dalam perkara lainnya diberikan

terdakwa maka pelaku memiliki hak absolut

kostum sebagai saksi maka pada prinsipnya

untuk diam atau bahkan hak absolut untuk

keterangan yang diberikan oleh terdakwa (saksi

memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau

mahkota) hanya dapat digunakan terhadap

berbohong. Hal ini merupakan konsekuensi

dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang

yang

dijelaskan dalam ketentuan Pasal 183 ayat (3)

melekat

sebagai

akibat

dari

tidak

diwajibkannya terdakwa untuk mengucapkan
sumpah dalam memberikan keterangannya.

KUHAP;
4. Bahwa dalam perkembangannya, ternyata Mah-

Selain itu, menurut ketentuan Pasal 66 KUHAP

kamah

dijelaskan bahwa terdakwa tidak memiliki

tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu

beban pembuktian, namun sebaliknya bahwa

perkara pidana dalam hal mana dijelaskan

beban pembuktian untuk membuktikan kesa-

bahwa penggunaan saksi mahkota adalah ber-

lahan terdakwa terletak pada pihak jaksa

tentangan dengan hukum acara pidana yang

penuntut umum;

menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ter-

Agung

memiliki

pendapat

terbaru

2. Bahwa dikarenakan terdakwa tidak dikenakan

sebut sebagaimana dijelaskan dalam Yurispru-

kewajiban untuk bersumpah maka terdakwa

densi Mahkamah Agung Republik Indonesia

bebas untuk memberikan keterangannya dihada-

Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995,

pan persidangan. Sebaliknya, dalam hal terdak-

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

wa diajukan sebagai saksi mahkota, tentunya

Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29

terdakwa tidak dapat memberikan keterangan

April 1995 (Varia Peradilan, 1995), Yurispru-

34

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

densi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Kesimpulan

Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995

Berdasarkan uraian pembahasan sebagai-

dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

mana yang telah dikemukakan di atas, maka selan-

Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3

jutnya dapat dirumuskan beberapa konklusi sebagai

Mei 1995 (Varia Peradilan, 1995) ;

berikut :

5. Bahwa seringkali keterangan terdakwa dalam

1. KUHAP dan penjelasannya tidak mengatur

kapasitasnya sebagai saksi mahkota yang terikat

secara tegas mengenai definisi otentik tentang

oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan

saksi mahkota. Namun demikian, ketentuan

untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam

Pasal 168 huruf c KUHAP merupakan dasar

perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong.

pengaturan bagi saksi mahkota.

Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar

2. Pada awalnya, penggunaan saksi mahkota

asas non self incrimination. Dalam ketentuan

sebagai alat bukti dalam perkara pidana dibo-

Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan

lehkan karena didasarkan pada alasan adanya

sebagai berikut :

kekhawatiran kurangnya alat bukti yang diaju-

“In the determination of any criminal charge

kan, khususnya terhadap perkara pidana yang

against him, everyone shall be entitled to the

berbentuk penyertaan dan juga alasan untuk

following minimum guarantes, in full equality :

memenuhi rasa keadilan publik. Hal ini sebagai-

(g). Not to be compelled to testify against

mana dijustifikasi oleh Yurisprudensi Mah-

himself or to confess guilty.”

kamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3)

K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.

huruf g ICCPR tersebut bertujuan untuk mela-

3. Dalam perkembangannya, maka penggunaan

rang paksaan dalam bentuk apapun. Selain itu,

saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara

diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat

pidana tidak dibolehkan dengan pertimbangan

digunakan sebagai bukti untuk menyatakan

karena bertentangan dengan hak asasi terdakwa

kesalahannya (Ahmad Fauzan, 1997).

sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP

Dengan demikian, penggunaan saksi mah-

sebagai instrumen hukum nasional dan ICCPR

kota sebagai alat bukti dalam perkara pidana perlu

sebagai instrumen hak asasi manusia inter-

ditinjau ulang kembali karena bertentangan dan

nasional. Hal tersebut juga didukung oleh ber-

melanggar kaidah hak asasi manusia sebagaimana

bagai

diatur dalam KUHAP sebagai instrumen hukum

Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994

nasional maupun ICCPR sebagai isntrumen hak

tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah

asasi manusia internasional yang juga merupakan

Agung

sumber acuan terhadap implementasi prinsip-prinsip

K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurispru-

peradilan yang adil (fair trial).

densi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Yurisprudensi

Republik

Mahkamah

Indonesia

Nomor

Agung

1952

Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995
dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

35

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3

Harahap, M. Yahya, ”Pembahasan Permasalahan
Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

Mei 1995.

Penuntutan”,.

4. Digunakannya ICCPR sebagai instrumen untuk

Grafika,

Jakarta,

2003.

menganalis tentang penggunaan saksi mahkota
sebagai alat bukti didasarkan alasan bahwa

Sinar

_________,

”Pembahasan

Permasalahan

dan

ICCPR merupakan instrumen acuan dalam

Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang

menilai implementasi prinsip-prinsip fair trial.

Pengadilan,
Peninjauan

Berdasarkan beberapa hasil kesimpulan

Banding,

Kasasi

Kembali”, Sinar

Dan

Grafika,

Jakarta, 2003.

sebagaimana yang telah dikemukakan di atas oleh

Kepolisian Republik Indonesia, ”Buku Petunjuk

penulis, maka selanjutnya dapat diajukan beberapa

Pelaksanaan Proses Penyidikan Tindak

saran sebagai berikut :

Pidana”, Jakarta, 2000.

1. Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti

Loqman,

dalam perkara pidana perlu ditinjau ulang
karena bertentangan dengan esensi hak asasi

Loebby,

“Saksi

Mahkota”,

Forum

Keadilan, Nomor 11, 1995.
Mulyadi, Lilik, ”Putusan Hakim Dalam Hukum

manusia, khususnya hak asasi terdakwa.

Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik

2. Untuk dapat mendukung implementasi prinsip-

Penyusunan dan Permasalahannya”, Citra

prinsip fair trial maka perlu dicari suatu solusi
untuk menggantikan penggunaan alat bukti

Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Prinst, Darwan, ”Hukum Acara Pidana dalam

saksi mahkota demi untuk mewujudkan rasa
keadilan publik.

Praktik”, Djambatan, Jakarta, 1998.
Prodjohamidjojo,

Martiman,

”Komentar

Atas

KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum

Daftar Pustaka

Acara Pidana”, Pradnya Paramita, Jakarta,

Chazawi, Adami, “Kemahiran Dan Ketrampilan

1990.

Praktik Hukum Pidana”, Bayumedia,

Kehakiman

Republik

Indonesia,

”Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana”, Jakarta,

Ahmad,

dan

Lily

”Hukum

Mahasiswa Dan Praktisi”, Mandar Maju,
Bandung, 2003.
Radjam, Syamsul Bahri. “Hak Warga Negara Dalam

”Fair

Trial:

Prinsip-Prinsip

Bantuan

Hukum

:

Pedoman

Anda

Tidak

Memahami Dan Menyelesaikan Masalah

Memihak”, Yayasan Lembaga Bantuan

Hukum, editor A. Patra M. Zein dan Daniel

Hukum Indonesia, Jakarta, 1997.

Hutagalung. Yayasan Lembagai Bantuan

Peradilan

Yang

Adil

Dan

Hamzah, Andi, “Hukum Acara Pidana Indonesia”,
Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

Hukum Indonesia, Jakarta, 2006.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.

36

Rosita,

Hukum Acara Pidana” dalam Panduan

1982.
Fauzan,

Hari

Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk

Malang, 2006.
Departemen

Sasangka,

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Varia Peradilan, Nomor 62, Nopember, 1990.
Varia Peradilan, Nomor 119, Agustus, 1995.
Varia Peradilan, Nomor 120, September 1995.
Wisnubroto, Al dan G. Widiartana, “Pembaharuan
Hukum Acara Pidana”, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005.

Lex Jurnalica Vol.5 No. 1, Desember 2007

37