Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh | Mujib | Jurnal Pemikiran Sosiologi 30016 68525 1 PB
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.2, November 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh:
Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan Konsumerisme
Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Oleh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah1
Abstrak
Tulisan ini menunjukkan proses renegosiasi identitas lokal dalam praktik komersialisasi dan
konsumerisme di Aceh. Dua praktik sosial ini muncul di Aceh sebagai akibat dari proses ekspansi pasar
yang meluas pasca tsunami. Di mana faktanya telah didukung oleh egen-egen globalisasi yang
merepresentasi pemikiran-pemikiran dan etos kapitalisme. Tidak saja itu, bahkan praktiknya
berlangsung sebagai ideologi gerakan, bukan sekadar sebagai bentuk-bentuk praktik ekonomi politik
yang berlangsung secara normal dan seimbang. Di sinilah bentuk dominasi pasar faktanya telah terlalu
kuat mendominasi masyarakat terutama bagi yang tidak memiliki kekuatan modal ekonomi, politik, dan
akses distribusi yang cukup, negara telah begitu saja perannya dapat dibeli dengan kekuatan-kekuatan
kapital yang berkuasa. Bahkan dampaknya sampai melahirkan pergeseran pada identitas Keacehan,
seperti bagaimana masyarakat Aceh yang sebelumnya memegangi prinsip-prinsip kekeluargaan,
kebersamaan, kesetiakawanan, kepedulian, dan bahkan egaliter, kemudian dipaksa dan dibenturkan
pada tradisi baru yang meletakkan etos transaksional dengan mengedepankan prinsip-prinsip
individual, serta bergantung pada sistem ekonomi kapitalistis.
Kata kunci: kuasa pasar, renegosiasi, identitas lokal, komersialisasi, dan konsumerisme, gaya hidup.
Abstract
This paper shows the process of renegotiation of local identity in the commercialization and
consumerism process in Aceh. Two of these social practices emerging in Aceh as a result of widespread
market expansion process after the tsunami. Where the fact has been supported by globalization
represent the thoughts and ethos of capitalism. Even the practice takes place as ideological movement,
not merely as forms of political economic practices that take place in a normal and balanced. Here comes
from the fact that market dominance has been too strong to dominate the community, especially for those
who do not have the strength of economic capital, political, and considerable distribution access, the state
has granted the role can be purchased by the forces of capital in power. Even the shift in impact to the
delivery of Acehnese identity , such as how the people of Aceh who previously held the principles of
family, togetherness , solidarity , caring , and even egalitarian , then forced and bang it on a new tradition
with a transactional ethos that put forward the principles of individual , as well as depends on the
capitalistic economic system .
Keywords: market power, renegotiation, local identity, commercialization, consumerism, lifestyle
1
Ibnu Mujib adalah kandidat Doktor program studi Agama dan Lintas Budaya, UGM, dan dosen Fak. Sosiologi pada
Universitas Budiutomo Malang. Irwan Abdullah adalah Guru Besar Antropologi Fak. Ilmu Budaya UGM.
59
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan
A. Pendahuluan
serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan
Perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi
barang-barang simbolik disebut oleh Bourdieu
secara meluas dalam masyarakat tidak saja
menjelaskan
bagaimana
interaksi
4 sebagai perantara budaya baru
masyarakat
Piliang
dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).
dengan berbagai faktor lokalitas keacehan, tetapi
perubahan masyarakat lokal harus juga dilihat
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah
sebagai perubahan global yang memiliki pengaruh
masa industrialisasi, yaitu ketika barang-barang
dalam penataan sosial masyarakat (Abdullah, 2006:
mulai
142). Selain itu, perubahan di atas juga disebabkan
membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam
oleh meluasnya globalisasi yang membutuhkan
hal ini menempati posisi strategis sekaligus
respon tepat dan cepat, serta memerlukan strategi
menentukan;
yang tepat (Fatherstone, 1991, Hannerz, 1996).
menjembatani
Proses yang demikian ini akan membawa pasar
sebagai calon konsumen. Bahkan masalah ini dikaji
menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan
secara teoritis oleh seorang cendikiawan Prancis
nilai dan penataan sosial dalam masyarakat. Tidak
terkemuka, Jean Baudrillard (2005). Secara umum,
saja itu, pasar juga telah memperluas orientasi dan
menurutnya, media berperan sebagai agen yang
tingkat mobilitas masyarakatnya secara lebih intens,
menyebar
sehingga menyebabkan batas-batas sosial budaya
Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak,
masyarakat ikut mengabur.
benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji
pasar
adalah
munculnya
secara
yaitu
massal
sebagai
produsen
imaji-imaji
sehingga
medium
dengan
kepada
yang
masyarakat
khalayak
luas.
tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi
Salah satu tanda masyarakat yang didominasi oleh
kekuatan
diproduksi
berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan
gejolak
kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya
konsumerisme, yang diikuti oleh bentuk-bentuk
menguatnya media-media lokal baik cetak maupun
otoritas lain di luar dirinya yang memaksa untuk
elektronik. Masyarakat konsumer disebut Jean
Oleh
Baudrillard dengan masyarakat kapitalis mutakhir
konsumerisme, sampai soal media menjadi subjek-
(Jean Baudrillard, 2005) dan Adorno dengan
subjek penting dalam konteks relasi kuasa di Aceh
komodifikasi identitats yang didukung dengan
masyarakat
komoditas
membeli.
karena
itu,
isu-isu
komodifikasi,
society)
belakangan ini. Ketiga isu ini muncul secara meluas
(Benzer, 2001:109). Dengan demikian, mereka yang
di Aceh pasca tsunami, terutama 5-10 tahun terahir.
bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta
Menurut perspektif ekonomi-politik, sebagaimana
para intelektual informasi
penjelasan
commodity
di
atas
bahwa
isu
komodifikasi,
konsumerisme, hingga media ini muncul sebagai
akibat dari proses ekspansi pasar yang meluas oleh
agen-agen
globalisasi
yang
tentunya
telah
merepresentasi pemikiran-pemikiran dan etos
60
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
kapitalisme bahkan hal ini berlangsung sebagai
orang Aceh sedang dihadapkan pada realitas baru
ideologi gerakan, bukan sekadar sebagai bentuk-
setelah situasi sosial konflik yang berkepanjangan
bentuk praktik ekonomi politik yang berlangsung
membuat mereka ingin lepas dari tekanan apapun,
secara normal dan seimbang. Disinilah dominasi
termasuk belenggu ketidakadilan selama masa
pasar
transisi
yang
praktiknya
telah
menghegemoni
konflik
dan
tsunami.
Ketiga,
faktor
masyarakat sipil yang tidak memiliki kekuatan
hubunganya dengan human resources yang sedang
modal ekonomi (economic
menjajaki dan sebagian telah merasakan desakan
capital), dan akses
politik (political access) yang
cukup, bahkan
kultur global yang cukup mewarisi berbagai sisi
negara telah begitu saja perannya dapat dibeli
penting kehidupan Aceh. Human resources yang
dengan kekuatan-kekuatan kapital yang berkuasa.
terbatas
Di
bawah
ini
akan
dijelaskan
mempengaruhi
bagaimana
politik
yang
penting
mentalitas, cara berfikir, serta
sebagai mekanisme kontrol atas sejarah, realitas
bagi
sosial, bahkan juga termasuk sumberdaya manusia
perkembangan masyarakat Aceh, termasuk juga
kanyataannya telah menyebabkan prinsip-prinsip
soal bagaimana masyarakat Aceh kini telah masuk
lokal dan batas-batas daya dukung masyarakat kian
dan terperangkap dalam mekanisme sistem pasar,
dikesampingkan
yang mau tidak mau telah dipaksa dan sekaligus
tunduk
yang begitu kuat
demikian, sistem global yang membawa pasar
Aceh, banda Aceh khususnya menjadi suatu gejala
ekonomi
tuntutan
bahkan wisdom yang dianut sebelumnya. Dengan
komodifikasi identitas yang terjadi di belahan
sosial
dengan
(Abdullah,
2006).
Hadirnya
ratusan lembaga donor ke Aceh, termasuk lembaga-
pada mekanisme yang diciptakan yaitu
lembaga NGO internasional, maupun sampai pada
bentuk-bentuk konsumerisme yang kini sedang
tingkat perorangan, disadari atau tidak, perannya
meluas akibat daya dukung kebijakan antar aktor
yang tidak saja menghadirkan nilai-nilai positif
dan agensi-agensi yang disepakati.
karena telah membantu proses rekonstruksi dan
rehabilitasi di Aceh, tetapi juga dampak interaksi
B. Aceh Pasca Konflik dan Tsunami
antar budaya - cross cultural contact (Hannerz,
Menurut Irwan Abdullah (2006) setidaknya ada tiga
1996:112) dari
faktor
gejala
bahkan negara-negara yang terlibat di dalamnya
komersialisasi identitas di Aceh. Pertama, bahwa
tidak bisa dianggap sepihak. Interaksi budaya yang
secara internal Aceh dan orang-orang Aceh memiliki
demikian kuat ini tentunya telah mempengruhi cara
sejarah ketidakadilan yang luar biasa, mulai dari
kerja dan sistem anutan, bahkan world view
disebabkan
berkepanjangan
masyarakat Aceh secara umum. Oleh karena itu,
hubungan-hubungan
gejala ini menuntut adaptasi panjang karena proses
yang
menyebabkan
karena
tumbuhnya
konflik
maupun secaranasional,
masing-masing
orang, lembaga,
Indonesia
yang terjadi di dalamnya sangat kompleks dan bisa
menerus
jadi dampaknya sampai di luar struktur budaya dan
dikonstruksi menjadi citra negatif. Kedua, bahwa
sejarah masyarakat Aceh yang menyertainya. Pola-
dialektis
dengan
negara/pemerintah
Aceh
yang
secara
terus
pola gotong royong, kerja bakti yang sudah menjadi
61
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
kebiasaan lama masyarakat di gampong-gampong
sampai 3 kali lipat, gaji karyawan yang biasa 1-2 juta
di Banda Aceh, pada saat yang sama (pasca tsunami)
menjadi
prinsip-prinsip komersialisasi dalam bentuk jasa
dampaknya sampai melahirkan pergeseran pada
berkembang secara meluas dengan bentuk cash for
identitas Keacehan, seperti bagaimana masyarakat
work
Aceh yang sebelumnya memegangi prinsip-prinsip
misalnya, di mana praktiknya kemudian
5
juta
diperdebatkan di tingkat lokal, sebagai suatu
kekeluargaan,
makanisme
kepedulian, dan
yang
ahistoris
di
Aceh,
bahkan
perbulan,
kebersamaan,
sehingga
bahkan
kesetiakawanan,
bahkan egaliter, kemudian
berlawanan dengan sistem atau mekanisme lokal
dipaksa dan dibenturkan pada tradisi baru yang
yang ada sebelumnya. Perdebatan yang demikian
meletakkan
inilah yang dalam teori sosial biasa disebut cultural
mengedepankan prinsip-prinsip individual, serta
resistance .
bergantung pada sistem etos kapitalistis, sebuah
Sebuah
perlawanan
kultural
transaksional
praktik etos yang dianggap
masyarakat terhadap rejim dominan. Oleh karena
dengan
lumrah
ditengah konteks transisi Aceh waktu itu.
itu, praktik cash for work, tidak saja didesain oleh
kekuatan dominan para kapital ataupun negara
Komersialisasi secara umum dalam
donor, tetapi juga negara bertanggungjawab atas
kebijakan-kebijakan kultural yang
etos
terjadi
kacamata
antropologi merupakan konsepsi ekonomi politik
berkembang
yang muncul sebagai dampak komodifikasi nilai-
demikian sensitif ini.
nilai budaya, sementara komodifikasi dalam aspek
budaya dapat dimaknai sebagai perubahan sebagian
atau bahkan hampir seluruh budaya agar lebih
C. Komersialisasi dan Komodifikasi Nilai-Nilai,
komersial dan memiliki nilai jual yang tinggi yang
Barang dan Jasa
tujuan utamanya adalah menarik minat wisatawan
Proses
transformasi
Aceh
yang
kini sedang
yang melihatnya (Ibrahim dan Idi subandi, 1997:
berlangsung, baik yang dipicu oleh konflik maupun
71). Hal ini membuat budaya tidak lagi hanya dinilai
tsunami 2004 telah menandai perubahan sosial
yang mengantarkan
masyarakatnyapada
dari aspek sentimental, tetapi juga sudah dinilai
suatu
dengan material (uang). Di satu sisi, masyarakat
proses materialisasi (Abdullah, 2005). Prinsip-
dengan berbagai komponen didalamnya berusaha
prinsip yang mendasari proses materialisasi ini
melestarikan dengan tetap mempertahankan nilai-
dapat dilihat pada dampak komersialisasi yang
meluas
yang
diakibatkan
oleh
nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh
cara-cara
berbagai
komodifikasi yang berlangsung cukup mengejutkan
faktor,
khususnya
faktor
ekonomi,
komersialisasi dapat meningkatkan kesejahteraan.
di dalam masyarakat transisi Aceh, di Banda Aceh
khususnya. Bentuk-bentuk komersialisasi
tampak
begitu
Oleh karena itu, gejala meluasnya komersialisasi
ini
ini
intens terutama di awal-awal
diindikasi
telah
menyebabkan
meluasnya
kapitalisasi barang dan jasa, privatisasi nilai-nilai,
tsunami yaitu kurang lebih 1 sampai 3 tahun pasca
meluasnya sikap individualisme (kota dan desa),
tsunami terjadi. Beberapa contoh dapat dijelaskan,
nilai/harga barang meningkat tiga kali lipat,
diantaranya: naiknya harga-harga bahan pokok
62
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
termasuk gaji karyawan NGO internasional, dan
Proses-proses
sebagainya. Dampak yang muncul akibat gejala ini
barang dan jasa yang demikian meluas ini menjadi
tidak saja berlaku di perkotaan, tetapi juga telah
pilihan sistem ekonomi baru
meluas pada kehidupan anak muda di gampong.
masyarakat Aceh yang sedang berubah ini. Oleh
Dengan demikian,
bagi
karena itu, terjadinya komersialisasi di berbagai
kelompok ini tidak saja sebagai suatu bentuk yang
bentuk di Aceh telah menandai suatu konstruksi
secara normatif dipahami banyak orang sebagai
identitas Keacehan oleh kekuatan pasar dan para
krisis pada aspek sosial-ekonomi, tetapi juga
kapital. Untuk itu, setidaknya ada tiga alasan gejolak
menjadi sumber penghidupan baru bagi kalangan
komersialisasi ini berkembang di Aceh; Pertama,
tertentu. Sebab tsunami bagi mereka telah menjadi
bahwa pasar sangat mendominasi sistem ekonomi
momentum
ekonomi
lain yang berkembang sebelumnya di Aceh, yaitu
individu selain juga memperbaiki ekonomi yang
dengan menerapkan sistem ekonomi global yang
telah rusak akibat konflik dan tsunami sebelumnya.
direnegosiasikan
Di sinilah proses renegosiasi identitas lokal juga
kebijakan/kearifan masyarakat setempat. Oleh
turut mewarnai praktik-praktik komersialisasi di
karena itu, tidak heran jika dominasi pasar dan
Banda Aceh.
kuatnya sistem kapitalis di Aceh telah menyebabkan
terjadinya tsunami
memperkuat
modal
Sebagai respon atas menguatnya pasar
demikian
cepat
ini,
Abdullah
(2006)
pengaruh
perubahan
juga
reorganisasi
melalui nilai-nilai,
di
dengan
dalam
ranah
kebijakan-
hilangnya identitas dan sistem ekonomi setempat.
yang
Kedua, lemahnya kontrol kekuasaan atau negara
secara lebih detil Irwan
menunjukkan
komersialisasi
terhadap berkembangnya sistem serta terbukanya
bahwa
akses global dalam masyarakat transisi seperti
kehidupan
Aceh, di sinilah peran dan kekuatan negara seolah
terhadap orientasi identitas seperti di atas dapat
diganti oleh kekuatan mekanisme pasar yang
dilihat pada tiga proses yang juga menjadi tanda dari
begitu
keberadaan masyarakat modern. Pertama, proses
dominan ini.
Ketiga,
bahwa
etos
komersialisasi juga memerlukan dukungan dari
materialisasi kehidupan yang mentransformasikan
dalam, untuk itu gejolak komersialisasi di Aceh juga
berbagai hal menjadi komoditas sehingga terjadi
didukung oleh tuntutan kreatifitas lokal yang
proses komodifikasi secara meluas. Kedua, tekanan
memang memiliki basis-basis kekuatan ekonomi-
sosial yang diakibatkan oleh etos kerja kapitalistik
politik yang memadai.
menyebabkan hidup menjadi proses mencari nilai
tambah secara material. Ketiga, proses mobilitas
yang menjadi fenomena terpenting di abad ke
duapuluh ini mempengaruhi berbagai bentuk
reorganisasi sosial, ekonomi, dan politik. Ketiga
proses tersebut merupakan hal yang mendasari
perubahan dalam mendefinisikan identitas dan
kehidupan sebuah masyarakat (Abdullah, 2007: 8).
63
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
ketidakseimbangan dalam mengelola identitas,
nilai-nilai, bahkan kepentingan-kepentingan antarindividu maupun kelompok (interest groups).
Proses kapitalisasi nilai ini diakui atau tidak telah
melahirkan perubahan karakter, khususnya dengan
melemahnya
ikatan-ikatan
tradisional
yang
kerananya memberi otonomi yang lebih besar pada
individu-individu (Goldsmith, 1998). Oleh kerena
itu,
tidak
bisa
dipungkiri
bahwa
persoalan
kemanusiaan menjadi lebih penting terutama dalam
konteks global di Aceh. Fakta tentang gejolak
komersialisasi yang demikian menguat ini harus
Gambar 1.
dilekatkan dengan proses pemanusiaan etis yang
Faktor Pembentuk Komersialisasi
kini di Aceh mulai mengabur. Di mana suatu proses
Identitas di Aceh (Sumber: olah kajian peneliti)
sosial yang didasari prinsip-prinsip individual
biasanya akan melahirkan kesenjangan sosial di
Sebagai mekanisme prinsip-prinsip ekonomi politik,
dalam penataan sosial suatu masyarakat.
praktik komersialisasi yang demikian meluas di
Oleh karena itu, posisi negara bersama-sama
Banda Aceh ini tidak saja dihembuskan oleh sistem
masyarakat kenyataannya tidak mampu meletakkan
ekonomi kapitalis yang belakangan meluas, tetapi
kekuasaanya sebagai kontrol atas tindakan ekonomi
praktiknya telah dikembangkan secara bersama dan
yang berbasis kapitalistis ini, sehingga pasar bisa
diiringi oleh negosiasi etos kapitalis dengan sistem
menjadi penguasa dalam aktifitas ekonomi politik di
dan etos lokal yang ada sebelumnya secara
Aceh
integratif. Untuk itu, respon negara sebagai yang
bagaimana
menyeimbangkan antara kekuatan lokal dan global
direperesentasi
masing-masing
dominannya
pasar
harus
ekonomi pasar/global. Di sinilah proses negosiasi
antar-aktor dan agensi-agensi bahkan kadang
karena
berjalan di tempat, kemudian masyarakat dituntut
ketidakseimbangan relasi antar-aktor, terutama
terlalu
Aceh
yang sama digantikan dengan prinsip-prinsip
dapat digambarkan sebagai proses kapitalisasi nilai,
terjadi
atau
kearifan tradisional pada masyarakatnya, pada saat
kegiatan ekonomi lokal, di mana praktik yang juga
ini
lokal
melewati proses sosial yang melekatkan nilai-nilai
yang dilakukan oleh pasar tidak mengganggu
jasa
ketika
juga bagaiamana ketika lokal atau Aceh harus
kapitalistis ini. Dengan demikian, praktik dominasi
dan
prinsip-prinsip
mempertahankan kelangsungan identitasnya, dan
oleh
masyarakat dan pasar melalui sistem ekonomi
barang
dengan
komersialisasi dan komodifikasi ini, terutama
memiliki otoritas kekuasaan penuh mestinya dapat
yang
kaitannya
untuk mengikuti saja kemauan selera pasar. Hal ini
menjadi
terjadi ketika negara dan masyarakat lemah
64
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
memfungsikan kekuasaanya kembali, karena pasar
(Bourdieu,1984), sebab ada sebuah keyakinan
terlalu dominan mengendalikan modal (Bourdieu,
bahwa
1997).
dengan memiliki dan memakai atau
mengkonsumsi suatu benda tertentu merupakan
suatu proses untuk mengidentifikasikan diri sendiri
Di bawah ini akan dikaji bagaimana aspek lain yang
yang begitu tampak dominan, yaitu salah satunya
sebagai bentuk pembeda dengan orang lain .
adalah mengenai praktik konsumerisme atau dalam
kemudian praktik ini melahirkan apa yang disebut
bentuk lain juga disebut konsumtivisme. Di mana
gaya hidup (lifestyle). Gejala pembentukan gaya
kenyataannya telah memperlihatkan suatu efek
hidup ini secara tidak langsung
sosial-ekonomi yang mengundang konflik atau
sebuah
persoalan identitas di dalamnya, terutama antara
menekankan gaya hidup sebagai sub kultur dalam
identitas lokal dan prinsip-prinsip global yang
masyarakat Aceh, selain itu gaya hidup juga
mendorong semangat etos kapitalisasi atas modal.
merupakan proses komunikasi, sehingga
Konsumtivisme menjadi isu yang cukup hangat
hidup
didiskusikan,
terlebih
proses
makna identitas diri yang dihadirkan lewat simbol-
pembentukan
gaya
masyarakat,
simbol tertentu seperti barang yang dikenakan,
melatarbelakangi meluasnya praktik kuasa pasar
menjadi
hidup
suatu
suatu
Oleh karena itu, dari proses identifikasi diri inilah
terutama di Banda Aceh.
batasan-batasan
merupakan
mengungkapkan
kultural
yang
gaya
usaha untuk menghadirkan
pemanfaatan waktu luang dan hal lainnya. Hal ini
lagi-lagi ditegaskan oleh Spradley dan Geertz (1973)
bahwa semua makna budaya diciptakan dengan
D. Konsumerisme: Bias Kuasa Pasar dalam
menggunakan simbol-simbol. Oleh karena itu, gaya
Pembentukan Gaya Hidup
hidup haruslah
dilihat sebagai suatu
proses
komunikasi lintas budaya dalam interaksi sosial
Masyarakat Aceh kini telah dihadapkan pada satu
masyarakat, sebab ia menggunakan sejumlah tanda
situasi yang relatif memiliki kecenderungan baru,
atau simbol sebagai mediumnya.
yaitu
konsumtivisme
Kembali pada persoalan konsumsi, atau sebut saja
konsumerisme . Kecenderungan baru ini tidak saja
dengan belanja. Belanja semula hanya merupakan
apa
biasa
disebut
lahir dari latar belakang tatanan sosial yang
suatu konsep yang
menganut sistem dan prinsip etos kerja kapitalistik,
untuk mendapatkan
tetapi juga muncul dari sebuah desain hegemoni
keperluan
pasar yang muncul secara dominan seperti apa yang
sejumlah uang sebagai pengganti barang tersebut
terjadi di Aceh, sehingga menyebabkan munculnya
(Guiry dan Luzt, 2000: 132). Akan tetapi, konsep
konsumtivisme.
konsumerisme
belanja itu sendiri telah berkembang sebagai sebuah
kontestasi untuk memperebutkan (konsumsi dan
cerminan gaya hidup dan rekreasi di kalangan
simbol-simbol) menjadi sebuah kapital yang terus
masyarakat. Belanja merupakan suatu gaya hidup
direproduksi setiap saat oleh masyarakat modern
tersendiri, yang bahkan menjadi suatu kegemaran
Dalam
era
65
menunjukkan
suatu
barang-barang
sikap
sebagai
sehari-hari dengan jalan menukarkan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
bagi sejumlah orang (Guiry dan Luzt, 2000: 172).
Ketertarikan dalam hal berbelanja di kalangan anak
Gejolak konsumerisme ini muncul bisa dilihat pada
muda Aceh ini tidak jarang dipicu oleh mudahnya
gejala yang meluas di kalangan anak muda Banda
mereka mendapatkan uang.
Aceh pasca tsunami, tradisi belanja yang biasanya
masyarakat Aceh berubah ketika datangnya para
cukup dilakukan di tempat-tempat perbelanjaan di
relawan dan donatur dalam program rehabilitasi
Banda Aceh, kini bergeser ke mall-mall yang ada di
dan rekonstruksi Aceh. Kemudahan itu juga bisa
Bali, Malaysia, Singgapore, Jakarta, dan sebagainya.
diciptakan oleh sistem ekonomi asing yang
Ethos konsumerisme ini juga dapat dilihat dalam
menggunakan standarisasi angka ekonomi yang
praktik
remaja
dari
mekanisme
putri-putri
perbedaan
mereka yang mulai menginjak dewasa. Semangat
yang
membentuk
resistensi
juga
kultural
tingkat
perbedaan-
penggunaan
aspek
melahirkan
gejolak kesenjangan bagi
ekonomi yang sama. Oleh karena itu, pasar lagi-lagi
tumbuh menjadi gaya hidup (lifestyle), cara berfikir,
telah
serta menjadi tuntutan komunitas heterogen yang
menciptakan
praktik-praktik kemudahan
dalam mendukung praktik konsumtivisme disatu
bisa jadi dipicu oleh paket industrialisasi media yang
sisi, di sisis lain pasar juga telah mengabaikan
menjamur di kalangan masyarakat, seperti: televisi,
standar-standar ekonomi lokal yang telah ada
internet, majalah, termasuk media cetak seperti
sebelumnya. Bisa dibayangkan, gaji seorang pekerja
koran dan sebagainya. Mereka tidak hanya tertarik
security yang biasanya Rp 1.500.000 -2.000.000
oleh diskon yang ditawarkan oleh para produsen,
sebelum tsunami, kini pasca krisis tsunami naik
akan tetapi juga didukung dengan kemasan produk
hampir 3 kali lipat, sehingga tiap bulan seorang
yang menarik pula. Pada batas inilah selera pasar
security bisa menghasilkan gaji 5 juta perbulan.
menjadi penentu, mereka adalah subjek yang
Tidak berbeda dengan seorang penjual kopi di
mendesain keinginan para shopper (konsumen), dan
warung-warung kopi tradisional di Banda Aceh. Di
pada saat yang sama konsumen telah dipaksa
warung kopi de Helsinki misalnya sebelum tsunami
dengan pilihan-pilihan yang menurut selera pasar
omset rata-rata per hari maksimal, di antara
akan menguatkan kapasitas modal yang dimiliki.
500.000/hari, pasca krisis mereka dapat 2-3 juta
Begitulah cara kerja sistem ekonomi kapitalistis
kini
dalam
menyebabkan
masyarakat/individu yang tidak mendapatkan akses
(cultural resistance) dalam masyarakat, tetapi ia
yang
asing
finansial di tingkat lokal, sistem ekonomi asing
konsumerisme tumbuh tidak lagi hanya menjadi
bagian
ekonomi
berbeda cukup tajam dengan standar lokal. Selain
keseharian masyarakat Banda Aceh,
terutama anak- anak
Akses
perhari. Oleh karena itu, tidak heran jika akumulasi
sedang berlangsung bersama proses
kapital dari sebuah proses komodifikasi di atas telah
sosial-politik di Banda Aceh.
menciptakan arus baru yang disebut dengan era
konsumerisme menuju masyarakat konsumtif.
66
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
Bentuk-bentuk komodifikasi nilai, barang dan jasa
yang diiringi perkembangannya oleh aspek-aspek
konsumerisme semacam
dilihat
dari
ini setidaknya dapat
perkembangan
kapital
ekonomi
masyarakat Aceh yang cenderung meningkat. Hal ini
dibentuk oleh paling tidak tiga kekuatan penting
dalalm proses sosial suatu komunitas, Pertama,
munculnya ekspansi global terutama pasca tsunami
yang semakin menguat. Kedua, ditandai dengan
kemenangan
agen-agen
kapital
dalam
menegosiasikan produk-produk yang ditawarkan.
Gambar 2. Tiga Pembentuk Etos Konsumerisme di
Ketiga, tingkat mobilitas eksternal yang cenderung
Aceh (sumber: olah kajian peneliti)
lebih beragam dan heterogen. Ketiga kekuatan ini
merupakan suatu
kesatuan
yang membentuk
masyarakat Aceh menjadi konsumeris, di mana
Oleh karena itu, lebih lanjut persoalan yang penting
kekuatan
desainer
untuk kita lihat dari ethos konsumerisme ini adalah
pendukung utamanya, sedangkan agensi berperan
bahwa basis ekonomi-politik yang dibangun oleh
yang mengkontestasikan antara produk-produk
kekuatan pasar ini tidak sekedar memperlihatkan
lokal-dan global, sementara mobilitas eksternal
kekurangan
yang beragam menjadi kekuatan dari luar yang
diakibatkannya, akan tetapi aspek-aspek kultural
merangsang tumbuhnya para konsumeris baru.
dari yang harus diterima masyarakat juga harus
Untuk
sebagai
menjadi perhatian tersendiri. Interaksi tatap muka
masyarakat konsumtif maupun yang menghayatinya
misalnya yang kini telah digantikan dengan peran-
sebagai gaya hidup telah direproduksi secara terus
peran teknologi informasi seperti handphone,
menerus oleh market yang didukung oleh kekuatan-
belum lagi internet dengan fasilitas-fasilitas yang
kekuatan baru.
dimiliki seperti facebook, twitter dan sejenisnya,
ekspansi
itu,
global
pembentukan
sebagai
identitas
ataupun
kelebihan
yang
cepat atau lambat gejala ini semakin menunjukkan
kecenderungan
pasar
yang
tidak
saja
memperlakukan setiap orang sebagai konsumen,
tetapi pasar juga mengajarkan seseorang untuk
berdemokrasi dan kebebasan individu (Abdullah,
2006: 144).
67
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
kemauan selera pasar. Hal ini terjadi ketika negara
E. Kesimpulan
Sebagai
bagian
dari
dan masyarakat lemah memfungsikan kekuasaanya
prinsip-prinsip ekonomi
kembali,
politik, praktik komersialisasi yang demikian
karena
pasar
terlalu
dominan
mengendalikan modal.
meluas ini tidak saja dihembuskan oleh sistem
telah
Selain itu, bias kuasa pasar juga bisa dilihat dalam
dikembangkan secara bersamaan dan diiringi
praktik konsumerisme, merupakan sisi lain yang
dengan negosiasi-negosiasi panjang antara etos
dapat dimaknai sebagai subjek yang lahir dari
kapitalis dengan sistem dan etos lokal yang ada
rahim komersialisasi. Semangat konsumerisme
sebelumnya secara integratif. Untuk itu, respon
tumbuh tidak lagi hanya menjadi bagian yang
negara sebagai yang memiliki otoritas kekuasaan
membentuk yang membentuk resistensi kultural
penuh mestinya dapat menyeimbangkan antara
(cultural resistance) dalam masyarakat, tetapi ia
kekuatan lokal dan global yang direperesentasi
tumbuh menjadi gaya hidup (lifestyle), cara berfikir,
masing-masing oleh masyarakat dan pasar melalui
serta menjadi tuntutan komunitas heterogen yang
sistem ekonomi kapitalistis ini. Praktik dominasi
bisa jadi dipicu oleh paket industrialisasi media yang
yang dilakukan oleh pasar tidak mengganggu
menjamur di kalangan masyarakat, seperti: televisi,
kegiatan ekonomi lokal, di mana praktik yang juga
internet, majalah, termasuk media cetak seperti
dapat
digambarkan
sebagai proses kapitalisasi
koran dan sebagainya. Pada batas inilah selera pasar
nilai,
barang
jasa
menjadi penentu, mereka adalah subjek
ekonomi
kapitalis,
tetapi
dan
praktiknya
ini
terjadi
karena
yang
ketidakseimbangan relasi antar-aktor, terutama
mendesain keinginan para shopper (konsumen), dan
terlalu
menjadi
pada saat yang sama konsumen telah dipaksa
ketidakseimbangan dalam mengelola identitas,
dengan pilihan-pilihan yang menurut selera pasar
nilai-nilai, bahkan kepentingan-kepentingan antar-
akan menguatkan kapasitas modal yang dimiliki.
individu maupun kelompok.
Begitulah cara kerja sistem ekonomi kapitalistis
dominannya
pasar
yang kini sedang berlangsung bersama proses
Oleh karena itu, pasar bisa menjadi penguasa dalam
sosial dan ekonomi politik di Banda Aceh. Oleh
aktifitas ekonomi politik kaitannya dengan prinsipprinsip komersialisasi
terutama
dan
bagaimana
komodifikasi
ketika
karena itu, intensitas dialog, sampai renegosiasi
ini,
identitas lokal-global menjadi
lokal harus
dasar-dasar keseimbangan
juga bagaiamana ketika lokal harus melewati proses
yang
melekatkan
nilai-nilai
proses
bahkan
negosiasi
kadang
pasar/global.
masyarakat dituntut untuk
berjalan,
berasal dari negara maupun masyarakat sendiri.
Disinilah
kemudian
mengikuti
kepantingan
dapat dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang
antar-aktor dan agensi-agensi
tidak
antar
pada aras lokal dan global, sehingga kuasa pasar
kearifan
tradisional, pada saat yang sama digantikan dengan
prinsip-prinsip ekonomi
modal
konstruksi pasar yang penting dalam meletakkan
mempertahankan kelangsungan identitasnya, dan
sosial
suatu
saja
68
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
Gramsci, Antonio. 1971. Selection from Prison
Daftar Pustaka
Abdullah,
Irwan.
1998.
Persimpangan
Antropologi
Jalan.
Refleksi
Notebooks.
di
and Community of Choice , dalam F.
Hesselbein, et al (ed) Community of the
Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Komunalisme:
Aceh
sebagai
Field
Future. San Fancisco: Jossy-Bass Publication
Retak
of
Guiry, Michael and Richard J. Lutz.
Study
Recreational Shopping for Consumer Self
Wednesday Forum CRCS.
and
Definition. USA: University of Florida
4. Global Ethnoscapes: Note
Quaries
Anthropology
for
(all, Stuart,
Transnational
dalam
R.G.
Fox
. Cultural )dentity and Diaspora ,
dalam Jonathan Rutherford (ed), Identity:
ed
Community, Culture, and Difference. London:
Recapturing Anthopology: working in the
Lawrence and Wishard
Present. Santa fe, NM: School of American
.
___________,
Research Press.
The
Local
and
Global:
Globalization and Ethnicity; Old and new
Benzer, Matthias. 2011. The Sociology of Theodor
)dentity, Old and New Ethnicity,
Adorno. New York:Cambridge University
dalam
Anthony D. King (ed) Culture, Globalization
Press,
Beyer, Peter. F.
and the World System. London: Macmillan.
. Privatization and the Public
Hannerz, Ulf. 1992. Cultural Complexity, NewYork:
)nfluence of Religion in Global Society ,
Colombia University Press.
dalam Mike Featherstone (ed), Global
Culture:
2000.
Recreational Shopper Identity: Implication of
Kebudayaan. Makalah diskusi disampaikan pada.
Appadurai, Arjun.
by
Golsmith, Marshall. 1998. Global Communication
_____________________, 2006. Konstruksi dan Reproduksi
Potret
translated
London: Lowrence and Wishart.
Antropologi Indonesia Vol. 21 No 54.
.
and
Quintine Hoare and Geofey Nowel Smith.
dari
Pemahaman atas Tindakan kaum Muda ,
______________________
Edited
Nationalism,
Globalization
____________, 1996. Transnational Connection, Culture,
and
People, Place. London: Routledge
Modernity. London: Sage Publication
Ibrahim, Idi Subandi. 1997. Ecstasy dan Gaya Hidup:
Bourdieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural
Kebudayaan
Production: Essays on Art and Leissure, New
Lindsey. Lawrence B.
Friedmen, Jonathan. 1991. Being in the World;
Global
Masyarakat
. The Real Economic
Globalist . Far Eastern Economic Review, 26
Globalization and Localization , dalam Mike
(ed)
dalam
Komoditi. Bandung: Mizan.
York: Columbia University Press.
Fatherstone
Pop
Maret.
Culture;
Livesey, C.
Nationalism, Globalization, and Modernity.
4, Culture and )dentity , Sociological
Pathways.
London: Sage publication.
http://www.sociology.org.uk/pathway2.ht
Geertz, Cliford 1983. Local Knowledge. New York:
m. Diakses 10 Juni 2013.
Basic Book.
69
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
Morris, Christopher W. 1999. The Social Contract
Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke,
and
Rousseau.
Lanham,Md:
Rowman&Littlefield
Riddell. Peter G.
.
Serambi Mekkah
dan
Identity, dalam Anthony Reid, Verandah of
Violance. Singgapure: NUS press
Ritzer,
George
dan
(Terjemahan
Goodman,
Nurhadi).
Douglas
2010.
J.
Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan
Mutakhir
Teori
Sosial
Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Wahyuni, (ermin )ndah,
.
Relasi Media-
Negara-Masyarakat dan Pasar . Jurnal IImu
Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4 No 2, November.
70
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh:
Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan Konsumerisme
Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Oleh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah1
Abstrak
Tulisan ini menunjukkan proses renegosiasi identitas lokal dalam praktik komersialisasi dan
konsumerisme di Aceh. Dua praktik sosial ini muncul di Aceh sebagai akibat dari proses ekspansi pasar
yang meluas pasca tsunami. Di mana faktanya telah didukung oleh egen-egen globalisasi yang
merepresentasi pemikiran-pemikiran dan etos kapitalisme. Tidak saja itu, bahkan praktiknya
berlangsung sebagai ideologi gerakan, bukan sekadar sebagai bentuk-bentuk praktik ekonomi politik
yang berlangsung secara normal dan seimbang. Di sinilah bentuk dominasi pasar faktanya telah terlalu
kuat mendominasi masyarakat terutama bagi yang tidak memiliki kekuatan modal ekonomi, politik, dan
akses distribusi yang cukup, negara telah begitu saja perannya dapat dibeli dengan kekuatan-kekuatan
kapital yang berkuasa. Bahkan dampaknya sampai melahirkan pergeseran pada identitas Keacehan,
seperti bagaimana masyarakat Aceh yang sebelumnya memegangi prinsip-prinsip kekeluargaan,
kebersamaan, kesetiakawanan, kepedulian, dan bahkan egaliter, kemudian dipaksa dan dibenturkan
pada tradisi baru yang meletakkan etos transaksional dengan mengedepankan prinsip-prinsip
individual, serta bergantung pada sistem ekonomi kapitalistis.
Kata kunci: kuasa pasar, renegosiasi, identitas lokal, komersialisasi, dan konsumerisme, gaya hidup.
Abstract
This paper shows the process of renegotiation of local identity in the commercialization and
consumerism process in Aceh. Two of these social practices emerging in Aceh as a result of widespread
market expansion process after the tsunami. Where the fact has been supported by globalization
represent the thoughts and ethos of capitalism. Even the practice takes place as ideological movement,
not merely as forms of political economic practices that take place in a normal and balanced. Here comes
from the fact that market dominance has been too strong to dominate the community, especially for those
who do not have the strength of economic capital, political, and considerable distribution access, the state
has granted the role can be purchased by the forces of capital in power. Even the shift in impact to the
delivery of Acehnese identity , such as how the people of Aceh who previously held the principles of
family, togetherness , solidarity , caring , and even egalitarian , then forced and bang it on a new tradition
with a transactional ethos that put forward the principles of individual , as well as depends on the
capitalistic economic system .
Keywords: market power, renegotiation, local identity, commercialization, consumerism, lifestyle
1
Ibnu Mujib adalah kandidat Doktor program studi Agama dan Lintas Budaya, UGM, dan dosen Fak. Sosiologi pada
Universitas Budiutomo Malang. Irwan Abdullah adalah Guru Besar Antropologi Fak. Ilmu Budaya UGM.
59
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan
A. Pendahuluan
serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan
Perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi
barang-barang simbolik disebut oleh Bourdieu
secara meluas dalam masyarakat tidak saja
menjelaskan
bagaimana
interaksi
4 sebagai perantara budaya baru
masyarakat
Piliang
dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).
dengan berbagai faktor lokalitas keacehan, tetapi
perubahan masyarakat lokal harus juga dilihat
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah
sebagai perubahan global yang memiliki pengaruh
masa industrialisasi, yaitu ketika barang-barang
dalam penataan sosial masyarakat (Abdullah, 2006:
mulai
142). Selain itu, perubahan di atas juga disebabkan
membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam
oleh meluasnya globalisasi yang membutuhkan
hal ini menempati posisi strategis sekaligus
respon tepat dan cepat, serta memerlukan strategi
menentukan;
yang tepat (Fatherstone, 1991, Hannerz, 1996).
menjembatani
Proses yang demikian ini akan membawa pasar
sebagai calon konsumen. Bahkan masalah ini dikaji
menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan
secara teoritis oleh seorang cendikiawan Prancis
nilai dan penataan sosial dalam masyarakat. Tidak
terkemuka, Jean Baudrillard (2005). Secara umum,
saja itu, pasar juga telah memperluas orientasi dan
menurutnya, media berperan sebagai agen yang
tingkat mobilitas masyarakatnya secara lebih intens,
menyebar
sehingga menyebabkan batas-batas sosial budaya
Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak,
masyarakat ikut mengabur.
benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji
pasar
adalah
munculnya
secara
yaitu
massal
sebagai
produsen
imaji-imaji
sehingga
medium
dengan
kepada
yang
masyarakat
khalayak
luas.
tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi
Salah satu tanda masyarakat yang didominasi oleh
kekuatan
diproduksi
berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan
gejolak
kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya
konsumerisme, yang diikuti oleh bentuk-bentuk
menguatnya media-media lokal baik cetak maupun
otoritas lain di luar dirinya yang memaksa untuk
elektronik. Masyarakat konsumer disebut Jean
Oleh
Baudrillard dengan masyarakat kapitalis mutakhir
konsumerisme, sampai soal media menjadi subjek-
(Jean Baudrillard, 2005) dan Adorno dengan
subjek penting dalam konteks relasi kuasa di Aceh
komodifikasi identitats yang didukung dengan
masyarakat
komoditas
membeli.
karena
itu,
isu-isu
komodifikasi,
society)
belakangan ini. Ketiga isu ini muncul secara meluas
(Benzer, 2001:109). Dengan demikian, mereka yang
di Aceh pasca tsunami, terutama 5-10 tahun terahir.
bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta
Menurut perspektif ekonomi-politik, sebagaimana
para intelektual informasi
penjelasan
commodity
di
atas
bahwa
isu
komodifikasi,
konsumerisme, hingga media ini muncul sebagai
akibat dari proses ekspansi pasar yang meluas oleh
agen-agen
globalisasi
yang
tentunya
telah
merepresentasi pemikiran-pemikiran dan etos
60
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
kapitalisme bahkan hal ini berlangsung sebagai
orang Aceh sedang dihadapkan pada realitas baru
ideologi gerakan, bukan sekadar sebagai bentuk-
setelah situasi sosial konflik yang berkepanjangan
bentuk praktik ekonomi politik yang berlangsung
membuat mereka ingin lepas dari tekanan apapun,
secara normal dan seimbang. Disinilah dominasi
termasuk belenggu ketidakadilan selama masa
pasar
transisi
yang
praktiknya
telah
menghegemoni
konflik
dan
tsunami.
Ketiga,
faktor
masyarakat sipil yang tidak memiliki kekuatan
hubunganya dengan human resources yang sedang
modal ekonomi (economic
menjajaki dan sebagian telah merasakan desakan
capital), dan akses
politik (political access) yang
cukup, bahkan
kultur global yang cukup mewarisi berbagai sisi
negara telah begitu saja perannya dapat dibeli
penting kehidupan Aceh. Human resources yang
dengan kekuatan-kekuatan kapital yang berkuasa.
terbatas
Di
bawah
ini
akan
dijelaskan
mempengaruhi
bagaimana
politik
yang
penting
mentalitas, cara berfikir, serta
sebagai mekanisme kontrol atas sejarah, realitas
bagi
sosial, bahkan juga termasuk sumberdaya manusia
perkembangan masyarakat Aceh, termasuk juga
kanyataannya telah menyebabkan prinsip-prinsip
soal bagaimana masyarakat Aceh kini telah masuk
lokal dan batas-batas daya dukung masyarakat kian
dan terperangkap dalam mekanisme sistem pasar,
dikesampingkan
yang mau tidak mau telah dipaksa dan sekaligus
tunduk
yang begitu kuat
demikian, sistem global yang membawa pasar
Aceh, banda Aceh khususnya menjadi suatu gejala
ekonomi
tuntutan
bahkan wisdom yang dianut sebelumnya. Dengan
komodifikasi identitas yang terjadi di belahan
sosial
dengan
(Abdullah,
2006).
Hadirnya
ratusan lembaga donor ke Aceh, termasuk lembaga-
pada mekanisme yang diciptakan yaitu
lembaga NGO internasional, maupun sampai pada
bentuk-bentuk konsumerisme yang kini sedang
tingkat perorangan, disadari atau tidak, perannya
meluas akibat daya dukung kebijakan antar aktor
yang tidak saja menghadirkan nilai-nilai positif
dan agensi-agensi yang disepakati.
karena telah membantu proses rekonstruksi dan
rehabilitasi di Aceh, tetapi juga dampak interaksi
B. Aceh Pasca Konflik dan Tsunami
antar budaya - cross cultural contact (Hannerz,
Menurut Irwan Abdullah (2006) setidaknya ada tiga
1996:112) dari
faktor
gejala
bahkan negara-negara yang terlibat di dalamnya
komersialisasi identitas di Aceh. Pertama, bahwa
tidak bisa dianggap sepihak. Interaksi budaya yang
secara internal Aceh dan orang-orang Aceh memiliki
demikian kuat ini tentunya telah mempengruhi cara
sejarah ketidakadilan yang luar biasa, mulai dari
kerja dan sistem anutan, bahkan world view
disebabkan
berkepanjangan
masyarakat Aceh secara umum. Oleh karena itu,
hubungan-hubungan
gejala ini menuntut adaptasi panjang karena proses
yang
menyebabkan
karena
tumbuhnya
konflik
maupun secaranasional,
masing-masing
orang, lembaga,
Indonesia
yang terjadi di dalamnya sangat kompleks dan bisa
menerus
jadi dampaknya sampai di luar struktur budaya dan
dikonstruksi menjadi citra negatif. Kedua, bahwa
sejarah masyarakat Aceh yang menyertainya. Pola-
dialektis
dengan
negara/pemerintah
Aceh
yang
secara
terus
pola gotong royong, kerja bakti yang sudah menjadi
61
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
kebiasaan lama masyarakat di gampong-gampong
sampai 3 kali lipat, gaji karyawan yang biasa 1-2 juta
di Banda Aceh, pada saat yang sama (pasca tsunami)
menjadi
prinsip-prinsip komersialisasi dalam bentuk jasa
dampaknya sampai melahirkan pergeseran pada
berkembang secara meluas dengan bentuk cash for
identitas Keacehan, seperti bagaimana masyarakat
work
Aceh yang sebelumnya memegangi prinsip-prinsip
misalnya, di mana praktiknya kemudian
5
juta
diperdebatkan di tingkat lokal, sebagai suatu
kekeluargaan,
makanisme
kepedulian, dan
yang
ahistoris
di
Aceh,
bahkan
perbulan,
kebersamaan,
sehingga
bahkan
kesetiakawanan,
bahkan egaliter, kemudian
berlawanan dengan sistem atau mekanisme lokal
dipaksa dan dibenturkan pada tradisi baru yang
yang ada sebelumnya. Perdebatan yang demikian
meletakkan
inilah yang dalam teori sosial biasa disebut cultural
mengedepankan prinsip-prinsip individual, serta
resistance .
bergantung pada sistem etos kapitalistis, sebuah
Sebuah
perlawanan
kultural
transaksional
praktik etos yang dianggap
masyarakat terhadap rejim dominan. Oleh karena
dengan
lumrah
ditengah konteks transisi Aceh waktu itu.
itu, praktik cash for work, tidak saja didesain oleh
kekuatan dominan para kapital ataupun negara
Komersialisasi secara umum dalam
donor, tetapi juga negara bertanggungjawab atas
kebijakan-kebijakan kultural yang
etos
terjadi
kacamata
antropologi merupakan konsepsi ekonomi politik
berkembang
yang muncul sebagai dampak komodifikasi nilai-
demikian sensitif ini.
nilai budaya, sementara komodifikasi dalam aspek
budaya dapat dimaknai sebagai perubahan sebagian
atau bahkan hampir seluruh budaya agar lebih
C. Komersialisasi dan Komodifikasi Nilai-Nilai,
komersial dan memiliki nilai jual yang tinggi yang
Barang dan Jasa
tujuan utamanya adalah menarik minat wisatawan
Proses
transformasi
Aceh
yang
kini sedang
yang melihatnya (Ibrahim dan Idi subandi, 1997:
berlangsung, baik yang dipicu oleh konflik maupun
71). Hal ini membuat budaya tidak lagi hanya dinilai
tsunami 2004 telah menandai perubahan sosial
yang mengantarkan
masyarakatnyapada
dari aspek sentimental, tetapi juga sudah dinilai
suatu
dengan material (uang). Di satu sisi, masyarakat
proses materialisasi (Abdullah, 2005). Prinsip-
dengan berbagai komponen didalamnya berusaha
prinsip yang mendasari proses materialisasi ini
melestarikan dengan tetap mempertahankan nilai-
dapat dilihat pada dampak komersialisasi yang
meluas
yang
diakibatkan
oleh
nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh
cara-cara
berbagai
komodifikasi yang berlangsung cukup mengejutkan
faktor,
khususnya
faktor
ekonomi,
komersialisasi dapat meningkatkan kesejahteraan.
di dalam masyarakat transisi Aceh, di Banda Aceh
khususnya. Bentuk-bentuk komersialisasi
tampak
begitu
Oleh karena itu, gejala meluasnya komersialisasi
ini
ini
intens terutama di awal-awal
diindikasi
telah
menyebabkan
meluasnya
kapitalisasi barang dan jasa, privatisasi nilai-nilai,
tsunami yaitu kurang lebih 1 sampai 3 tahun pasca
meluasnya sikap individualisme (kota dan desa),
tsunami terjadi. Beberapa contoh dapat dijelaskan,
nilai/harga barang meningkat tiga kali lipat,
diantaranya: naiknya harga-harga bahan pokok
62
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
termasuk gaji karyawan NGO internasional, dan
Proses-proses
sebagainya. Dampak yang muncul akibat gejala ini
barang dan jasa yang demikian meluas ini menjadi
tidak saja berlaku di perkotaan, tetapi juga telah
pilihan sistem ekonomi baru
meluas pada kehidupan anak muda di gampong.
masyarakat Aceh yang sedang berubah ini. Oleh
Dengan demikian,
bagi
karena itu, terjadinya komersialisasi di berbagai
kelompok ini tidak saja sebagai suatu bentuk yang
bentuk di Aceh telah menandai suatu konstruksi
secara normatif dipahami banyak orang sebagai
identitas Keacehan oleh kekuatan pasar dan para
krisis pada aspek sosial-ekonomi, tetapi juga
kapital. Untuk itu, setidaknya ada tiga alasan gejolak
menjadi sumber penghidupan baru bagi kalangan
komersialisasi ini berkembang di Aceh; Pertama,
tertentu. Sebab tsunami bagi mereka telah menjadi
bahwa pasar sangat mendominasi sistem ekonomi
momentum
ekonomi
lain yang berkembang sebelumnya di Aceh, yaitu
individu selain juga memperbaiki ekonomi yang
dengan menerapkan sistem ekonomi global yang
telah rusak akibat konflik dan tsunami sebelumnya.
direnegosiasikan
Di sinilah proses renegosiasi identitas lokal juga
kebijakan/kearifan masyarakat setempat. Oleh
turut mewarnai praktik-praktik komersialisasi di
karena itu, tidak heran jika dominasi pasar dan
Banda Aceh.
kuatnya sistem kapitalis di Aceh telah menyebabkan
terjadinya tsunami
memperkuat
modal
Sebagai respon atas menguatnya pasar
demikian
cepat
ini,
Abdullah
(2006)
pengaruh
perubahan
juga
reorganisasi
melalui nilai-nilai,
di
dengan
dalam
ranah
kebijakan-
hilangnya identitas dan sistem ekonomi setempat.
yang
Kedua, lemahnya kontrol kekuasaan atau negara
secara lebih detil Irwan
menunjukkan
komersialisasi
terhadap berkembangnya sistem serta terbukanya
bahwa
akses global dalam masyarakat transisi seperti
kehidupan
Aceh, di sinilah peran dan kekuatan negara seolah
terhadap orientasi identitas seperti di atas dapat
diganti oleh kekuatan mekanisme pasar yang
dilihat pada tiga proses yang juga menjadi tanda dari
begitu
keberadaan masyarakat modern. Pertama, proses
dominan ini.
Ketiga,
bahwa
etos
komersialisasi juga memerlukan dukungan dari
materialisasi kehidupan yang mentransformasikan
dalam, untuk itu gejolak komersialisasi di Aceh juga
berbagai hal menjadi komoditas sehingga terjadi
didukung oleh tuntutan kreatifitas lokal yang
proses komodifikasi secara meluas. Kedua, tekanan
memang memiliki basis-basis kekuatan ekonomi-
sosial yang diakibatkan oleh etos kerja kapitalistik
politik yang memadai.
menyebabkan hidup menjadi proses mencari nilai
tambah secara material. Ketiga, proses mobilitas
yang menjadi fenomena terpenting di abad ke
duapuluh ini mempengaruhi berbagai bentuk
reorganisasi sosial, ekonomi, dan politik. Ketiga
proses tersebut merupakan hal yang mendasari
perubahan dalam mendefinisikan identitas dan
kehidupan sebuah masyarakat (Abdullah, 2007: 8).
63
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
ketidakseimbangan dalam mengelola identitas,
nilai-nilai, bahkan kepentingan-kepentingan antarindividu maupun kelompok (interest groups).
Proses kapitalisasi nilai ini diakui atau tidak telah
melahirkan perubahan karakter, khususnya dengan
melemahnya
ikatan-ikatan
tradisional
yang
kerananya memberi otonomi yang lebih besar pada
individu-individu (Goldsmith, 1998). Oleh kerena
itu,
tidak
bisa
dipungkiri
bahwa
persoalan
kemanusiaan menjadi lebih penting terutama dalam
konteks global di Aceh. Fakta tentang gejolak
komersialisasi yang demikian menguat ini harus
Gambar 1.
dilekatkan dengan proses pemanusiaan etis yang
Faktor Pembentuk Komersialisasi
kini di Aceh mulai mengabur. Di mana suatu proses
Identitas di Aceh (Sumber: olah kajian peneliti)
sosial yang didasari prinsip-prinsip individual
biasanya akan melahirkan kesenjangan sosial di
Sebagai mekanisme prinsip-prinsip ekonomi politik,
dalam penataan sosial suatu masyarakat.
praktik komersialisasi yang demikian meluas di
Oleh karena itu, posisi negara bersama-sama
Banda Aceh ini tidak saja dihembuskan oleh sistem
masyarakat kenyataannya tidak mampu meletakkan
ekonomi kapitalis yang belakangan meluas, tetapi
kekuasaanya sebagai kontrol atas tindakan ekonomi
praktiknya telah dikembangkan secara bersama dan
yang berbasis kapitalistis ini, sehingga pasar bisa
diiringi oleh negosiasi etos kapitalis dengan sistem
menjadi penguasa dalam aktifitas ekonomi politik di
dan etos lokal yang ada sebelumnya secara
Aceh
integratif. Untuk itu, respon negara sebagai yang
bagaimana
menyeimbangkan antara kekuatan lokal dan global
direperesentasi
masing-masing
dominannya
pasar
harus
ekonomi pasar/global. Di sinilah proses negosiasi
antar-aktor dan agensi-agensi bahkan kadang
karena
berjalan di tempat, kemudian masyarakat dituntut
ketidakseimbangan relasi antar-aktor, terutama
terlalu
Aceh
yang sama digantikan dengan prinsip-prinsip
dapat digambarkan sebagai proses kapitalisasi nilai,
terjadi
atau
kearifan tradisional pada masyarakatnya, pada saat
kegiatan ekonomi lokal, di mana praktik yang juga
ini
lokal
melewati proses sosial yang melekatkan nilai-nilai
yang dilakukan oleh pasar tidak mengganggu
jasa
ketika
juga bagaiamana ketika lokal atau Aceh harus
kapitalistis ini. Dengan demikian, praktik dominasi
dan
prinsip-prinsip
mempertahankan kelangsungan identitasnya, dan
oleh
masyarakat dan pasar melalui sistem ekonomi
barang
dengan
komersialisasi dan komodifikasi ini, terutama
memiliki otoritas kekuasaan penuh mestinya dapat
yang
kaitannya
untuk mengikuti saja kemauan selera pasar. Hal ini
menjadi
terjadi ketika negara dan masyarakat lemah
64
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
memfungsikan kekuasaanya kembali, karena pasar
(Bourdieu,1984), sebab ada sebuah keyakinan
terlalu dominan mengendalikan modal (Bourdieu,
bahwa
1997).
dengan memiliki dan memakai atau
mengkonsumsi suatu benda tertentu merupakan
suatu proses untuk mengidentifikasikan diri sendiri
Di bawah ini akan dikaji bagaimana aspek lain yang
yang begitu tampak dominan, yaitu salah satunya
sebagai bentuk pembeda dengan orang lain .
adalah mengenai praktik konsumerisme atau dalam
kemudian praktik ini melahirkan apa yang disebut
bentuk lain juga disebut konsumtivisme. Di mana
gaya hidup (lifestyle). Gejala pembentukan gaya
kenyataannya telah memperlihatkan suatu efek
hidup ini secara tidak langsung
sosial-ekonomi yang mengundang konflik atau
sebuah
persoalan identitas di dalamnya, terutama antara
menekankan gaya hidup sebagai sub kultur dalam
identitas lokal dan prinsip-prinsip global yang
masyarakat Aceh, selain itu gaya hidup juga
mendorong semangat etos kapitalisasi atas modal.
merupakan proses komunikasi, sehingga
Konsumtivisme menjadi isu yang cukup hangat
hidup
didiskusikan,
terlebih
proses
makna identitas diri yang dihadirkan lewat simbol-
pembentukan
gaya
masyarakat,
simbol tertentu seperti barang yang dikenakan,
melatarbelakangi meluasnya praktik kuasa pasar
menjadi
hidup
suatu
suatu
Oleh karena itu, dari proses identifikasi diri inilah
terutama di Banda Aceh.
batasan-batasan
merupakan
mengungkapkan
kultural
yang
gaya
usaha untuk menghadirkan
pemanfaatan waktu luang dan hal lainnya. Hal ini
lagi-lagi ditegaskan oleh Spradley dan Geertz (1973)
bahwa semua makna budaya diciptakan dengan
D. Konsumerisme: Bias Kuasa Pasar dalam
menggunakan simbol-simbol. Oleh karena itu, gaya
Pembentukan Gaya Hidup
hidup haruslah
dilihat sebagai suatu
proses
komunikasi lintas budaya dalam interaksi sosial
Masyarakat Aceh kini telah dihadapkan pada satu
masyarakat, sebab ia menggunakan sejumlah tanda
situasi yang relatif memiliki kecenderungan baru,
atau simbol sebagai mediumnya.
yaitu
konsumtivisme
Kembali pada persoalan konsumsi, atau sebut saja
konsumerisme . Kecenderungan baru ini tidak saja
dengan belanja. Belanja semula hanya merupakan
apa
biasa
disebut
lahir dari latar belakang tatanan sosial yang
suatu konsep yang
menganut sistem dan prinsip etos kerja kapitalistik,
untuk mendapatkan
tetapi juga muncul dari sebuah desain hegemoni
keperluan
pasar yang muncul secara dominan seperti apa yang
sejumlah uang sebagai pengganti barang tersebut
terjadi di Aceh, sehingga menyebabkan munculnya
(Guiry dan Luzt, 2000: 132). Akan tetapi, konsep
konsumtivisme.
konsumerisme
belanja itu sendiri telah berkembang sebagai sebuah
kontestasi untuk memperebutkan (konsumsi dan
cerminan gaya hidup dan rekreasi di kalangan
simbol-simbol) menjadi sebuah kapital yang terus
masyarakat. Belanja merupakan suatu gaya hidup
direproduksi setiap saat oleh masyarakat modern
tersendiri, yang bahkan menjadi suatu kegemaran
Dalam
era
65
menunjukkan
suatu
barang-barang
sikap
sebagai
sehari-hari dengan jalan menukarkan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
bagi sejumlah orang (Guiry dan Luzt, 2000: 172).
Ketertarikan dalam hal berbelanja di kalangan anak
Gejolak konsumerisme ini muncul bisa dilihat pada
muda Aceh ini tidak jarang dipicu oleh mudahnya
gejala yang meluas di kalangan anak muda Banda
mereka mendapatkan uang.
Aceh pasca tsunami, tradisi belanja yang biasanya
masyarakat Aceh berubah ketika datangnya para
cukup dilakukan di tempat-tempat perbelanjaan di
relawan dan donatur dalam program rehabilitasi
Banda Aceh, kini bergeser ke mall-mall yang ada di
dan rekonstruksi Aceh. Kemudahan itu juga bisa
Bali, Malaysia, Singgapore, Jakarta, dan sebagainya.
diciptakan oleh sistem ekonomi asing yang
Ethos konsumerisme ini juga dapat dilihat dalam
menggunakan standarisasi angka ekonomi yang
praktik
remaja
dari
mekanisme
putri-putri
perbedaan
mereka yang mulai menginjak dewasa. Semangat
yang
membentuk
resistensi
juga
kultural
tingkat
perbedaan-
penggunaan
aspek
melahirkan
gejolak kesenjangan bagi
ekonomi yang sama. Oleh karena itu, pasar lagi-lagi
tumbuh menjadi gaya hidup (lifestyle), cara berfikir,
telah
serta menjadi tuntutan komunitas heterogen yang
menciptakan
praktik-praktik kemudahan
dalam mendukung praktik konsumtivisme disatu
bisa jadi dipicu oleh paket industrialisasi media yang
sisi, di sisis lain pasar juga telah mengabaikan
menjamur di kalangan masyarakat, seperti: televisi,
standar-standar ekonomi lokal yang telah ada
internet, majalah, termasuk media cetak seperti
sebelumnya. Bisa dibayangkan, gaji seorang pekerja
koran dan sebagainya. Mereka tidak hanya tertarik
security yang biasanya Rp 1.500.000 -2.000.000
oleh diskon yang ditawarkan oleh para produsen,
sebelum tsunami, kini pasca krisis tsunami naik
akan tetapi juga didukung dengan kemasan produk
hampir 3 kali lipat, sehingga tiap bulan seorang
yang menarik pula. Pada batas inilah selera pasar
security bisa menghasilkan gaji 5 juta perbulan.
menjadi penentu, mereka adalah subjek yang
Tidak berbeda dengan seorang penjual kopi di
mendesain keinginan para shopper (konsumen), dan
warung-warung kopi tradisional di Banda Aceh. Di
pada saat yang sama konsumen telah dipaksa
warung kopi de Helsinki misalnya sebelum tsunami
dengan pilihan-pilihan yang menurut selera pasar
omset rata-rata per hari maksimal, di antara
akan menguatkan kapasitas modal yang dimiliki.
500.000/hari, pasca krisis mereka dapat 2-3 juta
Begitulah cara kerja sistem ekonomi kapitalistis
kini
dalam
menyebabkan
masyarakat/individu yang tidak mendapatkan akses
(cultural resistance) dalam masyarakat, tetapi ia
yang
asing
finansial di tingkat lokal, sistem ekonomi asing
konsumerisme tumbuh tidak lagi hanya menjadi
bagian
ekonomi
berbeda cukup tajam dengan standar lokal. Selain
keseharian masyarakat Banda Aceh,
terutama anak- anak
Akses
perhari. Oleh karena itu, tidak heran jika akumulasi
sedang berlangsung bersama proses
kapital dari sebuah proses komodifikasi di atas telah
sosial-politik di Banda Aceh.
menciptakan arus baru yang disebut dengan era
konsumerisme menuju masyarakat konsumtif.
66
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
Bentuk-bentuk komodifikasi nilai, barang dan jasa
yang diiringi perkembangannya oleh aspek-aspek
konsumerisme semacam
dilihat
dari
ini setidaknya dapat
perkembangan
kapital
ekonomi
masyarakat Aceh yang cenderung meningkat. Hal ini
dibentuk oleh paling tidak tiga kekuatan penting
dalalm proses sosial suatu komunitas, Pertama,
munculnya ekspansi global terutama pasca tsunami
yang semakin menguat. Kedua, ditandai dengan
kemenangan
agen-agen
kapital
dalam
menegosiasikan produk-produk yang ditawarkan.
Gambar 2. Tiga Pembentuk Etos Konsumerisme di
Ketiga, tingkat mobilitas eksternal yang cenderung
Aceh (sumber: olah kajian peneliti)
lebih beragam dan heterogen. Ketiga kekuatan ini
merupakan suatu
kesatuan
yang membentuk
masyarakat Aceh menjadi konsumeris, di mana
Oleh karena itu, lebih lanjut persoalan yang penting
kekuatan
desainer
untuk kita lihat dari ethos konsumerisme ini adalah
pendukung utamanya, sedangkan agensi berperan
bahwa basis ekonomi-politik yang dibangun oleh
yang mengkontestasikan antara produk-produk
kekuatan pasar ini tidak sekedar memperlihatkan
lokal-dan global, sementara mobilitas eksternal
kekurangan
yang beragam menjadi kekuatan dari luar yang
diakibatkannya, akan tetapi aspek-aspek kultural
merangsang tumbuhnya para konsumeris baru.
dari yang harus diterima masyarakat juga harus
Untuk
sebagai
menjadi perhatian tersendiri. Interaksi tatap muka
masyarakat konsumtif maupun yang menghayatinya
misalnya yang kini telah digantikan dengan peran-
sebagai gaya hidup telah direproduksi secara terus
peran teknologi informasi seperti handphone,
menerus oleh market yang didukung oleh kekuatan-
belum lagi internet dengan fasilitas-fasilitas yang
kekuatan baru.
dimiliki seperti facebook, twitter dan sejenisnya,
ekspansi
itu,
global
pembentukan
sebagai
identitas
ataupun
kelebihan
yang
cepat atau lambat gejala ini semakin menunjukkan
kecenderungan
pasar
yang
tidak
saja
memperlakukan setiap orang sebagai konsumen,
tetapi pasar juga mengajarkan seseorang untuk
berdemokrasi dan kebebasan individu (Abdullah,
2006: 144).
67
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
kemauan selera pasar. Hal ini terjadi ketika negara
E. Kesimpulan
Sebagai
bagian
dari
dan masyarakat lemah memfungsikan kekuasaanya
prinsip-prinsip ekonomi
kembali,
politik, praktik komersialisasi yang demikian
karena
pasar
terlalu
dominan
mengendalikan modal.
meluas ini tidak saja dihembuskan oleh sistem
telah
Selain itu, bias kuasa pasar juga bisa dilihat dalam
dikembangkan secara bersamaan dan diiringi
praktik konsumerisme, merupakan sisi lain yang
dengan negosiasi-negosiasi panjang antara etos
dapat dimaknai sebagai subjek yang lahir dari
kapitalis dengan sistem dan etos lokal yang ada
rahim komersialisasi. Semangat konsumerisme
sebelumnya secara integratif. Untuk itu, respon
tumbuh tidak lagi hanya menjadi bagian yang
negara sebagai yang memiliki otoritas kekuasaan
membentuk yang membentuk resistensi kultural
penuh mestinya dapat menyeimbangkan antara
(cultural resistance) dalam masyarakat, tetapi ia
kekuatan lokal dan global yang direperesentasi
tumbuh menjadi gaya hidup (lifestyle), cara berfikir,
masing-masing oleh masyarakat dan pasar melalui
serta menjadi tuntutan komunitas heterogen yang
sistem ekonomi kapitalistis ini. Praktik dominasi
bisa jadi dipicu oleh paket industrialisasi media yang
yang dilakukan oleh pasar tidak mengganggu
menjamur di kalangan masyarakat, seperti: televisi,
kegiatan ekonomi lokal, di mana praktik yang juga
internet, majalah, termasuk media cetak seperti
dapat
digambarkan
sebagai proses kapitalisasi
koran dan sebagainya. Pada batas inilah selera pasar
nilai,
barang
jasa
menjadi penentu, mereka adalah subjek
ekonomi
kapitalis,
tetapi
dan
praktiknya
ini
terjadi
karena
yang
ketidakseimbangan relasi antar-aktor, terutama
mendesain keinginan para shopper (konsumen), dan
terlalu
menjadi
pada saat yang sama konsumen telah dipaksa
ketidakseimbangan dalam mengelola identitas,
dengan pilihan-pilihan yang menurut selera pasar
nilai-nilai, bahkan kepentingan-kepentingan antar-
akan menguatkan kapasitas modal yang dimiliki.
individu maupun kelompok.
Begitulah cara kerja sistem ekonomi kapitalistis
dominannya
pasar
yang kini sedang berlangsung bersama proses
Oleh karena itu, pasar bisa menjadi penguasa dalam
sosial dan ekonomi politik di Banda Aceh. Oleh
aktifitas ekonomi politik kaitannya dengan prinsipprinsip komersialisasi
terutama
dan
bagaimana
komodifikasi
ketika
karena itu, intensitas dialog, sampai renegosiasi
ini,
identitas lokal-global menjadi
lokal harus
dasar-dasar keseimbangan
juga bagaiamana ketika lokal harus melewati proses
yang
melekatkan
nilai-nilai
proses
bahkan
negosiasi
kadang
pasar/global.
masyarakat dituntut untuk
berjalan,
berasal dari negara maupun masyarakat sendiri.
Disinilah
kemudian
mengikuti
kepantingan
dapat dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang
antar-aktor dan agensi-agensi
tidak
antar
pada aras lokal dan global, sehingga kuasa pasar
kearifan
tradisional, pada saat yang sama digantikan dengan
prinsip-prinsip ekonomi
modal
konstruksi pasar yang penting dalam meletakkan
mempertahankan kelangsungan identitasnya, dan
sosial
suatu
saja
68
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
Gramsci, Antonio. 1971. Selection from Prison
Daftar Pustaka
Abdullah,
Irwan.
1998.
Persimpangan
Antropologi
Jalan.
Refleksi
Notebooks.
di
and Community of Choice , dalam F.
Hesselbein, et al (ed) Community of the
Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Komunalisme:
Aceh
sebagai
Field
Future. San Fancisco: Jossy-Bass Publication
Retak
of
Guiry, Michael and Richard J. Lutz.
Study
Recreational Shopping for Consumer Self
Wednesday Forum CRCS.
and
Definition. USA: University of Florida
4. Global Ethnoscapes: Note
Quaries
Anthropology
for
(all, Stuart,
Transnational
dalam
R.G.
Fox
. Cultural )dentity and Diaspora ,
dalam Jonathan Rutherford (ed), Identity:
ed
Community, Culture, and Difference. London:
Recapturing Anthopology: working in the
Lawrence and Wishard
Present. Santa fe, NM: School of American
.
___________,
Research Press.
The
Local
and
Global:
Globalization and Ethnicity; Old and new
Benzer, Matthias. 2011. The Sociology of Theodor
)dentity, Old and New Ethnicity,
Adorno. New York:Cambridge University
dalam
Anthony D. King (ed) Culture, Globalization
Press,
Beyer, Peter. F.
and the World System. London: Macmillan.
. Privatization and the Public
Hannerz, Ulf. 1992. Cultural Complexity, NewYork:
)nfluence of Religion in Global Society ,
Colombia University Press.
dalam Mike Featherstone (ed), Global
Culture:
2000.
Recreational Shopper Identity: Implication of
Kebudayaan. Makalah diskusi disampaikan pada.
Appadurai, Arjun.
by
Golsmith, Marshall. 1998. Global Communication
_____________________, 2006. Konstruksi dan Reproduksi
Potret
translated
London: Lowrence and Wishart.
Antropologi Indonesia Vol. 21 No 54.
.
and
Quintine Hoare and Geofey Nowel Smith.
dari
Pemahaman atas Tindakan kaum Muda ,
______________________
Edited
Nationalism,
Globalization
____________, 1996. Transnational Connection, Culture,
and
People, Place. London: Routledge
Modernity. London: Sage Publication
Ibrahim, Idi Subandi. 1997. Ecstasy dan Gaya Hidup:
Bourdieu, Pierre. 1993. The Field of Cultural
Kebudayaan
Production: Essays on Art and Leissure, New
Lindsey. Lawrence B.
Friedmen, Jonathan. 1991. Being in the World;
Global
Masyarakat
. The Real Economic
Globalist . Far Eastern Economic Review, 26
Globalization and Localization , dalam Mike
(ed)
dalam
Komoditi. Bandung: Mizan.
York: Columbia University Press.
Fatherstone
Pop
Maret.
Culture;
Livesey, C.
Nationalism, Globalization, and Modernity.
4, Culture and )dentity , Sociological
Pathways.
London: Sage publication.
http://www.sociology.org.uk/pathway2.ht
Geertz, Cliford 1983. Local Knowledge. New York:
m. Diakses 10 Juni 2013.
Basic Book.
69
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 2, 2013
Kuasa Pasar Dalam Pembentukan Identitas Aceh: Renegosiasi Identitas Lokal dalam Praktik Komersialisasi dan
Konsumerisme Pasca Konflik dan Tsunami di Banda Aceh
Ibnu Mujib, Irwan Abdullah
Morris, Christopher W. 1999. The Social Contract
Theorists: Critical Essays on Hobbes, Locke,
and
Rousseau.
Lanham,Md:
Rowman&Littlefield
Riddell. Peter G.
.
Serambi Mekkah
dan
Identity, dalam Anthony Reid, Verandah of
Violance. Singgapure: NUS press
Ritzer,
George
dan
(Terjemahan
Goodman,
Nurhadi).
Douglas
2010.
J.
Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan
Mutakhir
Teori
Sosial
Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Wahyuni, (ermin )ndah,
.
Relasi Media-
Negara-Masyarakat dan Pasar . Jurnal IImu
Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4 No 2, November.
70